You are on page 1of 9

Latar belakang Belum lama ini kita bangsa Indonesia menghadapi krisis moneter yang sampai sekarang masih

belum dapat diselesaikan. Sebagai akibat dari krisis tersebut salah satu dampaknya pada sektor pangan yang kita kenal dengan istilah sembako. Salah satu dari sembako itu adalah beras. Dimana beras ini termasuk dalam pengendalian kebijakan pemerintah yang dikendalikan melalui penetapan harga dasar gabah. Didalam pelaksanaan kebijakan tersebut, sehari-harinya pelaku yang ditugasi oleh pemerintah adalah sebuah badan yang disebut BULOG (tingkat pusat) dan dibantu oleh DOLOG (tingkat provinsi) serta sub DOLOG (tingkat kabupaten/kota). Badan ini ditugasi untuk menampung semua hasil pertanian (gabah) yang bekerja sama dengan KUD dimasing-masing wilayah diseluruh Indonesia. Dengan demikian diharapkan agar petani tidak kesulitan untuk menjual hasil panennya, serta harga dijamin tidak akan mengalami perubahan yang dapat menyebabkan kerugian bagi petani. Selain itu pula diharapkan petani tidak mengalami over produksi dalam arti sulit untuk menjual karena barang dipasaran berlebihan. Namun kenyataannya tidak demikian adanya, sebab petani sering menjadi obyek permainan oleh orang-orang yang pandai cari keutungan untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Misalnya, petani sering mengeluh tentang biaya tanam yang begitu tinggi (pupuk dan obat-obatan), karena petani sudah terkondisikan untuk menggunakan pupuk dan obat-obatan meskipun harganya tinggi tetap harus membeli juga agar masa panen tidak gagal. Namun kronisnya begitu panen dan disetor ke dolog melalui KUD ternyata hasilnya yang diterima oleh petani adalah rugi. Karena perbandingan antara biaya yang tinggi dengan penerimaan (harga sudah ditetapkan oleh pemerintah) tidak seimbang dalam artian biaya lebih besar dari pada hasil penjualan yang diterima. Beras merupakan komoditi pertanian yang sangat mempengaruhi politik di negara kita. Kebijakan beras selama orde baru sebagian besar didasarkan pada keinginan untuk tiga lembaga: pegawai negeri (yang menerima beras sebagai bagian dari gaji); konsumen perkotaan (masyarakat perkotaan); dan produsen pedesaan (petani, baik pemilik, penggarap maupun buruh). Kelas pegawai negeri, yang berjumlah lebih dari 3 juta jumlah penduduk, merupakan basis utama kekuasaan Orde Baru. Kelompok mendapat keuntungan dengan berbagai cara, termasuk peningkatan gaji, perbaikan kondisi kerja, fasilitas pendidikan bagi anak-anaknya, dan posisi terhormat dalam kehidupan masyarakat. Namun keuntungan yang paling besar adalah tunjangan beras dan komoditi utama lainnya dapat terjangkau dan tersedia. Karena mayoritas dari mereka itu adalah berpendidikan, paham politik, dan dihormati dalam kehidupan masyarakat, pegawai negeri dan militer merupakan sumber utama terhadap dukungan pemerintah Indonesia. Pada masa Orde Baru, posisi penting kelompok ini diperkuat dengan batasan pemerintah terhadap pengaruh kelompok non pegawai negeri. Tak satu pun dari pemimpin dua partai non pemerintah diberi kedudukan dalam kabinet maupun posisi legislatif yang memiliki kekuasaan. Jumlah rata-rata suara kedua partai ini pada pemilihan umum mulai 1971 s/d 1997 hanya berjumlah sekitar 35% pemilih, yang sebenarnya merupakan taktik pemerintah untuk memobisasi birokrat dalam bentuk partai

