You are on page 1of 6

SULFONAMIDE

Obat-obat sulfonamide merupakan agen kemoterapi pertama yang efektif digunakan secara sistemik untuk prevensi dan pengobatan infeksi bakteri pada manusia. Kepentingan akan penemuannya dalam dunia medis dan kesehatan masyarakat, kemudian diikuti penggunaannya yang meluas, dengan cepat terlihat dengan menurunnya angka morbiditas dan mortalitas pada penyakit infeksi yang dapat diobati. Munculnya penicllin dan antibiotik lain sesudahnya, telah mengurangi kegunaan sulfonamide dan sekarang sulfonamide menempati tempat kecil pada therapeutic armamentarium para dokter. Tetapi, pengenalan kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole telah meningkatkan penggunaan sulfonamide sebagai profilaksis dan terapi untuk infeksi mikrobial yang spesifik. Istilah sulfonamide yang disebutkan disini adalah nama umum (generik) untuk derivat para-aminobenzenesulfonamide (sulfanilamide). Kebanyakan dari golongan ini merupakan zat yang tidak larut air, tapi garam sodiumnya larut air. Struktur yang dibutuhkan untuk aktivitasnya sebagai antibakteri terdapat dalam sulfonanamide itu sendiri. Gugus SO2NH2 tidak begitu penting, tapi bagian pentingnya adalah bahwa sulfur terikat langsung pada cincin benzena. Gugus para-NH2 (N4) penting dan dapat diganti hanya oleh moietas-moietas yang dapat diubah secara in vivo menjagi gugus amino. Substitusi pada gugus NH2 amide (N1) memiliki efek variabel pada aktivitas anitbakterial dari molekul tersebut. Tetapi, substitusi pada heterocyclic aromatic nuclei N1 menghasilkan campuran yang sangat manjur. Sulfonamide memiliki aktivitas antimikrobial dengan spektrum luas, melawan bakteri gram-positif dan bakteri gram-negatif. Tetapi galur-galur yang resisten telah muncul, dan berhubungan dengan itu, kegunaan dari agen ini telah berkurang. Secara umum, sulfonamide hanya menggunakan efek bakteriostatik, serta mekanisme pertahanan seluler dan humoral dari host yang penting untuk eradikasi akhir dari suatu infeksi. Resistensi terhadap sulfonamide merupakan masalah yang terus meningkat. Mikroorganisme yang rentan secara in vitro terhadap sulfonamide termasuk Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilius influenzae, Haemophilus ducreyi, Nocardia, Actinomyces, Calymmatobacterium granulomatis, Chlamydia trachomatis. Rentang konsentrasi hambat minimal yaitu 0,1 g/ml untuk C. Trachomatis, sampai 4-64 g/ml untuk Eschericia coli. Konsentrasi obat dalam plasma tertinggi dicapai secara in vivo sekitar 100-200 g/ml. Walaupun sulfonamide dulu berhasil digunakan untuk manajemen infeksi meningococcal selama bertahun-tahun, mayoritas Neisseria meningitidis yang diisolasi dari serogrup B dan C di amerika, dan grup A yang diisolasi dari negara lain sekarang menjadi resisten. Keadaan yang sama berlaku pada Shigella. Galur E. Coli yang diisolasi dari pasien dengan infeksi saluran kencing (yang didapat) seringkali resisten terhadap sulfonamide, yang bukan lagi merupakan terapi pilihan untuk infeksi tersebut.

