You are on page 1of 10

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tingkat terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia masih sangat tinggi. Banyaknya tindak pidana korupsi telah menjadi masalah serius bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil jajak pendapat lembaga Konsultan Resiko Ekonomi dan Politik (Political and Economic Risk Consultancy/PERC), Filipina, Thailand, dan Indonesia masuk dalam tiga urutan teratas peringkat negara Asia yang paling korup. Jajak pendapat ini dilakukan pada 1.400 warga asing pelaku bisnis yang dilakukan pada Januari dan Februari 2008. Berbagai kasus korupsi sedang dan telah ditangani oleh penyidik yang diberi wewenang untuk itu, yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Penyidik telah menyeret berbagai pihak yang terlibat kasus korupsi, baik dari kalangan birokrasi (eksekutif) maupun anggota DPR (legislatif). Dari kalangan birokrasi, KPK telah menangani berbagai kasus korupsi yang melibatkan jaksa, mantan Kepala Polri, hingga mantan Gubernur dan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Di samping itu, saat ini pihak Kejaksaan sedang menangani kasus korupsi yang melibatkan Romli Atmasasmita, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, karena disangka melakukan korupsi sistem administrasi badan hukum (sisminbakum) di Departemen Hukum dan HAM, dengan merugikan keuangan negara sebesar Rp. 400 milyar. Sedangkan dari kalangan anggota DPR RI, sedikitnya sudah ada 10 orang anggota DPR RI yang saat ini aktif pernah dan masih tersangkut kasus korupsi, contohnya Hamka Yandhun dan Antony Zeidra Abidin telah divonis oleh pengadilan tindak pidana korupsi, masingmasing selama 3 (tiga) tahun. Mereka diadili karena menerima uang masing-masing 500 juta, yang merupakan bagian dari uang suap senilai Rp. 31, 5 miliar dari Bank Indonesia. Selain itu, Al-Amin Nur Nasution ditangkap oleh penyidik KPK sedang menerima hadiah 3 lembar cek perjalanan, masing-masing senilai Rp. 25 juta dari pengusaha Candra Antonio Tan, yang diserahkan oleh Sekretaris Daerah Bintan Azirwan.4 Praktek korupsi yang berupa penyuapan disinyalir juga banyak dilakukan oleh Perusahaan Terbatas (PT) untuk melancarkan bisnisnya. Berdasarkan data Bank Dunia, setiap tahun di seluruh dunia sebanyak US$ 1 triliun (sekitar Rp 9000 triliun) habis diperuntukkan sebagai uang pelicin atau suap.5 Untuk kasus di Indonesia, beberapa perkara korupsi menunjukkan kalangan swasta (termasuk PT) tidak luput dari jerat korupsi. Contohnya, dijeratnya beberapa rekanan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam perkara korupsi KPU yang melibatkan ketuanya Nazaruddin Syamsuddin. Rekanan KPU tersebut dijerat korupsi karena terbukti merugikan keuangan negara.6 Dalam kasus dugaan korupsi BPPC (Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkih), Kejaksaan Agung telah mengusut dan memanggil tujuh perusahaan Politik Hukum Pidana Dalam ....... 383 yang pernah melakukan komunikasi dengan BPPC dalam pengadaan cengkih yang melibatkan PT Kembang Cengkih Nasional milik Tommy Soeharto, yang mengakibatkan kerugian negara Rp. 1,7 Triliun dan berdasarkan hasil penyidikan dari tim penyidik Kejaksaan Agung perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kesalahan prosedur. Begitu pula dalam kasus Syaukani, dugaan korupsi pengadaan lahan seluas 256 hektar untuk pembangunan Bandara Loa Kulu, dari pihak KPK menilai perbuatan Syaukani telah menyebabkan kerugian negara Rp. 3 miliar dan hasil investigasi Badan Pengawas Daerah menemukan penggelembungan nilai kontrak perencanaan pembangunan bandara Rp. 6,3 miliar dari nilai kontrak keseluruhan Rp. 58,957 miliar. Namun, tidak semua sektor swasta dapat dijerat kasus korupsi. Kasus penunggakan pembayaran royalti batubara yang melibatkan beberapa perusahaan pertambangan dengan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 7 triliun menimbulkan perbedaan pendapat, apakah ada indikasi korupsi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral atau memang swasta murni. Perbedaan persepsi juga terjadi pada para ahli hukum. Menurut Rudy Satriyo, ada tiga hal yang terkait dengan penyuapan di sektor swasta. Pertama, subyek hukumnya adalah seseorang yang memimpin atau bekerja, dalam kapasitas, untuk suatu badan sektor swasta. Kedua, aktivitasnya terbatas pada sektor swasta yang bergerak di bidang atau dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan. Ketiga, batasan sektor swasta. Sektor swasta adalah yang tidak termasuk dalam penjelasan keuangan atau perekonomian

