You are on page 1of 27

1

BAB 2 PELINGKUPAN

2.1.

Gambaran Umum Wilayah Kajian

2.1.1. Letak dan Luas Wilayah Adminsitrasi Provinsi Sulawesi Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian utara Indonesia Timur, yang letaknya berbatasan dengan Negara Phillipina yang membuat Sulawesi Utara terletak di posisi strategis dalam era globalisasi dan itu terlihat dari sisi letak geografisnya pada 015534 Lintang Utara dan 1230712710 Bujur Timur. Wilayah Provinsi Sulawesi Utara terletak di semenanjung utara pulau Sulawesi, yang batas-batasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut : Utara berbatasan dengan Negara Philipina, dan Laut Pasific Barat berbatasan dengan Provinsi Gorontalo Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini Timur berbatasan dengan Laut Maluku

Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi Provinsi Sulawesi Utara

Wilayah administratif Provinsi Sulawesi Utara (sampai dengan Tahun 2011) terdiri atas 15 (lima belas) daerah otonom, yaitu 11 (sebelas) kabupaten dan 4 (empat) kota. Luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Utara seluas 15.273,560 km2 yaitu hanya sebesar 0,72% dari luas wilayah Republik Indonesia, dengan Bolaang Mongondow sebagai kabupaten terluas, yaitu 3.547,49 km2 atau 23,22% dari wilayah Sulawesi Utara. Luas wilayah 2

kabupaten/kota terkecil adalah Kota Tomohon yaitu sebesar 0,96 % dari luas wilayah provinsi. 2.1.2. Keunikan dan Keistimewaan Pulau Sulawesi dan Sulut dari sisi Biogeografi Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaan hayati tertinggi di dunia. Diantara pulau-pulau di Indonesia, Sulawesi merupakan pulau dengan prioritas tinggi untuk konservasi (Wilson dkk., 2006) karena Sulawesi merupakan pulau dengan tingkat keendemikan tertinggi didunia (Olson dkk., 2001) yang ditunjang oleh sejara geologi yang istimewa (Villeneuve dkk., 2002 dan Hope, 2001). Dalam pandangan biogeografi global, Sulawesi adalah pulau terjauh di sisi barat dalam kawasan bioregion Australasia. Bahkan ada yang berargumen bahwa dengan keunikan yang tajam, kawasan Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara diberi nama Kawasan Bioregion Wallacea (Olson dkk., 2001). Lebih dari 40% jenis fauna endemik indonesia ditemukan di Sulawesi dan lebih dari 50% jenis yang dijumpai di Sulawesi, tidak ditemukan di bagian lain manapun di dunia ini (Lee dkk., 2002). Perairan Sulawesi juga termasuk kawasan yang sangat penting ditinjau dari keanekaan hayati laut. Kawasan ini termasuk dalam bioregion Segitiga Karang Dunia Barat (Western Coral Triangle) dalam ekoregion kelautan Central Indo-Pacific (Spalding dkk., 2007). Dari kesemua penanda kekayaan keanekaan hayati ini, Sulawesi Utara merupakan kawasan yang paling menonjol dengan konsentrasi keanekaan hayati terrestrial lebih dari 70% dan kelautan lebih dari 75% dari potensi keanekaan hayati di Sulawesi 2.1.3. Sejarah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum daerah yang berada di paling ujung utara nusantara ini menjadi daerah provinsi. Sejarah pemerintahan Daerah Sulawesi Utara seperti halnya daerah lainnya di Indonesia, mengalami beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan, seiring dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan bangsa. Daerah ini berstatus keresidenan pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia, dan merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi. Provinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernur yaitu Dr. G. S. S. J. Ratulangi. Sejalan dengan pemekaran administrasi pemerintahan daerah-daerah di Indonesia, pada tahun 1960 Provinsi Sulawesi dibagi menjadi dua provinsi administratif yaitu Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Untuk mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Utara-Tengah, maka berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 122/M Tahun 1960 tanggal 31 Maret 1960 ditunjuklah A. Baramuli, SH sebagai Gubernur Sulutteng. Sembilan bulan kemudian Provinsi Administratif Sulawesi Utara-Tengah ditata kembali statusnya menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1960. Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulutteng meliputi; Kotapradja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing; Sangihe Talaud, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Minahasa, Buol Toli-Toli, Donggala, Poso, dan Luwuk/Banggai. Sementara itu, DPRD Provinsi Sulawesi Utara-Tengah baru terbentuk pada 26 Desember 1961. Perkembangan selanjutnya tercatat bahwa suatu momentum penting yang terpatri dengan tinta emas dalam lembar sejarah daerah ini yaitu dikeluarkannya Undang-Undang 3

Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 23 September 1964 yang menetapkan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan Ibukotanya Manado. Momentum diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Sejak itulah secara de facto wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara membentang dari utara ke selatan barat daya, dari Pulau Miangas ujung utara di Kabupaten Sangihe Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat Kabupaten Gorontalo. Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara yaitu; Kotamadya Manado, Kota Madya Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Sangihe Talaud . Selanjutnya, seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, pada 2000, Provinsi Sulawesi Utara dimekarkan dengan membentuk Provinsi Gorontalo melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Provinsi Gorontalo tersebut, maka wilayah Provinsi Sulawesi Utara meliputi; Kota Manado, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Sangihe dan Talaud serta Kabupaten Bolaang Mongondow. Pada tahun 2003 Provinsi Sulawesi Utara mengalami penambahan 3 Kabupaten dan 1 (satu) Kota dengan Kabupaten Minahasa sebagai Kabupaten induk yaitu Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Tomohon serta Kabupaten Kepulauan Talaud. Kemudian tahun 2007 ketambahan lagi 4 kabupaten/kota yakni Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Bolmong Utara, Kabupaten Siau-Tagulandang-Biaro dan Kota Kotamobagu. Dan terakhir pada 2008 ketambahan 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, sehingga secara keseluruhan Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara berjumlah 15 (lima belas) yang terdiri dari 11 kabupaten dan 4 (empat) kota. Sejarah Perkembangan Sulawesi Utara memang merupakan suatu sumber inspIrasi dan juga manifestasi yang tidak kecil sumbangannya pada proses pembangunan dan emansipasi masyarakat Sulawesi. Pertama dapat disebut dua karya dari putra daerah Minahasa asli, GSSJ Ratu Langi yang telah menyampaikan ceramah Het Minahasssisch Ideaal pada Indische Vereeniging 28 Maret 1914. Dan berikutnya Sisilen matoea an doro in tana im Maasa koemiit in sisisilen niindo a so matoetoea pinatit yang dapat diterjemahkan sebagai Sejarah lama Maasa (Minahasa) menurut ceritera dan hikayat rakyat atau penduduknya oleh A.L. Waworoentoe (Hoekoem Kadoea distrik Sonder afdeeling Amoerang) dan Kedua dari kategori karangan studi dan laporan teknis dan ilmiah tentang keadaan Sulawesi Utara yaitu karya yang sangat komprehensip dari David Henley Fertility, Food and Fever Populatian, Economy and Environment in North and Central Sulawesi 1600-1930. Serta suatu laporan teknis Verslag eener Spoorwegverkenning in de afdeeling Menado yang disusun oleh V.J. van Marle Weltevreden 30 April 1922. Hikmah perspektif pengalaman sejarah sebagai kontribusi langsung pada penyusunan Visi Pembangunan Daerah Sulawesi Utara dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Provinsi Sulawesi Utara. Visi Pembangunan Daerah Sulawesi Utara yang tertuang dalam RPJPD tahun 20052025 adalah: Sulawesi Utara yang Berbudaya, Berdaya Saing, Aman dan Sejahtera sebagai Pintu Gerbang Indonesia ke Kawasan Asia Timur dan Pasifik. Hal ini tertuang juga dalam Visi RPJMD dalam periode 2010-2015, Visi Pembangunan Provinsi Sulawesi Utara adalah 4