Sulfonamide merupakan antagonist kompetitif dari para-aminobenzoic acid (PABA) dan memiliki struktur yang analog dengan PABA, yang mencegah pemanfaatan PABA untuk sintesis asam folat (pteroylglutamic acid). Lebih spesifik, sulfonamide merupakan inhibitor kompetitif dihydropteroate synthase, enzim pada bakteri yang bertanggungjawab atas penggabungan PABA menjadi dihydropteroic acid yang merupakan prekursor asam folat. Mikroorganisme yang sensitif disini adalah yang mensintesis asam folatnya sendiri. Sedangkan bakteri yang dapat menggunakan folat yang sudah dibentuk sebelumnya (tidak mensintesis folat sendiri sehingga menggunakan sumber folat eksogen) tidak dapat dipengaruhi. Bakteriostasis yang idiinduksi oleh sulfonamide dinetralkan oleh PABA secara kompetitif. Sulfonamide tidak mempengaruhi sel-sel mammalia melalui mekanisme ini karena mammalia membutuhkan folat yang sudah dibentuk (tidak mensintesis folat sendiri sehingga menggunakan sumber folat eksogen). Dengan demikian, selsel mammalia dapat disamakan dengan bakteri yang tidak sensitif terhadap sulfonamide (tidak mensintesis folat). Salah satu agen paling efektif yang menggunakan efek sinergis saat digunakan bersamaan dengan sulfonamide adalah trimethoprim. Campuran ini bersifat poten dan merupakan inhibitor kompetitif selektif terhadap microbial dihydrofolate reductase, enzim yang mereduksi dihydrofolate menjadi tetrahydrofolate. Ini adalah bentuk asam folat tereduksi yang dibutuhkan untuk reaksi transfer satu karbon. Administrasinya secara bersamaan, sulfonamide dan trimethoprim, menyebabkan hambatan-hambatan pada jalur dimana mikroorganisme tertentu mensintesis tetrahydrofolate dari molekul-molekul prekursornya. Dugaan bahwa kombinasi ini dapat menghasilkan efek antimikrobial yang sinergis telah disadari pada in vivtro maupun in vivo. Bakteri yang resisten terhadap sulfonamide diperkirakan berasal dari mutasi dan seleksi acak atau dari transfer resistensi oleh plasmid. Resistensi yang demikian, sekalinya berkembang maksimal, biasanya bersifat menetap dan ireversibel, khususnya saat diproduksi secara in vivo. Resistensi sulfonamide yang didapat biasanya tidak melibatkan cross-resistance pada agen antimikrobial untuk kelas lainnya. Terjadinya resistensi in vivo mempunyai sedikit efek atau tidak berefek pada baik virulensi atau karakter antigenik dari mikroorganisme. Resistensi terhadap sulfonamide kemungkinan merupakan konsekuensi terhadap konstitusi enzimatik yang berubah pada sel bakteri; perubahan ini mungkin ditandai dengan (1) afinitas untuk sulfonamide yang lebih rendah oleh dihydropteroate synthase, (2) penurunan permeabilitas bakteri atau efluks aktif dari obat tersebut, (3) terdapat jalur metabolik alternatif untuk sintesis suatu metabolit yang esensial, atau (4) peningkatan produksi metabolit yang esensial atau antagonis obat. Contohnya, beberapa staphylococci yang resisten dapat mensintesis sampai sebanyak 70 kali lipat PABA galur induknya yang rentan. Namun, suatu peningkatan produksi PABA bukan merupakan penemuan konstan pada bakteri yang resisten terhadap sulfonamide, dan mutan resisten dapat memiliki enzim untuk biosintesis folat yang tidak dihambat oleh sulfonamide. Resistensi yang diperantarai plasmid dkarenakan plasmid-encoded drug-resistant dihydropteroate synthase. Kecuali untuk sulfonamide yang dirancang khusus untuk efek lokal pada usus, obat kelas ini diabsorbsi dengan cepat dari sistem pencernaan. Sekitar 70% sampai 100% dari dosis oral diabsorbsi, dan sulfonamide dapat ditemukan di urine

