You are on page 1of 6

PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK KRETEK Awal Usaha Kretek Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa

Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus. Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir. Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito). Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis). Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta

Perkembangan industri kretek di daerah di pulau Jawa Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug Wetan. Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968, mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus. Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing-masing. Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya dekrtahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.

PERANAN TEMBAKAU DAN INDUSTRI ROKOK DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL Oleh: M. Rondhi (Dosen Ekonomi Pertanian Universitas Jember dan Peneliti Sosial Ekonomi Tembakau) Akhir-akhir ini perbincangan tentang tembakau dan produk turunannya masih sangat hangat diperdebatkan. Pada titik simpul yang lain paling tidak pada tahun 2008 dikeluarkan tentang fatwa haram rokok (baca:industri hasil tembakau), tahun 2009 dikeluarkan undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan tahun 2010 (masih dalam bentuk RPP) akan dikeluarkan tentang RPP pengamanan produk tembakau. Senada dengan fatwa MUI, maret 2010 fatwa haram rokok juga dikeluarkan oleh organisasi masa Muhammadiyah. Perlu diketahui bahwa industri pertembakauan merupakan kesatuan industri dari usahatani, industri pengolahan, pemasarannya dan industri hasil tembakaunya. Masalah tembakau dapat diartikulasikan dalam domain yang terintegrasi dengan semua elemen yang ada di didalamnya baik dari onfarm business-nya maupun dari off-farm businessnya. Tembakau sangat terkait dengan petani sebagai penghasil tembakau dan juga industri rokok sebagai penyerap tembakau untuk dibuat dalam industri hasil tembakau. Data menunjukkan pada kita bahwa paling tidak masih terdapat eksistensi penglohan komoditas tembakau yang begitu luar biasa. Terlihat dari ahmparan luas areal

tembakau di Indonesia dengan rata-rata 185.785 ha dan mampu berproduksi sebesar 150.305 ton per tahun (Pusdatin Deptan, 2008). Secara spasial juga terlihat bahwa dominasi spasial tembakau tersebar dibeberapa wilayah Indonesia. Dari luas wilayah tersebut, 60% diantaranya berada di di Jawa Timur, 16% di Jawa Tengah dan DIY, 15% berada di Nusa Tenggara Barat, dan sisanya menyebar di seluruh Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa tembakau merupakan komoditas spesifik Indonesia. Tulisan ini mengangkat tembakau dari segi on-farm, of-farm termasuk kelembagannya. On-Farm tembakau: Sumbangannya terhadap Ekonomi Rumah Tangga Tembakau merupakan tanaman yang spesific dan localize. Yang pertama terkait dengan jenis dan varietas sangat berpengaruh terhadap hasil. Sama-sama tembakaunya, akan berpengaruh terhadap perlakuan dalam usahatani dan pasca panennya. Sebagai contoh tembakau rajangan (cara pengairan, topping-nya, dan pengolahannya) berebeda dengan tembakau Virginia dan juga tembakau lainnya. Selanjutnya yang kedua tembakau jenis yang sama memberikan hasil yang berbeda saat ditanam di lahan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa petani memiliki cara-cara tertentu dalam memproduksi tembakau. Santoso dkk (2008) mengisyaratkan bahwa tembakau merupakan tanaman yang memiliki benefeciary tertinggi dibandingkan dengan tanaman semusim lainnya. Di wilayah lahan tembakau rotasi tanaman yang dipilih masyarakat adalah padi-padi tembakau, padi-tembakau, padi-palawijo-tembakau, padi-padi-palawijo. Dari empat pola rotasi tanaman tersebut, tiga diantaranya memasukkan tembakau dalam usahataninya, hanya satu yang tidak memasukkannya. Selanjutnya jika dibandingkan dengan palawijo lainnya, usahatani tembakau memiliki keuntungan tertinggi dibandingkan dengan tanaman kacang tanah, kedelai, jagung dan lainnya. Sebagai gambaran usahatani tembakau rajangan per hektarnya dapat menghasilkan kurang lebih 900 kg tembakau kering dengan harga rata-rata Rp 21.000/kg, dengan demikian penerimaan petani sebesar Rp 18.900.000. Dari penerimaan tersebut, keuntungan yang didapatkan kurang lebih Rp 7,000,000, belum lagi tembaku jenis lain yang mendapatkan kauntungan lebih besar. Dibandingkan dengan usahatani kedelai yang tiap hektarnya mendapatkan keuntungan Rp 3.000.000,-, dengan asumsi produksi tiap hektarnya 1.200 kg dengan harga Rp7.500 dengan biaya produksi sebesar Rp 6.000.000/hektarnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor tembakau dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Lebih dari itu, usahatani tembakau sabagai pendorong bergeraknya roda perekonomian di daerah. Sebagai contoh di wilayah Pulau Madura, uang kartal yang disediakan oleh Bank Indonesia pada musim panen tembakau di Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep meningkat menjadi Rp. 750 juta sampai Rp. 1 triliun per bulan, sedangkan pada bulan-bulan biasa hanya Rp. 100 juta (Kompas, 2003). Sebagai tambahan usahatani tembakau membutuhkan biaya sekitar Rp 12.000.000 untuk tiap hektarnya, hal ini berarti ada sejumlah input yang digunakan untuk memproduksi

