You are on page 1of 14

VALIDITAS KONSTRUK DAN ANALISIS FAKTOR

A. Validitas Konstruk Validitas berarti ketepatan interpretasi atas hasil dari suatu tes atau pengukuran, dan sesuai dengan tujuan pemberian tes (Wiersma, 1986: 289-290). Dalam Standards for Educational and Psychological Testing, validitas adalah "... the degree to which evidence and theory support the interpretation of test scores entailed by proposed uses of tests " (1999: 9). Sebuah tes dikatakan valid jika ia memang mengukur apa yang seharusnya diukur (Allen & Yen, 1979: 95). Dalam bahasa yang hampir sama Djemari Mardapi (2004: 25) menyatakan bahwa validitas adalah ukuran seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi ukurnya. Menurut Nitko & Brookhart (2007: 38) kevalidan sebuah alat ukur tergantung pada bagaimana hasil tes tersebut diinterpretasikan dan digunakan. Dalam pandangan Samuel Messick (1989: 13) validitas merupakan penilaian menyeluruh dimana bukti empiris dan logika teori mendukung pengambilan keputusan serta tindakan berdasarkan skor tes atau model-model penilaian yang lain. Azwar (2003: 5-6) mendefinisikan validitas sebagai sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur akan dikatakan valid jika hasil pengukurannya sesuai dengan tujuan dilakukannya pengukuran tersebut. Dalam term psikometrika, Azwar (2003: 7) mengatakan bahwa alat ukur yang valid adalah yang memiliki varians error yang kecil. Dengan kecilnya varians error ini, angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya (true score), atau angka yang mendekati keadaan sebenarnya. Mengenai validitas ini, Azwar (2003: 7) mengingatkan bahwa term validitas berhubungan erat dengan masalah tujuan pengukuran. Tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan redaksi berbeda, Isaac dan Michael (1981: 120) mengatakan Validity information indicates the degree to which the test is capable of achieving certain aims. Tests

are used for several types of judgement, and for each type of judgement, a different type of investigation is required to establish validity. Setidaknya ada 3 macam validitas yang disebutkan oleh para ahli, yaitu validitas isi (content), validitas kriteria (criterion), dan validitas konstruk (construct) (Wiersma, 1986: 291-292, Isaac & Michael, 1981: 119-123, Azwar, 2003: 45-53). Content validitation didefinisikan sebagai the process of establishing the representativeness of the items with respect to domain of skills, tasks, knowledge, and so forth, of whatever is being measured (Wiersma, 1986: 291). Dari definisi tersebut, maka validitas isi berkaitan dengan ketepatan dalam memetakan isi instrumen (the adequacy of content sampling). Validasi isi ini dilakukan dengan logical analysis terhadap butir-butir instrumen, untuk menentukan tingkat representasi setiap butir tersebut. Validitas isi ini sering dijadikan dasar pada tes prestasi belajar. Azwar (2003: 45) menyebutkan bahwa validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat proffesional judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validasi ini adalah sejauh mana butirbutir instrumen mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur, atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Validasi kriteria mendasarkan konsep validitasnya pada perbandingan dengan beberapa kriteria di luar dari instrumen (Wiersma, 1986: 291). Misalnya skor dari suatu tes yang akan divalidasi memiliki korelasi yang tinggi dengan kriteria, maka pengukuran tersebut diasumsikan valid. Jika tidak, berarti pengukuran tersebut tidak memenuhi kriteria validitas. Azwar (2003: 50-51) menyebutkan bahwa kriteria pada validitas ini merupakan kriteria eksternal yang ditentukan untuk menjadi dasar pengujian skor tes. Salah satu kriteria ini adalah variabel perilaku yang akan diprediksikan oleh skor tes, atau berupa ukuran lain yang relevan. Untuk melihat nilai validitas berdasarkan kriteria, dilakukan komputasi korelasi antara skor tes dengan skor kriteria. Koefisien yang diperoleh merupakan koefisien validitas bagi pengukuran yang bersangkutan, yaitu rxy, di mana x melambangkan skor tes, dan y merujuk pada skor kriteria. Validitas berdasarkan kriteria (criterion-related validity) terbagi menjadi 2, yaitu validitas konkuren dan validitas prediktif. Pengertian kedua validitas berdasarkan kriteria ini, mengutip Wiersma (1986: 291) adalah Concurent validation is used if the data on the two measures, test and criterion, are collected at or about the same time.

