You are on page 1of 15

Reaktualisasi Umar bin Khathab Dalam Hukum Kewarisan Islam

I. Pendahuluan. Agama Islam yang kita cintai dan yakini kebenarannya adalah agama samawi yang berdasarkan wahyu Allah yang telah lengkap sempurna. Kesempurnaan agama Islam ini telah dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur an surah al Maidah ayat 3. Artinya, Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk mu agama mu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat Ku dan telah Ku ridhoi Islam itu jadi agama bagimu. Dengan kekomplitan dan kesempurnaan ini, agama Islam mampu menghadapi kemajuan zaman dan masyarakat manusia sepanjang masa, sebab Islam penuh dengan mutu manikam ajaran yang tidak saja sanggup menghadapi masyarakat zaman unta tempo dulu, tapi juga mampu berhadapan dengan manusia abad ruang angkasa, abad nuklir dan era informasi seperti sekarang ini Islam sebagai agama yang khalidah dan universal mempunyai ciri khas, dan tabiat hukum yang tidak dimiliki oleh agama dan hukum lainnya, yaitu Takamul, wasatiyah dan Harakah. Takamul artinya lengkap, sempurna dan bulat. Di dalamnya berkumpul aneka pandangan hidup, Islam dapat melayani golongan umat Islam yang tetap bertahan pada apa-apa yang usang (Tradisional) dan dapat melayani golongan umat yang ingin maju dan dapat pula melayani ahli pikir, ahli nash dan ahli kitab, dan mampu berasimilasi dengan segala bentuk tingkatan masyarakat, dan dalam berasimilasi, hukum Islam memberi menerima, menolak dan membantah menurut kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Dengan teguh ia memelihara ke pribadiannya, namun tidak jumud (beku) dan tidak berlebih-lebihan. Hukum Islam menempuh jalan wasath ( jalan tengah), jalan yang imbang tidak terlalu berat kekanan mementingkan kejiwaan saja dan tidak berat kekiri mementingkan kebendaan, La Syarqiyah wala Gharbiyah (tidak ke Timur dan tidak ke Barat). Keseimbangan hukum

Islam nampak terlihat antara lama dan baru, antara Barat dan Timur dan antara masa dulu dan masa kini. Dari segi harakah, hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, karena Islam mempunyai kaidah asasiyah yaitu ijtihad. Dalam kaitan inilah kami ingin mencoba mengutarakan cara pandang dan pemikiran Umar bin Khathab dalam mengimplementasikan nash al-Quran atau Hadits dengan nalar / qiyas yang berkaitan dengan hukum waris, sehingga tetap terpelihara norma lama yang baik dan mengambil norma baru yang lebih baik. II. Mengenang keberhasilan Umar bin Khathab. Umar bin Khathab (581 M 644 M) seperti yang dipahami kebanyakan orang selama ini, beliau adalah orang yang fostur tubuhnya tegap, kuat, wataknya keras, pemberani, berdisiplin tinggi, memiliki kecerdasan, pemikiran yang maju, tidak mengenal takut dan gentar, dan berkemauan keras. Dari sikapnya seperti itulah beliau mendapat gelar al Faruq artinya pembeda/ pemisah ; maksudnya Allah memberinya keberanian untuk memisahkan yang hak dan yang batil. Untuk perjuangan Islam, Nabi Muhammad saw, pernah berdoa memohon kepada Allah, Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari Amir bin Hisyam atau Umar bin Khathab, dan ternyata doa nabi dikabulkan dengan masuk Islamnya Umar bin Khathab tahun 616 M. Ahli Tafsir meriwayatkan bahwa ada beberapa ayat yang diturunkan atas usul dan saran Umar kepada nabi Muhammad saw. seperti ; ayat 125 surah al baqarah tentang bolehnya sholat di maqam Ibrahim, dan ayat 53 surah al ahzab tentang perintah menggunakan hijab/ tabir bagi istri-istri nabi dalam berbicara dengan tamu-tamunya yang bukan muhrimnya (belakang hijab). Dalam peribadatan, ijtihad beliau banyak dianut dan diikuti, yaitu seperti empat takbir dalam shalat janazah, penyelenggaraan shalat Tarawih 20 rakaat berjamaah, penambahan kalimat As shalatu khairun min al Naum (shalat lebih baik dari pada tidur) dalam azan subuh dan sebagainya.

