You are on page 1of 20

LAYANANA PENDIDIKAN UNTUK ANAK CEREBRAL PALSY

(diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah perspektif tunadaksa)

Oleh : FITRIANA DWIPUSPA 1335101969 REGULER

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA FAKULTAS ILMU PENDIDDIKAN PENDIDIKAN LUAR BIASA 2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Perspektif Tunadaksa dengan membahas tentang LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK CEREBRAL PALSY dalam bentuk makalah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendalakendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Irah Kasirah, M.pd selaku dosen mata kuliah Perspektif Tunadaksa yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini. 2. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai. 3. Rekan-rekan PLB FIP UNJ angkatan 2010 Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.

Jakarta,

Desember 2011

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Sesuai dengan dasar yuridis formal dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak cerebral palsy, yang diantaranya adalah : 1) UndangUndang Dasar 1945, seperti yang tercantum dalam

pembukaanya alinea ke 4. Demikian juga dalam pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, (2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang. 2) Undang-Undang R.I. No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pada (a) pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa

warga Negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa. (b) pasal 24 menyatakan bahwa setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut: (ayat 1) mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, (ayat 7) mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat (UU. RI. No. 2/1989). 3) Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa (PLB), dimana di dalamnya mengatur segala hal yang berkaitan dengan pendidikan bagi anak luar biasa pada umumnya, termasuk anak-anak CP. Didalam PP No. 72 tahun 1991 tersebut, secara garis besar mengatur tentang tujuan pendidikan luar biasa, jenis kelainan peserta didik dalam PLB, bentuk satuan dan lama pendidikan, syarat dan tata cara pendirian satuan PLB, penyelenggaraan pendidikan, pedoman penilaian, pedoman pelaksanaan bimbingan dan rehabilitasi, sampai pengembangan PLB.

Setiap anak cerebral palsy memiliki potensi tertentu dan kecacatan yang disandang tidak menutup kemungkinan dikembangkannya potensi dan

kreativitas sesuai dengan kondisi masing-masing anak (Hardman, et.al, 1990). Melalui kegiatan pendidikan diharapkan guru dan orangtua mampu

mengembangkan bakat, minat, dan potensi anak secara optimal yang nantinya sangat berguna dalam persiapan kehidupannya. Dalam kaitannya dengan makna pentingnnya pendidikan bagi anak CP dan penderita disabilitas pada umumnya, Hellen Keller dan Prof. Dr. Soeharso (dalam A. Salim, 1994), memberikan sebuah motto yang sederhana namun memiliki makna yang sangt dalam sebagai berikut : seseorang penderita cacat, tidak akan pernah tahu akan kemampuannya yang terpendam, sampai ia diperlakukan sebagai manusia biasa dan diberi kesempatan untuk menentukan jalan hidupnya. (Hellen Keller) dan meskipun jasmani cacat, namun jiwamu tidak cacat (Prof. Dr. Soeharso). Dengan demikian pemberian kesempatan kepada anak CP untuk memperoleh pendidikan dan latihan dapat dikatakan suatu tindakan yang tepat. Sebab dengan pendidikandan latihan berarti mereka memperoleh hak untuk memenuhi kewajibannya mengembangkan bakat, mianat, dan potensi yang pada gilirannya mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidup, terlepas dari kelompok masyarakat yang konsumtif dan menjadi warga negara yang produktif.

BAB II PERUMUSAN MASALAH


Adapun berbagai masalah yang perlu dibahas dalam makalah ini, diantaranya : 1. Apakah tujuan pendidikan untuka anak cerebral palsy ? 2. Bagaiamana perkembangan layanan pendidikan untuk anak cerebral palsy ? 3. Apa sajakah Pertimbangan penempatan pendidikan untuk anak celebral palsy ? 4. Seperti apakah sistem pendidikan untuk anak cerebral palsy ? 5. Bagaimana pola penyelenggaraan pendidikan sekolah menurut kurikulum PLB 1994 ?