Predictive validation involves the collection of the data on the criterion measure after an intervening period say, 6 months from the time of data collection for the test being validated. Azwar (2003: 51) memberikan contoh validitas prediktif dengan, antara lain, tes seleksi mahasiswa baru pada suatu perguruan tinggi dan tes untuk keperluan penentuan klasifikasi dan penempatan karyawan pada suatu perusahaan. Kriteria dalam menentukan validitas prediktif ini adalah performansi mahasiswa yang baru dapat diketahui beberapa waktu setelah si mahasiswa menempuh perkuliahan, misalnya dengan indeks prestasi atau nilai yang diperolehnya pada beberapa mata kuliah. Jadi, skor tes yang diperoleh sekarang, baru dapat ditentukan tingkat validitasnya di waktu yang akan datang, yaitu setelah diperoleh skor kriterianya. Sedangkan untuk contoh validitas konkuren, Azwar menyebutkan bahwa tes intelegensi dapat ditentukan koefisien validitasnya setelah terlebih dahulu disusun suatu skala intelegensi yang akan dibandingkan dengan skor tes intelegensi. Jadi pada saat bersamaan, kedua skor tes dapat digunakan untuk menentukan tingkat validitasnya. Jenis validitas yang terakhir adalah validitas konstruk. Validitas konstruk merujuk pada kemampuan tes atau instrumen dalam mengungkap suatu trait atau konstruk teoritik yang akan diukurnya (Azwar, 2003: 48; Hamzah B. Uno & Herminanto Sofyan, et. al., 2001: 140). Term construct, menurut Wiersma (1986: 292) merujuk pada konstruk teoritis atau trait yang hendak diukur, bukan berarti konstruksi teknis dari suatu tes atau instrumen. Validitas konstruk merujuk pada sejauhmana suatu tes mengukur suatu konstruk teoretik atau trait yang hendak diukurnya (Allen & Yen, 1979: 108). Menurut Jack R. Fraenkel validasi konstruk (penentuan validitas konstruk) merupakan yang terluas cakupannya dibanding dengan validasi lainnya, karena melibatkan banyak prosedur termasuk validasi isi dan validasi kriteria. Dalam pengujiannya, Wiersma (1986: 292) mengatakan bahwa validasi konstruk melibatkan tidak hanya analisis logis, tapi juga analisis empirik. Untuk uji empirik, Azwar (2003: 49) mengatakan bahwa pengujian validitas konstruk biasanya memerlukan teknik analisis statistika yang lebih kompleks dari pada teknik-teknik yang digunakan pada pengujian validitas empirik lainnya, dan hasil estimasinya tidak dinyatakan dalam bentuk suatu koefisien validitas (rxy).

