You are on page 1of 19

PROSES PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN DRAINASE SECARA TERPADU BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECODRAIN)

Jun 18, '08 12:26 AM for everyone

4.1. Perencanaan Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) adalah tahapan awal pengelolaan sebagai upaya untuk menyusun rencana detil dan usulan program investasi yang komprehensif dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, berdasarkan kajian dari berbagai aspek sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu berawawasan lingkungan. Perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dimaksudkan untuk memaksimalkan segala upaya dan potensi di kawasan/lokasi sehingga rencana pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dapat terlaksana secara berkesinambungan. Kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) meliputi: a) Identifikasi Masalah dan Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani. b) Penyusunan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Penyusunan Program Investasi. c) Penyusunan Studi Pemberdayaan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (3R). d) Penyusunan Studi Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS). e) Penyusunan Perencanaan Teknis ( Detail Engineering Design ) untuk: a. Saringan Sampah dan bangunan pelengkapnya; dan b. Unit perangkap dan pengolahan sedimen; c. Unit pengolahan air limbah dan bangunan pelengkapnya. f) Penyusunan Dokumen Usaha Pengelolaan Lingkungan (UKL/UPL). 4.1.1. Identifikasi Masalah Kualitas Air, Sampah, Sedimen dan Pengelolaan Drainase Perkotaan Tahap awal dalam proses perencanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) adalah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah dalam pengelolaan Drainase di kawasan perencanaan (perkotaan). Keluaran dari tahapan ini adalah teridentifikasinya permasalahan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam pelaksanasn kegiatan selanjutnya. Proses identifikasi permasalahan ini dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan atau Satker (SNVT) Pengembangan PLP di Provinsi. Langkah-langkah kegiatan identifikasi dan perumusan masalah dalam pengelolaan Drainase di kawasan perencanaan (perkotaan) adalah meliputi kegiatan sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data dan informasi kondisi kualitas air permukaan (sungai, waduk, situ, dan pantai) dan kategori indeks pencemaran air (IP); 2. Mengumpulkan data dan informasi permasalahan sampah dan sedimen, volume timbulan sampah perairan di saluran Drainase/sungai; 3. Melakukan pengumpulan data informasi kondisi pengelolaan Drainase, persampahan dan air limbah kota (sistem, teknis operasional, institusi, peraturan, pembiayaan serta peran masyarakat dan swasta); 4. Merumuskan masalah dalam pengelolaan Drainase (masalah banjir, genangan, Drainase, sampah sungai dan pencemaran air). Rumusan ini berdasarkan: a. Penyebab bencana pencemaran air, banjir/genangan dan sampah perairan (spesifik), b. Skala/besaran akibat (indeks pencemaran air, timbulan sampah perairan, kesehatan masyarakat, penyebab banjir/genangan), serta c. Sumber sampah sungai dan pencemaran air dan lokasi banjir/genangan dan pencemaran. 4.1.2. Penetapan Kawasan/Lokasi Prioritas ditangani Penetapan kawasan/lokasi prioritas ditangani adalah langkah lanjutan dari identifikasi masalah pengelolaan Drainase. Dimana pada tahapan ini diharapkan dapat ditetapkan kawasan/lokasi sebagai prioritas di tangani dengan pendekatan secara terpadu. Yang dimaksud kawasan/lokasi adalah kawasan/lokasi di dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan atau sistem pengaliran saluran Drainase (DPS), yang tentunya dengan pendekatan penanganan secara kuratif sebagai respon tindakan darurat yang penanganannya dimulai dari hilir, dan penanganan preventif yang dimulai dari sumber atau dari hulu.

Dalam penetapan kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan disandarkan pada hasil penilaian terhadap berbagai kriteria, (tabel variabel, indikator, parameter serta nilai setiap parameter untuk kriteria terlampir). Kriteria penilaian yang digunakan untuk menilai usulan kawasan/lokasi dalam DAS/DPS yang akan ditangani adalah: 1. Variabel Kondisi Kualitas Air, dengan indikator yang dinilai adalah Indeks Pencemaran Air (Berat, Sedang, dan Ringan) dan kelas mutu air; 2. Variabel sampah dan sedimen perairan, dengan indikator timbulan sampah perairan, komposisi dan karakteristik sampah sungai, sumber sampah perairan, volume sedimentasi, komposisi dan karakteristik sedimen. 3. Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai, dengan indikator klasifikasi sungai/saluran Drainase dan luas daerah aliran sungai (DAS/DPS); 4. Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase, dengan indikator kondisi prasarana dan sarana Drainase (saluran, waduk pengendalian banjir, rumah pompa dan pompa banjir, pintu air, saringan sampah, bangunan perlintasan, stasiun pengamatan banjir, dsb), kondisi prasarana dan sarana sanitasi (layanan persampahan dan air limbah) dan indikator kondisi sungai (flora dan fauna, morfologi sungai, tingkat kerusakan); dan 5. Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta, dengan indikator komitmen pemerintah kabupaten/kota (sharing pembiayaan, perangkat hukum/peraturan daerah, kondisi penegakan hukum/peraturan bidang lingkungan terkait keairan, pembebasan lahan dan penanganan kawasan) dan indikator peran masyarakat serta swasta (kesadaran mengelola sampah, kesadaran mengelola air limbah dan kesadaran berinvestasi). Prioritas kawasan/lokasi yang akan ditangani dengan model pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) ditetapkan berdasarkan urutan sebagai berikut: 1. Prioritas Pertama Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi; Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan dengan nilai skoring tinggi; Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring tinggi; Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring sedang; Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring sedang; Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta dengan nilai skoring tinggi. 2. Prioritas Kedua Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring tinggi; Variabel timbulan dan komposisi sampah dan sedimen perairan dengan nilai skoring tinggi; Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring sedang; Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring rendah; Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring rendah; Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta dengan nilai skoring sedang. 3. Prioritas Ketiga Variabel Banjir, Genangan dan Drainase dengan nilai skoring sedang; Variabel Kondisi Kualitas Air dengan nilai skoring sedang; Variabel Kondisi saluran Drainase dan sungai dengan nilai skoring rendah; Variabel Kondisi Sarana dan Prasarana Drainase dengan nilai skoring rendah; Variabel Komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan Peran Masyarakat serta Swasta dengan nilai skoring sedang. 4.1.3. Tahapan Perencanaan Dalam tahapan perencanaan terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) Penyusunan Studi kelayakan (FS/feasibility study) 2) Penyusunan Detil perencanaan teknis (DED) 3) Pengumpulan Data-data 4) Penyiapan Disain

