You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kata kajian berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelaahan (KBBI, 1999: 431). Kajian feminis merupakan sebuah kajian yang menempatkan pembaca agar membaca sebagai perempuan. Menurut Yoder (Sugihastuti: 2002), kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Diawali dengan munculnya novel Azab dan Sengsara dan Sitty

Noerbaja yang mengusung tentang kawin paksa atau perkawinan yang didasari atas kebangsaan seseorang yang sangat ditentukan oleh adat. Dalam novel-nevel tersebut dikisahkan betapa sangat menderitanya perkawinan yang ditentukan oleh adat (kawin paksa) juga dikisahkan betapa menderitanya seorang perempuan yang dibelenggu oleh adat. Perempuan hanya memiliki kebebasan hingga berumur 6 tahun, mereka masih bisa bermain di luar rumah dan berlari kian kemari. Namun setelah mereka berumur 7 tahun merka harus dikurung di dalam rumah, dipingit, mengerjakan segala kegiatan rumah tangga dan tidak diperbolehkan keluar rumah. Setelah mereka berusia sekitar 13 tahun mereka harus segera menikah. Bagi mereka yang hingga berumur 15 tahun belum menikah maka mereka dianggap perawan tua. Sedangkan bagi para lelaki setelah berumur 7 tahun, mereka akan diajari memanah, menunggang kuda dan diizinkan bersekolah ke luar daerah. Setelah mereka dewasa mereka akan dinikahkan dengan gadis sebangsa mereka atau bahkan dengan yang berbangsa lebih tinggi. Di sini sangatlah terlihat betapa tersubordinatnya kaum perempuan. Mereka dibedakan dengan laki-laki dan terkesan lebih tertindas disegala bidang, tidak hanya pendidikan tetapi juga dalam rumah

tangga. Begitulah mengapa ada kritik feminis. Adanya keinginan untuk menyamakan antara perempuan dan laki-laki agar tidak ada ketertinggalan. Penyamarataan di sini bukan dalam arti perempuan ingin mengambil alih kedudukan laki dan mengungguli mereka tetapi penyamarataan

kesempatan. Jadi, dalam hal ini perempuan juga memiliki kebebasan dalam mengenyam pendidikan dan keteraturan dalam rumah tangga. B. Sejarah Singkat Feminisme Lahirnya gerakan Feminisme yang dipelopori oleh kaum perempuan terbagi menjadi dua gelombang dan pada masingmasing gelombang keberadaaanya memiliki perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan kelahiran era pencerahan yang terjadi di Eropa dimana Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet sebagai pelopornya. Terdapat perkumpulan masyarakat ilmiah untuk pertaman kali dan didirikan di Middleburg, Belanda, pada tahun 1875. Baru ketika menjelang abad 19 gerakan feminisme ini lahir di negara-negara penjajah Eropa dan memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme sendiri pertama kali dikreasikan oleh aktivis sosialis utopis yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. Kemudian pergerakan yang berpusat di Eropa ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku yang berjudul the subjection of women (1869) karya John Stuart Mill, dan perjuangan ini menandai kelahiran gerakan feminisme pada gelombang pertama. Memang gerakan ini sangat diperlukan pada saat itu (abad 18) karena banyak terjadi pemasungan dan pengekangan akan hak-hak perempuan. Selain itu, sejarah dunia juga menunjukkan bahwa secara universal perempuan atau feminine merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki atau maskulin terutama dalam masyarakat patriaki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya lebih inferior ketimbang

apa yang dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era liberalisme di Eropa dan tejadinya Revolusi Perancis di abad ke-18 yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan Seluruh dunia. Selain itu, suasana tersebut diperparah dengan adanya

fundamentalisme agama yang cenderung malakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan khotbah-khotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabati oleh pria. Banyak khotbah-khotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus tunduk kepada suami. Maka, dari latar belakang demikian, di Eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wolllstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the right of Woman yang isinya dapat dikatakan meletakan dasar prinsipprinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka memberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini dinikmati oileh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualita. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan

perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Gelombang Kedua Setelah berakhirnya perang dunia kedua, yang ditandai dengan lahirnya negaranegara baru yang terbebas dari penjajahan negara-negara Eropa maka lahirlah gerakan Feminisme gelombang kedua pada tahun 1960. Dimana fenomena ini mencapai puncaknya dengan

