You are on page 1of 20

USULAN TOPIK PENELITIAN DESERTASI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

MODEL AKUNTABILITAS OTONOMI DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN KEBIJAKAN PUBLIK DI KABUPATEN MAROS

ADI SUMANDIYAR

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012


1

I.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kabupaten Maros merupakan salah satu kabupaten di Propinsi SulawesiSelatan yang merupakan salah satu kabupaten yang melaksanakan otonomi daerah yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi daerah, selain itu untuk mengatasi wilayah kecamatan yang masih tertinggal dalam pembangunan, perkembangan wilayah kecamatan strategis dan cepat tumbuh, wilayah kecamatan perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang. Kabupaten Maros merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan dengan jarak kedua kota tersebut berkisar 30 km dan sekaligus terintegrasi dalam pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata. Keberhasilan suatu kabupaten dalam melaksanakan dan mengimplementasikan sistem pemerintahan otonomi daerah yang mendukung dalam penyelenggaraan kebijakan publik (publik policy) dapat ditinjau dari keberhasilan dalam menangani permasalahan yang terjadi tersebut. Kabupaten Maros mempunyai 14 kecamatan yang merupakan bagian dari proses otonomi daerah yang terdiri dari Kecamatan Mandai, Kecamatan Moncongloe, Kecamatan Maros Baru, Kecamatan Marusu, Kecamatan Turikale, Kecamatan Lau, Kecamatan Bontoa, Kecamatan Bantimurung, Kecamatan Simbang, Kecamatan Tanralili, Kecamatan Tompobulu, Kecamatan Camba, Kecamatan Mallawa. Kabupaten Maros mempunyai jumlah penduduk sebanyak 303.211 jiwa, 70.514 Kepala Keluarga (KK) dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 4.449 jiwa/ km2 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros, Tahun 2009). Di era otonomi daerah saat ini masih terdapat beberapa kecamatan yang mengalami ketimpangan dalam sektor pembangunan wilayah yang berdampak terhadap belum optimalnya penyelenggaraan kebijakan publik (public policy). Dalam konsep otonomi menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah harus mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas meningkatkan peran serta masyarakat yang bertujuan pemberian otonomi kepada daerah, bukan semata-mata untuk mewujudkan pembangunan, dan mengejar laju pertumbuhan tetapi lebih ditekankan pada tujuan memberdayakan masyarakat. Secara umum keadaan tiap-tiap kecamatan yang ada di Kabupaten Maros yang diduga mengalami ketimpangan pembangunan wilayah meliputi; (1) Kecamatan Tanralili meliputi kondisi sumber daya manusia yang rendah, keterbatasan akses transportasi, keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 24.164 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 270 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil, sementara potensi yang dimiliki di kecamatan ini antara lain pertanian meliputi persawahan dan pekebunan, peternakan ayam dan sapi, sumber
2

daya alam yang dimiliki yaitu tambang pasir; (2) Kecamatan Tompobulu kondisi sumber daya manusia yang rendah, keterbatasan akses transportasi, keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 13.885 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 48 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil, sementara potensi yang dimiliki di kecamatan ini antara lain adanya pabrik cipping, pabrik pakan ternak, kondisi lahan yang subur, peternakan ayam dan sapi, karena kondisi topografinya berada daerah daratan tinggi maka dimungkinkan untuk membuat industri air mineral; (3) Kecamatan Moncongloe kondisi sumber daya manusia yang rendah, keterbatasan akses transportasi, keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 11.623 dan kepadatan penduduk yaitu 248 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil, sementara potensi yang dimiliki di kecamatan ini antara lain adanya lahan pertanian yang subur, peternakan ayam dan sapi, karena kecamatan ini merupakan berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan adanya program MAMMINASATA maka dimungkinkan untuk pembangunan perumahan; (4) Kecamatan Simbang kondisi sumber daya manusia yang rendah, keterbatasan akses transportasi, keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 22.220 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 211 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil, sementara potensi yang di miliki adalah pertanian meliputi persawahan dan perkebunan, peternakan ayam dan sapi, dan perumahan rakyat; (5) Kecamatan Bantimurung kondisi sumber daya manusia yang rendah, keterbatasan akses transportasi, keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 28.358 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 163 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil, sementara potensi yang dimiliki adalah panorama alam yang indah sehingga dapat dijadikan sebagai objek wisata, taman prasejarah, adanya pusat industri pabrik semen, daerah penangkaran kupu-kupu, kondisi lahan yang subur sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan pertanian, kondisi wilayah memungkinkan untuk daerah peternakan; (6) Kecamatan Cenrana keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 14.339 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 79 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil terletak berada didaratan tinggi yang berada didaerah pegunungan, lahan yang subur sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan perkebunan; (7) Kecamatan Camba keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 14.315 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 98 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil
3

