You are on page 1of 77

SCIENTIA VOL. 1 NO.

1 2010 ISSN : 2087-5045

Volume 1, Nomor 1

Tahun 2010

ISSN : 2087-5045

DAFTA R I SI
ANALISA KANDUNGAN FLAVONOID DAN AKTIFITAS ANTIOKSIDAN DARI REMPAH TUMBUHAN OBAT SUMATERA BARAT Deddi Prima Putra dan Verawati 1 -7

ISOLATION OF Vibrio parahaemolyticus FROM BEEF MARKETED 8 -1 3 IN PADANG, to xR TARGETED IDENTIFICATION, AND AMP LIFICATION OF tdh AND trh GENES ON ISOLATES USING POLIMERASE CHAIN REACT ION Eka Fitrianda, Marlina dan M. Husni Mukhtar EFEKT IFITAS BROMELAIN KASAR DARI BATANG NENAS (Ananas Comosus L. Merr) SEBAGAI ANTIPLAK DALAM PASTA GIGI Fif i Harmely, Henny Lucida dan M. Husni Mukhtar FOR MULASI KRIM E KSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR ( Ipomea Batatas.L.)UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR Farida Rahim, Mimi Aria dan Nurwani P.A AKTIFIT AS EKSTRAK ETANOL BIJI JINTAN HITAM (Nigella sati va Linn.) TERHADAP TITER ANTIBODI DAN JUMLAH SEL LEUKOSIT PADA MENCIT PUTIH JANTAN Suhatri dan Yufri Aldi PENETAPAN POLA RESISTENSI ANTIBIOTIKA (Vib rio Parahaemolyticus) HASI L ISOLASI DARI CUMI-CUMI ( Loligo vulgaris) DAN KEPITING BAKAU (Scylla serratta) Ria Afrianti, Marlina dan M. Husni Mukhtar AKTIVITAS ANTI INFLAMASI DAR I EKSTRAK ETANOL DAUN BUNGA KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia A. Gray) TERHADAP MENCIT PUTIH BETINA Verawati, Mimi Aria dan Novicaresa M PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR DAN LEMARI PENDINGIN TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN PADA DADIH KERBAU DENGAN METODA KJELDAHL Regina Andayani , Revi Yenti dan Wi wit Gustiva PENGARUH PERBANDINGAN ETANOL AIR SEBAGAI PE LARUT EKSTRAKSI TERHADAP PEROLEHAN KADAR FENOLAT DAN DAYA ANTIOKSIDAN HERBA MENIRAN (Phylantus niruri.L.) Harrizul Rivai dan Martinus PROFIL PENGGUNAAN KOMBINASI ANTI DIABETIKA ORAL DENGAN INSULIN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI Radjuddin Dahlan dan Hansen Nasif PENGARUH ASUPAN PROTEIN DAN MIKRONUTRIEN (Zat Besi Vit. C dan Vit. A) TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN Erina Masri Scientia, V ol. 1, N o. 1, 2010 ; halaman 1 58 ISSN : 2087-5045 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Perintis Padang 14-19

20-25

26-33

34-38

39-45

46-51

52-59

60-65

66-73

SC IENT IA
JURNAL FARMASI DAN KESEHATAN
TERBIT DUA KALI SE TAHUN SETIAP BULAN FEBRUARI DAN AGUSTUS

D E W AN RE D A K SI
Penanggung Jawab : Prof. H. Syahriar Harun, Apt Pemimpin Umum : DR.H.M. HusniMukhtar,MS, DEA, Apt Redaktur Pelaksana : Verawati, M.Farm, Apt Eka Fitrianda, M.Farm, Apt Sekretariat : Afdhil Arel, S.Farm, Apt Khairul Dewan Penyunting : Prof.H. Syahriar Harun,Apt Prof.DR.H. Amri Bakhtiar,MS,DESS,Apt Prof.DR.H. Almahdy, MS, Apt DR.H.M. Husni Mukhtar, MS, DEA, Apt Drs.H. Radjudin Dahlan, M.Pharm, Apt DR.Hj. Marlina, MS, Apt Drs. Yufri Aldi, MSi, Apt Hansen Nasif, SSi, Sp.FRS, Apt Drs. B.A. Martinus , MSi Hj. Fifi Harmely, M.Farm ,Apt Farida Rahim, M.Farm, Apt Revi Yenti, M.Si, Apt Verawati, M.Farm, Apt Ria Afrianti, M.Farm ,Apt Eka Fitrianda, M.Farm, Apt

Penerbit : Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Perintis Padang ISSN : 2087-5045 Alamat Redaksi/Tata Usaha STIFI Perintis Jl. Adinegoro Km. 17 Simp. Kalumpang Lubuk Buaya Padang Telp. (0751)482171, Fax. (0751)484522
e-mail : stifi_perintis@yahoo.com website : www.stifi-padang.ac.id

Scientia, V ol. 1, N o. 1, 2010 ; halaman 1 58 ISSN : 2087-5045 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Perintis Padang

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

ANALISA KANDUNGAN FLAVONOID DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI REMPAH TUMBUHAN OBAT SUMATERA BARAT
1

Deddi Prima Putra1, Verawati2 Fak. Farmasi Universitas Andalas 2 STIFI Perintis ABSTRACT

Antioxidant activity and total flavonoid content of five medicinal plant and species of West Sumatera have been measured. There are Jahe (Zingiber officinale Rosc), Kunyit (Curcuma domestica Val), Kencur (Kaemferia galanga Linn ), Lengkuas (Alpinia Galanga Linn), and Pala (Myristica fragrans Houtt). Antioxidant activity and total flavonoid were measured by Spectrophotometer UV-Visible using DPPH reagent for antioxidant activity and Alumunium Chloride for total flavonoid, Quercetin was used as standard compound. The result showed that three of plants have highest antioxidant activity with IC50 ( total ethanol extract, liphofilic fraction and hydrophilic fraction) against DPPH 20 g/ml 80.62, 69.35, 109.98 g/ml for jahe total, jahe lipofil, jahe hidrofil , 68.21, 47.09 g/ml for kunyit total, kunyit hidrofil, 50.08, 71.67 g/ml for pala total, pala hidrofil. There were total flavonoid of Jahe (Zingiber officinale Rosc), Pala (Myristica fragrans Houut), Kunyit (Curcuma domestica Val), 0.85; 0.54; 19.77 g/g respectively (quercetin equivalent). Keywords : Antioxidant, Flavonoid, medicinal plants

PENDAHULUAN Obat asli Indonesia merupakan obat yang berasal dari tumbuhan, hewan, atau bahan mineral. Pada umumnya obat asli Indonesia belum mempunyai data klinik dan penggunaannya berdasarkan pengalaman. Pengolahan obat asli Indonesia masih sederhana dengan menyeduh bahan tumbuhan kering atau segar dengan air panas, kemudian air seduhan ini di minum. Oleh karena itu bahan obat asli Indonesia perlu distandarisasi, sehingga manfaat dan keamanannya dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian tumbuhan obat asli Indonesia dapat dikembangkan menjadi obat fitofarmaka (Depkes, 1981). Rempah sudah lama dikenal di Indonesia. Makanan sehari-hari kita mengandung paling tidak satu jenis rempah. Rempah punya arti lebih dari

sekedar penambah rasa hidangan, tapi rempah juga sebagai tumbuhan obat. Rempah tumbuhan obat ini berpotensi besar memerangi sederet panjang penyakit dan masalah kesehatan seperti kanker, jantung, diabetes melitus, dan arterosklerosis. Pemicu timbulnya penyakit ini salah satunya adalah adanya radikal bebas (Rungkat, 1994). Radikal bebas ini adalah senyawa kimia yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Senyawa ini bersifat tidak stabil dan sangat reaktif. Untuk mencapai kestabilan, molekul harus mencari elektron lain sebagai pasangan. Reaksi rantai ini dapat menimbulkan pengrusakan sel yang berujung pada mutasi sel dan apabila merusak organ yang memiliki fungsi tertentu dapat menimbulkan penyakit degeneratif. Radikal bebas dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai seperti akibat metabolisme yang

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

berlebihan atau berasal dari lingkungan seperti asap rokok, polusi udara, bahan kimia beracun, pestisida, radiasi sinar UV (Raharjo, 1992; Silalahi. 2001; Youngson. 2005). Untuk menanggulangi efek dari radikal bebas ini, secara alami tubuh mempunyai benteng yang dapat mencegah serangan radikal bebas tersebut yaitu enzim (katalase) ataupun antioksidan yang berasal dari luar tubuh yang umumnya berasal dari makanan. Kegunaan utama dari antioksidan adalah menghentikan atau memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas dengan cara menyediakan dirinya bereaksi dengan radikal bebas itu sendiri. Dengan kata lain, antioksidan dapat menyelamatkan sel-sel tubuh dari kerusakan, akibat serangan radikal bebas (Karyadi. 1997). Antioksidan dapat berasal dari alam dan sintetik. Antioksidan alam lebih disukai karena efek sampingnya kurang. Salah satu sumber antioksidan alam yang terdapat pada tanaman adalah flavonoid. Seperti beberapa tanaman dari Famili Zingiberaceae seperti rimpang kunyit (Curcuma domestica rhizoma, val), rimpang kencur (Kaemferia galanga rhizoma, Linn), rimpang jahe (Zingiber officinale rhizoma, Rosc), rimpang lengkuas (Alpinia galanga rhizoma, Linn, Willd), dan dari tanaman famili Myristicaceae seperti buah Pala (Myristica fragrans, Houtt). (Rukmana. 1994; Rukmana. 1995). Berdasarkan potensi rempah tersebut sebagai obat dan adanya kandungan flavonoid di dalamnya maka dilakukan penelitian untuk menentukan kadar flavonoid total dalam rempah secara spektrofotometer dengan menggunakan Alumunium klorida kolorimetri dan penentuan aktivitas antioksidan menggunakan metode radikal DPPH (Zhinshen, 1999; Molyneux, 2004).

METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan berupa seperangkat alat maserasi, rotary Evaporator (BUCHI ), labu rotary, Erlemeyer berbagai ukuran, corong, kapas, pipet tetes, pipet mikro, botol, vial, label, spatel, alumunium foil, timbangan digital, spektrofotometri UVVis Pharmaspec 1700 (shimadzu ), mesin penghalus ( Brook Crompton), pisau, tabung reaksi, rak tabung reaksi. Bahan Bahan yang digunakan adalah rempah-rempah seperti rimpang kunyit (Curcuma domestica, val), rimpang lengkuas (Alpinia galanga, Linn, Willd), rimpang jahe (Zingiber officinale, Rosc), rimpang kencur (Kaemferia galanga, Linn) dan buah pala (Myristica fragrans, Houtt), etanol 96 %, heksan 96%, metanol, DPPH, Natrium asetat 1 M, AlCl3 10%, Aquadest, Quersetin, Aquadest. Pembuatan Ekstrak Sampel Serbuk sampel sebanyak 5 g diekstraksi dengan menggunakan pelarut yang berbeda sehingga diperoleh 3 macam ekstrak yaitu : a. Pembuatan ekstrak etanol total (ekstrak total) yaitu 5 gram sampel di ekstrak dengan etanol 96% sebanyak 25 ml selama 2 x 24 jam. Kemudian maserat disaring dan filtrat dikentalkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental total. Pembuatan ekstrak heksan (ekstrak lipofil) yaitu 5 gram sampel di ekstrak dengan heksan 96%

b.

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

sebanyak 25 ml selama 2 x 24 jam. Kemudian maserat disaring dan filtrat dikentalkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental lipofil. c. Pembuatan ekstrak etanol setelah heksan (ekstrak hidrofil) yaitu ampas dari hasil ekstraksi dengan heksan di ekstraksi lagi dengan etanol 96% sebanyak 25 ml selama 2 x 24 jam. Kemudian maserat disaring dan filtrat dikentalkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental hidrofil. Aktivitas Antioksidan

Penentuan Total

Kandungan

Flavonoid

Penentuan Sampel

Kandungan flavonoid total ditentukan dengan metode kolorimetri menggunakan Aluminium klorida. Sebanyak 2 ml dari larutan ekstrak(1mg/ml) ataupun larutan standar kuersetin (100; 80; 60; 40; 20; 10; 5 g/ml) ditambah 0,1 ml AlCl3 10 %; 0,1 ml Na asetat 1M dan 2,8 ml air suling. Kocok homogen lalu biarkan selama 30 menit. Ukur serapan pada panjang gelombang 415 nm. Total kandungan flavonoid sampel dinyatakan sebagai kesetaraan gram kuersetin/100 gram sampel kering. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas antioksidan ditentukan dengan metode DPPH (Molyneux, 2004). 0,2 ml larutan sampel (1 mg/ml, 100, 50 dan 25 g/ml) atau larutan stndar kuersetin (0,1; 0,2; 0,4; 0,6 g/ml) di dalam vial, ditambah 3,8 ml larutan DPPH (20 g/ml). Campuran larutan dihomogenkan dan dibiarkan selama 30 menit di tempat gelap. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum DPPH yaitu 517 nm. Absorban kontrol yaitu DPPH (20 g/ml) dalam metanol juga diukur. Aktivitas antioksidan sampel dinyatakan sebagai persentase inhibisi dihitung dengan rumus : Abs. kontrol Abs. Sampel x 100 % Abs. kontrol Dengan menggunakan persamaan linear dari data stndar maka dapat dihitung IC50 stndar kuersetin sedangkan IC50 sampel dihitung dengan metoda analisa probit menggunakan finney.

Setelah dilakukan penelitian mengenai analisa kandungan flavonoid total dan aktivitas antioksidan dari tanaman obat dan rempah Sumatera Barat didapatkan hasil bahwa dari 5 macam sampel rempah (jahe, kunyit, kencur, lengkuas,dan pala) didapatkan tiga sampel memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi yaitu jahe, kunyit dan pala. Ketiga rempah ini ditentukan IC50 nya yakni konsentrasi sampel yang mampu merangkap radikal DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin aktif sampel tersebut sebagai antioksidan.

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Tabel I. Nilai IC50 sampel


No 1 Nama sample Jahe.BS.Total Konsentrasi 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 50 25 100 % Inhibisi 52.96 36.14 21.51 69.31 49.24 32.41 69.89 47.61 29.06 63.38 44.93 26.58 58.63 39.45 22.54 52.81 36.59 21.95 57.22 39.12 23.08 35.54 17.50 8.83 50.72 28.18 15.09 92.58 58.26 28.04 89.59 65.76 42.12 85.9 59.09 30.27 60.85 43.82 21.48 73.09 49.72 25.95 78.36 49.72 29.4 76.18 IC50 90.56

Jahe.BS.Lipofil

57.67

Jahe.Bkt.Total

60.68

Jahe.Bkt.Lipofil

68.98

Jahe.Bkt.Hidrofil

79.3

Jahe.Ap.Total

90.62

Jahe.Ap.Lipofil

81.4

Jahe.Ap.Hidrofil

140.66

Kunyit.BS.Total

97.92

Kunyit.BS.Hidrofil

46.81

Kunyit.Bkt.Total

32.44

Kunyit.Bkt.Hidrofil

46.51

Kunyit.Ap.Total

74.27

Kunyit.Ap.Hidrofil

47.97

Pala.BS.total

54.44

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045 Pala.BS.Hidrofil 50 25 100 50 25 100 50 25 43.38 23.72 88.47 57.56 31.85 58.81 36.09 16.45 61.55

Pala.Bkt.Total

45.69

Pala.Bkt.Hidrofil Keterangan : AP BS Bkt : Alahan Panjang : Batu Sangkar : Bukit tinggi

81.8

Dari data IC50 sampel dan IC50 stndar kuersetin, maka diperoleh suatu nilai jumlah sampel yang akan memberikan aktivitas antioksidan yang setara dengan 1 mg kuersetin.
Tabel II. Aktivitas Antioksidan dari Sampel Setara mg Kuersetin

No

Nama sampel

Nilai IC50 aktivitas antioksidan terukur (g/ml) 80.62 69.35 109.98 68.21 47.09 50.06 71.67

Aktivitas antioksidan 1g ekstrak setara mg kuersetin (mg) 182.39 156.9 248.82 154.32 106.53 113.26 162.16

Jahe. total 1 Jahe. lipofil Jahe. hidrofil Kunyit. total 2 Kunyit. lipofil Kunyit hidrofil Pala. total 3 Pala. lipofil Pala. hidrofil

Pada pengukuran absorban flavonoid total untuk penentuan kurva kalibrasi kuersetin pada panjang gelombang 415 nm di dapat persamaan regresi y = - 0,016 + 0,017x dengan koefisien korelasi 0,999, simpangan baku 0,0106371, batas deteksi 0,114942 g/ml, batas kuantisasi 4,216 g/ml.

Pada pengukuran flavonoid total tiap gram sampel kering setara kuersetin diperoleh kadar flavonoid total dari masing-masing sampel dimana kadar paling tinggi adalah pada ekstrak etanol kunyit 19.70 g/g diikuti kencur 0.92 g/g, Jahe 0.84 g/g, pala 0.54 g/g, lengkuas 0.52 g/g.

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Tabel III. Kandungan Flavonoid total sampel Konsentrasi Flavonid (g/ml) 10.62 8.1 10.83 9.85 1,51 157.55 71.99 142.67 124.07 45,71 8.5 8.64 11.03 9.39 1,42 4.53 9.27 5.02 6.27 2,60 4.96 4.05 4.50 0,64 Kadar Flavonoid tiap 5 g serbuk kering (g/g) 0.91 0.70 0.93 0.84 0,13 25.03 11.43 22.66 19.70 7,26 0.84 0.85 1.09 0.92 0,14 0.37 0.76 0.41 0.52 0,21 0.60 0.49 0.54 0,078

Nama Sampel

Jahe.BS.Total Jahe.Bkt.Total Jahe.AP.Total Rata-rata SD Kunyit.BS.Total Kunyit.Bkt.Total Kunyit.AP.Total Rata-rata SD Kencur.BS.Total Kencur.Bkt.Total Kencur.AP.Total Rata-rata SD Lengkuas.BS.Total Lengkuas.Bkt.Total Lengkuas.AP.Total Rata-rata SD Pala.BS.Total Pala.Bkt.Total Rata-rata SD

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui dari data IC50 aktivitas antioksidan dan penentuan kadar flavonoid total bahwa ekstrak yang kadar flavonoidnya tinggi mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Jadi kemungkinan senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi adalah golongan flavonoid yang terdapat pada ekstrak polar atau fraksi hidrofil terutama pada jahe, kunyit dan pala.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa dari 5 tanaman yang berasal dari 3 daerah, kadar flavonoid yang tinggi terdapat pada kunyit, jahe dan pala setara kuersetin berturut-turut : 19.77; 0.85;0.54 g/g terhadap sampel kering. Ekstrak hidrofilik memberikan aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan ekstrak lipofilik.

Rukmana, R., 1995. Temulawak Tanaman Rempah Oba, Kanisius, Yogyakarta. Rukmana, R., 1994. Kencur, Kanisius, Yogyakarta. Rungkat, F., 1994. Radikal Bebas dan Patofisiologi Penyakit, Proseding Seminar : Senyawa Radikal dalam Sistem Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan, Bogor. Silalahi, J, 2001. Free Radicals and antioxidant Vitamin in Degenerative Disease, The Journal of Indonesian Medical Association : II (5), 1-13. Youngson, R, 2005. Antioxidant : Vitamin C dan E For Health, diterjemahkan oleh Susi Purwoko, Jakarta. Zhinshen, J., T. Mengcheng and W. Jianming, 1999. The determination of flavonoid contents in mulberry and their scavenging effects on superoxide radicals. Food Chem., 64: 555559.

DAFTAR PUSTAKA Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI, 1981. Modifikasi Peraturan Perundang undangan Obat Tradisional, Jakarta. Karyadi, E, Antioksidan, Resep Sehat dan Umur Panjang. http//www.indomedia.com/intisari /1997/juni/antioksidan.htm Molyneux, p. 2004. The Use of Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity, J. Sci. Tecnol, 26(2), 211-219. Raharjo, M, 1992. Tanaman Berkhasiat Antioksidan, Penebar Swadaya, Jakarta.