MENUJU SULAWESI UTARA YANG BERBUDAYA, BERDAYA SAING DAN SEJAHTERA, sehingga diharapkan seluruh stakeholder di Provinsi Sulawesi Utara secara bahu membahu mengoptimalkan seluruh kapasitas yang dimilikinya untuk meningkatkan dan mewujudkan seluruh masyarakat Sulawesi Utara lebih sejahtera. Penjelasan Visi Berdasarkan Kata Kunci pada Visi Provinsi Sulawesi Utara 2010-2015 terdapat 3 (tiga) kata kunci yaitu Rakyat Sulawesi Utara yang Berbudaya, Berdaya Saing dan Sejahtera. Kalimat Rakyat Sulawesi Utara yang Berbudaya adalah terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara yang tetap memegang teguh kearifan lokal dengan prinsip Sitou Timou Tumou Tou yang tercermin dalam budaya mapalus, mapaluse dan moposat. Masyarakat Sulawesi Utara memiliki karakter yang mampu menerima dan mengadopsi budaya modern yang konstruktif, agamis serta berkepribadian/berjatidiri yang dinamis, kreatif, inovatif, disiplin, berdaya tahan dan mampu ikut mewarnai proses globalisasi. Kalimat Rakyat Sulawesi Utara yang Berdaya Saing adalah terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara yang sehat, cerdas untuk menjadi unggul di segala bidang, serta mampu berperan dalam pembangunan nasional maupun internasional. Kalimat Rakyat Sulawesi Utara yang Sejahtera adalah merupakan refleksi dari berkurangnya masyarakat miskin, meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat, terpenuhinya sarana dan prasarana dasar pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Mewujudkan masyarakat Sulawesi Utara yang memiliki penghidupan yang layak, bebas dari segala macam gangguan agar dapat menjalani kehidupan yang aman, sentosa, dan makmur. Kependudukan Perkembangan sosial kependudukan mempunyai arti penting dan strategis dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sebab keluaran (outcome) pembangunan yang dikelola secara sistematis dan berkelanjutan sasarannya adalah kesejahteraan masyarakat dari berbagai aspek kehidupan. Yang ditandai dengan semakin meningkat standar mutu kehidupan masyarakat di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Penduduk Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2010 berjumlah 2.265.937 jiwa. Dengan luas wilayah 15.273.560 km2, berarti kepadatan penduduknya mencapai 148,36 jiwa/km2. Kota Manado merupakan wilayah yang terbanyak penduduknya dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah penduduk sebanyak 408.354 orang, disusul oleh Kabupaten Minahasa sebanyak 309.876 orang, dan Kabupaten Bolaang Mongondow sebanyak 213.223 orang. Penduduk Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan merupakan wilayah yang paling sedikit jumlah penduduknya dibandingkan dengan kabupaten/kota se-Sulawesi Utara yaitu sebanyak 56.546 orang. Dilihat dari struktur umur dan jenis kelamin masyarakat Provinsi Sulawesi Utara, kelompok umur 5-9 tahun merupakan kelompok yang terbesar, diikuti oleh kelompok umur 1014 tahun. Pada kedua kelompok umur ini, jumlah penduduk laki-laki jauh lebih banyak daripada perempuan. Pada kisaran umur 15-24 tahun, jumlah penduduk laki-laki makin berkurang. Selanjutnya pada kisaran umur 25 tahun sampai 40 tahun jumlah penduduk laki-laki dan perempuan berimbang. Pada kisaran umur 60-64 tahun, jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dari perempuan.

2.1.4. Deskripsi Singkat Pembangunan Ekonomi Sulut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai data ekonomi makro berupa nilai tambah bruto yang diperoleh dari berbagai aktivitas yang mencakup seluruh sektor perekonomian yang terjadi di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu menyajikan nilai kuantitatif tentang pembangunan ekonomi yang berdimensi waktu capaian lalu dan sekarang. PDRB ini dapat dijadikan acuan untuk memprediksi sasaran yang akan dicapai pada masa yang akan datang. PDRB perkapita Provinsi Sulawesi Utara mengalami peningkatan sekitar 60% selama lima tahun (Gambar 2.2) 9.95 juta perkapita menjadi 16.26 perkapita. Sektor pertanian memberikan andil terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Sulut diikuti dengan sektor perdagangan hotel/restoran dan jasa serta sektor konstruksi (BPS, 2010). Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Utara sebagai refleksi PDRB cenderung meningkat 6.8 di tahun 2006 menjadi 7.12 di tahun 2011. Prediksi laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Utara lebih moderat apabila terjadi kenaikan secara gradual. Dengan demikian pada tahun 2029 akan dicapai laju pertumbuhan ekonomi sekitar 9 persen yang diawali dengan pertumbuhan di tahun 2008 > 7 persen, tahun 2014 ialah > 7 persen, 2019 ialah >7 persen, 2024 ialah 8 persen, 2029 ialah > 8 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau Human Development Index) adalah tingkat kesejahteraan masyarakat disuatu daerah selain dapat dilihat dari nilai pendapatan per kapita, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan, juga dapat dilihat dari indikator lain yang lebih komprehensif yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen penyusun IPM ini ditentukan oleh empat indikator yaitu angka harapan hidup, prosentase angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan rata-rata pengeluaran perkapita riil. Pencapaian IPM Sulawesi Utara sebesar 75.68, berada di peringkat 2 nasional setelah DKI Jakarta. Menurut data BPS 2010, IPM tertinggi di Sulawesi Utara dicapai oleh Kota Manado, diikuti oleh Kota Tomohon, Bitung, Minahasa, Minut dan Sangihe dengan pencapaian sekitar 75.

PDRB Provinsi Sulut (2006-2010)


20

Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik,Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa jasa

Nilai
7.184.579 1.483.379 2.972.700 287.981 6.079.577 6.248.751 4.232.409 2.247.612 6.097.804 36.834.792

15
10 5 0 2006 2007 2008 2009 2010

PDRB

Gambar 2.2. PDRB Sulut tahun 2006-2010 dan distribusi PDRB Sulut tahun 2010

2.1.5. Kemiskinan Jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 sebesar 219,57 ribu (9,79%). Terjadi penurunan jumlah maupun prosentase penduduk miskin tahun 2008 yang berjumlah 223,5 ribu (10,10%). Penurunan ini lebih disebabkan oleh turunnya jumlah penduduk miskin di kawasan perdesaan. Jika pada posisi tahun 2008 jumlah penduduk miskin di perdesaan berjumlah 150,9 ribu (12,04%), pada tahun 2009 jumlah berkurang cukup signifikan menjadi 140,31 ribu (11,05%). Sebaliknya, di perkotaan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan, jika pada periode 2008 jumlahnya tercatat 72,7 ribu (7,56%), pada periode 2009 jumlahnya meningkat mencapai 79,25 ribu (8,14%). Masalah kemiskinan (9% dari jumlah penduduk) dan ketiadaan lapangan pekerjaan/pengangguran (14%) juga merupakan kondisi terkini, walaupun jumlah pemilik tanah dan buruh tani di Sulut masih berimbang. Pelaksanaan PKSBBM untuk lebih kurang 96.000 KK miskin saat ini ternyata terus bertambah setelah ada pendataan ulang oleh kantor statistik. Pengurangan angka kemiskinan perlu adanya kebijakan yang berkelanjutan dengan pendekatan dari sisi keluarga miskin itu sendiri yaitu dengan terlebih dahulu melakukan pemetaan sosial (social mapping) masyarakat di wilayah pemerintahan yang paling rendah minimal di tingkat kecamatan sehingga akan mendapatkan data riil keadaan keluarga miskin, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan program-program penanggulangan keluarga miskin.