pemerintah yang disebut Golongan Karya (Golkar). Dengan fasilitas yang dimilikinya, tidak sulit bagi Golkar untuk meraih suara mayoritas. Konsumen perkotaan, khususnya Jakarta, merupakan kekuasaan eksternal yang harus diatasi dengan suplai reguler padi dengan harga yang terjangkau dan stabil. Penduduk Jakarta sangat peka terhadap kenaikan harga beras dan penyediaan bahan lainnya. Soeharto dan bawahannya harus mengingat efektivitas cara eksploitasi masalah peningkatan harga beras yang dapat menggulingkan pemerintah. Ingat Presiden Soekarno pada tahun 1965 sampai 1966. Begitu pula tantangan yang dihadapi pemerintah Presiden Soeharto hanyalah demonstrasi mahasiswa dan peristiwa Jakarta dari Oktober 1973 sampai Januari 1974, yang dikaitkan dengan krisis beras tahun 1972 sampai 1983. Dan akhirnya pada Mei 1998 yang baru lalu, pemerintah Presiden Soeharto lengser juga dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun, hal ini juga tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan penyedian dan harga beras. Begitu pula, petani yang merupakan lembaga terkait dengan pengadaan pangan (beras) yang oleh pemerintah Orde Baru direspon dengan positif dalam bentuk subsidi, peningkatan harga serta dukungan organisasi dan infra struktural yang dapat melipatgandakan produksi beras (dari 10,8 menjadi 25,5 juta pon pertahun) antara tahun 1966 sampai 1984. Alasannya banyak didasarkan pada faktor demografi. Dua pertiga penduduk tinggal di Jawa, yang membuatnya sebagai salah satu daerah pedesaan terdapat di dunia. Karena ukuran pulau, topografi dan sistem transportasi pulau ini membuat jalur desa dan perkotaan mudah dan murah. Hubungan dengan kekuatan ekonomi eksternal juga penting. Jika tidak mengimpor kepentingan lain (seperti pembelian barang industri dan pertanian) pemerintah Indonesia tidak akan dipenuhi dan Indonesia tidak banyak bergantung pada fluktuasi suplai dan permintaan dunia maupun kebijakan pemerintah negara lain. Permasalahan Pengetahuan tentang kebijakan ekonomi berkenan dengan usaha untuk memaksimalkan atau memenuhi solusi-solusi subyek terhadap pemaksaan, namun pemaksaan-pemaksaan tersebut bukan disediakan oleh sumber-sumber dan penguasaan materi saja, seperti diajarkan dalam buku-buku teks tentang perekonomian dasar, namun juga oleh etika, budaya, sejarah dan politik. Suatu rancangan untuk strategi pembangunan ekonomi yang berhasil dalam suatu negara Dunia Ketiga yang kontemporer, menurut pendapat beberapa pengamat,d alam ini harus meliputi spesifikasi tentang tiga komponen, yaitu; tujuan-tujuan, atau hasil-hasil yang diinginkan; kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan tujuantujuan tersebut; dan variabel-variabel kesosialan yang akan mengarahkan pada pilihan oleh para pembuat keputusan pemerintah tentang kebijakan-kebijakan yang benar. Masing-masing komponen tersebut problematik. Tujuan-tujuan dari pertumbuhan dan industrialisasi, pertama kali dikembangkan pada tahun 1940; telah dikacaukan oleh hal-hal yang bersifat tambahan terhadap distribusi atau kesamaan dan kemudian pelestarian lingkungan. Yang kita miliki sekarang ini sebagian besar hanyalah pemahaman yang masih bersifat embrionik tentang bagaimana mengkonseptualisasikan keseimbangan-keseimbangan yang diperlukan untuk suatu penggabungan dari tujuan-tujuan yang berbeda ini secara optimal.