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

ISOLATION OF Vibrio parahaemolyticus FROM BEEF MARKETED IN PADANG, toxR TARGETED IDENTIFICATION, AND AMPLIFICATION OF tdh AND trh GENES ON ISOLATES USING POLIMERASE CHAIN REACTION
1

Eka Fitrianda1, Marlina2, M. Husni Mukhtar2 STIFI Perintis Padang, 2 Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang ABSTRAK

Sebanyak 40 isolat V. parahaemolitycus telah berhasil diisolasi dari sejumlah sampel daging sapi mentah yang dikoleksi di Pasar Raya Padang. Isolasi dilakukan dengan menggunakan medium CHROMagarTM Vibrio. Terhadap 40 isolat tersebut dilakukan identifikasi dengan metoda Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengamplifikasi gen toxR. Gen tersebut merupakan gen yang sangat spesifik pada spesies V. parahemolyticus. Selanjutnya, dengan metoda yang sama juga dilakukan amplifikasi terhadap gen pengkode produksi toksin hemolisin (tdh dan trh) yang merupakan faktor virulen utama pada bakteri tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh isolat V. parahaemolyticus terbukti memiliki gen tox-R, namun tidak ada satu isolat pun yang memiliki gen pengkode toksin hemolisin baik tdh maupun trh. Key words: Vibrio parahaemolyticus, toxR, tdh, trh

INTRODUCTION V. parahaemolyticus is one of bacterias actively studied in various parts of the world because of its ability in causing diarrhea. V. parahaemolyticus was first isolated in food poisoning outbreak in Japan in the early 1950s. Currently, V. parahaemolyticus has become one of food contaminant pathogens with the highest prevalence in Asian countries (Pan et al, 1997). The main clinical manifestation of infection due to V. parahaemolyticus is gastroenteritis, in which the main symptoms include abdominal cramps, nausea and vomiting. Most strains of clinical V. parahaemolyticus produce major virulence factor that is a thermostable direct hemolysin (TDH) and showed hemolysis activity on Wagatsuma agar (KP positive strains). Another virulence

factor, "TDH-related hemolysin" (TRH), usually associated with KP negative strains or with urease positive strains (Kelly and Stroh, 1989). Based on the Shirai et al (1990) report, molecular epidemiological studies show a close relationship between the hemolysin coding genes in these bacteria (tdh, trh, or both) with the ability to cause disease. In V. parahaemolyticus, "thermostable direct hemolysin" (TDH) and the "TDH-related hemolysin" (TRH), whose production is encoded by the tdh and trh are the important virulence factors for the development of gastroenteritis. Therefore, the genes are referred to as the important virulence coding genes in V. parahaemolyticus. Although V. parahaemolyticus is a marine bacterium that has long been associated with diarrhea after eating raw or not cooked perfectly seafood, but

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

some recent researches showed that V. parahaemolyticus has also found on food samples which are not seafood categories. Research conducted by Marlina et al (2007) for example, has successfully isolated these bacteria from pensi (Corbicula moltkiana prime) collected in lake Singkarak. The isolated strains are known to carry hemolysin toxin-producing genes (tdh and trh) which are the major virulence factors of V. parahaemolyticus. Another study conducted by Zulkifli et al (2009) on the cockles collected from rivers in Padang showed similar result. In this study we isolated V. parahaemolyticus from beef samples and identified them by examining on their toxR gene. We also detected their virulent factors coding genes by amplificating tdh and trh genes on these isolates. The method used to identify and amplify tox-R, tdh and trh genes is "Polymerase Chain Reaction" (PCR). Polymerase Chain Reaction (PCR) is a major breakthrough in molecular diagnostics, and lately has been widely used to identify genes from different species of bacteria including V. parahaemolyticus. According to Gelfand et al (1998), this is due to the high sensitivity level of this method. MATERIALS AND METHODS Equipments and materials PCR machine (Eppendorf Mastercyclergradient ), Eppendorf tubes, micro pipette (Eppendorf ), centrifugator (Eppendorf Minispin ), laminar air flow (Esco ), vortex (Mixer VM-1000), incubator (Gallenkamp ), rotary shaker incubator (Bigger Bill Digital ), colony counter (Stuart scientific ), the elektrophoresis device, transilluminator, polaroid film, the test

sample, V. Parahaemolyticus AQ4037 (positive control for the toxR and trh genes), V. parahaemolyticus AQ3815 (positive control for tdh gene,), Salt Polimixin Broth (SPB), distilled water, NaCl, CHROMagarTM Vibrio (CHROMagarTM), Luria Bertani (LB) Broth, Luria Bertani (LB), 5X Colorless GoTaq Reaction, 10X Ex Taq buffer solution, 2.5 mM dNTP solution, GoTaq DNA polymerase, agarose, tris-borateEDTA (TBE), a blue dye, 100 bp ladder, ethidium bromide, and three pairs of primers, namely: toxR-4: 5'GTCTTCTGACGCAATCGTTG-3' and toxR-7: 5'ATACGAGTGGTTGCTGTCATG-3' for the detection of toxR gene, TDH D3: 5'CCACTACCACTCTCATATGC-3 and TDH D5: 5'GGTACTAAATGGCTGACATC-3' for detection of tdh gene, TRH R2: 5'GGCTCAAAATGGTTAAGCG-3' and TRH R6: 5'CATTTCCGCTCTCATATGC-3' for detection of trh gene. Sampling The test samples in this study were 15 raw beef samples. Samples were taken from traders in Pasar Raya Padang. To avoid contamination, samples were taken in a way directly entered by the merchant into sterile containers, immediately stored in containers and taken to the laboratory for testing. V. parahaemolyticus Isolation 10 gram sample was added in to 100 ml Salt Polimixin Broth (SPB) media and incubated at 37C for 24 hours. These cultures were inoculated using a needle loop onto surfaces of CHROMagarTM Vibrio previously been

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

poured and allowed to solidify in a petri dish. After incubated for 24 hours at 37C, purple colonies formed were suspected as colonies of V. parahaemolyticus. Each single suspected colony was inoculated into the Luria Bertani (LB) Broth containing 3% NaCl and incubated in a rotary shaker incubator at 37C for 24 hours. DNA template preparation Before the amplification of genes using PCR method, DNA of control and testing bacteria were extracted using boil cell extraction (BCE) method. 1 ml LB broth culture centrifuged at 12,000 rpm for 1 min, the supernatant removed, while the sediment was added with 500 mL sterile distilled water and then suspended using vortex. The suspension formed was heated for 10 minutes in boiling water and immediately put into the refrigerator with a temperature of -20C for 10 minutes. Subsequently centrifuged at 12,000 rpm for 3 minutes and the supernatant were transferred into a new Eppendorf tube. The supernatant were the DNA template to be used for amplification of genes by PCR method. toxR, tdh and trh genes amplification Identification of toxR, tdh and trh genes in V. parahaemolyticus were done using PCR method. DNA template which had been prepared previously inserted into the Eppendorf tube for PCR machine and combined with other PCR components. The type and amount of each PCR components as shown in table below:
Table 1. PCR components Component Buffer solutiona 2,5 mM dNTP Amount(l) 5,0c 2,5d 2,0

Primer 1b Primer 2b Aquadest GoTaq DNA Polymerase DNA Template


a

1,0 1,0 15,0c 17,4d 0,1 1,0

5x Colorless GoTaq Reaction Buffer for the detection of tdh and trh genes, 10x Ex Taq buffer solution for the detection of toxR gene b Primer pairs are suitable for each gene c For the detection of tdh and trh genes d For the detection of toxR gene Eppendorf tube is then inserted into the PCR machine and amplification was performed using program which is suitable for detection of each gene as shown in table below:
Table 2. Stage for tox-R gene amplification (23 cycles) Stage Predenaturation Denaturation Annealing Extention Elongation Temperature ( oC ) 96 94 63 72 72 Time (minute) 5 1 1,5 1,5 7

Table 3. Stage for tdh and trh genes amplification (33 cycles) Temperatur Time Stage e (minute) o ( C) Predenaturation 96 5 Denaturation 94 1 Annealing 55 1 Extention 72 2 Elongation 72 7

After all of the stages in the PCR process were completed, the results of this amplification were colored using blue dye and then separated along electrophoresis process on 1% agarose gel in 1x TBE. Electrophoresis was performed at 100 V voltage for 20 minutes with 1 x TBE as the mobile phase. The 100 bp ladder was used as a

10

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

marker for determining the size of amplification product. After the electrophoresis process was completed, agarose gel was stained with ethidium bromide solution (0.5 mL/ml). Electrophoresis result which was observed by UV transilluminator will form separate bands which were distinguished by the number of their base pairs (bp). The size of toxR, tdh and trh amplification product were 368 bp, 251 bp and 250 bp respectively. Size estimation of each product was done through comparison with 100 bp ladder. Results were then documented by polaroid film. RESULTS AND DISCUSSION Of 15 raw beef samples which were examined, we successfully isolated suspected V. parahaemolyticus colonies from 3 samples. The presence of suspected V. parahaemolyticus in samples characterized by the formation of purple colonies on the surface of CHROMAgarTM Vibrio medium.

targeting on toxR gene was performed to all of these isolates using PCR method. toxR gene is a gene that is very specific to the V. parahemolyticus species. The PCR method to detect this gene has been reported (Lee et al, 1995) as a very useful method to confirm the presence of this species in samples. Dileep et al (2003) also states that the detection of toxR gene by PCR method to detect V. parahaemolyticus is more sensitive than biochemical identification. toxR positive isolates showed 368 bp band in electrophoresis gel. In this study, out of total of 40 tested isolates, all (100%) showed toxR positive results.

Figure 2. Electrophoresis gel of toxR positive V. parahaemolyticus isolates: lane 1-11 were positive toxR isolates, lane 12 was positive control, lane 13 was 100 bp ladder.

The same result have been reported by Zulqifli et al (2009), all of CHROMagar Vibrio isolates from cockles gave positive results on testing of toxR using PCR method. Previously, V. parahaemolyticus has been isolated from various places around the world. Tanil et al (2005) succeeded in isolating V. parahaemolyticus from seawater in Peninsular, Malaysia. V. parahaemolyticus isolates also been isolated from coastal waters of western United States (Okuda et al, 1997). A study recently conducted by Sujeewa et al (2009) succeeded in isolating V. parahaemolyticus from shrimp samples in Malaysia. Generally, non-clinical V.

Figure 1. Suspected V. parahaemolyticus colonies on ChromagarTM Vibrio

CHROMagar Vibrio is a selective media for identification of V. parahaemolyticus with a higher level of differentiation compared to TCBS medium (Kudo et al, 2001). From 3 of 15 samples which were examined, we successfully isolated 40 suspected V. parahaemolyticus. Identification

11

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

parahaemolyticus were isolated from marine waters or food samples from the sea, because V. parahaemolyticus is a bacteria that normally lives in this habitat (DePaola et al, 2000). It makes the results of this research is interesting for further explored, because V. parahaemolyticus isolates were isolated in samples which were not derived from the sea environment. Similar results have also found in other study (Marlina et al, 2007), where a number of V. parahaemolyticus isolates carrying tdh gene were isolated from Corbicula moltkiana, a species which lives in lake Singkarak. Similarly, other publication also showed that V. parahaemolyticus isolates was isolated from cockles live in rivers around Padang, Indonesia (Zulkifli et al, 2009). Furthermore, studies are necessary to investigate whether the presence of V. parahaemolyticus in samples is the result of bacterial adaptation capabilities on low-salt environment, or is the result of cross-contamination when samples are marketed in the market. Major virulence factor coding genes in V. parahaemolyticus are tdh and trh. The presence of these genes represent the level of pathogenicity of V. parahaemolyticus isolates. In this study, 40 toxR positive isolates were detected for the present of tdh and trh genes by amplification using PCR method. As a result, none of the isolates has tdh or trh gene. This suggests that V. parahaemolyticus isolates in this study are not virulent isolates. According to Nishibuchi and Kaper (1995), only few V. parahaemolyticus isolates carrying the virulent genes (tdh or trh), and they are called virulent isolates. The existence of these genes in V. parahaemolyticus isolated from nonclinical samples are rarely detected. In contrast, more than 90% of V.

parahaemolyticus isolates from clinical samples have tdh or trh gene (DePaola et al, 2000). This such result also seen in V. parahaemolyticus previously isolated from cockle samples in Padang, where the overall toxR positive isolates have no tdh or trh gene (Zulkifli et al, 2009). However, other studies seem to successfully detect the presence of these virulence genes in environmental samples (Sujeewa et al, 2009; Marlina et al, 2007). CONCLUSION All of 40 V. parahaemolyticus isolates isolated from beef samples marketed in Pasar raya Padang were having toxR gene, but none of them has tdh or trh gene. BIBLIOGRAPHY DePaola, A., C. A. Kaysner, J. Bowers and D. W. Cook. 2000. Environmental investigations of Vibrio parahaemolyticus in oysters after outbreaks inWashington, Texas, and New York (1997 and 1998). Appl Environ Microbiol 66:464954 Dileep, V., H. S. Kumar, Y. Kumar, M. Nishibuchi and I. Karunasagar. 2003. Applicationof polymerase chain reaction for detection of Vibrio parahaemolyticus associated with tropical seafoods and coastal environment. Lett Appl Microbiol 36:4237. Gelfand, D. H., T. J. White, M. A. Innis, J. J. Sninsky. 1998. PCR protocols: A guide to methods and amplifications. Academic Press. New York. Kelly, M. T. and E. M. Stroh. 1989. Urease-positif, Kanagawanegatif Vibrio parahaemolyticus from patients and the environment in the Pacific

12

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Northwest. J. Clin. Microbiol. 27: 2820-2822 Lee, C.Y., S.F. Pan and C. H. Chen, 1995. Sequence of a cloned pR72H fragments and its use for detection of Vibrio parahaemolyticus in shell fish with PCR. Applied and Environmental Microbiology 61: 1311-1317. Marlina, S. Radu, C. Y. Kqueen, S. Napis, Zunita Zakaria, S. A. Mutalib, and M. Nishibuchi. 2007. Detection of tdh and trh genes in Vibrio parahaemolyticus isolated from Corbicula moltkiana prime in West Sumatera Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38:349-355. Nishibuchi, M., and J. B. Kaper. 1995. Thermostable direct hemolysin gene of Vibrio parahaemolyticus: a virulence gene acquired by a marine bacterium. Infect. Immun. 63:20932099. Okuda, J. M. Ishibashi, S. Abbott, J. M. Janda and M. Nishibuchi. 1997. Analysis of the Thermostable Direct Hemolysin (tdh) Gene and the tdh-Related Hemolysin (trh) Genes in Urease-Positive Strains of Vibrio parahaemolyticus Isolated on the West Coast of the United States. Journal of Clinical Microbiology. 35: 19651971 Pan, T. M., T. K. Wang, C. L. Lee, S. W. Chien, and C. B. Horng. 1997. Food-borne disease outbreaks due to bacteria in Taiwan, 1986 to 1995. J. Clin. Microbiol. 35: 1260-1262 Shirai, H., H. Ito, T. Hirayama, Y. Nakamoto, N. Nakabayashi, K. Kumagai, Y. Takeda, and M. Nishibuchi. 1990. Molecular epidemiologic evidence for association of thermostable

direct hemolysin (TDH) and TDH-related hemolysin of Vibrio parahaemolyticus with gastroenteritis. Infect. Immun. 58: 35683573. Sujeewa, A. K. W., A. S. Norrakiah and M. Laina. 2009. Prevalence of toxic genes of Vibrio parahaemolyticus in shrimps (Penaeus monodon) and culture environment. International Food Research Journal 16: 8995 Tanil, G. B., S. Radu, M. Nishibuchi, R. A. Rahim, S. Napis, L. Maurice and J. W. Gunsala. 2005. Characterization of vibrio parahaemolyticus isolated from coastal seawater in peninsular Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 36 No. 4. Zulkifli, Y., N. B. Alitheen, S. Radu, S. K. Yeap, M. B. Lesley and A.R. Raha. 2009. Identification of Vibrio parahaemolyticus isolates by PCR targeted to the toxR gene and detection of virulence genes. International Food Research Journal 16: 289296

13

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

EFEKTIFITAS BROMELAIN KASAR DARI BATANG NENAS (Ananas comosus L. Merr) SEBAGAI ANTIPLAK DALAM PASTA GIGI Fifi Harmely1), Henny Lucida2), M. Husni Mukhtar2) 1) Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Padang, 2) Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang ABSTRACT The effectivity of crude bromelain from steam pineapple have been done as antiplaque by plaque control record methods. The formula of toothpaste was crude bromelain 5% and abrasive 40% with proteolytic activity 6.584 unit/mg equivalent 98.84 % (F3C). The crude bromelain 5% in toothpaste has antiplaque effectivity noteqivalent with control (p<0,05) and significant with basis formula ( p >0,05). Keyword: crude bromelain, toothpaste, proteolytic activity, antiplaque effectivity PENDAHULUAN Di Indonesia, penderita gigi berlubang jumlahnya tidak sedikit. Hasil Survei Kesehatan Nasional 2002 menunjukkan, prevalensi gigi berlubang di Indonesia berkisar 60 %, yang berarti dari sepuluh orang enam diantaranya menderita gigi berlubang (Nugraha, 2008). Plak gigi adalah lapisan lunak yang terbentuk dari campuran sisa-sisa makanan serta bakteri yang diperantarai oleh saliva yang melekat pada permukaan gigi. Plak tersusun oleh 80% air dan 20 % sisanya terdiri dari beberapa komponen seperti protein 40 50 %, karbohidrat 13 17 % , lipid 10 14 % dan abu 10 % dan komponen mineral seperti kalsium dan posfor, yang dihitung dari berat kering plak.( Wilkinson, 1982). Lapisan lembut ini akan membentuk suatu matriks pada gigi dimana bakteri dapat melekat. Jika plak tidak dibersihkan, maka lama-kelamaan mikroorganisme yang berkontak pada permukaan gigi akan menyebabkan karang gigi ( kalkulus ) dan menimbulkan karies pada gigi (Cracken,1982). Untuk kesehatan dan mencegah kerusakan gigi dibutuhkan suatu zat antiplak dalam pasta gigi yang saat ini erat kaitannya dengan kandungan fluorida. Munurut Pakaj (2004) pasta gigi yang mengandung fluorida tidak cocok untuk anak-anak di bawah 4 tahun. Hal ini juga dipertegas dengan adanya intruksi oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan untuk menarik seluruh produk pasta gigi untuk anakanak yang masih mengandung fluorida di atas 500 ppm. Berdasarkan laporan pemakaian pasta gigi yang mengandung fluorida mempunyai efek samping perlu dicari alternatif mendapatkan formula pasta gigi dari bahan alam, salah satunya adalah bromelain dari nenas ( Ananas comosus L. Merr var. Queen ). Proses ekstraksi bromelain dilakukan secara maserasi dalam larutan buffer posfat pH 7,0 ( Darwis dan Sakara, 1990, Ramli, Fauzi dan Krisna, 1990).

14

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Penggunaan enzim di dalam pasta gigi ditujukan untuk membantu pemecahan protein, karbohidrat dan lipid dari makanan. Dextran merupakan produk metabolit dari bakteri, adanya zat ini memegang peranan penting dalam membentuk plak pada gigi. (Wilkinson ,1982). Suatu produk bermerek dagang yang sudah beredar adalah pasta gigi Enzim . Metoda yang digunakan untuk pengujian anti plak adalah metoda rekam kontrol plak yang diperkenalkan oleh OLeary dkk, dan digunakan untuk memantau kontrol plak pada pasien dan juga banyak digunakan pada klinik klinik gigi ( Dalimunthe 2008), Untuk pengukuran terlebih dahulu gigigeligi diwarnai dengan perwarna plak (disclosing solution, disclosing gel atau disclosing tablet) yang dicatat adalah ada atau tidaknya deposit yang terwarnai pada batas dentogingiva pada empat permukaan (Dalimunthe 2008 ). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengujian efektifitas antiplak bromelain kasar dan dibandingkan dengan formula basis dan sediaan pembanding kepada sukarelawan. METODE PENELITIAN Alat Alat-alat gelas standar laboratorium(Pyrex), timbangan analitik (Pioneer), lumpang dan alu, spektrofotometer UV-Vis (UVmini1240), kaca mulut.

Bahan Bromelain kasar, bromelain standar ( Bernofarm), bahan tambahan formulasi (Brataco Chemika), dental plague disclosing gel (Global Care) dan air suling. Sukarelawan Sukarelawan dalam penelitian ini sebanyak 15 orang berumur antara 18 24 tahun dan diminta kesediaannya untuk menggunakan sediaan pasta gigi selama penelitian dengan mengisi blanko dan menandatangani surat pernyataan sebagai sukarelawan. Sebelum perlakuan kepada sukarelawan terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan informasi lain yang terkait dengan pemakaian pasta gigi. Untuk menilai keadaan plak gigi, pemeriksaan gigi sebelum dan setelah pemakaian pasta gigi dilakukan oleh dokter gigi.