diikutsertakannya kaum perempuan dan hak suara perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dari selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekontruksionis, Derrida. Dalam the laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme (Logosentrisme adalah cara berfikir dimana kebenaran memiliki kodrat spiritual, lantas jadinya, secara prinsipil, mampu untuk ditatap oleh mata pikiran (yang secara prinsipil juga berkodrat spiritual) yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-AngloAmerican Feminist, dia menolak essensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucaultdan Derrida. Secara lebih spesifik banyak feminis individualis kulit putih dan meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiaanya pada

perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi proses universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi

sosialis, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya satra Barat yang identik dengan tidak adanya keasadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminism amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminisim karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya. Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks all women. Dengan adanya apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya satra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme yang masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan perempuan budak dari tanah jajahan sebagai subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai penderita yang sama sekali tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum perang dunia II pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik, dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalamai puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan yang teropresi di dunia ketiga, dengan asusmsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan semua asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek

analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisme, rasisme, seksisme, dan relasi sosial. C. Kajian Teori Feminisme Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman) yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hakhak kaum perempuan, sebagai kelas sosial (Ratna: 2011). Menurut Yoder, kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita (Sugihastuti: 2002),. Culler menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra (Sugihastuti: 2002).

D. Teori Citra Tokoh Perempuan Pencitraan ini memiliki kaitan yang erat dengan feminisme karena keduanya merepresentasikan pemikiran dan tingkah laku tokoh utama. Pencitraan atau citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi perempuan .Hal ini juga sejalan dengan pendapat Altenbernd yang terpapar dalam buku Sugihastuti (2000:43) mengenai citraan yaitu gambar-gambar angan atau pilkiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Wujud citra perempuan ini dapat digabungkan dengan aspek fisis, psikis, dan sosial budaya dalam kehidupan perempuan yang melatarbelakangi terbentuknya wujud citra perempuan. Dalam menjaga citranya tersebut, perempuan sebagai individu

harus memerankan perannya dengan baik sebagai individu, istri, dan perannya di sosial masyarakat (Sugihastuti, 2000:44). Citra perempuan dalam sebuah novel terbagi menjadi 3 yaitu: citra diri perempuan dalam aspek psikis, citra diri perempuan dalam askpek fisik, dan citra diri perempuan dalam aspek sosial. Citra fisik perempuan bisa direpresentasikan dengan gambaran fisik perempuan tersebut yang memiliki hubungan terhadap pengembangan tingkah lakunya. Dari

penggambaran hubungan fisik ini yang tidak lepas juga dari penggambaran fisik laki-laki dalam novel, maka sering terjadi adanya diskriminasi atau perbedaan baik dalam lingkungan sosial atau keluarga (Sugihastuti, 2000:82). Karena perempuan adalah termasuk makhluk yang psikologis yaitu makhluk yang memiliki perasaan, pemikiran, aspirasi, dan keinginan, maka perempuan juga dapat direpresentasikan melalui aspek psikisnya. Dari citra psikis ini dapat tergambar kekuatan emosional yang dimiliki oleh Perempuan dalam sebuah cerita. Dari aspek psikis ini, citra perempuan juga tidak terlepas dari unsur feminitas. Melalui pencitraan perempuan secara psikis, bisa dilihat bagaimana rasa emosi yang dimiliki perempuan tersebut, rasa penerimaan terhadap hal-hal disekitar, cinta kasih yang dimiliki dan yang diberikan terhadp sesama atau orang lain, serta bagaimana menjaga potensinya untuk dapat eksis dalam sebuah komunitas.timbal balik antara citra fisik dan psikis perempuan dalam novel tidak dapat dipisahkan satu sama lain(Sugihastuti,2000:95). Citra sosial perempuan merupakan perwujudan dari citra perempuan dalam keluarga serta citranya dalam masyarakat. Seperti yang

diungkapkan Sugihastuti (2000); Citra sosial ini memiliki hubungan dengan norma-norma dan sistem nilai yang berlaku dimasyarakat, tempat dimana perempuan menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antarmanusia

Kelompok masyarakat tersebut diatas termasuk kelompok dalam keluarga dan masyarakat luas. Melalui hubungannya dengan masyarakat sosial, dapat terlihat bagaimana cara perempuan tersebut menyikapi sesuatu dan menjalin hubungannya dengan sesama, serta disisi lain perempuan selalu membutuhkan orang lain untuk melangsungkan kehidupannya.