dan pelaku usaha kecil. Kecamatan ini juga berada didaratan tinggi yang berada didaerah pegunungan, lahan yang dimiliki begitu subur sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan perkebunan; (8) Kecamatan Mallawa keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 11.892 dan kepadatan penduduk yaitu 50 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil. Letak topografi Kecamatan ini berada didaratan tinggi karena keunggulannya tersebut maka di Kecamatan Mallawa akan dibangun jaringan listrik PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), kondisi lahan yang subur sehingga dapat dijadikan kawasan perkebunan; (9) Kecamatan Bontoa keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 26.979 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 288 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil, potensi yang dimiliki diwilayah ini yaitu daerah tambak perikanan, kondisi lahan yang subur sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan persawahan dan perkebunan, daerah dapat dijadikan kawasan peternakan; (10) Kecamatan Maros Baru keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 22.577 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 420 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil sementara potensi daerah yang dimiliki adalah daerah tambak perikanan, daerah yang dapat dijadikan sebagai kawasan perkebunan dan persawahan, dan dapat dijadikan sebagai kawasan peternakan; (11) Kecamatan Marusu keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 23.691 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 441 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil sementara potensi yang dimiliki adalah daerah ini dapat dijadikan sebagai kawasan industri, kondisi lahan yang subur yang dapat dijadikan sebagai kawasan persawahan dan perkebunan; (12) Kecamatan Lau keterbatasan informasi dan teknologi, sarana dan prasarana wilayah yang rendah, jumlah penduduk rendah yaitu 22.460 Jiwa dan kepadatan penduduk yaitu 304 Jiwa/ Km2, belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berkelanjutan, terbatasnya modal usaha terhadap petani kecil dan pelaku usaha kecil, sementara potensi yang dimiliki di wilayah ini adalah kondisi lahan yang suburyang dapat dijadikan sebagai daerah persawahan dan perkebunan, memiliki daerah tambak perikanan dan industri rumput laut; (13) Kecamatan Mandai daerah ini merupakan daerah yang terletak dikawasan perkotaan di Kabupaten Maros karena berada di tengah jantung Kota Kabupaten Maros yang memiliki jumlah penduduk sebesar 30.620 Jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 623 Jiwa/ Km2, sehingga daerah ini memungkinkan sebagai daerah pusat niaga, perkantoran, dan kelebihan lain yang dimiliki adalah adanya Bandara Internasional Hasanuddin; dan (14) Kecamatan Turikale daerah ini merupakan daerah yang terletak dikawasan perkotaan yang ada di Kabupaten Maros dan merupakan Ibu Kota Kabupaten Maros yang memiliki jumlah penduduk
4

sebesar 36.088 Jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 1.206 Jiwa/ Km2, daerah ini memungkinkan untuk dikembangkan yaitu sebagai daerah pusat niaga, perkantoran, dan sarana jaringan terminal angkutan darat. Secara khusus daerah dapat berkembang jika proses otonomi daerah berjalan dengan baik pemerataan pembangunan ditiap-tiap kecamatan tidak ada yang mengalami ketimpangan dan tumpang tindih, sehingga penyelenggaraan kebijakan publik (public policy) merupakan bagian penting yang tidak dapat terlepaskan dari pemerataan tiap pembangunan wilayah, karena didasari oleh kebijakan yang diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat. Model kepemimpinan peranan kinerja birokrasi dan pemerintahan yang baik (good governance) sangat mendukung dalam proses akuntabilitas otonomi daerah di Kabupaten Maros. Selain itu juga peran pelayanan publik, fungsi kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kebijakan publik (public policy) juga ikut ambil bagian dalam menjalankan otonomi daerah. Dalam kaitan ini masyarakat yang bermukim diwilayah perdesaan belum sepenuhnya terlibat dalam pelaksanaan otonomi daerah secara optimal, karena masyarakat masih banyak yang memiliki sumber daya manusia yang rendah sehingga untuk mengetahui bahkan berpartisipasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah sepenuhnya belum memahami konsep dan tujuan dari otonomi daerah itu sendiri. Dalam suatu wilayah terdapat seorang pemimpin yang merencanakan, mengorganisasi, memimpin dan mengawasi setiap bentuk kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan dalam era otonomi daerah. Dewasa ini setiap kepala daerah memperoleh kesempatan untuk merencanakan, mengorganisasi, memimpin dan mengawasi segala bentuk kegiatan baik yang berhubungan dengan pemerintahan, kelembagaan dan organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan wilayah dan mensejahterahkan masyarakatnya, dengan masa jabatan selama 5 tahun seorang pemimpin dituntut agar mampu melaksanakannya secara optimal. Setiap pemimpin daerah berhak untuk menentukan arah wilayah yang akan dia kembangkan sesuai dengan potensi sumber daya alam yang didukung oleh sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan dalam mengelola sumber daya tersebut. Dalam kaitan ini Kabupaten Maros yang memiliki seorang pemimpin kepala daerah yang mempunyai visi dan misi yang pada dasarnya untuk membawa kabupaten tersebut mengarah ke kabupaten yang berkembang serta bertujuan untuk mensejahterahkan masyarakatnya menuju kehidupan yang madani yang selaras dengan tujuan otonomi daerah yang berperan untuk merencanakan, mengorganisasi, memimpin dan mengawasi setiap bentuk kegiatan. Peran kinerja birokrasi di Kabupaten Maros sangat dibutuhkan dalam era otonomi daerah saat ini, karena birokrasi merupakan aparatur negara berperan sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, sebagai pelaksana dari peraturan melalui dari tingkatan level paling tinggi hingga level yang paling bawah, sehingga otonomi daerah berjalan secara optimal. Kinerja birokrasi juga memiliki andil besar dalam pelaksanaan otonomi daerah karena pada hakikatnya birokrasi merupakan
5