Pelaksanaan Penelitian Pembuatan Pasta Gigi Bromelain Kasar Formula Pasta Gigi Bromelain (Lieberman 1989; Wilkinson 1982) Pasta gigi bromelain dibuat dengan konsentrasi bromelain 5% dan abrasive kalsium karbonat 40% seperti terlihat pada tabel di bawah ini:

15

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Tabel 1. Formula pasta gigi bromelain Komposisi Formula Bromelain Kasar Kalsium karbonat Gliserol Larutan sorbitol 70 % Natrium Karboksimetil sellulosa Sakarin Natrium benzoat Natrium lauryl sulfat Oleum menthae piperitae Air suling sampai Basis (g) 40 18 10 1,0 0,2 0,1 1 0,3 100 formula (g) 5,0 40 18 10 1,0 0,2 0,1 1 0,3 100

Cara Pembuatan Bromelain Kasar

Pasta

Gigi

Na CMC ditabur diatas air panas (15 x jumlah Na CMC), didiamkan selama 15 menit, diaduk homogen (massa 1). Kalsium karbonat digerus, ditambah bromelain digerus ditambah gliserol diaduk homogen, ditambahkan larutan sorbitol 70 % dan diaduk homogen ( massa 2). Massa 1 ditambahkan ke massa 2 diaduk sampai homogen (massa 3). Sakarin dan natrium benzoat dilarutkan dalam sisa air, aduk homogen, dimasukkan ke dalam massa 3, digerus homogen. Natrium lauryl sulfat ditambahkan ke dalam massa 3, diaduk homogen sampai terbentuk massa pasta. Oleum menthae piperitae dimasukkan terakhir, diaduk sampai homogen dan kemudian dimasukkan ke dalam tube.

menggunakan pasta gigi 3 kali sehari pada pagi, sore dan pada malam hari. Pengujian ini dilakukan terhadap 5 orang panelis untuk setiap formula pasta gigi bromelain dengan syarat panelis tidak menggunakan pasta gigi lain, tidak menggunakan larutan penyegar mulut atau larutan pencuci mulut lainnya. Parameter yang diamati kemampuan menghilangkan plak setelah menggunakan pasta gigi. Untuk pelaksanaan pengujian ini digunakan gel pink tua dental plague disclosing gel yang dipakai sebelum menggunakan pasta gigi dan setelah menggunakan pasta gigi selama 1 minggu. Selama pengamatan akan dipantau oleh dokter gigi sampai selesai perlakuan. rumus perhitungan Plak Indeks :
Skor RKP =

Jumlah Permukaan gigi dengan plak

x 100 %

Jumlah seluruh permukaan gigi

Uji Efektifitas Anti Plak Pasta Gigi Bromelain dengan Metode Rekam Kontrol Plak (RKP) (Delimunthe 2008) Pengujian ini dilakukan untuk menilai efek pemakaian pasta gigi sebagai anti plak dengan cara

Setelah skor plak didapat, kemudian dihitung nilai selisih skor plak sebelum dan sesudah pemakaian pasta gigi bromelain dengan menggunakan rumus : Nilai selisih = Skor Plak sebelum Skor Plak sesudah

16

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Analisis Data Untuk menilai efektifitas antiplak bromelain dalam pasta dianalisis menggunakan statistik analisis varian satu arah yaitu antara basis pasta, pasta gigi bromelain kasar dan sediaan pembanding enzim . HASIL DAN PEMBAHASAN Uji antiplak pasta gigi bromelain kasar dilakukan selama 7 hari. Parameternya adalah % RKP sebelum dan setelah perlakukan. Dari hasil perhitungan rata-rata persentase Rekam Kontrol Plak ( RKP ) adalah 3,04 %, 8,72 % dan 8,90 % untuk formula basis ( F0 ), pasta gigi bromelain ( F3 ) dan pasta gigi pembanding ( P ) secara berturut-turut. Hasil ini memperlihatkan bahwa plak dapat berkurang dengan menggunakan basis pasta yang mengandung abrasif kalsium karbonat dan surfaktan natrium lauril sulfat yang ada dalam formula. Proses pengurangan plak ini terjadi secara fisika dengan persentase penurunan plak yang rendah. Proses

pengurangan plak juga dipengaruhi oleh frekwensi, lama dan cara menggosok gigi (Ariningrum, 2000). Pada sediaan uji pasta gigi bromelain diperoleh persentase penurunan (RKP) yang lebih tinggi ( 8,72 % ) dan mendekati pasta gigi pembanding (8,90%). Daya anti plak disebabkan adanya kemampuan bromelain untuk mengurangi dan menghilangkan plak yang terbentuk. Proses pengurangan plak dari pasta gigi bromelain kasar diduga karena kemampuannya untuk memecah atau menguraikan protein saliva disamping juga terjadi secara fisik dengan adanya abrasif dalam pasta. Menurut Hidayah (2000) bromelain dapat memecah ikatan glutamin-alanin dan arginin- alanin yang merupakan asam -asam amino penyusun protein. Penelitian dilakukan pada gigi tiruan resin akrilik . Dugaan lain adalah bromelain dapat memutuskan ikatan protein dari sisa makanan yang menempel pada gigi. Makanan sangat berpengaruh sekali terhadap jumlah plak yang terbentuk. (Tarigan , 1990)

Tabel 2. Hasil pengujian efektifitas antiplak pasta gigi bromelain kasar % RKP No Panelis X (%) Formula Sebelum Sesudah 1 F0 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 65,6 65,3 65,3 65 62,5 69,1 68,5 65,3 66,1 70,3 62,9 66,9 69,1 70,1 69,5 62,5 62,9 62 62 59,1 60,8 59,6 57,2 56,4 61,7 52,4 57,1 60 62 62,5 3,1 2,4 3,3 3 3,4 8,3 8,9 8,1 9,7 8,6 10,5 9,8 9,1 8,1 7

3,04% 0.391 %KV=12,86

F3

8,72% 0.626 %KV= 7,17

8,9% 1.384 %KV= 15,55

17

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045 Keterangan : F0 F3 P X X KV

: : : : : :

Basis pasta gigi formula C konsentrasi abrasif 40 % Formula pasta gigi bromelain konsentrasi 5 % Pasta gigi pembanding ( Enzim ) Nilai selisih Rekam Kontrol Plak (RKP) Rata rata nilai selisih Rekam Kontrol Plak (RKP) Koefisien variansi

Hasil uji statistik dengan analisis varian satu arah memperlihatkan terdapat perbedaan yang bermakna antara formula basis ( F0 ) dengan pasta gigi bromelain ( F3C) dan pasta gigi pembanding ( P ) pada p > 0,05, dan
persentase plak Duncan
a

tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pasta gigi bromelain ( F3 ) dengan pasta gigi pembanding ( P ) pada p < 0,05. Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

perlakuan F0 F3 pembanding Sig.

N 5 5 5

Subset for alpha = .05 1 2 3,0400 8,7200 8,9000 1,000 ,759

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Bromelain kasar 5% dalam pasta gigi mempunyai efektifitas antiplak yang tidak berbeda nyata dengan sediaan pembanding ( p< 0,05) dan berbeda nyata dengan formula basis pada p > 0,05. SASARAN Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk mengembangkan formula pasta gigi dan menguji stabilitas pasta gigi bromelain kasar sehingga pada akhirnya dapat

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007, USP 30/ NF 25, Vol III, The National Formulary, USA. Anonim, 1994, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakata. Anonim, 1989, Materia Medika Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia , Jakarta. Anonim, 1985, Formularium Kosmetika Indonesia, cetakan pertama , Jakarta. Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakata. Anonim, 1974, Ekstra Pharmakope Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Ansel, H. C 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi IV, Diterjemahkan oleh Farida Ibrahim, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

18

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Balsam, S. M and Sagarin, E, 1985. Cosmetics, Vol 1, 2nd ed, Science and Technology, New York. Butler, H., 1992. Pochers Perfumes Cosmetics and Soap, Vol III, Charpman and Hall, London, 1992. Cracken, A. W, and R. A, Cowson,1982 Clinical and Oral Microbiology, Hemisphere Publishing Corp, New York. Daliemunthe, S.H, 2008. Periodonsia, FKG Universitas Sumatera Utara, Medan. Glider WV and MS Hargrove., 2002.Using Bromelain in Pineapple Juice to Investigte Enzym Function., Lincoln. Herdyastuti, N,2006. Isolasi dan Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim Bromelain Dari Batang Nenas (Ananas comosus L. Merr), J Penel. Hayati,12, 75 77. Herijulianti, E., T. S Indriani, dan S.Artini, 2002, Pendidikan Kesehatan Gigi, EGC, Bandung. Hidayah ,A.N., S,Wijaya dan Sulistyaningsih.,2000,Enzim Bromelain dari Bongkol Nenas sebagai Bahan Pembersih Gigi Tiruan Resin Akrlirik, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Kelly G.S. 1996 .Bromelain : a literature review and discussion of its therapeutic applications. Altern. Med. Rev. 1: 405-410 Lachman, L. HA. Lieberman and J.L Kaning , 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri,edisi III, Diterjemahkan oleh S. Suyatmi, Universitas Indonesia press, Jakarta. Maurer HR., 2001. Bromelain; Biochemistry, pharmacology and medical use., Cell Mol, Life , Sci., 58 (9). Mori S, Ojima Y, Hirose T, SasakiT, Hashimoto Y.( 1972) The clinical

effect of proteolytic enzyme containing bromelain and trypsin on urinary tract infection evaluated by double blind method . Acta Obstet Gynaecol Jpn.19(3) :147153. Ngampanya B., and S Phongtongpasuk , 2006; Effects of Sucrose Concentration on Crude Bromelain Production of in Vitro Culture of Pineapple ( Ananas comosus var. 2Pattavia ). Kasetsart J. Nat. Sci , 40 : 129-134 . Nugraha, A.W., 2008. Steptoccus mutans Si Plak Dimana-mana, Fakultas Farmasi USD, Jogjakarta: 1-5. Ota, S E. Mutta, 1985. Reinvestigation of Fractionation and Some Properties of Proteolitically Active Components of Steam and Fruit Bromelain, J. Biochem, 98, 219 228. Ramli W., M.Fauzi., D.S.,Khrisna. 1990, Proses Penghasilan Bromelin Daripada Batang Nenas., Pertanika 13(1) .113-121 Rukmana, R., 1996 . Nenas Budidaya dan Pasca Panen, Kanisius, Yogyakarta.. Shahid SK, Turakhia NH, Kundra M, Shanbag P, Daftary GV, and, Schiess W 2002. Efficacy and safety of phiogezym-aprotease formulation, in septis in chidren. Assoc Physicians India. Apr 50527-31. Tarigan, R, 1990 , Karies Gigi, Hipokrates, Jakarta.. Voight, R, 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi edisi V, Diterjemahkan oleh S. Noerono, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Wilkinson, J and R.J.Moore, 1982. Harrys Cosmetology, George Goodwin HC, London.

19

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

FORMULASI KRIM EKSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR ( Ipomoeae batatas. L.. ) UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR Farida Rahim, Mimi Aria, Nurwani Purnama Aji STIFI Perintis - Padang

ABSTRACT Formulation of cream for treatment of burns has been studied. Cream formula consisting of 3% ethanol extract of sweet potato leaves as an active ingredient. Cream bases used in this study were variated with and without Virgin Coconut Oil (VCO). The formulas was evaluated for their organoleptic, homogeneity, pH, type of cream, particle size distribution, skin irritation test and effects on burns. The evaluation results showed that ethanol extract of sweet potato leaves can be formulated in creams which are physicaly stable and provide a healing effect on burns, which were tested on animals. The results showed that the F1B formula has the fastest healing effect on burns (7 days). From the statistical calculation using one-way analysis of variation (ANOVA) we found that sweet potato leaf ethanol extract containing cream provide healing on burns, which the value of F count treatment is smaller than the F table at 0.05. Keywords: Ipomoeae batatas, cream, VCO, burns

PENDAHULUAN Negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan buahbuahan tropis, tanaman holtikultural, sayur-sayuran dan tanaman pangan. Banyak sekali tanaman di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara komersil, salah satunya digunakan sebagai bahan obat (Rukman, 1997; Argomedia, 2008). Salah satu jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional adalah ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dari famili Convolvulaceae. Bagian tumbuhan ubi jalar yang digunakan adalah daun yang mengandung beberapa senyawa seperti saponin, flavonoid, polifenol dan umbinya mengandung beberapa senyawa seperti protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C (Rukmana,1997).

Virgin coconut oil merupakan minyak yang berasal dari buah kelapa (Cocos nucifera) tua segar yang diperoleh pada suhu rendah (<60 0C) yang terbentuk setelah santan didiamkan dalam beberapa hari (Setiaji, 2006) tanpa proses pemutihan sehingga menghasilkan minyak murni, VCO memiliki sederet manfaat dan khasiat baik medis maupun kosmetik. Kandungan dari VCO salah satunya adalah asam lemak rantai tak jenuh berperan sebagai agen antimikrobial yang hebat, fungsinya adalah menolak pembentukan radikal bebas dan kemampuan mempertahankan sistem kekebalan membuat minyak ini bermanfaat untuk mencegah dan mengobati berbagai gangguan kesehatan, VCO juga memiliki tekstur krim alami, bebas dari pestisida, dan kontaminan lainnya, susunan molekular kecilnya memudahkan penyerapan serta memberi tekstur yang lembut dan halus pada kulit (Hadibroto, 2006).

20

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Dari penjelasan di atas dicoba membuat formula ekstrak etanol daun ubi jalar dan Virgin Coconut Oil (VCO) dalam bentuk krim untuk pengobatan luka bakar. Krim dipilih karena sediaan ini mempunyai keuntungan diantaranya mudah dioleskan pada kulit, mudah dicuci setelah dioleskan, krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang basah, dan terdistribusi merata. Selanjutnya digunakan hewan percobaan untuk menguji aktifitasnya untuk pengobatan luka bakar, hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih.

Tabel 1. Formula Basis Krim Nama Bahan Asam stearat Trietanolamin adeps lanae Paraffin liquidum Virgin Coconut Oil (VCO) Nipagin Nipasol Aquadest ad F0A 14,5 1,5 3 25 0,1 0,05 100 F0B 14,5 1,5 3 5 20 0,1 0,05 100

Keterangan : F0A = Krim tanpa Virgin Coconut Oil (VCO) F0B = Krim dengan Virgin Coconut Oil

METODA PENELITIAN Bahan yang digunakan adalah daun ubi jalar putih, Virgin Coconut Oil (VCO), etanol 96%, asam stearat, trietanolamin, adeps lanae, paraffin liquid, nipagin, nipasol, aquadest. Alat yang digunakan adalah alatalat gelas standar laboratorium, kaca arloji, cawan penguap, botol semprot, corong, kertas perkamen, pH meter Inolab, timbangan digital, mortir, stamper, waterbath, oven vakum, lemari pendingin, desikator, buret, botol marserasi, rotary evaporator, pipet tetes, krus porselin, oven, batang pengaduk, plat tetes, pinset. Ekstrak daun ubi jalar dibuat dengan cara maserasi selama lima hari menggunakan etanol 96%. Ekstrak kental yang diperoleh dievaluasi organoleptis, kelarutan, penetapan kandungan air, kadar abu, pemeriksaan pH, kandungan kimia.

Basis krim dibuat dengan cara: Semua bahan yang diperlukan ditimbang, kemudian fase minyak dipindahkan dalam cawan penguap, dipanaskan diatas waterbath dengan suhu 70oC sampai lebur. Fase air di panaskan di atas waterbath pada suhu 70oC sampai lebur. Fase minyak dipindahkan kedalam lumpang dan ditambahkan fase air (pencampuran dilakukan pada suhu 60oC 70oC), digerus sampai dingin dan terbentuk masa krim yang homogen.
Tabel 2. Formula Krim Ekstrak Etanol daun ubi jalar Nama Bahan Ekstrak etanol daun ubi jalar Basis Krim ad F1A 3% 100 F1B 3% 100

Keterangan : F1A = Krim dengan konsentrasi Ekstrak Etanol daun ubi jalar 3% tanpa VCO F1B = Krim dengan konsentrasi Ekstrak Etanol daun ubi jalar 3% dengan VCO

Krim dibuat dengan cara: ditimbang ekstrak etanol daun ubi jalar 3% digerus dalam lumpang ditambahkan

21

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

sedikit demi sedikit basis krim ad 100 g digerus pelan-pelan sampai homogen. Pemeriksaan basis krim dan krim meliputi organoleptis, homogenitas, tipe krim, pH, distribusi ukuran partikel, daya tercuci krim dan uji iritasi kulit. Uji efek luka bakar dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan mencit 15 ekor untuk 5 kelompok, masing-masing kelompok 3 ekor. Spatel dibakar dengan nyala api 60 detik, sepatel tersebut ditempelkan pada kulit punggung mencit yang sudah dirontokkan bulunya selama 5 detik. Pada kulit yang melepuh atau mengalami luka bakar tersebut dioleskan formula krim secara tipis dan merata 3 kali sehari untuk masingmasing formula. Kemudian dilakukan pengamatan setiap hari untuk melihat efeknya sampai terjadi penyembuhan total. Parameter yang diamati adalah hilangnya vesikel dan perubahan warna kulit dari pucat menjadi pucat hilang.
Tabel III. Hasil Pemeriksaan Organoleptis batatas. L) No Formula Organoleptis I 1. F0A Bentuk SP Warna P Bau BK 2. F0B Bentuk SP Warna Hi Bau BK 3. F1A Bentuk SP Warna P Bau BK 4. F1B Bentuk SP Warna Hi Bau BK Keterangan : F0A F0B FIA FIB Hi P SP BK

Pada pengujian efek ini digunakan Lanakeloid-E sebagai pembanding. HASIL DAN PEMNBAHASAN Ekstrak etanol daun ubi jalar dan VCO diformula dalam bentuk krim, dengan konsentrasi ekstrak 3%. Basis krim dan krim yang dibuat di evaluasi meliputi pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pemeriksan tipe krim, pH krim, yang dilakukan setiap minggu selama 8 minggu. Pada pemeriksaan organoleptis formula basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar tidak menunjukkan adanya perubahan bentuk, warna dan bau. Pada pemeriksaan homogenitas basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar menunjukkan bahwa semua sediaan telah homogen dan terdispersi merata, pemeriksaan ini dilakukan setiap minggu selama 8 minggu pengamatan.
Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar (Ipomoea Minggu ke IV V SP SP P P BK BK SP SP Hi Hi BK BK SP SP P P BK BK SP SP Hi Hi BK BK

II SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

III SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

VI SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

VII SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

VIII SP P BK SP Hi BK SP P BK SP Hi BK

: Basis krim tanpa Virgin Coconut Oil ( VCO ) : Basis krim dengan Virgin Coconut Oil ( VCO ) : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % tanpa VCO : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % dengan VCO : Hijau : Putih : Setengah Padat : Bau khas

22

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Hasil pemeriksaan tipe krim, tipe krim adalah minyak dalam air, pemeriksaan tipe krim dilakukan dengan menggunakan zat warna yaitu metilen blue memperlihatkan penyebaran metilen blue yang merata setelah diteteskan pada selapis krim diatas kaca objek.

Hasil pemeriksaan pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter inolab, pemeiksaan pH dilakukan terhadap basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar dan hasil pemeriksaan pH krim diperoleh ph berkisar antara 7,26 8,56.

Tabel IV. Hasil Pemeriksaan pH Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar ( Ipomoea batatas. L) Minggu ke IV V 8,17 7,98 7,84 7,57 8,02 7,48 7,73 7,26 Ratarata 8,15 7,70 7,78 7,69

No 1. 2. 3. 4.

Formula FOA FOB F1A F1B

I 7,78 7,81 8,27 8,0

II 8,56 7,74 7,92 8,06

III 8,21 7,81 7,86 8,04

VI 8,12 7,53 7,65 7,61

VII 8,22 7,62 7,51 7,41

VIII 8,19 7,69 7,53 7,45

Pada pemeriksaan distribusi ukuran partikel diperoleh rata-rata ukuran panjang FOA = 4, 8095 m, FOB = 4,837 m, F1A = 6,783 m, F1B = 4,991 m. Hasil pengamatan distribusi ukuran partikel basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar menunjukan rata-rata ukuran panjang kecil dari 10 m, hasil yang didapat masih memenuhi syarat karena dalam literatur dinyatakan ukuran partikel yang stabil secara fisik antara 1- 50 m. Hasil pemeriksaan uji iritasi dilakukan langsung pada manusia dengan cara uji tempel tertutup dimana sediaan uji 0,1 gr dioleskan pada lengan atas bagian dalam dengan luas 4 cm 2 , kemudian ditutup dengan kain kasa. Setelah 24 jam diamati gejala yang timbul. Pemeriksaan ini dilakukan terhadap 5 orang sukarelawan pada masing-masing formula. Hasil pemeriksaan uji iritasi pada 5 orang sukarelawan menunjukkan tidak ada satupun formula basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar yang mengakibatkan iritasi pada kulit panelis. Pada uji efek basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi jalar dan basis krim yang mengandung VCO dan yang tidak mengandung VCO terhadap

pengobatan luka bakar, ternyata memberikan sedikit variasi waktu penyembuhan. Formula yang memberikan waktu penyembuhan paling cepat adalah formula F1B dimana waktu yang diperlukan untuk penyembuhan selama 7 hari, Sedangkan FoA memberikan waktu penyembuhan selama 11 hari, FoB memberikan waktu penyembuhan selama 9 hari, F1A dan Lanakloid-E memberikan waktu penyembuhan 8 hari. Hal ini menunjukkan bahwa basis krim dan krim ektrak etanol daun ubi jalar dapat digunakan untuk penyembuhan luka bakar. Krim ekstrak etanol daun ubi jalar dengan menggunakan basis krim yang mengandung Virgin Coconut Oil (VCO) mampu memberikan efektifitas lebih cepat dibandingkan dengan formula lainnya. Daun ubi jalar yang digunakan mengandung flavonoid, saponin dan polifenol, dimana saponin ini mempunyai kemampuan sebagai pembersih sehingga dapat membantu mempercepat penyembuhan luka terbuka, flavonoid yang terkandung didalam daun ubi jalar dapat digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi luka karena mempunyai daya antiseptik (Harborne, 1987), sedangkan polifenol berkhasiat sebagai adstringen jika dioleskan pada jaringan hidup, polifenol

23

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

dalam pengobatan berkhasiat sebagai antiseptik yang berfungsi sebagai pelindung pada kulit dan bermanfaat untuk regenerasi jaringan, VCO yang digunakan mampu mempercepat penyembuhan luka bakar karena merupakan minyak yang mengandung asam lemak jenuh rantai sedang yang mendukung penyembuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Gani, et al, 2005). Dari perhitungan uji statistik analisa variasi satu arah (ANOVA) diketahui bahwa krim ekstrak etanol daun ubi jalar dapat memberikan penyembuhan terhadap luka bakar. Dimana nilai F hitung perlakuan lebih kecil dari pada F tabel pada 0,05. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstrak etanol daun ubi jalar dan Virgin Coconut Oil (VCO) dapat diformulasi dalam bentuk krim yang stabil secara fisika dan kimia selama 8 minggu penyimpanan. 2. Formula krim ekstrak etanol daun ubi jalar (Ipomoea batatas .L) dengan basis krim yang mengandung VCO (F1B) memberikan efek penyembuhan luka bakar yang paling cepat yaitu 7 hari. 3. Dari perhitungan uji statistik analisa variasi satu arah (ANOVA) diketahui bahwa krim ekstrak etanol daun ubi jalar dapat memberikan penyembuhan terhadap luka bakar, dimana nilai F hitung perlakuan lebih kecil dari pada F tabel pada 0,05

SARAN Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memformula ekstrak etanol daun ubi jalar dalam bentuk sediaan dan uji efektifitas farmakologi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA Ancel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Ed. 4, alih bahasa oleh Farida Ibrahim, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Anief, M., 1990, Ilmu Meracik Obat, Gaja Mada University Press, Yogyakarta. Anief, M, 1994, Farmasetika, Gaja Mada University Press, Yogyakarta. Anonim, 1972, Ekstrak Farmakope Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Ed.3, Ditjen POM Depkes RI, Jakarta. Anonim, 1982, Fomularium Kosmetik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1986, Sediaan Galenika, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 1991, Materia Medika Jilid V, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Ed.4, Ditjen POM Depkes RI, Jakarta Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Ditjen POM Depkes RI, Jakarta. Anonim, 2007, USP 30/ NF 25 Volume III, United States of America. Argomedia, redaksi., 2008, Buku Pintar Tanaman Obat, Argomedia Pustaka, Jakarta. Asrahyuni, H., 2006, Formulasi Gel Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar

24

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

(ipomoea batatas L.), Skripsi, Fakultas Farmasi, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Yayasan Perintis, Padang. Effendi, C., Editor, 1998, Parameter Pasien Luka Bakar, Penerbit Buku Kedoteran, Yogyakarta. Gani, Z., Herlinawati, Y., Dede, 2005, Bebas Segala Penyakit dengan VCO, Puspa Swara, Jakarta. Goodman, L.S, and Gilman., 1991, Pharmacologycal Basis of Edition, Terapheutic, 8th Pergamos Press, New York. Hadibroto, Cherry. Waluyo, Srikandi, 2006, Diet VCO, PT. Gramedia, Jakarta. Harahap, M., 1990, Penyakit Kulit, PT. Gramedia, Jakarta. Harbone, J.B., 1987, Metoda Fitokimia Penentuan Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, alih bahasa oleh Kosasih, Padmawinata, Terbitan ITB, Bandung. Hariana, A., 1995, Tumbuhan Obat dan Khasiatnya, Kanisius, Yogyakarta. Jellinek, S.J., Formulation and Fundaction of Cosmetics, Willey Intercienci, New York, London. Juanda, D.,2000, Ubi Jalar Budidaya dan Analisis Usaha Tani, Kanisius, Yogyakarta. Khristianto,2009.http://ekasi.com/indek. php/inf-sehat/292-daun-ular-obatdbd-paling-ampuh-?format=pdf Lachman. L., H.A. Lieberman and J.L Kaning, 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri II, Ed.3, alih bahasa oleh S.Suyami, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Mantagha, W., 1974, The Structure and Fuction of the Skin, New York. Martin, H.F., 1998, Fundamental of Anatomy and Phsiologi, 4th Edition, Prentice hall International, Inc.