Analisis logis, menurut Azwar, dapat diawali dengan melakukan pembatasan atas variabel yang hendak diukur. Kemudian batasan variabel tersebut dinyatakan sebagai suatu bentuk konstruk logis berdasarkan kajian teoritis atas variabel tersebut. Analisis logis dan empirik ini juga sesuai dengan pendapat Magnusson (Azwar, 2003: 49), yang mengatakan bahwa validasi atas konstruk dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1. Studi mengenai perbedaan di antara kelompok-kelompok yang menurut teori harus berbeda. 2. Studi mengenai pengaruh perubahan yang terjadi dalam diri individu dan lingkungannya terhadap hasil tes. 3. Studi mengenai korelasi di antara berbadai variabel yang menurut teori mengukur aspek yang sama. 4. Studi mengenai korelasi antar-item atau antar belahan tes. Dalam suatu kegiatan pengukuran, validasi yang dapat dilakukan antara lain adalah validasi atas isi (content) dan konstruk. Validasi isi dilakukan dengan analisis rasional terhadap butir-butir instrumen dan dengan bantuan expert judgement. Instrumen pengukuran dan atau penelitian, apa pun bentuknya (seperti angket, observasi, wawancara, dan dokumentasi), dapat divalidasi content-nya dengan logic analysis. Validasi berdasarkan kriteria tidak dilakukan, dengan alasan bahwa instrumen yang digunakan dalam kegiatan pengukuran tidak mencakup instrumen untuk memperoleh skor kriteria, dan tidak juga ditujukan untuk keperluan prediktif di masa depan. Validasi kedua adalah validasi empirik terhadap konstruk instrumen. Terdapat 2 alternatif pendekatan yang dapat digunakan untuk validasi empirik ini, yaitu pendekatan multitrait-multimethod dan pendekatan analisis faktorial (Azwar, 2003: 132). Validasi empirik atas konstruk instrumen akan dilakukan dengan analisis faktorial, karena pendekatan ini yang biasanya digunakan dalam kegiatan penelitian atau pengukuran untuk mengukur validitas konstruk instrumen, yang dalam hal ini adalah angket. Field (2000: 441) mengatakan bahwa Factor analysis is frequently used to develop questionnaires; after all if you want to measure an ability or trait you need to ensure that the questions asked relate to the construct that you intend to measure.

B. Analisis Faktor Analisis faktor merupakan suatu metode statistik yang sangat kompleks, dan hasil analisisnya sulit untuk diinterpretasikan. Suryanto (1988: 234) menjelaskan bahwa analisis faktor adalah kajian tentang kesaling-tergantungan antara variabel-variabel, dengan tujuan untuk menemukan himpunan variabel-variabel baru, yang lebih sedikit jumlahnya dari pada variabel semula. Kleinbaum dan Kupper (1978: 376) mendefinisikan analisis faktor sebagai a multivariable method that has as its aim the explanation of relationships among several difficult-to-interpret, correlated variables in terms of a few conceptually meaningful, relatively independent factors. Lebih khusus dalam isu pengukuran, Wiersma (1986: 412) menyebutkan bahwa analisis faktor merupakan a procedure for determining the number and nature of constructs that underlie a set of measure. Menurut Wiersma (1986: 413), analisis faktor memiliki 2 fungsi analisis, yaitu sebagai explanatory analysis dan confirmatory analysis: When exploratory analyses are used, the intent is to reduce the number of variables to a manageable number for explanatory purposes, the number of factors usually being less than the number of original variables. A set of measures may be factor-analyzed to enhance the explanation of what is mesured in a more parsimonious manner Confirmatory factor analysis focuses in confirming or refuting the hypothesized constructs mesured by a set of variables. It may be used to test a theory. Confirmatory factor analysis is used extensively to establish the construct validity of psychological tests and other measures in the behavioral sciences Dalam kutipan ini disebukan secara eksplisit bahwa analisis faktor konfirmatori telah secara luas digunakan untuk menetapkan validitas konstruk dari suatu tes psikologis atau pengukuran lainnya dalam ilmu-ilmu sosial. Keterkaitan antara analisis faktor dengan validitas konstruk ini lah yang menyebabkan beberapa ahli mengistilahkan validitas konstruk dengan term validitas faktorial (Azwar, 2003: 135; Thompson & Daniel, 1996: 197-198). Thompson dan Daniel (1996: 198) mengutip suatu artikel dalam jurnal yang diterbitkan sekitar 55 tahun yang lalu, yang secara langsung menganggap bahwa validitas

