You are on page 1of 9

Fungsi MPR setelah Amandemen UUD 1945 1.

Keberadaan Utusan Golongan dihapuskan sehingga prinsip keterwakilan fungsional (functional representation) di MPR menjadi tidak ada lagi. Sebab itu, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR mewakili prinsip keterwakilan politik (political representation) dan DPD mewakili prinsip keterwakilan daerah (regional representation). 2. MPR tidak lagi punya kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol. Sebelumnya, MPR fungsi-fungsi : (1) menetapkan UUD dan mengubah UUD; (2) menetapkan GBHN; (3) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (4) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden; (5) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden. Kini fungsi tersebut telah susut menjadi hanya : (1) menetapkan UUD dan atau Perubahan UUD; (2) melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (4) menetapkan Presiden dan atau Wakil Presiden Pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden. 3. Amandemen UUD 1945 menyuratkan kekuasaan membentuk Undang-undang Dasar ada di tangan DPR (bukan MPR lagi). Sebab itu, Indonesia kini menganut separation of power (pemisahan kekuasaan). 4. Dengan diterapkannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, MPR tidak lagi punya kuasa memilih keduanya. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan langsung kepada rakyat.

Kendati begitu, ada beberapa peran vital yang diemban MPR. Misalnya, menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat 2 menyatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya 60 hari MPR bersidang untuk memilih wakil presiden dari 2 calon yang diusulkan Presiden. Selain itu, Pasal 8 ayat 3 menyebut, bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya dalam 30 hari MPR bersidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari 2 pasangan calon presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wapres-nya meraih suara yang terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Juga, Pasal 3 ayat 3, Pasal 7A dan Pasal 7B, MPR punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 37 UUD 1945. Dengan argumentasi-argumentasi di atas, dapat dipahami bahwa MPR adalah lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Sebab itu, Indonesia dikenal menerapkan sistem perwakilan 3 kamar (trikameralisme). Mengenai kecilnya peran MPR ini, Maswardi Rauf menulis bahwa sempat muncul pemikiran bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak perlu berbentuk badan tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-persidangan yang dilakukan DPR dan DPD. Lebih lanjut, Rauf menyatakan MPR sekadar punya 3 fungsi, yaitu : (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (tentu, setelah mendengar usulan DPR dan mekanisme lain di dalam UUD 1945). Fungsi MPR yang pertama dan ketiga bukanlah fungsi yang rutin dilakukan (jarang). Fungsi

melantik Presiden dan Wakil Presiden pun sekadar seremonial, karena MPR sekadar melakukan upacara. Perlu diingat, yang memilih Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi MPR, tetapi rakyat secara langsung. Sebab itu, MPR tidak dapat menghambat jalannya pelantikan dengan kuorum kehadiran anggota mereka apalagi jumlah suara yang setuju/tidak setuju pelantikan tersebut. MPR dalam Sejarah. Dalam perspektif historis, cikal bakal MPR kini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beroperasi tahun 1945 hingga 1949. Saat itu, tata negara Indonesia belumlah semapan sekarang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Dalam masa itu belumlah ada struktur legislatif bernama MPR. Namun, dalam Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub bahwa sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk oleh UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Tanggal 29 Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat yang saat itu merupakan badan pembantu Presiden. Anggotanya terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk anggota PPKI. Susunan pimpinan KNIP ini adalah :
y y y y

Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo Wakil : Mr. Sutardjo Kartohadikusuma Wakil : Mr. J. Latuharhary Wakil : Adam Malik

KNIP lalu mengusulkan pada eksekutif untuk menerbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945 pada tanggal 16 Oktober 1945. Isi dari maklumat tersebut adalah diserahinya tugastugas MPR dan DPR serta penetapan Garis Besar Haluan Negara kepada KNIP, sebelum badan-badan yang diperuntukkan untuk itu belum ada. UUD Republik Indonesia Serikat dan UUDS 1950. Pada tahun 1949 hingga 1959 berlaku dua versi konstitusi berbeda: Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara. Di dalam 2 versi konstitusi tersebut, lembaga bernama MPR tidaklah dikenal. Pada masa ini pula, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Dalam Pemilu ini, rakyat secara langsung memilih anggota DPR dan Konstituante (badan penyusun undang-undang dasar). Setelah terpilih, Konstituante segera bersidang menyusun UUD. Namun, di dalam Konstituante sendiri terjadi aneka perdebatan yang berujung pada ditemuinya jalan buntu. Untuk mengatasi itu, Presiden RI (Sukarno) segera mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah : Pembubaran Konstituante; Berlakunya kembali UUD 1945 dan pembatalan UUDS 1950, serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Upaya Presiden ini merupakan bentuk pengimplementasian pendirian struktur-struktur politik yang memang digariskan dalam UUD 1945. MPRS. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 tahun 1959. Dasar hukumnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu. Isi dari Penpres tersebut adalah :

1. MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah utusan-utusan daerah dan golongan 2. Jumlah anggota MPR ditetapkan Presiden. 3. Yang dimaksud daerah dan golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I (setara provinsi) dan Golongan Karya (fungsional). 4. Anggota tambahan MPRS diangkat Presiden dan mengucap sumpah menurut agama di hadapat Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden. 5. MPRS punya ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat Presiden.

Jumlah anggota MPRS yang dibentuk kemudian, didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 199 tahun 1960, adalah 616 orang. Jumlah ini terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Susunannya sebagai berikut :
y y y y y

Ketua : Chairul Saleh Wakil : Mr. Ali Sastroamidjojo Wakil : K.H. Idham Chalid Wakil : Dipa Nusantara Aidit Wakil : Kolonel Wilujo Puspojudo

Dalam kelanjutannya, MPRS ini melakukan beberapa kali sidang. Sidang pertama diadakan 10 Nopember s/d 7 Desember 1960, yang menghasilkan dua keputusan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan; (2) Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Sidang kedua yang diadakan MPRS berlangsung tanggal 15 s/d 22 Mei 1963. Dalam sidang kedua ini dicapat 2 ketetapan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dan; (2) Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Sidang ketiga yang diadakan MPRS terjadi pada tanggal 11 s/d 16 April 1965. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan berikut : (1) Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di Atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan Berdikari sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia; (2) Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan; (3) Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang Gesuri, TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso), The Fifth Freedom is Our Weapon dan The Era of Confrontation sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, dan; (4) Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Pada periode 1966 hingga 1972, periode setelah Presiden Sukarno tidak lagi menjabat presiden, terciptalah susunan pimpinan MPRS sebagai berikut :

1. 2. 3. 4. 5.

Ketua : Dr. A.H. Nasution Wakil : Osa Maliki Wakil : H.M. Subchan Z.E. Wakil : M. Siregar Wakil : Mashudi

Struktur baru MPRS ini mengadakan Sidang Umum keempat MPRS di Istora Senayan Jakarta tanggal 21 Juni hingga 5 Juli 1966. Sidang umum ini menghasilkan sangat banyak ketetapan, yang totalnya berjumlah 24. Dalam Sidang Umum keempat ini juga diadakan Sidang Istimewa MPRS untuk mendengar Pidato Pertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam pidatonya yang dikenal sebagai Nawaksara. MPRS tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, dan Presiden Sukarno lalu melengkapinya pada tanggal 10 Januari 1967 dengan suratnya berjudul Pelengkap Nawaksara. Namun, tetap saja ini tidak memuaskan MPRS. MPRS sebab itu mengambil kesimpulan bahwa Presiden tidak memenuhi kewajiban konstitusional. Di sisi lain, DPR-GR mengusulkan pada MPRS untuk mengadakan kembali Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Letjen Suharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Sidang Istimewa akhirnya digelar MPR tanggal 7 hingga 12 Maret 1967. Pada tahun 1971, Indonesia mengadakan Pemilu yang pertama. Dari Pemilu tersebut dihasilkan Susunan pimpinan MPR (tidak pakai sementara lagi). Susunan keanggotaan MPR ini didasarkan pada Undang-undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut UU tersebut, jumlah anggota MPR adalah 920 orang, dengan komposisi berikut :
y y y y y

Fraksi ABRI : 230 orang Fraksi Karya Pembangunan : 392 orang Fraksi PDI : 42 orang Fraksi Persatuan Pembangunan : 126 orang Fraksi Utusan Daerah : 130 orang

Pola MPR seperti di atas konsisten selama periode Orde Baru hingga 1998. Posisi MPR, dalam sidang 5 tahunannya melakukan hal-hal rutin seperti mengangkat Suharto sebagai presiden, dan menentapkan GBHN yang draf-nya sudah ditentukan oleh pemerintah. Kondisi ini sedikit berubah pasca transisi politik Indonesia 1998. Pasca 1998. Pasca 1998, MPR mengalami perubahan sesuai perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Perubahan ini tampak dari berubahnya fraksi-fraksi yang dihasilkan antar periode Pemilu. Dalam periode 1999 2004, jumlah Fraksi yang ada di MPR terdiri atas 9 Fraksi dan 1 NonFraksi. Fraksi-fraksi yang ada adalah Fraksi Partai Bulan Bintang (14 orang), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (305 orang); Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa

(5 orang); Fraksi Partai Daulah Ummat (8 orang); Fraksi Partai Golongan Karya (297 orang); Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (109 orang); Fraksi PPP (123 orang); Fraksi Reformasi (46 orang); Fraksi TNI/Polri (96 orang); dan nonFraksi 1 orang yaitu Drs. Dr. Muhammad Ali, SH., Dip. Ed., M.Sc. Pasca pemilu 2004, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 8 Fraksi dan 1 Kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Golongan Karya (PKPB dan PBR bergabung ke sini); Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDS bergabung ke sini); Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; Fraksi Partai Demokrat (gabunga 5 parpol dengan 20 kursi); Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi (gabungan PBB, PP, PNI-Marhaenisme, PKPI, PPDK, dan PPDI), serta Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (132 orang). Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat (seterusnya disingkat DPR) merupakan sebuah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan politik (political representative). Jimly Asshiddiqie menyebut, fungsi legislatif berpusat di tangan DPR. Anggotanya terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota DPR melihat segala masalah dari kacamata politik. Melalui lembaga ini, masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya dalam tata kelola negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu bergantung pada kualitas anggota dewan yang dimiliki. Dalam skema sistem politik David Easton, DPR bekedudukan hampir di setiap lini: Dalam lini Input, DPR merespon kepentingan masyarakat melakukan mekanisme pengaduan harian; Di lini konversi, DPR bersama pemerintah bernegosiasi bagaimana kepentingan masyarakat diakomodir; dan di lini Output, DPR mengeluarkan Undang-undang yang merupakan kebijakan negara yang harus dijalankan lembaga kepresidenan. Lebih lanjut, Almond telah merinci aneka fungsi yang dimaksud skema sistem politik Easton. Dalam konteks pemikiran Almond, maka DPR adalah struktur yang menjalankan fungsifungsi Input (agregasi kepentingan, komunikasi politik) dan fungsi output yaitu Legislasi. Dalam kekuasaannya sebagai legislator, DPR berhadapan dengan Presiden dan DPD. Harus ada kerjasama harmonis antara ketiga institusi ini, kendati kekuasaan legislatif tetap ada di tangan DPR. Hubungan DPR dengan Presiden. Berdasar Pasal 20 UUD 1945, DPR dipahami sebagai lembaga legislasi atau legislator, bukan Presiden atau DPR. Dalam konteks pembuatan undang-undang oleh DPR ini, UUD 45 menggariskan hal-hal sebagai berikut :
y y

DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif, bukan Presiden atau DPD Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah mendapat persetujuan besama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi Undangundang. Rancangan Undang-undang yang telah resmi sah menjadi Undang-undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya.

y y

Setiap rancangan undang-undang dibahas agar diperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR. Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan berhadapan dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak inisiatif DPR itu (seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan DPR dalam tahun sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang. Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun menolak (sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk menerima atau menolak RUU yang diajukan Presiden itu. Jika suatu RUU telah disetujui dalam rapat paripurna DPR dan disahkan dalam rapat DPR tersebut, maka secara substantif ataupun materiil RUU tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR itu belum mengikat secara umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya. Meski Presiden sudah tidak dapat lagi mengubah materinya atau tidak menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah. Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum mempertimbangkan kondisi berikut : (a) Faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-undang itu; (b) Faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas rancangan UU tersebut dalam rapat paripurna DPR (pengesahan materil oleh DPR, pengesahan formil oleh Presiden).

Fungsi-fungsi DPR. DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Fungsi anggaran adalah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden. Fungsi pengawasan adalah mengawasi jalannya pemberlakuan suatu undang-undang oleh DPR berikut aktivitas yang dijalankan Presiden. Hak DPR sebagai Lembaga. Untuk melaksakan fungsi-fungsinya, DPR memiliki serangkaian hak. Hak-hak tersebut dibedakan menjadi Hak DPR selaku Lembaga dan Hak DPR selaku Perseorangan. Hak-hak DPR selaku Lembaga meliputi hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Hak Interpelasi DPR ini diatur dalam UU No.22 tahun 2003, yaitu hak DPR sebagai lembaga, untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak Angket adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai : 1. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional; 2. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket

3. dugaan bahwa Presiden dan atau Wapres melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wapres.