2.2

Proses Pelingkupan
Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk mengidentifikasi isuisu penting/strategis atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana KRP (Kebijakan Rencana Program). Pelingkupan bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud. Pelingkupan dilakukan melalui berbagai metode yaitu desk study, bimbingan teknis, diskusi grup terfokus (focus group discussions), workshop, Interaksi Kelompok (brainstorming) pemerintah dan non pemerintah serta akademisi, Diskusi Tim KLHS Provinsi Sulawesi Utara, serta analisis/telaah KRP menggunakan Metode Matriks, Metode Bagan Alir, Metode Checklist dan Metode Analisis Spasial.

2.2.1

Isu Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup Pembangunan Berkelanjutan didefinisikan oleh World Commision on Environment and Development (WCED) dalam Our Common Future yang diterbitkan tahun 1987 sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari 3 (tiga) tiang utama (ekonomi, sosial dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam.

Terjaminnya kelestarian lingkungan merupakan salah satu tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh semua negara anggota PBB di tahun 2000. Target MDGs ke-9, yaitu memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang, merupakan bagian dari pencapaian pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup (Bappenas, 2007). Walaupun konsep pembangunan berkelanjutan ini telah diperkenalkan sejak tahun 1987 dan komitmen pemerintah mencapai MDGs sejak tahun 2000, kerusakan lingkungan terus berlanjut. Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Teridentifikasi 6 masalah lingkungan di Indonesia yaitu lahan kritis, tekanan dan pertambahan penduduk, pengelolaan hutan yang tidak baik dan penebangan ilegal serta pembakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali, luas areal pertanian yang tidak sesuai dan perladangan berpindah, eksploitasi pertambangan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut. Hasil Kajian Status Lingkungan Hidup Daerah Sulawesi Utara tahun 2010 diperoleh 8 sektor yang berpotensi memberikan tekanan terhadap lingkungan hidup yaitu kependudukan, permukiman, pertanian, industri, pertambangan, energi, transportasi dan pariwisata. Pariwisata merupakan salah satu sektor potensial yang dimiliki Sulawesi Utara sebagai salah satu sumber daya ekonominya. Walaupun sektor ini memberikan dampak positif, juga berpotensi memberikan tekanan terhadap lingkungan hidup dalam hal sarana dan prasarana penunjang hotel, penginapan, restoran, cottage apabila tidak di kontrol pengelolaan limbahnya yang dibuang ke media lingkungan akan berdampak buruk bagi kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya bahkan sumber daya alam. Situasi ini menunjukkan betapa laju kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di negeri kita berlangsung dalam kecepatan yang lebih tinggi dibanding laju pencegahan dan pemulihannya. Salah satu penyebabnya adalah masalah kelembagaan atau masalah struktural. Maksudnya, krisis ekologi yang melanda di sekitar kita muncul karena kebijakan, peraturan perundangan, dan program-program pembangunan selama ini belum mempertimbangkan faktor lingkungan hidup secara utama. Terobosan penting yang ditempuh untuk mengatasi masalah struktural tersebut adalah dengan menggagas, memperluas dan menginternalisasikan pertimbangan lingkungan hidup dan prinsip keberlanjutan dalam formulasi kebijakan (policy), rencana (plan), dan program-program pembangunan. Instrumen atau mekanisme yang telah dikenal luas di berbagai belahan dunia untuk maksud tersebut adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) (Strategic Environmental Assessment). KLHS menurut UU no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP). Dengan menempatkan evaluasi dampak lingkungan dan prinsip keberlanjutan secara strategis di tahap kebijakan, rencana, atau program, maka prinsip 8

keberlanjutan dan evaluasi dampak lingkungan diintegrasikan secara penuh dalam pengambilan keputusan. Konteks ini dapat dikatakan bahwa KLHS tidak hanya merupakan kajian dampak lingkungan yang bersifat formal dan mengikuti tata prosedur tertentu, tetapi lebih dari itu juga merupakan suatu kerangka kerja (framework) untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. 2.2.2 Muatan KLHS Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan suatu kerangka kerja atau framework pada tahap dini perencanaan pembangunan dengan maksud agar di masa mendatang dapat dicapai harmoni antara pembangunan dengan lingkungan hidup. KLHS dapat dimanfaatkan sebagai kerangka integratif bagi semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat. Muatan KLHS yang terdapat dalam Pasal 16 UU No. 32 Tahun 2009 adalah : 1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan 2. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup 3. Kinerja Layanan/Jasa Ekosistem 4. Efisisensi Pemanfaatan Sumberdaya Alam 5. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Adaptasi terhadap Perubahan Iklim 6. Tingkat Ketahanan dan Potensi Keanekaragaman Hayati Muatan KLHS dari ke enam isu pembangunan berkelanjutan tersebut maka yang digunakan dalam Telaah dampak dari Kebijakan Rencana dan Program RTRW Provinsi Sulawesi Utara adalah tiga muatan KLHS yaitu: 1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan Analisis daya dukung lingkungan dilakukan melalui pendekatan analisis kesesuaian dan kemampuan lahan. Pertimbangan utama adalah fisiografi/bentuk lahan dan lereng. Analisis daya tampung dilakukan dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Hutan Lindung dan kawasan konservasi serta kawasan lindung lainnya. KRP RTRW ditelaah dengan mempertimbangkan faktor yang disebut di atas. Berdasarkan hasil telaahan ini disusun mitigasi KRP dan Rekomendasi. 2. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup Telaah dampak dan risiko lingkungan dilakukan dengan menggunakan pendekatan ABC (Abitic, Biotic dan Culture). Berdasarkan hasil assessment ini disusun mitigasi KRP dan Rekomendasi. 3. Tingkat Ketahanan dan Potensi Keanekaragaman Hayati Telaah dampak terhadap Kebijakan Rencana Program RTRW Provinsi Sulawesi Utara dilakukan berdasarkan pada tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati dengan mempertimbangkan Pulau Sulawesi termasuk Sulawesi Utara memiliki sejumlah satwa endemik yang menakjubkan dan Semenanjung utara Sulawesi (meliputi Tanah Minahasa, Bolaang Mongondow) merupakan kawasan terpenting di Pulau Sulawesi. Berdasarkan hasil assessment ini disusun mitigasi KRP dan Rekomendasi. Ketiga muatan KLHS ini relevan dengan isu-isu pembangunan berkelanjutan dan terdapat keterkaitan dengan 10 isu strategis KLHS Provinsi Sulawesi Utara. 9

2.2.3. Isu Strategis Hasil Diskusi dan Analisis Data Dasar Mengacu ke Isu pembangunan dan isu lingkungan hidup hasil Interaksi Kelompok/Brainstorming: Pemerintah, Non Pemerintah,dan Akademisi menyepakati 10 isu strategis. Bagan alir proses identifikasi 10 (sepuluh) isu strategis RTRW Provinsi Sulawesi Utara tersebut dapat dilihat pada (Gambar 1.1). 1) Isu Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor andalan Provinsi Sulawesi Utara. Kontribusi makro yang signifikan ditunjukkan oleh produk-produk perikanan dalam ekspor neto yang positif dan berperan dalam menyangga ekonomi terutama pada saat kritis. Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDRB Sulut sebesar 4,4% (Dinas Kelautan dan Perikanan, Sulut 2010). Produksi perikanan dari tahun 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 terjadi peningkatan pertumbuhan produksi perikanan tangkap sebesar 2,2%. Demikian pula terjadi peningkatan pertumbuhan produksi perikanan budidaya sebesar 9,2% selama periode tersebut.
Produksi Perikanan Sulawesi Utara (satuan: ton)
250,000.00 200,000.00 150,000.00 100,000.00 50,000.00 0.00 2005 2006 2007 Tahun 2008 2009 Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2010) Gambar 2.3. Produksi perikanan dari tahun 2005 sampai dengan 2009 Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun 2005 sampai dengan 2009, termasuk kontribusi sektor perikanan, dapat dilihat pada Gambar 2.4. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 terjadi peningkatan PDRB Sulawesi Utara secara signifikan. Demikian pula adanya peningkatan PDRB perikanan selama periode tersebut.