aparatur negara yang mengatur organisasi, program, serta arah kebijakan dan melayani publik yang memiliki peran dan keahlian masing-masing. Birokrasi pemerintahan di Kabupaten Maros berjalan dengan baik dan selaras dengan tujuan yang dicapai oleh pemerintah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah, namun sering tumpang tindih akibat salah penempatan tugas aparatur negara yang tidak sesuai dengan bidang dan keahlian yang dimiliki oleh aparatur tersebut. Konsep pemerintahan yang baik (good governance) telah dijalankan dengan baik, dengan berbagai macam program-program yang melibatkan masyarakat sebagai aktor dalam penentuan suatu arah kebijakan pembangunan. Peran serta para anggota legislatif juga mendukung dalam terciptanya pemerintahan yang baik (good governance). Aktor lain juga terlibat seperti peran serta para pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKDP) dan Kepala Daerah setempat dalam mendukung terciptanya pembangunan di era otonomi daerah yang saat ini dijalankan. Namun pada hakikatnya peran pemerintahan yang baik (good governance) juga masih banyak mengalami sisi hambatan mulai dari keterbatasan masyarakat desa yang masih terbatas dalam hal informasi dan teknologi serta pelibatan dalam arah penentuan kebijakan pembangunan wilayah sehingga berdampak terhadap pentelenggaraan kebijakan publik (public policy) masih banyak mengalami kendala. Keadaan wilayah di tiap-tiap kecamatan yang terdapat di Kabupaten Maros saat ini masih banyak kecamatan yang memiliki potensi sumber daya alam yang belum dioptimalkan pengelolaannya, kemudian keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan sumber daya alam yang ada diwilayahnya. Keterbatan informasi dan teknologi masih banyak diketemukan dihampir tiap desa yang ada di kecamatan, jaringan infrastruktur yang masih sangat terbatas. Sementara jika hal tersebut dapat diatasi secara maksimal bukan tidak mungkin wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam akan berkembang jika dikelola dengan sebaik-baiknya dan berdampak terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat selain itu juga akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal dengan tidak mengindahkan kearifan lokal suatau wilayah. Sebagaimana yang termuat didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah seperti yang terkandung pada Bab IV Pasal 7 ayat: (1) kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain; (2) kewenangan bidang lain seperti yang dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik, serta dampak yang ditimbulkan dari penyelenggaraan kebijakan publik, dengan demikian daerah
6

dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan adanya bantuan dan bagian dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Dengan demikian peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan di daerah, selain itu juga daerah diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan menimbulkan berbagai efek yang besar dan bermanfaat bagi daerah tersebut. Selama ini upaya-upaya yang diberlakukan Pemerintah Kabupaten Maros untuk mensejahterakan masyarakatnya adalah dengan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber daya manusia dan lembagalembaga publik dalam mengelola sumber daya daerah yang dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika Kabupaten Maros mendapatkan perhatian serius khususnya dalam pengembangan wilayah secara merata tanpa ada ketimpangan pembangunan antara kecamatan yang berada di perkotaan dengan kecamatan yang termasuk berada di perdesaan maka kesejahteraan masyarakat akan dengan sendirinya meningkat dan kesempatan kerja juga akan meningkat. Dengan berkembangnya wilayah kecamatan yang termasuk kategori kecamatan perdesaan maka para investor swasta tertarik untuk menanamkan saham di bidang industri maupun sektor peternakan dan pertanian dengan asumsi bahwa sarana infrastruktur yang menjadi faktor penentu keberhasilan pengembangan wilayah tersebut layak digunakan. Selain itu juga sarana fasilitas kesehatan dan pendidikan yang menjadi faktor penentu dalam bidang pengembangan sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan sebagai salah satu kebutuhan penting masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan kebijakan publik (public policy) secara optimal maka tidak terlepas dari pelayanan publik. Pelayanan publik lebih terfokus pada tujuan untuk melayani segala kebutuhan masyarakat yang berarti negara yang melayani segala kebutuhan masyarakat. Kabupaten Maros sebagai salah satu kabupaten yang juga ambil bagian dalam konsep pelayanan publik guna mendukung terciptanya kebijakan publik (public policy) secara optimal. Salah satu bentuk pelayanan publik yang diberikan pemerintah Kabupaten Maros terhadap masyarakat yaitu fasilitas kesehatan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat serta terpenuhi kebutuhan kesehatannya dan fasilitas pendidikan agar masyarakat memperoleh pendidikan yang layak guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia, namun masih terdapat di beberapa kecamatan yang masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah Kabupaten Maros untuk membenahi sektor-sektor pelayanan publik tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dibutuhkan kajian eksplorasi dimensi otonomi daerah dalam penyelenggaraan kebijakan publik di Kabupaten Maros dan

merekomendasikan model akuntabilitas otonomi daerah dalam penyelenggaraan kebijakan publik di Kabupaten Maros dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. 2. Bagaimana peningkatan penyelenggaraan otonomi daerah di Kabupaten Maros ? Bagaimana penyelenggaraan kebijakan publik meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros ? Apakah ada hubungan antara model kepemimpinan pemerintahan, kinerja aparatur pemerintahan, pelayanan aparatur pemerintahan dan perilaku aparatur pemerintahan dengan peningkatan penyelenggaraan otonomi daerah ? Apakah ada hubungan antara efektivitas terhadap sasaran penerima dana bantuan dan simpan pinjam, efisiensi, dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan partisipasi masyarakat terhadap pelibatan perencanaan pembangunan dengan kualitas penyelenggaraan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang dicapai adalah: Untuk mengetahui penyelenggaraan otonomi daerah dalam kualitas penyelenggaraan kebijakana publik di Kabupaten Maros. Untuk mengetahui kualitas penyelenggaraan kebijakan publik meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. Untuk menganalisis hubungan antara model kepemimpinan pemerintahan, kinerja aparatur pemerintahan, pelayananan aparatur pemerintahan dan perilaku aparatur pemerintahan dengan peningkatan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk menganalisis hubungan antara efektivitas terhadap sasaran penerima dana bantuan dan simpan pinjam, efisiensi menghasilkan output dengan input yang tersedia, dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan partisipasi masyarakat terhadap pelibatan perencanaan pembangunan dengan kualitas penyelenggaraan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. Mendesain suatu model akuntabilitas otonomi daerah dalam penyelenggaraan kebijakan publik. D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: Khasanah Pengetahuan: Memberikan sumbangsih pemikiran dan inovasi terhadap keilmuwan sosial, terutama ilmu administrasi publik, yang diharapkan bermanfaat dan
8

3.