negara seperti yang disebutkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pandangan Rudy, perluasan korupsi sampai di sektor swasta adalah sesuatu yang harus dilakukan, karena penegakan hukum di bidang korupsi seringkali terbentur tipisnya perbedaan antara swasta dan negara. Contohnya adalah kasus kredit macet Bank Mandiri, yang mengakibatkan kerugian negara karena tipikor. Sedangkan pendapat Komariah Emong Sapardjaja, bahwa pemberantasan korupsi sektor swasta tidak seharusnya melihat unsur kerugian negara, karena bagaimana pun mereka telah menggunakan fasilitas dari negara. Kasus-kasus korupsi tersebut mengindikasikan bahwa ada keterkaitan yang erat antara sektor swasta dan sektor publik dalam masalah korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh sektor swasta akan berdampak pada melemahnya nilainilai, seperti kepercayaan dan loyalitas yang sangat diperlukan dalam upaya memelihara serta meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Sementara itu, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 belum secara tegas memuat ketentuan bahwa pelaku usaha dapat diancam dengan sanksi pidana. Sementara itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) Tahun 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Konvensi mewajibkan negara peserta mencegah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh sektor swasta. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana formulasi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkait dengan pelaku pihak swasta? dan bagaimana penerapan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan pihak swasta? Masalah ini penting untuk dikaji mengingat pemberantasan korupsi di sektor swasta sama pentingnya dengan pemberantasan korupsi oleh dan/atau yang melibatkan aparat pemerintah. Sektor swasta adalah supply side dari korupsi, demand sidenya adalah aparat pemerintah. Apabila supply side dapat disiplinkan maka diharapkan akan terjadi penurunan tingkat korupsi pada demand side. Berdasarkan perumusan masalah, beberapa pertanyaan yang penting diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur swasta sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi? 2. Tindakan pihak swasta yang bagaimana yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi? 3. Pihak swasta yang bagaimana yang dapat dijerat kasus korupsi? 4. Apakah unsur kerugian negara masih relevan dalam menjerat swasta dengan tindak pidana korupsi? 5. Bagaimana pendapat aparat penegak hukum terhadap subyek hukum dalam tindak pidana korupsi? 6. Apakah swasta perlu dimuat secara eksplisit dan didefinisikan dalam revisi UU No. 31 Tahun 1999? 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana formulasi Undang- Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkait dengan pelaku pihak swasta dan penerapan UU tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan pihak swasta. Sedangkan kegunaannya adalah sebagai bahan masukan bagi DPR RI dalam merevisi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Politik hukum pidana merupakan bagian dari politik hukum nasional. Menurut Sudarto, politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang lebih baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat serta kebijakan dari suatu negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Andi Hamzah mengemukakan pengertian formal politik hukum hanya mencakup satu tahap saja yaitu menuangkan kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk produk hukum atau disebut legislative drafting, sedangkan dalam pengertian materiil politik hukum. hukum pidana didefinisikan secara garis besar sebagai cara bertindak, atau siasat dari pemerintah (negara) dalam bentuk hukum pidana, sebagai garis besar pedoman untuk mencapai tujuan/sasaran tertentu (dalam menghadapi kejahatan). Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.14 Dalam bagian lain dia menyatakan bahwa melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti Usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadilan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Menurut Marc Ancel, politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, yang tidak saja kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Kemudian A. Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (Strafrecht Politiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berhak perlu diubah atau diperbaharui. b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, sehingga politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Sedangkan politik kriminal adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.18 Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, sehingga eksistensinya tidak dipersoalkan lagi. Berdasarkan uraian tersebut, maka usaha untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Politik hukum pidana dapat diidentikkan dengan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Berpijak dari keseluruhan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan yang luas, yang meliputi bidang hukum pidana yang tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan hukum pidana. Politik hukum pidana berintikan tiga tahap, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap perumusan undang-undang, yang diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dan penjelasannya. Sedangkan

tahap aplikasi dan tahap eksekusi adalah tahap penerapan suatu undang-undang, yang berkaitan erat dengan proses peradilan. Berkaitan dengan tindak pidana korupsi oleh sektor swasta, tahap formulasi adalah tahap perumusan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan acuan bagi aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi. UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tidak secara tegas menyebut sektor swasta sebagai subyek hukum tetapi menyebut kata setiap orang, yaitu orang perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 diartikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara itu, tahap aplikasi dan tahap eksekusi adalah bagaimana aparat penegak hukum menerapkan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan sektor swasta.

BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan yang telah dipublikasikan. Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder serta tersier. 3.2 Waktu dan Tempat 3.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian hukum ini menggunakan alat pengumpulan data dalam bentuk studi dokumen atau bahan pustaka sebelum penelitian dilakukan dan setelah penelitian dilakukan. Di lokasi penelitian dilakukan wawancara atau interview dengan para pihak yang terkait. Pihak terkait yang dimaksud adalah aparat penegak hukum. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan para pihak. Adapun para pihak yang telah diwawancara adalah Hakim Pengadilan Negeri, Polisi, dan Jaksa. Data sekunder mencakup dokumen resmi, bukubuku dan hasil penelitian yang berwujud laporan, dan lain-lain, dan dari data sekunder yang didapatkan juga dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peraturan perundangundangan terkait, antara lain UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001, buku-buku, kliping, dan berbagai data yang diakses dari internet. 3.4 Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini dilakukan dengan analisis kualitatif, yaitu data yang terkumpul atau diperoleh, baik data sekunder maupun data primer disusun dan dianalisis secara kualitatif sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan.

KESIMPULAN
A. Formulasi Undang-Undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari sekian banyak macam tindak pidana. Untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana, harus melihat pada ketentuan hukum pidana yang ada. Saat ini ketentuanketentuan itu dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang/peraturan pidana lainnya di luar KUHP. Tindak pidana yang tercantum dalam KUHP tentunya sulit untuk dapat mengikuti perkembangan zaman. Selalu kemudian timbul perbuatan yang tidak disebut dalam KUHP sebagai tindak pidana, tetapi masyarakat merasakan bahwa perbuatan tersebut merugikan masyarakat. Oleh karena itu, Pembentuk UU dapat mengeluarkan suatu peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana. Suatu tindak pidana yang tidak berada dalam KUHP, biasanya disebut sebagai Tindak Pidana di luar KUHP. Tindak pidana korupsi adalah salah satu tindak pidana di luar KUHP.22 Untuk mengatasi tindak pidana korupsi, peraturan dibuat silih berganti dan disempurnakan. Secara yuridis, pada tahun 1971 Indonesia memiliki UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu UU No. 3 Tahun 1971. UU No. 3 Tahun 1971 menjatuhkan pemidanaan hanya terhadap orang, dengan kata barangsiapa. Hal ini mengikuti hukum pidana umum (KUHP), yang pada setiap pasalnya berisi perumusan delik yang selalu dimulai dengan kata barangsiapa atau kata-kata lain yang menunjuk pada orang sebagai subyek seperti ibu dalam Pasal 341 dan Pasal 342 KUHP, panglima tentara dalam Pasal 413 KUHP, pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum dalam Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 KUHP. Subyek hukum dalam pasal-pasal yang menjadi delik korupsi menurut UU No. 3 Tahun 1971 adalah orang. Namun, UU tersebut secara khusus memuat pengertian pegawai negeri sebagai berikut: Pegawai negeri yang dimaksud oleh undang-undang ini, meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat. Kendati demikian, penegakan hukum terhadap perkara korupsi dengan UU No. 3 Tahun 1971 ini memiliki kelemahan. Penanganan tindak pidana korupsi, baik pada tahap penyidikan maupun penuntutan, selalu dilakukan dengan menggunakan dasar Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No. 3 Tahun 1971 yang merumuskan tindak pidana korupsi sebagai delik materiil dengan mensyaratkan adanya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagai akibat yang harus dibuktikan oleh jaksa di depan persidangan. Oleh karena itu,banyak hakim yang membebaskan terdakwa karena syarat kerugian negara atau perekonomian negara tersebut tidak terpenuhi, sebab terdakwa sudah terlebih dahulu mengembalikan uang negara yang dikorupsinya. Bahkan banyak pula kasus/perkara yang terpaksa tidak dilanjutkan ke pengadilan karena terdakwa telah menyetor kembali kerugian yang diderita kepada negara. Seiring dengan era reformasi, langkah serius untuk menindak pelaku korupsi terus berlanjut. Pada masa Pemerintahan B.J. Habibie, MPR mengeluarkan salah satu Ketetapan MPR (TAP MPR) yaitu TAP MPR No. XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. TAP MPR ini secara tegas menuntut lahirnya pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). TAP ini juga menyebutkan secara langsung keharusan memeriksa mantan Presiden Soeharto. Untuk menindaklanjuti Ketetapan tersebut, Pemerintah dan DPR menghasilkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam hal ini Penyelenggara Negara dianggap mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa, sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Penjelasan UUD Tahun 1945, bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara Negara dan Pemimpin Pemerintahan. Dalam waktu lebih dari 30 tahun, Penyelenggara Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu,