Dalam penyusunan studi kelayakan (feasibility study) dan Detil perencanaan teknis (DED) pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) agar mengacu pada studi-studi terdahulu di lokasi/kawasan perencanaan (DAS/DPS), terutama pada rencana induk (masterplan) atau outline plan Drainase kota, rencana induk (masterplan) atau outline plan pengelolaan persampahan (PTMP) kota, rencana induk (masterplan) atau outline plan pengelolaan air limbah kota, studi PROPER dan PROKASIH, serta studi-studi terkait seperti; RTRW Kota/Kabupaten, RDTRK, DED Drainase, air limbah (terpusat maupun setempat) dan Persampahan. 4.1.3.1. Penyusunan Studi Kelayakan (FS) Penyusunan FS dan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya harus dikonsultansikan dengan pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait. Lingkup kegiatan penyusunan FS adalah: A. Tinjauan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan a) Tinjauan perkotaan (kebijakan umum pembangunan kota/kabupaten, tata ruang kota, kecenderungan pengembangan kota/kabupaten, tinjauan fisik kota, arah pengembangan prasarana sarana kota, tinjauan kependudukan, tinjauan sosial ekonomi perkotaan dan tata ruang daerah aliran sungai). b) Tinjauan kawasan/lokasi (tinjauan tata guna lahan daerah aliran sungai, tinjauan kepadatan penduduk daerah aliran sungai, tinjauan prasarana dan sarana kota di daerah aliran sungai, tinjauan ketutupan lahan di daerah aliran sungai, tinjauan kondisi fisik daerah aliran sungai, sosial ekonomi di daerah aliran sungai, klimatologi di daerah aliran sungai). B. Tinjauan Masterplan/Outline Plan Pengelolaan Drainase, Persampahan dan Air Limbah Kota a) Permasalahan banjir, genangan dan Drainase, b) Permasalahan persampahan dan sampah sungai, c) Permasalahan pengelolaan air limbah, d) Sistem Drainase dalam suatu DAS/DPS, e) Sistem pengelolaan persampahan, f) Sistem pengelolaan air limbah, g) Rekomendasi masterplan/outline plan. C. Aspek Teknis a) Kondisi eksisting pengelolaan Drainase, persampahan dan air limbah kota, b) Kondisi eksisting kesehatan masyarakat, lingkungan (ekosistem sungai, waduk/situ, danau, pesisir, pantai dan laut) dan kualitas air permukaan, c) Permasalahan banjir, genangan, Drainase, sampah sungai dan pencemaran sungai, d) Pengolahan dan analisa data (analisa kebutuhan, sistem pengelolaan Drainase, sampah dan air limbah di DAS/DPS, dan alternatif pemecahan, pemilihan serta penetapan teknologi), e) Rekomendasi teknis (rekomendasi untuk di wilayah hilir, tengah dan hulu/sumber). f) Sistem pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan yang meliputi pengelolaan Drainase, sampah sungai dan air limbah di suatu DAS/DPS pada setiap wilayah/segmen di hilir, tengah dan hulu/sumber. D. Aspek Hukum dan Peraturan a) Peraturan dan kebijakan daerah, b) Kondisi eksisting penegakan hukum/penertiban terkait dengan wilayah keairan (sungai dan Drainase), c) Permasalahan yang dihadapi, d) Analisa peraturan dan kebijakan, e) Rekomendasi aspek hukum peraturan dan kebijakan, f) Hukum peraturan dan kebijakan yang dibutuhkan. E. Aspek Kelembagaan a) Kondisi eksisting: keberadaan institusi/kelembagaan pengelola Drainase, persampahan, dan air limbah, b) Permasalahan yang dihadapi, c) Analisa permasalahan dan rekomendasi, d) Sistem kelembagaan yang dibutuhkan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan. F. Aspek Keuangan dan Pembiayaan a) Kondisi eksisting: kemampuan pembiayaan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam investasi pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan dan melakukan operasi serta pemeliharaan, b) Permasalahan yang dihadapi,

c) Analisis permasalahan, kelayakan investasi, operasi dan pemeliharaan serta rekomendasinya, d) Sistem pembiayaan yang dibutuhkan untuk investasi, operasi dan pemeliharaan. G. Aspek Peran Masyarakat dan Swasta a) Kondisi eksisting: pengelolaan sampah dan air limbah oleh masyarakat di daerah pengaliran sungai/saluran, pengelolaan sampah dan air limbah domestik oleh swasta (industri, perdagangan dan jasa) di daerah pengaliran sungai/saluran dan kesadaran masyarakat dan swasta dalam pengelolaan Drainase, sampah dan air limbah. b) Permasalahan yang dihadapi, c) Analisa permasalahan dan rekomendasi, d) Bentuk dan peran masyarakat dan swasta yang dikehendaki. H. Penetapan Model Pengelolaan yang akan dipakai Penetapan model pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan adalah berdasarkan kondisi tipologi kota dan segmen/wilayah yang akan ditangani. Dimana pada tahapan ini harus sudah mulai dikonsultansikan dengan pihak-pihak terkait baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Adapun kondisi tipologi kota dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut: Perkotaan dengan tinggi daratan < tinggi muka air laut. Perkotaan dengan tinggi daratan > tinggi muka air laut. Perkotaan dengan topografi/dataran tinggi. Sedangkan berdasarkan segmen/wilayah yang akan ditangani adalah: Kawasan/segmen hilir. Kawasan/segmen tengah. Kawasan/segmen hulu atau di sumber. Penjelasan rinci menyangkut kondisi tipologi akan dijelaskan pada bab 3. I. Penetapan Prioritas dan Pemilihan Alternatif Teknologi Penetapan prioritas lokasi/kawasan dalam suatu daerah aliran sungai atau daerah pengaliran saluran adalah berdasarkan hasil penilaian melalui skoring berbagai variabel, indikator dan parameter yang telah diberi bobot/skor. Hasil pembobotan dibandingkan dengan prioritas dalam poin 4.1.2. Tabel variabel, indikator dan parameter seperti disajikan pada lampiran pedoman. Pemilihan alternatif teknologi adalah berdasarkan volume dan karakteristik fisika-kimia-biologi yang akan ditangani, kemampuan pembiayaan pusat, daerah, swasta dan masyarakat, ketersediaan dan kemampuan SDM, pendekatan teknologi yang akan dipakai (teknologi tinggi, teknologi tepat guna, teknologi ramah lingkungan) dan segmen/wilayah mana yang akan ditangani (hilir, tengah, hulu dan sumber). 4.1.3.2. Penyusunan Detail Engineering Design (DED) Penyusunan DED merupakan tahapan kegiatan penyusunan Rencana Detil Teknis berdasarkan studi kelayakan dan program investasi pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) yang telah ada serta mengacu pada Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan ketentuan teknis yang telah ditetapkan. Penyusunan DED melalui tahapan kegiatan yang setiap tahapnya harus dikonsultansikan dengan pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait. Lingkup kegiatan penyusunan DED adalah: 1) Tahap Persiapan; a. Program kerja penyusunan DED yang berkaitan dengan metode, kegiatan, jadwal pelaksanaan dan organisasi personil, peralatan dan biaya yang diperlukan. b. Hasil survei, pengumpulan data dan informasi lapangan (termasuk hasil penyelidikan tanah, pengukuran topografi) dan membuat interpretasi secara garis besar terhadap KAK dan hasil konsultansi pemerintah Kabupaten/Kota. 2) Tahap Penyusunan Rencana Detail dengan output; a. Rencana teknis dan struktur prasarana dan sarana, beserta uraian konsep, studi pemilihan model dan teknologi, perhitungan teknis (pekerjaan sipil, pekerjaan mekanikal dan elektrikal, lanskap) dan struktur bangunan sipil (bila ada); b. Metode dan rencana pelaksanaan kegiatan secara rinci; c. Penyusunan Pentahapan Pembangunan dan/ atau Pengadaan Peralatan;