4.

1. 2.

3.

4.

5.

1.

2.

memperkaya model akuntabilitas otonomi daerah dalam penyelenggaraan kebijakan publik, terutama melalui pengujian teori secara empiris guna menemukan atau mengembangkan teori baru sebagai suatu pemikiran dalam memajukan ilmu administrasi publik. Bagi Pemerintah dan Pengambil Kebijakan: Sebagai bahan referensi serta masukan dalam rangka akuntabilitas otonomi daerah dalam penyelenggaraan kebijakan publik dan memberikan rekomendasi desain model akuntabilitas otonomi daerah dalam penyelenggaraan kebijakan publik yang berorientasi kepada masyarakat.

E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merekomendasikan model akuntabilitas otonomi daerah dalam penyelenggaraan kebijakan publik di Kabupaten Maros, yang melingkupi: 1. Akuntabilitas otonomi daerah meliputi model kepemimpinan pemerintahan, kinerja aparatur pemerintahan, pelayanan aparatur pemerintahan dan perilaku aparatur pemerintahan di Kabupaten Maros. 2. Penyelenggaraan kebijakan publik yang meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat meliputi efektivitas, efisiensi, dampak dan partisipasi masyarakat di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dimensi Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat (sentralisasi) ke pemerintah daerah (desentralisasi). Tujuan otonomi daerah adalah perwujudan pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bertujuan untuk pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan ekonomi daerah. Kebijakan peningkatan otonomi daerah yang bertujuan untuk mengembangkan daerah otonomi yang luas serta bertanggung jawab, melaksanakan kebijakan tentang berlakunya otonomi daerah baik di tingkat propinsi, kabupaten/ kota, hingga ke tingkat desa yang merupakan bagian dari sistem otonomi daerah, mewujudkan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara adil dan merata dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi, memberdayakan Dewan Perwakilan Daerah dalam melaksanakan fungsi dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa, Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9

Lebih lanjut menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang terdapat di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah meletakkan titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan daerah kota dengan tujuan untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya menurut Undang-Undang Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa, prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah; (a) digunakannya asas desentralisasi; dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; (b) penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota; dan (3) asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah propinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan desa. B. Analisis Teoritik Dimensi Otonomi Daerah Terhadap Hubungan Model Kepemimpinan Pemerintahan, Kinerja Aparatur Pemerintahan, Pelayanan Aparatur Pemerintahan dan Perilaku Aparatur Pemerintahan 1. Model Kepemimpinan Pemerintahan Menurut Sinambela, dkk (2010; 101), seorang pemimpin adalah mempunyai kemampuan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan organisasi agar kegiatan tersebut dalam berjalan dengan efisien, dengan tujuan agar terjadi ketertiban dalam kegiatan organisasi diperlukan pengaturan mengenai pembagian tugas, cara kerja dan hubungan antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan yang lain. Kegiatan pengaturan dalam organisasi itulah yang disebut administrasi, yang perlu di kendalikan atau dipimpin oleh seorang administratur atau pemimpin. Selanjutnya menurut Broadwell (Sinambela, dkk, 2010; 102), pada dasarnya setiap pemimpin (manajer) apakah dia seorang pemimpin tingkat atas (top management), pemimpin tingkat menengah (middle management) dan pemimpin tingkat bawah (lower management), wajib melaksanakan empat fungsi yaitu merencanakan, mengorganisasi, memimpin dan mengawasi. Walaupun semua pemimpin melaksanakan ke empat fungsi tersebut, namun sejauh mana efektivitas kepemimpinan mereka masih dipengaruhi oleh berbagai variabel, khususnya variabel kepemimpinan mereka, sebagai contoh seorang pemimpin tingkat atas memiliki lebih banyak waktu untuk perencanaan dan pengorganisasian, pemimpin tingkat yang lebih rendah memiliki lebih banyak waktu untuk memimpin dan mengawasi, karena ke empat fungsi ini mutlak dimiliki seorang pemimpin (Sinambela, dkk, 2010; 102). 2. Kinerja Aparatur Pemerintahan Penilaian kinerja mempunyai peranan penting dalam peningkatan motivasi ditempat kerja. Penilaian kinerja ini (performance appraisal) pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien. Pegawai menginginkan dan memerlukan balikan berkenaan dengan prestasi mereka dan penilaian menyediakan 2 kesempatan untuk memberikan balikan kepada mereka jika kinerja tidak sesuai dengan standar, maka penilaian memberikan kesempatan untuk meninjau kemajuan karyawan dan untuk menyusun rencana peningkatan kinerja, (Dessler 1992; 536).