masyarakatpun belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara. Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.26 Pada masa Pemerintahan B.J. Habibie pula, Pemerintah dan DPR RI menyetujui UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan dari UU No. 3 Tahun 1971. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, pegawai negeri meliputi: 1. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian 2. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau 5. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa semangat Pembentuk UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menjerat pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sebagian besar definisi tentang korupsi lebih merujuk pada aparat pemerintah, sehingga seakan-akan pelaku dalam korupsi adalah selalu dari birokrasi. Sebagai contoh, definisi dari Transparency International yang mengatakan bahwa korupsi adalah the misuse of entrusted power for private benefit (penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan [oleh publik] untuk kepentingan pribadi). Pemakaian istilah entrusted power dalam konteks tersebut mengacu pada kekuasaan publik yang dipilih. Dengan demikian sektor swasta seakan-akan dilepaskan dari tanggungjawab dalam permasalahan korupsi. Pada saat ini dalam banyak kasus, badan-badan pemerintah mencari penyedia sektor swasta agar memperoleh barang-barang dan pelayanan dengan kualitas yang lebih baik dengan anggaran keseluruhan yang lebih rendah. Badanbadan pemerintah berusaha agar proses pengadaan barang lebih efisien, serta dapat mempersingkat waktu pengantaran dan kinerja selain juga mengurangi biaya administrasi. Tujuan tersebut dapat dicapai berdasarkan kontrak yang dibuat. Karena pengadaan barang publik adalah salah satu bidang utama dimana sektor swasta dan sektor publik menjalani interaksi keuangan, maka kegiatan tersebut menjadi rentan terhadap kegiatan-kegiatan korupsi. Korupsi dapat muncul dalam berbagai bentuk di masing-masing fase yang terpisah dari proses pengadaan barang tersebut. Walaupun proses pengadaan publik memang cukup rumit dan dapat diimplementasikan dengan cara yang berbeda, namun ada tiga fase proses pengadaan barang publik, sebagai berikut: 1. Perencanaan dan penganggaran pengadaan barang; 2. Permohonan pengadaan barang; dan 3. Pemberian kontrak dan kinerja. Dalam perencanaan dan penganggaran pengadaan barang, badan pemerintah perlu menentukan barang dan pelayanan seperti apa yang ingin dibelinya (persyaratan) dan berapa jumlah yang ingin ia keluarkan (anggaran). Dalam kedua kasus ini ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Dalam menentukan persyaratan, laporan dapat disiapkan yang secara tidak jujur membenarkan kebutuhan-kebutuhan departemen sekarang atau di masa depan, secara tidak jujur melaporkan kerusakan peralatan agar dapat menciptakan persediaan berlebihan yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan korupsi. Dalam fase permohonan pengadaan barang, utamanya adalah mengumpulkan permintaan proposal atau dokumendokumen tender dan menjalankan evaluasi. Kriteria evaluasi di dalam permintaan atas proposal atau dokumen tender dapat disusun agar memihak pada penyedia barang atau penyedia pelayanan tertentu atau sebaliknya dapat disusun untuk menekankan kelemahan-kelemahan dari pesaing tertentu. Setelah itu selama evaluasi proposal dan tender, kriteria evaluasi dapat salah diterapkan atau sebaliknya diartikan lebih jauh lagi atau diubah setelah tanda terima proposal atau tender diterima. Kesempatan-kesempatan korupsi juga dapat terjadi pada fase pemberian kontrak dan kinerja dari proses pengadaan barang, misalnya seorang penawar dapat mengajukan tawaran yang rendah secara tidak realistis dengan harapan bahwa setelah kontrak diberikan,