dalam waktu 30 menit proses pencernaan. Puncak konsentrasi plasma dicapai dalam waktu 2 sampai 6 jam, tergantung dari obatnya. Usus halus adalah tempat utama absorbsinya, tapi sebagian dari obat ini diabsorbsi di lambung. Absorbsi dari tempat lain, seperti vagina, organ-organ sistem pernafasan atau kulit yang mengelupas, sifatnya berubah-ubah dan tidak dapat dipercaya, tetapi dalam jumlah tertentu dapat memasuki tubuh untuk menyebabkan reaksi toksik pada orang yang rentan atau untuk menyebabkan sensitisasi (reaksi alergi). Semua sulfonamide terikat pada protein dengan derajat yang bervariasi, terutama albumin yang ditentukan oleh kehidrofobisitasan dari obat tertentu dan pKa nya; pada pH fisiologis, obat dengan pKa yang tinggi menunjukkan pengikatan protein dengan derajat rendah, dan sebaliknya. Sulfonamide didistribusikan ke seluruh bagian tubuh. Fraksi sulfadiazine yang dapat berdifusi didistribusikan ke seluruh air total tubuh, sedangkan sulfisoxazole terkurung dalam ruang ekstraseluler. Sulfonamide dengan mudah memasuki cairan pleura, peritoneal, sinovial, okular, dan cairan tubuh lain yang semacam dan disana dapat mencapai konsentrasi 50% sampai 80% dari konsentrasi dalam darah. Karena konten protein cairan semacam itu yang rendah, disitu obat tersebut terdapat dalam bentuk bebas aktif. Setelah administrasi sistemik akan dosis yang adekuat, sulfadizine dan sulfisoxazole mencapai konsentrasi dalam cairan cerebrospinal yang mungkin efektif pada infeksi meningeal. Dalam keadaan yang seimbang, rrentang konsentrasi antara 10% sampai 80%nya di dalam darah. Tetapi, karena timbulnya mikroorganisme yang resisten terhadap sulfonamid, obat-obat ini jaang digunakan untuk terapi meningitis. Sulfonamide dapat dengan mudah melewati palsenta dan mencapai sirkulasi fetal. Konsentrasi yang dicapai pada jaringan fetal cukup untuk menyebabkan efek toksik dan antibakterial. Sulfonamide melalui perubahan metabolik in vivo, terutama dalam liver. Derivat metabolik yang utama adalah N4-acetylated sulfonamide. Asetilasi merupakan suatu kerugian karena hasil produknya tidak memiliki aktivitas antibakterial dan meskipun begitu menahan potensi toksik dari substansi induknya. Sulfonamide dieliminasi dari tubuh sebagian dalam bentuk obat yang belum diubah, sebagian sebagai produk metabolik. Fraksi terbesar diekskresikan dalam urin, dan waktu paruh sulfonamide dalam tubuh tergantung dari fungsi ginjal. Pada urin yang bersifat asam, sulfonamide (golongan lama) tidak larut dan dapat menyebabkan pembentukan deposit kristal yang dapat menyebabkan obstruksi saluran kencing. Jumlah kecilnya dieliminasi melalui feces, empedu, susu, dan sekresi lainnya. Sulfonamide dapat diklasifikasikan ke dalam tiga grup berdasarkan kecepatan absorbsi dan ekskresinya: (1) agen yang diabsorbsi dan diekskresi secara cepat, seperti sulfisoxazole dan sulfadiazine; (2) agen yang diabsorbsi kurang baik saat diberikan secara oral dan aktif pada lumen usus, seperti sulfasalazine; (3) agen yang digunakan terutama secara topikal, seperti sulfacetamide, mafenide,dan silver sulfadiazine; dan (4) long-acting sulfonamide, seperti sulfadoxine, yang diabsorbsi secara cepat tapi diekskresikan dengan lambat.