d. Dokumen lelang yang terdiri dari gambar-gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat (RKS), dan rincian volume pekerjaan (BoQ). e. Rincian Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang meliputi jenis pekerjaan, volume, harga satuan, analisa harga satuan pekerjaan serta rekapitulasinya; f. Format-format perijinan (apabila perlu); g. Laporan detil perencanaan teknis (DED). 3) Tahap Pelelangan; a. Membantu proyek/panitia pengadaaan kontraktor, menyusun dokumen pelelangan dan menyusun program pelaksanaan pelelangan. b. Membantu panitia pengadaaan pada waktu penjelasan pekerjaan termasuk menyusun berita acara penjelasan pekerjaan, evaluasi penawasan, menyusun kembali dokumen pelelangan dan melaksanakan tugas-tugas yang sama apabila terjadi lelang ulang. 4) Tahap Penyusunan Petunjuk Penggunaan, Pemeliharaan dan Perawatan (SOP); a. Penyusunan buku petunjuk penggunaan pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana. 5) Tahap Sosialisasi kepada Semua Pihak yang Terkait; 6) Tahap Pengawasan Berkala; a. Memeriksa secara berkala kesesuaian pelaksanaan pekerjaan dengan rencana, b. Melakukan penyesuaian gambar dan spesifikasi teknis pelaksanaan bila ada perubahan, c. Memberikan rekomendasi tentang penggunaan bahan; dan d. Membuat laporan akhir pengawasan berkala. 4.1.4. Disain Elemen Ecodrain A. Saringan Sampah manual dan otomatis 1. Pendekatan Analisa Jumlah Sampah yang masuk ke dalam sungai (Sistem DAS)[1] Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan, dan fasum dan fasos di perkotaan dan perdesaan tidak semua dapat terangkut ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi dengan kegiatan 3R dan komposting ataupun di timbun/dibakar, ternyata masih ada sebagian dari prosentase sampah tersebut yang dibuang ke perairan (sungai, danau dan pantai/laut). Dari hasil penelitian di bebarapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya didapatkan jumlah prosentase sampah yang cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran Drainase, yang secara signifikan juga menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana Drainase dan pengendalian banjir karena dapat mengurangi kapasitas saluran serta mengganggu operasional fungsi pintu air dan instalasi pompa banjir. Jenis sampah yang sering dibuang ke sungai dan saluran-saluran Drainase tersebut diantaranya adalah sampah basah seperti sampah sisa-sisa makanan dan sayur-mayur, buah-buahan; sampah kering seperti kayu, plastik, pakaian, kasur, dan bantal, logam, kaca, keramik; sampah balokan seperti batang pohon tumbang, balok kayu; sampah binatang seperti bangkai kucing, bangkai ayam, bangkai anjing, dan bangkai tikus; dan sampah industri pertanian dan perkebunan seperti sisa-sisa pestisida dan herbisida. Tempat-tempat yang potensial menjadi sumber sampah sungai antara lain: 1. Pasar, tempat-tempat komersil di sepanjang aliran sungai (termasuk dalam DAS Sungai). 2. Pabrik-pabrik, bengkel dan industri (kecil, menengah, dan besar) di sepanjang aliran sungai. 3. Rumah tinggal, permukiman sekolah dan bangunan-bangunan umum di sepanjang aliran sungai yang tidak dilindungi pagar pengamanan sungai. 4. Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai. 5. Jalan, lapangan serta pohon-pohon yang berada sepanjang aliran sungai. Sampah-sampah tersebut ada yang kondisi terapung, melayang dan berada di dasar saluran/sungai/waduk. Hal ini terjadi tergantung pada sifat-sifat fisik sampah (berat jenis, permukaan dlsb), yang mana akan menentukan konsep penanganan pemeliharaan dan operasional sarana (O&M) dan prasarana Drainase. Sampah-sampah tersebut selain menyebabkan dibutuhkannya kegiatan O&M seperti kegiatan pengerukan, pembuatan screen/floating screen, juga menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan prasarana dan sarana Drainase dan pengendalian banjir. Perhitungan Laju Timbulan Sampah Sungai (i). Faktor-faktor Timbulan Sampah Sungai

Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai yang timbul di daerah perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari jumlah sampah yang ada secara keseluruhan. Hanya sebagian kecil dari produksi sampah kota yang masuk ke dalam sistem aliran sungai. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : Adanya pola angkutan sampah darat oleh Dinas Kebersihan/Pemda/Pemkot. Adanya pola angkutan sampah darat oleh swadaya masyarakat setempat. Adanya pemulung sampah yang memisahkan sampah-sampah logam, plastik, kayu dan lain-lainnya untuk daur ulang. Masih terdapatnya lahan-lahan terbuka yang dapat menampung dan menyimpan sampah dan secara alami dapat direduksi. Masih terdapatnya daeran sempadan sungai yang terbuka dan belum dipagar sehingga masih banyak penduduk yang membuang sampah. Kesadaran sebagian besar masyarakat untuk tidak membuang sampah ke dalam sungai. Tempat-tempat yang menjadi sumber sampah di sepanjang sistem aliran sungai adalah: Permukiman kumuh/liar disepanjang sungai. Permukiman padat disepanjang aliran sungai. Lokasi-lokasi pasar, tempat-tempat komersial di sepanjang aliran sungai. Pabrik-pabrik dan industri di sepanjang aliran sungai. Fasilitas-fasilitas umum di sepanjang aliran sungai. Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai. Jalan-jalan lingkungan, jalan setapak, lapangan, taman serta pohon-pohon yang berada disepanjuang aliran sungai. (ii). Produksi Sampah Sungai Produksi sampah sungai terhadap sampah darat jika dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai berikut: Qss = Qsd x Kss.............................................................. (4.1) Dimana : Qss = Quantitas sampah sungai Qsd = Quantitas sampah darat Kss = Koefisien timbulan sampah sungai (0,2 - 0,6%) Produksi sampah untuk suatu kawasan pemukiman yang berada dipinggir aliran sungai/kali dihitung berdasarkan banyaknya populasi yang menghasilkan sampah setiap harinya, jika dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai berikut: Qss = (P x Qsd) +Qnd...................................... (4.2) Dimana: Qss = Quantitas sampah sungai P = Populasi penduduk sepanjang aliran sungai Qsd = Produksi sampah domestik (liter/orang/hari) Qnd = Produksi sampah non domestik (daun, pohon, jalanan) 2. Penanganan Sampah dengan Saringan Mesin Otomatis Upaya yang dilakukan dalam penanganan sampah sungai salah satunya dengan trash rake (Alat Penangkap/Penyaring Sampah). Trash rake digolongkan dalam dua kategori, kategori ini adalah : Trash rake kabel hoist/ Cable hoist trash rake Trash rake mekanikal/ Mechanical trash rake. 1. Trash Rake Kabel Hoist/Cable Hoist Trash Rake Prinsip kerja trash rake kabel hoist ini menggunakan kabel/w/re rope untuk menggerakan trash rake (pergerakan naik dan turunnya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope). Pada trash rake kabel hoist ini ada 2 type yaitu: a. Trash rake tan pa rel pengarah (Unguided cable hoist trash rake) Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu menggantung bebas, pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti terlihat pada Gambar 5.16). b. Trash rake dengan rel pengarah (Guided cable hoist trash rake)

Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake / garu dilengkapi dengan rel pengarah yang letaknya di kedua belah sisi, sehingga lebar rake bisa lebih besar dan rake lebih stabil. Sedangkan pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti terlihat pada Gambar 7). Gambar 17. Unguided cable hoist trash rake Gambar 18. Guided cable hoist trash rake 2. Trash Rake Mekanikal/Mechanical Trash Rake Trash rake sistem mekanikal ini menggunakan rantai, lengan, hydraulic cylinder dan gerigi untuk menggerakan trash rake (untuk pergerakan naik dan turun). Pada trash rake mekanikal ini ada 4 tipe yaitu: a. Climber Trash Rake Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: pergerakan rake diperoleh dari motor penggerak disambung dengan socket dan chain, pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh socket melalui chain. b. Elbow Arm Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: rake dilengkapi dengan dua lengan, sedangkan bagian ujungnya dilengkapi dengan backhoe untuk pengambilan sampah. Pergerakan naik dan turun bagian lengan dan backhoe dengan system mekanis atau hydraulic. c. Sliding Arm Trash Rake Prinsip kerja sliding arm trash rake ini yaitu: trash rake dilengkapi dengan sliding arm, hydraulic cylinder dan chain. Pergerakan naik dan turun bagian sliding arm digerakan oleh chain sedangkan posisi kemiringan trash rake digerakan dengan system hydraulic. Dudukan unit sliding arm trash rake bisa dipilih fixed atau movable dilengkapi dengan rail. B. Bioremediasi Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat toksisitas, mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah terkontaminasi menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila menggunakan makroflora (tumbuhan) disebut phytoremediasi. Kontaminan yang biasa ditemui pada sumber air dan tanah terkontaminasi adalah kontaminan organik dan beberapa kontaminan anorganik. Kontaminan organik berbahaya ditemukan hampir pada seluruh limbah domestik, perkotaan, pertanian, industri dan kegiatan militer. Sebagai contoh, pestisida dapat masuk kedalam residu tanaman penutup tanah (crop) seperti rumput, lumpur limbah perkotaan, pembibitan, dan tanah melalui penggunaannya pada kegiatan pertanian, perumahan, maupun industri. Kontaminan organik lainnya seperti PCBs (Poly Chlorinated Biphenyls) dan PAHs (Polycylic Aromatic Hydrocarbons) dapat masuk kedalam tanah dari aktivitas pembakaran bensin atau dari lumpur limbah domestik dan lainnya. Hidrokarbon akan menghambat pertumbuhan bakal tanaman dan perkecambahan walau tidak ditemukan adanya akumulasi hidrokarbon didalam tanaman. Demikian pula dengan penggunaan bahan peledak atau komponen peledak didalam tanah pada aktivitas militer, menimbulkan kontaminan berupa perchlorate yang merupakan konstituen dari propellan, bahan peledak, dan bateray militer. Perchlorate adalah kontaminan yang larut didalam air dan dapat mencemari sumber air atau diserap oleh tumbuhan serta berdampak langsung bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Kontaminan anorganik seperti beberapa ion logam berat yaitu arsenik (As), timbal (Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg) pada kenyataannya berbahaya bagi kesehatan manusia dan kelangsungan kehidupan di lingkungan (USDA NRCS, 2000). Walaupun pada konsentrasi yang sedemikian rendah efek ion logam berat dapat berpengaruh langsung hingga terakumulasi pada rantai makanan. Seperti halnya kontaminan organik yang telah dijelaskan sebelumnya, logam berat dapat ditransfer dalam jangkauan yang sangat jauh di lingkungan, selanjutnya berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan akhirnya berpengaruh terhadap kesehatan manusia walaupun dalam jangka waktu yang lama dan jauh dari sumber polusi utamanya. Suatu organisme akan kronis apabila makanan yang dikonsumsinya mengandung logam berat. Proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap peningkatan kontaminan tersebut karena pemasukan utama kontaminan logam kedalam lingkungan ditemukan dari kegiatan perkotaan dan pembuangan lumpur limbah industri komoditi seperti industri tekstil, pestisida, kulit, plastik, pengumpulan besi tua, pengelasan dan lain sebagainya.