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Tujuan Pendidikan Anak Cerebral Palsy Tujuan pendidikan untuk anak cerebral palsy adalah agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta dapat

mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (PP. No. 71/1991). Penyelenyelenggaraan pendidikan bagi anak cerebral palsy memiliki dua sasaran, yaitu : 1) Untuk membantu mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari kecacatannya. 2) Untuk membantu menyiapkan peserta didik untuk mampu

mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan social, budaya, dan alam sekitar dapat

mengembangkan kemampuannya dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjut. Cannor (1975 dalam Musjafak Assjari, 1995) mengemukakan sekurangkurangnya tujuh aspek yang perlu dikembangkan melalui pendidikan pada diri anak tunadaksa, yaitu: 1) Pengembangan intelektual dan akademik Semua anak CP mampu didik harus dikembangkan kemampuan intelektualnya dan akademiknya secara optimal. Pada jalur pendidikan di sekolah, pengembangan intelektual dan akademik anak pada umumnya melalui kegiatan belajar mengajar berbagai bidang studi yang tertuang didalam kurikulum sekolah. Hal mendasar yang dapat melandasi terjadinya perkembangan intelektual dan akademik anak adalah adanya

perhatian dan kesempatan yang deberikan oleh guru (tenaga di sekolah yang lain) kepada anak CP. Sebab dengan adanya perhatian dan kesempatan akan dapat menumbuhkan kepercayaan diri dan harga diri anak. Sementara rasa percaya diri dan harga diri anak dapat mendorong timbulnya berbagai inisiatif dan alternative tindakan terbaik anak.

2) Membantu perkembangan fisik Sekolah tidak hanya memiliki tanggung jawab mengembangkan

kemampuan intelektual dan akademik saja, melainkan juga usaha-usaha di bidang terapeutik, seperti terapi okupasional, terapi fisik (physio theraphy), dan lain-lain.

3) Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak Para guru disekolah senantiasa harus bekerjasama dengan tenaga rehabilitas lain, utamanya psikolog dalam menanamkan dan

mengembangkan konsep diri anak. Caranya antara lain melalui upaya menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif dan terbentuknya kesehatan mental yang memadai, hubungan sosial antar individu yang menyenangkan diri anak, dan lain-lain.

4) Mematangkan aspek sosial Diantara cara membantu mematangkan aspek sosial anak CP adalah melalui pelibatan anak dalam berbagai aktivitas sekolah, baik dalam aktivitas belajar di kelas, bermain ataupun dalam kegiatan lain terutama yang berbentuk kegiatan kelompok. Memberikan tanggung jawab kepada anak sesuai dengan potensi dan kemampuannya adalah jalan terbaik untuk membantu kematangan aspek sosial anak.

5) Mematangkan moral dan spiritual Anak CP sebagai individu memiliki kebutuhan yang tidak jauh berbeda dengan anak normal. Melalui memperkenalkan berbagai nilai norma

kehidupan, termasuk dalam kegiatan keagamaan adalah sangat membantu kematanan moral dan spiritual.

6) Meningkatkan ekspresi diri Biasanya kretivitas dan ekspresi diri diciptakan melalui kegiatan seni, baik seni tari, seni musik ataupun keterampilan/kerajinan. Sekolah yang mendidik anak CP memiliki tanggung jawab mengembangkan

kemampuan ekspresi diri anak melalui berbagai bentuk kegiatan tersebut.

7) Mempersiapkan masa depan anak Sekolah memiliki peluang yang sangat luas dalam mempersiapkan masa depan anak. Peran sekolah tersebut jelas-jelas dirumuskan dalam kurikulum yang diikuti dan dilaksnakan oleh sekolah tempat anak CP menjalani proses pendidikan formal (persekolahan).

3.2 Perkembangan Layanan Pendidikan Anak Cerebral Palsy Perkembangan layanan pendidikan anak cerebral palsy, beranjak dari pandangan masyarakat terhadap anak luar biasa (ALB) pada umumnya dan anak CP pada khususnya yang secara berangsur-angsur mengalami perubahan dari masa ke masa. Bedasarkan data historis dan pengalaman empirik diketahui bahwa masyarakat pada umumnya memandang anak luar biasa (termasuk anak CP) sebagai manusia yang sama sekali berbeda dengan anak normal. Pandangan ini secara bertahap mengalami perubahan, menuju pada suatu pandangan yang menilai bahwa anak luar biasa tidak berbeda secara mendasar dengan anak normal (M. Amin, 1994). Perubahan pandangan dan sikap masyarakat tersebut mempengaruhi perkembangan layanan pendidikan bagi anak luar biasa pada umumnya, dan anak CP pada khususnya. Demikian juga tenaga professional yang memberikan pelayanan bagi anak luar biasa telah mengalami perubahan, dimana pada awalnya permasalahan CP hanya menarik perhatian orang-orang dari disiplin