Contoh semacam ini termasuk studi yang masif, yaitu Francise Frabkel tentang kebijakan agraria pemerintah di India sejak kemerdekaannya. Frankel berpendapat bahwa petani semakin banyak peran pentingnya karena tanpa adanya program perbaikan dan kemauan ideologis dari penguasa, mereka tidak memiliki sumber daya untuk bersaing dengan elit kekuasaan lokal maupun regional. Ia menunjukkan masalah berdirinya organisasi petani yang malah menimbulkan perpecahan primodial. Dari sudut pandang Marxisme, sosiolog Peter Evans menunjukkan banyak dokumentasi sumber daya yang dipakai oleh perusahaan multinasional, perusahaan domestik, dan perusahaan nasional untuk mendominasi ekonomi politik Brasil, yang secara sistematis pada akhirnya akan menghancurkan kaum pengusaha lemah dan kaum miskin perkotaan dan pedesaan. Sekali lagi, dengan pendapat Evans dan pemahaman kita tentang politik Brasil, tidak banyak perubahan yang kita harapkan. Dalam hal ini terkait dengan kondisi di Indonesia, pendekatan ini juga menemui jalan buntu. Bentuk pemerintah Orde Baru Presiden Soeharto, yang sudah berkuasa sejak 1966, menjadi debat seru diantara kalangan akademis, namun mereka semua setuju bahwa bentuk negaranya adalah otoriter dengan sedikit kesempatan untuk berpartisipasi. Harold Cruch, misalnya membandingkan pemerintahan Soeharto dengan kebijakan patrimonial Barat dimana pemerintah dapat menerapkan peraturan yang memenuhi kepentingan elit tanpa banyak mengorbankan kepentingan masyarakat; sementara pemerintahan Soeharto ditandai dengan kemiskinan, kemunduran sosial, sikap pasif dalam berpolitik, dan kekuasaan ditangan politikus. Politikus-pun saling bersaing hanya pada tingkat elit sendiri, diantara partai-partai yang bertujuan untuk mendapart pengaruh dari pemegang kekuasaan yang pada akhirnya menentukan distribusi berupa penghargaan. Pemberlakuan pasar bebas terhadap harga makanan dan pertanian nampak seperti cerita belaka. Di semua negara, bahkan di negara yang terkenal dengan ekonomi bebeasnya pun -baik yang masih berkembang maupun yang sudah maju-, harga makanan dan pertanian ini sangat dipengaruhi campur tangan negara. Kontrol pada bidang in dapat saja langsung, melalui subsidi (dokumen) harga (bahan) pertanian atau batasan harga konsumen, penyetoran ke pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan, kontrol dan pajak ekspor, tarif subsidi impor, dan subsidi harga. Atau kontrol tidak langsung, melalui kebijakan tingkat pertukaran. Jika kita merujuk pada ungkapan Liddle (1987) menyatakan, bahwa : politikus dan analisis yang meneliti kebijakan pembangunan di Negara-Negara Ketiga mengalami jalan buntu. Sebagian besar literatur tentang apa yang kita sebut dengan pertumbuhan merata, yang didefinisikan dengan pembangunan ekonomi yang memberikan kesempatan luas untuk produksi dan konsumsi, terjebak oleh satu dari dua culs de sac yaitu jalan buntu. Jika kita melihat kalangan akademisi liberal mendukung gagasan partisipasi aktif kaum miskin, yang diorganisir pada serikat pekerja atau petani dan partai politik, sementara kelompok Marxis yakin bahwa pertumbuhan yang merata baru akan dicapai dengan eksploitasi kelompok mayoritas, diganti dengan sosialisme. Namun, kedua kelompok ini mengharapkan bahwa solusi masalah ini akan dapat direalisasikan, setidaknya dalam waktu setengah abad mendatang.