Jumlah kondisi-kondisi dimana sulfonamide merupakan terapi yang sangat berguna dan merupakan obat pilihan utama telah berkurang jauh karena perkembangan agen-agen antimikrobial yang lebih efektif dan karena peningkatan secara bertahap akan resistensi dari sejumlah spesies bakteri terhadap kelas obat ini. Tetapi, pengenalan dari kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole telah mengembalikan kegunaan dari sulfonamide. Terapi menggunakan sulfonamide: Infeksi saluran kencing. Karena persentasi dari infeksi saluran kencing pada banyak bagian di dunia dikarenakan mikroorganisme yang resisten terhadap sulfonamide, sulfonamide tidak lagi digunakan sebagai terapi pilihan. Trimethoprim-sulfamethoxazole, quinolone, trimethoprim, fosfomycin, atau ampicillin merupakan agen-agen yang lebih dipilih. Tetapi, sulfisoxazole dapat digunakan secara efektif pada area dengan prevalensi resistensi yang tidak tinggi atau saat organisme tersebut diketahui sensitif terhadap sulfonamide. Dosis yang biasa digunakan adalah 2 sampai 4 g yang awalnya diikuti 1 sampai 2 g, oral empat kali sehari untuk 5 sampai 10 hari. Pasien-pasien dengan pyelonephritis akut dengan demam tinggi dan manifestasi-manifestasi konstitutonal berat memiliki resiko bakteremia dan shock dan tidak seharusnya diterapi menggunakan sulfonamide. Nocardiosis. Sulfonamide dapat digunakan untuk menangani infeksi karena Nocardia spp. Tercatat ada sejumlah kasus penyembuhan komplit dari suatu penyakit setelah diterapi menggunakan sulfonamide. Sulfisoxazole atau sulfadiazine dapat diberikan dengan dosis 6 samapi 8 g perhari. Konsentrasi sulfonamide dalam plasma seharusnya antara 80 sampai 160 g/ml. Jadwal ini dilanjutkan untuk beberapa bulan setelah seluruh manifestasi telah terkontrol. Pemberian sulfonamide bersama dengan antibiotic kedua telah direkomendasikan, terutama untuk kasus yang sudah lanjut, dan ampicillin, erythromycin, dan streptomycin telah disarankan untuk tujuan ini. Respons klinis dan hasil dari uji sensitivitas dapat membantu dalam memilih obat penyerta. Khususnya, tidak ada data yang menunjukkan apakah terapi kombinasi lebih baik daripada terapi menggunakan sulfonamide saja. Trimethoprim-sulfamethoxazole juga efektif, dan para ahli mempertimbangkannya menjadi obat pilihan. Toxoplasmosis. Kombinasi pyrimethamine dan sulfadiazine merupakan terapi pilihan untuk kasus toxoplasmosis. Pyrimethamine diberikan dengan loading dose 75 mg diikuti 25 mg secara oral per hari, dengan sulfadiazine 1 g oral diberikan tiap 6 jam,ditambah folinnic acid 10 mg secara oral tiap hari selama paling tidak 3 samapi 6 minggu. Pasien seharusnya menerima setidaknya 2L intake cairan perhari untuk mencegah terjadinya kristaluria selama terapi. Penggunaan sulfonamide untuk profilaksis. Sulfonamide sama efektifnya dengan penicillin oral dalam pencegahan infeksi streptococcal dan demam rheuma berulang pada orang-orang yang rentan. Meskipun sulfonamide manjur sebagai profilaksis jangka panjang pada demam rheuma, toksisitasnya serta kemungkinan adanya infeksi yang disebabkan oleh streptococci yang resisten terhadapnya membuat sulfonamide kurang

digunakan daripada penicillin untuk tujuan yang sama. Sulfonamide seharusnya digunakan, bagaimanapun, tanpa keragu-raguan pada pasien yang hipersensitif terhadap penicillin. Jika ada respons yang tidak diinginkan atau merugikan terjadi, biasanya akan timbul dalam 8 minggu pertama masa terapi; reaksi serius setelah jangka waktu ini jarang terjadi. Penghitungan sel darah putih harusnya dilakukan sekali seminggu selama 8 minggu pertama tersebut.