ilmu kedokteran, hingga sekarang melibatkan beberapa pihak yang memiliki keahlian yang berbeda, seperti psikolog, ortopedagog, speech therapist, occupational therapist, social worker, dan lain-lain. Perkembangan layanan pendidikan bagi anak CP didahului oleh perintisan pemberian layanan pada anak cacat pada umumnya (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa) oleh Dr. Weithrooff di Bandung tahun 1901. Sedangkan pendidikan anak CP di Indonesia dipelopori oleh Dr. Soeharso di Surakarta tahun 1953, setelah sebelumnya didahului pendirian lembaga yang memberikan pertolongan bagi penderita cacat akibat perang (1946) yang bernama Rehabilitas Centrum. Perkembangan layanan pendidikan bagi anak CP di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Rehabilitas Centrum (RC) di Surakarta yang didirikan oleh Dr. Soeharso tahun 1946. Lembaga ini pada mulanya memberikan perawatan dan rehabilitasi orang-orang dewasa yang menderita cidera pada anggota gerak akibat perang, seperti operasi ortopedi, pemberian alat bantu penguat tubuh (orthosis). Perkembangan berikutnya, berhubung yang datang ke RC juga penderita cacat usia anak-anak, maka pada tanggal 5 Februari 1953 Dr. Soeharso mendirikan Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC).

3.3 Pertimbangan Penempatan Pendidikan Anak Celebral Palsy Agar dapat menempatkan anak CP pada pola/system pendidikan yang sesuai sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan yang optimal pada diri anak. Perlu dipertimbangkan faktor-faktor determinan berikut, sebagai

persyaratan minimal dalam penempatan pendidikan.

3.3.1 Tingkat Kemampuan Intelektual Dan Kecacatan Fisik Anak. Tingkat kemampuan intelektual dan kecacatan fisik

memepengaruhi atau menjadi prasyarat penempatan pendidikan anak CP.

Secara umum, penempatan pendidikan anak CP yang memiliki tingkat intelegensi normal, super normal, dan dull normal (IQ 70 keatas) sebagai berikut : a) Apabial secara fisiknya ringan, maka ia dapat mengikuti pendidikan di sekolah biasa/normal. b) Apabila ia cacat fisik sedang, maka ia dapat mengikuti pendidikan di sekolah khusus CP atau sekolah khusus SLB/D atau SLB D1. c) Apabila ia cacat fisiknya berat, maka tempat sekolah sebaiknya di rumah. Selanjutnya apabila tingkat kemampuan intelektual anak termasuk feebleminded (IQ 40-69), penempatan pendidikannya sebagai berikut : a) Apabila cacat fisik termasuk klasifikasi ringan, maka ia dapat mengikuti pendidikan di sekolah khusus atau pusat-pusat latihan keterampilan. Misalnya di SLB/D1 atau SLB/C atau Pusat Rehabilitas Sosial Bina Daksa yang khusus melatih keterampilan anak tunadaksa (PRSBD). b) Apabila cacat fisiknya termasuk klasifikasi sedang, maka tempat pendidikannya di pusar-pusat latihan kerja khusus, misalnya di PRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta atau kota lain di Indonesia. c) Apabila cacat fisiknya termasuk kalsifikasi berat, maka

penempatan pendidikannya di rumah. Bagi anak CP yang memiliki tingkat kemampuan

intelektualnya termasuk klasifikasi embisil dan idiot (IQ dibawah 40) maka bagaimanapun tingkat kecacatan fisiknya (ringan, sedang, berat), tidak dapat dilakukan pendidikan. Sebaiknya mereka ditampung di pusat-pusat perawatan, karena anak embisil akan memperoleh latihan ADL dan perawatan sepanjang hari.

