You are on page 1of 3

Konflik yang terjadi di kawasan selatan Filipina sudah lama rentan terhadap keterlibatan dalam pergelutan untuk merebut

kekuasaan secara regional maupun global. Istilah Moro untuk pertama kalinya diperuntukkan bagi penduduk Muslim pada kepulauan tersebut oleh orang Spanyol yang mulai melakukan kolonisasi terhadap bagian utara dan tengah gugusan pulau itu pada tahun 1565, saat ingatan mereka masih segar akan perang salib yang dilakukannya selama berabadabad melawan penjajahan kaum Moor. Akan tetapi ketika Spanyol pada akhirnya menyerah kepada AS dalam perebutan Filipina tahun 1898, wilayah-wilayah luas yang dikuasai penduduk Muslim di bagian selatan sebagian besar masih belum terjamah. Pemukiman kaum Kristen yang berarti baru dimulai pada awal abad kedua puluh. Dengan diperolehnya kemerdekaan Filipina pada tahun 1946, proses integrasi politik dan ekonomi di bagian selatan dipercepat, seiring dengan tersisihnya kaum Muslim. Pada tahun 1950an, orang Filipina Muslim semakin mulai mengenal jatidiri mereka setelah memperoleh beasiswa ke Manila dan negara Timur Tengah, terutama di Universitas Al-Azhar di Cairo. Salamat Hashim, yang secara etnis berasal dari Maguindanao dari daerah Cotabato, menempuh pendidikan di Al-Azhar dari tahun 1959 hingga 1969, dan akhirnya meninggalkannya dengan nyaris memperoleh gelar doktor yang hanya kurang skripsi, selain membawa bekal berupa jaringan siap jadi dari berbagai ikatan Islami internasional. Ia menjadi ketua pendiri Ikatan Mahasiswa Filipina (Philippine Student's Union) (1962) dan sekretaris jenderal Organisasi Mahasiswa Asia, selain itu, terlebih lagi ia dipengaruhi oleh pemikiran tokoh radikal dari Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) Syed Qutb, yang oleh presiden Mesir Gamel Abdul Nasser dihukum mati pada tahun 1966. Diantara rekanrekan Hashim di Al-Azhar termasuk Burhanuddin Rabbani dan Abdul Rasul Sayyaf, yang dikemudian hari menjadi pimpinan pada kelompok mujahidin yang anti-Soviet di Afghanistan. Sekembalinya ke Cotabato, Hashim mulai tertarik kepada politik separatis, serta menjadi salah satu calon pertama untuk memimpin Front Pembebasan Nasional Moro (Moro National Liberation Front/MNLF), yang menganut julukan orang Spanyol dahulu dalam upaya mencetak jatidiri baru guna mempersatu ke tigabelas suku Muslim di kawasan selatan tersebut.Konflik massa yang terus mendidih di kawasan Selatan akhirnya memuncak menjadi perang saudara setelah Presiden Ferdinan Marcos menyatakan diberlakukannya keadaan darurat militer pada bulan September 1972, akan tetapi MNLF sudah melakukan persiapan yang baik. Mulai tahun 1969, kader-kader dikirim ke luar negeri untuk menjalani latihan militer dengan bantuan dari kaum ningrat Muslim yang menyimpan rasa tidak puas. Rombongan pertama, yang dikenal sebagai Top 90 dan termasuk ketua MNLF Nur Misuari yang orang asli Tausag/Sama, menetap lebih satu tahun di Pulau Pangkor dekat Pulau Pinang di Malaysia. Pada tahun 1970, menyusul Gelombang 300 termasuk Al-Haj Murad, yang menggantikan Hashim selaku ketua MILF setelah kematiannya pada Juli 2003. Kemudian berangkat Gelombang 67 atau Kelompok Bombardir, yang membawa keahlian baru dalam penggunaan artileri ringan dari Malaysia. Selanjutnya Libya menggantikan Malaysia sebagai tempat pelatihan utama mulai pertengahan 1970an, dan selama tahun 1980an ditambah lagi dengan Syria, kamp-kamp PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) di Timur Tengah, dan Pakistan. Sejak awal, orientasi dari gerakan separatis tersebut lebih kepada mencari dukungan komunitas Islam internasional ketimbang membangun lembaga-lembaga untuk menjalankan pemerintahan sendiri di negerinya. Komite sentral MNLF bermarkas di Libya pada 1974-1975 dan seterusnya, selain itu pasokan senjata dari Libya diselundupkan melalui negara bagian Sabah di Malaysia timur dengan bantuan dari ketua dewan menterinya, Tun Mustapha Harun, ketika perang berada pada