Ijtihatnya dibidang hukum antara lain tentang Talak Tiga yang dijatuhkan sekali ucap jatuh Tiga Talak,. pemakaian cambuk dalam melaksanakan hukuman badan, penetapan hukuman 80 kali dera bagi pemabuk, pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan larangan penyebutan nama-nama wanita dalam lirik syair, meniadakan hukuman potong tangan dalam pencurian dimusim( paceklik (sulit cari makan), memperlakukan tanah taklukan statusnya sebagai Fay dan bukan dibagikan kepada yang berperang dan masih banyak yang lain. Umar bin Khathab sebagai Khalipah kedua setelah Abu Bakar As Shiddiq, pada masanya terjadi ekpansi kekuasaan Islam secara besarbesaran dan daulah Islamya berhasil menduduki Suriah, Irak, Mesir, Palestina, dan Fersia, bersamaan itu juga beliau membangun perekonomian umat, menetapkan kebijakan ekonomi dan regulasi pengelolaan dan keuangan Negara. Menurut Dr. Habib Nazir, kebijakan ekonomi Umar bin Khathab antara lain sebagai berikut ; 1. Pembangunan imprastruktur dan recoveri ekonomi. 2. Pemberdayaan ekonomi domestik 3. Pendirian Baitul Mal secara permanen di ibu kota dan cabangcabangnya di daerah. 4. Mengalokasikan dana cadangan untuk pemerintah apabila dalam keadaan darurat. 5. Tanah mati apabila ditanam menjadi tanah Usyr. 6. Bekas pemilik tanah diberi hak pemilikan sepanjang mereka membayar kharaj dan jizyah. 7. Mendirikan al Diwan yang mengurus angkatan perang berikut gaji dan tunjangannya 8. Menetapkan gaji /tunjangan kholifah, Gubernur, Hakim dan para pejabat / pekerja lainnya. 9. Membangun system sensus penduduk yang disebut Nassab. 10. Melakukan pembenahan peradilan Islam. 11. Mendaftar seluruh kekayaan pejabat, untuk menghindari terjadinya penyala gunaan wewenang dan tindakan koropsi. 12. dan lain sebagainya. Bidang peradilan Islam beliaulah yang pertama kali meletakkan prinsip-prinsip peradilan (sepuluh macam) yang dikenal dengan risalah Umar bin Khothob kepada Abu Musa Al Asyari, atau yang disebut

dengan risalah al Qadla, sebagai berikut : 1. 2. 3 4 5 6

sepuluh prinsip peradilan tersebut adalah

10

Peradilan adalah kewajiban agama yang mutlak dan ketentuan yang harus ada (diikuti). Pengaduan (gugatan) harus dipahami, jika jelas hukumnya putuslah dan laksanakan, sebab tidak ada artinya bicara kebenaran tanpa dapat dilaksanakan. Perlakuan harus sama terhadap para pihak yang berperkara baik dalam majelisme, dihadapanmu, dan putusanmu, agar orang mulia (kuat) tidak terlalu optimis, dan yang lemah tidak terlalu pesimis. Pembuktian dibebankan kepada Penggugat dan sumpah bagi yang menyangkal. Perdamaian adalah boleh, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang terlarang atau mengharamkan yang halal. Dakwaan (gugatan) atas sesuatu yang ghaib atau yang belum cukup bukti harus diberi tenggang waktu. Bila penggugat telah dapat memberikan pembuktian, maka putus dengan benar/tepat. Bila ia tidak dapat membuktikan gugatannya maka tolaklah, yang demikian ini lebih memberikan kesempatan bagi yang uzur untuk membela hak nya dan dapat menyingkap hal yang tersembunyi. Janganlah putusan yang sudah kamu putus itu menjadi penghalang bagimu untuk meninjau ulang sesuai nalar dan ijtihadmu, karena semata-mata menegakkan yang hak. Sebab hak (kebenaran) itu abadi dan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu apapun. Kembali kepada hak (meninjau kembali) untuk kebenaran adalah lebih baik dari pada terus menerus dalam keadaan salah. Pada dasarnya orang Islam itu, yang satu atas sebagian yang lain adalah adil (dapat menjadi saksi) kecuali yang pernah dijatuhi pidana kesaksian palsu atau had atau yang diragukan (diduga) ada hubungan darah dan hubungan kerabat. Sesungguhnya Allah mengatur yang rahasia dari hambanya dan menutup hudud kecuali dengan bukti dan sumpah. Pahamilah dan pahami sesuatu kasus yang tidak ditemukan dasarnya dari al quran atau as sunah maka lakukanlah penafsiran analogis (qias); kenalilah hukum yang serupa dan ambilah yang lebih mirip dengan kebenaran semata-mata mencari ridha Allah (Mengadili orang tidak boleh) dengan marah, ragu-ragu depperesi, menyinggung perasaan orang dan berpura-pura tidak kenal dengan para pihak. Sebab peradilan yang benar akan mendapatkan pahala dari Allah dan nama baik Pejabat yang melaksanakan tugas peradilan /menegakan keadilan ( kebenaran) dengan bersih, walau