Martin, A.N., et al, 1962, Physical pharmacy, 2th Edition, Lea and Febiger, Philadelphia. Moenajad, Y., 2001, Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis, Ed. 2, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Mursito, B.,2004, Sehat Diusia Lanjut Dengan Ramuan Tradisional, Penebar Swadaya, Jakarta. Osol, A.H., 1975, Remigton Pharmaceutical Sciense, 15th edition, Mack Publishing Comp, Easton, Pennsyluania. Padda, M.S., 2006, Phenolic Composition And Antioxidant Activity Of Sweet Potatoes,http//:etd.Isu.edu/docs/av ailable/etd-04062006085455/unrestricted/paddadis.Pdf., [5 Juni 2010] Rahim, F., 2006, Formulasi Krim Minyak Kelapa Murni Untuk Penyubur Rambut, Laporan Penelitian Dosen Muda, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Yayasan Perintis, Padang. Rukmana, R., 1997, Ubi Jalar Budi Daya dan Pasca Panen, Kanisius, Yogyakarta. Serial, F., 2005, Terapi Minyak Nabati Keampuhan VCO dan 16 Minyak Ajaib, Cetakkan ke-1, PT Samindra Utama, Jakarta. Setiaji, B., 2006, Membuat VCO Berkualitas Tinggi, Cetakan ke-2, Penebar Swadaya, Jakarta. Syamsuni,H., Editor 2006, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Jakarta. Voight, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Ed.5, alih bahasa oleh S.Noer, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

25

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

AKTIFITAS EKSTRAK ETANOL BIJI JINTAN HITAM (Nigella sativa Linn.) TERHADAP TITER ANTIBODI DAN JUMLAH SEL LEUKOSIT PADA MENCIT PUTIH JANTAN Suhatri dan Yufri Aldi Fakultas Farmasi Universitas Andalas ABSTRACT The research about Activity of Given Extract Jintan Hitam seed (Nigella sativa Linn.) for the titers antibody and amount of leucosit cell to the mice, the mice who has given induction anti-gen (Goat Eritrosit 5%) for the 1th, 7th, 14th day and given extract on to 15th day up to 20th day. From result of the research show that extract who give it at the dose 50 mg/kg BW, 100 mg/kg BW, 200 mg/kg BW can improvement the titers antibody. The amount bar neutrofil cell, monosit, and limfosit cell (P<0,01). Keywords: Nigella sativa, titer antibody, leucosit

PENDAHULUAN Pemakaian obat tradisional masih banyak digunakan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat di Indonesia meski sekarang sudah banyak orang menggunakan obatobatan modern sebagai pelengkap tetapi obat tradisional masih mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat. Pengobatan secara tradisional berdasarkan pada upaya untuk mengembalikan dan memperkuat penyembuhan secara alami (Donatus, 1983). Salah satu tanaman tradisional yang digunakan adalah Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.) yang merupakan rempah rempah yang telah digunakan sebagai tanaman obat. Rempah ini berbentuk biji hitam yang telah dikenal ribuan tahun yang lalu dan digunakan secara luas oleh masyarakat India, Pakistan, dan Timur Tengah untuk mengobati berbagai macam penyakit. Jenis tanaman ini telah disebutsebut sebagai tanaman obat dalam perkembangan awal agama Islam (Hendrik, 2009).

Penggunaan jintan hitam sebagai obat atau yang berkhasiat obat adalah pada bagian bijinya. Khasiat dari biji jintan hitam adalah untuk mengobati aneka penyakit seperti menguatkan sistem kekebalan tubuh, asama, bronkhitis, diabetes, meningkatkan produksi air susu ibu, anti histamin atau anti alergi, menjaga elastisitas kulit, anti oksidan, anti tumor, kanker, memperbaiki saluran pencernaan, anti bakteri, menurunkan kolesterol dan meningkatkan kinerja jantung. Kandungan kimia dari jintan hitam (Nigella sativa Linn.) ini mengandung nigellienine, nigellamine-n-oxide, minyak atsiri, minyak lemak, senyawa golongan alkaloid, saponin, steroid, alkaloid isokuinolin, oleat, dan linolenat (Hendrik, 2009). Jintan hitam (Nigella sativa Linn.) merupakan tanaman yang dapat merangsang dan memperkuat sistem imun tubuh manusia melalui peningkatan jumlah, mutu, dan aktivitas selsel imun tubuh. Proteinprotein yang terkandung dalam ekstrak jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dapat menghasilkan efek stimulator pada sistem imun tubuh. Jintan hitam ini

26

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

bekerja sebagai imunomodulator yaitu yang bekerja dengan cara melakukan modulasi (perbaikan) terhadap sistem imun (Bellanti, 1993). Mekanisme pertahanan ini dibagi menjadi dua kelompok fungsional, yaitu pertahanan non spesifik dan spesifik. Pertahanan non spesifik meliputi kulit dan membran mukosa, mekanisme pertahanan ini merupakan bawaan (innate) artinya pertahanan tersebut secara alamiah ada dan tidak adanya dipengaruhi secara intrinsik oleh kontak dengan agen infeksi sebelumnya (Bratawijaya,1993). Mekanisme pertahanan ini berperan sebagai garis pertahanan pertama dan menghambat kebanyakan patogen potensial sebelum menjadi infeksi yang tampak (Subowo, 1993; Tizar, 1988). Mekanisme pertahanan spesifik meliputi sistem imunitas humoral yaitu dengan produksi antibodi oleh sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Sistem pertahanan ini bersifat adaptif dan didapat, yaitu menghasilkan reaksi spesifik pada setiap agen infeksi yang dikenali karena telah terjadi paparan terhadap mikroba tersebut sebelumnya. Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit dikemudian hari (Tizar, 1988). Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan molekul terlarut yang diseksresikan oleh sel-sel tersebut. Sel sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel B, sel T, dan sel NK), sel fagosit (neutrofil, eusinofil, monosit dan magrofag), sel asesori (basofil, sel mast, dan trombosit), selsel jaringan. Bahan terlarut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen, mediator radang, dan sitokin. Sel sel lain dalam jaringan walaupun bukan merupakan bagian utama dari respon imun juga dapat berperan serta dengan memberi isyarat pada limfosit atau

berespon terhadap sitokin yang dilepaskan oleh limfosit atau makrofag (Wahab, 2002). Berdasarkan hal diatas maka peneliti telah melakukan pengujian aktivitas ekstrak etanol biji jintan hitan (Nigella sativa Linn.) terhadap sistem imun non spesifik dengan menghitung jumlah antibodi menggunakan metoda titer antibodi, menghitung bobot relatif limfa mencit putih jantan dan menghitung jumlah sel leukosit dengan metoda hapusan darah pada mencit putih jantan.

METODOLOGI PENELITIAN Alat Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat alat destilasi vakum, rotary evaporator, botol maserasi, jarum suntik, gunting, timbangan, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, kaca objek, plat tetes, lumpang dan alu, vial, spatel, dan mikroskop. Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah biji jintan hitam, etanol 96%, air suling, NaCl fisiologis, eritrosit kambing, minyak emersi, metanol murni, pewarna Giemsa (D6 100-darstadt), heparin (D34209 Melsungen Germany). Prosedur Kerja Pembuatan Sampel 1 kg Biji jintan hitam diekstraksi dengan etanol 96 % kemudian pelarutnya diuapkan secara vakum sehingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 29,85 g. Terhadap ekstrak kental ini dilakukan standarisasi ekstrak seperti kandungan metabolit sekunder dan susut pengeringan.

27

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Pembuatan antigen Darah kambing dicuci dengan larutan NaCl fisiologis (1:1) masing masing sebanyak 5 ml aduk homogen.kemudian disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit, buang supernatannya, ulangi 3 kali dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis setiap pengulangan. Setelah didapatkan eritrosit kambing kemudian buat suspensi 5% (ambil 0,2 ml eritrosit kambing lalu cukupkan dengan NaCl fisiologis hingga volume suspensi 4 ml). Pembuatan larutan uji Larutan uji dengan dosis 50 mg/kg BB dibuat dengan cara mensuspensikan 50 mg ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dengan 50 mg Na CMC yang dikembangkan dengan air panas 1 ml, kemudian digerus dan ditambahkan kedalam ekstrak yang telah ditimbang, gerus homogen dan cukupkan volume dengan aquadest sampai volume 10 ml. Gunakan cara yang sama untuk dosis 100, 200 mg/kg BB dengan berat ekstrak masing-masing 0,1 dan 0,2 gram untuk volume 10 ml. Sensititasi Hewan Hewan percobaan yang telah diaklimatisasi kemudian disensitisasi (pemberian antigen pertama) dengan 0,2 ml suspensi eritrosit kambing 5% pada hari 1 secara intra peritoneal, kemudian lakukan pembosteran dengan 0,1 ml suspensi eritrosit kambing 5% secara subkutan pada hari ke 7 dan 14. Suspensi ekstrak diberikan pada hari ke 15 sampai hari ke 20 secara oral dengan dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 200 mg/kg BB. Penentuan Titer Antibodi Pada hari ke 21 mencit dibunuh, ambil darah dengan cara memotong

vena bagian leher, biarkan selama 30 menit, lalu disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Ambil bagian serumnya, siapkan 10 buah tabung reaksi, masukkan larutan NaCl fisiologis 0,2 ml pada masing-masing tabung. Pada tabung pertama ditambahkan 0,2 ml serum, kocok sampai homogen. Pipet 0,2 ml larutan pada tabung pertama pindahkan kedalam tabung kedua kemudian kocok dan pipet 0,2 ml larutan pada tabung kedua dan pindahkan kedalam tabung ketiga, kemudian kocok sampai homogen. Lakukan hal ini sampai pada tabung reaksi kesepuluh. Pada tabung kesepuluh, buang 0,2 ml larutan, sehingga hasil pengenceran dari serum yaitu , , 1/8, 1/16 , 1/32, 1/64, 1 /128, 1/256, 1 /512, dan 1/1024. Masukkan 0,1 ml suspensi eritrosit kambing 5 % kedalam masing-masing tabung reaksi tersebut. Sentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit, amati penggumpalan yang terjadi. Angka titer ditentukan dengan pengenceran tertinggi yang masih dapat beraglutinasi dengan eritrosit kambing (Sadikin, 2008). Angka titer dihitung dengan rumus : 2 Log Pengenceran Menghitung Jumlah Sel Leukosit dari Metode Hapusan Darah Darah segar diteteskan pada gelas objek satu tetes, lalu tipiskan dan ratakan dengan gelas objek lain sehingga diperoleh lapisan darah yang homogen (hapusan darah), lalu keringkan. Setelah kering tetesi dengan metanol, sehingga menutupi seluruh hapusan darah, biarkan 5 menit. Tambahkan satu tetes larutan Giemsa yang telah diencerkan dengan aquadest (1:20), biarkan selama 20 menit. Cuci dengan aquadest, setelah kering lihat di mikroskop. Kemudian hitung jumlah sel eusinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit, dan monosit pada perbesaran 1000 X dengan

28

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

menggunakan minyak (Supandiman, 1997).

emersi

Pengolahan Data (Schefler, 1998) Pada penelitian ini data yang diperoleh diolah secara analisis statistik dengan menggunakan metode ANOVA satu arah.

Perhitungan Jumlah Sel Limfosit pada Limfa 1. Penimbangan bobot limfa relatif Setelah darah mencit diambil untuk pengujian titer antibodi, kemudian mencit dibedah dan diambil limfanya, timbang bobot relatifnya satu persatu. Bobot limfa relatif terhadap kontrol dihitung dengan rumus :

HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak etanol jintan hitam mengandung metabolit sekunder alkaloid, steroid dan saponin dengan nilai susut pengeringan adalah sebesar 27,18 %. Hasil susut pengeringan ini dijadikan faktor konversi terhadap penimbangan dosis yang akan digunakan. . Angka titer ditentukan pada pengenceran tertinggi dari serum mencit yang masih dapat beraglutinasi dengan sel darah merah kambing (Subowo, 1993). Angka titer dapat dicari dengan rumus 2log 4 maka angka titernya adalah 2. Aglutinasi yang terjadi dipengaruhi oleh komplemen. Komplemen yaitu salah satu enzim serum yang berasal dari sistem imun non spesifik yang larut dalam keadaan tidak aktif, tetapi sewaktu-waktu dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti antigen, komplek imun dan sebagainya. Sedangkan pada kontrol positif aglutinasi terjadi 2log 16 maka angka titernya adalah 4. Tabel I. menunjukkan bahwa dengan peningkatan dosis pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam dapat meningkatkan angka titer antibodi yang merupakan respon imun spesifik.

Bobot limfa dosis 100% Bobot mencit


2. Penghitungan jumlah sel limfosit Setelah didapatkan bobot relatif limfa, timbang 50 mg limfa kemudian suspensikan dalam 2 ml larutan dapar pospat pH 7,4 gerus sampai halus dan homogen. Pipet sebanyak 20 l larutan limfa, lalu letakkan pada kaca objek dan biarkan mengering, setelah itu difiksasi dalam metanol selama 2 menit kemudian dibilas dengan aquadest dan kering anginkan. Encerkan dengan pewarna Giemsa denga dapar pospat, dengan perbandingan (1:20), preparat yang telah difiksasi, diwarnai dengan cara meneteskan pewarna Giemsa sebanyak 10 tetes biarkan selama 5 menit, kemudian bilas dengan air suling dan kering anginkan. Hitung jumlah sel limfositnya dibawah mikroskop menggunakan minyak emersi dengan perbesaran 1000 X. Persen kenaikan sel dihitung dengan rumus : limfosit

Jumlah sel limfosit dosis 100 % Jumlah sel limfosit kontrol

29

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045 Tabel I. Titer Antibodi dari Serum Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigendan Pemberian Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella Sativa Linn.) 1 2 3 2 2 2 No x log Angka log Angka log Angka x Pengenceran Titer Pengenceran Titer Pengenceran Titer 2 2 2 I log 4 2 log 4 2 log 4 2 2 6 2 2 2 II log 8 3 log 16 4 log 16 4 3,67 11 2 2 2 III log 16 4 log 32 5 log 32 5 4,67 14 2 2 2 IV log 64 6 log 256 8 log 128 7 7 21 2 2 2 V log 256 8 log 128 7 log 256 8 7,67 23

Dari hasil uji statistik analisa varian satu arah dan dilanjutkan ke uji berjarak Duncan, didapatkan pengaruh dosis sangat signifikan terhadap jumlah sel netrofil segmen, limfosit, monosit dan tidak signifikan terhadap sel eusinofil

dan neutrofil batang. Maka pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dapat meningkatkan jumlah sel leukosit darah yang merupakan sistem imun alamiah (non spesifik).

Tabel II. Hasil Perhitungan Sel Leukosit Pada Darah Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigen dan Pemberian Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella Sativa Linn.) Netrofil Netrofil Kelompok Hewan Eusinofil Limfosit Monosit Batang Segmen I 1 2.00 4.00 56.00 33.00 5.00 2 3.00 5.00 53.00 32.00 7.00 3 3.00 5.00 58.00 28.00 6.00 2.67 0.58 4.67 0.58 55.67 2.52 31.00 2.65 6.00 1.00 SD

x II 1 2 3

8.00 1.00 2.00 1.00 1.33 0.82 4.00 1 2 3 3.00 2.00 2.00 2.33 0.69 7.00 1 2 3 4.00 2.00 1.00 2.33 1.25 7.00 1 2 3 3.00 1.00 1.00 1.67 1.00

14.00 6.00 4.00 7.00 5.67 1.34 17.00 9.00 5.00 7.00 7.00 1.76 21.00 8.00 7.00 10.00 8.33 1.41 25.00 9.00 11.00 8.00 9.33

167.00 48.00 47.00 41.00 45.33 6.02 136.00 37.00 38.00 41.00 38.67 3.74 116.00 36.00 32.00 35.00 34.33 2.75 103.00 31.00 32.00 29.00 30.67

93.00 36.00 37.00 39.00 37.33 3.40 112.00 41.00 43.00 42.00 42.00 2.47 126.00 45.00 49.00 45.00 46.33 2.87 139.00 50.00 49.00 53.00 50.67 2.75

18.00 9.00 10.00 12.00 10.33 2.50 31.00 10.00 12.00 11.00 11.00 0.88 33.00 7.00 6.00 9.00 7.33 2.22 22.00 5.00 7.00 9.00 7.00 1.64

x SD
x III

x SD
x IV

x SD
x V

x SD

30

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045 1.34 28.00 2.22 92.00

5.00

152.00

21.00

Penentuan bobot limfa relatif mencit, untuk melihat pengaruh antigen dan ekstrak yang diberikan apakah mengalami perubahan. Berdasarkan hasil kenaikan bobot limfa relatif maka dilakukan perhitungan sel limfosit pada limfa. Dari data dapat dilihat bahwa

kenaikan bobot limfa relatif juga diikuti dengan kenaikan sel limfosit pada limfa. Kenaikan sel limfosit dan bobot relatif disebabkan karena pada limfa terjadi, diverensiasi, dan poliferasi limfosit, sehingga terjadi pembesaran pada limfa.

Tabel III. Bobot Relatif Limfa Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigen dan Pemberian EkstrakEtanol Biji Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.) Bobot Bobot Bobot Kelompok Hewan Limfa Relatif Mencit (gr) Limfa (gr) (%) I 1 30.00 0.17 0.57 2 29.00 0.15 0.52 3 28.00 0.15 0.54 29.001.00 0.160.01 0.540.03 SD

x II 1 2 3

87.00 29.00 24.00 27.00 26.672.52 80.00 1 2 3 27.00 27.50 28.00 27.500.50 82.50 1 2 3 25.00 25.00 26.50 25.500.87 76.50 1 2 3 27.50 26.50 28.00 27.330.76 82.00

0.47 0.12 0.08 0.11 0.100.02 0.31 0.10 0.10 0.13 0.110.02 0.33 0.13 0.10 0.14 0.120.02 0.37 0.15 0.13 0.15 0.140.01 0.43

1.63 0.41 0.33 0.41 0.380.05 1.15 0.37 0.36 0.46 0.400.06 1.19 0.52 0.40 0.52 0.480.07 1.44 0.55 0.49 0.54 0.530.03 1.58

x SD
x III

x SD
x IV

x SD
x V

x SD
x

31

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045 Tabel VI. Jumlah Persentase Sel Limfosit Pada Limfa Mencit Putih Jantan setelah Diinduksi Antigen dan Pemberian Ekstrak Etanol Biji Jintan Hitam (Nigella sativa Linn.) Kelompok I Hewan 1 2 3 Eusinofil 1.00 1.00 1.00 1.000.00 3.00 1 2 3 1.00 0.00 0.00 0.330.58 1.00 1 2 3 2.00 0.00 1.00 1.001.00 3.00 1 2 3 1.00 1.00 2.00 1.330.58 4.00 1 2 3 1.00 0.00 1.00 0.670.58 2.00 Netrofil Batang 3.00 1.00 2.00 2.001.00 6.00 2.00 3.00 2.00 2.330.58 7.00 1.00 2.00 2.00 1.670.58 5.00 1.00 1.00 3.00 1.671.15 5.00 1.00 1.00 1.00 1.000.00 3.00 Netrofil Segmen 38.00 40.00 42.00 40.002.00 120.00 37.00 32.00 43.00 37.335.51 112.00 30.00 37.00 34.00 33.673.51 101.00 26.00 30.00 20.00 25.335.03 76.00 29.00 22.00 25.00 25.333.51 76.00 Limfosit 57.00 58.00 52.00 55.673.21 167.00 56.00 64.00 53.00 57.675.69 173.00 67.00 56.00 61.00 61.335.51 184.00 71.00 66.00 73.00 70.003.61 210.00 69.00 77.00 71.00 72.334.16 217.00 Monosit 1.00 0.00 3.00 1.331.53 4.00 4.00 1.00 2.00 2.331.53 7.00 0.00 5.00 2.00 2.332.52 7.00 1.00 2.00 2.00 1.670.58 5.00 0.00 0.00 3.00 1.001.73 3.00

x SD
x II

x SD
x III

x SD
x IV

x SD
x V

x SD
x

Dari empat parameter yang diamati,

pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.), dapat meningkatkan antibodi yang merupakan sistem imun dapatan (non spesifik) dan jumlah sel leukosit yang merupakan sistem imun alamiah (spesifik) dan ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) ini juga bersifat imunostimulan. Kedua sistem imun diatas berperan penting dalam melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme. Maka penggunaan ekstrak etanol biji jintan hitam sangat

efektif imun.

untuk

meningkatkan

sistem

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemberian ekstrak etanol biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) dapat meningkatkan titer antibodi pada dosis 50 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, dan 200 mg/kg BB dan dapat meningkatkan jumlah limfosit, dan monosit sangat signifikan (P<0,01), menurunkan jumlah neutrofil segmen

32

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

sangat signifikan (P<0,01), sedangkan sel eusinofil dan neutrofil batang tidak signifikan. DAFTAR PUSTAKA Donatus, I.A, 1983, Peranan Farmakologi Dalam Pengembangan Obat Tradisional, oleh Husin, M, Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III, Fakultas Farmasi Gajah Mada, Jogjakarta. Depkes RI, 1988, Pedoman Periklanan Obat Tradisional, Direktorat Jendral POM vol 15, No. 2, Jakarta. Hendrik, 2009, Habbatus Sauda, Pustaka Iltazam, Solo. Bellanti, J.A., 1993, Immunologi III, Diterjemahkan oleh A. S. Wahab, dan N. Soerapto, Gajah Mada Press, Yogyakarta. Bratawijaya, K. G., 2004, Imunogi Dasar, edisi ke-6, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Subowo, 1993, Imunobiologi, Cetakan ke-1, Angkasa Bandung. Tizar, I. R., 1988, Pengantar Imunologi Veteriner, Edisi 1, Penerjemah Soehardjo Hardjosworo, Airlangga Universitas Press, Surabaya. Wahab, 2002, S.A dan Julia M, Sistem Imin, Imunisasi dan Penyakit Imun, Widya Medika, Jakarta. Sadikin, M., 2008 Antibodies Titers in Rat Immunized Agains Sheep Red Blood Cell (SRBC), diakses dari http :www.google.com, Jakarta. Supandiman, I. , 1997, dkk, Pedoman Terapi Haematologi Onkologi, Penerbit alumni, Bandung. Schefler,C.W., 1998, Statistika Untuk Biologi, Farmasi, Kedokteran dan Ilmu Bertautan, diterjemahkan oleh Suroso, Edisi III, Penerbit ITB, Bandung. Subowo, 1993, Imunobiologi Klinik, Penerbit Angkasa, Bandung.