10

Lebih lanjut menurut Dessler (1992; 514) bahwa, ada 5 faktor dalam penilaian kinerja, yaitu: (1) kualitas pekerjaan meliputi: akuisi, ketelitian, penampilan dan penerimaan keluaran; (2) kuantitas pekerjaan meliputi: Volume keluaran dan kontribusi; (3) supervisi yang diperlukan, meliputi: membutuhkan saran, arahan atau perbaikan; (4) kehadiran meliputi: regularitas, dapat dipercaya/ diandalkan dan ketepatan waktu; (5) konservasi meliputi: pencegahan, pemborosan, kerusakan dan pemeliharaan. 3. Pelayanan Aparatur Pemerintahan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang terdapat di Pasal 3 bahwa; (1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/ atau pengurus partai politik. Menurut Sinambela, dkk (2010; 71) bahwa, birokrasi pemerintah diharapkan lebih optimal memberikan pelayanan dan menjadikan masyarakat sebagai pihak paling utama yang harus dilayani. 4. Perilaku Aparatur Pemerintahan Menurut Sinambela, dkk (2010; 96) bahwa, resistensi dan perubahan sikap dan perilaku birokrat (aparatur pemerintahan) terutama dalam posisi jabatan dan wewenang. Perampingan organisasi pemerintah ditingkat pusat tidak berarti menjadikan sikap dan perilaku birokrat (aparatur pemerintahan) melemah sepanjang sistem formalisasi (peraturan perundang-undangan) belum diubah menyeluruh. Kecenderungan yang tampak adalah para birokrat berupaya menembus lingkaran konsentrik kekuasaan ataupun mencari dukungan partai politik tanpa harus menjadi anggota partai politik. C. Penyelenggaraan Kebijakan Publik Menurut Thomas R. Dye (Thoha, 2008; 107-108), apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan (whatever government choose to do or not to do), maka pusat perhatian dari kebijakan publik (public policy) tidak hanya pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah itu mempunyai dampak yang cukup besar terhadap masyarakat seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut NASPAA (Thoha, 2008; 115-116), rumusan kajian kebijakan publik (public policy) adalah sutu proses memformulasikan; (1) melaksanakan dan mengevaluasi policy; (2) strategi untuk mengoptimalkan dan memilih alternatifalternatif; (3) atribut yang jelas untuk membedakan antara policy yang masih bersifat relatif ke suatu policy yang jelas dari bidang-bidang tertentu meliputi kesehatan dan transportasi; (4) memerlukan keahlian untuk analisis sosioekonomi, diagnosis politik, identifikasi isu, dan evaluasi program; dan (5) mempunyai pengetahuan dan komitmen terhadap nilai kepentingan masyarakat umum (public interest), kebijaksanaan dan program yang mempercepat adanya kesempatan yang sama dan
11

kesejahteraan, pengukuran-pengukuran untuk menaikkan pengertian rakyat terhadap pilihan-pilihan masyarakat dan pengaruhnya, standar formulasi program dan pelaksanaannya, prosedur penilaian program yang jujur atas keuntungan dan kerugian dari aneka macam milik umum, dan pengukuran-pengukuran untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam formulasi kebijaksanaan dan evaluasi. Selanjutnya menurut Thoha (2008; 108), kebijakan publik (public policy) mengatur banyak hal mulai dari mengatur perilaku, mengorganisasikan birokrasi, mendistribusikan penghargaan sampai pula penarikan pajak-pajak dari anggota masyarakat. Kebijakan publik (public policy) dapat juga dilakukan oleh pemerintah dengan cara mengalokasikan beberapa dari PDRB nya dan sejumlah hasil yang diproduksikan pemerintah setiap tahunnya kepada masyarakat. Kebijakan publik (public policy) dapat juga menangani berbagai macam bidang cakupan substansif misalnya pertahanan, keamanan, energi, lingkungan, masalah-masalah luar negeri, pendidikan, kesejahteraan, kepolisian, lalu lintas dan jalan raya, perpajakan, perumahan, kesehatan, keluarga berencana, pembangunan pedesaan, inflasi dan resesi serta masih banyak hal lagi. Selain itu kebijakan publik (public policy) dapat mengatur dari masalah-masalah vital sampai masalah-masalah kurang penting (trivial), dan dari alokasi anggaran yang jutaan rupiah sampai dengan sistem persenjataan yang mutakhir. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Sebagai Salah Satu Bagian Dari Penyelenggaraan Kebijakan Publik Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dengan menanggulangi masalah kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan korelasi terhadap sistem pembangunan terdahulu yang pada umumnya bersifat sentralistik. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) juga penyempurnaan terhadap berbagai program penanggulangan kemiskinan terdahulu seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan P3DT. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) diharapkan dapat menjadi suatu sistem pembangunan yang memungkinkan segala bentuk sumberdaya pembangunan dapat diakses secara merata dan adil oleh seluruh pelaku dan komponen bangsa. Secara umum visi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah terwujudnya masyarakat mandiri sejahtera. Mandiri berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumberdaya yang ada dilingkungannya, serta mengelola sumberdaya tersebut untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, khususnya masalah kemiskinan. Sejahtera yang berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Dalam mewujudkan visi tersebut maka misi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah memberdayakan masyarakat perdesaan dalam rangka menanggulangi permasalahan kemiskinan melalui; (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengoptimalan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana dasar masyarakat; (5) pengembangan kemitraan dalam pembangunan. Misi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) tersebut dicapai melalui tahapan PPK I, PPK II, dan PPK III (Petunjuk Teknis Operasional Program Pengembangan Kecamatan, 2005).