Contoh literatur semacam ini termasuk studi masif dari Francine Frankel (1966) tentang kebijakan agraria pemerintahan India sejak kemerdekaannya, beliau berpendapat, bahwa : petani semakin banyak kehilangan peran pentingnya karena tanpa adanya program perbaikan dan kemauan ideologi dari penguasa, mereka tidak memiliki sumber daya untuk bersaing denga elit kekuasaan lokal maupun regional. Ia menunjukkan masalah berdirinya organisasi petani yang malah menimbulkan perpecahan primodial. Campur tangan pemerintah dalam hal penetapan harga makanan (beras) dengan cara langsung kecendrunganya menetapkan harga yang relatif rendah sekali. Seperti yang dikemukakan oleh Saleh (1975), mengemukakan bahwa : berdasarkan hasil penelitiannya pada 50 negara sedang berkembang, bahwa sedikitnya di 46 negara, kebijakan menghargai komoditi pertanian (khususnya beras) terlalu rendah dan menyebabkan penurunan dalam hal produksinya. Begitu pula menurut Schultz (1978) serta Bale dan Lutz (1979) dalam hasil, penelitiannya menyatakan bahwa, campur tangan kebijakan tidak nampak melonggar di negara-negara yang agak maju, dan bila terjadi sebaliknya, muncul penilaian yang terlalu tinggi atas komoditi pertanian. Peterson (1979) menghitung bahwa, ketentuan perdagangan produk pertanian lebih dari dua kali pada sampel 23 negara agak maju dibandingkan dengan 30 negara yang sedang berkembang. Hal ini menunjukkan kelebihan produksi dan penurunannya konsumsi produk pertanian di negara agak maju. Sehingga ini mengandung makna bahwa adanya keanekaragaman diantara negara-negara tersebut dalam hal (produk) pertanian dalam periode panen. Jika kita berbicara tentang apa sebenarnya dan siapa yang bertanggungjawab atas dibuatnya kebijakan tersebut. Seperti Koehn (1983) menyatakan bahwa : peran badan atau lembaga pemerintah sangat besar sekali untuk secara persuasif mampu memberikan dorongan dan teladan kepada anggota-anggota masyarakat agar mereka mematuhi dan melaksanakan setiap peraturan perundang-undangan atau kebijakan negara. Pendapat tersebut menurut hemat penulis kurang menggambarkan secara esensi siapa sebenarnya dibalik pembuat kebijakan itu, karena sering terjadi bahwa kebijakan itu dibuat berdasarkan desakan kepentingankepentingan kelompok tertentu. Sehingga hasil (produk) daripada kebijakan itu hanya menguntungkan kelompok yang ada dibalik dan mendesak/menekan si pembuat kebijakan. Anderson, menawarkan interpretasi umum tentang Orde Baru. Pada akhir tahun 1960-an, ia menyebutkan kebijakan personalistik yang didasarkan pada konsep kekuatan politik mistik jawa sebagai suatu syarat yang harus dimiliki seorang penguasa. Sampai pertengahan tahun 1970-an, nampak koalisi kuat diantara diktatorisme personal dan militer. Sekarang, bentuk statequa-state yang kepentingannya berada dan bertolak belakang dengan kepentingan (bangsa) Indonesia. Menurut akademis Marxisme Robinson, Orde Baru adalah bagian aliansi kompleks antara borjuis luar negeri dan China; kelas administrasi / tehnokrat / manajerial kota (yang disebut kelas menengah); dan birokrat politikus.pemerintahannya dianggap sebagai regim kontra-revolusioner yang menggabungkan perbaikan pertanian dan nasionalisme ekonomis. Orde Baru juga dipandang sebagai piramida naik kekuasaan presiden, militer, dan birokrat serta menekankan pada lemahnya partisipasi kelompok di luar piramida ini.

