You are on page 1of 9

Batasan Alih Kode -- Sigit Rais* ALIH kode (code switching) adalah salah satu gejala kebahasaan yang

sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Gejala alih kode tersebut muncul di tengah-tengah tindak tutur secara disadari dan bersebab. Berbagai tujuan dari si pelaku tindak tutur yang melakukan alih kode dapat terlihat dari tuturan yang dituturkannya. Beberapa ahli telah memberikan batasan dan pendapat mengenai alih kode. Batasan dan pendapat tersebut diperoleh setelah mereka melakukan pengamatan terhadap objek yang melakukan alih kode dalam tindak tuturnya. Appel (1979:79) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Sebagai contoh, yaitu Rani dan Agri adalah pelaku tindak tutur yang berbahasa ibu bahasa Sunda. Ketika mereka sedang bercakap-cakap di satu taman, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda. Lalu, mereka melakukan alih kode ke bahasa Indonesia setelah kawan mereka, Yudi, yang berbahasa ibu Manado, datang. Pada awalnya, Rani dan Agri berada dalam situasi "kesundaan", kemudian situasi berubah menjadi "keindonesiaan" setelah Yudi datang. Rani dan Agri melakukan alih kode karena mereka tahu bahwa Yudi tidak mengerti bahasa Sunda. Mereka memilih bahasa Indonesia karena bahasa Indonesialah yang dipahami oleh mereka bertiga. Secara sosiologis, alih kode tersebut memang seharusnya dilakukan untuk menjaga kepantasan dan keetisan salam bertindak tutur. Alangkah tidak pantas dan etis jika Rani dan Agri tetap mempertahankan tindak tutur yang menggunakan bahasa Sunda sementara ada Yudi di situ. Tidak lama kemudian, datang Zidam yang sebahasa ibu dengan Yudi. Mereka berempat masih menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, setelah Rani dan Agri pergi, Yudi dan Zidam mulai menggunakan bahasa Manado. Artinya, Rani dan Agri telah melakukan alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, sedangkan Yudi dan Zidam telah melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Manado. Sementara itu, Hymes (1875:103) mengemukakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Contohnya adalah pergantian ragam bahasa Indonesia santai ke ragam bahasa Indonesia resmi dalam ruang kuliah. Rahmat dan Wulan berbincang-bincang sambil menunggu dosen datang menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Kemudian, dosen datang dan mengajak mereka bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Rahmat dan Wulan telah melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ragam santai ke bahasa Indonesia ragam resmi. Lalu, setelah dosen selesai mengajar, Rahmat dan Wulan kembali menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa yang terjadi pada pemakaian bahasa, situasi, dan ragam bahasa. Soewito (1983) mengklasifikasikan alih kode menjadi dua macam, yaitu pertama, alih kode

intern, yaitu alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, misalnya alih kode yang dilakukan oleh Rani dan Agri yang berbahasa ibu bahasa Sunda. Mereka melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda. Kedua bahasa tersebut adalah bahasa yang jadi bahasa sehari-hari mereka. Kedua, alih kode ekstern, yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dan bahasa asing. Penyebab alih kode Banyak hal yang menjadi faktor penyebab seseorang melakukan alih kode. Ketika kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, kita kembali mengingat pokok persoalan sosiolinguistik yang dikemukakan Fishman (1967:15), yaitu "siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa". Dalam berbagai kepustakaan linguistik, secara umum penyebab alih kode adalah: Pertama, pembicara atau penutur. Seorang penutur sering melakukan alih kode untuk mengejar suatu kepentingan. Contohnya, dalam suatu kantor pemerintah, banyak tamu yang beralih kode ke dalam bahasa daerah ketika bercakap-cakap dengan orang yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan sebagai satu masyarakat tutur. Dengan demikian, si penutur akan merasa lebih dekat dengan lawan bicaranya. Misalnya, seorang camat yang datang ke kantor wali kota. Camat tersebut ingin dianggap dekat dengan wali kota dengan cara melakukan alih kode ke dalam bahasa daerah. Kedua, pendengar atau lawan tutur. Biasanya, seorang penutur berusaha mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tuturnya. Contohnya, seorang penjual cinderamata yang melakukan alih kode ke dalam bahasa asing untuk mengimbangi kemampuan berbahasa pembelinya (turis). Dengan demikian, terjalin komunikasi yang lancar dan barang dagangannya dibeli turis tersebut. Ketiga, perubahan situasi karena kehadiran orang ketiga. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Rani dan Agri yang melakukan alih kode karena kedatangan Yudi yang tidak sebahasa ibu dengan mereka. Keempat, perubahan formal ke informal atau sebaliknya. Sebagai contoh, kita dapat melihat kasus Rahmat dan Wulan yang mengganti bahasa Indonesia ragam santai sebagai ciri dari suasana informal ke bahasa Indonesia ragam resmi (baku) sebagai ciri suasana formal ketika sedang berhadapan dengan dosen dalam ruang kuliah. Kelima, perubahan topik pembicaraan. Perubahan topik pembicaraan dapat juga menjadi penyebab terjadinya alih kode. Contohnya adalah percakapan antara seorang direktur dengan sekretaris di sebuah kantor seperti di bawah ini: Direktur: Apakah surat sudah disampaikan ke PT Selasar Media? Sekretaris: Sudah, Pak. Sudah saya lengkapi dengan berkas-berkas lampirannya.