Kontaminan organik berbahaya dan residu logam atau produk-produk samping lainnya diatas dapat masuk kedalam tumbuh-tumbuhan, tanah, dan sedimen dari proses-proses terkait dengan kegiatan domestik, perkotaan, pertanian, industri dan militer. Gambar 19. Proses Bioremediasi oleh Mikroorganisme[2] Teknik bioremediasi dan atau phytoremediasi memang banyak digunakan didalam upaya pemulihan kondisi sumber air dan tanah terkontaminasi karena terbukti lebih murah biayanya dan efektif dibandingkan dengan teknik remediasi (pemulihan) menggunakan bahan kimia. Pada prinsipnya, proses bioremediasi digunakan untuk membuat kontaminan (senyawa) organik menjadi stabil melalui proses penguapan dan reduksi konsentrasi kandungannya. Dimana kontaminan organik berbahaya akan terurai (degradasi) secara biologis, menjadi senyawa lain yang lebih sederhana seperti karbon dioksida, metan, air, garam anorganik, biomassa dan hasil lain yang sangat sederhana komposisinya (Citroreksoko, 1996). Sedangkan logam-logam berat dalam sumber air atau tanah terkontaminasi yang berasal dari limbah berbagai pabrik dapat didegradasi keberadaannya dengan teknik bioremediasi ini melalui proses absorbansi biologis oleh mikroorganisme (mikroalga). Pengembangan teknik bioremediasi untuk proses minimasi bahkan degradasi bahan pencemar secara biologis, menjadi teknologi alternatif pengendalian pencemaran sumber-sumber air dan tanah terkontaminasi secara in situ. In-situ disini dimaksudkan sebagai pengolahan sumber air dan atau tanah terkontaminasi yang dilakukan ditempatnya semula dihasilkan. Hal ini dimungkinkan karena prinsip proses bioremediasi memanfaatkan aktifitas mikroorganisme indigenous yang terdapat didalamnya, sehingga seluruh proses penghilangan dan pengurangan bahan pencemar (kontaminan) dapat dikembangkan secara langsung di lapangan. Teknik bioremediasi ini dikenal dengan nama bioremediasi intrinsik. Namun demikian, para praktisi di lapangan lebih memilih menggunakan mikroorganisme endigenous atau dikenal dengan nama bioremediasi eksintrik. Hal ini disebabkan mikroorganisme endigenous merupakan mikroorganisme yang telah mendapatkan pengayaan dan pemurnian melalui serangkaian penelitian di Laboratorium, sehingga lebih unggul dan tidak membutuhkan waktu lama bila diaplikasikan di lapangan. Teknik bioremediasi yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai atau bozem atau waduk adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat tanah terkontaminasi berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain. Keuntungan menggunakan teknik in-situ, diantaranya adalah: Gangguan terhadap lokasi tanah terkontaminasi sangat sedikit (tidak ada penggalian atau pemindahan tanah) Karena tidak dipindahkan maka masyarakat atau lingkungan yang beresiko terkena paparan bahan berbahaya beracun yang ada didalam sedimen (endapan) tersebut lebih sedikit (minimal) Mengurangi biaya penggalian, pemindahan dan pengangkutan (transportasi) yang sangat mahal Meniadakan biaya pengadaan lahan yang sesuai dengan persyaratan didalam KepMenLH No. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi (petroleum hydrocarbon) dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis Namun demikian, aplikasi teknik in-situ memerlukan eksplorasi detail dan menyeluruh terkait lokasi pencemaran dan karakteristik kontaminannya. Ini sangat penting guna menghindari terjadinya perluasan area pencemaran akibat perpindahan atau perembesan kontaminan ke daerah sekitarnya. Selain itu, aplikasi teknik in-situ memerlukan penambahan nutrien dan oksigen kedalam sedimen (endapan) guna mencapai syarat habitat mikroorganisme yang akan digunakan. Teknik ex-situ membutuhkan biaya yang lebih mahal karena dibutuhkan biaya untuk pekerjaan penggalian, pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi pengolahan. Akan tetapi kelebihan dari teknik ex-situ adalah dapat diolah dengan beragam cara seperti: (1) landfarming; (2) composting; (3) menggunakan reaktor lumpur. Bebarapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum mengaplikasi teknik bioremediasi adalah: susceptibility dari kontaminan, artinya tidak semua kontaminan dapat didegradasi oleh mikroorganisme Kondisi lingkungan dimana teknik biremediasi akan diaplikasikan, artinya proses bioremediasi dapat dilakukan bila sifat fisik dan kimia lingkungannya dapat dikontrol sesuai kebutuhan mikroorganismenya Mengingat diperlukannya faktor-faktor tersebut diatas, maka perlu dilakukan treatability study sebelum teknik bioremediasi diaplikasikan. Treatability study diperlukan guna mendapatkan informasi yang pasti terkait karakteristik lokasi pengolahan; sifat fisik & kimia lokasi dan karakteristik kontaminannya. Sehingga dapat diketahui dengan pasti