3.3.2 Kemampuan Mengadakan Penyesuaian Emosi. Kemampuan mengadakan penyesuaian emosi merupakan bagian integral dalam kesenangan dan keberhasilan anak, walaupun hanya dalam kegiatan kerja ringan ataupun kegiatan bermain. Mengapa kemampuan mengadakan penyesuaian emosi menjadi salah satu pertimbangan dalam menempetkan pendidikan anak CP? Hal ini berkaitan dengan perkembangan kepribadian anak dan reaksi emosional anak terhadap kecacatan yang dialami. Anak CP (termasuk anak cacat jenis lain) biasanya memperoleh perlakuan kasih sayang dan perlindungan dari orangtua yang melebihi kasih sayang dan perlindungan yang diberikan orangtua kepada anak normal. Akibatnya perkembangan kepribadian yang terbentuk biasanya cenderung bergantung pada orang lain. Itulah sebabnya anak CP lebih banyak yang kekanakkanakan, perkembangan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan tidak setara dengan perkembangan umurnya.

Perkembangan kemampuan sosialisasi terlambat atau sukar mengadakan adaptasi dengan teman-teman sebaya (Bleck, E.E. Negel, 1982; Samuel A. Kirk, James J. Gallagher, 1989 ). Di Indonesia, aspek kemampuan mengadakan penyesuaian emosi pada anak CP belum banyak menjadi pertimbangan dalam penempatan pendidikan. Hal ini tampaknya lebih banyak

disebabkan oleh belum berkembangkan palayanan pendidikan anak CP di negeri ini. Bagaimanapun juga hal ini penting menjadi pertimbangan guru ataupun psikolog yang melakukan assesmen awal kemampuan anak CP sebelum ditempatkan tingkat

pendidikannya.

3.3.3 Lokasi Tempat Tinggal Dengan Sekolah. Jarak sekolah dengan tempat tinggal anak, kiranya juga menjadi salah satu pertimbangan dalam menempatkan pendidikan

anak CP. Pertimbangannya, berhubung dengan kondisi kecacatan yang dialami anak, kebanyakan anak CP dan anak tunadaksa tipe lain memilik kecenderungan cepat lelah dalam setiap mengikuti kegiatan fisik, termasuk dalam perjalanan dari rumah ke sekolah. Banyak orangtua yang pada awal tahun ajaran baru sangat rajin mengantar anak ke sekolah, bahkan menunggui anak sekolah dan menjemput pulang bersama-sama. Keadaan ini ternyata tidak bertahan lama, karena orangtua memiliki kesibukan lain yang lebih penting, seperti bekerja atau kegiatan lainnya. Akibatnya anak tidak ada yang mengnatar ke sekolah, apabila ia berjalan sendiri, ia sering terlambat, konsentrasi sulit terpusatkan, keadaan emosi meningkat, dan sebagainya. Akibatnya dapat meningkatkan spatisitas/rigiditas/gangguan koordinasi, dan lain-lain. Dampak yang lebih jauh sangat dimungkinkan anak akhirnya keluar dari sekolah atau drop-out. Hal lain yang juga sangat penting adalah apakah sekolah memiliki asrama atau tidak. Bagi sekolah yang memiliki asrama pertimbangan selanjutnya adalah dalam hal biaya asrama, misalnya siapa yang menanggung. Bila orangtua yang menaggung perlu dipertimbangkan orangtua mampu atau tidak, dan

sebagainya. Sebaliknya apabila sekolah tidak memiliki asrama maka perlu dipertimbangkan apakah sekolah/orangtua

menyediakan transportasi anak ke/dari sekolah atau tidak, apabila tersedia selanjutnya bagaimana kemampuan anak memanfaatkan sarana transportsai tersebut, dan sebagainya (F. Eleanor Sconell. 1989). Gambaran yang demikian menunjukkan pentingnya lokasi tempat tinggal dengan sekolah dipertimbangkan sebelum anak mengikuti pendidikan.