Efek-efek merugikan yang terjadi karena pemberian sulfonamide sangat banyak dan bervariasi. Bentuk toksisitas tertentu kemungkinan berhubungan dengan perbedaan-perbedaan individual akan metabolisme dari sulfonamide. Efek-efek tersebut antara lain: Gangguan saluran kencing. Walaupun resiko kristaluria secara relatif tinggi pada penggunaan golongan sulfonamide yang lebih lama dan bersifat tidak larut, insiden dari masalah ini sangat rendah dengan menggunakan agen-agen yang sifatnya lebih larut seperti sulfisoxazole. Kristaluria dapat terjadi pada pasien yang mengalami dehidrasi dengan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) yang menggunakan sulfadiazine untuk Toxoplasma encephalitis. Intake cairan harus mencukupi untuk memastikan volume urin harian setidaknya mencapai 1200 ml (pada orang dewasa). Alkalinisasi urin dapat dilakukan jika volume atau pH urin rendah tidak seperti biasanya karena daya larut sulfisoxazole yang sangat meningkat dengan sedikit peningkatan pH. Gangguan Sistem Hematopoietik. Anemia hemolitik akut. Mekanisme dari anemia hemolitik akut yang dihasilkan oleh sulfonamide tidak selalu dengan mudah dapat dilihat. Pada beberapa kasus, kejadian ini diperkirakan sebagai akibat adanya fenomena sensitisasi. Pada kasus yang lain, hemolisis yang terjadi berkaitan dengan adanya suatu defisensi eritrositik akan aktivitas glucose-6-phosphate. Anemia hemolitik jarang terjadi setelah terapi menggunakan sulfadiazine (0.05%); insiden pastinya setelah terapi dengan menggunakan sulfisoxazole tidak diketahui. Agranulositosis. Agranulositosis dapat terjadi pada sekitar 0.01% pasien yang menggunakan sulfadiazine; hal ini juga dapat terjadi karena penggunaan sulfonamide. Walaupun kembalinya jumlah granulosit pada level yang normal mungkin dapat terlambat untuk beberapa minggu atau bulan setelah penggunaan sulfonamide dihentikan, kebanyakan dari pasien tersebut sembuh dengan sendirinya dengan perawatan suportif. Anemia apalastik. Penekanan komplit terhadap aktivitas sumsum tulang dengan anemia yang berat, granulositopenia, dan trombositopenia merupakan kejadian yang sangat amat langka pada penggunaan sulfonamide untuk terapi. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena adanya efek myelotoksik secara langsung dan dapat berakibat fatal. Tetapi, penekanan terhadap sumsum tulang cukup sering terjadi pada pasien dengan cadangan sumsum tulang yang terbatas (mis. pasien dengan AIDS atau pasien yang menerima kemoterapi myelosupresif). Reaksi hipersensitivitas. Insiden reaksi hipersensitivitas lainnya terhadap sulfonamide sangat bervariasi. Manifestasi dari sensitisasi terhadap sulfonamide pada kulit dan membran mukosa antara lain: reaksi-reaksi hipersensitivitas ini

terjadi paling sering setelah minggu pertama terapi tapi dapat juga timbul lebih awal pada orang-orang yang tersensitisasi. Demam, malaise, dan gatal-gatal sering muncul secara bersamaan. Nekrosis fokal atau difus pada liver karena toksisitas atau sensitisasi obat tersebut dapat terjadi pada kurang dari 0.1% pasien. Sakit kepala, mual, muntah, demam, hepatomegali, jaundice, dan bukti laboratorium akan disfungsi hepatoseluler biasanya muncul 3 sampai 5 hari setelah pemberian sulfonamide dimulai, dan sindrom tersebut dapat berlanjut menjadi acute yellow atrophy dan kematian. Reaksi-reaksi lainnya. Pemberian sulfonamide pada bayi yang baru lahir, terutama bila prematur, dapat menyebabkan pemindahan bilirubin dari plasma albumin. Pada bayi yang baru lahir, bilirubin bebas dapat berdeposit pada basal ganglia dan subthalamic nuclei sehingga menyebabkan encelophaty yang disebut kernicterus. Sulfonamide tidak boleh diberikan pada ibu hamil yang usia kehamilannya mendekati persalinan, karena obat tersebut dapat melewati plasenta dan dapat disekresikan dalam susu. Interaksi obat. Interaksi yang paling penting melibatkan sulfonamide dengan antikoagulan oral, agen hipoglikemik sulfonilurea, dan antikonvulsan hydantoin. Pada tiap kasus, sulfonamide dapat meningkatkan efek dari obat lain melalui mekanisme yang tampaknya melibatkan penghambatan pada metabolisme dan, kemungkinan, pemindahan albumin. Penyesuaian dosis mungkin diperlukan jika sulfonamide diberikan secara bersamaan.

Referensi

: GOODMAN & GILMAN'S THE PHARMACOLOGICAL BASIS OF THERAPEUTICS - 11th Ed. (2006)

You might also like