pun atas dirinya sendiri, niscaya akan mendapat pahala dan penghargaan dari masyarakat; sebaliknya pejabat yang berhias diri dengan apa yang tidak ada pada dirinya (berjiwa hipokrit / munafik, maka Allah akan mencoreng namanya dan Allah tidak akan menerima pengabdian hamba Nya kecuali yang tulus murni. III. Peran Umar bin Khathab dalam hukum kewarisan Islam. Menurut hadits riwayat At Turmuzi, An Nasai dan Ibnu Majah, bahwa diantara sahabat nabi yang dinyatakan sebagai ahlinya dibidang ilmu kewarisan (faraid) adalah Zaid bin Tsabit, seorang penulis/ pencatat wahtu al quran. Meskipun Umar bin Khathab tidak termasuk dalam deretan sahabat yang ahli dalam ilmu kewarisan seperti Ali bin Abi Talib dan Abdullah bin Masud, namun banyak pemikiran umar dalam penyelesaian masalah waris yang sejalan dengan zaid bin Tsabit. Ada 2 (dua) kasus kewarisan yang pemecahannya oleh Umar dianggap sebagai pemecahan kasus yang cemerlang dan memenuhi rasa keadilan, yaitu : 1. Al Gharrawain, dan 2. Al Musyarakah A. Al Gharrawain. Al Gharawain adalah pemecahan 2 (dua ) masalah waris yaitu kasus kewarisan ibu, ayah dan suami atau isteri yang pemecahan nya sangat bijak /adil sehingga diumpamakan bagaikan 2 (dua) bintang yang cemerlang karena terang dan gamblang. Dua masalah tersebut adalah sebagai berikut ; 1. Pewaris meninggalkan suami, ibu dan ayah 2. Pewaris meninggalkan istri, ibu dan ayah Secara teoritis dalam kasus diatas, ayah sebagai usubah bagiannya sangat kecil hampir sama dengan bagian ibu atau lebih kecil, padahal ayah yang lelaki seharusnya lebi besar dari pada ibu yang perempuan, contoh ; 1. Pewaris meninggalkan ahli waris ; suami = 1/2 = 3/6 ibu = 1/3 = 2/6

ayah contoh : 2. Pewaris Istri ibu ayah

A = 1/6 (lebih kecil dari bagian ibu)

meninggalkan ahli waris ; = 1/4 = 3/12 = 1/3 = 4/12 = A = 5/12 ( hampir sama/ lebih besar sedikit).