3.3.4 Latar Belakang dan Hubungan Sosial Dalam Keluarga. Latar belakang kehidupan dan pergaulan anggota kaluarga setipa hari berpengaruh langsung tehadap pendidikan anak CP. Bagaiman seharusnya sikap keluarga terhadap anak cacat di dalam lingkungannya?. Sudah tentu sikap yang mendidik, yaitu siakap yang wajar tanpa mengurangi dan menambah hak yang seharusnya dimiliki anak. Orangtua memang harus

memeperhatikan kebutuhan anak, tetapi tidak berlebihan. Keluarga memang ada kalanya perlu untuk tidak memenuhi permintaan anak, tidak memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anak, tetapi harus secara wajar dalam arti ada batas. Anak Cp dengan latar belakang pergaulan yang suka memanjakan anak, tepat kiranya diprogramkan untuk dimasukan pada sekolah yang memiliki asrama. Ini tidak berarti ada maksud memutuskan hubungan cinta kasih orangtua terhadap anak, tetapi orangtua belajar memberi kesempatan kepada anak untuk berlatih hidup yang relative mandiri. Karena didalam asrama anak akan diperkenalkan pada tata tertib dan waktu-waktu tertentu diberi kesempatan melaksanakan sesuatu tanpa bantuan orang lain

Demikian pertimbangan-pertimbangan yang dapat diambil untuk membuat keputusan penempatan jenis sekolah bagi anak cerebral palsy.

3.4 Sistem Pendidikan Di Indonesia (dalam penjelasan umum UU No.2/1989) dikenal ada dua jalur pendidikan sekolah dan di luar sekolah. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jakur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam dan oleh keluarga. Pendidikan keluarga disebut pendidikan informal, pendidikan luar sekolah disebut pendidikan non-formal, dan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah disebut pendidikan formal.

Ketiga jalur pendidikan tersebut, kiranya semuanya dapat diikuti oleh anak cerebral palsy, karena : a. Tidak semua anak cerebral palsy mampu mengikuti pendidikan sekolah berhubung dengan tingkatan kemampuan fisik dan mental yang dimiliki masing-masing anak. b. Jalur pendidikan sekolah yang sekarang masih diikuti berbagai kelemahan, misalnya anak setelah lulus belum dapat mandiri dalam ADL. c. Sistem pendidikan yang baik, ialah pendidikan yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat. d. Pendidikan luar sekolah dan keluarga sudah saatnya dikedepankan dalam percaturan pendidikan bagi anak CP, mengingat isi pendidikannya cenderung bersifat praktis, sehingga memungkinkan terjadinya kemandirian anak. Meskipun muncul beberapa alasan di atas, selama ini pengakuan masyarakat terhadap jalur pendidikan sekolah masih begitu mendominasi.

3.4.1 Pendidikan Keluarga Pendidikan keluarga merupakan salah satu alternative tempat berlangsungnya pendidikan bagi anak CP. Pelaksanaan pendidikan keluarga dapat berlangsung serempak bersama-sama pendidikan luar sekolah maupun pendidikan formal. Dalam pendidikan keluarga setidaknya ada 12 teknik yang dapat dilakukan oleh orangtua, ialah : a. Memberi contoh dan menyuruh anak CP mencontohnya, baik dalam tingkahlaku maupun melalui dongeng-dongeng. b. Membiasakan anak berbuat dan bersikap yang baik, karena kebiasaan dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak. c. Memberikan dorongan dan motivasi, rangsangan, penjelasan tertentu kepada anak agar timbul minat, semangat, kemauan, dan usaha-usaha positif lainnya.

d. Memberikan

penjelasan

tertentu

yang

berguna

untuk

memperluas pengalaman, memenuhi kebutuhan dan hasrat ingin tahu anak. e. Menyuruh dan melarang melakukan sesuatu. f. Mendiskusikan dengan anak walaupun masalahnya bagi orangtua sederhana. g. Memberi tugas dan tanggung jawab walaupun hanya sekedar membaca doa sebelum tidur. h. Member bimbingan. i. Mengajak berbuat sesuatu walaupun kondisi kecacatannya menghambat, akan tetapi orangtua perlu memulai hal yang ringan dan yang telah dimampui anak. j. Member kesempatan kepada anak untuk mencoba sesuatu walaupun kegiatan itu sangat sederhana, seperti melakukan gerak tertentu untuk memperbaiki posisi/sikap tubuh. k. Menciptakan situasi yang baik, meskipun orangtua sedang menghadapi masalah sekalipun. l. Mengadakan pengawasan dan pengecekan atas tugas yang menjadi tanggung jawab anak. Materi pendidikan keluarga sebenarnya sangatlah luas, seluas kehidupan manusia itu sendiri. Akan tetapi karena pendidikan keluarga sangat mendasari pendidikan selanjutnya. Di dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor 01126/U/1991 tentang Kurikulum Pendidikan Luar Biasa, disebutkan bahwa yang termasuk cakupan pendidikan keluarga adalah pendidikan agama, nilai budaya, niali susila dan norma perilaku. Sementara itu, Musjafak Assajari (1995)