33

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

PENETAPAN POLA RESISTENSI ANTIBIOTIKA (Vibrio parahaemolyticus) HASIL ISOLASI DARI CUMI-CUMI (Loligo vulgaris) DAN KEPITING BAKAU (Scylla serratta) Ria Afrianti1, Marlina2, M. Husni Mukhtar2 STIFI Perintis, 2 Fakultas Farmasi Universitas Andalas

ABSTRACT The characteristics of Vibrio parahaemolyticus resistances were observed from Squid (Loligo vulgaris) and mangrove crab (Scylla serratta) in Padang using differential medium CHROMAgar Vibrio. Antibiotic resistances were tested on fourty two cultures of Vibrio parahaemolyticus by Krumperman diffusion method toward six kinds of antibiotic. The percentage of Vibrio parahaemolyticus resistances ampicillin, chloramphenicol, erythromycin, gentamicin, sulfametoxazol, and toward tetracycline were 76,19 %, 19,05 %, 52,38 %, 26,19 %, 92,86 %, 26,19 % respectively, value of Multiple Antibiotics Resistances (MAR) was 0,46.

Keywords : Vibrio parahaemolyticus, Antibiotics resistances, Loligo vulgaris, Scylla serratta PENDAHULUAN Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma, mempunyai flagela polar, fakultatif anaerob, tumbuh baik pada medium dengan kadar NaCl 1-8 % sehingga termasuk bakteri halofilik. Penyakit yang ditimbulkannya adalah gastroenteritis dengan gejala-gejala diare, keram perut, mual, muntah, demam (Gerard, 1982; Barrow 1993; Mier 1996). Masa inkubasinya 4-96 jam dengan rata-rata 15 jam. Untuk dapat menimbulkan infeksi, bakteri harus melalui tahap kontak dengan permukaan mukosa usus, penetrasi ke dalam mukosa usus, menetap di dalam sel epitel usus dan memperbanyak diri (Postnova, 1996). Pengobatan dilakukan dengan mengganti cairan elektrolit tubuh yang hilang akibat diare, seperti pemberian larutan 0,5% NaCl, 0,5% NaHCO3 dan 0,1% KCl ke dalam pembuluh darah (Boyd, 1980). Pada serangan akut, diberikan antibiotika seperti tetrasiklin, ampisilin, dan siprofloksazin (Doyle, 1989). Tetapi, penggunaan antibiotika yang tidak diawasi mengakibatkan suatu sifat tidak terganggunya aktifitas sel bakteri pada pemberian antibiotika. Sifat ini dikenal dengan istilah resistensi sel bakteri (Ganiswarna, 1995). Perkembangan resistensi merupakan proses alamiah yang dilakukan bakteri guna mengembangkan toleransi terhadap keadaan lingkungan yang baru (Pelczar et al, 1988). Bakteri yang telah resisten memiliki gen untuk melindungi dirinya dari efek bakterisida suatu antibiotika. Gen resistensi dari bakteri yang telah resisten terhadap suatu antibiotika dapat dipindahkan ke bakteri lain melalui mekanisme transformasi, transduksi ataupun konjugasi selama berlangsungnya pengobatan menggunakan antibiotika (Pelczar et al, 1988; Waturangi, 2000). Resistensi sel bakteri terhadap suatu antibiotika yang terjadi di rumah sakit

34

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

cukup tinggi (Radu, 2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengamati penetapan resistensi bakteri terhadap antibiotika, khususnya bakteri V. parahaemolyticus. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan suatu kajian tentang sifat resistensi bakteri Vibrio cholerae yang diisolasi dari feses balita penderita diare dan limbah cair di rumah sakit terhadap beberapa antibiotika (Harta, 2004). Beranjak dari penelitian tersebut maka dilakukan penelitian mengenai sifat resistensi bakteri V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel Cumi-cumi (Loligo vulgaris) dan kepiting bakau (Scylla serratta) di kota Padang terhadap beberapa antibiotika.

Isolasi bakteri parahaemolyticus

Vibrio

METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Jarum ose, spatel, batang pengaduk, beaker glass, cawan petri, erlenmeyer, hot plate, jangka sorong, kapas lidi, effendorf, lemari pendingin, lampu spiritus, lampu UV, pot salep, pinset, pipet mikro, sentrifugator, timbangan digital (Mettler PM 200), water bath, vortex, autoklaf, incubator, Rotary shaker inkubator, laminar air flow. Sampel, Media CHROMagar Vibrio (CHROMagarTM), media Luria Burtani (LB) broth, media Mueller Hinton (Merck), aquadest steril, etanol 70%, disk antibiotika (BBL). Pengambilan sampel Sampel dibeli dari penjual cumicumi dan kepiting dipinggir pantai purus, kota Padang, kemudian diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Hewan Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Andalas Padang.

Ditimbang 10 g sampel yang telah dihaluskan kemudian dimasukan dalam erlemeyer dan ditambahkan Salt Poymixin Broth ( SPB) hingga 100 ml. Inkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Setelah di inkubasi kemudian dilakukan pengenceran mulai dari 101 sampai 105 dengan cara memipet 0,1 ml sampel induk dimasukan kedalam 0,9 ml media SPB dalam tabung ependof untuk pengenceran 101 , selanjutnya 0,1 ml dari pengenceran 101 dimasukan kedalam 0,9 ml media SPB dalam tabung ependorf untuk pengenceran 102 demikian seterusnya sampai pengenceran 105. Setelah masingmasing pengencean ditanam pada media CHROMAgar Vibrio dalam cawan Petri. Lalu inkubasi lagi pada suhu 37C selama 24 jam. Biakan dalam cawan Petri akan memberikan koloni ungu yang menandakan adanya bakteri V.parahaemolyticus. Uji resistensi bakteri Vibrio parahaemolyticus terhadap antibiotika Cakram antibiotika yang digunakan dengan konsentrasi yang telah ditetapkan sebagai berikut:
Golongan Penisilin Kloramfenikol Eritromisin Aminoglikosida Sulfonamida Tetrasiklin Antibiotik Ampisilin Kloramfenikol Eritromisin Gentamisin Sulfametoksazol Tetrasiklin Konsentrasi (g ) 10 30 10 15 5 30

Uji resistensi antibiotik dilakukan terhadap beberapa kultur V.parahaemolticus yang diisolasi dari Scylla serratta dan Loligo vulgaris. Biakan yang telah diremajakan dalam

35

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

LB broth diambil dengan pipet mikro sebanyak 100 l dan di tanam pada medium Mueller hinton Agar dengan meratakanya pada permukaan media menggunakan lidi kapas steril. Disk antibiotik ditaruh hati-hati diatas biakan bakteri dan ditekan perlahan dengan pinset steril supaya benar-benar kontak dengan bakteri. Jarak Disk dengan tepi cawan Petri 15 mm dan jarak antar Disk 24 mm. Biakan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C.

Daerah hambatan yang terlihat sebagai wilayah bening disekitar disk antibiotik diukur diameternya dan karakter resistensi dari bakteri tersebut terhadap antibiotik dibandingkan terhadap tabel standard. Analisa Data Persentase resistensi bakteri terhadap antibiotika dihitung untuk setiap jenis antibiotika dengan menggunakan persamaan:

% Re sistensi

Jumlah kultur yang resisten x 100 % Jumlah kultur yang diuji

Perhitungan Nilai MAR dengan menggunakan persamaan Krumperman:


MAR =

x y

Keterangan : = Multiple Antibiotics Resistance = Jumlah bagian yang resisten terhadap antibiotika dari satu kultur yang digunakan y =Jumlah antibiotika yang digunakan vibrio halofilik dan menekan keberadaan Resistensi suatu koloni bakteri spesies lain, penambahan ini sesuai terhadap antibiotika dikatakan tinggi dengan kadar optimal untuk jika memiliki nilai Multiple Antibiotics pertumbuhan V.parahaemolyticus. Kultur pada media SPB ditanam pada Resistance (MAR) 0.2. medium spesifik CHROMAgar vibrio, kemudian di inkubasi pada suhu HASIL DAN PEMBAHASAN 37C selama 24 jam. Terbentuknya Media yang digunakan untuk warna ungu menandakan pada kedua isolasi bakteri Vibrio parahaemolyticus sampel yaitu cumi-cumi (L.vulgaris) dan yaitu media pengaya SPB yang kepiting bakau (S.serratta) ada mengandung antibiotik Polymixin B, V.parahaemolyticus. dimana bakteri V.parahaemlyticus resisten terhadap antibiotik ini, dan Terapi utama untuk mengatasi masih memiliki aktifitas terhadap dehidrasi pada penyakit gastroenteritis spesies vibrio yang lainya, sehingga adalah penggantian cairan dan elektrolit pertumbuhan V. parahaemolyticus akan baik secara oral maupun secara tetap berlangsung, sedangkan intravena. Walaupun demikian, terapi pertumbuhan spesies vibrio lainya dengan antibiotik juga penting karena dihambat. Pada media SPB harus dalam beberapa kasus, terapi dengan ditambahkan 3% NaCl yang bertujuan antibiotik dapat mengurangi durasi diare untuk meningkatkan jumlah dan ekskresi serta mengontrol V.parahaemoyticus sebagai spesies MAR x

36

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

penyebaran penyakit ini, sehingga hasil pengujian sifat resisten V. parahaemolyticus terhadap antibiotik sangat penting untuk pemilihan antibiotik yang tepat (Ganiswara, 1995). Uji resistensi terhadap antibiotik pada penelitian ini menggunakan metode difusi krumpermen karena metoda ini merupakan metoda yang sederhana tetapi efektif memberi informasi untuk pengujian sifat resisten bakteri terhadap beberapa antibiotik. Ampisilin merupakan senyawa prototipe golongan aminopenisilin. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Ampisilin bekerja dengan menghambat sintesa dinding sel bakteri. Dari hasil, diperoleh 76,19 % kultur resisten terhadap antibiotik ini. Kloramfenikol adalah salah satu obat alternatif untuk diare (Ganiswara, 1995). Antibiotik ini bekerja menghambat enzim petidil transperase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan peptida pada proses sintesis protein bakteri. Umumnya bersifat bakteriostatik, pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid. Dari penelitian ini diperoleh hasil 19,05% kultur resisten terhadap kloramfenikol. Hal ini berarti antibiotik ini masih dapat digunakan sebagai terapi. Resistensi pada kloramfenikol dapat muncul bila bakteri mampu membentuk enzim klorampenikolasetil tranferase yang mampu merusak aktifitasnya. Eritromisin termasuk golongan makrolida yang bersifat bakteriostatik tapi dapat juga bersifat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap organisme yang rentan. Dari hasil, diperoleh 52,38% kultur resisten terhadap antibiotik ini, resisten dapat timbul karena resistensi silang. Gentamisin merupakan senyawa aminoglikosida pilihan utama karena harganya murah dan aktivitasnya yang

diandalkan terhadap semua infeksi kecuali terhadap bakteri aerob gram negatif yang paling resisten. Dari hasil diperoleh (26,19%), antibiotik ini masih peka dengan V.parahaemolyticus, namun penggunaan antibiotik ini harus diperhatikan karena memiliki efek samping yang berbahaya yakni dapat menimbulkan nefrotoksik (Goodman & Gilman, 2007). Sulfametoksazol pada umumnya dikombinasikan dengan trimetoprim merupakan senyawa antibiotik yang efektif secara klinis. Kombinasinya akan berupa efek yang sinergis, namun pada penelitian ini digunakan Sulfametoksazol, dari hasil diperoleh 92,86% kultur yang resisten terhadap sulfametoksazol, resisten dapat timbul karena penyebaran resisten yang diperantarai oleh plasmid. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dan bekerja menghambat sintesa protein bakteri pada ribosomnya yaitu berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya kompleks tRNA asam amino pada lokasi asam amino (Ganiswara, 1995). Timbulnya resistensi terhadap tetrasiklin (26,19 %) terjadi karena proteksi melalui ribosom oleh protein sitoplasma.. Dari sekian banyak pola resistensi antibiotik terhadap isolat, ternyata sulfametoksazol mempunyai tingkat pola resistensi yang tinggi. Bakteri V.parahaemolyticus resisten terhadap sulfametoksazol (Handayani, Y, 2006). Resistensi suatu bakteri gram negatif dinyatakan tinggi jika mempunyai nilai Multiple Antibiotics Resistence ( MAR) > 0,3. Dari penelitian ini diperoleh nilai MAR rata-rata adalah 0,46. Hal ini menunjukan bahwa bakteri V.parahaemolyticus mempunyai tingkat resistensi yang cukup tinggi terhadap antibiotik yang digunakan.

37

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hasil uji resistensi dari 42 kultur murni V.parahaemolyticus menunjukkan bahwa 76,19 % kultur resisten terhadap ampisilin, 19,05 % kultur resisten terhadap kloramfenikol, 52,38 % resisten terhadap eritromisin, 26,19 % resisten terhadap gentamisin, 92,86 % resisten terhadap sulfametoksazol, 26,19 % resisten terhadap tetrasiklin. Nilai Multiple Antibiotics Resistence (MAR) yang diperoleh berkisar antara 0,3 0,8 dengan nilai MAR rata-rata adalah 0,46. Hal ini menunjukan bahwa bakteri V.parahaemolyticus mempunyai tingkat resistensi terhadap antibiotik yang cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Gerard, 1982, Mikrobiologi Kedokteran, PT. Gramedia, Jakarta Barrow, G.I, 1993, Cowan and Steels Manual for the Identification of Medical Bacteria, 3rd Ed, Cambridge Univercity Press. Postnova, T., O.G. Gomez-duarte and K. Richardson, 1996, Motility Mutants of Vibrio cholerae 01 have Reduced Adherence in vitro to Human Small Intestinal Epithelial Cells as Demonstrated by ELISA, Microbiol, 142, 27672776 Mier, R.M., I.L. Pepper and C.P. Gerba, 1996,Environmental Microbiology, 5th Ed, International Thompson Publishing, California

Boyd, F.R. and J.J. Mar., 1980, Medical Microbiology, Little Brown and Company, Boston Doyle, M, 1989, Foodborne Bacterial Pathogens, Marcell Dekker Inc., New York Ganiswarna, G.S., dkk., 1995, Farmakologi dan Terapi, UI-Press, Jakarta Pelczar, M. J., dan E. C. S. Chan, 1988, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Jilid II, diterjemahkan oleh Ratna. S. H, dkk, UI-Press, Jakarta, Radu, S., M. Vincent., K. Apun., R.A. Rahim., P.G. Benjamin., Yuherman and G. Rusul., 2002, Molecular Characterization of Vibrio cholerae O1 Outbreak Strain in Miri, Sarawak (Malaysia), Acta Tropica, 83, , 169-176 Waturangi, D.E., 2000, Keanekaragaman Genetik serta Uji Resistensi Antibiotik Escherichia coli yang Diisolasi dari Feses Farunus spp, http://www.hayati.ipb.com Goodman & Gilman, 2007. Farmakologi Dan Terapi. EDISI ke-10. Vol 2. ITB. Jakarta

38

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

AKTIVITAS ANTI INFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN ( Tithonia diversifolia. A. Gray ) TERHADAP MENCIT PUTIH BETINA Verawati, Mimi Aria, Novicaresa M. Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI) Perintis ABSTRACT The effect anti inflammatory of leaves aethanolic extract of the kembang bulan (Tithonia diversifolia A.Gray) by topically on female white mice by using modification methode between making edema and granuloma pouch. Inductioned by injection of carragenin 2 % b/v in NaCl fisiologis subcutaneously.The extract was given topically as ointment for 4 days in various concentration they are 1 %, 2,5% and 5 %. The parameter were observed edema volume, totally of leucocytes cell on edema and blood on white female mice. The result of research showed that leaves aethanolic extract of the kembang bulan (Tithonia diversifolia A.Gray) gives topically anti inflammatory effect by increasing the concentration it can reduced the edema volume and gives effect on decreased of leucocytes cell on oedema and can increased neutrofil cells and limpocyt cells on blood significantly (P<0,05). The maximal effect of anti inflammatory was given by concentration 5 % with the lowest edema volume 0,03 ml more than effect anti inflammatory of hidrocortison acetat 2,5 % with edema volume 0,08 ml. Keywords : Tithonia diversifolia, anti-inflammatory, edema

PENDAHULUAN Tumbuhan adalah gudang bahan kimia yang memiliki berbagai manfaat termasuk untuk obat berbagai penyakit. Oleh karena itu saat ini banyak para peneliti berusaha untuk mengisolasi senyawa kimia dari tumbuh-tumbuhan tersebut guna dimanfaatkan dalam bidang pengobatan. Penggunaan tumbuh-tumbuhan sebagai obat tradisional mempunyai keunggulan antara lain dalam hal khasiat yang lebih baik serta efek samping yang lebih kecil dari pada obat berbahan kimia murni. Saat ini tanaman obat tradisional masih berperan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk di bidang kesehatan (Wijaya et al, 1995; Donatus, 1983). Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, baik itu tumbuhan asli Indonesia, maupun tumbuhan asli

luar negeri yang tumbuh dan dikembangkan di Indonesia. Salah satu tumbuhan tersebut adalah bunga kembang bulan (Tithonia diversifolia A. Gray) atau secara tradisional dikenal sebagai Bunga Busuk, Bunga Kipait, dari Family: Asteraceae (Hanum, 2002). Selain itu dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa tumbuhan T.diversifolia aktif sebagai anti bakteri ( Dewi,2010 ), seperti kita ketahui salah satu sebab inflamasi bisa disebabkan oleh bakteri. Bagian yang dimanfaatkan dari tumbuhan T. diversifolia sebagai sumber zat kimia, yang digunakan untuk pengobatan tradisional biasanya adalah bagian daun, tapi dapat juga menggunakan kulit akar dan batang. Daun dari tumbuhan T. diversifolia ini mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, flavonoid, saponin, tanin, serta polifenol. Manfaat dari daun T.

39

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

diversifolia ini secara tradisional biasanya digunakan sebagai obat sakit perut, kembung, diare dan digunakan sebagai obat luka dan anti radang(antiinflamasi) (Dalimartha, 2000). Berdasarkan penggunaan daun T. diversifolia secara tradisional sebagai anti-inflamasi dan penelitian sebelumnya mengenai antibakteri, maka perlu dilakukan penelitian secara ilmiah dengan menguji aktivitas anti inflamasi ekstrak daun T. diversifolia terhadap mencit putih betina dengan menggunakan metode modifikasi antara metode edema buatan dengan granuloma pouch (Gryglewsky, 1997; Domer, 1971). Parameternya adalah pengukuran volume edema buatan pada bagian punggung mencit putih dan penentuan jumlah sel leukosit pada tempat terjadinya inflamasi dan darah (Winter, 1962).

Ekstraksi sampel Sebanyak 1,5 kg daun kembang bulan segar dicuci bersih kemudian dilakukan pengeringan tanpa sinar matahari (kering angin). Setelah kering dilakukan penyerbukan dengan cara pemblenderan dan dimaserasi dengan etanol 70 % selama 3x3 hari dan disaring. Filtrat diuapkan secara vakum sehingga diperoleh ekstrak kental etanol. Pembuatan Sediaan Uji Ekstrak daun kembang bulan ditimbang sesuai dengan konsentrasi yang akan dibuat lalu digerus halus dalam lumpang,kemudian tambahkan vaselin flava sedikit demi sedikit sambil digerus sehingga didapatkan massa yang homogen. Sediaan uji terdiri atas 3 macam konsentrasi yaitu 1 % b/b; 2,5 % b/b dan 5 % b/b. Pembanding yang digunakan adalah hidrokortison asetat dengan konsentrasi 2,5 % b/b.