tembakau tersebut baik dari sarana dan prasarana (lahan, pupuk) dan tenaga kerja. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa di daerah pengembangannya, tembakau memberikan sumbangan 60-80% dari total pendapatan petani, sehingga merupakan komoditas unggulan. Terkait dengan tenaga kerja di sektor pertembakauan di jelaskan bahwa tembakau dapat menyerap tenaga kerja. Alokasi waktu menanam tembakau sebesar 220 HOK - 320 HOK untuk tiap hektarnya dan bahkan untuk tembakau virginia membutuhkan 473 HOK. HOK tersebut senilai dengan 5 orang yang bekerja dalam 58 80 hari. Tenaga kerja (buruh) yang bekerja pada usahatani tembakau mendapat upah Rp.20.00035.000 perHOK. Sedangkan untuk tanaman padi dan tanaman palawija lain masing-masing memiliki HOK sebesar 85 HOK 115 HOK dan 50 HOK 90 HOK untuk tiap hektarnya. HOK tersebut senilai dengan 3 tenaga kerja selama 26 hari dengan upah sebesar Rp15.000-25.000/HOK. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman tembakau sangat bermanfaat dalam memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor yang menyebabkan pengusahaan tembakau mempunyai basis yang kuat. Usaha untuk mengurangi areal tembakau sulit dilakukan karena tembakau hanya dapat ditanam pada wilayah-wilayah tertentu dengan kondisi kesesuaian lahan yang spesifik dan memberikan keuntungan bagi petani. Penggantian tembakau dengan tanaman alternatif seperti bawang merah, semangka dan melon pada awalnya memberikan hasil yang baik, tetapi pada saat komoditas tersebut makin berkembang pasar menjadi kendalanya, sehingga petani cenderung bertahan untuk menanam tembakau. Off-Farm tembakau: Sumbangannya Terhadap Perkonomian nasional Beberapa hal yang termasuk dalam off-farm tembakau adalah pengolahan pasca panen, pemasaran dan industri hasil tembakau. Dua hal pertama (pengolahan pasca panen, dan pemasaran) sangat terkait dengan jenis tembakau dan asal wilayah, sedangkan yang ketiga sangat terkait dengan struktur perekonomian nasional. Secara makro produksi rokok nasional rata-rata 215.671 juta batang (2000-2004), sejumlah 187.331 juta batang (87%) adalah rokok kretek yang 85% bahan baku tembakaunya dari dalam negeri. Penerimaan negara dari cukai selalu naik dari tahun ke tahun; pada tahun 2004 sebesar Rp. 28,6 triliun, tahun 2005 Rp. 33,2 triliun dan 2006 sebesar Rp. 38,5 triliun, tahun 2008 50 triliun dan tahun 2009 sebesar 56 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa tembakau memberikan sumbangan besar dalam perekonomian Indonesia. Jika dikomparasikan dengan RAPBN tahun 2009 sebesar 1,014 triliun, sektor industri hasil tembakau memberikan sumbangan 5%. Sumbangan ini terlihat kecil jika dilihat persentasenya, akan tetapi akan terlihat besar jika dibandingkan dengan sektor lain yang ada di dalam struktur perekonomian (Tabel Input-Output 66 sektor). Suatu sektor dikatakan standar dalam perekonomian nasional jika menyumbang sebesar 1,5% (100%/66 sektor). Itu semua jika keadaan lain dikatakan ceteris paribus (artinya semua RAPBN hanya dibiayai dari penerimaan masing-masing sektor dalam perekonomian).

