You are on page 1of 14

Mengenal Prinsip Akuntansi Syariah Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan double entry.

Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku Teori Akuntansi, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita dengan memuat satu bab mengenai Double Entry Accounting System. Dengan demikian mendengar kata Akuntansi Syariah atau Akuntansi Islam, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada. Namun apabila kita pelajari Sejarah Islam ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan hafazhatul amwal (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsifungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam

berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syuara ayat 181-184 yang berbunyi:Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu. Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta buktibuktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut tabayyun sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa ayat 35 yang berbunyi: Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Dari paparan di atas, dapat kita tarik 4b. kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa. Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa

tertentu, dan Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut. 2a. Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut: 1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi; 2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan; 3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal; 4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang; 5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya); 6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan; 7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan. Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut: 1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas; 2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang; 3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai; 4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta

mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko; 5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal; 6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh. Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis. Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul On Islamic Accounting, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada meta rule yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya. Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Quran. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran)

untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS.An-Nahl/ 16:89)

IJARAH (Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah) Oleh: Drs.Tatang Sutardi, M.HI. 1. Pendahuluan Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah lainnya dalam melayani produk pembiayaan, mayoritas masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). Pembiayaan ijarah memiliki kesamaan dengan pembiayaan murabahah karena termasuk dalam katagori natural certainty contracts dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaan antara ijarah dan murabahah terletak pada objek transaksi yang diperjual belikan yaitu dalam pembiayaan murabahah yang menjadi objek transaksi adalah barang, seperti tanah, rumah, mobil dan sebagainya, sedangkan dalam pembiayan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja, sehingga dengan skim ijarah, bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya dapat melayani nasabah yang membutuhkan jasa. Bentuk pembiayaan ijarah merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan pembiayaan investor untuk membeli aset terpenuhi dan investor hanya membayar sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli aset tersebut. Secara umum timbulnya ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan akan barang atau manfaat barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan. Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). 3a Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah barang dan jasa. 1. 2. Pengertian Ijarah

Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa[1]. Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian[2]. Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu [3]: 1. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah. 2. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mujir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah. Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syariah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syariah 1. 3. Dasar Ijarah Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah. Adapun yang menjadi dasar hukum ijarah adalah [4]:

1. Al-Qur'an surat al-Zukhruf : 32 Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan . 1. Al-Quran surat al-Baqarah : 233 : Artinya : Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. c. Al-Quran surat al-Qashash : 26 : Artinya : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata : Hai ayahku! Ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada (kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. 1. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering. 1. Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya. 1. Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak. 1. Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,

dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 1. Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa. 2. Kaidah fiqh Artinya : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalilyang mengharamkannya. 1. Kaidah fiqh Artinya : Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

1. 4. Rukun dan Syarat Ijarah 1. Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah[5] : 1. Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mujir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset. 2. Objek akad, yaitu majur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa). 3. Sighat yaitu ijab dan qabul. 2. Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut : a. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak. b. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa. c. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku. d. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSN-MUI/IV2000 tanggal 13 April 2000 Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan[6] : 1. Rukun dan Syarat Ijarah : 1. Pernyataan ijab dan qabul. 2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) : terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa (Lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah). 3. Objek kontrak : pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset. 4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri. 5. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (lembaga keuangan syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah). 6. Ketentuan Objek Ijarah : 1. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa. 2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. 3. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan. 4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah. 5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa. 6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik. 7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah. 8. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak. 9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. 7. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah :

Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi sewa : 1. Menyediakan aset yang disewakan. 2. Menanggung biaya pemeliharaan aset. 3. Penjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.

Kewajiban nasabah sebagai penyewa : 1. Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai dengan kontrak. 2. Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (materiil)

Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dan penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. 1. 5. Ijarah Muntahia Bi al-Tamlik 2b .Al-Bai wa al-ijarah muntahia bi al-tamlik merupakan rangkaian dua buah akad, yakni akad al-bai dan akad al-ijarah muntahia bi al-tamlik. Al-bai merupakan akad jual beli, sedangkan al-ijarah muntahia bi altamlik merupakan kombinasi sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa[7]. Ijarah muntahia bi al-tamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan kepemilikan objek sewa[8]. Dalam ijarah muntahia bi al-tamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini : 1. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. 2. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewaakan tersebut pada akhir masa sewa. Adapun bentuk alih kepemilikan ijarah muntahia bi al-tamlik antara lain : 1. Hibah di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset dihibahkan kepada penyewa. 2. Harga yang berlaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu. 3. Harga ekuivalent dalam periode sewa, yaitu ketika membeli aset dalam periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen.

4. Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemilikan dilakukan bertahap dengan pembayaran cicilan selama periode sewa. 5. 6. Ijarah dan Leasing Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, sehingga banyak yang menyamakan ijarah dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istilah itu sama-sama mengacu hal ihwal sewa menyewa. Akan tetapi walaupun ada persamaan antara ijarah dengan leasing, terdapat beberapa karakteristik yang membedakannya, antara lain : a. Objek Objek yang disewakan dalam leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja, terbatas pada manfaat barang saja, tidak berlaku untuk manfaat tenaga kerja. Sedangkan objek yang disewakan dalam ijarah bisa berupa barang dan jasa/tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa dan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah mengupah. Objek yang disewakan dalam ijarah adalah manfaat barang dan manfaat tenaga kerja. Dengan demikian, bila dilihat dari segi objeknya, ijarah mempunyai cakupan yang lebiah luas daripada leasing. b. Metode Pembayaran Dari segi metode pembayaran, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran yaitu yang bersifat not contingent to formance artinya pembayaran tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa. Pembayaran ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingent to formance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to formance). Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah, gaji, sewa. Sedangkan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut jualah atau success fee[9]. 1. c. Pemindahan Kepemilikan (Transfer of Title) Dari aspek perpindahan kepemilikan dalam leassing dikenal dua jenis yaitu operating lease dimana tidak terjadi pemindahan kepemilikan baik di awal maupun di akhir periode sewa dan financial lease.

Ijarah sama seperti operating lease yakni tidak ada transfer of title baik di awal maupun di akhir periode, namun pada akhir sewa dapat dijual barang yang disewakan kepada nasabah yang dalam perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahia bi al-tamlik. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. 1. 7. Penutup Prinsip pokok (standar) minimal pembiayaan ijarah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : 1. Dalam akad ijarah, fisik dari komoditas yang disewakan tetap dalam kepemilikan yang menyewakan dan hanya manfaatnya yang dialihkan kepada penyewa. Sesuatu yang tidak dapat digunakan tanpa mengkonsumsinya tidak dapat disewakan, seperti uang, makanan, bahan bakar dan sebagainya. Hanya aset-aset yang dimiliki oleh yang menyewakan dapat disewakan, kecuali diperbolehkan sub-lease (menyewakan kembali aset objek sewa yang disewa) dalam perjanjian yang dizinkan oleh yang menyewakan. 2. Sampai waktu ketika aset objek sewa dikirim kepada penyewa, biaya sewa belum bisa digunakan. 3. Selama periode sewa, yang menyewakan harus tetap menguasai objek sewa dan menanggung semua resiko dan hasil dari kepemilikan. Namun demikian, jika terjadi kerusakan atau kehilangan aset objek sewa karena kesalahan atau kelalaian penyewa, konsekwensinya ditanggung oleh penyewa. 4. Asuransi/Takaful dari objek sewa harus atas nama orang yang menyewakan dan biaya asuransi juga ditanggung oleh yang menyewakan. 5. Sewa dapat diakhiri sebelum waktunya, tetapi hanya dengan persetujuan kedua belah pihak. 6. Masing-masing pihak yang membuat janji untuk membeli/menjual aset objek sewa dengan berakhirnya jangka waktu sewa atau lebih awal dengan harga dan ketentuan yang disepakati bersama dengan catatan bahwa perjanjian sewa tidak mensyaratkan penjualan. 7. Besarnya biaya sewa harus disepakati di awal dalam bentuk yang jelas, baik untuk masa sewa penuh atau untuk periode tertentu dalam bentuk absolut. 8. Penetapan biaya sewa saja tidak dibolehkan kecuali pada nilai par. 9. Kontrak sewa dapat dianggap berakhir jika aset objek sewa tidak lagi memberikan manfaatnya. 10.Denda dapat disepakati ab intio dalam perjanjian sewa untuk keterlambatan pembayaran biaya sewa oleh penyewa.