puncaknya hingga akhir 1975. Sementara para komandan di lapangan menggalang dukungan berdasarkan akses terhadap pasokan tersebut, anggota-anggota komite sentral melakukan upaya diplomatis dengan melakukan perjalanan ke ibukota negaranegara di Timur Tengah dan Asia Barat, serta membawa permasalahan mereka ke hadapan Organisasi Konferensi Islam (Organization of the Islamic Conference/OIC), yang memberi status pengamat khusus kepada MNLF pada Mei 1977. Hashim memimpin upaya-upaya tersebut serta memperluas kontak-kontak internasionalnya dalam kedudukannya selaku ketua urusan luar negeri MNLF. Nyatanya, di akhir 1977 kepada OIC dan Rabitat al-Alam al-Islami lah fraksi Hasim menyampaikan Instrumen Pengambil Alihan yang disusunnya ketika persaingannya dengan Misuari dan pengikutnya yang orang Tausug tidak lagi terbendung. Secara umum diyakini bahwa lepasnya sayap Kepemimpinan Baru dibawah Hasyim, yang kemudian menjadi MILF di tahun 1984, berakar dari agendanya yang lebih militan dan berbasis agama, dan yang tidak mengenal kompromi dalam hal kemerdekaan. Namun sebenarnya Hasyim mencari dukungan dari negara-negara OIC dengan menekankan kesediaannya untuk mematuhi ketentuan perjanjian perdamaian Tripoli, yang ditandatangani Misuari pada tahun 1976. Perjanjian tersebut bukannya menuntut kemerdekaan melainkan otonomi dikawasan selatan yang Muslim, akan tetapi Misuari kemudian kembali ke tuntutan semula yaitu sesesi penuh, setelah Manila bersikeras mengadakan referendum dengan persyaratan yang ditentukannya sendiri. Hingga saat ini sebagian besar MILF lebih bersikap pragmatis ketimbang ideologis seperti yang digambarkan secara umum, akan tetapi sebagaimana MNLF yang mendahuluinya, organisasi tersebut rentan terhadap perpecahan, terutama setelah pendirinya mangkat. Kendati OIC masih mengakui MNLF sebagai wakil bangsa Moro pada tingkat pemerintahan, secara pribadi Hashim sudah lama menikmati akses dan dukungan dari kalangan tingkat atas diseluruh kawasan Timur Tengah. Sementara Misuari tetap dikaitkan erat dengan pendukung utamanya Libya, Hashim menghabiskan dasawarsa 1978-1987 denghan berulang-alik antara Cairo, Jeddah, Karachi, Islamabad dan Lahore, seraya membangun jaringan dukungan terbuka maupun rahasia, termasuk ikatan dengan Osama bin Laden. Kaitan utama dengan bin Laden dibentuk dengan perantaraan teman kelas Hashim di Al-Azhar, Sayyaf. Menurut laporan, mulai tahun 1980 fraksi Hashim di MNLF mengirim hingga 500 orang ke perbatasan Afghanistan-Pakistan untuk dilatih bersama warga negara Asia Tenggara lainnya. Hashim bermarkas di Pakistan pada tahun 1982, dan baru kembali ke Filipina pada Desember 1987. Jumlah warga Moro yang mengikuti pelatihan di perbatasan Afghanistan tampaknya mencapai puncaknya antara 1986 dan 1988; hanya segelintir yang tiba setelah 1991. Sebagian besar datang dalam gelombang terdiri dari lima atau sepuluh orang yang dikirim oleh komandan lapangannya di Mindanao. Selebihnya sampai di Afghanistan setelah gagal menyelesaikan program akademis pada sekolah-sekolah Islam dikawasan tersebut, dan mengadakan kontak dengan fraksi-fraksi Sayyaf, Rabbani atau Gulbuddin Hekmatyar. Alih-alih pulang tanpa membawa gelar sarjana, meraih pengalaman di Afghanistan membawa kemungkinan peningkatan status yang lebih tinggi. Kembalinya Hashim dan para pejuang veteran dari Afghanistan memberi semangat baru bagi MILF, yang tetap merupakan sayap yang tidak begitu menonjol dalam gerakan tersebut, hingga tahun 1996 ketika tercapai kesepakatan final di Jakarta antara pemerintah dan MNLF pimpinan Misuari. Sebuah sekolah pelatihan perwira, yaitu Akademi Abdulrahman Bedis didirikan pada tahun 1987 dibawah pimpinan para alumnus Aghanistan seperti Benjie Midtimbang, yang mengawali program pelatihan secara besar-besaran. Menurut pengakuan seorang mantan anggota komite sentral,

antara 1987 dan 1990 sebanyak 122.000 pendukung MILF menjalani latihan dasar, serta dapat dimobilisasi untuk mendukung anggota tetap angkatan bersenjata gerakan tersebut yang berjumlah antara 10.000 hingga 15.000 personil. Jaringan luas kampkamp MILF diawali pada bulan-bulan setelah Kesepakatan Tripoli tahun 1976 sebagai kawasan perkemahan yang diakui pemerintah bagi Komite Revolusioner Kutawato dari MNLF (inti dari fraksi Hashim yang kelak pecah dengan Misuari pada 1977). Kamp Abu Bakar as-Siddique, yang kedepan menjadi lokasi Akademi Bedis serta merupakan kamp MILF terbesar hingga direbut pasukan pemerintah pada bulan Juli 2000, sudah berdiri secara tetap pada tahun 1981. Sampai dengan tahun 1985, diseluruh Mindanao telah berdiri setidaknya tujuh kamp: Abu Bakar, Busrah, Ali, Omar, Khalid, Othman dan Salman. Ketika rundingan perdamaian ambruk dan pemerintah melancarkan serangan terbesar terhadap MILF di tahun 2000, gerakan tersebut tengah mencari pengakuan resmi bagi tigabelas kamp besar dan 33 kamp kecil. Saat ini pimpinan MILF tetap menyangkal bukti bahwa kamp-kampnya melindungi teroris asing, termasuk JI. Mengingat riwayatnya yang panjang bersama berbagai asosiasi internasional Islam, solidaritas perorangan yang diperkuat sepanjang masa-masa perjuangan bahkan jauh sebelum dunia luas mengenal nama Osama bin Laden, serta kekuatan yang dihimpun MILF berkat pelatihan yang diberi warga Muslim asing, kiranya bukan hal mudah memutus ikatan-ikatan timbal balik tersebut. Namun demikian masa telah berganti, dan kepergian Salamat Hashim bisa jadi memberi peluang bagi organisasi tersebut untuk melakukan perubahan mengikuti zaman.

You might also like