Lebih lanjut dari ketenaga kerjaan, sektor industri tembakau (on-farm dan offfarm) menyumbang 18 juta serapan tenaga kerja, 8 juta dan on-nya dan 10 juta dari offfarmnya. Serapan tenaga kerja ini sangat mampu mengurangi beban negara dalam meningkatkan kesejahteraan warganya. Upah yang berlaku di industri hasil tembakau sudah sesauai dengan upah minimum regional daerah (Santoso, 2008) baik dengan sistem pengupahan kerja bulanan atau borongan. Di Industri hasil tembakau sudah ada asosiasi pengusaha rokok yang memberikan aturan tentang sistem kerja karayawan yang bekerja pada industri rokok yang dengan hal tersebut hak karyawan dapat terlindungi. PERANAN INDUSTRI ROKOK KRETEK Keberadaan industri rokok di Indonesia sangat dilematis. Di satu sisi diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara, namun di sisi lain dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dalam sepuluh tahun terakhir industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Pada tahun 2001 penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp. 2,9 trilyun dan tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar Rp. 4,153 trilyun. Pada tahun 2003 penerimaan cukai negara dari industri rokok mencapai Rp. 4,792 trilyun dan tahun 2004 melonjak lagi menjadi Rp. 7,391 trilyun. (www.Indocommercial.com) Di Indonesia pada umumnya terdapat empat macam jenis rokok, yaitu rokok putih, rokok ini berisi tembakau murni yang dibungkus dengan kertas rokok dan proses pembuatannya hampir 100% dikerjakan dengan mesin jenis rokok ini rasanya pahit apabila dihisap dan tidak padat. Rokok kretek, rokok ini adalah produksi dalam negeri karena hanya ada di Indonesia. Istilah kretek diambil karena bunyinya kretek-kretek saat dibakar. Rokok ini berisi tembakau yang sudah dicampur cengkeh dan rempah-rempah lainnya lalu dibungkus dengan kertas rokok sehingga menimbulkan rasa manis. Rokok klobot, rokok ini hampir sama dengan rokok kretek hanya saja yang membedakan rokok ini dibungkus dengan kulit jagung. Rokok jenis ini biasanya banyak dijumpai di daerah pedesaan, hal ini disebabkan selain harganya murah juga menjadi kebiasaan turun-menurun masyarakat pedesaan. Cerutu, yang membedakan cerutu dengan rokok adalah ukuran dan pembungkusnya. Ukuran cerutu pada umumnya lebih besar daripada rokok dan dibalut dengan tembakau juga, bukan kertas seperti rokok. Cerutu memiliki kandungan tembakau yang sangat padat sehingga biasanya satu batang cerutu bisa dihisap secara bertahap. Perkembangan produksi rokok di Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 terdiri dari rokok kretek, rokok putih, dan klobot. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa perkembangan produksi rokok mengalami kenaikan dari tahun 2003 hingga pada puncaknya pada tahun 2005. Pada tahun 2006 produksi rokok secara total mengalami penurunan. Penurunan produksi secara signifikan diakibatkan menurunnya produksi rokok kretek yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan produksi rokok putih. PT. Djarum merupakan perusahan rokok kretek terkemuka di Indonesia dan menguasai pangsa pasar industri rokok kretek terbesar ke tiga di Indonesia. PT. Djarum didirikan