apakah kontaminan tersebut dapat didegradasi atau tidak; berapa kecepatan degradasi yang dibutuhkan; bagaimana hasil akhir yang diinginkan dan lain sebagainya. Untuk penggunaan mikroorganisme pada kedua proses bioremediasi diatas bisa digunakan jenis native (indigenous) atau mikroorganisme komersial (endogenous). Hanya saja, bila menggunakan mikroorganisme indigenous, waktu pengolahan yang dibutuhkan akan lebih lama dibandingkan dengan mikroorganisme komersial. Pelaksanaan proses bioremediasi pada sedimen (endapan) dapat dilakukan melalui lima (5) tahapan kerja yaitu: Tahap 1: Survai Awal Survai ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kondisi lingkungan yang sebenarnya dari sedimen/endapan yang terkontaminasi yang akan diaplikasi bioremediasi. Hasil dari survai ini pun menentukan strategi investigasi yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Pada tahap survai ini, semua informasi terkait sedimen/endapan terkontaminasi yang akan diolah harus didata dengan lengkap. Informasi tersebut diantaranya adalah peta lokasi dan alur aliran air yang existing di lapangan. Daerah tangkapan (catchment area) terkait jenis-jenis kegiatan yang ada, penggunaan lokasi (dulunya), saluran Drainase apa saja yang ada dan lain sebagainya sangat menentukan prediksi cemaran (kontaminan) dan hipotesis selanjutnya. Tahap 2: Investigasi Lokasi Investigasi lokasi sedimen/endapan terkontaminasi, dimaksudkan untuk memperoleh data yang mewakili (representative) kondisi sedimen/endapan untuk penilaian faktor resiko selanjutnya; data tentang intensitas dan ekstensitas cemaran (kontaminan) dalam sedimen/endapan; kemungkinan ada atau tidaknya emisi bahan beracun ke udara; kemungkinan ada atau tidaknya ledakan; kemungkinan ada atau tidaknya intrusi cemaran (kontaminan) ke lingkungan disekitarnya. Pada phase ini, dilakukan empat (4) jenis pekerjaan yaitu: investigasi; penilaian resiko; pelaporan dan penentuan garisbesar (outline) dari proses bioremediasi. Pada tahap ini diperlukan pula sampling dan uji laboratorium terhadap beberapa parameter dan atau kontaminan yang ada. Tahap 3: Perencanaan Detil Disain Bioremediasi Objektif dari tahap bioremediasi ini adalah membuat perencanaan detil disain bioremediasi yang sesuai baik in-situ maupun ex-situ dan mengaplikasikannya dilapangan. Pada saat perancangan detil disain tidak jarang diperlukan pekerjaan investigasi lahan tambahan guna mengetahui dengan tepat proses bioremediasi yang sesuai dengan kondisi lapangan dan sesuai pula dengan persyaratan teknis yang berlaku. Tahap 4: Operasi & Evaluasi Objektif dari tahap ini adalah dilakukannya pengecekan terhadap efektifitas proses bioremediasi yang sedang dilakukan terhadap sedimen/endapan terkontaminasi yang diolah. Sebelum tahap operasi dan evaluasi ini dimulai, perlu disusun prosedur dan parameter-parameter yang akan diukur dan diuji (dipantau) sebagai bahan evaluasi, termasuk rencana tanggap darurat (emergency response) dan sistem alert pada satu keadaan/kriteria dimana proses bioremediasi perlu dihentikan dan dilakukan evaluasi. Didalam prosedur yang tersusun akan diuraikan pula frekuensi dan form pelaporan dimana memuat apakah operasi dan evaluasi tersebut dapat dilanjutkan atau harus dihentikan. Tahap 5: Pasca Operasi Bioremediasi Objektif dari tahap ini adalah digunakannya kembali sedimen/endapan yang telah terpulihkan ke area-area penghijauan disepanjang saluran Drainase perkotaan. Ini bisa dilakukan bila digunakan proses bioremediasi ex-situ. Untuk itu diperlukan pekerjaan lanjutan yaitu penggalian, pemuatan dan pemindahan sedimen/endapan yang telah pulih menjadi tanah hidup ke lokasi-lokasi penghijauan yang disediakan. Namun, bila digunakan proses bioremediasi in-situ dimana tujuan aplikasi proses bioremediasi adalah menurunkan kadar sedimen terlarut maka objektif dari tahap ini adalah berkurangnya sedimen/endapan dan bertambahnya daya tampung saluran Drainase tersebut. Proses Bioremediasi Ex-Situ Tipe Landfarming Dari survai lapangan yang dilakukan, banyak ditemui kegiatan pengerukan sedimen/endapan pada saluran Drainase perkotaan (sungai, bozem, waduk, dll) sebagai upaya pembersihan cepat (kuratif). Teknik ini masih dianggap paling efisien (cepat) walau membutuhkan biaya pengerukan dan transportasi yang cukup mahal.

Sampai saat ini tidak tersedia data tentang kegiatan paska operasi pengerukan yang dilakukan oleh instansi terkait. Seolah-olah permasalahan sedimen/endapan telah selesai dengan memindahkannya dari saluran Drainase ke tempat pembuangan akhir. Padahal bila kita amati di lapangan, sedimen/endapan yang ditampung pada lokasi penampungan sementara (untuk pengeringan) sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir, seringkali terbawa kembali ke saluran Drainase. Bahkan menimbulkan pendangkalan pada saluran-saluran Drainase (got) dan menimbulkan masalah baru. Dengan adanya aplikasi teknik bioremediasi pada lokasi-lokasi penampungan sementara tersebut, diharapkan sedimen/endapan tersebut dapat dipulihkan menjadi tanah hidup dan dapat dimanfaatkan bagi kegiatan penghijauan perkotaan. Hal penting yang perlu disiapkan sebelum aplikasi bioremediasi dengan tipe landfarming ini adalah: Penyelidikan (investigasi) terhadap jenis dan karakteristik kontaminan yang ada didalam sedimen/endapan sebelum dilakukan pengerukan dan pemindahan ke lokasi penampungan sementara. Data primer hasil sampling kontaminan tersebut menjadi pertimbangan penentuan langkah pengolahan selanjutnya. Persiapan tempat penampungan sementara sebagai tempat pengolahan landfarming harus disesuaikan dengan kriteria lokasi penampungan limbah B3 pada surat KepKaBapedal No. 1 tahun 1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal ini penting dilakukan mengingat terdapat kontaminan-kontaminan logam berat yang masuk akibat kegiatan-kegiatan pada catchment areanya. Pengeringan perlu dilakukan di lokasi penampungan sementara, sehingga perlu disiapkan sistem Drainase didalam area yang bersifat tertutup (closed cyrcle). Larian air dari Drainase tersebut harus ditampung dan diolah didalam bioreaktor. Setelah sedimen/endapan kering, dilakukan pemilahan sampah (ranting, potongan kayu, plastik, potongan logam dll) secara mekanik dan atau manual. Sampah-sampah tersebut akan menghambat proses bioremediasi yang akan diaplikasi, sehingga harus dikeluarkan/dibersihkan dari sedimen/endapan tersebut. Setelah sedimen/endapan bersih dari sampah, barulah proses bioremediasi dilakukan dengan beberapa tahapan cara tergantung pada jenis kontaminan apa yang akan didegradasi terlebih dahulu. Tentunya, kandungan kontaminan yang terbanyak perlu didegradasi terlebih dahulu. Sebagai contoh, bila kandungan PAHs yang tertinggi, maka bioremediasi yang diaplikasi bertujuan untuk meningkatkan populasi mikroorganisme pemakan hidrokarbon. Diikuti dengan proses bioremediasi untuk mendegradasi kontaminan selanjutnya. Garis besar proses bioremediasi tersebut adalah sebagai berikut: Dilakukan pencampuran sedimen/endapan dengan menggunakan beckho agar diperoleh sedimen/endapan yang homogen. Dilakukan penambahan nutrien (berupa kotoran ayam, kotoran sapi atau pupuk) sebagai bahan nutrisi bagi mikroorganisme indigenous. Selain nutrisi, perlu juga penambahan bulk agen seperti limbah serutan kayu, sekam padi atau limbah bottom ash dari pembakaran batubara. Bulk agen ini dimaksudkan untuk memperoleh tekstur tanah (moisture) yang disyaratkan. Dilakukan penyebaran (paparan) sedimen/endapan pada permukaan lahan (tempat penampungan sementara) secara merata dengan ketinggian maksimal 50 cm. Selanjutnya untuk mempertahankan kelembaban sedimen/endapan dilakukan penyiraman air secara rutin. Air yang digunakan untuk penyiraman ini haruslah air bersih dengan pH normal (pH 6-8) dan tidak tercemar oleh minyak, bahan anorganik maupun bakteri lain. Dalam kondisi iklim kering (panas) diperkirakan konsumsi air mencapai 40.000 liter per hari per lokasi penampungan sementara. Sedangkan dimusim hujan, kelebihan kandungan air didalam tanah akibat curah hujan harus bisa dialirkan ke saluran-saluran Drainase agar tidak menghambat operasional alat berat. Bahkan sebaiknya tersedia terpal untuk menutup sementara permukaan tanah yang diolah selama turunnya hujan. Untuk mempertahankan kondisi aerob bagi mikroorganisme indigenous yang ada didalam tanah, dilakukan dengan cara pembalikan permukaan sedimen/endapan menggunakan traktor dengan rotovator. Pembalikkan secara rutin dapat mempertahankan pemaparan oksigen diudara kepermukaan tanah yang sedang diolah terus berlanjut hingga mencapai tanah lapisan dalam yang telah dibalikkan kepermukaan. Bila kondisi tanah terlihat kompak (liat)