faktorial adalah validitas yang sebenarnya dalam suatu pengukuran. Validity, in my opinion, is of two kinds The factorial validity of a test is given by its loadings in meaningful, common, reference factors. This is the kind of validity that is really meant when the question is asked Does this test measure what it is supposed to measure?. A more pertinent question should be What does this test measure?. The answer then should be in terms of factors and their loadings I predict a time when any test author will be expected to present information regarding the factor composition of his (sic) tests. Dalam kaitannya dengan penentuan validitas konstruk, maka analisis faktor yang akan dilakukan adalah confirmatory factor analysis. Tujuan dari model ini adalah untuk menentukan apakah faktor-faktor (komponen) dan muatan variabel yang diukur (the loadings of measured variables) berdasarkan faktor-faktor tadi telah sesuai (conform) dengan basis teori yang dibangun. Seluruh variabel yang ada akan dilihat hubungannya (interdependent antar variabel), sehingga akan menghasilkan pengelompokan atau tepatnya abstraction dari banyak variabel menjadi hanya beberapa variabel baru atau factor untuk mepermudah proses pengolahan,
V V V V

V V V V V

Faktor 1 V1

Faktor 2 V2

Faktor 3 V3 V8

V4 V6 V5

Dengan Model: X1-Q1 = N F1+ N F2+...+ N Fm+I1 11 12 1m X2-Q2 = N F1+ N F2+...+ N Fm+I2. 21 22 2m
. . .

Xp-Qp = N F1+ N F2+...+ N Fm+Im p1 p2 pm

Model Analisis Faktor dengan m faktor bersama dalam bentuk matrik adalah: Xpx1 -Qpx1 = LpxmFmx1+ Ipx1 Dimana: X = vektor peubah asal Q = vektor rata-rata peubah asal L = matrik loading faktor F = vektor faktor bersama I = vektor faktor spesifik Pembentukam model di atas dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi berikut: 1. 2. 3. 4. 5. E(F) =0 Var (f) = E (FF) = Imxm E (I) = 0 Var (I) = E(II) = ] Cov (IF) = E (IF) =0, sehingga F dan I independen.

Model (X-Q) =LF + I adalah linier dalam faktor bersama. Bagian dari Var (Xi) yang dapat diterangkan oleh m faktor bersama disebut communality ke-i. Sedangkan bagian dari Var (X1) oleh karena faktor spesifik disebut uniqueness atau varian spesifik ke-i:
2 2 2 Wii = Ni1+ Ni2+...+ Nim+ ]i = h2i+ ]i , dimana: h2i =communality ke-i dan ]i = varian

spesifik ke-i Dalam praktek, matrik ragam peragam di taksir dengan matrik ragam peragam sampel S dan matrik korelasi V peubah ditaksir dengan matrik korelasi R. Dalam hal ini, paket progarm SPSS/PC+ langsung menggunakan matrik korelasi R sebagai matrik ragam peragam dalam menghitung akar ciri dan vektor ciri maupun analisis faktornya. Saat interpretasi dari hasil analisis sulit dilakukan, maka dilakukan rotasi matrik loading L dengan menggunakan metode rotasi tegak lurus varimax (Varimax Orthogonal Rotation), yang menghasilkan matrik loading baru L* : L*pxq = LpxqTqxq , dimana T adalah matrik taransformasi yang dipilih, sehingga:

TT = TT =I adalah matrik faktor penimbang yang telah dirotasikan Meskipun telah mengalami rotasi, matrik kovarian (korelasi) tidak berubah karena LL + ] = LTTL + ] = L*L* + ] Selanjutnya, varian spesifik ]i, dan tentunya communality h2i, juga tidak berubah. Rotasi varimax menghendaki varians yang maksimum dalam matrik faktor yang terbentuk, sehingga menjadikan setiap peubah asal hanya akan mempunyai korelasi yang kuat dengan faktor tertentu saja. KONSEP DASAR ANALISIS FAKTOR: 1. Bukan mengaitkan antara dependent variabel dengan independent variabel, tapi membuat REDUKSI atau ABSTRAKSI atau meringkas dari BANYAK variabel menjadi SEDIKIT variabel. 2. Teknik yang digunakan adalah TEKNIK INTEREPENDESI, yaitu seluruh set hubungan yang interdependen diteliti. Prinsipnya menggunakan KORELASI r=1 dan r=0. Dipergunakan dalam hal mengidentifikasi variabel yang berkorelasi dan yang tidak/kecil korelasinya. 3. Analisis Faktor menekankan adanya COMMUNALITY=jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu variabel pada variabel lainnya. 4. Kovariansi antar variabel yang diuraikan akan memunculkan COMMON FACTORS (jumlahnya sedikit) dan UNIQUE FACTORS setiap variabel. (FAKTOR-FAKTOR tidak secara jelas terlihat). 5. Adanya koefisien nilai factor (factor score coefficient), sehingga factor 1 menyerab sebagian besar seluruh variabel, factor 2 TIDAK berkorelasi dengan faktor 1 dilakukan oleh komputer. TEKNIK STATISTIK UNTUK ANALISIS FAKTOR: 1. BARTLETTS TEST OF SPHERICITY: uji statistic untuk menguji hipotesis bahwa variabel tidak saling berkorelasi dalam populasi. 2. MATRIKS KORELASI. 3. COMMUNALITY: jumlah varian yang disumbangkan oleh variabel terhadap seluruh variabel lain.

4. EIGEN VALUE: jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap factor. Hanya eigenvalue > 1 yang dimasukkan dalam model. 5. SCREE PLOT: plot dari eigen value sebagai sumbu vertical dan banyaknya fektor sebagai sumbu datar, untuk menentukan banyaknya factor yang bisa ditarik (factor extraction) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis faktor melibatkan perhitungan matematis yang kompleks, sehingga perhitungannya akan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer seperti program Statistical Product and Service Solutions (SPSS). Output analisis faktor dengan metode ekstraksi PCA (Principal Component Analysis) yang diperoleh dari output analisis SPSS, terdiri dari beberapa bagian, sebagai berikut: 1. Correlation Matrix Bagian ini berupa tabel yang menampilkan koefisien korelasi (Pearson-Product Moment) antara variabel (butir) yang dianalisa. Korelasi yang dimaksud merupakan korelasi linear antar butir. Asumsi dasar dalam analisis faktor adalah bahwa terdapat korelasi linear antar variabel, namun korelasi tersebut bukan merupakan korelasi yang sempurna (dengan nilai koefisien korelasi 1). Field (2000: 453) mengindikasikan bahwa variabel-variabel yang koefisien korelasinya terlalu tinggi, yaitu jika lebih besar (>) dari 0.8, sebaiknya di-drop dari tahapan analisis. Demikian juga dengan variabel-variabel yang tidak berkorelasi sama sekali, harus dibuang dari tahapan analisis. 2. Determinant Bagian determinant ini terletak tepat di bawah tabel correlation matrix. Fungsinya adalah untuk mengecek apakah terdapat multikolinearitas antar variabel-variabel yang dianalisis, atau tidak. Jika nilai determinant ini lebih besar (>) dari 0.00001, maka dapat diasumsikan bahwa multikolinearitas tidak terjadi (Field, 2000: 453). 3. KMO and Bartlett s Test Tabel KMO & Bartlett s Test memberikan informasi tentang kelayakan data yang dimiliki untuk dianalisa dengan menggunakan analisis faktor. Uji Kaiser-Meyer-Olkin