Direktur: Ya sudah, kamu boleh pulang. Eh, gimana anakmu? Udah sehat? Sekretaris: Alhamdulillah, Pak. Mendingan. Makasih buah-buahan yang kemarin ya, Pak. Direktur: Ah, alakadarnya aja. Dari istri aku, kok. Semula, mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam resmi saat sedang membicarakan urusan pekerjaan. Tetapi, setelah pembicaraan beralih ke masalah rumah tangga, terjadi alih kode yang melumerkan kekakuan suasana formal dan menggambarkan kedekatan hubungan sekretaris dan direktur di luar hubungan pekerjaan. Alih kode sebagai salah satu gejala kebahasaan ternyata tidak terlepas dari faktor-faktor penyebab. Faktor-faktor tersebut muncul sesuai dengan tujuan atau motif si pelaku tindak tutur. Selain itu, alih kode adalah salah satu alat yang dapat memperlancar proses komunikasi antarpelaku tutur meskipun mereka datang dari berbagai latar belakang bahasa ibu. Bagaimana dengan Anda?*** Sosiolinguistik : ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa,idiom, sapaan, dsb. Campur kode adalah proses yang sama yang digunakan untuk membuat bahasa pidgin, tetapi perbedaannya adalah bahasa pidgin diciptakan di dalam kelompokkelompok yang tidak menggunakan satu bahasa yang sama, sedangkan campur kode terjadi ketika para penutur multilingual menggunakan satu bahasa yang sama atau lebih.

A. Pengertian Kode Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak) Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register. B. Alih Kode Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.

Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu 1. alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan 2. alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama. Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah: 1. Penutur seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. 2. Mitra Tutur mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. 3. Hadirnya Penutur Ketiga untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. 4. Pokok Pembicaraan Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. 5. Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. 6. Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. C. Campur Kode Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya 2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu 1. sikap (attitudinal type)

latar belakang sikap penutur 2. kebahasaan(linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode, 1. penyisipan kata, 2. menyisipan frasa, 3. penyisipan klausa, 4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan 5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing). D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan. Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

ALIH KODE, CAMPUR KODE DAN INTERFERENSI


Sebelum kita mengetahui mengenai hakekat alih kode dan campur kode, kita harus lebih paham benar konsep kode tersebut. Kode disini bukanlah kode yang mengarah ke unsur bahasa secara perspektif melainkan kode disini ialah varian yang terdapat dalam bahasa tersebut. Varian disini yang dimasudkan ialah tingkat-tingkat, gaya cerita dan gaya percakapan. Ada beberapa definisi hakekat mengenai alih kode tersebut, Scotton menganggap bahwa alih kode merupakan penggunaan dua varian atau varietas linguistik atau lebih dalam percakapan atau interaksi yang sama. Sedangkan Nababan berasumsi konsep alih kode ini mencakup juga kejadian di mana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain atau dari satu dialek ke dialek yang lain. Sebagaimana kita bisa mencontohkan perlaihan yang terjadi dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, atau mungkin dari ragam resmi ke ragam yang tidak resmi atau sebaliknya. Dari contoh tersebut dapat kita tarik garis lurus, bahwa alih kode merupakan peralihan kode bahasa dalam satu peristiwa komunikasi verbal. Pola alih kode dapat kita bagi menjadi dua yanitu berdasar linguistik maupun partisipan. Pola linguistik terdapat pola alih kode intrabahasa, yang dalam pola itu terjadi pada varian dalam satu bahasa. Sedangkan yang kedua ialah pola alih kode antarbahasa, dalam pola ini pilihan kode beralih dari varian suatu bahasa ke bahasa lain. Jika dilihat dari partisipan dapat dibagi menjadi dua kembali yakni dimensi intrapartisipan dan dimensi antarpartisipan. Faktor yang mengakibatkan