maka proses pembalikkan tanah dilakukan lebih sering guna meningkatkan proses aerasi. Sebaliknya bila kondisi tanah terlihat berpasir (granular) maka proses pembalikkan dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan tanah kompak. Gambar 20. Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming Untuk mengetahui efektifitas proses bioremediasi yang sedang berjalan, perlu dilakukan sampling dimulai pada hari ke-10 sejak pemaparan dilakukan. Evaluasi terhadap hasil analisis sampling tersebut menjadi bahan pertimbangan pengolahan bioremediasi yang perlu dilakukan selanjutnya. Gambar 21. Penampang Proses Bioremediasi Landfarming C. Biofilter Biofilter atau biasa disebut parit tumbuhan adalah saluran alamiah yang didesain sedemikian rupa dimana terdapat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi mengelola pengaliran limpasan sehingga lebih lambat mengalir diantara tumbutuhan. Biofilters efektif jika arus lambat dan dangkal pada saluran parit alamiah. Kondisi ini dapat dicapai bila kontur kawasan dan kemiringan lereng mendukung pengaliran limpasan diatas. Untuk sistem biofilter, kondisi yang menyebabkan konsentrasi aliran, seperti tahanan dan belokan, dan saluran yang langsung crossing ke seberang jalan, harus diperkecil. Gerakan melambat dari aliran melalui tumbuh-tumbuhan menyediakan kesempatan untuk terjadinya sedimentasi dan tersaringnya partikulat dan degradasi oleh aktivitas biologi. Dalam berbagai jenis tanah, biofilter juga menyebabkan terjadinya penyerapan hujan ke dalam tanah, lebih lanjut mengurangi polusi air dan mengurangi debit limpasan (yang akhirnya mengurangi potensi banjir). Aliran Lambat, aliran limpasan halus dapat dijaga dengan biofilter yang dibangun dengan menjaga kemiringan kedua sisi (kemiringan maksimum 3 :1, minimal kemiringan memanjang (direkomendasikan 1 2%, dengan check dam untuk kemiringan yang lebih curam), dan suatu flowpath panjangnya sedikitnya 10 feet (minimal 3 meter). Konsep utamanya adalah menggerakan aliran air dengan lambat melalui tumbuh-tumbuhan. Gambar 22. Biofilter Lapisan utama tanah penutup adalah tanah berumput, yang harus tetap dialiri pada musim kemarau. Agar lapisan tanah berumput yang berfungsi sebagai biofilter dapat bekerja efektif harus sering dipotong secara rutin dan dirapikan. Dimana kemiringan kurang dari 1% atau dimana air tanah tinggi, tanaman rawa buatan dapat digunakan dalam biofilter. Jenis tanah lempung, atau jenis tanah lainnya yang dapat menghalangi tanaman, secara umum tidaklah cocok bagi biofilter. Biofilter biasanya diaplikasikan lapangan parkir, sepanjang pinggiran lapangan parkir dengan kemiringan memanjang sampai dengan parit rumput untuk mengumpulkan dan mengolah limpasan hujan dari permukaan lapangan parkir. Kemiringan batas pavemen lapangan parkir agar diatur sedemikian rupa lebih tinggi dari pada batas dengan biofilter. Jika air masuk dari beberapa titik pengumpulan, seperti aliran halus, kontrol erosi agar dapat juga ditempatkan pada beberapa titik termasuk di inlet dan outlet saluran. Dimana harus diatur puncak hidrograph harus kurang dari 8 cm dan percepatan puncak kurang dari 0,3 m/detik. Limpasan hujan lebat dapat mem-bypass biofilter, atau biofilter dapat di-Disain untuk dapat mengakomodasi debit banjir yang lebih besar tentunya dengan kualitas air yang terjaga. Lebar alas dari parit adalah secara umum 60 cm sampai 2,5 meter, dengan tingginya rumput dari 10 cm sampai 15 cm dan kedalaman air yang maksimum dari kurang dari 5 cm. D. Pengolahan Kualitas Air dengan Rawa Buatan (Wetland Constructed) Dalam ekosistem rawa, terdapat aneka ragam organisme. Hampir semua mahluk hidup dibumi terwakili di dalam rawa, mulai dari organisme mikro hingga organisme makro seperti tumbuhan atau hewan besar. Bakteri, virus, alga, jamur, protozoa, ikan, katak, burung, binatang melata, binatang menyusui, semuanya ada di sana. Semua mahluk hidup tersebut membentuk rantai dan jaring makanan, mulai dari pengurai, produsen, konsumen, berentuk sangat kompleks yang meliputi berbagai organisme yang berada di berbagai mata rantai jaring-jaring makanan. Interaksi antar semua komponen ekosistem yang berada dalam rawa tersebut memungkinkan terjadinya proses daur ulang secara alami bahan pencemar yang tidak bernilai bagi manusia menjadi bahan bernilai yang terkandung dalam biomassa tumbuhan dan hewan. Proses alam diatas mengilhami pengembangan model rawa buatan dalam upaya pembersihan air.

Rawa buatan didesain sedemikian rupa diatas sebidang tanah dengan cara membuat pematang, tanggul dan kolam, sehingga air limbah akan melewati sebagian besar permukaan substrat yang ditanami tumbuhan akuatik dan semiakuatik yang bernilai ekonomis seperti sayuran dan buah. Sehingga dapat disebut pengolahan air dengan metoda rawa buatan (wetland constructed) adalah alternatif lain pengolahan air yang meniru proses alamiah yang terjadi di lahan basah (rawa) alami. Gambar 23. Contoh Rawa Buatan Aliran Vertikal (Constructed Wetlands) [3] Gambar 24. Tampak Atas Rawa Buatan untuk Mengolah Air Limbah[4] Menurut jenis aliran air, rawa buatan secara umum digolongkan dalam dua bentuk: aliran horisontal dan aliran vertikal. Dalam sistim aliran horisontal, air memasuki rawa dari satu titik, mengalir dalam rawa buatan, kemudian keluar dari titik di ujung rawa. Sedangkan dalam rawa buatan aliran vertikal, air merembes/mengalir secara vertikal baik dari atas ke arah bawah atau dari bawah ke arah atas sistem ke luar dari sistem. Rawa buatan aliran horisontal dapat digolongkan lebih lanjut dalam empat bentuk, yaitu: a. Rawa buatan yang alirannya mengalir di atas permukaan tanah. b. Rawa buatan yang proses pengaliran airnya lewat substrat tempat tumbuhnya tanaman air. c. Komninasi bentuk pertama dan kedua d. Rawa buatan hidroponik aliran tipis yang tidak menggunakan substrat tanah atau pasir. Sementara itu, rawa buatan aliran vertikal dapat digolongkan ke dalam dua bentuk (lihat gambar 22): 1. Aliran vertikal menurun dimana air dialirkan di permukaan sistem kemudian merembes melalui substrat yang dipenuhi oleh akar tanaman hingga mencapai dasar rawa buatan untuk ke luar dari sistem. 2. Aliran vertikal menanjak dimana air disalurkan melalui pipa ke dasar sistem untuk naik pelan-pelan melalui lapisan substrat sebelum keluar melalui saluran yang letaknya di permukaan substrat. Agar pembersihan air limbah efektif, rawa buatan (sebagaimana juga rawa alami) membutuhkan lima komponen (Hammer, 1989 dalam Khiatuddin Maulida, 2003), yakni: 1. Substrat (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat konduktivitas hidrologis. 2. Tumbuhan yang dapat hidup dalam kondisi anaerob di media yang jenuh dengan air atau tergenang air. 3. Genangan air (baik yang mengalir di atas atau di bawah permukaan tanah). 4. Hewan yang bertulang belakang dan tidak bertulang belakang. 5. Populasi organisme mikro aerob dan anaerob. Salah satu komponen rawa buatan adalah tumbuhan/tanaman yang yang bekerjasama dengan micro-organisme dalam media (tanah, koral, dan air). Penggunaan tanaman disebut dengan konsep Fitoremediasi yang didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya, seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman.[5] Gambar 25. Proses dalam Fitoremediasi [6] Selain pemanfaatan bagi pemulihan kualitas air, teknik fitoremediasi dapat pula dimanfaatkan bagi menjaga dan menjamin kualitas kompos dengan fitoteknologi dan ekotoksikologi.[7] Proses dalam sistim ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang berada disekitarnya. 1. Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation 2. Rhizofiltration (rhizo = akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina. 3. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media. 4. Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, or plented-assisted bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bacteri. 5. Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan

susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi. 6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk setiap batang. Jenis-jenis tanaman yang digunakan dalam Fitoremediasi Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium Merah/Kuning, Alamanda Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau, Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje Merah, Pacing Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili, dll. Gambar 26. Flow Diagram Proses Fitoremediasi dalam Pengolahan Air [8] Konsep Perencanaan Wetland Beberapa ketentuan yang diperlakukan untuk membuat sistim ini, yaitu : 1. Unit Wetland didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging pada media koral oleh partikelpartikel besar. 2. Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap air dengan kedalaman 1 meter. 3. Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet. 4. Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s.d. 10 mm, setinggi/setebal 80 cm. 5. Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis yang berjarak cukup rapat, dengan melubangi lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan. 6. Dialirkan air limah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral. 7. Disain luas kolam berdasarkan beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan Loading rate pada umumnya untuk daerah tropis 40 kg BOD/Ha per hari. 8. Sistem pengolahan limbah denngan wetland disarankan hanya untuk skala lingkungan maksimum 2000 jiwa dan perkantoran atau gedung-gedung sekolah karena kebutuhan lahanya cukup tinggi antara 1,25 m2/jiwa s.d. 2,5 m2/jiwa dibandingkan fakultatif pond hanya 0,2 m2/jiwa s.d. 0,5 m2/jiwa atau hanya 1/5 dari kebutuhan lahan rawa buatan.[9] 4.2. Pelaksanaan 4.2.1. Pengorganisasian Penyelenggaraan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah serta masyarakat di kawasan/lokasi dalam suatu daerah aliran sungai yang akan ditangani. Dimana diharapkan sejak tahap awal perlu segera dilaksanakan pengorganisasian agar jalannya kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan efektif mencapai hasil yang optimal. Dibawah ini adalah bagan organisasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). Gambar 27. Organisasi Pelaksanaan Program Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (ecodrain) Gambar 28. Usulan Pengaturan Kewenangan Antar Institusi Terkait dalam Pengelolaan Saluran Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan KEWENANGAN /TANGGUNG JAWAB INSTITUSI A Aspek Peraturan dan Pengaturan Penyusunan Pedoman dan Permen/Kepmen Tentang Ecodrain Sosialisasi Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terutama terkait dengan X B X C D X E F G H I X

X -

Ecodrain Penyusunan Perda Provinsi / SK. Gub / Instruksi Gub. Tentang Pelaksanaan Ecodrain dan penunjukan Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Tingkat Provinsi Penyusunan Perda Provinsi / SK. Gub / Instruksi Gub. Tentang Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan Dan Perlindungan Alam Daerah Bantaran Sungai Tingkat Provinsi Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota Tentang Pelaksanaan Ecodrain dan penunjukan Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Tingkat Kabupaten Kota Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota Tentang Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan Dan Perlindungan Alam Daerah Bantaran Sungai Tingkat Kabupaten Kota Penyusunan Perda Kabupaten Kota / SK. Bupati Walikota / SK.Bupati Walikota / Instruksi Bupati Walikota Tentang Mutu / Kualitas Air Sungai Aspek Teknis dan Operasional Perencanaan Pembangunan Fisik Pengawasan Fisik Operasional dan Pemeliharaan (O&P) Sosialisasi Pelaksanaan Fisik X X X

X X

X X -

X X -

X X X X

X X X X X

X X X X

X X

X X

X X

Aspek Pembiayaan Perencanaan Pembangunan Fisik Pengawasan Fisik Operasional dan Pemeliharaan (O&P) Sosialisasi Pelaksanaan Fisik Aspek Peran Masyarakat dan atau Swasta Pengelolaan Air Limbah dengan SANIMAS Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3 R KEWENANGAN /TANGGUNG JAWAB

X X X X X

X X X -

X X X X X X

X X X X X X X

X X X X X

X X

X X X

X X X X

X X X

X X X X

INSTITUSI A B C D

E F

Pelatihan dan Capacity Building Kegiatan 3R dan SANIMAS Sosialisasi desain elemen sistem Drainase Berwawasan lingkungan

X -

X X

Sumber : Hasil Kajian Konsultan, 2007. Keterangan: A = Direktorat PLP Ditjen Cipta Karya. B = Ditjen SDA melalui Balai Besar Wilayah Sungai. C = Pemerintah Daerah c.q. BAPPEDA Provinsi. D = Dinas PU Provinsi. E = Dinas PU Kabupaten Kota. F = Dinas Kebersihan Kabupaten Kota. G = Dinas / Bidang Lingkungan Hidup Kabupaten Kota. H = Masyarakat / Swasta (KSM). I = Perguruan Tinggi / Konsultan / LSM / Organisasi Profesi. 4.2.2. Tahap Pelaksanaan Secara garis besar kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) terbagi dalam dua kegiatan pokok yaitu: Kegiatan yang bersifat fisik Kegiatan fisik yang berupa pembangunan prasarana dan sarana, pengadaan barang (M&E), pemeliharaan dan perawatan. Kegiatan yang bersifat non fisik Kegiatan non fisik dapat berupa kegiatan sosialisasi 3R, pengelolaan air limbah domestik dan pengelolaan hujan integratif yang dapat mengembangkan pengelolaan Drainase. Dalam tahap pelaksanaan dibagi pada beberapa kegiatan sebagai berikut: b. Pelaksanaan konstruksi fisik

Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana yang terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Pelaksanaan konstruksi antara lain seperti pembangunan pintu air, bendung spillway, saringan sampah manual maupun otomatis, tempat pembuangan sampah (TPS) di lokasi saringan sampah dan bantaran sungai, IPAL Sanimas, MCK komunal, kawasan bioretensi, pavemen berpori, jalan berpori, kawasan parkir ramah lingkungan, rawa buatan, wetland constructed, dlsb. 1) Kegiatan konstruksi fisik dapat berupa kegiatan mendirikan, memperbaiki atau memperluas/menambah prasarana dan sarana sesuai dengan dokumen perencanaan yang telah disepakati pada tahap perencanaan. Dengan pembangunan konstruksi fisik ini diharapkan permasalahan banjir, genangan, sampah sungai dan pencemaran air dapat dikurangi, sehingga beberapa permasalahan penting daerah perkotaan dapat dieliminir, yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup, kesehatan dan kehidupan manusia dan ekosistem perairan (lingkungan) serta kota. 2) Kegiatan fisik sebagaimana disepakati dalam Daftar Isian Proyek (DIP) yang diselenggarakan secara bersama antara seluruh stakeholder di kawasan yang bersangkutan. 3) Khusus pada kegiatan fisik dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP Ditjen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum) pada beberapa kota sebagai pilot project. Diharapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat berkontribusi bagi terwujudnya semua rencana yang ada dalam studi perencanaan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Kontribusi tersebut dapat berbentuk penyiapan lahan, tenaga, dan pendanaan fisik, serta komitmen untuk meneruskan program tersebut secara berkesinambungan. 4) Kegiatan pelaksanaan konstruksi fisik terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan konstruksi dan tahap pengakhiran (finishing). c. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa merupakan rencana pengadaan barang dan jasa yang terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Pengadaan barang terkait dengan kebutuhan barang mekanikal dan elektrikal dan perangkat dalam sistem informasi seperti perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Pengadaaan barang dalam hal ini seperti pengadaan saringan sampah otomatis, pompa banjir, unit-unit pengolahan otomatis dalam IPAL Sanimas (disesuaikan teknologi), sarana komposting, daur ulang dan pengangkut sampah, sistem pengolahan data dan informasi, dlsb. Pengadaan jasa adalah adalah jasa konsultansi dalam pekerjaan pengawasan dan sosialisasi. d. Pelaksanaan dan Pengembangan Kegiatan 3R dan SANItasi berbasis MASyarakat (SANIMAS) Pelaksanaan konstruksi fisik merupakan perwujudan fisik dari rencana yang terdapat dalam studi kelayakan dan detail rencana teknis Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). 4.2.3. Tahap Operasi dan Pemeliharaan Fasilitas kegiatan fisik dan bantek pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) dari Pemerintah Pusat hanya merupakan stimulan dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP Ditjen Cipta Karya) yang selanjutnya setelah diserah terimakan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten, maka pengelolaan pasca pembangunan pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota/Kabupaten. 4.2.4. Sosialisasi dan Penguatan Peran Masyarakat dan Swasta Dalam penerapan konsep pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan, penanganan sampah dengan reduksi sampah dari sumbernya merupakan langkah yang paling efektif dalam mengurangi timbulan sampah yang akan dibuang ke TPA (tertangani) maupun yang sampah yang potensial dibuang ke sungai / saluran / waduk dan atau prasarana dan sarana lainnya. Konsep yang dapat dikembangkan adalah dengan pengelolaan sampah berdasarkan pendekatan 3R (Recycle, Reuse & Reduce) yang didasari oleh pendekatan pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat. Pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan (jika feasible), dikontrol dan dievaluasi bersama masyarakat.