(KMO) of Sampling Adequacy merupakan statistik yang mengindikasikan atau memastikan bahwa proporsi keragaman pada seluruh variabel (yang dalam hal ini adalah butir angket) merupakan common variance, atau keragaman yang disebabkan oleh faktor tertentu (underlying factors). Nilai KMO yang ditampilkan dalam tabel KMO and Bartlett s Test merupakan tingkat kelayakan untuk seluruh variabel. Nilai KMO bervariasi dari 0 sampai dengan 1. Nilai KMO yang mendekati 1 berarti bahwa analisis faktor akan dapat memberikan hasil analisis yang interpretable terhadap variabel yang dianalisis, sedangkan jika nilai KMO lebih rendah dari 0.5 maka hasil analisis faktor tidak cukup informatif untuk menjelaskan karakteristik variabel yang dimiliki. Nilai KMO 0 menunjukkan bahwa jumlah korelasi parsial antar variabel adalah terlalu besar jika dibandingkan dengan jumlah korelasi antar variabel. Jika ini yang terjadi, maka analisis faktor bukan merupakan teknik yang tepat untuk melakukan peringkasan (summarization) variabel. Jika nilai KMO-nya mendekati 1, berarti pola korelasi antar variabel relatif kompak, dan analisis faktor menjadi pilihan yang tepat untuk melakukan peringkasan variabel. Selain itu, nilai KMO yang lebih besar dari 0.5 juga berarti bahwa jumlah responden (sampel) yang digunakan adalah telah sesuai atau layak (sampling adequacy). Rekomendasi Kaiser untuk standar minimal nilai KMO adalah lebih besar dari (>) 0,5. Jika nilai KMO lebih kecil dari 0,5 maka harus dipertimbangkan untuk menambah jumlah responden, atau memikirkan kembali variabel-variabel mana saja yang akan dilibatkan dalam tahapan analisis selanjutnya (Field, 2000: 445-446, 455). Bartlett s test bertujuan untuk menguji hipotesis tentang apakah matriks korelasi original yang diperoleh merupakan sebuah identity matrix atau bukan. Jika sebuah matirk menyerupai atau merupakan identity matrix berarti setiap variabel dalam matrik tersebut dapat diasumsikan tidak berkorelasi ssama sekali dengan setiap variabel lainnya dalam matrik tersebut. Teknik analisis faktor baru dapat diterapkan jika di antara variabel-variabel yang dilibatkan terdapat korelasi, dengan syarat bahwa korelasi tersebut tidak terlalu sempurna. Jika tidak terdapat korelasi, maka matrik yang diperoleh pada bagian sebelumnya merupakan identity matrix. Jika hasil uji Bartlett ini signifikan (taraf signifikansinya lebih kecil dari (<) 0,05), berarti bahwa matrik korelasi yang diperoleh bukan merupakan identity matrix, dan

dengan demikian dapat diasumsikan bahwa terdapat korelasi antar variabel serta penggunaan analisis faktor memiliki dasar yang benar (Field, 2000: 446, 457). 4. Anti-image Matrices Tabel anti-image matrices ini menampilkan nilai KMO untuk suatu variabel (butir) tertentu. Nilai KMO pada tabel KMO and Bartlett s test di atas merupakan nilai KMO untuk keseluruhan variabel (multiple variables), sedangkan pada matrik anti-image ini, nilai KMOnya adalah untuk suatu variabel tertentu saja (individual variable). Dari matriks anti-image, nilai KMO suatu variabel ditunjukkan pada diagonal tabel yang diberi tanda a sampling adequacy MSA). Pengecekan yang harus dilakukan adalah memeriksa apakah terdapat nilai yang lebih kecil dari 0.5, atau tidak. Butir atau variabel yang memiliki nilai MSA lebih kecil dari 0.5 berarti bahwa butir tersebut tidak sesuai dengan struktur variabel-variabel yang lain, sehingga harus didrop dari analisis. Jika nilai KMO untuk semua variabel lebih besar (>) dari 0.5 maka analisis dapat diteruskan, dan analisis faktor tetap merupakan pilihan teknik yang tepat. Jika terdapat variabel dengan nilai lebih rendah dari 0.5 maka variabel tersebut harus dikeluarkan dari analisis. Jika ini yang terjadi, maka analisis harus dilakukan ulang dari awal, setelah terlebih dahulu dilakukan pengurangan jumlah variabel (Field, 2000: 456). Di bawah bidang diagonal, nilai yang ditunjukkan sebaiknya adalah nilai kecil yang mendekati 0. Nilai yang kecil ini mengindikasikan bahwa variabel yang dianalisa relatif terbebas dari korelasi yang tidak dapat dijelaskan (unexplained correlation). 5. Communalities Pohlmann (2004) mendefinisikan komunalitas dengan the proportion of a variable s variance explained by a factor structure. Manual SPSS menjelaskan secara lebih rinci perihal komunalitas ini, yaitu sebagai berikut: The communality measures the percent of variance in a given variable explained by all the factors jointly and may be interpreted as the reliability of the indicator. When an indicator variable has a low communality, the factor model is not working well for that indicator and possibly it should be removed from the model. However, communalities must be interpreted in relation to the interpretability of the factors. A communality of .75 seems high but is meaningless unless the factor on which the variable is (measure of