BAB II PEMBAHASAN

A. Sinopsis Sejak kecil Dati tidak cukup dapat menerima dan mencurahkan cinta, juga kemanjaan. Tetapi diluar rumah ia dicintai dan dimanja banyak kawan. Maka terjadilah cinta segitiga. Lalu ia pun melarikan diri agar tidak melukai salah seorangnya. Tetapi dengan begitu dia melukai 3 orang. Dalam pelariannya itu ia mendapatkan seseorang yang bernama Wija. Karena cerita ini mengambil latar masa pemberokan PRRI-Permesta, Wija yang merupakan seorang pilot yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya. Dati, yang merupakan istri Wija, sang penerbang barisan penggempur, senantiasa berada di dalam kecemasan. Sewaktu-waktu Dati mendapatkan kabar kalau seorang penerbang termasuk suaminya tidak pulang ke pangkalan, tidak pulang ke tengah keluarga. Dati terombangambing antara harap, cemas dan hasratnya kepada manusia yang punya perhatian pada nasibnya. Hal itu menyebabkan timbulnya konflik masa lalu yang diwarnai cinta segitiga.

B. Citra Tokoh Perempuan dalam Novel

1. Citra Tokoh Dati

1.1 Citra Tokoh Dati dalam Aspek Fisik Dalam novel ini tidak terlalu diungkap tentang bagaimana aspek fisik dari tokoh Dati. Yang dapat diketahui pembaca adalah behawa tokoh Dati ini sangat manis seperti yang diungkapkan oleh tokoh Sidik dalam kutipan:

Anakmu manis-manis seperti kau suaranya datar. (hal 5)

1.2 Citra Tokoh Dati dalam Aspek Psikis Dati sebagai Istri Pilot Dati selalu merasa cemas apabila suaminya melakukan penerbangan karena ia ketakutan apabila suaminya tidak pulang dalam keadaan bernyawa. Bukti : Apakah sebenarnya beda antara hilang, tidak kembali ke pangkalan, dan jatuh atau crash-landing? Semuanya itu hanya beda dalam perkataan, tetapi selalu atau hampir selalu sama akibatnya: ialah kematian yang tidak berwujud, untuk kemudian disusul oleh upacara penguburan kemiliteran dengan tanda-tanda jasa sebagai lambang perjuangan hidupnya.(Halaman 64) Dati Saat Menentukan Hati Ketika Dati sedang terombang-ambing dengan perasaan cemas dan ketakutan dengan keberadaan Wija, datanglah 2 orang dari masa lalu nya yang memberikan perhatian lebih terhadap nasibnya kini yaitu Sidik dan Nardi. Dati tidak pernah bisa menduga hati mereka. Namun akhirnya Dati sadar bahwa ia amat mencintai suaminya. Kutipan: Apakah yang kini damai bagiku? Suamiku pergi ke daerah perang yang suatu waktu bisa membunuhnya. Dan aku tertinggal dengan perasaan cemasku. Kini datang kedua lelaki yang dulu pernah merebut sebagian besar perhatianku. Mereka keduanya saling berusaha menjatuhkan. Yang seorang mengatakan

kekurangan lainnya. Sedang seorang lagi dengan kecemburuannya menginsyafkan aku, betapa dia masih mencintaiku. (Halaman 61) Perkataannya menunjam amat memedihkan hatiku. Ku tutupkan jari-jari tanganku ke bibirnya, dan aku peluk dia. Aku peluk dia erat. Ku rapatkan kepalaku ke dadanya dengan terisak. Sebuah kekuatan yang sejuk mengaliri perasaanku. Aku kemudian menyadari kedamaian dan ketenangan yang dibawanya kepadaku. Aku mencintainya. (Halaman 77) Krisis kasih sayang tokoh Dati dibuktikan dengan dilarangnya dia menuntut ilmu ke luar kota seperti temantemannya yang lain, dia justru diminta untuk menemani ibunya. Dati memilih mempertahankan Wija sebagai suaminya. Dati menyadari bahwa dia masih memiliki rasa kasih sayang, cinta, tanggung jawab dan harga diri sebagai seorang perempuan.

1.3 Citra Dati dalam Aspek Sosial Dati yang berselingkuh dan berzina dengan Sidik menyalahi norma agama. Dati yang sudah memiliki suami, pergi dengan laki-laki lain tanpa meminta izin suaminya. Sikap Dati sebagai istri yang membagi kasih sayang terhadap orang lain melebihi rasa kasih sayang terhadap suaminya disebabkan karena ketika sebelum menikah (dalam lingkungan

keluarga) Dati hidup dengan cinta dan kemanjaan lingkungan yang terbatas. Jadi, ketika datang Sidik dan Nardi memberikan perhatian kepadanya, Dati menerima semua perhatian yang diberikan oleh kedua lelaki tersebut. Kutipan:

Aku hidup dengan cinta dan kemanjaan lingkunganku yang amat terbatas. Aku tidak lama mengenal wajah bapakku. Dari ibuku aku hanya memiliki senyum setetes yang amat jarang. Pada keluargaku tidak ada mesra kasih. Yang ada hanya rasa hormat dan takut yang harus dimiliki setiap anak muda kepada yang lebih tua. (halaman 11) 2. Citra Tokoh Asti 2.1. Citra Tokoh Asti dalam Aspek Fisik Penggambaran tokoh Asti diwakilkan dengan narasi yang diungkapkan oleh Dati. Menurut Dati, Asti bukan seseorang yang cukup manis. Tetapi karena tubuhnya berkulit putih dan bersih, dia akan selalu terlihat pantas mengenakan pakaian apapun. Kutipan : Ia sebetulnya tidak manis. Tetapi karena kulitnya bersih dan lebih putih daripada biasanya orang-orang sebangsa, maka ia selalu pantas dengan warna pakaian apa pun juga. (Halaman 18) 2.1. Citra Tokoh Asti dalam Aspek Psikis Asti sebagai suami dari Mas Jat Memiliki suami seseorang yang sibuk menjadi satu kesempatan untuk Asti berbuat bebas. Ia tidak pernah dikelilingi rasa khawatir kepada suaminya yang bertugas di luar kota. Selain karena hal itu, ada hal lain yang membuatnya semakin bebas, yaitu Asti belum memiliki anak. Asti sesungguhnya mencintai Mas Jat namun ketidakhadiran buah hati dan ketidakberadaan Mas Jat membuat dia kehilangan seseorang untuk mencurahkan cinta dan kasih sayang.

Hal ini diungkapkan oleh Sidik dalam percakapannya dengan Dati. Kutipan : Latar belakang perbuatan seseorang kadang-kadang mempunyai dasar yang kuat dan menyedihkan. Perempuan seperti Asti adalah yang paling sial di antara istri-istri yang berbahagia dan dicintai oleh suaminya. Dia sendiri penuh oleh perasaan cinta terhadap suaminya dan anak-anak. Tapi ia tidak mempunyai anak untuk mencurahkan cintanya. (Halaman 45) 2.3. Citra Tokoh Asti dalam Aspek Sosial Dari kebebasan yang ia miliki ternyata Asti pun memiliki kisah yang tidak jauh berbeda dengan Dati. Asti pun berselingkuh. Dalam novel ini, disebutkan bahwa Asti memiliki hubungan dengan beberapa pria. Sidik salah satunya. Bukti kutipan : Tentu saja aku mengenal hatinya. Kami berdua bersahabat karib, sejak sekolah di Yogya dan kemudian bertemu lagi dengan wajah dan lingkungan yang lain. Ia tidur empat malam berturut-turut dalam pelukanku. Kami saling menumpahkan kesedihan dan keresahan hati kami. Dan kami telah menjadi sahabat yang lebih akrab lagi. (Halaman 43) Selain dengan Sidik, ada pun pria lain yang menjadi

selingkuhannya. Hal ini diketahui Dati ketika Asti menginap di tempat Dati dan Mas Jat pun mengetahui ketika Asti wafat di dalam perjalanannya Bukti kutipan : Asti dalam perjalanan kembali dari Puncak ke Bogor, setelah dua hari di sana bersama seorang laki-laki pejabat tinggi. Aku tidak

tahu, aku tidak berani menerka mengapa mereka berdua ada di puncak. Dan aku takut mengira Mas Jat juga tahu mengapa istrinya ada di kota kecil tempat berlibur itu bersama laki-laki lain. (halaman 47)

BAB III PENUTUP

Kajian feminisme merupakan kajian yang bertitik pada membaca sebagai perempuan. Kajian ini dapat menganalisis citra perempuan atau kedudukan perempuan di dalam suatu karya sastra. Dalam novel Hati yang Damai ini citra perempuan digambarkan sedikit buruk dimana dua tokoh perempuan yang ada digambarkan sebagai pengkhianat dalam rumah tangga mereka sendiri. Dimana mereka masih memuja dan berhubungan dengan lelaki lain yang juga jelas-jelas telah beristri dan mereka berdua pun telah memiliki suami. Selain itu dijelaskan juga betapa buruknya perempuan yang dengan mudahnya kehormatannya pada lelaki yang bukan suaminya. Demikian kajian dalam karya sastra yang telah kami lakukan. Semoga hal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga khususnya untuk kami sebagai penulis. memberikan

DAFTAR PUSTAKA

Suharto, Sugihastuti. 2002. Kritik Sastra Feminis : Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

You might also like