Pemecahan kasus seperti diatas yakni ibu mendapat 1/3 bagian dari tirkah dan ayah menerima ashobah sisa menurut Ibnu Abbas adalah logis karena ayah itu termasuk kelompok usubah, maka bagiannya tidak tetap, terkadang mendapat bagian besar/ banyak dan terkadang kecil/ sedikit dari perolehan ibu. Dasar argumentasi Ibnu Abbas, bahwa ibu menerima 1/3 harta peninggalan adalah sebagai berikut ; 1. Kalimat faliummihi ats tsulus maksudnya 1/3 dari seluruh harta peninggalan, kalimat tersebut di athafkan kepada kalimat palahunna ats tsulus mima taraka sebagaimana kalimat palahan nisfu. Jadi - bila ditulis lengkap, faliummihits tsulusu mima taraka (maka ibunya mendapat sepertiga harta peninggalan ) 2. Seluruh macam fardl yang disebutkan dalam al-quran itu semuanya disandarkan kepada pihak harta peninggalan yang dibagi. Misalnya fardl artinya harta peninggalan, dan berarti 1/3 fardl artinya 1/3 harta peninggalan. 3. Ibu termasuk ahli waris As-habul furudl dan ayah adalah sebagai ahli waris ashobah binafsih ( dalam kasus diatas). Jadi ashobah menerima bagiannya, setelah ada sisa dari as-habul furudl ( H.R.Bukhori Muslim). Cara pembagian diatas oleh Umar bin Khathab dipandang tidak atau kurang memenuhi rasa keadilan, karena ayah sebagai lelaki bagiannya lebih kecil dari pada ibu. Menurutnya ibu itu mendapat sepertiga bagian dari sisa (baqi) bukan dari tirkah sehingga selamanya bagian ayah lebih besar 2 kali lipat dari pada bagian ibu Dasar argumentasi pendapat Umar tersebut diatas yakni ibu mendapat 1/3 sisa harta atau peninggalan setelah diambil oleh salah seorang suami istri adalah sebagai berikut : 1. Rangkaian kalimat ; faliummihis Tsulus ( maka ibunya mendapat 1/3) maksudnya 1/3 harta peninggalan yang diwarisi oleh kedua orang tuanya. Sebab bila tidak dibawa kepada pengertian ini, niscaya

kalimat Wawaritsahu abawahu tidak ada perlunya. Andai yang mewarisi si mayit hanya ibu bapaknya saja, maka dijelaskan bagian ibu 1/3 nya (dari harta yang diwarisi oleh ibu bapak). Jadi sekiranya tidak bersama dengan salah seorang istri /suami, ibu bapak tentu memperoleh seluruh harta peninggalan yang porsinya ibu dapat 1/3 harta peninggalan.Tapi bila mewarisi bersama dengan salah satu suami /istri maka bagian ibu bukan 1/3 dari seluruh harta, tetapi 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada salah seorang suami/istri. Ini berpegang pada prinsip Lez dakari mitslu hadlit unsayain. Pemberian hak seperti ini juga tidak bertentangan dengan hadits diatas. Penyelesaian kasus tersebut menurut Umar adalah Sebagai berikut ; 1. Pewaris meninggalkan ahli waris ; suami = 1/2 = 3/6 Ibu = 1/3 sisa, atau 1/3 x 1/2 = 1/6 Ayah = A = 2/6 2. Pewaris meninggalkan ahli waris ; istri = 1/4 = 3/12 ibu = 1/3 sisa, atau 1/3 x 3/4 = 3/12 ayah = A = 6/12 Dengan system baru yang dipresentasikan Umar bin Khathab tersebut bertujuan untuk perioritas keadilan bagi kedudukan ayah yang dianggap lebih tinggi dari pada ibu. Oleh karena yang pertama kali menetapkan cara semacam ini adalah Umar bin Khothob , maka kasus ini disebut juga al Umar Yatain. Pendapat Umat tersebut ternyata sama dan didukung oleh Zaid bin Sabit (pakar ilmu waris). mujtahid yang produktip dalam bidang waris, dan dikuti oleh sahabat lainnya seperti Ibnu Masud, Ali bin Abi Thalib dan mayoritas ulama hingga masa imam empat, karena dianggap memenuhi standar keadilan hukum waris. Pendapat Umar yang didukung oleh Jumhur Ulama tersebut lebih rajin dari pendapat Ibnu Abas. Karena analogy yang dikemukakan oleh Umar atau Jumhur adalah lebih tepat dengan kaidah mawaris yang menyatakan laki-laki mendapat bagian 2 kali lipat bagian perempuan manakala ia sederajat. Misalnya ; anak laki-laki yang mewarisi bersama

anak perempuan maka bagian laki-laki 2 : 1 dari anak perempuan dan demikian halnya ibu dan ayah. Oleh karena hal diatas juga telah terjadi ijmak , maka tidak berguna untuk diperselisihkan lagi. Mesir adalah Negara yang mengikuti pendapat Umar dan mencantumkannya dalam kitab Undang-undang hukum warisan Mesir dalam pasal 14 berbunyi ;