loaded is interpretable, though it usually will be. A communality of .25 seems low but may be meaningful if the item is contributing to a well-defined factor. That is, what is critical is not the communality coefficient per se, but rather the extent to which the item plays a role in the interpretation of the factor, though often this role is greater when communality is high. If the communality exceeds 1.0, there is a spurious solution, which may reflect too small a sample or the researcher has too many or too few factors. Communality for a variable is computed as the sum of squared factor loadings for that variable (row). Recall r-squared is the percent of variance explained, and since factors are uncorrelated, the squared loadings may be added to get the total percent explained, which is what communality is. For full orthogonal PCA, the communality will be 1.0 for all variables and all of the variance in the variables will be explained by all of the factors, which will be as many as there are variables. In the communalities chart, SPSS labels this column the "initial" communalities. The "extracted" communality is the percent of variance in a given variable explained by the factors which are extracted, which will usually be fewer than all the possible factors, resulting in coefficients less than 1.0 (garis bawah dari pengutip) (sumber dari http://www2.chass.ncsu.edu/garson/pa765 Factor Analysis.htm, diambil pada tanggal 05 September 2010). Field (2000: 432 & 458) menyebutkan bahwa komunalitas adalah proportion of common varince present in a variable. Nilai komunalitas 1 berarti bahwa variabel yang bersangkutan tidak memiliki keragaman yang spesifik, dan nilai komunalitas 0 berarti variabel tersebut tidak berbagi keragaman dengan variabel yang lain. Sebelum proses ekstraksi (initial communalities), komunalitas setiap variabel adalah sama dengan 1. Setelah ekstraksi, nilai ini akan berkurang. Misalnya berkurang menjadi 0.435, yang nilai ini berarti bahwa 43.5% dari keragaman butir atau variabel tersebut merupakan shared variance. 6. Total Variance Explained Bagian ini merupakan sebuah tabel yang terdiri dari 3 bagian, yaitu Initial Eigenvalues, Extraction Sums of Squared Loadings, dan Rotation Sums of Squared Loadings. Ketiga bagian tersebut, pada dasarnya memuat 1 hal yang sama, yaitu eigenvalues. Pohlmann (2004) menyebutkan bahwa eigenvalue merujuk pada keragaman (variance) dalam sekolompok variabel yang dijelaskan oleh sebuah faktor atau komponen.

Field (2000: 457) mengatakan bahwa eigenvalue diasosiasikan dengan representasi suatu faktor atas keragaman yang ditunjukkan dengan hubungan linear antar faktor yang terextract dari seluruh variabel atau butir yang dilibatkan. Initial eigenvalues berarti nilai eigenvalue awal yang merujuk pada proporsi keragaman yang disebabkan oleh variabelvariabel yang termasuk dalam suatu faktor tertentu sebelem diekstrak. Extraction Sums of Squared Loadings adalah nilai eigenvalue setelah diekstrak, sehingga hanya memuat komponen dengan nilai eigenvalue lebih besar (>) dari 1 (default setting SPSS berdasarkan rekomendasi Kaiser (Field: 2000: 449). Metode rotasi yang dipilih adalah principal component. Terakhir, Rotation Sums of Squared Loadings merujuk pada nilai eigenvalue setelah dilakukan rotasi. Terdapat beberapa opsi metode rotasi yang dapat dipilih, antara lain Varimax, Quartimax, Equamax (ketiganya merupakan rotasi orthogonal), Direct Oblimin, dan Promax (rotasi oblique). Metode rotasi Varimax akan mendistribusikan nilai muatan faktor tiap-tiap variabel secara merata pada semua faktor yang terekstrak. Metode Quartimax akan mengkonsentrasikan nilai muatan faktor pada satu faktor tertentu saja, biasanya pada faktor pertama. Equamax adalah alternatif yang mengambil jalan tengah antara Varimax dan Quartimax. Metode Direct Oblimin dan Promax relatif lebih kompleks dalam