12

D. Analisisis Teoritik Penyelenggaraan Kebijakan Publik Meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Terhadap Hubungan Efektivitas, Efisiensi, Dampak dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kesejahteraan Masyarakat 1. Efektivitas Menurut Robbin (Armia; 2002; 112) bahwa, efektivitas suatu organisasi sebagai suatu tingkat dimana suatu organisasi dapat merealisasikan tujuannya. Selanjutnya menurut Kunarjo (2002; 236) bahwa, pengadaan barang dan jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah. Selanjutnya menurut Kaplan dan Norton (Armia; 2002; 112-123) bahwa, menemukan suatu suatu model yang memberikan alternatif untuk perbaikan dalam pengukuran efektivitas organisasi atau kinerja organisasi yang dikenal dengan balanced scorecard yang menggunakan pengukuran internal maupun eksternal kuantitatif maupun kualitatif, yang dibagi dalam 4 perspektif yaitu; (1) keuangan; (2) pelanggan; (3) internal proses; dan (4) inovasi. 2. Efisiensi Menurut Kunarjo (2002; 236) bahwa, pengadaan barang dan jasa itu harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya serta dapat dipertanggung jawabkan. Efisiensi merupakan salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan dari suatu program yang telah dilaksanakan, dengan kemampuan memaksimalkan output dengan input yang tersedia. 3. Dampak Menurut Wunas (2009), evaluasi terhadap suatu proses menjelaskan secara sistematik rangkaian kegiatan program untuk mencapai objektivitas, efisiensi dan efektivitas serta mengetahui dampak dari suatu kegiatan, guna membantu pengambilan keputusan satu atau beberapa aspek program perencanaan yang akan datang. Aspek evaluasi lainnya yang tercakup dalam tahap-tahap evaluasi dan analisis keadaan tahunan adalah evaluasi kebijaksanaan, evaluasi aspek-aspek ekonomi dan evaluasi pendanaan program/proyek. Menurut Khotimah, dkk (2002; 15), evaluasi dampak hasil pelaksanaan proyek berdasarkan laporan-laporan yang masuk pada tahap-tahap sebelumnya. Dalam tahap ini membandingkan antara yang direncanakan dengan hasil yang dicapai. Hasil penilaian selanjutnya digunakan untuk perbaikan bagi proyek-proyek berikutnya dan mengembangkan gagasan baru dalam memilih proyek baru. 4. Partisipasi Masyarakat Menurut Thoha (2008; 117), ruang lingkup kebijakan publik (public policy) yakni membangkitkan adanya partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memikirkan cara-cara yang baik untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat, tanpa adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak, maka kebijakan publik (public policy) kurang bermakna. Partisipasi dalam kebijakan publik (public policy) merupakan aktivitas yang dilakukan oleh warga negara, baik secara pribadi maupun berkelompok yang direncanakan untuk memengaruhi pembuatan keputusan
13

pemerintah. Partisipasi dapat dilakukan baik terorganisasi atau spontanitas, baik secara terus-menerus ataupun sporadis, baik secara damai ataupun kekerasan, baik legal ataupun tidak legal, dan baik dilakukan secara efektif ataupun secara tidak efektif. Dari sekian macam partisipasi itu, tampaknya hanya partisipasi yang mencoba untuk mendukung kebijaksanaan dengan cara yang terorganisasikanlah yang berhasil dan efektif. Dengan demikian, dukungan yang efektif untuk kebijaksanaan di bidang substansial sosial dan ekonomi adalah kemungkinan sekali berasal dari partisipasi kolektif yang terorganisasi secara teratur (Thoha, 2008;117). E. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai penyelenggaraan pemerintahan pernah dilakukan oleh disertasi Rakhmat (2004), tentang Akuntabilitas Birokrasi Pemerintahan Daerah Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Makassar, mengungkapkan bahwa birokrasi Pemerintah Kota Makassar dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik memberikan dampak positif menurut penilaian masyarakat sehingga akuntabel. Kualitas pelayanan tersebut ditentukan oleh berbagai dimensi yaitu; penampilan fisik organisasi dan pegawai, kehandalan, daya tanggap, jaminan kepastian dan empati. Dari kelima dimensi tersebut berhasil memberikan kontribusi yang paling mendekati keakuratan dalam menilai kualitas pelayanan yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah Kota Makassar. Selain itu juga terdapat hubungan positif antara aspek kebijakan, kemampuan, kepemimpinan aparatur dengan akuntabilitas birokrasi. Namun penerapannya belum sepenuhnya didasarkan pada teori atau model akuntabilitas birokrasi publik. Disertasi Burhanuddin (2008), tentang Kinerja Birokrasi Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Kebersihan di Kota Makassar, menunjukkan bahwa kinerja Birokrasi Pemerintahan Daerah Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar terhadap pelayanan kebersihan belum optimal. Secara umum partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kebersihan masih rendah, hal ini diakibatkan karena tidak aktifnya masyarakat melakukan pemilahan sampah disumbernya dan rendahnya kontribusi masyarakat dalam pembayaran retribusi kebersihan. Tesis Adi Sumandiyar (2010), tentang Evaluasi Dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Terhadap Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros, menunjukkan bahwa program yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Maros berdampak positif dan sihnifikan terhadap ekonomi masyarakat namun masyarakat masih belum paham tentang adaptasi teknologi pertanian dan volume dana simpan pinjam diperbesar.