oleh Oei Wie Gwan dari sebuah pabrik rokok kecil di Kudus yang dibelinya pada tahun 1951. Perusahaan ini nyaris punah pada saat terbakar dan saat Oei Wie Gwan meninggal. Karena kegigihan dari dua bersaudara putra dari Oei Wie Gwan yang membangun kembali puing-puing yang tersisa sehingga PT. Djarum dapat tetap bertahan. Mengawali sukses dengan sigaret kretek tangan (SKT), Djarum kemudian sukses juga merambah sigaret kretek mesin (SKM). (www.Djarum.com) PT. Djarum menempati posisi ke tiga dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan jumlah produksi 20,9 milyar batang rokok dengan porsi SKM 9,3 milyar batang (44,5%). Pada Tahun 1985 dan 1986 PT. Djarum pernah menduduki tempat teratas dalam produksi rokok kretek dalam negeri meninggalkan PT. Gudang Garam. (www.Djarum.com) Produk rokok yang diproduksi PT. Djarum antara lain L.A. Lights, Djarum Super, Djarum 76, Djarum Coklat, Djarum Black Cappuccino, Cigarrilos, Djarum Super Mezzo dan produk terbarunya Djarum Black Tea. Dari beragamnya produk PT. Djarum, L.A. Lights dianggap cukup diminati banyak kalangan remaja. Hal ini dibuktikan dalam mempromosikan L.A. Lights baik media elektronik maupun media massa selalu menginisialkan tokoh remaja sehingga membuat citra (brand image) bahwa rokok ini diprioritaskan untuk kalangan anak muda. Promo lain yang sering dilakukan yaitu mensponsori event-event musik yang kerap diminati anak muda sehingga lebih mengenal dan mengerti terhadap rokok L.A. Lights ini. Produk-produk Djarum disalurkan ke seluruh pelosok Indonesia dan mancanegara melalui jaringan distribusi terpadu dan terkomputerisasi yang dibangun untuk memberikan layanan profesional dan tepat waktu pada pelanggan. Distribusi pasar nasional dikelola oleh tiga perusahaan yaitu: 1.PT. Anindita Multiniaga Indonesia, untuk wilayah Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. 2.PT. Lokaniaga Adipermata, untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. 3.PT. Adiniaga Sentrapersada, untuk wilayah Jabotabek, sebagian Jawa Barat, Sumatera, dan Kalimantan Barat . (www.Djarum.com) Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa PT. Djarum berusaha melakukan strategi bauran pemasaran. Bauran pemasaran yang terdiri dari produk, harga, distribusi dan promosi ini merupakan faktor yang digunakan untuk mendorong konsumen memberikan respon positif terhadap produk yang ditawarkan. Bauran pemasaran dari perusahaan dapat dijadikan pertimbangan konsumen dalam keputusan membeli. Bauran pemasaran dapat berdampak positif terhadap keputusan konsumen apabila perusahaan dapat mengetahui perilaku pembelian konsumen. Perusahaan yang mengetahui pola pembelian konsumen dapat mengarahkan konsumen dalam pengambilan keputusan yang sesuai dengan harapan perusahaan. Keputusan pembeli dapat meliputi pilihan produk, pilihan merk, pilihan toko, dan pilihan jumlah. Berangkat dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Dipertimbangkan Mahasiswa Dalam Pembelian Rokok L.A. Lights, studi kasus dilakukan di Universitas Muhammadiyah Malang yang merupakan salah satu Perguruan Tinggi Swasta terbesar di Malang.

You might also like