You are on page 1of 8

A.

Latar Belakang UUD Tahun 1945 sebelum perubahan mengatur bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. sedangkan Setelah perubahan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD Tahun 1945) setelah perubahan menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,1 ini artinya bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi terletak pada suatu lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi berada di tangan rakyat dan kedaulatan tersebut di pegang secara langsung oleh rakyat. Gagasan kedaulatan rakyat Menurut pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis tersebut dapat di artikan sebagai pilkada langsung ataupun pilkada secara tidak langsung yang dilakukan oleh DPRD.2 Melalui Pasal 62 Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mencantumkan lagi tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan demikian makna pemilihan Kepala Daerah secara demokratis sebagaimana yang dimaksud dalam Undang

1 2

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen ke-3. Keterangan tertulis Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifudin perwakilan DPR tanggal 14 Februari 2005 pada sidang Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK No. 072-073/PUU-II/2004 Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda Terhadap UUD 1945,hl. 61.

Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat.3 Keinginan pembentuk undang-undang semakin jelas mengenai pilkada langsung setelah lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah yang mengganti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dengan memasukan materi tentang pemilihan Kepala Daerah pada Pasal 56 sampai dengan 119. Perubahan terhadap pengaturan pilkada langsung, memunculkan perdebatan mengenai posisi pilkada langsung sebagai rezim pemilu atau pemda. Ketidakpuasan beberapa kalangan masyarakat mendorong diajukannya judicial review terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan pilkada langsung.4 Dalam gugatan yang diajukan, mereka menggangap bahwa dengan meletakkan materi pilkada langsung ke dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dengan tidak merujuk kepada pasal 22E UUD 1945 adalah pelanggaran konstitusi. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 22 Maret 2005, putusan mahkamah tidak secara tegas menyatakan pilkada tergolong dalam rezim pemilu atau rezim pemda. Putusan yang dibuat oleh mahkamah hanya memutus KPUD tidak bertanggung jawab
3

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta, 2008.hlm. 313 4 Pasal-pasal yang dilakukan judicial review adalah pasal yang berkaitan dengan independensi penyelenggara pilkada yang dinilai bertentangan dengan pasal 22E UUD 1945. lebih jelas dapat dilihat Dalam putusan MK No. 072-073/PUU-II/2004.

kepada DPRD, tetapi kepada publik. MK tetap menilai ketentuan pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 tetap sah, tetapi ke depan diharapkan pilkada masuk menjadi satu genus pemilu. Lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu memunculkan terminologi baru dengan menyebut pilkada sebagai pemilukada. Pasal 1 Angka 4 menyebutkan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia, terminologi ini seakan ingin mengakomodir tuntutan agar pilkada di masukan ke dalam rezim pemilu, akan tetapi di sisi lain pembentuk undang-undang masih tetap mempertahankan materi pilkada ke dalam UU Pemerintah Daerah. Semua itu dilakukan lewat proses legislasi biasa dan terkesan mengabaikan ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Kembali disini ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ditafsirkan menurut kehendak legislator belaka. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat pasti akan terjadi sebuah dinamika yang terwujud dalam sebuah konflik atau sengketa. Guna menyelesaikan sengketa tersebut, maka sangat perlu dibuat sebuah lembaga peradilan yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa atau konflik akibat putusan lembaga yang 3

berwenang untuk menyelenggarakan hasil perolehan suara dari sebuah kontestasi pilkada langsung. Sebelum adanya perubahan kedua terhadap UU Pemda, dalam Pasal 106 UU Pemda menyatakan bahwa: keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.5 Keberatan dimaksud hanya berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.6 Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepada daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. 7 Putusan Mahkamah Agung terhadap keberatan penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi bersifat final dan mengikat.8 Putusan Pengadilan Tinggi terhadap penetapan hasil Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota bersifat final.9 Berdasarkan pengaturan tersebut, sengketa atas hasil Pemilukada sebelum perubahan UU Pemda, penyelesaiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
5 6

Pasal 106 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 106 Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 7 Pasal 106 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 8 Pasal 106 Ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 9 Pasal 106 Ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004

Setelah diterbitkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengalihkan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal 236C berbunyi Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang keberadaannya untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Selain itu dalam perspektif yuridis, pembentukan lembaga MK mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan wewenang yang telah ditentukan dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), mengatur empat kewenangan MK yaitu: 1. Menguji undangundang terhadap UUD NRI tahun 1945;

2.

Memutus

sengketa

kewenangan

lembaga

negara

yang

kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; 3. 4. Memutus pembubaran Partai Politik; dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Berdasarkan empat kewenangan tersebut, adanya pengaturan kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilukada berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 dimaknai oleh pembentuk undang-undang bahwa salah satu kewenangan MK untuk memutus perselihan tentang hasil pemilihan umum, tidak saja perselihan dalam pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetapi juga perselisihan terhadap hasil Pemilukada, sedangkan dalam Pasal 18 ayat (4) UU Negara RI 1945 menggunakan konsep dipilih secara demokratis.10

Untuk mengisi kekosongan hukum dalam peradilan sengketa pilkada Mahkamah Konstisusi Mengeluarkan peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 tentang pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Peraturan ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum. Akan tetapi setiap sengketa pilkada yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi diputuskan dengan tidak konsisten bahkan dinilai putusan yang dikeluarkan diluar batas kewenangannya.

10

Yusak Elisa Reba, Kompetensi Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah, Jurnal Konstitusi, Vol.1 No.1 Juni 2009. hlm. 61

Putusan atas sengketa pilkada jawa timur adalah salah satu contohnya. Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang di beberapa kecamatan. Hal ini menimbulkan kontroversi. Putusan MK tersebut dinilai telah melampaui kewenangan, karena jelas disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil perhitungan suara (apabila permohonan dikabulkan) maka putusannya adalah menyatakan membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilhan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

Permasalahan 1. apakah pemilihan Kepala Daerah langsung termasuk dalam rezim pemilu atau

Pemda? 2. Bagaimanakah batasan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan

sengketa Pilkada?

You might also like