menyatakan bahwa materi pendidikan anak CP di rumah terutama (1) melatih, mengawasi dan mengoreksi gerakan-gerakan anak, seperti gerakan pada posisi telentang, telungkup/tengkurap, miring, duduk, dsb. (b) membimbing anak dalam ADL.

3.4.2 Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan luar sekolah hakekatnya berupa kegiatankegiatan yang teratur dengan tujuan memberi pendidikan sekolah, dengan kegiatan-kegiatan yang pelaksanaannya satu sama lain tidak tentu saling berkaitan, kurang jelas batas-batas struktur kelembagaan, tidak terikat kurikulum tertentu, norma-norma akademis, ujian-ujian, dan lain-lain. Karena pendidikan luar sekolah bukan jalur pendidikan yang banyak memiliki keterkaiatan, membuat jalur pendidikan luar sekolah memiliki kegunaan dan daya-suai yang luas. Anak CP yang dapat ditampung dalam jalur pendidikan luar sekolah, antara lain : a. Belum pernah masuk sekolah sama sekali dari berbagai jenjang pendidikan yang ada. b. Pernah sekolah, tetapi tidak selesai/drop-out, dengan berbagai bentuk latar belakangnya. c. Telah selesai mengikuti pendidikan sekolah jenjang tertentu, tetapi belum dapat mandiri, belum memiliki keterampilan tertentu, dll. Idealnya, pendidikan luar sekolah bagi anak CP mencakup materi-materi sebagai berikut : a. Pendidikan pengetahuan dasar untuk menjadikan anak terbatas dari buta angka, aksara, dan pengetahuan dasar. b. Pendidikan kesejahteraan keluarga, seperti ilmu kesehatan, ilmu gizi, kepandaian rumah tangga dan mengasuh anak, pemeliharaan perumahan, keluarga berencana/kependudukan, dsb. Sudah tentu materi disesuikan dengan perkembangan usia anak. c. Pendidikan kemasyarakatan, seperti pembangunan lingkungan sekitar, kegotongroyongan, dll.

d. Kegiatan-kegiatan yang memiliki makna teraputik dengan sistem rehabilitasi sumberdaya masyarakat. e. Pendidikan kejuruan, seperti kerajinan, pertukangan, computer, dll.

3.4.3 Pendidikan Sekolah Dengan berlakunya Undang-Undang R.I No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah R.I No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, termasuk pendidikan anak CP perlu disesuaikan dengan UU dan/atau PP tersebut. Pasal 38UU.No.2/1989 menegaskan bahwa : pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 11:4 ditegaskan bahwa pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang

menyandang kelainan fisik dan/atau mental. Bentuk satuan pendidikan PLB terdiri dari Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), dan bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri (PP.No.72/1991 ps.4). pada pendidikan prasekolah, satuan pendidikan luar biasa (TKLB) (PP.No.72/1991 ps.6).

Dari uraian diatas jelaslah bahwa pendidikan sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (disamping pendidikan keluarga dan non-formal) menjadi salah satu alternative jalur pendidikan bagi anak cerebral palsy.

3.5 Pola Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Menurut Kurikulum PLB 1994 Untuk menjamin kesesuaian program pendidikan formal, khususnya PLB dengan keadaan kebutuhan lingkungan, kemampuan peserta didik serta efektivitas dan efisiensi, maka penyelenggaraan pendidikan CP dapat memilih pola (adaptasi dari pola penyelenggaraan PLB dalam Kurikulum PLB 1994) sebagai berikut : 1. Pendidikan sekolah anak CP dapat diselenggarakan secara bersama-sama dengan bergabung berbagai jenis kelainan lain. Baik untuk satuan pendidikan tingkat TKLB, SDLB, SMPLB, maupun tingkat SMALB, tergantung

kesesuaiannya dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.