Artinya : ibu berhak sepertiga dalam keadaan selain ini, hanya saja bila ia (ibu) berkumpul dengan salah seorang suami-istri dan ayah saja, maka bagian ibu sepertiga sisa setelah fardl suami (istri). Ijtihad Umar tersebut ternyata diikuti juga oleh ulama/pakar hukum Islam di Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 178 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi ; Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama dengan ayah. Sedang yang mendukung konsep Ibnu Abbas ialah golongan Syiah dan Prof Dr. Hazairin SH,yang menolak konsef bagian ibu 1/3 dari sisa, dan tetap mempertahankan keberadaan ibu dengan mendapat 1/3 tirkah. Dalam KUH Perdata (BW), konsep Gharrawain tidak akan terjadi, sebab ayah dan ibu berada dalam keutamaan II, sedang istri atau suami dalam kelompok keutamaan I, sehingga mereka kelompok I dapat menghijab kelompok II (ayah dan ibu). Melihat realita pemecahan kasus seperti diatas, ada sebagian fuqoha berpendapat bahwa, ghorrawain itu berasal dari masdar gharrar (tipuan), karena dalam masalah tersebut terjadi gharar kepada ibu tentang ketentuan bagian 1/3 , yang dalam kenyataannya ia hanya mendapat 1/6 ataau bagian harta. Penyebutan 1/3 itu sebagai penghormatan dan taslim terhadap al-Quran yang menyebutkan demikian.

B. Musyarakah. Masalah ini disebut Musytarakah atau Musyarakah artinya yang disekutukan (digabungkan), dan disebut juga Musyarikah, yang menyekutukan (menggabungkan), sebab saudara seibu sebapak (kandung) bersekutu atau menyekutukan diri dengan saudara seibu. Musyarakah adalah metode penyelesaian kasus ketika saudara laki-laki kandung sebagai asobah tidak memperoleh sisa harta karena habis dibagi oleh ahli waris lain, padahal diantara ahli waris tersebut ada saudara-saudara seibu ( akhu Li Um) yang mendapat saham sesuai ketentuan, seperti berkumpulnya ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara laki-laki kandung. Lebih jelasnya sebagaimana contoh dibawah ini ; 1. Pewaris meninggalkan ahli waris ; - suami 1/2 = 3 - ibu 1/6 = 1 - 2 sdra seibu 1/3 = 2 - 1 sdra kandung = A 2. Pewaris meninggalkan ahli waris - suami 1/2 = 3 - nenek sh 1/6 = 1 - 2 sdra seibu 1/3 = 2 - 1 sdra kandung - 1 sdri kandung = A 3. Pewaris meninggalkan ahli waris ; - suami - ibu 1/6 - 1 sdra / dan 1 sdri seibu 1/3 - 2 sdra kandung - 3 sdri kandung = 3 = 1 = 2 =A

Dalam contoh kasus diatas saudari saudara kandung (seibu seayah) tidak mendapat bagian sedikitpun karena harta peninggalan sudh habis oleh ahli waris ashabul furudl. Dalam hal ini timbul persoalan/ pertanyaan apakah saudara-saudara kandung gugur hak warisnya karena telah dihabiskan oleh ashabul furudl yang diantaranya

adalah saudara-saudara seibu ? apakah mereka saudara-saudara / i seibu lebih utama dari pada saudara kandung sehingga mereka menggugurkan hak penerimaannya ?. Sebagian sahabat nabi saw. seperti Ali bin Abi Thalib Ibnu Masud dan Ubai bin Kaab, dan dikuti oleh Abu Hanifa, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam lainnya, tetap berpendapat seperti diatas bahwa saudara-saudara kandung tidak dapat berserikat dengan saudara seibu dalam 1/3 bagian. Jadi bila sudah tidak ada lagi harta yang sisa, maka saudara sekandung haknya gugur sedang hak saudara seibu masih tetap ada. Menurut Ibnu Qudamah bahwa pendapat ini sesuai dengan al kitab, as Sunnah dan al Qiyas. Umar bin Khathab RA. semula menetapkan gugurnya hak waris bagi saudara-saudara sekandung dalam kasus diatas. Namun penetapannya diprotes oleh orang-orang yang dirugikan dengan berkata wahai tuan hakim Amirul Mukminin, taruhlah andaikata bapak kami itu khimar (keledai), atau hajarun mulqon fil yamni (batu yang dilemparkan kelautan), bukanlah kami ini berasal dari seorang ibu yang satu juga ? Atas protes tersebut, dan dengan ijtihadnya Umar akhirnya meninjau lagi penetapannya dan merubahnya dengan cara menggabungkan mereka dalam 1/3 saham, tanpa memperhatikan apakah mereka itu laki-laki atau perempuan semuanya dianggap saudara seibu. Sesuai kasus posisinya, masalah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al Umariyah, dan dilihat dari cara penyelesaiannya dikenal dengan musyarakah atau Musytarakah, dan sesuai dengan tempat dimana Umar mengucapkan masalah tersebut dikenal dengan Mimbariyah, dan dilihat dari protes para pihak yang dirugikan, masalah ini dikenal dengan Himariyah, Hajariyah dan Yamniyah. Jadi penyelesaian kasus tersebut menurut Umar bin Khathab tersebut adalah sebagai berikut : - suami - ibu - 2 sdra seibu - 1 sdra kandung = 1/3 = 1/6 1/3 = 3 = 1 = 2