Tidak seorangpun penulis menemukan tanda yang menunjukkan pergantian kekuasaan orde baru menjadi pemerintah radikal atau liberal. Pengalaman di Indonesia dengan parlementer tahun 1950-1957 sangat berharga. Lantas, partai komunis, yang dulunya pernah memiliki pemilion 4 juta orang dibantai secara brutal pada tahun 1965 sampai tahun 1966 dan tidak menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Secara umum elit negara, yang di dukung lebih dari $ 12 milyar per tahun (kira-kira 60 persen dari APBN) dari pendapatan minyak dan $ 2 milyar dari bantuan luar negeri, terus memegang kekuasaannya. Pada situasi semacam ini, adakah harapan bagi kebijakan pembangunan yang menguntungkan kelompok kelompok non-elit, khususnya kelompok petani, non pegawai negeri Indonesia? Pada intinya lebih nampak variabel politik dibandingkan partisipasi kelompok miskin, yang oleh Frankel maupun Evans dirujukkan kepemerintahan otoriter birokrat dan militer yang bertentangan dengan kebijakan yang lebih egaliter. Penulis yakin, bahwa banyak yang berpendapat tentang semakin keluar jalur para ahli politik dalam penelitiannya untuk mentransformasikan diktatorisme kaku dalam regim yang lebih normatif. Sependapat dengan Hirchman pada journey toward progress, beliau mengatakan bahwa, saya tidak akan memfokuskan pada pengaruh masalah kebijakan, meskipun pengaruhnya sangat sedikit. Perhatian saya terletak pada faktor politis yang menguntungkan kelompok yang secara politis dan ekonomis lemah. Jika kita menunjuk pada pendapatnya Simon (1957) dan Weller dalam sebuah bukunya yang berjudul Public Policy in Australia (1993) menyatakan bahwa model pendekatan yang rasional dalam pembuatan keputusan atau kebijakan ada 6 tahap dasar karakteristik yang umum, yaitu: a. sebuah masalah harus didefinisikan; b. nilai-nilai, tujuan dan sasaran-sasaran dari pembuat keputusan harus ditekuni dan didudukkan pada order prioritas; c. semua pilihan untuk mencapai tujuan harus didefinisikan; d. biaya dan keuntungan setiap pilihan harus ditetapkan; e. biaya dan keuntungan harus dibandingkan; f. pada basis perbandingan ini, pembuat keputusan yang rasional menseleksi bagian dari tindakan yang maksimal untuk menghasilkan sesuatu dalam batas nilai-nilai, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang didefenisikan pada tahap yang kedua tersebut di atas. Hal tersebut di atas memang ideal sekali, namun dalam pelaksanaannya di lapangan ternyata tidak semudah yang dibayangkan, karena faktor-faktor yang lain khususnya politik yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap proses pembuatan kebijakan. Sehingga dengan demikian menurut hemat penulis bahwa dalam rangka proses pembuatan kebijakan itu tergantung pada manusianya yang sedang menjadi petinggi negara atau dalam artian lain bahwa political will dari para administrator harus jelas dan sesuai dengan kelompok sasaran masyarakat yang dikenakan kebijakan terrsebut. Rekomendasi Kebijaksanaan Pada awalnya, ketika harga beras meroket sampai 300 persen dalam waktu satu tahun, pemerintah berusaha meningkatkan posisinya dengan mendirikan Bulog.

Pada tahun 1966 beras yang diimpor mencapai 640.000 ton, namun hanya 70.000 ton yang dijual bebas di pasar domestik, sementara sisanya dikonsumsi pegawai sipil dan militer. Pada tahun 1967, sekitar 350.000 ton diimpor, 100.000 ton merupakan bantuan pemerintah AS, dan hanya 139.000 ton dijual dijual di pasar domestik. Sampai akhir 1968, pemerintah sudah mampu meningkatkan suplai dan menurunkan harga beras (Liddle). Sejak pertengahan 1960-an, krisis beras hanya terjadi tahun 1972 sampai 1973. Krisis ini dapat dengan bantuan subsidi pasar. Patokan harga minyak OPEC yang meningkat antara 1974 sampai 1979 membuat pemerintah Indonesia memiliki alat untuk mengimpor beras dalam jumlah yang besar