10

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Utara (satuan: jutaan rupiah)
35,000,000.00 30,000,000.00 25,000,000.00 20,000,000.00 15,000,000.00 10,000,000.00 5,000,000.00 0.00 2005 2006 2007 2008 2009 PDRB Sulut PDRB Perikanan Kontribusi (%)

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2010) Gambar 2.4. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun 2005 sampai dengan 2010

Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan dll), maka tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan deskripsi data tersebut diatas, terbukti bahwa Isu Pengelolaan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil menjadi isu strategis KLHS Provinsi Sulawesi Utara. 2) Isu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Sulawesi Utara memiliki 16 (enam belas) Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Tondano, DAS Kosibidan, DAS Sangkup, DAS Ranoyapo, DAS Pororosen, DAS Poigar, DAS Ongkak Mongondow, DAS Nuangan, DAS Ranowangko/Nimangan, DAS Likupang, DAS Buyat, DAS Bolangitang, DAS Ayong, DAS Andegile, DAS Dumoga dan DAS Bone (berdasarkan Peta Pembagian DAS Sulawesi Utara). Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano adalah kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup dan wilayah sungai strategis (PP No. 26 Tahun 2008), yang di dalamnya terdapat Danau Tondano. Data yang tertuang pada Gambar 2.5, menunjukkan bahwa kondisi Danau Tondano sudah memprihatinkan yaitu semakin dangkalnya Danau Tondano. Kurun waktu selama 66 tahun mengalami pendangkalan sebesar 65% dan bagaimana kini dan 20 hingga 50 tahun mendatang? Jika kondisi wilayah tangkapan airnya tidak diperhatikan dan budidaya yang terdapat di Danau Tondano tidak dikendalikan.

11

Kedalaman Danau Tondano (m)

40 30 20 10 0 1934 1974 1983 1987 1992 1996 2000

Sumber: Dep. PU, 2005 Gambar 2.5. Kedalaman Danau Tondano (1934-2000) Penelitian kualitas air yang dilakukan oleh Dinas Sumberdaya Air Provinsi Sulawesi Utara melalui proyek pengembangan dan pengelolaan Sumber Air (2003) menunjukkan bahwa kualitas air di inlet Danau Tondano dan Sungai Tondano melebihi ambang batas baku mutu air sesuai PP No. 82 Tahun 2001 (parameter: TSS, TDS, fosfat, BOD, COD, nitrat, coliform). Rata-rata total nitrogen 2540 g/l dan total fosfat di Danau Tondano 1700 g/l (JICA, 2001). Data flora akuatik menunjukkan bahwa Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) adalah spesies yang dominan dengan Indeks Nilai Penting 60 hingga 155 (Wantasen, S; J. Nebath; B. Soeroto, 2005). Konsentrasi khlorofil-a di permukaan Danau Tondano 0,9324,26 g/l dengan kecerahan 22,5 meter (Wantasen, 2010). Data-data kualitas air ini menunjukkan bahwa telah terjadi eutrofikasi di Danau Tondano. Berdasarkan data-data yang telah dideskripsikan diatas terbukti bahwa isu DAS adalah isu strategis KLHS provinsi Sulawesi Utara. 3) Isu Alih Fungsi dan Konversi Lahan Alih fungsi dan konversi lahan ke peruntukan lainnya merupakan salah satu isu strategis yang berdampak negatif bagi lingkungan. Konversi lahan fungsi lindung ke lahan pertanian, lahan pertanian ke non pertanian (industri atau permukiman), hutan menjadi tanah terbuka, perubahan persawahan menjadi kebun dan lainnya banyak terjadi di Sulawesi Utara. Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1997 2004 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1997 2004 2009
Perubahan dari ke Tahun 1997-2004 Hutan-->Hutan Hutan-->Hutan Hutan-->Hutan Hutan-->Hutan Hutan-->Hutan Hutan-->Kebun Tahun 2004-2009 Hutan-->Kebun Hutan-->Padang Hutan-->Permukiman Hutan-->Pertanian Tanah Kering Semusim Hutan-->Tanah Terbuka Kebun-->Kebun ha 10354 82 257 1740 89 14214 Luas % 36.31 0.29 0.90 6.10 0.31 49.85

12

Kebun-->Kebun Kebun-->Kebun Kebun-->Kebun Kebun-->Kebun Hutan-->Padang Padang-->Padang Hutan-->Permukiman Kebun-->Permukiman Hutan-->Permukiman Persawahan-->Persawahan Kebun-->Persawahan Perkebunan-->Persawahan Hutan-->Tanah Terbuka

Kebun-->Padang Kebun-->Permukiman Kebun-->Persawahan Kebun-->Tanah Terbuka Padang-->Padang Padang-->Permukiman Permukiman-->Permukiman Permukiman-->Permukiman Permukiman-->Permukiman Persawahan-->Kebun Persawahan-->Persawahan Persawahan-->Persawahan Tanah Terbuka-->Tanah Terbuka JUMLAH

34 64 186 76 51 36 836 193 11 93 44 139 16 28514

0.12 0.23 0.65 0.27 0.18 0.13 2.93 0.68 0.04 0.33 0.15 0.49 0.05 100.00

Sumber: Diolah dari Data Tim RDP Bappenas-Bakosurtanal, 2011 Konversi lahan hutan sebagai kawasan lindung ke pertanian menimbulkan dampak negatif bagi fungsi hidroorologis hutan. Fungsi hidroorologis ini dipengaruhi oleh antara lain oleh jenis vegetasi, tanah, bentangan alam dan iklim. Berubahnya komposisi tutupan vegetasi hutan menyebabkan kerusakan siklus air. Akibatnya di musim penghujan apabila intensitas curah hujan tinggi, akan terjadi banjir dan di musim kemarau ketika intensitas curah hujan yang sangat rendah, akan terjadi kekeringan. Erosi dan sedimentasi terjadi sebagai akibat perubahan tutupan lahan di kawasan hutan. Ketersediaan air tanah juga turut terpengaruh akibat terganggunya keseimbangan fungsi ekologis hutan.

Gambar 2.6. Peta Lokasi Perubahan Penggunaan Lahan 1997-2004

13

Bagi ketahanan pangan nasional, konversi lahan sawah ke peruntukan non pertanian merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif, dan progresif. Hasil penelitian yang dilakukan Rogi, dkk (2010) menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas baku lahan pertanian sebesar rata-rata 25% dalam 15 tahun terakhir. Luas sawah berkurang dari 64.000 hektar menjadi sekitar 50.000 hektar. Pertambahan jumlah penduduk mengisyaratkan untuk penyediaan sarana dan prasarana publik yang semakin meningkat, pengadaan sandang, pangan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain menyebabkan terjadi alih fungsi dan konversi lahan. Data perkembangan penduduk di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2004-2010 (BPS, 2010) dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Jumlah Penduduk Sulawesi Utara 2004-2010 2300000 2250000