terjadinya alih bahasa sosial, individu dan topik. Faktor sosial dapat kita pilah antara penggunaan bahasa partisipan dan status sosial. Faktor individu seperti yang dikemukakan oleh Wojowasito dilandasi oleh spontanitas, emosi dan kesiapan, yang dimaksud kesiapan disini ialah kesiapan perbendaharaan kata dan kesiapan pola kalimat. Menurut Fasold campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu. Serpihan disini dapat berbentuk kata, frasa atau unit bahasa yang lebih besar. Campur kode memiliki ciri-ciri yakni tidak ditentukan oleh pilihan kode, tetapi berlangsung tanpa hal yang menjadi tuntutan seseorang untuk mencampurkan unsur suatu varian bahasa ke dalam bahasa lain, campur kode berlaku pada bahasa yang berbeda, terjadi pada situasi yang informal, dalam situasi formal terjadi hanya kalau tidak tersedia kata atau ungkapan dalam bahasa yang sedang digunakan. Perbedaan antara alih kode dengan campur kode ialah pertam alih kode itu mengarah pada terjemahan dan padanan istilah code switching, sedangkan campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah kode mixing dalam bahasa Inggris. Kedua dalam alih kode ada kondisi yang menuntut penutur beralih kode, dan hal itu menjadi kesadaran penutur, sedangkan campur kode terjadi tanpa ada kondisi yang menuntut pencampuran kode itu. Dan ketiga pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun dalam bahasa yang berbeda. Pada campur kode yang terjadi bukan peralihan kode, tetapi bercampurnya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, interferensi ialah Masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yg mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yg dimasukinya baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantis. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi yang pertama ialah faktor kontak bahasa disini bahasa-bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu saling berhubungan sehingga perlu digunakan alat pengungkap gagasan. Karena faktor tersebut maka terdapat interferensi performansi. Atau interferensi sistemis. Yang kedua ialah faktor kemampuan berbahasa yang akan mengakibatkan interferensi belajar muncul. Jika kita melihat dari segi unsur bahasa yang dikuasai terdapat interferensi progesif (interferensi terjadi dalam bentuk masuknya unsur bahasa yang sudah dikuasai ke bahasa yang dikuasai sebelumnya) dan interferensi regresif (masuknya unsur bahasayang dikuasai kemudian ke bahasa yang sudah dikuasai)

Campur Kode
6 Jan Pengantar Kajian mengenai bahasa menjadi suatu kajian yang tidak pernah habis untuk dibicarakan. Bagi bahasa hidup, yaitu bahasa yang masih terus digunakan dan berkembang, persentuhannya dengan bahasa-bahasa lain menimbulkan permasalahan tersendiri. Di satu sisi, persentuhan itu menambah khasanah bahasa itu sendiri. Namun, di sisi lain justru mengancam keberadaan bahasa tersebut. Globalisasi, suka tidak suka, memberi efek yang membahayakan bagi perkembangan bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Masuknya budaya-budaya asing perlahan-lahan mendesak esksistensi bahasa Indonesia. Maraknya tayangan berbahasa Inggris hingga serbuan para investor asing menyebabkan penggunaan bahasa Inggris semakin menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat. Tayangan-tayangan berbahasa Inggris, penggunaan nama dengan bahasa Inggris, hingga standar

perusahaan-perusahaan, baik nasional maupun multinasional, mendesak setiap orang untuk dapat berbahasa Inggris. Dalam kondisi yang demikian, bahasa Indonesia semakin terdesak. Di satu sisi bahasa Indonesia memiliki masalahnya sendiri termasuk masalah tata bahasa. (Abdul Chaer telah membahas beberapa masalah yang terdapat dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.) Namun, di sisi lain, bahasa Indonesia yang dulu sering dipertentangkan dengan bahasa daerah, kini harus berhadapan lagi dengan bahasabahasa asing. Dampak dari serbuan bahasa-bahasa asing itu terlihat dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Semakin banyak orang yang karena tidak ingin dianggap kuno atau ketinggalan zaman memilih untuk menggunakan bahasa asing. Misalnya: (a) Gue sih fun-fun (s)aja. (b) Kapan dia akan married? Kalimat-kalimat di atas itulah yang disebut dengan campur kode. Secara sederhana, campur kode ialah fenomena pencampuran bahasa kedua ke dalam bahasa pertama, pencampuran bahasa asing ke dalam struktur bahasa ibu. Berdasarkan definisi sederhana ini, fenomena campur kode sebenarnya tidak melulu melibatkan bahasa asing. Bisa juga melibatkan bahasa daerah dengan bahasa nasional. Masalah Masalah yang hendak dibahas dalam tulisan ini, yaitu: a. apakah penggunaan campur kode dapat dibenarkan? b. apa yang melatarbelakangi penggunaan campur kode? Batasan Pembahasan mengenai campur kode ini dibatasi hanya pada tataran kata. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan membahas jenis-jenis campur kode pada tataran frase ataupun klausa. Pembahasan A Dapatkah Campur Kode Dibenarkan? Pada prinsipnya campur kode merupakan pencampuran bahasa kedua ke dalam struktur bahasa pertama. Perhatikan contoh berikut. (c) Kemarin kita dinner bersama.