METODOLOGI PENELITIAN Alat

Pembuatan Larutan Penginduksi Alat- alat yang digunakan yaitu : rotary evaporator, botol maserasi, jarum suntik 5 ml, jarum suntik 1 ml, gunting bedah, timbangan hewan, lumpang dan stamfer, gelas ukur, alat cukur, spidol, kandang hewan, dan lainlain. Bahan Bahan yang digunakan yaitu daun kembang bulan, etanol 70%, air suling, vaselin flava, NaCl fisiologis, karagen, krim perontok bulu dan hidrokortison asetat (serbuk). Hewan yang digunakan adalah mencit putih betina dengan berat 20-30 g sebanyak 25 ekor, dimana masing masingnya dibagi menjadi 5 kelompok Timbang karagen sebanyak 1 gram, lalu gerus halus dalam lumpang kemudian sedikit demi sedikit ditambah NaCl fisiologis 50 ml sambil digerus homogen, maka konsentrasi karagen yang diperoleh adalah 2% . Penginduksian Udem a. Mencit dicukur bulu bagian punggungnya dengan diameter 3 cm,. Mulanya dipotong dengan gunting, selanjutnya untuk menghilangkan bulu yang masih tersisa dioleskan krim perontok bulu, sehingga bulunya betul-betul hilang. Biarkan selama 24 jam. b. Pada bahagian punggung yang dicukur disuntikkan dengan udara sebanyak 5 ml secara subkutan sehingga terbentuk kantong udara

40

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

dan sekaligus disuntikkan juga 0,1 ml karagen 2 % dalam NaCl fisiologis c. Setelah 24 jam kantong udara terbentuk dihisap udaranya dengan jarum suntik 5 ml sehingga kantong udara tersebut jadi kempes. Selanjutnya ditambahkan larutan karagen 2 % dalam NaCl fisiologis sebanyak 0,2 ml pada tempat yang ada kantong udara tersebut. Pemberian Sediaan Uji Sediaan uji diberikan dengan cara mengoleskan secara merata pada daerah yang terbentuk kantong udara (daerah yang dicukur) sebanyak 200 mg (dalam bentuk salep) dengan diameter 3 cm segera setelah pemberian karagen 2% dalam NaCl fisiologis sebanyak 0,2 ml. Selanjutnya obat diberikan lagi setiap hari selama 3 hari setelah pemberian pertama (obat diberikan selama 4 hari). Pada kelompok kontrol hanya diberikan vaselin flava saja. Pengukuran Dilakukan Parameter yang

darah, biarkan 5 menit. Tambahkan satu tetes larutan Giemsa yang telah diencerkan dengan air suling (1 : 20) dan biarkan selama 20 menit. Cuci dengan air suling, keringkan dan lihat dibawah mikroskop. Hitung jumlah sel neutrofil, eusinofil, limfosit, dan sel monosit. Analisa Data Untuk menganalisa data hasil penelitian yang diperoleh dari semua parameter akan digunakan analisa variansi (ANOVA) satu arah.

a. Pengukuran volume radang Pada hari ke lima eksudat diambil dengan jarum suntik lalu diukur volumenya. b. Penghitungan jumlah sel leukosit dalam hapusan darah dan cairan eksudat. Darah atau cairan eksudat segar ditetesi pada gelas objek satu tetes dan ratakan dengan gelas objek yang lain sehingga diperoleh lapisan darah yang homogen (hapusan darah), lalu dikeringkan. Setelah kering tetesi dengan metanol, sehingga melapisi seluruh lapisan

41

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tabel I. Hasil pengukuran volume eksudat dari radang punggung mencit putih betina setelah pemberian ekstrak daun Tithonia diversifolia A.Gray secara topikal
Volume eksudat (ml) Konsentrasi (%) 1 2,5 5 0,08 0,15 0,01 0,08 0,06 0,04 0,1 0,05 0,03 0,085 0,11 0,03 0,11 0,05 0,04 0,09100 0,07320 0,03000 0,013416 0,056667 0,012247

Perlakuan 1 2 3 4 5 Rata-rata SD 0 0,51 0,39 0,36 0,50 0,40 0,43200 0,068337

Hk as 2,5 0,09 0,09 0,1 0,08 0,07 0,08600 0,011402

Tabel II. Hasil perhitungan sel leukosit dari eksudat punggung mencit betina setelah pemberian ekstrak daun Tithonia diversifolia A.Gray. secara topikal Jumlah Sel Konsentrasi 0% No 1 2 3 4 5 Neutrofil segmen 35 36 39 32 31 34.60 3.209 40 49 48 49 51 47.40 4.278 55 51 53 54 56 53.80 1.924 59 60 61 63 60 60.60 1.517 63 Neutrofil batang 3 2 1 1 1 1.60 0,894 3 2 1 1 1 1.60 0,894 3 5 1 1 3 2.60 1.673 5 2 1 1 3 2.40 1.673 3 Monosit 20 21 12 21 25 19.80 4.764 25 18 20 18 13 18.80 4.324 6 7 13 13 3 8.40 4.450 6 12 10 6 6 8.00 2.828 20 Limposit 41 40 46 45 42 42.80 2.588 30 29 30 31 34 30.80 1.924 35 36 32 31 37 34.20 2.588 29 25 26 28 30 27.60 2.074 13 Eosinofil 1 1 2 1 1 1.20 0,447 2 2 1 1 1 1.40 0,548 1 1 1 1 1 1.00 0,000 1 1 2 2 1 1.40 0,548 1

Rata-rata SD 1%

1 2 3 4 5

Rata-rata SD 2,5 %

1 2 3 4 5

Rata-rata SD 5%

1 2 3 4 5

Rata-rata SD Hidrokortison

42

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045 asetat 2,5 % 2 3 4 5 Rata-rata SD 65 60 59 60 59.40 5.771 2 1 1 2 1.80 0,837 17 21 19 26 20.60 3.362 15 17 20 21 17.20 3.347 1 1 1 1 1.00 0,000

Tabel III. Hasil perhitungan sel leukosit dari darah mencit putih betina setelah pemberian ekstrak daun Tithonia diversifolia A.Gray secara topikal Jumlah Sel Neutrofil Monosit batang 1 17 2 18 0 16 1 17 2 17 1.20 17.00 0.837 0.707 5 3 2 10 1 10 1 5 0 6 1.80 6.80 1.924 3.114 3 5 1 8 1 3 1 2 1 3 1.40 4.20 0.894 2.387 3 2 1 3 2 2 1 1 1 1 1.60 1.80 0.894 0.837 5 5 2 1 1 2 2.20 1.643 8 2 2 3 4.00 2.550

Konsentrasi 0%

No 1 2 3 4 5

Rata-rata SD 1%

1 2 3 4 5

Rata-rata SD 2,5 %

1 2 3 4 5

Rata-rata SD 5%

1 2 3 4 5

Rata-rata SD Hidrokortison asetat 2,5 %

1 2 3 4 5

Neutrofil segmen 50 49 52 53 50 50.80 1.643 66 60 63 67 68 64.80 3.271 68 69 77 70 70 70.80 3.564 75 70 75 78 84 76.40 5.128 62 60 65 76 61 64.80 6.535

Limposit 31 30 32 27 29 29.80 1.924 25 27 25 26 25 25.60 0.894 23 20 18 26 25 22.40 3.362 19 25 20 18 13 19.00 4.301 27 29 30 20 33 27.80 4.868

Eosinofil 1 1 0 2 2 1.20 0.837 1 1 1 1 1 1.00 0.000 1 2 1 1 1 1.20 0.447 1 1 1 2 1 1.20 0.447 1 1 2 1 1 1.20 0.447

Rata-rata SD

43

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Pembahasan Pemberian sediaan uji dengan dosis konsentrasi 1% ternyata telah memberikan efek anti-inflamasi. Dari tiga dosis yang digunakan efek maksimum diberikan oleh dosis konsentrasi 5% yang ditandai dengan kecilnya volume eksudat yang didapatkan. Setelah pemberian ekstrak etanol daun T. diversifolia secara topikal sesuai dosis, diperoleh suatu korelasi yang menunjukkan hubungan antara volume eksudat (ml) terhadap konsentrasi ekstrak (%). Dimana volume eksudat rata-rata mengalami penurunan sesuai dengan peningkatan dosis yang diberikan dibandingkan dengan kontrol positif yang hanya menggunakan vaselin flava saja. Dari hasil uji analisa varian dapat dilihat bahwa pada konsentrasi zat uji 1%, 2,5% dan 5% terhadap kontrol memberikan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01). Hasil perhitungan jumlah sel leukosit dari uji statistik dengan analisa varian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun T. diversifolia mempengaruhi persentase jumlah sel leukosit, baik itu dalam eksudat maupun dalam darah. Dimana terjadi peningkatan jumlah sel neutrofil segmen dibandingkan dengan kontrol negatif. Ini berarti, bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak semakin efektif mengurangi volume edema. Sedangkan pada jumlah sel eosinofil, monosit dan limposit mengalami penurunan yang disebabkan karena pembuluh darah di daerah radang memperoleh permeabelitasnya kembali, sehingga aliran cairan terhenti, dan terjadi pula penghentian migrasi leukosit. Cairan yang sebelumnya telah dieksudasi diserap oleh pembuluh limfa dan sel-sel fagositik mengalami desintegrasi, keluar melalui pembuluh limfe dan dihilangkan dari radang, sehingga persentase jumlah

sel leukosit dalam darah mendekati jumlah normal.

kembali

Sel leukosit yang memegang peranan penting dalam proses fagositosis pada jaringan yang rusak adalah neutrofil dan monosit. Monosit dalam eksudat disebut makrofag yang merupakan sel yang bergerak aktif memberi respon secara kemotaksis, fagosit aktif dan mampu mematikan serta mencerna berbagai agen penyebab inflamasi pada jaringan yang rusak. Eksudat merupakan cairan yang tertimbun dalam jaringan atau ruangan karena bertambahnya permeabelitas pembuluh darah. Hasil perhitungan jumlah sel leukosit pada cairan eksudat radang dan uji statistik dengan analisa varian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun T. diversifolia dapat mempengaruhi jumlah sel leukosit secara bermakna dengan peningkatan dosis dibandingkan dengan kontrol negatif, dimana menyebabkan kenaikan jumlah sel leukosit dalam eksudat radang. Hidrokortison asetat dalam bentuk salep yang digunakan sebagai pembanding yang merupakan salah satu sediaan obat anti inflamasi yang bayak digunakan untuk mengobati reaksi peradangan pada kulit ternyata menunjukkan efek yang hampir sebanding dengan ekstrak daun T. diversifolia pada konsentrasi 1% dapat mengurangi dan menekan derajat inflamasi yang terjadi pada hewan percobaan. Sedangkan efek pada konsentrasi 2,5% terhadap penurunan derajat inflamasi menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan pembanding 2,5%. Ditinjau dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan analisa data secara statistik ternyata ekstrak daun T. diversifolia memberikan efek anti inflamasi melalui kemampuannya menghambat dan mengurangi volume

44

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

edema pada daerah radang, dan mempengaruhi migrasi serta jumlah sel leukosit pada darah dan eksudat, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun T. diversifolia memiliki aktifitas sebagai anti inflamasi secara topikal. Dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak, semakin bertambah pula aktifitas anti inflamasinya.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstrak etanol daun kembang bulan ( T. diversifolia ) memiliki aktifitas anti inflamasi. Hal ini dilihat dari penurunan volume eksudat pada radang punggung mencit putih betina yang di berikan secara topikal. 2. Pemberian ekstrak etanol daun kembang bulan ( T. diversifolia ) secara topikal ternyata dapat meningkatkan jumlah sel leukosit baik dalam cairan eksudat maupun dalam darah. DAFTAR PUSTAKA Dalimartha, S., 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Trubus Agriwidya, Jakarta. Dewi, R., 2010. Aktifitas Anti mikroba dari Elephantropus scober L, Tithonia diversifolia A.Gray, Tagetes erecta L, Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Indonesia, Padang, 258. Donatus. I. A., 1983 Pengembangan Farmakologi Dalam Pengembangan Obat Tradisional. Oleh Husin, M. Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III, Fakultas Farmasi Gajah Mada, Yogyakarta.

Domer, F.R., 1971, Animal Experiment in Pharmacological Basis of Therapeutic, Charles C. Thomas Publiser, Springfield, IIIonis, USA. Gryglewsky, J.R., 1997, Some Experimental Models for the Study of Inflamation and Anti Inflamatory Drugs, Departemen of Pharmacology, Copernicus Academy of Medicine, Cracow, Poland. Hanum, I. Fridah & van der Masen, LIG,2002, Auxiliary Plants, J.Nat.Prod p.297-298. Wijaya K.,H,M.H., S,Dalimartha dan A.S. Wirian., 1995 Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Jilid III, Pustaka Kartini, Jakarta. Winter, C.A., Risley, E.A and G.W Nuss., 1962, CarrageninInduced Edema in Hind Paw of Rat Asam Assay For anti Inflamantory Days, Proceding A Society For Experimental Biology and Medicine III,p.544547.

45

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR DAN LEMARI PENDINGIN TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN PADA DADIH KERBAU DENGAN METODA KJELDAHL Regina Andayani1), Revi Yenti2), Wiwit Gustiva 2) 1) Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang 2) Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis, Padang ABSTRACT The research about the influence of duration time in room temperature and refrigerator to protein consentration a dadih by Kjeldahl method had been done. Fresh milk (A) was frut into two bamboo tubes ( tube of B and tube of C ) until becomed as dadih. Tube of B, was kept in room temperature and tube of C was kept in refrigenerator for 2,4 and 6 days. The research showed that protein concentration in room temperature and refrigenerator reduced. Analysis of one ANOVA showed that there was a significance value ( P < 0,05) of protein concentration be tween 2,4 and 6 days method of t-Test, skemed that concentration for protein in room temperature and refrigerator were significance difference (P < 0,05) on each days (2,4 and 6 days). Keywords : Protein, dadih, metode Kjeldahl

PENDAHULUAN Protein dalam tubuh berguna sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena protein merupakan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama pada bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang yang baru sembuh dari penyakit. Protein juga berfungsi sebagai pengatur dalam metabolisme tubuh. Selain itu protein juga merupakan komponen pembentuk antibodi untuk mempertahankan daya tahan tubuh (Detama, A. D., 2004; Grinda, A., 1986; Almatsier, S., 2001). Masyarakat dalam memenuhi kebutuhan protein lebih banyak mengkonsumsi sumber protein hewani karena mengandung protein yang tinggi. Salah satu sumber protein hewani yang sering dikonsumsi adalah dadih. Dadih merupakan produk susu fermentasi tradisional khas Minangkabau Sumatra Barat yang proses pembuatannya sangat sederhana. Susu kerbau yang diperah langsung dimasukkan kedalam tabung

bambu sebagai wadahnya kemudian ditutup dengan daun pisang, plastik dan ada yang tidak ditutup sama sekali. Kondisi ini didiamkan secara alami selama 2 hari dalam suhu ruang sampai terbentuk gumpalan. Komponen fisik dan kimia bambu yang meliputi sifat permeabilitas, aroma, kadar air, zat warna dan garam anorganik yang terdapat pada jaringan bambu, berperan dalam menentukan mutu dadih (Susilorini, T.E., M.E. Sawitri dan Muharlien, 2008; Usman, 2007, Sugianto, 2006). Dadih ini banyak dijual dipasar tradisional namun berdasarkan pengamatan, dadih banyak disimpan ditempat terbuka bahkan terkena cahaya matahari, hal ini akan menurunkan mutu dari dadih tersebut. Berdasarkan hal di atas, maka dilakukan penelitian tentang pengaruh lama penyimpanan pada suhu kamar dan lemari pendingin terhadap kadar protein pada dadih kerbau dengan metoda

46

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Kjeldahl sehingga dapat diketahui perubahan kuantitas protein dadih tersebut. Metoda Kjeldahl merupakan metoda yang umum digunakan untuk menentukan kadar protein pada makanan (Detama, A. D., 2004).

Uji kualitatif dengan menggunakan metoda Biuret, Ninhidrin dan Xanthoprotein Uji kualitatif protein dilakukan pada susu segar dan dadih dengan menggunakan metode Biuret, Ninhidrin dan Xanthoprotein. 1. Metoda Biuret

METODA PENELITIAN Bahan Susu kerbau diambil dari tempat pemerahan susu di daerah Air Dingin Solok pada satu ekor kerbau, campuran selenium (serbuk SeO2, K2SO4, CuSO45H2O), indikator campuran (larutan bromocresol green, larutan merah metil, alkohol), asam borat (H3BO3), asam klorida p.a (Merck), NaOH, aquadest. fenolftalein, natrium tetraborat (Na2 B4O7), CuSO4, pereaksi ninhidrin, asam nitrat pekat (HNO3) dan asam sulfat (H2SO4). Alat Labu Kjeldhal 100 ml, seperangkat alat destilasi, pemanas listrik atau pembakar, neraca analitik, gelas ukur, pipet gondok, seperangkat alat titrasi dan mikroburet, erlenmeyer 250, spatel, tabung bambu dengan panjang 20 cm dan daun pisang. Pengolahan sampel Sampel A susu kerbau segar diperiksa kadar proteinnya, kemudian dimasukkan ke dalam 2 buah tabung bambu (tabung B dan tabung C) masingmasingnya 250 ml. Kemudian dibiarkan selama 2 x 24 jam sampai menjadi dadih. Sampel tabung B dadih yang disimpan pada suhu kamar dan sampel tabung C dadih yang disimpan pada lemari pendingin. Masing-masing tabung diperiksa kadar proteinnya pada hari ke 2, ke 4 dan ke 6 setelah menjadi dadih. Disiapkan masing-masing larutan sampel 2 % dalam air. Ambil 1 ml sampel tambahkan 1 ml NaOH 10 %, kemudian tambahkan beberapa tetes larutan CuSO4 0,1% kocok. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna ungu (Robinson, T., 1995). 2. Metoda Ninhidrin Disiapkan masing-masing larutan sampel 2 % dalam air. Ambil 1 ml sampel tambahkan 1 ml pereaksi Ninhidrin kemudian dipanaskan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru ( Grinda, A., 1986). 3. Metoda xanthoprotein Disiapkan masing-masing larutan sampel 2 % dalam air. Ambil 1 ml asam nitrat pekat kemudian dipanaskan. Reaksi positif ditunjukan dengan terbentuknya endapan putih yang segera menjadi kuning (Grinda, A., 1986; De Man, J.M., 1999). Uji kuantitatif dengan menggunakan metoda Kjeldahl Cara kerja untuk masing-masing sampel sebagai berikut (SNI 01-2891-1992) : a. Tahap Destruksi Ditimbang sebanyak 0,51 gram sampel masukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml, tambahkan 1 gram campuran selenium dan 12,5 ml H2SO4 pekat. Labu Kjedhal dipanaskan diatas pemanas listrik

47

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

mula-mula pada suhu 40oC kemudian suhu dinaikkan secara perlahan-lahan sampai 280oC. Setelah destruksi berlangsung selama 30 menit belum didapatkan cairan hijau jernih, maka ditambahkan H2O2 30% sebanyak 2 tetes destruksi dilanjutkan sampai didapat cairan jernih kehijauhijauan. Desrtuksi disini berlangsung selama 2 jam. Hasil akhir destruksi didinginkan kemudian encerkan dan masukkan ke dalam labu ukur 250 ml, tepatkan sampai tanda batas. b. Tahap Destilasi Larutan hasil destruksi dipipet 50 ml masukkan kedalam labu destilasi, kemudian tambahkan 30 ml NaOH 30 % dan beberapa tetes indikator PP. Kemudian sulingkan selama lebih kurang 10 menit, sebagai penampung gunakan 25 ml asam borat 2 % yang telah ditetesi indikator campuran. Labu destilasi dipasang dan dihubungkan dengan kondensor dan ujung kondensor
%N % protein Keterangan : V1 V2 N W Fp =

harus terbenam dalam cairan penampung. Didalam kondensor uap akan mengalir menuju penampung. Penyulingan diakhiri jika hasil destilasi sudah tak bersifat basa lagi. Periksa dengan kertas lakmus, Ujung kondensor dibilas dengan aquadest. Destilasi ini dilakukan sebanyak 3 x pengulangan. c. Tahap Titrasi Hasil destilasi dipindahkan dalam erlemeyer. Kemudian lakukan titrasi dengan HCl 0,1 N menggunakan mikroburet. Titik akhir ditandai dengan perubahan warna hijau menjadi merah muda. Untuk blangko dilakukan dengan cara yang sama, dimana sampel diganti dengan aquadest. Pengolahan Data Penentuan kadar protein dapat dihitung setelah diketahui persentase kadar nitrogen yang terdapat dalam sampel dan dikalikan dengan faktor konversi: (SNI 01-2891-1992)

(V1 - V2) x N x 0,014 x fp x 100 W

= % N x faktor 6,38

= = = = =

Volume HCL 0,1 N untuk titrasi larutan sampel (ml) Volume HCL 0,1 N untuk titrasi larutan Blangko (ml) Normalitas HCL Bobot sampel ( gram ) Faktor pengenceran ( 5 kali )

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji kualitatif dari susu segar dan dadih dengan menggunakan metode Biuret, Ninhidrin dan Xanthoprotein menunjukkan hasil bahwa pada susu segar dan dadih

terdapat protein. Hasil uji kualitatif dapat dilihat pada tabel1.

48

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045 Tabel 1. Uji Kualitatif Sampel Susu Segar dan Dadih Sampel Susu segar Metoda Biuret Xantoprotein Ninhidrin Biuret Xantoprotein Ninhidrin Hasil Ungu Endapan putih Biru Ungu Endapan putih Biru Pengamatan Ungu Endapan putih Biru Ungu Endapan putih Biru

Dadih

Penelitian ini menggunakan metoda Kjeldahl karena umumnya metoda ini digunakan untuk penentuan analisis protein pada makanan. Metoda ini mempunyai kelemahan dimana unsur N yang terdapat pada protein juga ikut teranalisis sehingga kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar (Crud protein) dan bukan protein murni (Grinda, A., 1986; Anggorodi, 1994). Setelah diketahui persentase nitrogen yang terdapat pada sampel, untuk menentukan kadar protein dikalikan dengan faktor konversi, untuk susu yaitu 6,38 (SNI 01-2891-1992; Sidarmadji, 1984; Anggorodi, 1994). Kadar protein yang diperoleh pada susu segar adalah 4,5079 %. Sedangkan kadar protein dadih yang disimpan hari ke 2, 4, 6 pada lemari pendingin dan suhu kamar mengalami penurunan. Hasil persentase kadar protein pada susu segar, dadih yang disimpan pada suhu kamar dan dadih

yang disimpan pada lemari pendingin dapat dilihat pada tabel 2, gambar 1 dan gambar 2. Data yang diperoleh juga dilakukan uji statistik dengan anova satu arah dan uji T student. Hasil uji anova satu arah diperoleh nilai P yaitu 0,000 ( P<0,05) dengan nilai tersebut terdapat perbedaan yang bermakna kadar protein dadih pada penyimpanan suhu kamar setelah 2, 4 dan 6 hari demikian juga dengan penyimpanan pada lemari pendingin juga diperoleh nilai P yaitu 0,000 ( P<0,05) yang berarti kadar protein dadih yang disimpan selama 2, 4 dan 6 hari berbeda secara bermakna. Pada uji T terdapat perbedaan yang bermakna, kadar protein dadih yang disimpan pada suhu kamar dan lemari pendingin pada penyimpanan setelah 2 hari diperoleh nilai P yaitu 0,048 ( P<0,05), penyimpanan setelah 4 hari diperoleh nilai P yaitu 0,007 ( P<0,05) dan penyimpanan setelah 6 hari diperoleh nilai P yaitu 0,002(P <0,05) .