pejabat-pejabat yang mengurusi pengadaan barang akan memperbolehkan perubahan kontrak untuk menaikkan biaya. Sebaliknya, sebuah perusahaan dapat menyampaikan penawaran atas produkproduk berkualitas baik atau pekerja yang berkompeten untuk memenuhi sebuah persyaratan tertentu dan kemudian setelah kontrak ditandatangani menggantinya dengan produk atau pekerja yang kualitasnya lebih rendah. Di banyak negara pengadaan barang publik selalu dijadikan target oleh berbagai prakarsa antikorupsi nasional, internasional, dan multilateral sebagai bidang yang perlu direformasi. Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Keppres tersebut, yang dimaksud dengan penyedia barang/jasa badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa. Dengan demikian, kerjasama antara instansi Pemerintah dengan sektor swasta dalam pengadaan barang/jasa sangat lazim terjadi. Namun, Keppres tersebut banyak dilanggar, dan dalam beberapa kasus korupsi terungkap adanya praktek korupsi dalam pengadaan barang dan jasa kebutuhan Pemerintah. Modus korupsi yang lazim adalah mark up (penggelembungan nilai proyek) dan menurunkan spesifikasi barang tanpa mengoreksi nilai proyek. Bahkan ada pejabat yang melakukan tender fiktif. Berkaitan dengan hal itu, sektor swasta menjadi rentan dengan kegiatan korupsi yang dilakukan oleh badan pemerintah. KPK mengatakan bahwa pengadaan barang dan jasa publik sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi dan penyuapan. Setiap tahunnya, kerugian negara terkait pengadaan barang dan jasa mencapai rata-rata Rp. 36 triliun. Oleh karena itu, UU harus dapat mengantisipasi hal ini. Ada beberapa pasal dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bisa dilihat sebagai alat untuk menjerat sektor swasta. UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 memperluas pengertian orang (Pasal 1 angka 3 menyebut dengan kata setiap orang), termasuk juga korporasi. Korporasi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 diartikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara itu, pengertian setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Di dalam setiap rumusan tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 (Pasal 2 sampai dengan Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22) menyebut pelaku delik dengan kata setiap orang. Kata setiap orang dalam UU dapat diartikan secara luas, termasuk juga sektor swasta. Namun, karena tidak menyebut secara tegas adanya kata swasta dalam UU, maka seringkali timbul perbedaan pendapat dalam penerapannya. Padahal, instansi Pemerintah dalam melakukan kegiatan pengadaan barang dan jasa kebutuhan Pemerintah yang dibiayai dengan APBN/ APBD, dilaksanakan dengan jasa penyedia barang/jasa. Di samping pegawai negeri, subyek hukum dalam UU No. 3 Tahun 1971 adalah badan/badan hukum. Namun, dalam UU No. 31 Tahun 1999 kata badan/badan hukum diubah menjadi kata korporasi. UU No. 3 Tahun 1971 menyebut badan atau badan hukum tetapi bukan sebagai penanggung jawab pidana, melainkan sebagai pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh delik korupsi (sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b UU No. 3 Tahun 1971). Sementara itu, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menjadikan korporasi sebagai subyek delik. Saat ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) Tahun 2003 dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) pada tanggal 18 April 2006. Ratifikasi UNCAC dapat diartikan sebagai tingginya komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi. UNCAC secara garis besar meliputi tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, kriminalisasi dan penegakan hukum, pengembalian aset dan kerjasama internasional. Konvensi tersebut memuat ketentuan mengenai sektor swasta dalam Pasal 12, Pasal 21, dan Pasal 22. Tindakan preventif yang wajib dilakukan negara peserta untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta, meliputi antara lain: a. Meningkatkan kerjasama di antara badan-badan penegakan hukum dan badan-badan hukum perdata yang bersangkutan b. Meningkatkan pengembangan standar-standar dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk melindungi integritas badan-badan hukum swasta yang bersangkutan c. Meningkatkan transparansi di antara badan-badan hukum swasta

d. Mencegah penyalahgunaan prosedur-prosedur yang mengatur badan hukum perdata; e. Mencegah benturan-benturan kepentingan dengan menerapkan pembatasan-