Orang

2200000 2150000 2100000 2050000 2000000 2004 2005 2006 2007 Tahun 2008 2009 2010

Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Utara, 2011 Gambar 2.7. Pertumbuhan Penduduk Provinsi Sulawesi Utara (2004-2010) Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Sulawesi Utara per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari 2000 sampai dengan 2010 sebesar 1,41%. Data yang diperoleh dari BPS, 2006, diolah dengan Motode Regresi Linear, diperkirakan pada tahun 2027 kepadatannya berkembang lagi menjadi 184,35 jiwa/km2 atau meningkat 40.15 jiwa per km2 selama 20 tahun. Berdasarkan deskripsi data kependudukan dan data perubahan penggunaan lahan di Provinsi Sulawesi Utara maka terbukti bahwa isu alih fungsi lahan dan konversi lahan adalah isu strategis KLHS. 4) Isu Kawasan Perbatasan Isu kawasan perbatasan adalah meliputi kawasan perbatasan antar negara (peningkatan keamanan) dan sengketa batas wilayah perbatasan kabupaten/kota. Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia. Sulawesi Utara memiliki 258 pulau yang terdiri dari 59 pulau perpenghuni, 199 pulau tidak berpenghuni, dan 11 pulau terluar. 2 pulau terluar yaitu Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud dan Pulau Marore di Kabupaten Kepulauan Sangihe berbatasan langsung dengan Negara tetangga Filipina. Keutuhan dan keamanan NKRI diantaranya ditentukan oleh kondisi kawasan perbatasan di Pulau Miangas dan Marore. Sebagai kawasan strategis, infrastruktur dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di pulau-pulau terluar harus menjadi prioritas pemerintah. Aktivitas sosial ekonomi dan pertahanan keamanan di pulau terluar berperan menjaga keutuhan NKRI dari gangguan luar misalnya invasi negara tetangga, teroris dan perdagangan illegal. Konflik 14

tapal batas antar wilayah kota atau kabupaten marak terjadi di era otonomi ini. Pemekaran kota atau kabupaten dan eksploitasi SDA memicu konflik kepentingan antara dua kota atau kabupaten yang bersebelahan. Dengan demikian kawasan perbatasan adalah terbukti menjadi isu strategis KLHS. 5) Isu Pengelolaan Risiko Bencana Provinsi Sulawesi Utara termasuk wilayah rawan bencana dengan kategori sedang sampai tinggi (BNPB, 2010). Sulawesi Utara memiliki berbagai kawasan rawan bencana alam seperti kawasan rawan letusan gunung berapi, rawan gempa bumi, rawan tanah longsor dan rawan gelombang pasang dan banjir (Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Indeks Rawan Bencana Sulawesi Utara a. Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi Kawasan rawan letusan gunung berapi adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami letusan gunung berapi. Provinsi Sulawesi Utara memiliki sembilan gunung berapi aktif, yaitu: G. Awu di Pulau Sangihe, G. Karangetang di Pulau Siau, G. Ruang dan G. Soputan di perbatasan Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa dan Minahasa Tenggara, G. Lokon dan Gunung Mahawu yang terletak di perbatasan Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa, G. Ambang di perbatasan Bolaang Mongondow dan Minahasa Selatan, dan G. Tangkoko di Kota Bitung. b. Kawasan Rawan Gempa Bumi Provinsi Sulawesi Utara tergolong daerah berpotensi tinggi/rawan gempa bumi. Kegiatan Lempeng Halmahera, dan kegiatan penunjaman Lempeng Maluku ke arah barat di bawah busur Minahasa-Sangihe yang masih aktif sampai sekarang dapat mengakibatkan terjadinya gempa bumi tektonik. Menurut Peta Geologi (Apandi, 1977), di Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa Sesar, yaitu Sesar Amurang - Belang, Sesar Ratatotok, Sesar Likupang, Sesar Selat Lembeh, Sesar yang termasuk dalam sistem Sesar Bolaang Mongondow, dan Sesar Manado Kema. Umumnya pusat gempa terletak di Laut Maluku dan di samping itu juga terdapat di Laut Sulawesi, di Laut Kepulauan Talaud, di Laut Kepulauan Sangihe, di Laut Banda dan di Laut Teluk Tomini.

15

c. Kawasan Rawan Tanah Longsor Terjadinya longsor sangat tergantung pada kestabilan/kemiringan lereng, topografi, geomorfologi dan kondisi geologi. Daerah yang memiliki kemiringan lereng yang curam, > 25% ditambah curah hujan yang tinggi sangat berpotensi untuk terjadinya gerakan massa dan akhirnya menimbulkan longsor. Kawasan rawan longsor di daerah Provinsi Sulawesi Utara tersebar di beberapa wilayah kabupaten dan kota, seperti daerah Manganitu, Tamako dan Siau Timur (Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Sitaro), pada jalur jalan Manado-Amurang, Manado-Tomohon, Amurang-Modoinding, TondanoAirmadidi dan jalur jalan Noongan-Ratahan-Belang, serta wilayah Torosik Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. d. Kawasan Rawan Gelombang Pasang/Tsunami dan banjir Kawasan rawan gelombang pasang/tsunami dan banjir adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami gelombang pasang dan banjir. Pesisir pantai utara dan selatan Provinsi Sulawesi Utara berpotensi mengalami tsunami mengingat wilayah ini merupakan daerah yang sering mengalami gempa bumi. Daerah rawan banjir di wilayah Provinsi Sulawesi Utara meliputi daerah muara sungai, dataran banjir dan dataran aluvial, terutama di sepanjang Sungai. Faktor-faktor penyebab banjir antara lain adalah curah hujan yang tinggi, penutupan lahan di daerah hulu berkurang dan kapasitas alur sungai terutama di daerah hilir berkurang karena sedimentasi dan topografis daerah. Berdasarkan data yang ada maka terbukti bahwa pengelolaan risiko bencana adalah isu strategis KLHS yang meliputi risiko bencana Letusan Gunung Berapi, Rawan bencana Gempa Bumi, Rawan bencana Tanah Longsor, Rawan bencana Gelombang Pasang/Tsunami dan banjir. 6) Isu Transportasi Darat, Laut, Udara Sulawesi Utara dihubungkan dengan provinsi/kota/negara lainnya dengan sistem transportasi darat, laut dan udara. Provinsi Sulawesi Utara memiliki Bandara Internasional Sam Ratulangi dan Pelabuhan Internasional Bitung yang menghubungkan provinsi ini dengan negara lainnya. Transportasi udara dan laut ini sangat krusial dalam menunjang perekonomian regional dan lokal terutama berkaitan dengan ekspor bahan baku atau material ke negara-negara lainnya. Semakin lancar konektivitas antar provinsi dan negara, semakin signifikan kontribusi terhadap perekonomian Sulawesi Utara. Dengan demikian terbukti transportasi darat, laut, udara adalah isu strategis KLHS. 7) Isu Keanekaragaman hayati Berdasarkan data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara Balai KSDA), DPTNB (Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, dan NRMP (Natural Resources Management Project USAID/BAPPENAS), Whitten et al., (1987): Pulau Sulawesi termasuk Sulawesi Utara memiliki sejumlah satwa endemik yang menakjubkan. Semenanjung utara Sulawesi (meliputi Tanah Minahasa, Bolaang Mongondow dan Gorontalo) merupakan kawasan terpenting di Pulau Sulawesi. Kawasan ini didiami oleh setidaknya 89 jenis burung atau sekitar 86% dari 103 jenis burung endemik di Pulau Sulawesi dan Pulau-Pulau sekitarnya. Sebanyak 38 jenis tikus endemik Sulawesi, hampir setengahnya (45%, 17 jenis) 16