mendistribusikan nilai muatan faktor (Field, 2000: 449). Metode rotasi yang digunakan dalam analisis faktor di sini adalah metode Quartimax, sehingga faktor pertama akan lebih optimal dalam memperoleh nilai muatan faktor untuk masing-masing butir yang dianalisa. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa komponen pertama cenderung akan memiliki nilai eigenvalue yang paling besar, dan nilai eigenvalue untuk komponen-komponen setelahnya menjadi lebih kecil. Jumlah faktor yang terbentuk berdasarkan nilai eigenvalue ini masih perlu dikonfirmasikan dengan tampilan garis plot pada bagian scree plot. 7. Scree Plot Bagian ini menampilkan plot faktor berdasarkan nilai eigenvalue-nya. Dalam prosedur analisis faktor, scree plot ini dapat digunakan untuk menentukan berapa jumlah faktor yang terbentuk dari keseluruhan variabel atau butir. Biasanya yang dijadikan patokan dalam menentukan jumlah faktor adalah jika nilai eigenvalue dari suatu faktor lebih besar dari 1 yang merupakan rekomendasi Kaiser. Jolliffe merekomendasikan nilai minimal yang

lebih kecil untuk eigenvalue adalah 0.7 (Field, 2000: 449). Penentuan jumlah faktor yang terbentuk berdasarkan scree plot, akan lebih banyak melibatkan pertimbangan subyektif pengukur, yang antara satu pengukur dengan pengukur yang lain mungkin akan memberikan jumlah faktor yang berbeda. 8. Component Matrix Matriks komponen ini ditampilkan dalam bentuk tabel, yang memuat muatan (loadings) setiap variabel pada setiap faktor atau komponen, sebelum dilakukan rotasi. Nilai muatan faktor sebelum dirotasi akan cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan setelah dirotasi. 9. Rotated Component Matrix Matriks ini merupakan kelanjutan dari component matrix di atas, setelah melalui proses rotasi. Teknik rotasi yang dilakukan adalah varimax, yang kemudian dalam tabel rotated component matirix hanya menampilkan faktor yang telah diekstraksi saja. Nilai muatan faktor setelah dirotasi ini akan berkurang dari nilai muatan awal sebelum dirotasi. Pada bagian ini, penentuan butir mana yang akan dibuang dapat dilakukan. Kriterianya adalah jika muatan faktornya (loading factor) lebih kecil dari 0,4 (Field, 2000: 462-463). Berbeda dengan reliabilitas yang nilainya ditunjukkan oleh suatu koefisien reliabilitas, maka dalam hal validitas konstruk, nilainya tidak ditunjukkan oleh suatu koefisien tertentu, melainkan oleh kemampuan dari suatu faktor, yang berisikan sekumpulan item instrumen atau variabel, dalam menjelaskan keragaman yang mungkin muncul pada jawaban atau respon yang diberikan. Dari pembahasan terhadap output analisis SPSS seperti di atas, kemudian akan dapat ditentukan, berapa kah faktor atau komponen yang dapat terbentuk dari keseluruhan butir angket, dan butir mana saja kah yang kemudian dianggap dapat dianggap valid secara konstruk.

You might also like