untuk mencegah krisis itu terulang lagi. Koperasi tingkat desa (KUD) menjadi lembaga utama dalam program pengembangan beras domestik. KUD adalah lembaga yang didirikan dan didanai pemerintah yang membeli beras dari petani yang selanjutnya menjual kembali ke bulog (keuntungan KUD berkisar 8 persen) dan menjamin harga dasar gabah bagi petani. Tujuannya adalah untuk memastikan suplai beras dan meningkatkan pendapatan petani. KUD diharapkan mampu menggantikan posisi pedagang cina yang secara tradisional sudah kuat. Sebab KUD merupakan sistem lembaga ekonomi yang diorganisir sebagai usaha bersama yang didasarkan atas prinsip kekeluargaan (family principle). Di dalam kebijakan Orde Baru jika kita perhatikan tampak adanya perubahan adanya pada subsidi pemerintah untuk meningkatkan produksi yang menekankan program administrasi ke bentuk dukungan pasar. Program subsidi produksi Bimas pada akhir tahun 1960-an meminta semua petani berpartisipasi, dalam pengambilan keputusaan sendiri. Sejak tahun 1973 diterapkan dukungan positif, seperti harga dasar gabah yang naik dan standar kualitas Bulog yang rendah. Ketidaksesuaian terakhir pada aspek khusus kebijakan harga beras menuntut kita untuk mengamati lebih dekat struktur minat dan kekuatan serta dinamika proses kebijakan. Dalam hal ini bisa saja kepentingan petani dimenangkan, namun dalam ketentuan yang lain dapat dikalahkan. Sementara ketentuan yang lain pula menunjukkan ideologi dibalik kebijakan pertanian dalam bidang pertanian dan hubungannya dengan kepentingan yang saaling bertentangan. Ada tiga kasus dalam kaitannya dengan kebijakan harga dasar gabah di Indonesia melalui bulog. Kasus pertama : fokus Bulog terhadap kualitas dan harga dasar petani. Kasus ini merupakan krisis mini yang terjadi selama musim panen di awal 1982. salah satu fokus Bulog saat itu adalah meningkatkan kualitas padi yang dibelinya baik untuk kepentingan pasar Bulog maupun untuk membantu para pegawai negeri agar mendapatkan beras berkualitas. Dengan itu Bulog menentukan tingkat kandungan Butir hijau sebesar 5 % yang akan dibelinya dari KUD untuk musim panen 1981-1982. KUD menentukan kebijaksanaan yang sama jika badan tersebut membeli padi dari petani. Namun dalam perjalanannya ternyata banyak sekali hasil panen padi petani yang ditolak oleh KUD dan dibeli oleh tengkulak dengan harga jauh dibawah harga dasarnya (135 per kilo). Para petani dalam program petani dan petugas KUD mengeluh bahwa batas bulir hijau 50% itu terlalu rendah untuk varietas anti hama yang mereka berikan pada petani, yang biasanya mampu menghasilkan 9-14 % butir hijau. Kemudian kebijakan tadi karena ada keluhan dari petani dan KUD dirubah yaitu batas bulir hijau dari 5% menjadi 10%.

Pada tanggal 17 Mei 1982, dilaporkan bahwa semua petani di seluruh Jawa menjual padinya 50 % lebih rendah dari harga dasar, kemudian pemerintah mengumumkan bahwa Pemerintah akan membeli semua padi yang dijual petani langsung kepada pemerintah dengan harga dasr namun kualitasnya harus disesuaikan. Di sini nampak bahwa kebijakan yang paling penting adalah menjaga harga dasarjangan sampai turun. Kasus Kedua: Konflik Intrabirokrasi dan Insentif Harga Kasus ini adalah adanya pertentangan kecil di akhir 1982 di tingkat harga dasar KUD untuk gabah, yang terakhir dengan harga gabah dari Rp 135,- sampai dengan Rp 145,- per kilo, namun juga disertai dengan kenaikan harga dua input pokok padi, pupuk urea (dari Rp 70,- sampai dengan Rp 90,- per kilo) dan pestisida (dari Rp 1.230,- sampai dengan Rp 1.500,- per liter). Kesempatan untuk menerapkan pendekatan adalah ketika musim tanam, saat dimana para petani harus menentukan apakah akan menanam padi atau tanaman lainnya. Bagi sebagian besar pemerintah Orde Baru pada saat itu, kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan harga dasar padi pada saat itu, kebijakan yang dilakukan adalah meningkatkan harga dasar padi setiap tahun sebgai insentif bagi petani. Namun demikian dalam sektor padi masih terdapat kelemahan, yaitu kurangnya ruang gudang, tidak adanya KUD, tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan peningkatan harga dasar gabah. Dengan kejadian tersebut di atas, maka petani telah banyak kehialngan faktor-faktor yang menguntungkan. Namun dari perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa para petani tidak kehilangan pendukung dalam arena pembuatan keputusan yang didominasi oleh birokrasi. Para pejabat di lingkungan pertanian mungkin sebagai memperwakilkan para petani, dan bahkan HKTI memiliki pengaruh yang cukup besar, paling tidak untuk menciptakan status quo. Kasus Ketiga : Bisnis Sektor Swasta, Koperasi dan Negara Kasus tentang padi yang terakhir tidak berisi proses panjang dimana berbagai sisi kita bisa mendorong pandangannya sebelum diambil keputusan, namun hanya berisi keluhan-keluhan dari berbagai pihak yang dirugikan atau ditekan oleh keputusan pemerintah. Keputusan ini dibuat oleh menteri Pertanian dan Menteri Koperasi pada Januari 1983, berfungsi untuk mentransfer dengan tahap-tahap yang diawali dengan musim tahun 1983, didistribusi pupuk dari sektor swasta ke KUD. Pihak pihak yang dirugikan tidak mengungkapkan penderitaannya sampai menjelang akhir Mei. Kasus pupuk ini mengindikasikan dua tingkat. Tingkat pertama adalah konteks ideologis dimana kedua sisi memaksakan argumennya sendiri-sendiri. Ekonomi orde baru berkembang dengan berlandaskan pada tiga badan institusi : Negara, Sektor Swasta dan Koperasi, yang masing-masing memiliki peran dominan. Dari P2SP dan Kadin menyatakan bahwa keputusan pupuk tersebut tidak dijiwai dengan pembentukan lembaga berimbang. Tugas pemerintah adalah membangun koperasi, namun itu tidak berarti harus membunuh sektor swasta, dan peran koperasi yang tepat adalah sebagai stabilisator harga, suatu senjata melawan dan menundukkan perusahaan-perusahaan swasta yang rakus dan memiliki kekuasaan usaha terlalu besar, dan jika koperasi tidak mengalami persaingan, bagaimana bisa sehat? Tingkat kedua, kasus pupuk menggambarkan keterbatasan wewenang

politik atau pengaruh bisnis pertanian swasta, yang secara ekonomis sangat tergantung pada negara. Para pedagang swasta formal, pada dasarnya pelaku monopoli yang diberi wewenang, mereka meiliki pergantian ekslusif dengan Pusri untuk mendapatkan hak-hak distribusi di propinsi tertentu, dimana di dalamnya termasuk orang-orang Kadin sendiri. Hirchman, dalam pengamatannya menyatakan bahwa, Sebagian besar negarnegara Asia menetapkan beras sebagai komoditis utama pertanian dan merupakan komponen penting dalam kebijakan pembangunan umum. Memang benar bahwa pejabat pemerintah pusat merupakan pengambil kebijakan utama pada bisang pertanian. Namun alat pemerintah pusat ini tidak mendominasi proses kebijakan. Aktor penting lain juga termasuk pejabat daerah; produsen yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir, perantara dan konsumen; anggota DPR, media massa dan komunita intelektual. Pengaruh yang dimiliki kelompok di luar pemegang kekuasaan pada proses pembuatan keputusan sering tidak langsung dan banyak bergantung pada persepsi, keyakinan dan kepentingan kelompoknya. Kesimpulan Dari pembahasan tersebut di atas menunjukkan adalah adanya suatu pola dominasi pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan yang diperkuat dengan ideologi korperatif dimana bisnis yang lemah dan sektor koperasi diatur oleh negara, yang nampaknya berpihak pada kepentingan masyarakat. Dari ketiga kasus tadi mnunjukkan suatu pola konflik dalam birokrasi tentang kebijakankebijakan tertentu dan implementasinya yang sangat erat dengan perwakilan petani