Apabila terjadi transaksi penjualan dan penyewaan kembali dilakukan secara ijarah berdasarkan nilai pasar yang wajar, perbedaan tersebut harus dialokasikan selama masa ijarah. Apabila transaksi penjualan dalam penyewaan kembali yang menimbulkan ijarah wa iqtina yang berarti menyewa dan setelah itu diakuisi oleh penyewa, maka bank harus mengalokasikan keuntungan atau kerugian yang timbul dari penjualan aset kepada nasabah dan menyewakan kembali selama jangka waktu sewa. Penelitian ini merupakan studi literatur yang memiliki penekanan pada pendalaman disiplin ilmu akuntansi dengan judaul Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Islam. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengumpulkan dan menjabarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al Quran dan hadits yang berkaitan dengan akuntansi Islam. Mengoreksi kembali prinsip-prinsip akuntansi konvensional dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam yang terkandung dalam Al Quran dan hadits. Untuk mendapatkan prinsip-prinsip akuntansi yang benar-benar mumpuni. Dalam penelitian ini penulis ini melakukan analisa dengan menggunakan content analysis dengan tahapan dan setiap tahap berupa langkah-lankah diantarannya: Tahap menentukan nilai-nilai yang terkandung dalam Al Quran dan hadits yang berkaitan dengan akuntansi; Menemukan pengertian dan makna akuntansi dalam Islam. Menemukan nilai-nilai yang harus ditegakkan dalam Islam, diambil dalam Al Quran dan As Sunnah dari hasil penelitian terdahulu. Dan mencari nilai-nilai lain yang sesuai dengan permasalahan penelitian yang dapat mendukung nilai-nilai diatas. Untuk ini penulis perlu mengumpulkan ayat-ayat Al Quran dan hadits yang dibutuhkan sebagai landasan. Menyeleksi ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits yang telah terkumpul untuk mendapatkan dalil-dalil yang pas dan sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah di temukan untuk dikaji lebih lanjut. Untuk menentukan relevansi nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat Al Quran dan hadits dengan prinsip-prinsip Akuntansi, yaitu hasil temuan pada langkah ketiga dengan hasil temuan langkah kedua. Membuat ketetapan akhir secara matang nilai-nilai dan sifat-sifat yang harus di tegakkan dalam Akuntansi Islam. Kemudian tahap menentukan prisnipprinsip akuntansi dalam Islam; Menemukan definisi prinsip-prinsip akuntansi secara umum. Pada landasan teori terkumpul data-data dengan beberapa pendapat untuk ditarik kesimpulan dan kesepakatan definisi dalam penelitian ini. Menemukan poin-poin prinsip-prinsip Akuntansi Konvensional. Yang

terdapat dalam literatur dalam hal ini prinsip tersebut diambil dari SAK. Menyeleksi poin-poin prinsip akuntansi yang telah ditemukan diatas dan dievaluasi dengan nilai-nilai Islam hasil penelitian tahap satu. Menyeleksi poinpoin prinsip akuntansi yang telah ditemukan diatas dan dievaluasi dengan nilainilai Islam hasil penelitian tahap satu. Membuat ketetapan akhir secara matang prinsip-prinsip akuntansi menurut Islam yang terkonsepsi, yaitu prinsip-prinsip akuntansi yang isinya telah diramu dengan nilai-nilai Islam yang diambil dari ayat-ayat Al Quran dan hadits. Penelitian ini menghasilkan pengakuan terhadap keberadaan Akuntansi Islam, disertai penjelasan-penjelasan yang menjabarkan mengenai keberadaan prinsipprinsip akuntansi dalam Islam. Penulis merumuskan prinsip-prinsip akuntansi Islam beserta nilai-nilai Islam yang berkaitan dengan akuntansi sebagai wacana baru disiplin ilmu akuntansi. Akuntansi Islam dalam tatanan konsep, yaitu: bersumber pada Al Quran dan hadits yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang berkaitan dengan akuntansi yang meliputi; Nilai-nilai yang harus ditegakkan dalam Islam, yang merupakan sebagai prinsip-prinsip umum akuntansi Islam, yang didalamnya terdapat nilai-nilai keadilan, kebenaran, pertanggungjawaban, dan kesejahteraan. Kemudian nilai-nilai lain yang terdapat dalam Al Quran dan hadits sebagai pendukung terbentuknya akuntansi, dalam sub bagian ini yang dibatasi pada nilai-nilai hukum, akidah, ilmu, akhlak, sosial, dan ekonomi. Nilai-nilai ini yang berkedudukan sebagai pendukung nilai-nilai diatas. Setelah dapat menjabarkan nilai-nilai diatas, maka dapat menyusun prinsip-prinsip akuntansi dalam Islam dengan cara mmengevaluasi kembali prinsip-prinsip akuntansi konvensional dengan nilai-nilai Islam, diantaranya prinsip-prinsip: cost, revenue, matching, objekctivity, disclousure, consistency, materiality, uniformity dan comparability. Prinsip-prinsip ini yang dijadikan sebagai prinsip-prinsip khusus akuntansi dalam Islam. Penelitian ini juga menghasilkan kenyakinan bahwa akuntansi Islam itu ada. Sebagai agent of change, memberikaan alternatif dan dukungan pemikiran dalam upaya pembentukan sebuah konsep akuntansi yang diharapkan. Dari analisa yang telah dilakukan penulis, maka penelitian ini membuktikan bahwa akuntansi juga terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah yaitu muhasabah. Muhasabah (akuntansi Islam) memiliki prinsip-prinsip akuntansi dan nilai-nilai / kaidah-kaidah Islam yang dapat diterapkan dalam akuntansi konvensional.

You might also like