- suami - nenek sh - 2 sdra seibu - 1 sdra kandung - sdri kandung - suami - ibu - 1 sdra / sdri seibu - 2 sdra kandung - 3 sdra kandung

1/3 1/6 1/3

= 3 = 1 =2

1/3 1/6 1/3

=3 =1 =2

Pendapat Umar bin Khathab tersebut ternyata didukung oleh Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit (pakar ilmu kewarisan ) dan oleh Tsauri, Imam Halik, Asy Syafii dan Imam Ishaq bin Rahawaih. Diantara alasan pendapat ini ialah bahwa saudara saudari sekandung simati itu identik dengan saudara-saudari seibu, disebabkan adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Oleh karena mereka semuanya adalah anak-anak ibu dan kerabat ayah, maka tidaklah layak seandainya mereka menggugurkan saudaranya. Bila saudara-saudara seibu dapat bagian karena ada hubungan ibu maka saudara seibu sebapak logikanya patut dan lebih patut untuk mendapatkan sepertiga saham tersebut karena mereka seibu, malah ada tambahannya yaitu seayah. Menurut pendapat ini musyarakah itu terwujud, bila dipenuhi syarat ketentuannya sebagai berikut ; a - suami yang hak bagian / fardl = 1/2 b - ibu / nenek yang fardlnya = 1/6 c. - sdra seibu itu 2 orang / lebih, baik laki-laki atau perempuan semuanya atau campuran yang fardl = 1/3 d - sdra seibu seayah (kandung) seorang atau lebih, baik seorang lakilaki saja atau campuran laki-laki dan perempuan atau beberapa laki-laki dan perempuan yang bagiannya ushubah. e. - Sudah habis/ tidak ada sisa dari ashabul furudl. Berdasarkan ketentuan diatas, maka contoh kasus dibawah ini bukan termasuk musyarokah, yaitu sebagai berikut ; 1. Pewaris meninggalkan ahli waris ; - istri 1/4 = 3

- ibu - 2 sdra seibu - 1 sdra kandung

1/6 = 2 1/3 = 4 A=3

2. Pewaris meninggalkan ahli waris - suami =3 - nenek sh 1/6= 1 - 2 sdra seibu 1/3= 2 - 1 sdra/sdri kandung = 3 - Aul 9 3. Pewaris meninggalkan ahli waris ; - suami =3 - ibu 1/6= 1 - 1 sdra seibu 1/6 = 1 - 2 sdra kandung A=1 4. Pewaris meninggalkan ahli waris ; - suami =3 - ibu 1/6= 1 - 3 sdra seibu 1/3 = 2 - 1 sdra dan 1 sdri seayah ( sdra/ sdri seayah tidak berserikat) Pendapat Umar tersebut diatas yakni metode musyarokah ternyata dikuti oleh pemerintahan Mesir dan tercantum dalam pasal 10 kitab Undang-undang Hukum waris Mesir yang berbunyi : Artinya : Dalam keadaan kedua (mendapat1/3), bila fardl faradl dari ashabul furudl telah menghabiskan harta peninggalan , anakanak ibu berserikat dengan saudara kandung dan saudarasaudara kandung dengan infirad (tidak bersama-sama dengan saudari) atau berserta saudari kandung 1(satu) atau lebih, dan 1/3 tersebut dibagi antara mereka menurut ketentuan yang telah lalu (sama rata) . Menurut Syiah konsef musyarakah merupakan system yang sudah berjalan sudah lama dalam kelompoknya, tapi ada perbedaan, yakni antara para saudara dalam berbagai jurusan tidak saling menghijab, hanya saja didahulukan pemberian untuk saudara kandung kemudian saudara yang seayah dan kemudian lagi yang seibu.

