Professional Documents
Culture Documents
06 APRIL 2005
sumber : Rubrik Pariwisata di harian bisnis
Sabtu, 02/04/2005
Sumatra Utara saat ini masih memiliki sekelompok masyarakat yang masih
memegang teguh agama dan budaya asli daerah. Agama Parmalim, yang sudah
sengaja diisolasi ratusan tahun, hingga kini mampu bertahan dengan pusatnya
di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.
Ritual-ritual dalam Parmalim sudah berlangsung lama dalam tradisi Batak Kuno
dan saat ini masih dipertahankan, meski kelembagaan Parmalim yang
dipusatkan di Kompleks Bale Pasogit baru resmi berdiri 3 Agustus 1921, setelah
mendapat persetujuan WKH Ypes, Controleur van Toba waktu itu.
Di kompleks itu pula, dua kali dalam setahun, umat Parmalim menggelar
upacara keagamaan besar Sihapa Sada (upacara menyambut tahun baru
sekaligus memperingati kelahiran para pemimpin spiritual Parmalim) dan
Sipaha Lima (upacara syukuran atas rahmat yang diterima dari Raja Mulajadi
Nabolon).
Masyarakat Parmalim sangat terbuka dengan orang luar, dan tidak segan-segan
menjawab semua pertanyaan dari tamu tentang agama dan budaya mereka.
Bahkan mereka menginzinkan beberapa ilmuwan, budayawan ataupun seniman
untuk meneliti Parmalim, sepanjang dilakukan secatra jujur dan tidak
menggunakan hasilnya untuk tujuan negatif.
Kearifan lokal
Salah satu karakter yang paling menonjol dari penganut Parmalim Hutatinggi
dan diakui masyarakat sekitarnya adalah kaya akan kearifan lokal. "Parmalim
masih sangat mempertahankan kearifan dalam mengelola lingkungan hidup,
yang terlihat jelas dari prilaku umat Parmalim sehari-hari," ujar Surung
Simanjuntak, putra daerah batak yang sudah tidak menganut Parmalim.
Pada saat menebang pohon misalnya, Parmalim memiliki tata cara tertentu,
dimana si penebang harus berusaha agar pohon jangan sampai menimpa anak
pohon lain. Jika penebang tidak bisa melaksanakan syarat ini, penebang pohon
harus diganti orang lain.
Begitu pun ketika memetik umbi-umbian yang menjalar, umat Parmalim harus
menyisakan tunas sehingga bisa tumbuh kembali.
Dua hari sebelum upacara itu, umat Parmalim melakukan puasa selama 24 jam.
Sebagai pembuka dan penutup puasa, mereka melakukan ritual mangan napaet
(menyantap makanan yang pahit) sebagai simbol untuk mengenang kepahitan
dan penderitaan Raja Nasiak Bagi (salah satu pemimpin spiritual Parmalim)
ketika menegakkan agama Parmalim.
Bahan-bahan makanan dalam ritual itu terdiri dari daun pepaya muda, cabai,
garam, dan nangka muda. Sebelum disantap, bahan-bahan makanan ini
ditumbuk halus. Sebelum melakukan Upacara Sipaha Sada, ada selang satu hari
yang digunakan umat untuk beristirahat yang biasa disebut robo.
Hal ini sesuai dengan tiga warna yang melambangkan tiga kepribadian Batak,
yaitu hitam berarti kepemimpinan dan tanggung jawab, merah berarti ilmu
pengetahuan adalah kekuatan dan putih yang melambangkan kesucian. Tiga
warna ini, selain menjadi warna pakaian dan ulos, juga terlihat dari desain
pada rumah adat batak.
Sedangkan wanita mengenakan sarung (ragi) yang berbentuk ulos dari jenis
runjat, kebaya, selendang (hande-hande) dari jenis yang bervariasi, yaitu
sadum, bintang maratur dan mangiring.
Satu lagi yang unik, perempuan diwajibkan menggunakan sanggul toba
(gulungan rambut ke dalam) sebagai warisan para wanita batak ratusan tahun
lalu.
Tepat tengah hari, ritual dimulai. Raja Marnakkok Naipospos yang menjabat
sebagai Raja Ihutan (pemimpin spiritual umat Parmalim saat ini) memasuki Bale
Partonggoan. Sebelumnya, di dalam Bale Partonggoan telah disiapkan pelean
(sesajen) berupa daging ayam, kambing putih, ihan (ikan batak), telur, nasi
putih, sirih, sayur-mayur, jeruk purut, air suci, dan dupa.
Lazimnya dalam tradisi adat Batak Kuno, bahan-bahan untuk pelean berasal
dari hewan-hewan atau hasil pertanian terpilih, meski tidak wajib melainkan
kemampuan orang yang melakukan upacara. Pelean yang wajib harus urapan,
air suci dan dupa.
Setelah diperiksa oleh Raja Ihutan, pelean dibawa ke lantai dua (pamelean)
Bale Partonggoan secara berantai. Di tempat ini, Raja Ihutan akan memastikan
letak dan arah pelean.
Setelah ritual penyiapan pelean, Raja Ihutan kembali turun ke bawah untuk
memimpin Upacara Sipaha Sada yang berlangsung dengan hikmat dan
menghabiskan waktu sekitar lima jam, meliputi penyembahan dan kotbah dari
Ihutan. Malam harinya acara di lanjutkan dengan pesta muda mudi.
Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Si
Singamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing. Dalam
perkembangannya, gerakan yang menempatkan Si Singamangaraja sebagai
pemimpin tertinggi tersebut telah memicu perlawanan politik dalam bentuk
pertempuran-pertempuran kecil di berbagai kawasan Batak Toba, sekaligus
perlawanan teologis terhadap zending. Gerakan ini pun terus melakukan
perlawanan pascakematian Si Singamangaraja XII.
Pada tahun 1895 (tujuh tahun setelah kematian Si Singmangaraja XII), Guru
Somalaing ditangkap Belanda dan kemudian dibuang ke Kalimantan pada tahun
berikutnya. Gerakan Parmalim pun mulai memudar walau tidak habis. Raja
Mulia Naipospos, tokoh spiritual, yang disebut-sebut mendapat restu dari Si
Singamangaraja XII, kemudian memegang tongkat kepemimpinan Parmalim.
Gerakan Parmalim pun kembali memusatkan diri pada spiritual dan tata cara
hidup berdasarkan adat. Tongkat kepemimpinan ini diwariskan turun-temurun
dan kini dipegang oleh Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia.
Kata parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu par dan malim. Par
dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang
mengerjakan atau menganut sesuatu. Malim sendiri berasal dari kata bahasa
masyarakat di pesisir pantai yang beragama Islam, baik Melayu maupun
Minangkabau, yang berarti pemuka agama Islam.
Mualim
Asal usul kata malim bagi masyarakat Melayu berasal dari bahasa Arab mualim
yang artinya pintar dalam pengetahuan agama. Parmalim juga berkonotasi
dengan para malim atau sekumpulan orang yang pengetahuan agamanya luas.
Parmalim sendiri, menurut Raja Marnakkok Naipospos yang saat ini menjadi
Raja Ihutan atau pemimpin tertinggi kaum Parmalim, adalah ajaran tradisional
Batak. Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Batak, nenek
moyang kami telah memiliki ajaran kepercayaan tersendiri. Inti ajaran kami
adalah bagaimana bisa mempersembahkan hidup kepada Mula Jadi Nambolon
(Tuhan), dan bagaimana cara hidup bermasyarakat dengan baik. Prinsip-prinsip
ajaran kami diajarkan oleh Raja Si Singamangaraja, katanya.
Menurut Monang Naipospos, salah seorang tokoh Parmalim yang lain, ciri khas
dari kepercayaan Parmalim adalah kearifan lokal mereka dalam menjaga alam.
Para pengikut Parmalim dilarang menebang pohon, kecuali menanam tunas
baru dengan jumlah lebih banyak. Mereka juga tidak boleh merusak tunas-tunas
kecil saat merobohkan pohon besar. Manusia telah diberi hak untuk mengelola
alam. Kita telah didukung alam untuk hidup, maka kita juga harus mendukung
alam untuk hidup, katanya.
Pukul 09.00 pertengahan Juli 2005 di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti,
Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Ribuan pengikut Parmalim dari
berbagai belahan Nusantara berkumpul. Mereka sibuk menyiapkan upacara
syukur atas panen tahun ini. Tak ada komando, tetapi semuanya tergerak untuk
ikut menyiapkan upacara.
Pagi itu, para pengikut Parmalim kembali menggelar Sipahalima. Upacara yang
dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak ini dilakukan untuk
bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya
untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil
panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal
anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga
yang tidak mampu makan.
Setelah makan siang bersama, sekitar pukul 13.00, seluruh peserta kemudian
berkumpul di halaman depan bale partonggoan atau balai peribadatan. Raja
Marnakkok Naipospos, yang menjadi Raja Ihutan (pemimpin spiritual umat
Parmalim saat ini), memimpin keseluruhan upacara.
Musik senantiasa mengiringi doa-doa yang dipanjatkan penuh kusuk itu. Bagi
masyarakat Batak, musik dipercaya sebagai media untuk menyampaikan doa
agar sampai ke alam spiritual.
Upacara berakhir menjelang senja dan sebelum ditutup, seekor sapi jantan
berwarna hitam disembelih sebagai kurban. Setelah dimasak, seluruh peserta
ritual makan bersama.
Sipahasada
Bahan-bahan makanan dalam ritual mangan napaet terdiri dari daun pepaya
muda, cabai, garam, dan nangka muda. Sebelum dimakan, bahan-bahan
makanan ini ditumbuk halus. Ritual mangan napaet merupakan simbol untuk
mengenang kepahitan dan penderitaan Raja Nasiak Bagi, salah satu pemimpin
spiritual Parmalim. Setelah ritual mangan napaet yang dilaksanakan di punguan
(komunitas) masing-masing, mereka menuju bale pasogit atau tempat
peribadatan bersama di Huta Tinggi.
Di tempat ini, Raja Ihutan akan memastikan letak dan arah pelean. Pascaritual
penyiapan pelean, Raja Ihutan kembali turun ke bawah untuk memimpin doa-
doa. Semua peserta ritual kusuk berdoa. Bahkan, sebagian terlihat menitikkan
air mata.