14

F. Kerangka Konseptual

Model Akuntabilitas Otonomi Daerah Dalam penyelenggaraan Kebijakan Publik

Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Implementation local autonomy) meliputi: 1. Model Kepemimpinan Pemerintahan 2. Kinerja Aparatur Pemerintahan 3. Pelayanan Aparatur Pemerintahan 4. Perilaku Aparatur Pemerintahan

Penyelenggaraan Kebijakan Publik (implemetation public policy) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) meliputi: 1. Efektivitas terhadap sasaran penerima dana bantuan dan simpan pinjam 2. Efisiensi menghasilkan output dengan input yang tersedia 3. Dampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat 4. Partisipasi Masyarakat

Kontrol Sosial dan Penilaian Masyarakat (Social Control and Community Assessment)

Akuntabilitas Otonomi Daerah dalam Penyelenggaraan Kebijakan Publik (Implementation Regional Autonomy Accountability in Public Policy)

15

G. Hipotesis Berdasarkan dari rumusan masalah, maka dibutuhkan hipotesis penelitian yang berguna untuk memberikan jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, hipotesis yang dimaksud adalah sebagai berikut: Hipotesis 1 Terdapat hubungan positif antara model kepemimpinan pemerintahan, kinerja aparatur pemerintahan, pelayanan aparatur pemerintahan dan perilaku aparatur pemerintahan dengan peningkatan penyelenggaraan otonomi daerah. Hipotesis ini diajukan dengan asumsi bahwa aspek model kepemimpinan pemerintahan, kinerja aparatur pemerintahan, pelayanan aparatur pemerintahan dan perilaku aparatur pemerintahan merupakan determinan penting bagi terwujudnya akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh sebab itu peningkatan penyelenggaraan otonomi daerah dapat dikatakan akuntabel apabila dapat memenuhi harapan masyarakat. Hipotesis 2 Terdapat hubungan positif antara efektivitas terhadap sasaran penerima dana bantuan dan simpan pinjam, efisiensi menghasilkan output dengan input yang tersedia, dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan partisipasi masyarakat terhadap pelibatan perencanaan pembangunan dengan kualitas penyelenggaraan kebijakan publik. Hipotesis ini diajukan dengan asumsi bahwa kualitas penyelenggaraan kebijakan publik hanya dapat terealisir apabila didukung dimensi-dimensi kualitas. Kepuasan publik dicapai melalui optimalisasi kebijakan publik meliputi efektivitas, efisiensi, dampak dan partisipasi masyarakat yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan harapan publik. Karena itu kualitas penyelenggaraan kebijakan sangat diperlukan pelaksanaannya secara berkelanjutan (sustainable) dalam rangka menjaga kepuasan publik yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian bersifat deskriptif dan asosiatif, serta penelitian ini menggunakan data kontinum yang terdiri dari data rasio. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif deskriptif dan asosiatif, serta didukung data kualitatif yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis, cermat dan akurat mengenai fenomena sosial tertentu berupa fakta-fakta, keadaan, suatu individu atau kelompok, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Desain penelitian korelasional. B. Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan selama 3 Bulan, yang akan di mulai pada Bulan September 2012-Bulan Desember 2012. III.

16

2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Maros meliputi Kecamatan Bantimurung sebagai salah satu kecamatan yang menyelenggarakan kebijakan publik yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Dipilihnya Kabupaten Maros sebagai lokasi penelitian selain karena merupakan daerah yang kegiatan pemerintahannya dinamis dan kompleks juga sebagai wilayah trans Kabupaten dan juga Propinsi. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Sugyono (2010; 61), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan untuk dipelajari dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian. Populasi bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/ subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/ sifat yang dimiliki oleh objek/ subjek tersebut (Sugiyono, 2010; 90). Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang bertempat tinggal di Kecamatan Bantimurung dengan unit analisis adalah 623 orang nasabah Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan 111 orang nasabah Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) di setiap desa/kelurahan Kecamatan Bantimurung yang merupakan bagian dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK). 2. Sampel Arikunto (2006; 134), jika populasinya besar dapat diambil sampel sebesar 10% - 15%. Dalam penelitian ini jumlah populasi sebanyak 734 orang dan diambil sampel sebesar 10% dari jumlah populasi yaitu 73 orang. Tabel 1. Penentuan jumlah sampel yang menerima pinjaman UEP dan SPP ditiap desa/kelurahan di Kecamatan Bantimurung, Tahun 2010
Jumlah Pinjaman (Rp. Juta) No 1. Desa/Kelurahan Desa Allatengae UEP 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 SPP 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 UEP 26 25 15 82 45 35 35 25 15 10 13 12 45 25 15 SPP 20 0 0 19 1 0 0 10 5 18 11 3 0 0 0 Jumlah Nasabah (Orang) Frekuensi UEP + SPP (Orang) 46 25 15 101 46 35 35 35 20 28 24 15 45 25 15 Sampel (Orang)

2.

Desa Minasabaji

3 3 2 5 3 2 5 5 3 4 3 2 4 3 2

3.

Kelurahan Kalabbirang

4.

Desa Tukamasea

5.

Desa Mattoangin

17

Lanjutan Tabel. 1
Jumlah Pinjaman (Rp. Juta) No 6. Desa/Kelurahan Desa Mangeloreng Desa Baruga UEP 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 SPP 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 1,0 2,0 2,1 3,0 3,1 5,0 UEP 39 34 20 35 20 13 17 12 10 623 SPP 0 0 0 24 0 0 0 0 0 111 Jumlah Nasabah (Orang) Frekuensi UEP + SPP (Orang) 39 34 20 59 20 13 17 12 10 734 Sampel (Orang)

7.