Dalam pengertian ini pemeran (penguasa, kekuatan) utama dalam pengelolaan sampah adalah masyarakat. Pemerintah dan lembaga lainnya hanyalah sebagai motivator dan fasilitator. Fungsi motivator adalah memberikan dorongan agar masyarakat siap memikirkan dan mencari jalan keluar terhadap persoalan sampah yang mereka hadapi. Tetapi jika masyarakat belum siap, maka fungsi pemerintah atau lembaga lain adalah menyiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan pelatihan study banding dan memperlihatkan contoh-contoh program yang sukses dan lain-lain. Fungsi fasilitator adalah memfasilitasi masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah Secara baik dan pengomposan maka tugas fasilitator adalah memberikan kemamuan masyarakat dengan berbagai cara misalnya dengan memberikan pelatihan begitu juga jika masyarakat lemah dalam hal pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan keluar agar masyarakat mampu mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati jangan sampai masyarakat tergantung. Mengapa dalam pengelolaan sampah dilakukan secara berbasis masyarakat karena produsen sampah utama adalah masyarakat, sehingga mereka harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka produksi. Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya mereka kurang bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif. Faktor yang mempengaruhi sampah, baik kuantitas dan kualitasnya sampah sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain; Jumlah penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk semakin banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju pertumbuhan penduduk. Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan social ekonomi masyarakat, seakin banyak jumlah perkapita sampah yang dibuang. Kualitas sapahnya semakin banyak yang bersifat tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan sampah. Kenaikan kesejahteraan inipun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan bangunanbangunan. Transportasi-pun bertambah dengan konsekuensi bertambahnya volume dan jenis sampah. Dengan kemmajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kuantitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam pula. Kenyataan yang ada saat ini adalah bahan sampah sulit dikelola oleh berbagai hal; Cepatnya berkembangnya teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memahami persoalan sampah. Meningkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan pengetahuan tentang persampahan. Meningkatnya biaya operasional dan pengelolaan sampah. Penanganan sampah 3 R adalah konsep penanganan sampah dengan cara reduce / mengurangi, reuse / menggunakan kembali, dan recycle / mendaur ulang sampah mulai dari sumbernya, dalam hal ini adalah kawasan yang potensial sebagai sumber sampah sungai. Konsep pengelolaan 3R yang diusulkan dapat dilihat pada gambar 15 berikut. Gambar 29. Konsep Pengelolaan 3 R di kawasan Daerah Pengaliran Sunga (DPS)i[10] 4.3. Pengendalian Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Pengendalian adalah segala tindakan yang dilakukan dalam pengorganisasian pengelolaan Drainase untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya maksud dan tujuan yang telah ditetapkan, yakni memulihkan/meningkatkan kualitas aliran saluran Drainase/sungai perkotaan dari pencemaran yang diakibatkan oleh sampah dan air limbah rumah tangga dan dan memandu pengelolaan Drainase secara terpadu agar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tindakan pengendalian dapat bersifat preventif (untuk menghindarkan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan), detektif (untuk menemukan dan memperbaiki sesuatu hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), atau direktif (untuk menimbulkan atau mendorong terjadinya sesuatu yang diinginkan). Tiga tujuan umum pengendalian kegiatan ecodrain adalah untuk: Meyakinkan terlaksananya tujuan yang telah ditetapkan, termasuk apa yang digariskan dalam rencana, kebijakan, prosedur, dan semuanya sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan yang mengikat kegiatan;

Menjamin pelaksanaan kegiatan berdsarkan dokumen perencanaan dan studi; dan Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan. Studi kelayakan dan Bantuan Teknis (Bantek) merupakan alat kendali pelaksanaan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). Kegiatan pengendalian dilaksanakan pada setiap tahapan pelaksanaan sejak tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan ecodrain. Pengendalian pelaksanaan dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan PLP tingkat provinsi dan atau dinas teknis setempat atau unit pengelola teknis/UPT/badan tertentu sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh kelembagaan pemrakarsa kegiatan ecodrain atau dapat ditetapkan kemudian berdasarkan kesepakatan para pemangku kepentingan. 4.4. Monitoring dan Evaluasi Sistem monitoring dan evaluasi kegiatan Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain) perlu dilakukan untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan mulai dari tahap persiapan dan perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatnannya di lapangan. Sistem diatas perlu dilengkapi dengan sistem informasi yang terencana sebagai bahan masukan bagi upaya-upaya Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (ecodrain) pada lokasi/kawasan lainnya. Tujuan dari sistem monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut: a. Memantau/memonitor perkembangan pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). b. Mengendalikan kinerja pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). c. Memberikan bahan masukan untuk persiapan pelaksanaan kegiatan dan pengembangan program pada tahun berikutnya. d. Memberikan bahan untuk kelengkapan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). e. Memberikan informasi yang lengkap yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan program pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). Untuk lebih mengoptimalkan kegiatan monitoring dan evaluasi proram dan kegiatan pengelolaan Drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain) perlu dikembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi secara berjenjang baik menggunakan perangkat lunak (software) maupun berupa buku laporan (hardware).

[1] Penyusunan Sistem Pengelolaan Sampah Sungai di DKI Jakarta, Proyek Peningkatan Prasarana Permukiman DKI Jakarta, Ditjen Cipta Karya 1998/1999, Laporan Akhir. Halaman 4-1s.d. 4-3. [2] Bioremediation by Tina Yu, bahan Ekspose. [3] Sumber : Brown and Caldwell, Aqua Treatment Technologies, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ Constructed_wetland [4] Khiatuddin Maulida, "Melestarikan Sumberdaya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan", Gadjah Mada University Press, 2003. Halaman 71. [5] Fitoremediasi, Upaya Pengolahan Air Limbah Dengan Media Tanaman, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 27 Oktober 2003. [6] Bioremediation by Tina Yu, bahan Ekspose. [7] Mangkoedihardjo Sarwoko, Fitoteknologi dan Ekotoksikologi dalam Desain Operasi Pengomposan Sampah, Seminar Nasional Teknologi Lingkungan III ITS, Surabaya, 27 September 2005. [8] Matthew Dempsey, Phytoremediation, December, 1997. http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/BiotechEnviron/MISC/webpage1.html [9] Fitoremediasi, Upaya Pengolahan Air Limbah Dengan Media Tanaman, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat, Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 27 Oktober 2003. [10] Modifikasi dari Anonim, Bantek 3 R Bozem Morokembangan, Dinas PU Kota Surabaya Tahun 2007. Tags: proses ecodrain

You might also like