Tabel 2. Persentase Kadar Protein pada Susu Segar, Dadih yang Disimpan pada Suhu Kamar dan Dadih yang Disimpan pada Lemari Pendingin Sampel Sampel A susu segar Setelah menjadi dadih Setelah 2 hari pada suhu kamar Setelah 4 hari pada suhu kamar Setelah 6 hari pada suhu kamar Setelah 2 hari pada lemari pendingin Setelah 4 hari pada lemari pendingin Setelah 6 hari pada lemari pendingin Berat Sampel (gr) 0,5829 0,6019 0,5914 0,5608 0,5797 0,6603 0,5885 0,6190 %N 0,7065 0,6699 0,6150 0,5408 0,468 0,6331 05888 0,5358 % Protein 4,5079 0,0467 4,2741 0,0392 3,9240 0,0610 3,4509 0,0842 2,9858 0,0939 4,0391 0,0357 3,7562 0,0613 3,4188 0,0581

49

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Gambar 1. Grafik kadar protein pada dadih yang simpan pada suhu kamar

Gambar 2. Grafik kadar protein pada dadih yang disimpan dalam lemari pendingin

Dari data dan grafik yang didapat terlihat jelas bahwa semakin lama penyimpanan maka kadar protein semakin menurun. Penurunan kadar protein ini terjadi karena selama proses fermentasi, bakteri asam laktat lactobacillus, streptococcus dan lactococus aktif melakukan proses proteolitik dan lepolitik menjadi substansi yang bisa dimanfaatkan oleh bakteri misalnya energi, pada mekanisme perubahan tersebut biasanya akan menghasilkan air dan secara otomatis konsentrasi protein dalam produk fermentasi akan menurun (Bucle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wooton, 1987). Pada data yang didapat terlihat bahwa susu segar kerbau mempunyai kadar proteinnya lebih tinggi dari pada dadih. Tetapi pada kenyataannya orang 50

lebih banyak mengkonsumsi dadih dari pada susu segarnya disebabkan karena aroma susu yang khas dapat menimbulkan rasa mual maka perlu dibuat susu fermentasi sehingga terjadi perubahan fisik dan kimiawi susu. Tidak semuanya orang dapat mencerna susu dengan baik karena gangguan pencernaan yang timbul setelah mengkonsumsi susu karena tidak terpecahnya laktosa (gula susu) menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat diserap oleh tubuh yaitu monosakarida, glukosa dan galaktosa (Sisriyenni, D., Zurriyati Y., 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN Kadar protein dadih sangat dipengaruhi oleh lama dan tempat penyimpanan. Semakin lama waktu

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

penyimpanan maka kadar protein pun semakin menurun. Dadih yang disimpan pada lemari pendingin lebih tinggi kadar proteinnya dari pada dadih yang disimpan pada suhu kamar, hal ini disebabkan karena dadih pada suhu kamar mudah terkontaminasi dengan mikroorganisme lain selain bakteri penghasil asam laktat sehingga dapat mempengaruhi kadar protein. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S., 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anggorodi, 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarata. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M Wooton. 1987. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta. De Man, j. M., 1999. Kimia Makanan, Ed. II, Penerbit ITB, Bandung. Detama, A. D., 2004 Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta. Grindra, A., 1986. Biokimia I , Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Robinson, T., 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Ed.VI, Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Sisriyenni, D, Zurriyati, Y., 2004. Kajian kualitas dadih susu kerbau didalam tabung bambu dan tabung plastik, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol 2, No 2. SNI 01-2891-1992, Cara Uji Makanan dan Minuman, Pusat Standarisasi Industri, Departemen Perindustrian. Sudarmadji, 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Sugianto, Dadih / dadiah,2006. Susu Kerbau Fermentasi Mampu Menurunkan Kolesterol, Artikel, litbang deptan.

Susilorini, T. E., M. E. Sawitri, Muharlien, 2008. Budi Daya 22 Ternak Potensial, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Usman, 2007. Pengolahan Dadih Sebagai Makanan Probiotik Spesifik Sumatera Barat, Jurnal Natur, Vol 5, No 2.

51

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

PENGARUH PERBANDINGAN ETANOL AIR SEBAGAI PELARUT EKSTRAKSI TERHADAP PEROLEHAN KADAR FENOLAT DAN DAYA ANTIOKSIDAN HERBA MENIRAN (Phyllanthus niruri L.)
1)

Harrizul RivaI 1), Martinus 2) Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang, 2) Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis Padang

ABSTRAK

Effect of ethanol:water ratio as extraction solvent on obtaining of extractive material, phenolic content and antioxidant activity in Phyllanthus niruri L. herbs have been investigated. The ethanol:water ratio tested were 100:0, 80:20, 70:30, 60:40 and 50:50. Results revealed that ethanol:water ratio gave significant effect on extracted material, phenolic content and antioxidant activity (p<0,05). Among the ethanol:water ratio tested, the best result was obtained by ethanol:water ratio 60:40 as extraction solvent for Pyhllanthus niruri L. herbs to obtain phenolic compound which has antioxidant activity. Keywords : Phyllanthus niruri L, antioxidant, phenolic

PENDAHULUAN Pengembangan bahan obat alam meliputi pengembangan budidayanya sehingga menghasilkan simplisia dengan kualitas yang unggul serta pengembangan cara produksi dan bentuk-bentuk sediaan dari obat-obat tradisional. Obat-obatan yang terbuat dari bahan alam dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, sedangkan obat herbal yang terstandar adalah yang sudah lulus uji pra klinis. Sementara fitofarmaka adalah suatu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Salah satu bahan baku simplisia yang akan dipakai untuk membuat

fitofarmaka ini adalah herba meniran (Phyllanthus niruri L.) (Nurkhasana, 2006, Badan Pengawasan Obat). Herba meniran mengandung senyawa flavonoid (quarcetin, quercitrin, isoquercitin, astragalin, rutine, physetinglucosid), lignan (phyllanthine, hypophyllanthine, phyltetralin, lintretalin, nirathin, nitretalin, nirphylline, niruri, niruriside), alkaloid (norsecurinine, etnosecurinina, 4-metoxy-norsecurinine, phyllochrysine), terpen (cymene, limonene, lupeol), damar, tanin, dan mineral terutama kalium (Joshi, 1986, Satyanarayana, 1988, Than, N. N, 2005). Herba meniran berkhasiat membersihkan hati, anti radang, pereda demam, peluruh kencing, peluruh dahak, peluruh haid, menerangkan penglihatan dan penambah nafsu makan (Heyne, K, 1987).

52

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

METODOLOGI PENELITIAN Alat alat Alat yang digunakan adalah Rotary Evaporator (RVO6-ML kika werke), corong, spatel, cawan penguap, timbangan digital analitik (Denver Instrument Company), aluminium foil, labu ukur, gelas ukur, erlenmeyer, batang pengaduk, pipet gondok, pipet mikro, beaker glass, spektrofotometer UV-Visible mini 1240 (Shimadzu), Blender, Kertas saring Whatman No.1. Bahan bahan Bahan yang digunakan adalah tanaman herba meniran (Pyllanthus niruri L.), aquadest, metanol p.a (Merck), etanol p.a (Merck), reagen Fenol folin-Ciocalteu (Merck), Natrium Carbonat (Merck), asam galat, DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) p.a (Merck). Pengambilan sampel

selama 24 jam, dalam botol meserasi yang berwarna gelap, sambil sekalisekali diaduk, maserat dipisahkan dan sisanya dimaserasi lagi beberapa kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama, sampai cairan terakhir tidak berwarna. Semua maserat dikumpulkan, diamkan selama dua hari, diendaptuangkan, cairan atas diambil kemudian diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 40 0C dan ditimbang, sebelum dianalisa ekstrak dilarutkan dengan campuran etanol dan air suling sama banyak (1:1) dalam labu ukur 50 mL (Harbone, 1978, Badan Pengawasan Obat, 2004). Penentuan Kadar Ekstraktif Larutan Sampel Dari larutan sampel dipipet sebanyak 10 mL, masukkan dalam cawan penguap yang sudah ditara. Uapkan larutan sampel di water bath, kemudian keringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam kemudian setelah dingin ditimbang. Hitung kadar ekstraktif sampel.
% Ekstraktif = Berat Ekstrak x 100%

Sampel diambil di sepanjang jalan Bypass Padang, sampel yang akan dianalisa adalah bagian tumbuhan meniran yang berada di atas tanah (Pyhlanthus niruri L.), dibersihkan kemudian dikering anginkan sampai kering kemudian diserbuk. Identifikasi Sampel Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Universitas Andalas (ANDA) dengan nomor koleksi FT-001. Pembuatan Ekstrak Sampel 5 g herba meniran yang telah diserbuk direndam dengan 50 mL etanol-air dengan perbandingan 100:0, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50, biarkan

Berat Sampel Pembuatan Reagen a. Larutan Natrium Karbonat 1 M (Mosquera, 2007) Ditimbang 5,3 g Na2CO3 dilarutkan dalam aquadest sampai 50 mL, aduk hingga homogen. b. Larutan DPPH (1,1-diphenyl-2picrylhydrazyl) 35 g/mL (Keinanen, 1996) Ditimbang 10 mg DPPH masukkan dalam labu ukur 100 mL, lalu tambahkan metanol sampai tanda batas kemudian dipipet 17,5 mL larutan DPPH masukkan dalam labu ukur 50

53

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

mL, lalu tambahkan metanol sampai tanda batas sehingga diperoleh larutan konsentrasi 35 g/mL. c. Larutan asam galat 5 mg/mL (Sigma, 2005) Ditimbang 0,125 g asam galat masukkan dalam labu ukur 25 mL, tambahkan 2,5 mL etanol 96% lalu tambahkan dengan air suling sampai tanda batas. Penentuan Kadar Senyawa Fenolat Dengan Metoda Folin-Ciocalteu (Mosquera, 2007, Pourmorad, 2006) a. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Asam Galat. Pipet larutan induk asam galat (5 mg/mL) sebanyak 1 ml ke dalam labu ukur 50 mL lalu diencerkan dengan campuran metanol dan air suling (1:1) sampai tanda batas. Kemudian dipipet 0,5 mL dan dimasukkan ke dalam vial, tambahkan 5 mL reagen fenol FolinCiocalteu yang telah diencerkan dalam air suling 1:10 dan tambahkan 4 mL natrium karbonat 1 M, kocok homogen. Diamkan selama 15 menit, kemudian ukur serapan pada panjang gelombang 400-800 nm dengan spektrofotometer UV-Visebel. a. Pembuatan Asam Galat Kurva Kalibrasi

karbonat 1 M biarkan selama 15 menit, ukur serapan dengan spektrofotometer UV-Visibel dan buat kurva kalibrasi sehingga persamaan regresi liniernya dapat dihitung. Penentuan Kadar Senyawa Fenolat Total Dengan Metoda Folin-Ciocalteu Larutan sampel dipipet 0,5 mL diencerkan dengan etanol:air suling (1:1) dalam labu ukur 25 mL sampai tanda batas. Pipet 0,5 mL ekstrak herba meniran kemudian masukkan kedalam vial, kemudian ditambahkan 5 mL pereaksi Folin-Ciocalteu yang sudah diencerkan 1:10 dengan aquadest dan 4 ml larutan natrium karbonat 1M, biarkan selama 15 menit, ukur serapan maksimum pada panjang gelombang maksimum dengan spektorfotometer UV-Visibel yang akan memberikan komplek warna biru, lakukan 3x pengulangan sehingga kadar fenolat yang didapat ekivalen dengan mg asam galat /g berat ekstrak kental herba meniran. Uji Aktivitas Antioksidan Sampeldengan Metoda DPPH (Mosquera, 2007,Pourmorad, 2006) a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum DPPH Pipet sebanyak 4 mL larutan DPPH 35 g/mL, masukkan dalam vial dan ditambahkan 2 mL campuran air suling dan metanol (1:1), biarkan selama 30 menit ditempat yang gelap. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 400-800 nm. b. Pemeriksaan IC50 Larutan Sampel Dibuat konsentrasi 40; Masing-masing ke dalam vial larutan sampel dengan 50; 60; 70; 80 mg/mL. dipipet sebanyak 2 mL lalu tambahkan 4 mL

Dari larutan induk asam galat dipipet 0,25; 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 mL, diencerkan dengan campuran metanol:aquadest (1:1) dalam labu ukur 50 mL sampai tanda batas sehingga didapatkan konsentrasi 25, 50, 75, 100 dan 125 g/mL asam galat. Masingmasing konsentrasi larutan dipipet 0,5 mL kemudian dicampur dengan 5 mL pereaksi Folin-Ciocalteu yang sudah diencerkan 1:10 dengan aquadest, tambahkan 4 mL larutan natrium

54

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

larutan DPPH 35 g/mL. Campuran dihomogenkan dibiarkan selama 30 menit di tempat gelap. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV

Visible pada panjang gelombang maksimun. Hitung % inhibisi dengan menggunakan rumus :

% inhibisi =

Abs. kontrol Abs. sampel x 100 % Abs. kontrol

Keterangan : Abs Kontrol : Serapan larutan radikal DPPH dengan metanol-air (tanpa ekstrak) pada panjang gelombang maksimum. Abs Sampel : Serapan sampel ditambah DPPH dikurangi dengan serapan sampel blanko (sampel+metanol-air) tanpa DPPH pada panjang gelombang maksimum. galat adalah kosentrasi larutan pembanding asam galat yang Lalu buat kurva antara memberikan inhibisi sebesar 50% yang konsentrasi larutan sampel dan % dapat dihitung menggunakan persamaan inhibisi, sehingga diperoleh persamaan regresi linier yang telah diperoleh. regresi liniernya. IC50 larutan sampel adalah konsentrasi larutan sampel yang memberikan inhibisi sebesar 50% yang Pengolahan Data Secara Anova satu dapat dihitung menggunakan persamaan arah regresi linier yang telah diperoleh. Data hasil penelitian akan diuji secara statistik menggunakan Analisa b. Penentuan IC50 Larutan Variansi (Anova) satu arah. Kadar Pembanding Asam Galat fenolat total yang diperoleh dari beberapa konsentrasi pelarut ekstraksi Dibuat larutan pembanding etanol diuji dengan Analisa Variasi asam galat dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, (Anova) satu arah. dan 5 g/mL dengan cara memipet 0,01; 0,02; 0,03; 0,04 dan 0,05 mL larutan induk asam galat (5 mg/mL) yang HASIL DAN PEMBAHASAN kemudian dilarutkan dengan campuran metanol dan air (1:1) dalam labu ukur Hasil 50 mL sampai tanda batas. 1. Pada perhitungan kadar ekstraktif dari beberapa perbandingan pelarut Pipet sebanyak 2 mL masingmasing dimasukkan ke dalam vial lalu etanol:air 100:0, 80:20, 70:30, 60:40 dan 50:50 adalah 8,2%; tambahkan 4 ml larutan DPPH 35 12,01%; 15,04%; 16,54% dan 9,4% g/mL. Campuran dihomogenkan (Lampiran 5 Tabel 1). dibiarkan selama 30 menit di tempat gelap. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV Visible pada 2. Hasil penentuan panjang gelombang maksimum larutan panjang gelombang maksimun. standar asam galat dengan metoda Hitung % inhibisi masingFolin-Ciocalteu yang diukur masingnya lalu buat kurva antara dengan spektrofotometer UVkonsentrasi larutan pembanding asam Visibel diperoleh serapan galat dan % inhibisi sehingga diperoleh maksimum pada panjang persamaan regresi liniernya. IC50 asam

55

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

gelombang 748 nm dengan serapan 0,635 (Lampiran 7 Gambar 9). 3. Pada pengukuran absorban untuk penentuan kurva kalibrasi asam galat didapat persamaan regresi y = 0,0158+0,006384x dengan simpangan baku 0,0238, batas deteksi 11,1842 g/mL, dan batas kuantisasi 37,2804 g/mL (Lampiran 8 Tabel VI, Gambar 10, Lampiran 9 Tabel VII; Lampiran 10 Tabel VIII). 4. Pada penentuan kadar senyawa fenolat total dari herba meniran dengan perbandingan pelarut etanol:air 100:0, 80:20, 70:30, 60:40 dan 50:50 adalah 38,654; 51,733; 53,561; 55,258 dan 37,140 mg setara asam galat per gram sampel kering (Lampiran 12 Tabel IX). 5. Hasil analisa data secara statistik pada penentuan kadar senyawa fenolat total menunjukkan bahwa pemkaian beberapa perbandingan pelarut ekstraksi etanol:air memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kadar senyawa fenolat total herba meniran (Lampiran 13, Tabel X, Tabel XI, Tabel XII, Tabel XIII, Gambar 12). 6. Hasil penentuan panjang gelombang maksimum larutan DPPH 35 g/ml yang diukur dengan spektrofotometer UVVisibel diperoleh serapan maksimum pada panjang gelombang 518,5 nm dengan serapan 0,828 (Lampiran 15 Gambar 13). 7. Hasil perhitungan IC50 larutan standar asam galat diperoleh 0,947 g/mL (Lampiran 16 Tabel XIV, Gambar 14).

8. Hasil perhitungan IC50 pada penentuan daya antioksidan dari larutan ekstrak herba meniran pada konsentrasi pelarut etanol:air 100:0, 80:20, 70:30, 60:40 dan 50:50 adalah 50,17; 46,44; 43,82; 42,65 dan 51,21 mg/mL (Lampiran 17 Tabel XV, Gambar 16, Gambar 17, Gambar 18, Gambar19, Gambar 20). Pembahasan Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah tanaman herba meniran. Sebelum diekstraksi tanaman herba meniran ini dikeringkan terlebih dahulu dengan cara kering angin hingga bobot konstan. Penentuan bobot konstan ditentukan dari kadar air, sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan masukkan ke dalam cawan penguap kemudian dimasukkan kedalam oven suhu 105 C selama 1 jam. Timbang berat sampel dan dari data penimbangan didapatkan hasil presentase kadar air yang kecil dari 10%. Selanjutnya daun yang telah kering dihaluskan dengan cara digrinder. Ekstraksi dilakukan dengan mengunakan pelarut etanol 96% karena senyawa fenolat adalah senyawa yang polar dan merupakan pelarut yang relatif tidak toksik. Sampel yang telah kering di rendam dengan pelarut etanol:air dengan berbagai konsentrasi 100:0, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50, satu kali 24 jam dengan tiga kali pengulangan. Semua maserat dikumpulkan, diamkan selama dua hari dan diendaptuangkan, bagian diambil cairan bagian atas kemudian diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 40 0 C dan ditimbang, setelah dingin ekstrak yang dianalisa dan dilarutkan dengan campuran etanol dan air suling sama banyak (1:1) dalam labu ukur 50 mL. Penentuan kadar senyawa fenolat total dengan metoda FolinCiocalteu. Metoda ini dipilih karena

56

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

merupakan metoda yang spesifik, sensitif terhadap senyawa fenol dan menggunakan reagen dalan jumlah yang sedikit serta dapat bereaksi dalam waktu yang singkat. Reagen Folin-Ciocalteu ini akan membentuk larutan kompleks berwarna biru tua jika direaksikan dengan larutan sampel yang telah ditambahkan dengan natrium karbonat. Sesuai dengan prinsip kerja spektrofotometwer UV-Visibel yang mengabsorbsi larutan warna pada panjang gelombang 400-800 nm, maka larutan komplek biru tua inilah yang akan ditentukan nilai absorbannya dengan panjang gelombang yang sesuai sehingga kadar dari larutan sampel dapat diketahui. Pada penentuan kadar senyawa fenolat total ini digunakan asam galat yang panjang gelombangnya didapat adalah 748 nm dengan absorban 0,635. Setelah didapatkan panjang gelombang maksimum, diukur absorban untuk penentuan kurva kalibrasi asam galat pada konsentrasi 25, 50, 75, 100 dan 125 g/mL, sehingga didapat persamaan regresi y=0,0158+0,006384x dan juga didapatkan simpang baku 0,0238, batas deteksi 11,1842 g/mL dan batas kuantitasi 37,2807 g/mL. Dari persamaan regresi ini dapat ditentukan kadar senyawa fenolat dari larutan sampel. Perbandingan pelarut ekstraksi etanol:air 100:0, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50 didapatkan kadar senyawa fenolat 38,654; 51,733; 53,561; 55,258; 37,140 mg/g. Dari kadar senyawa fenolat yang didapat maka dilakukan pengolahan data secara statistik dengan menggunakan metoda Anova satu arah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perbandingan konsentrasi pelarut etanol:air terhadap perolehan kadar senyawa fenolat pada sampel. Pada pengolahan data secara statistik menggunakan anova satu arah diperoleh nilai significant 0,000, ini menunjukan bahwa pemakaian beberapa konsentrasi

pelarut ekstraksi etanol:air memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kadar senyawa fenolat total sampel. Daya antioksidan dapat ditentukan dengan menggunakan metoda DPPH. Metoda ini dipilih karena mudah, cepat, peka dan hanya memerlukan sedikit sampel. Senyawa yang mempunyai aktifitas antioksidan akan bereaksi dengan DPPH melalui pemberian elektron dari senyawa antioksidan kepada DPPH yang mempunyai elektron sunyi, sehingga elektron tersebut menjadi berpasangan. Reaksi ini menyebabkan perubahan warna larutan DPPH dari ungu menjadi kuning. Perubahan inilah yang akan diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visibel. Semakin rendah serapan maka semakin tinggi daya antioksidan dari larutan sampel. Untuk pengujian daya antioksidan senyawa fenolat digunakan DPPH dengan konsentrasi 35 g/mL. Pada konsentrasi ini diperoleh panjang gelombang maksimum 518,5 nm dengan absorban 0,828, absorban ini digunakan sebagai kontrol. Daya antioksidan dapat ditentukan dari nilai IC50 yaitu konsentrasi senyawa antioksidan yang memberikan inhibisi sebesar 50%, yang berarti bahwa pada konsentrasi tersebut antioksidan dapat menghambat radikal bebas sebesar 50%. Sebagai pembanding digunakan larutan asam galat dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 g/mL, dari absorban yang didapat maka dapat dihitung persen inhibisi DPPH, sehingga diperoleh persamaan regresi y = 39,559 + 11,025x. Dari persamaan ini dapat dihitung nilai IC50 asam galat yaitu 0,947 g/mL. Pada larutan sampel diukur pada konsentrasi 40, 50, 60, 70, dan 80 mg/ml. Hasil IC50 pada tiap-tiap kosentrasi pelarut etanol:air didapatkan 50,17; 46,44; 43,82; 42,65 dan 51,21

57

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

mg/mL. Nilai IC50 yang semakin rendah menunjukkan daya antioksidan yang semakin kuat. Dapat dilihat bahwa cara pemakaian pelarut dengan berbagai konsentrasi dapat memberikan pengaruh terhadap perolehan kadar senyawa fenolat dan pengukuran aktivitas antioksidan walaupun tidak memberikan perbedaan yang begitu besar. Pada sampel dengan konsentrasi pelarut etanol:air 60:40 memperlihatkan kadar senyawa fenolat yang tinggi dan daya aktivitas antioksidan yang paling kuat dibandingkan dengan konsentrasi yang lain. Semakin besar kadar senyawa fenolat seamakin tinggi pula aktivitas antioksidan yang dihasilkannya

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Badan POM Republik Indonesia, Hal 86-89, 2004 Harbone. J. B., 1978. Metoda Fitokimia : Penuntun Cara Menganalisis Tumbuhan, Terbitan kedua, Diterjemahkan oleh K.Padmawinata dan I.Soediro, ITB, Bandung. Heyne. K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jilid II, cetakan ke-1, Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Joshi, Balawants. Dilip H. Gawad, S and William Pelletier. 1986. Isolation and Structure (x-ray analysis) of Ent-norsecurinine, an alkaloid from Phyllanthus niruri, Journal of Natural Products, Vol. 49, no. 4, pp. 614-620. Keinanen, M and R. J. Titto, 1996. Effect of Sampel Preparation Method on Birch (Betula Pendula Roth) Leaft Phenolics, J. Agric. Food Chem, 44:2724-2727, Finland. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, No : HK.00.05.41.1384, Jakarta Mosquera M.O, Yaned M Correa, Diana C Buitrago and Jaime Nino, 2007. Antioxidant Activity of Twenty five Plants from Colombian Biodiversity. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, vol 102(5) : 631-634. Nurkhasanah, 2006. Bahan Obat Alam Sumber Pendapatan Pembangunan. Prosiding Persidangan Antarabangsa Pembangunan Aceh, Hal 82. UKM Bangi. 26-27.