8.

Kelurahan LeangLeang

4 4 2 4 3 2 2 2 1 73

Jumlah

Sumber : Sumandiyar (2010; 54). D. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder antara lain: 1) Data primer: Pengambilan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner kepada responden yang terlibat dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah ditetapkan meliputi data penyelenggaraan otonomi daerah yaitu; (1) model kepemimpinan pemerintahan; (2) kinerja aparatur pemerintahan; (3) pelayanan aparatur pemerintahan; dan (4) perilaku aparatur pemerintahan. Sementara data penyelenggaraan kebijakan publik meliputi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bantimurung meliputi; (1) efektivitas terhadap sasaran penerima dana bantuan dan simpan pinjam; (2) efisiensi menghasilkan output dengan input yang tersedia; (3) dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat; dan (4) partisipasi masyarakat terhadap pelibatan perencanaan pembangunan. 2) Data sekunder: Data sekunder dengan menggunakan kajian pustaka yang ada relevansinya dengan penelitian, berupa dokumen-dokumen yang didapatkan melalui observasi instansional atau cara pengumpulan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah; a) Data jenis kegiatan pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Tahun 2007 ditiap desa/kelurahan meliputi; data pembangunan yang telah dilaksanakan oleh Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Data tersebut diperoleh melalui Kantor Sekretariat Unit Pelaksanaan Kegiatan (UPK) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. b) Data penunjang lainnya seperti dokumen RTRW Kabupaten Maros, dokumen RENSTRA Kabupaten Maros, dokumen RPJP Kabupaten Maros, dokumen RPJM Kabupaten Maros yang diperoleh di Dinas Badan Perencanaan dan

18

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan data gambaran umum wilayah penelitian diperoleh di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maros. E. Teknik Pengumpulan Data Untuk menghasilkan keakurasian data dalam penulisan penelitian ini, maka digunakan teknik pengumpulan data secara triangulasi antara lain sebagai berikut: 1) Kuesioner (Quetionnaire) Pengumpulan data yang dilakukan dengan jalan mengedarkan atau menanyakan langsung kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan atau kuesioner yang bersifat tertutup. 2) Wawancara (Indepth Interview) Teknik ini dimaksudkan agar data yang terkumpul diharapkan dapat melengkapi data-data yang dipertanyakan dalam kuesioner, sehingga data yang didapatkan semakin lengkap. Wawancara dilakukan kepada narasumber seperti; (1) Kepala Daerah Kabupaten Maros; (2) Wakil Kepala Daerah Kabupaten Maros; (3) Sekretaris Daerah Kabupaten Maros; (4) Kepala Dinas Badan Pengawas Daerah Kabupaten Maros; (5) Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Maros; (6) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebanyak 2 Orang ; (7) Kepala Kecamatan di Kabupaten Maros sebanyak 14 Orang; (8) Kepala Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kecamatan Bantimurung; dan (9) Kepala Desa/Kelurahan di Kecamatan Bantimurung masing-masing sebanyak 8 Orang 3) Observasi (Participant Observation) Teknik ini dilakukan dengan tujuan meninjau langsung ke lokasi penelitian untuk melengkapi data yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara, sehingga observasi sangat diperlukan untuk melengkapi keakurasian data. F. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kuantitatif. Analisis kuantitatif menggunakan statistik deskriptif dengan persentase, rata-rata standar deviasi, serta korelasi dan persamaan regresi. Karena penelitian ini menggunakan metode survei dengan bertolak dari suatu kerangka teori kemudian dikembangkan untuk memperoleh verivikasi dalam bentuk dukungan data empiris dilapangan. Analisis kuantitatif juga dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian.

19

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Edisi Revisi VI, Rineka Cipta, Jakarta. Chairuman, Armi, Pengaruh Budaya Terhadap Efektivitas Organisasi: Dimensi Budaya Hofstede, Jurnal JAAI Volume 6, Nomor 1, Juni Tahun 2002 (Online), (http://journal.uii.ac.id/index.php/JAAI/article_viewfile, diakses 29 Januari 2012). Badan Pusat Statistik Kabupaten Maros, 2009. Kabupaten Maros Dalam Angka, Sulawesi Selatan. Dessler, Gery, 1992. Manajemen Sumber-daya Manusia, Jakarta, Prenhallindo. Eko, Sutoro, Mengkaji Ulang Good Governance, Jurnal Piramida Volume 5, Nomor 3, Tahun 2011 (Online), diakses 26 (http://www.ireyogya.org/sutoro/mengkaji_ulang_gg.pdf, Desember 2011). Kunarjo, 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, Penerbit UI - Press, Jakarta. Khotimah, K, dkk, 2002. Evaluasi Proyek dan Perencanaan Usaha, Ghalia Indonesia dengan UMM Press, Jakarta. Program Pengembangan Kecamatan Bantimurung, 2008, Fasilitator Kecamatan di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros. Sinambela, Lijan Poltak, dkk, 2010. Reformasi Pelayanan Publik (Teori, Kebijakan, dan Implementasi), Bumi Aksara, Jakarta. Sugiyono, 2010. Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung. Sumandiyar, Adi, 2010. Evaluasi Dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Terhadap Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros, Tesis Universitas Hasanuddin, Makassar. Thoha, Miftah, 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana, Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Wunas, Shirly, 2009. Materi Kuliah Monitoring dan Evaluasi Proyek. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

20

You might also like