ada di semenanjung utara Pulau Sulawesi. Semenanjung utara ini juga menjadi rumah dari 20 jenis kelelawar buah endemik Sulawesi. Itu berarti, sebagian besar (atau lebih dari 83% dari 24 jenis) kelelawar endemik Sulawesi terdapat di kawasan ini. Dari 565 jenis/spesies flora dan fauna yang diketahui hanya 205 spesies yang dilindungi seperti Babi Rusa (Babyrousa babyrussa), Yaki (monyet)/ Kera hitam the crested black macaque, (Macaca nigra), Tarsius atau Tangkasi (Tarsius spectrum), Anoa (Bubalus sp), Beruang Kus kus (Ailurops ursinus dan Stigocuscus celebensis, Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckI). Provinsi Sulawesi Utara memiliki 2 (dua) Taman Nasional yaitu Taman Nasional Bunaken dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Taman Nasional Bunaken ditetapkan sebagai kawasan taman nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 730/Kpts-II/1991 tanggal 15 Oktober 1991. Secara administratif wilayah Taman Nasional Bunaken terbentang seluas 89.065 ha, dengan rincian yang masuk wilayah Manado seluas kurang lebih 28.451,05 ha, di Minahasa seluas kurang lebih 5.657,44 ha, di Minahasa Selatan seluas kurang lebih 8.554,96 ha. dan di Minahasa Utara seluas kurang lebih 46.401,56 ha. Ekosistem Taman Nasional Bunaken memiliki jenis habitat yang cukup lengkap, yang meliputi terumbu karang, rumput laut dan hutan mangrove. Delapan ribu hektar wilayahnya adalah terumbu karang dan kawasan seluas 2.693 Ha yang terdiri dari hutan mangrove dengan 27 species. Keanekaragaman genus karang sangat tinggi karena berada di pusat keanekaragaman biologi laut dan area karang Indo-Pasific, termasuk 390 genus karang, 388 species ikan dan 341 genus kerang, 6 species Tridacna, 1 hyppopus (Giant Clam), 19 genus Enchinoderm dan 16 genus alga laut. Di daerah Arakan - Wawontulap terdapat ekosistem mangrove dan banyak binatang yang sudah terancam punah seperti Dugong dan Penyu. Permasalahan lingkungan di Taman Nasional Bunaken diantaranya kerusakan ekosistem pesisir (mangrove), padang lamun dan terumbu karang yang diakibatkan pemanfaatan SDA yang tidak mempedulikan keberlanjutan fungsi ekosistem yang di ekstrak. Hal ini juga diperburuk dengan lemahnya penegakan hukum, kurangnya patroli/pengawasan dan konflik kepentingan antar stakeholder. Dampak yang ditimbulkan mengancam kelangsungan hidup biota perairan di wilayah taman nasional Bunaken yang unik, ekosistem terumbu karang yang merupakan surga bagi penyelam dan pariwisata Bunaken yang terkenal di seluruh dunia. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ditetapkan sebagai kawasan taman nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 724/Kpts-II/1993 tanggal 8 Nopember 1993. Secara administratif wilayah Taman Nasional ini berada di dua kabupaten/Provinsi, yaitu kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Luas keseluruhan TN Bogani Nani Wartabone adalah 287.115 ha berada di Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo, dengan rincian di Bolaang Mongondow seluas kurang lebih 136.572 ha., di Bolaang Mongondow Selatan seluas kurang lebih 35.220 ha. dan di Bolaang Mongondow Utara seluas kurang lebih 5.383 ha. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman jenis tumbuhan berupa 400 jenis pohon, 24 jenis anggrek, 120 jenis epifit, 49 jenis paku-pakuan, dan 90 jenis tumbuhan obat. Keanekaragaman satwa berupa 24 jenis mamalia, 11 jenis reptilia, 2 jenis ampibi, 64 jenis aves, 36 jenis kupu-kupu, 200 jenis kumbang, dan 19 jenis ikan air tawar. 17

Permasalahan lingkungan yang terjadi di kawasan taman nasional ini diantaranya konflik tapal batas, perladangan berpindah di kawasan, pembalakan liar, penambangan liar yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Lemahnya penegakan hukum memperburuk kondisi lingkungan taman nasional. Degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab merupakan ancaman signifikan bagi kelangsungan hidup keanekaragaman hayati unik Sulawesi di kawasan taman nasional tersebut. Berdasarkan data-data yang ada maka terbukti bahwa keanekaragaman hayati menjadi isu strategis dari pengelolaan Taman Nasional. 8) Isu Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Provinsi Sulawesi Utara memiliki Kawasan Peruntukan Industri yaitu kawasan peruntukan industri besar meliputi Kauditan- Bitung-Kema (KABIMA) di Minahasa Utara dan Bitung serta kawasan industri Bitung; kawasan peruntukan industri sedang berupa Kawasan Kapitu-Amurang di Minahasa Selatan; dan kawasan peruntukan industri kecil dan ringan tersebar di seluruh Kabupaten/Kota wilayah Provinsi. Jumlah perusahaan industri yang berpotensi mencemari sumber air sebanyak 61 perusahaan (87%) sedangkan jumlah perusahaan industri yang berpotensi mennyebabkan penurunan kualitas udara adalah sekitar 9 perusahaan 13 % dari jumlah perusahaan industri yang ada di Sulawesi Utara, ini menunjukkan besarnya potensi lingkungan untuk tercemar dari kegiatan perusahaan - perusahaan tersebut. Industri-Industri yang berpotensi terbesar pada pencemaran air adalah Industri Pembekuan Ikan dan untuk Industri yang berpotensi besar pada pencemaran udara adalah Industri Penggergajian Kayu (SLHD, 2010). Potensi pencemaran lingkungan lainnya adalah dapat berupa pencemaran tanah, dan air akibat limbah padat dan cair domestik, medis, industri dan pertambangan. Juga pencemaran udara yang diakibatkan kegiatan aktivitas transportasi darat. Dari deskripsi data-data yang ada maka terbukti bahwa isu kerusakan dan pencemaran lingkungan adalah sebagai isu strategis KLHS. 9) Isu Ketersediaan Energi Isu ketersediaan energi krusial di Sulawesi Utara. Sampai saat ini ketersediaan energi listrik di Sulawesi Utara masih kurang. Menurut data Dinas ESDM Sulawesi Utara tahun 2011, daftar tunggu pengguna listrik sebesar 88,94 MW atau 13.409 pelanggan kebanyakan berasal dari wilayah perkotaan dan industri. Pertumbuhan kebutuhan energi listrik diperkirakan 9.6 % per tahun sampai dengan tahun 2019. Sekitar 93% wilayah Sulawesi Utara sudah dialiri listrik. Sulawesi Utara memiliki potensi besar sebagai sumber energi keterbaharukan (renewable energy). Energi terbarukan adalah energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Jenis energi ini antara lain panasbumi (Geothermal), aliran air sungai/air terjun (PLTA, PLTMH). Pengembangan energi terbaharukan di Sulawesi Utara untuk 30 tahun ke depan diharapkan dapat menjawab isu ketersediaan energi dan berkontribusi dalam memajukan perekonomian wilayah dan upaya mitigasi dampak pemanasan global/perubahan iklim bagi dunia. Untuk itu maka ketersediaan energi terbukti sebagai isu strategis KLHS.