Kasus musyarokah sebagaimana yang dipresentasikan oleh Umar bin Khathab atau kelompok Sunni menurut Syiah bahwa para saudara itu mahjub oleh ibu kecuali ketika bersama ibunya ibu (nenek) atau dalam jurusan bapak seperti kakek, maka mereka berserikat dalam pewarisan.

Contoh menurut Syiah ; bila pewaris meninggalkan ahli waris ;


- suami = 3/6 + rad = 3/5 - ibu 1/3= 2/6 + rad = 2/5 - 2 sdra seibu = mahjub - 2 sdra kandung = mahjub Di Indonesia konsep Musyorakah ditolak keras oleh Prof. Dr. Hazairin,SH. Menurutnya mengenai para saudara saudari berbagai jurusan telah jelas dan tidak ada penyimpangan perhitungan, dan tidak perlu dengan cara musyarokah

Contoh menurut Hazairin ; pewaris meninggalkan ahli waris ;


- suami - ibu - sdra seibu - sdra kandung - sdra kandung 1/6 2/6 = 3/6 = 9/18 = 1/6 = 3/18 = 1/3 x 2/6 = 2/18 = 1/3 x 2/6 = 2/18 = 1/3 x 2/6 = 2/18

Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 1 81 dan 182 mengisyaratkan ada 2 (dua) kemungkinan terjadi masalah musyarobah yakni menerima konsep musyarokah atau percam,puran antara mereka dalam segala jurusan, tetapi membedakan antara lelaki dan perempuan 2 ; 1 disamping berlakunya faradl yang semestinya bagi masing-masing mereka tanpa harus berbagi sama . Kemungkinan pertyama menurut KHI adalah sama seperti metodeh musyarokah diatas (tidak dengan contoh) Sedang kemungkinan kedua, bila pewaris meninggalkan ahli waris sebagai berikut :

- suami - ibu 1/6 - sdra seibu - sdra seibu -sdra kandung -sdri kandung

= 3/6 = 1/6 2/6

= 12/24 = 4/24 x 2/6 = 2/24 x 2/6 = 2/24 x 2/6 = 2/24 x 2/6 = 2/24

Menurut KUH Perdata (BW) para saudara berada dalam keutamaan II. Selama masih ada ahli waris kelompok I, seperti suami, maka ibu dan sardari semua tidak mendapat bagian dan semua harta untuk suami dan para saudara mahjub (terdinding). Demikian sepintas kepiawaian Umar bin Khatab dalam memecahkan kasus kewarisan. Beliau tidak hanya memerintahkan hakimnya Abu Musa Al Asyari untuk melakukan pendalaman dan penafsiran analogis, tapi beliau telah mencontohkan methode pemecahan kasus yang ternyata diukuti oleh Mesir dan Indonesia. Mengakhiri uraian ini penulis mengucapkan syukur alhamdulilah awwalan waakhiran karena atas rahmat dan karunia Allah dapat tersusun makalah ini walau masih jauh panggang dari pada api. Sudah semaksimal mungkin penulis menyusun ini, namun dengan keterbatasn yang ada perkenankanlah penulis mohon maaf serta saran dan keritiknya untuk perbaikan dimasa depan. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi agama dan bangsa, amin. Palembang, 9 Mei 2008 M. 3 Jumadil Awal 1429 H. Penulis,

Drs. H. Djafar Abd. Muchit,S.H. M.H.I. Daftar bacaan : 1. 2. 3. Al Quran dan terjemahannya, Departemen Agama Tafsir al Maraghi,, Ahmad Mustofa al Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir, Ismail Ibnu Kastsir

4. 5. 6. 7 8 9 10. 11. 12. 13. 14

Subulus Salam, As Shanani Al Mirastfis Syariatil Islamiyah, Dr.Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah Ilmu waris. Drs. Patchur Rahman Fiqhul mawaris, Prof. T Hasbi Ash Shidiqi Al Faraid A. Hasan Transen densi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, A. Sukris Sarmad Ensiklopedi Islam, Dewan redaksi Ensiklopedi Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah DR. Habib Nazir Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pengantar Hukum Islam, Prof. T Hasbi Ash Shiddiqi Dan lain sebagainya.

You might also like