yang efektif dan kepentingan non birokrasi serta kepentingan lokal. Memang konsekuensi dari ketelibatan pewmerintah yang mengakar dalam penetapan kebijakan harga khususnya beras, sama-sama mengakibatkan keberhasilan dan kegagalan performa pertanian dalam menyumbangkan (potensi) pada negara. Oleh karena itulah sehingga dapat menyebabkan diterapkannya kebijakan harga yang berbeda-beda pada setiap produk/hasil pertanian. Karena kebijakan harga sangat penting dalam menentukan harga produk pertanian khususnya beras selama panen, maka kita perlu mengadakan penelitian harga produk pertanian bukan berdasarkan teori pasar murni tetapi berdasarkan teori negara. Kenapa pemerintah suatu negara menerapkan kebijakan harga produk pertanian yang berbeda yang mengakibatkan pola pengembangan desa dan pertanian saling bertentangan? Dalam hal ini perlu memperhatikan analisis Neoklasik pada pasar yang terdiri dari observasi distorsi harga, menghitung biaya sosialnya, dan perubahan yang terjadi. Sebaliknya distorsi ini harus dipahami menurut realitas sosial dan historis dinamisnya bila usulannya bertujuan untuk melibatkan keterlibatan politisi. Pola dominasi pemerintah pusat dalam pembuatan kebijakan diperkuat dengan adanya ideologi korporatis dimana bisnis yang lemah dan sektor koperasi diatur oleh negara, yang nampaknya berpihak pada kepentingan masyarakat sehingga suatu pola konflik dalam birokrasi tentang kebijakan-kebijakan tertentu dan implementasikan yang sangat erat dengan perwakilan petani yang efektif dan kepentingan non birokrasi serta kepentingan lokal. DAFTAR PUSTAKA Dunn, William N., Analisa Kebijakan Publik : Natsir Budiman (Ed) . 1998 .

Jakarta : Hanindita. Edward, George C., Implementing Public Policy . 1980 . Washington, USA : Congressional Quarterly Press. Islamy, M. Irfan, Prinsipprinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. 1986. Jakarta : Bina Aksara. Jawa Pos, 13 April 1999 Jawa Pos, 28 April 1999 Joner, Charles O., Pengantar Kebijakan Publik : Natsir Budiman (Ed). 1996. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa. Kompas, 24 Februari 1999 Kompas, 22 April 1999 Kompas, 23 April 1999 Kompas, 24 April 1999 Kompas, 25 April 1999 John and Lya H. Lofland, Analyzing Social Settings : A Guide To Qualitative Observation and Analysis. 1984 . Belmont, California, USA : Wadesworth, Inc. Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi, Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. 1999. Yogyakarta : Aditya Media. Parsons, Wayne., Public Policy: An Introduction To the Theory and Practise of Policy Analysis. 1997.Chetenham, UK: edward Elgar Publishing Limited. Silverman, David., Interpreting Qualitative Data: Methods for analysing talk, text and interaction. 1993. London, UK: Sage Publications Ltd. Wahab, Solichin Abdul., Analisis kebijaksanaan, Dari formulasi ke implementasi kebijaksanaan negara. 1997 Jakarta : Bumi Aksara. Wahab, Solichin Abdul., Prngantar analisis kebijakan negara. 1998. Jakarta: Rineka Cipta. Wahab, Solichin Abdul., Evaluasi kebijakan publik. 1997. Malang: IKIP Malang. Wahab, Solichin Abdul., Analisis kebijakan publik: teori dan aplikasinya. 1998. Malang FIA Universitas Brawijaya. World Bank, The East Asian Miracle, 1993. Anderson, J.E., Public Policy making,Nelson, London, 1975. Ham, Chiristopher and Michael Hill, The Policy Proses in Modern Capitalist State, Wheatsheaf Books, Ltd., London, 1984 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, Bentang Intervensi, Yogyakarta,1993 Myrdal, Gunnar, Objevtivity in Sosial Research, Pantheon Books, USA,1969 Suchmans, E.A., Evaluative Research: Principles and practice in Public Service an Social Actions Programs, New York: Sage,1967 Strauss, L., Natural Righ and History, University of Chicago Press, Chicago, 1953

You might also like