pembatasan, dimana perlu, untuk jangka waktu yang wajar, bagi kegiatan-kegiatan profesional mantan pejabat-pejabat publik f. Memastikan bahwa perusahaan-perusahaan swasta, dengan memperhitungkan struktur dan besarnya mereka, memiliki pengawasan audit internal membantu mencegah dan melacak perbuatan-perbuatan korupsi. Selanjutnya, untuk mencegah korupsi, negara peserta wajib mengambil tindakantindakan yang mungkin diperlukan, sesuai dengan hukum nasionalnya dan peraturan perundang-undangan mengenai buku-buku dan catatan-catatan, laporan keuangan dan standar-standar akuntansi dan auditing, untuk melarang perbuatan-perbuatan yang berikut: a. Pembuatan catatan-catatan di luar pembukuan b. Membuat transaksi-transaksi di luar pembukuan dan yang tidak dapat diidentifikasi dengan jelas c. Mencatat pengeluaran yang tidak ada d. Pembukuan kewajiban utang dengan identifikasi tentang tujuannya yang tidak benar e. Penggunaan dokumen-dokumen palsu f. Pemusnahan secara sengaja dokumen-dokumen pembukuan lebih awal dari yang telah ditentukan oleh hukum. Sementara itu, dalam rangka pemberantasan, Konvensi memuat ketentuan mengenai penyuapan di sektor swasta (Pasal 21) dan penggelapan kekayaan dalam sektor swasta (Pasal 22). Penyuapan dan penggelapan masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Namun, penyuapan di sektor swasta dan penggelapan kekayaan dalam sektor swasta belum dianggap sebagai tindak pidana korupsi karena tidak merugikan keuangan/perekonomian negara. UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat unsur kerugian keuangan/perekonomian negara sebagai unsur tindak pidana korupsi. Ratifikasi UNCAC membawa konsekuensi bahwa Indonesia harus menerapkan prinsip-prinsip yang ada dalam UNCAC dalam pencegahan terjadinya korupsi di sektor swasta. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus disesuaikan dengan ketentuan dalam UNCAC. Badan-badan Pemerintah menggunakan penyedia jasa dan barang dari sektor swasta dalam pengadaan barang dan jasa kebutuhan Pemerintah agar proses pengadaan barang lebih efisien, dapat mempersingkat waktu pengantaran dan kinerja, serta mengurangi biaya administrasi. Dalam kegiatan tersebut timbul peluang terjadinya tindak pidana korupsi yang tidak hanya dilakukan pegawai atau pejabat Pemerintah tetapi juga melibatkan sektor swasta. Praktek korupsi yang disinyalir banyak dilakukan oleh sektor swasta berdampak pada melemahnya nilai-nilai, seperti kepercayaan dan loyalitas yang sangat diperlukan dalam upaya memelihara serta meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Namun, politik hukum pidana dalam formulasi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 21 Tahun 2001 belum secara tegas mengatur ketentuan bahwa pelaku usaha atau pihak swasta menjadi subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana. UU memuat pengertian orang dengan kata setiap orang termasuk juga korporasi dan secara khusus memuat liputan pegawai negeri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semangat DPR RI dan Pemerintah pada saat pembentukan UU adalah untuk menjerat pegawai negeri dan/atau penyelenggara negara. Ketidaktegasan UU dalam mengatur sektor swasta menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapannya. Para penegak hukum berbeda pendapat terhadap subyek hukum dalam UU No. 31 Tahun 1999. Berdasarkan hasil penelitian di lokasi, ada aparat penegak hukum yang berpendapat bahwa swasta sudah termasuk dalam kata setiap orang, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sektor swasta perlu dikriminalisasi dalam UU No. 31 Tahun 1999, yang menunjukkan bahwa belum dapat dijeratnya sektor swasta oleh UU tentang Tipikor. Di samping itu, unsur kerugian negara dalam dugaan korupsi yang dilakukan sektor swasta menjadi unsur yang harus dipenuhi, sementara UNCAC tidak mensyaratkan unsur kerugian negara tersebut. Kondisi ini dapat menyebabkan tidak efektifnya penerapan UU No. 31 Tahun 1999.

DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Politik Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1991. Barda Nawawi Arief, Politik Hukum Pidana, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1992. K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta, April 1971. M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 1985. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. , Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Against Corruption, 2003. Konvensi PBB Menentang Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption/UNCAC) Tahun 2003. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

10

You might also like