18

10) Isu Sosial Budaya dan Alam Penduduk Sulawesi Utara terdiri dari 3 kelompok etnis utama, yaitu Minahasa; Sangihe dan Talaud; dan Bolaang Mongondow. Masing-masing kelompok etnis tersebut terbagi pula dalam sub etnis yang memiliki bahasa, tradisi dan norma-norma kemasyarakatan yang khas serta diperkuat semangat bekerjasama, saling tolong menolong yaitu Mapalus untuk Minahasa, Mapaluse untuk Sangihe dan Talaud dan Moposad untuk Bolaang Mongondow. Selain itu, penduduk Sulawesi Utara juga terdiri dari berbagai kelompok keturunan campuran misalnya Cina, Borgo (keturunan Portugis), Belanda, Bantik, dan Arab. Ketika Belanda menjajah Indonesia, sisa-sisa pengaruh budaya Belanda masih melekat di kehidupan sehari-hari. Generasi pendahulu yang merasakan penjajahan sekaligus pendidikan Belanda, sampai saat ini masih fasih berbahasa Belanda. Sayangnya bahasa Belanda bukan merupakan bahasa ke-2 negara Indonesia. Demikian halnya dengan agama, mayoritas penduduk Sulawesi Utara beragama Kristen terutama yang berasal dari suku Minahasa; dan Sangihe dan Talaud. Mayoritas penduduk Sulawesi Utara beragama Kristen, diikuti dengan Islam, Hindu dan Budha. Walaupun berbeda suku dan agama masyarakatnya hidup aman dan tentram dan harmonis. Sulawesi Utara juga dikenal dengan the land of smiling people karena masyarakatnya ramah, terbuka dan suka bergaul. Berdasarkan uraian ini maka isu sosial budaya dan alam adalah menjadi isu strategis KLHS Provinsi Sulawesi Utara.

2.2.4

Wilayah Kajian Wilayah kajian KLHS RTRW Provinsi Sulawesi Utara secara geografi terfokus pada wilayah atau area yang diperkirakan akan terkena dampak KRP secara signifikan. Area-area di dalam wilayah kajian KLHS yang perlu ditelaah secara khusus. Wilayah kajian dibatasi pada lokasi-lokasi KRP, khususnya pada lokasi kegiatan implementasi rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang diprakirakan memiliki dampak negatif besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Wilayah kajian tersebut ditetapkan berdasarkan hasil telaah Sistem Informasi Geografi (SIG) dan hasil konsinyering Tim KLHS Provinsi Sulawesi Utara. Wilayah kajian KLHS Provinsi Sulawesi Utara yang berhubungan dengan implementasi rencana struktur ruang dan pola ruang meliputi: 1. Lokasi untuk pengembangan pusat-pusat kegiatan, meliputi: sistem perkotaan Nasional (PKN), yaitu: Manado, Bitung, Minahasa Utara (Kalawat, Kauditan, Kema); Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN): Tahuna dan Melonguane; Alasannya adalah: Pengembangan pusat-pusat kegiatan (PKN, PKSN) memerlukan pembangunan Infrastruktur di bidang perhubungan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, yang membutuhkan lahan. Aktifitas ini berpotensi mempengaruhi lahan yang berfungsi lindung, lahan pertanian/perkebunan dan kegiatan penimbunan pantai. Hal ini akan menyebabkan gangguan terhadap lingkungan hidup antara lain terjadi abrasi, erosi, longsor, penurunan kualitas air, polusi udara, peningkatan kebisingan, persampahan dan urbanisasi penduduk yang tidak terkendali.

19

2. Lokasi untuk pengembangan sistem jaringan prasarana utama, yang terdiri atas: Pengembangan jalan tol Bitung-Manado, Manado-Tomohon, Tomohon-Amurang, Amurang-Kaiya, Kairagi-Mapanget. Alasannya adalah:
Pengembangan jalan tol Bitung-Manado dan ruas Kairagi-Mapanget diprakirakan akan berdampak negatif terhadap penggunaan lahan pertanian (perkebunan kelapa). Dengan

demikian akan berimplikasi pada konversi penggunaan lahan. Selanjutnya untuk ruas
Manado-Tomohon, Tomohon-Amurang, Amurang-Kaiya

selain berimplikasi pada konversi penggunaan lahan pertanian juga berpotensi mempengaruhi kawasan fungsi lindung (lereng curam), sehingga rawan terhadap erosi, banjir, longsor. 3. Lokasi untuk pengembangan sistem jaringan prasarana utama jalan kereta api. Pembangunan jaringan Jalur Kereta Air Api Perkotaan dengan simpul meliputi PKN Manado-Bitung (Metropolitan BIMINDO), Bitung-Kema-Molibagu-Gorontalo (Kota Bitung, Kab. Minut, Kab. Minahasa, Kab. Mitra, Kab. Boltim, Kab. Bolsel). Alasannya adalah: Pengembangan jaringan jalan kereta api akan menimbulkan dampak terhadap kawasan lindung, kawasan hutan, lereng curam, kawasan permukiman, lahan pertanian/perkebunan, kepemilikan tanah, berkembangnya permukiman kumuh dan dampak terhadap erosi, banjir serta longsor. 4. Lokasi untuk pengembangan sistem jaringan prasarana utama: Pembangunan Bandara Lembeh. Alasannya adalah: Pembangunan fisik (run way, aproan, taxy way, terminal, Kawasan Keamanan Operasional Penerbangan-KKOP) memerlukan lahan. Rencana lokasi pembangunan Bandara Lembeh terletak di Hutan Lindung Lembeh dan juga terdapat permukiman. Hal ini berpotensi terjadi perubahan bentang alam yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

20

Gambar 2.9. Peta Rencana Pembangunan Bandara di Pulau Lembeh

5. Lokasi untuk pengembangan sistem jaringan prasarana utama: Pembangunan Bandara Tatapaan-Raprap. Alasannya adalah:
Pembangunan fisik (run way, aproan, taxy way, terminal, Kawasan Keamanan Operasional Penerbangan-KKOP) memerlukan lahan. Rencana Lokasi pembangunan Bandara Tatapaan-Raprap berdekatan dengan kawasan Suaka Margasatwa Gunung Manembo-nembo dan Taman Nasional Bunaken, yang diprakirakan dapat mempengaruhi kawasan tersebut, antara lain berupa penurunan keanekaragaman hayati.

21

Gambar 2.10. Peta Rencana Pembangunan Bandara di Tatapaan-Raprap

6. Lokasi untuk pengembangan sistem jaringan prasarana utama, yaitu Pengembangan SUTT. Alasannya adalah: Pengembangan SUTT GI Lopana di Minahasa Selatan GI teling di Manado sepanjang kurang lebih 48 km; GI Teling di Manado - GI Paniki / Kalawat di Minahasa Utara sepanjang kurang lebih 8 km ; dan SUTT GI Paniki/Kalawat di Minahasa GI Kema di Bitung sepanjang kurang lebih 30 km, terutama yang melewati permukiman apabila terjadi peningkatan medan listrik dan medan magnet diatas ambang batas maka akan mengganggu kesehatan masyarakat. 7. Lokasi untuk pengembangan sistem jaringan prasarana utama yaitu Bendungan Kuwil & Sawangan. Alasannya adalah: Lokasi rencana pembangunan Bendungan Kuwil & Sawangan dengan luasan sekitar 1250-2500 ha terdapat di lahan pertanian dan hutan. Diprakirakan kegiatan ini akan menenggelamkan vegetasi hutan dan lahan pertanian serta fauna yang hidup di sekitar wilayah tersebut. Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan kehidupan biota perairan, berdampak negatif terhadap migrasi ikan sidat, Erosi, sedimentasi dan kesehatan masyarakat berpotensi terganggu.