Campur kode pada (c) adalah pencampuran unsur bahasa Inggris, dinner, ke dalam struktur bahasa Indonesia. Perhatikan pula contoh berikut yang dikutip kembali dari (b) di atas. (d) Kapan dia akan married? Kekeliruan sering terjadi pada saat melakukan campur kode. Pencampuran unsur asing ke dalam struktur bahasa pertama seringkali tanpa memperhatikan bentuk dari unsur yang dicampurkan itu. Kata married pada (d) di atas merupakan bentuk lampau. Dengan demikian, maknanya menjadi telah menikah. Sementara itu, penutur kalimat tersebut umumnya hendak menanyakan kepada perihal kapan dia menikah. Dengan kata lain, si dia sama sekali belum menikah. Fakta ini ditandai oleh kata fakta. Bila dikembalikan ke bentuk asalnya, kalimat (d) menjadi (e). Bandingkan pula dengan (f). (e) Kapan dia akan menikah? (f) *Kapan dia akan sudah menikah? Kasus yang lain sering ditemukan, misalnya pada khotbah-khotbah. Di salah satu gereja, fenomena pencampuran kode ini tampaknya sudah menjadi suatu hal yang lumrah sehingga terus terpelihara dengan baik. Misalnya seperti berikut ini. (g) Allahlah yang men-sustain seluruh alam semesta. (h) Tidak ada seorang pun yang perfect di dunia ini. Kekeliruan pada dua contoh di atas lebih karena pilihan katanya. Baik sustain maupun perfect merupakan kata yang sudah memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Kedua kata itu masing-masing diwakili oleh topang dan sempurna. Bila kita perhatikan, kasus-kasus serupa sangat sering terjadi dalam kehidupan seharihari, termasuk dalam wacana-wacana tertentu. Hal ini menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan oleh semua penutur bahasa Indonesia. B Latar Belakang Campur Kode Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan campur kode. Kedua alasan tersebut, yaitu sebagai berikut. a. Alasan akademis. Terkadang, orang-orang dengan latar belakang pendidikan tertentu ingin menunjukkan kemampuan di bidangnya. Oleh karena itu, ia sering menggunakan

istilah-istilah asing dalam bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya. Pencampuran ini kalau tidak dalam bahasa lisan tentunya dalam bahasa tulisan. Perhatikan (i) berikut. (i) Kita telah memasuki zaman postmodern yang artinya konsep-konsep yang selama ini dipercayai dunia telah digoyang dan diberi makna yang baru. b. Gengsi Sebagaimana diungkapkan di atas, merebaknya arus globalisasi menyebabkan banyak orang berlomba-lomba untuk menguasai bahasa Inggris (selain bahasa Mandarin dan bahasa Jepang). Oleh karena itu, agar tidak dianggap ketinggalan zaman, banyak orang yang senang menggunakan kata(-kata) dari bahasa Inggris. Perhatikan pula contoh berikut. (j) Kado ini benar-benar menjadi surprise buatku. Simpulan Dari bahasan singkat di atas, disimpulkan beberapa hal berikut. a. Campur kode bukanlah kebiasaan yang turut melestarikan bahasa Indonesia. Meski campur kode sangat tidak disarankan, dalam kasus-kasus tertentu, campur kode tidak dapat dihindari. Syaratnya hanya bila kata asing tersebut tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Campur kode sebagaimana pada (k) berikut ini dapat dibenarkan mengingat eros tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. (k) Bila kita hanya memahami kasih hanya pada tataran eros, berarti kita belum memahami esensi terdalam dari kasih yang sesungguhnya. b. Secara umum, ada dua alasan yang melatarbelakangi penggunaan campur kode, berupa alasan akademis dan gengsi.

You might also like