Hak Anggota DPR. Selain itu, Hak-hak DPR selaku Perseorangan meliputi (1) Hak Mengajukan RUU; (2) Hak Mengajukan Pertanyaan; (3) Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat; (4) Hak Memilih dan Dipilih; (5) Hak Membela Diri; (6) Hak Imunitas; (7) Hak Protokoler; dan, (8) Hak Keuangan dan Administratif. Keterangannya adalah sebagai berikut : 1. Hak Mengajukan Rancangan Undang-undang adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan Rancangan Undang-undang. 2. Hak Mengajukan Pertanyaan adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden yang disusun baik secara lisan/tulisan, singkat, jelas, dan disampaikan kepada pimpinan DPR. 3. Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat adalah hak setiap anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat. 4. Hak Memilih dan Dipilih adalah hak setiap anggota DPR untuk menduduki jabata tertentu pada alat kelengkapan DPR sesuai dengan mekanisme yang berlaku. 5. Hak Membela Diri adalah hak setiap anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri dan atau memberi keterangan kepada Badan Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya. 6. Hak Imunitas adalah hak setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan Kode Etik anggota dewan. 7. Hak Protokoler adalah hak setiap anggota DPR bersama Pimpinan DPR sesuai ketentuan perundang-undangan. 8. Hak Keuangan dan Administratif adalah hak setiap anggota DPR untuk beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan, dan fasilitas lain yang mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat.

Kewajiban Anggota DPR. Selain punya hak, anggota DPR juga punya serangkaian kewajiban yang harus ia penuhi selama masa jabatannya (5 tahun). Kewajiban-kewajiban tersebut adalah : 1. mengamalkan Pancasila; 2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; 3. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; 4. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia; 5. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; 6. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; 7. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dangolongan;

8. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya; 9. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPR; dan 10. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait

Fraksi DPR. Fraksi adalah pengelompokan Anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil Pemilihan Umum. Fraksi, bersifat mandiri, dan dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas, wewenang, serta hak dan kewajiban DPR. Fraksi DPR. Fraksi adalah pengelompokan Anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil Pemilihan Umum. Fraksi, bersifat mandiri, dan dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas, wewenang, serta hak dan kewajiban DPR. Fraksi mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi dibentuk oleh anggota partai politik hasil Pemilihan Umum. Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari 2 atau lebih partai politik hasil Pemilihan Umum yang memperoleh kurang dari 13 orang atau bergabung dengan Fraksi lain. Setiap Anggota harus menjadi anggota salah satu Fraksi. Pimpinan Fraksi ditetapkan oleh anggota Fraksinya masing-masing. Fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggota dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR. Fraksi bertugas meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR. DPR menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Alat Kelengkapan DPR. Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR membentuk Alat Kelengkapan DPR terdiri dari: (1) Pimpinan DPR; (2) Badan Musyawarah; (3) Komisi; (4) Badan Legislasi; (5) Panitia Anggaran; (6) Badan Urusan Rumah Tangga; (7) Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; (8) Badan Kehormatan; dan (9) Panitia Khusus. 1.Pimpinan DPR RI

Pimpinan DPR merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif, terdiri atas satu orang Ketua dan 3 orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota dalam Rapat Paripurna. Calon Ketua dan Wakil Ketua diusulkan kepada Pimpinan Sementara secara tertulis oleh Fraksi dalam satu paket calon Pimpinan yang terdiri atas 1 orang calon Ketua dan 3 orang calon Wakil Ketua dari Fraksi yang berbeda untuk di tetapkan sebagai paket calon dalam Rapat Paripurna. Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh Anggota. Calon Ketua dan Wakil Ketua diusulkan kepada Pimpinan Sementara secara tertulis oleh Fraksi dalam satu paket calon Pimpinan yang terdiri atas 1 orang calon ketua dan 3 orang calon Wakil Ketua dan Fraksi yang berbeda untuk ditetapkan sebagai paket calon dalam Rapat Paripurna.

Tugas

Pimpinan

DPR

antara

lain:

P memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; P menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua; P menjadi juru bicara DPR; P melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; P melaksanakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; P mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan DPR di pengadilan; P melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; serta menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPR; P mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Rapat Paripurna DPR.

You might also like