You are on page 1of 2

Cerita Lasem Pada Zaman Kerajaan

Pada tahun Saka 1273 yang memimpin wilayah Lasem adalah Ratu Dewi Indu. Ratu Indu merupakan adik sepupu Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta. Suami Ratu Dewi Indu bernama Pangeran Raja Sawardana. Beliau menjadi Dhang Puhawang di Wilwatikta. Pangeran Raja Sawardana telah menguasai pelabuhan-pelabuhan di Kaeringan Caruban Gedongmulya dan pelabuhan-pelabuhan di Regol atau di Bonang, Binangun. Disamping itu Pangeran Raja Sawardana juga merangkap menjadi seorang Adipati di Mataun. Selama menjadi Ratu di Lasem Dewi Indu sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat Lasem. Ratu Dewi Indu dan Pangeran Raja Sawardana mempunyai seoarang putra yang bernama Pangeran Badrawardana. Tidak lama kemudian Pangeran Badrawardana telah dewasa dan telah menikah dengan seorang putri yang cantik jelita. Dan kemudian melahirkan seorangbayi laki-laki bernama Pangeran Wijayabadra. Stelah Pangeran Wijayabadra dewasa dan mempunyai seorang putra bernama Pangeran Badranaia. Ketiga keturunan Dewi Indu menjadi Adipati di Lasem secara turun-temurun. Serta menempati di rumah keraton di Bumi Kriyan. Dewi Indu meninggal dunia pada tahun Saka 1304, sedangkan Pangeran Raja Sawardana meninggal dunia pada tahun Saka 1305. Abu jasad mereka berdua diletakkan di Candi gunung Agrasoka sebelah utara. Tepatnya disebelah timur Candi Ganapati Pucangan di Desa Ngenden. Candi mereka berdua dibuat dari batu Gombong yang dilapisi batu cendani, dan diapit pohon beringin yang terdapat disebelah utara dan selatan. Di atas candi diberi patung Sang Hyang Buddha Sakyamuni. Di atas pusara sebelah timur diberi lukisan Sang Pangeran Maladresmi. Lukisan itu menggambarkan bahwa beliau akan berangkat perang, dan berpamitan dengan Dewi Purnama Wulan. Pusara sebelah barat diberi ukiran Sang Pangeran yang sedang merayu istrinya yang sedang berduka, karena akan ditinggal perang melawan prajurit Pasundan yand dipimpin oleh rajanya. Akhirnya candi tersebut oleh orang lasem diberi nama Candi Malad. Setelah dewasa Pangeran Badranaia menikah dengan Putri Cempa atau Bi Nang Ti. Tidak lama kemudian Putri Cempa mengandung. Dan Pada hari yang telah ditentukan, Putri Cempa melahirkan seorang putra yang diberi nama Pangeran Wirabraja. Setelah itu, dengan jarak beberapa tahun Putri Cempa Bi Nang Ti juga melahirkan lagi seorang bayi putra yang diberi nama Santibadra. Jadi, Pangeran Badranaia dan Putri Cempa telah mempunyai dua orang putra. Akan tetapi, tidak lama kemudian Pangeran Badranaia meninggal dunia. Setelah

beliau meninggal dunia maka, yang meneruskan menjadi seorang bupati adalah putranya yang pertama bernama Pangeran Santibadra. Selama menjadi adipati Pangeran Wirabraja tidak menempati rumah keraton di Bumi Kriyan. Tetapi, bertempat tinggal di Bonang atau Binangun. Tempat tiggal beliau dekat dengan makam ayahanda dan ibundanya. Sedangkan Puri Kriyan ditempati oleh Pangeran Santibadra beserta anak istrinya secara turun-temurun. Tidak lama kemudian, Pangeran Wirabraja telah menikah dan telah mempunyai seorang putra yang bernama Pangeran Wiranegara. Pangeran Wiranegara sejak kecil telah belajar agama islam di Ngampel Gadhing. Tidak lama kemudian, Pangeran Wiranegara diambil menantu oleh Maulana Rahmat, yaitu Sunan Ampel Gadhing. Yang akan dijodohkan dengan putri pertamanya yang bernama Maloka. Pangeran Wiranegara menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai adipati Binangun. Baru lima tahun menjabat sebagai seorang adipati lalu beliau meninggal dunia. Beliau meniggal dunia pada tahun Saka 1401. Setelah meninggal dunia, kedudukan Pangeran Wiranegara digantikan oleh istrinya, yaitu Putri Maloka. Dalam menjalankan sistem pemerintahan, Putri Maloka dibantu oleh Santipuspa yaitu putra pertama dari Pangeran Santibadra yang menjadi Dhang Puhawang Raja Samudra di Bandar Kaeringan. Sepeninggal suaminya, Putri Maloka lalu memutuskan untuk pindah rumah ke Puri Kriyan di Lasem. Berhadapan dengan tempat tinggal Pangeran Santipuspa. Adapun rumah Kadipaten yang berada di Bonang ditempati oleh adiknya Putri Maloka yang bernama Makdum Ibrahim. Makdum Ibrahim merupakan seorang guru mengaji dan muadzin. Pada usia tiga puluh tahun beliau diwisuda menjadi Sunan Agung Ampel. Yang kemudian dijadikan wali wilayah Tuban untuk menyiarkan Agama Islam. Makdum Ibrahim diperintah kakaknya menempati rumah di Kadipaten Bonang untuk merawat makam Putri Cempa, makam Pangeran Wirabraja, dan Pangeran Wiranegara yang bertempat di Keben. Makdum Ibrahim sangat rajin merawat makam Putri Cempa dan yang lain. Batu gilang yang terdapat didekat makam Putri Cempa diratakan untuk dijadikan tempat bersujud Sunan Bonang. Bersujud menghadap makam Eyang Putri Cempa. Setelah Pangeran Santipuspa dan Putri Maloka meinggal pemerintahan Lasem dipenggang oleh penguasa bupati Suroadi Menggolo III. Belanda Kompeni Semarang lalu timbul cerita yang tidak semestinya. Nama Putri Maloka sampai anak cucu dijelek-jelekkan oleh orang-orang yang tidak suka dan tidak bertanggung jawab.

You might also like