Keadaan dan kebutuhan lingkungan yang dimaksud misalnya pada suatu daerah (katakanlah sebuah kecamatan) berdasarkan hasil identifikasi diketemukan banyak anak luar biasa dari berbagai jenis kelainan, termasuk anak CP. Sementara di daerah tersebut tersedia guru PLB dan sarana pendidikan luar biasa lain, sehingga memungkinkan pendirian sekolah (PLB), maka pola pendidikan anak CP ini dapat diselenggarakan. Sudah tentu juga dipertimbangkan faktor-faktor lain yang ada di daerah setempat.

2. Pendidikan anak CP menurut satuan pendidikan tertentu. Apabila pada pola pertama anak CP dididik bersama anak cacat dari jenis lain pada semua satuan pendidikan yang ada, maka pola kedua ini terbatas hanya untuk satuan pendidikan tertentu, misalnya hanya satuan pendidikan TKLB saja, SDLB saja, dan seterusnya. Pola kedua juga masih bercirikan adanya gabungan anak CP dengan anak cacat jenis lainnya (tunadaksa, tunanetra, tunarungu, dst).

3. Pendidikan anak CP pada lembaga pendidikan yang khusus mendidik anak CP.

Pola pendidikan ketiga bercirikan sebagai lembaga pendidikan khusus anak CP dengan menyediakan beberapa satuan pendidikan yang ada, misalnya TKLB-CP, SDLB-CP, dan seterusnya.

4. Pendidikan anak CP pada lembaga pendidikan khusus yang hanya menampung anak CP menurut satuan pendidikan tertentu saja. Artinya, lembaga pendidikan tersebut hanya mendidik anak CP (tidak ada tipe kelainan lain) yang berbeda pada jenjang satuan pendidikan yang tertentu saja (misalnya jenjang TKLB-CP, maka tidak ada SDLB-CP ataupun SMPLBCP dalam lembaga yang sama).

5. Bagi anak CP yang memiliki kecerdasan normal/super normal dengan tingkat kecacatan fisik yang ringan, dapat didik bersama dengan anak normal melalui pendidikan terpadu. Hal ini sejalan dengan ps. 18 ayat (1) angka 5 PP No.72 tahun 1991 yang menyatakan bahwa peserta didik mempunyai hak pindah ke sekolah yang sejajar atau melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan kelainan yang disandang dan persyaratan penerimaan siswa pada sekolah yang hendak dimasuki.

Pola penyelenggaraan pendidikan sekolah bagi anak CP tersebut sampai saat ini masih lebih bersifat kesempatan yang diberikan oleh peraturan perundangan di Indonesia, karena untuk memindahkan anak CP ke sekolah biasa (reguler) tampaknya masih ditemui beberapa hambatan dengan kesediaan sekolah biasa, kemampuan guru mendidik anak CP, peralatan sekolah, maupun sikap masyarakat sekolah yang ada (kepala sekolah, guru, murid, dll).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1990), Undang-Undang R.I No. 2 Tahun 1989, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Gunung Jati. ______, (1994), Peraturan Pemerintah R.I No. 72 Tahun 1991, Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Depdikbud. RI,, (1994) : Kurikulum PLB 1994. Muhammad Amin, (1994), Ortopedagogik Umum I, Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud R.I. Musjafak Assjari, (1995), Ortopedagogik Anak Tunadaksa, Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud RI. Salim Ch, (1995), Ortopedagogik Anak Cerebral Palsy, Surakarta: UNS Press. _______, (1994), Kurikulum PLB 1994: Pedoman Pelaksanaan Rehabilitasi, Jakarta: Ditdasmen. Depdikbud. _______, (1990), Ortopedagogik Anak Tunadaksa, Surakarta: UNS Perss. Sunardi, (1993), Pengembangan PLB di Indonesia: JRR No.7 Th. 2 Okt-Des 1993. Soeharso, (1959), Cerebral Palsy, Surakarta: YPAT.

You might also like