22

8. Lokasi untuk pengembangan pola ruang, yang terdiri atas: pengembangan kawasan andalan untuk perkebunan (skala besar) dengan komoditas kelapa, cengkih, pala, cacao, vanilla, kayu manis dan kopi; pengembangan kawasan agropolitan. Alasannya adalah: Pengembangan Kawasan Peruntukan Pertanian: Kawasan Agropolitan di Klabat Minahasa Utara, Kawasan Agropolitan Rurukan di Tomohon, Kawasan Agropolitan Pakakaan di Minahasa, Kawasan Agropolitan Modoinding di Minahasa Selatan, Kawasan Agropolitan Dumoga di Bolaang Mongondow, Kawasan Agropolitan Siau di Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, pengembangan kawasan peternakan di seluruh kabupaten/kota Provinsi Sulut. Kegiatan ini akan disertai oleh pengembangan infrastruktur penunjang jaringan transportasi darat, laut, udara, jaringan sumber daya air, jaringan energi, jaringan telekomunikasi, pasar komoditas, sentra produksi, rumah potong hewan, dan pasar ternak, dan jaringan pemasaran. Dengan demikian diprakirakan akan berpotensi longsor (potensi longsor pada pengembangan areal kawasan agropolitan yang dilakukan pada lahan dengan kemiringan >15%), Erosi dan sedimentasi, dan penurunan kualitas air, dan kualitas udara. 9. Lokasi untuk pengembangan kawasan andalan untuk Pengembangan Kawasan Andalan untuk Industri Pengolahan. Alasannya adalah: Pengembangan kawasan andalan untuk industri pengolahan diprakirakan dapat berimplikasi pada penurunan kualitas air sungai/laut, penurunan kualitas udara dan peningkatan kebisingan. Juga memberikan dampak sekunder pada Erosi dan sedimentasi, Kesehatan masyarakat, Urbanisasi dan sosial masyarakat. 10. Lokasi untuk pengembangan kawasan andalan untuk pertambangan di semua kabupaten/kota yang memiliki potensi. Alasannya adalah: Pengembangan kawasan andalan untuk Pertambangan mineral logam terdiri atas: Nikel Kromit, Timah Hitam, Emas, Bijih Besi, Mangan, Barit, Pasir Besi, Pasir Besi Titan; dan Pertambangan mineral non logam terdiri atas: Andesit , Perlit, Tras, Batu Belah, Batu Gamping dan kapur, Andesit, Bijih Besi, Pasir Volkanis, Zeolit , Batu apung, Batu setengah permata, Lempung, Sirtu, Barit yang terdapat di seluruh wilayah yang berpotensi. Diprakirakan akan berdampak negatif pada Erosi dan longsor, penurunan kualitas air, sedimentasi, banjir, penurunan kualitas udara, perubahan bentang alam, serta mempengaruhi keanekaragaman hayati. 11. Lokasi untuk pengembangan Kawasan Strategis Provinsi: pengembangan kawasan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (LANTAMAL) di Wori, Minahasa Utara. Alasannya adalah: Pengembangan kawasan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Wori Minahasa Utara akan memanfaatkan kawasan pesisir yang sebagian berupa kawasan mangrove (Hutan Lindung/Pantai Berhutan Bakau). Dengan demikian berpotensi terjadi perubahan fungsi penggunaan lahan dan perubahan bentang alam, Perubahan pola arus laut, gelombang, garis pantai, abrasi dan akresi. Kegiatan operasional (air balast, tank 23

cleaning dan bahan kimia yang digunakan untuk perawatan kapal), kegiatan operasional loading-offloading di pelabuhan serta korosi pada kapal akan berdampak pada Penurunan kualitas air laut, dan gangguan pada biota perairan.

Gambar 2.11. Lokasi Pengembangan Kawasan Strategi LANTAMAL 12. Lokasi untuk pengembangan Kawasan Strategis Provinsi: pengembangan kegiatan rekreasi, pariwisata, perdagangan dan jasa di sepanjang PANTURA. Alasannya adalah: Kawasan koridor pantai pesisir utara (PANTURA)dari Manado sampai dengan Bolaang Mongondow Utara, yang akan dikembangkan sebagai kawasan untuk titik-titik lokasi kegiatan rekreasi, pariwisata, perdagangan dan jasa. Lokasi tersebut (Wilayah pesisir pantai utara mulai dari desa Poopoh sampai Popareng (Kabupaten Minahasa Selatan) diprakirakan akan menimbulkan gangguan terhadap Taman Nasional Bunaken dan daerah Arakan - Wawontulap terdapat ekosistem mangrove. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas air laut, sedimentasi, gangguan pada biota perairan. 13. Lokasi untuk pengembangan Kawasan Strategis Provinsi: pengembangan infrasturktur dan transmigrasi profesi di PANSELA. Alasannya adalah: Kawasan koridor pantai pesisir selatan (PANSELA) dari Minahasa sampai dengan Bolaang Mongodow Selatan yang dibangun dalam bentuk pengembangan infrastruktur dan transmigrasi profesi (Pengembangan permukiman dan lahan usaha pertanian/perkebunan). Hal ini berpotensi terjadi perubahan pola pemanfaatan lahan dan ruang serta perubahan peruntukan dan fungsi ekosistem, erosi dan longsor, penurunan kualitas air laut, sedimentasi, dan gangguan pada biota perairan.

24

14. Lokasi untuk pengembangan Kawasan Strategis Provinsi dari sudut kepentingan ekonomi (Kawasan Strategis Ekonomi Bitung) di Bitung. Alasannya adalah: Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Bitung meliputi kegiatan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan industri pengolahan dan pariwisata diperkirakan menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas air sungai dan laut, penurunan kualitas udara serta peningkatan kebisingan, juga terhadap aspek sosial budaya dan kesehatan masyarakat. 15. Lokasi untuk pengembangan Kawasan Strategis Provinsi: Kawasan Strategis Ekonomi Bitung, Bandara di P.Lembeh, pengembangan Hub International Port (HIP) di Bitung. Alasannya adalah: Pengembangan hub international port Bitung yang melayani pelayaran nasional dan internasional dalam jumlah besar meliputi pembangunan pelabuhan bongkar muat kapal, terminal, tempat parkir, gudang, dan kantor. Kegiatan-kegiatan tersebut diprakirakan akan mempengaruhi kondisi hidrooceanografi, penurunan kualitas air laut, biota perairan laut dan kepemilikan tanah masyarakat, serta konflik Sosial Ekonomi Budaya. 16. Pengembangan area panas bumi (PLTP) Gunung Ambang di Bolaang Mongondow Timur. Alasannya adalah: Pemanfaatan panas bumi di dalam kawasan cagar alam Gunung Ambang berpotensi terjadi alih fungsi dan konversi penggunaan lahan, berpotensi terjadinya bencana yang ditimbulkan oleh aktivitas Gunung api Ambang yang berdampak pada fasilitas utama dan penunjang PT. PGE, kesehatan manusia dan mahluk hidup.

25

Gambar 2.12. Lokasi Cagar Alam Gunung Ambang dan Sekitarnya

17. Lokasi Pengembangan PLTA Poigar di Bolaang Mongondow dan PLTA di Minahasa Selatan. Alasannya adalah: Pengembangan PLTA di kawasan lindung berimplikasi terhadap alih fungsi lahan. Pembangunan PLTA yang meliputi pembangunan bendungan, pembangunan turbin pembangkit, infrastruktur penunjang PLTA berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, antara lain alih fungsi lahan, migrasi biota air (ikan Sidat) dan dampak sosial yaitu aksesibilitas masyarakat . 2.2.5 Jangka Waktu KLHS RTRW Provinsi Sulawesi Utara berlaku untuk waktu 20 tahun sejak tahun 2011 sampai 2031 sedangkan Indikasi Program RTRW tersebut untuk masa periode 5 tahun selama 2o tahun. Oleh karena fokus KLHS adalah AMDAL frame yaitu hanya mengkaji program yang termuat dalam indikasi program (5 tahunan dalam waktu 20 tahunan) sedangkan dampak kumulatif KRP RTRW yang lebih riil belum memadai untuk jangka waktu 5 tahun. Untuk itu evaluasi RTRW Sulawesi Utara dilakukan setiap 5 tahun sekaligus juga untuk mengevaluasi dampak yang telah ditimbulkan oleh KRP RTRW tersebut. Dengan demikian KLHS terhadap program 5 tahunan pertama dilakukan secara kontinu sampai masa berlaku RTRW selesai.

26

27

You might also like