KESIMPULAN 1. Kadar ekstraktif yang diperoleh paling tinggi pada perbandingan etanol:air 60:40 yaitu 16,54%. 2. Kadar senyawa fenolat yang paling tinggi diperoleh pada perbandingan etanol:air 60:40 yaitu 55,258 mg/g setara asam galat per gram sampel kering. 3. Analisa data menggunakan metoda anova satu arah menunjukan nilai signifikan P<0,05 yang berarti bahwa pemakaian beberapa perbandingan pelarut ekstraksi etanol:air yang dilakukan memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kadar senyawa fenolat sampel. 4. Daya antioksidan yang paling kuat ditunjukkan oleh sampel pada campuran etanol:air 60:40 yang menggunakan ekstraksi dengan cara maserasi dapat dilihat dari nilai IC50 yang diperoleh yaitu 42,65 mg/mL.

58

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Pourmorad, F. S. J., 2006. Hosseinimerh and N.Shahabimajd, Antioxidant Activity, Phenol and Flavonoid contents of some selected Iranian medical plants. African Journal of Biotechnology, vol. 5 (11),pp, 1142-1145. Sigma-Aldrich, Folin&Ciocalteus Phenol Reagent, Sigma Prod No F-9252, diambil dari http://www.Sigma aldrich.com, diakses : tgl 5 Februari 2005 Than N. N, S. Fosto, B. Poeggeler, R. Hardeland, and H. Laatsch., 2005. Niruriflavone, a new antioxidant Flavone Sulfonic Acid from Phyllanthus niruri, Z. Naturforsch. 61b, 1-4 (2006); received November 2.

59

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

PROFIL PENGGUNAAN KOMBINASI ANTI DIABETIKA ORAL DENGAN INSULIN PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
1)

Radjudin Dahlan, 1), Hansen Nasif 2) Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis Padang, 2)Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang

ABSTRAK Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang disebabkan antara lain oleh defisiensi insulin yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi sehingga memerlukan manajemen terapi yang intensif. Telah dilakukan penelitian tentang profil penggunaan kombinasi antidiabetika oral dengan insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 di SMF penyakit dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data rekam medik selama tahun 2006 dan 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mempelajari jenis antidiabetika oral dan insulin yang digunakan dalam terapi kombinasi di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan dari 24 rekam medik pasien terdapat penggunaan 2 kombinasi yaitu: sulfonilurea + insulin 33,34%, biguanida + insulin 8,34%, inhibitor glukosidase + insulin 4.16%. 3 kombinasi yaitu: sulfonilurea + biguanida + insulin 50%, sulfonilurea + inhibitor glukosidase + insulin 4,16%. Keywords : Drug utilization study, descriptive-retrospective study, type 2 diabetes mellitus, antidiabetic oral with insulin combination.

PENDAHULUAN Tingkat prevalensi diabetes melitus cukup tinggi, dan mulai menonjol sebagai salah satu sebab morbiditas dan mortalitas di negara yang sedang berkembang, seperti di Indonesia. Menurut WHO Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes melitus. Namun, pada tahun 2006 jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang, dimana baru 50% yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30% yang datang berobat teratur.

Hal ini mungkin disebabkan minimnya informasi di masyarakat tentang diabetes melitus terutama gejala-gejalanya. Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronis yang di karakterisasikan oleh kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Di sebabkan oleh defisiensi absolute atau relative dalam kerja insulin dan mungkin jumlah yang tinggi secara tidak normal dari glukagon counter regulatory hormones lain, seperti hormon pertumbuhan, amin-amin simpatomimetik dan kortikosteroid. Sekresi insulin pada pasien penderita diabetes melitus tipe 1 adalah kurang dan sampai tidak ada sama sekali, sedangkan pada penderita diabetes

60

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

melitus tipe 2 sekresi insulin dapat saja normal, tinggi atau rendah. Penyakit ini tidak menular tapi menahun. Lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.(Sulaiman, 1987) Umur merupakan salah satu factor yang sangat penting dalam pengaruhnya terhadap prevalensi diabetes melitus. Prevalensi diabetes melitus naik bersama bertambahnya umur. Menurut WHO setelah seseorang mencapai umur 30 tahun, maka kadar glukosa darah akan naik 1-2 % per tahun pada saat puasa, dan akan naik sekitar 5,6-13 % pada 2 jam setelah makan. Penyakit ini berhubungan dengan suatu keadaan kekurangan insulin absolut atau relatif. Kekurangan insulin absolut terjadi jika pankreas tidak berfungsi lagi untuk mensekresi insulin, sedangkan kekurangan insulin relatif terjadi jika produksi insulin tidak sesuai dengan kebutuhannya.(Mutschler, 1991) Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh pankreas yang bertanggung jawab dalam merpertahankan kadar gula darah yang normal. Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi. Pada penderita diabetes melitus glukosa sulit masuk ke dalam sel karena insulin yang ada di dalam tubuh sedikit atau tidak ada sama sekali, akibatnya kadar glukosa dalam darah menjadi tinggi.(Tandra, 2008, Depkes RI 2006). Tanpa pengobatan yang baik diabetes melitus akan menyerang banyak organ penting dalam tubuh, bahkan bisa berakibat fatal.(ISFI, 2008)

METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Alat tulis, Rekam medik pasien Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif retrospektif Sumber Data Sumber data adalah diperoleh dari rekam medik pasien pengguna kombinasi antidiabetika oral dengan insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 di SMF penyakit dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, selama tahun 2006 dan 2007. Pengambilan Sampel Sampel penelitian dikumpulkan dari data rekam medik pasien diabetes melitus tipe 2 yang dirawat di SMF penyakit dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Prosedur Kerja 1. Pengambilan data dari rekam medik pasien yang menggunakan kombinasi antidiabetika oral dengan insulin. 2. Mencatat identitas pasien dan obat yang digunakan. 3. Menghitung persentase penggunaan obat.

Analisa Data Data diperoleh dan dicatat kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus: P=

S x 100 % N

61

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Keterangan: P = Persentase penggunaan kombinasi antidiabetika oral dengan insulin. S = Jumlah pasien pemakai kombinasi antidiabetika oral dengan insulin. N = jumlah sampel keseluruhan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil sebanyak 24 data. Persentase penggunaan kombinasi antidiabetika oral dengan insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2:

pankreas. Sulfonilurea juga dapat meningkatkan kadar insulin dengan cara mengurangi bersihan hormon dihati. Sulfonilurea digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak dapat mencapai kontrol yang sesuai pada perubahan pola diet saja, namun semua pasien sangat penting untuk melanjutkan diet yang ketat untuk memaksimalkan khasiat sulfonilurea ini. Kombinasi insulin dan sulfonilurea telah digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian pada pasien diabetes melitus tipe 1 tidak memberikan bukti apapun bahwa kontrol glukosa diperbaiki oleh terapi kombinasi. Hasil pada pasien diabetes melitus tipe 2 menunjukkan perbaikan kontrol metabolisme. Pencapaian efek manfaat terapi kombinasi adalah aktivitas residual sel beta, dan durasi singkat diabetes melitus diperkirakan akan memberikan respon yang baik. Golongan biguanida yang diberikan tunggal atau kombinasi dengan sulfonilurea dapat memperbaiki kontrol glikemia dan konsentrasi lipid pada pasien yang merespon kurang baik terhadap diet atau sulfonilurea saja. Golongan biguanida yang dikombinasikan dengan insulin juga bermanfaat pada terapi resistensi insulin. Biguanida tidak menyebabkan peningkatan berat badan, karena tidak merangsang atau menghambat perubahan glukosa menjadi lemak. Pada penderita diabetes melitus yang gemuk ternyata pemberian biguanida dapat menurunkan berat badan dan oleh terapi apapun (insulin atau senyawa oral) dapat menyebabkan berkurangnya komplikasi mikrovaskular. Metformin merupakan satu-satunya senyawa terapeutik golongan biguanida yang terbukti menurunkan kejadian makrovaskular pada pasien diabetes melitus tipe 2.

1. Kombinasi 2 obat a. Golongan sulfonilurea + insulin = 33,34% b. Golongan biguanida + insulin = 8,34% c. Golongan inhibitor glukosidase + insulin = 4,16% 2. Kombinasi 3 obat a. Golongan sulfonilurea + biguanida + insulin = 50% b. Golongan sulfonilurea + inhibitor glukosidase + insulin = 4,16% Pembahasan Penggunaan obat kombinasi ini bertujuan untuk pencapaian efek obat yang sinergis dan lebih optimal dalam mengontrol kadar gula darah serta dapat menurunkan efek samping obat yang tidak diinginkan. Terapi kombinasi antidiabetika oral dengan insulin diberikan pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang gagal mendapatkan efek terapi maksimum pada terapi oral. Sulfonilurea yang diberikan pada pasien diabetes melitus tipe 2 dapat meningkatkan sekresi insulin dari

62

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Penyerapan biguanida di usus sangat baik, sehingga obat ini dapat diberikan dalam kombinasi dengan insulin atau sulfonilurea. Sebagian besar penderita diabetes melitus yang gagal diobati dengan sulfonilurea dapat ditolong dengan biguanida. Akarbose dan miglitol termasuk golongan inhibitor glukosidase, kedua senyawa ini menurunkan kadar glukosa darah setelah makan, karena obat ini bekerja mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks pada usus halus sehingga memperpanjang waktu absorbsi karbohidrat. Inhibitor gukosidase dapat memiliki efek yang besar terhadap kadar haemoglobin, pada pasien diabetes melitus tipe 2 hiperglikemia yang parah. Namun, pada pasien dengan hiperglikemia ringan hingga sedang, potensi penurunan glukosa oleh inhibior glukosidase adalah sekitar 30%-50% diantara senyawa antidiabetes oral lainnya. Inhibitor glukosidase tidak menstimulasi pelepasan insulin, sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Senyawa ini dapat dipertimbangkan sebagai terapi tunggal untuk pasien lanjut usia atau terutama pasien hiperglikemia setelah makan. Selain itu, inhibitor glukosidase juga dikombinasikan dengan senyawa antidiabetes oral lainnya dan atau insulin. Terapi kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sebagian besar dikombinasikan lagi dengan insulin untuk pencapaian efek maksimum. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja aktif. Kedua golongan obat ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek yang saling menunjang. Kombinasi

kedua golongan ini efektif pada banyak penderita diabetes melitus yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sebagai terapi tunggal. Dari hasil penelitian ditemukan penggunaan kombinasi paling banyak adalah: kombinasi 3 obat yaitu golongan sulfonilurea + biguanida + insulin sebanyak 50%. Kombinasi 3 obat ini digunakan karena bekerja saling menguntungkan. Efek kombinasi ini bisa memperbaiki dan menambah kerja insulin. Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin pada pankreas, biguanida menurunkan produksi glukosa di hati dan membantu hati sehingga lebih sensitif terhadap insulin dan insulin dapat bekerja dengan baik. Metformin dari golonga biguanida juga tidak menaikkan berat badan. Suntikan insulin dibutuhkan karena insulin yang dihasilkan oleh pankreas belum dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Bila insulin dapat menaikkan berat badan, metformin bahkan kadang dapat menurunkannya. Pemakaian kombinasi ini memang efektif melihat cara kerja obat yang sinergis. Namun, efek samping dari penggunaan kombinasi ini adalah gangguan perut seperti mual, diare, kadang juga bisa timbul hipoglikemia. Kemudian kombinasi 2 obat, yaitu sulfonilurea + insulin sebanyak 33.34%. Kombinasi sulfonilurea dan insulin dapat menurunkan glukosa darah. Penggunaan kombinasi ini kurang efektif melihat efek samping yang ditimbulkan sulfonylurea yaitu hipoglikemia, apabila dikombinasikan dengan insulin tentu akan memperparah keadaan, disamping itu sulfonilurea juga dapat meningkatkan berat badan dan resiko komplikasi juga dapat meningkat. Kesalahan ini disebabkan karena tidak ada atau kurangnya komunikasi anatara farmasis dengan dokter. Kombinasi 2 obat golongan biguanida + insulin yaitu

63

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

8,34%. Kombinasi ini juga bisa mengurangi dosis pemakaian insulin. Disamping itu, metformin membantu hati sehingga lebih sensitif terhadap insulin dan insulin bisa bekerja dengan lebih baik. Bila insulin dapat menaikkan berat badan, metformin bisa menurunkan berat badan, sehingga kombinasi ini lebih menguntungkan terutama bagi pasien gemuk. Metformin sering diberikan pada pasien obesitas dimana hiperglikemia di sebabkan oleh kerja insulin yang tidak efektif atau resistensi insulin. Alasan penggunaan metformin disini adalah karena metformin merupakan suatu agen hemat insulin (insulin-sparing) dan tidak menaikkan berat badan atau menyebabkan hipoglikemia, maka metformin mempunyai keuntungan yang melebihi sulfonilurea untuk mengobati hiperglikemia. Sulfonilurea dapat menaikkan berat badan sedangkan metformin tidak menaikkan berat badan, oleh karena itu metformin efektif pada pasien gemuk maupun kurus, jadi berat badan sangat penting untuk diperhatikan dan merupakan salah satu factor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Adapun mekanisme kerja obat ini ada 4 yaitu: menstimulasi glikolisis pada jaringan secara langsung dengan meningkatkan pengangkutan glukosa dari darah, menurunkan glukoneogenesis di hati sehingga kebutuhan insulin untuk mengangkut glukosa dari darah masuk ke sel berkurang dan glukosa darah menjadi turun, memperlambat absorbsi glukosa dari saluran cerna dengan cara meningkatkan konversi glukosa menjadi laktat oleh entrocytes, dan meningkatkan sensitivitas insulin. Keamanan obat diabetes melitus biasannya terkait dengan efek samping yang ditimbulkan, seperti mual, muntah, diare, iritasi lambung yang bersifat

ringan. Namun perlu diwasapadai efek samping yang lebih serius yang akut adalah hipoglikemia terutama oleh insulin, sulfonilurea, meglitinida. Efek lain yang serius adalah pada gagal jantung, infark miokard dan patah tulang terutama pada manula akibat golongan tiazolidinedion. Untuk gangguan ginjal, tidak dipilih metformin dan sulfonilurea, tapi dipilih tiazolidinedion, meglitinida dan insulin, untuk gangguan hepar dipilih meglitinida, akarbosa dan insulin, untuk obesitas dipilih metformin dan akarbosa. untuk pasien diabetes mellitus tipe 1 insulin merupakan pilihan utama, sedangkan untuk diabetes melitus tipe 2 pilihan utama nya adalah metformin atau kombinasi dengan insulin, apalagi jika sudah terjadi resistensi insulin dan terapi dengan antidiabetika oral saja belum dapat mengontrol kadar glukosa darah, maka insulin sebagai pilihan. Insulin juga menjadi pilihan pada diabetes melitus tipe 2 apabila kadar glukosa darah seseorang pada diagnosa pertama kali di atas 300 mg/dl. Pada penatalaksanaan penyakit ini diperlukan peran farmasis atau apoteker sebagai ahli obat, dan agar penatalaksanaan penyakit ini berhasil dibutuhkan kerjasama yang erat dan terpadu dari penderita dan keluarga dengan para tenaga kesehatan. KESIMPULAN 1. Penggunaan kombinasi paling banyak adalah kombinasi 3 obat yaitu golongan sulfonilurea + biguanida + insulin sebanyak 50%. Kombinasi ini efektif untuk mengontrol kadar glukosa darah karena mekanisme kerja obat yang saling menunjang.

64

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

2. Metformin bukan menjadi pilihan utama pada pasien diabetes melitus tipe 2, seharusnya metformin merupakan pilihan utama pada diabetes melitus tipe 2.

DAFTAR PUSTAKA Departemen kesehatan RI, Direktorat jendral bina kefarmasian dan alat kesehatan, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus, Jakarta, 2006 ISFI, 2008. Tranformasi Ilmu dan Teknologi Dalam Praktek Kefarmasian. Kongres Ilmiah XVI. ISFI, Yogyakarta. Mutschler. E, 1991. Dinamika Obat, Ed 5, Terjemahan M.B Widianto dan A.S Ranti, Penerbit ITB, Bandung. Sulaiman, A, 1987. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Ed 2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Tandra, Hans, 2008. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes, PT. Gramedia pustaka utama, Jakarta, 2008.

65

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

PENGARUH ASUPAN PROTEIN DAN MIKRONUTRIEN (Zat Besi Vitamin C dan Vitamin A) TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN Erina Masri ( Staf Pengajar Prodi Gizi STIKes Perintis Padang ) ABSTRACT Decrease of hemoglobyn level cause anemia. Protein, iron, vitamin A and vitamin C influence Hemoglobyn level. Iron is urgent component for syntesis hemoglobyn. Protein and vitamin C verry important for iron metabolism. Vitamin A prevent infection that inhibition transferrin syntecis as transporter of iron. Key word: Hemoglobyn, protein, micronutrient (iron,vitamin A, vitamin C) PENDAHULUAN Masalah gizi utama di Indonesia yaitu Kurang Kalori Protein (KKP), Kurang Vitamin A (KVA), gondok endemik dan kretin serta anemia gizi. Anemia gizi merupakan masalah gizi yang paling utama di Indonesia, yang disebabkan karena kekurangan zat besi. Secara umum tingginya prevalensi anemia gizi besi antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: kehilangan darah secara kronis, asupan zat besi tidak cukup, penyerapan yang tidak adekuat dan peningkatan kebutuhan akan zat besi (Arisman, 2004). Sekitar 90% penyebab anemia adalah akibat kekurangan besi, yang disebut sebagai anemia gizi besi (Solon, 2003). Di Indonesia prevalensi Anemia Gizi Besi (AGB) menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 1995 masih tinggi, yaitu pada anak Balita sebesar 40,5%, anak usia sekolah47,2%, anak umur 10 -14 tahun 51,5%, sedangkan pada wanita hamil 50,9% (Kodyat dkk, 1998). Anemia gizi besi dapat menyebabkan seseorang mudahterserang infeksi, menurunnya kemampuan kognitif, dan bila terjadi pada anak sekolah akan mengurangi kapasitas dan kemampuan belajar. Konsekwensi logis dari tingginya masalah anemia gizi besi adalah penurunan kualitas sumber daya manusia Indonesia (DepkesRI, 1999). Anemia gizi besi ditandai dengan menurunya kadar hemoglobin dibawah normal. Berdasarkan klasifikasi batas normal kadar Hb, kelompok anak usia 6 bulan -6 tahun 11gr /100 ml, 6-14 tahun 12gr/100 ml, dan untuk usia dewasa laki-laki 14 gr/100 ml, wanita 12 gr/100 ml serta wanita hamil 11 gr/100 ml. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pemberian suplementasi besi yang dikombinasikan unsur vitamin dapat meningkatkan bioavailabilitas besi dan lebih efektif meningkatkan kadar hemoglobin dibandingkan dengan hanya suplementasi besi saja (Bloem, MW 1998). Dalam rangka penanggulangan anemia gizi besi beberapa zat gizi lain penting untuk dipertimbangkan, terutama zat-zat gizi yang berkaitan dengan proses penyerapan dan utilitasi besi. Beberapa zat gizi tersebut antara lain asam folat, vitamin A, seng , vitamin B12, vitamin C, dan lainnya (Morgan, et al. 1995). PEMBAHASAN 1. Hemoglobin Hemoglobin adalah struktur darah yang terdiri dari Haem dan Globin, dimana haem adalah yang memberi warna merah pada darah dan

66

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

globin adalah protein darah.. Kadar normal hemoglobin dalam darah akan bervariasi tergantung pada usia seseorang dan juga jenis kelamin. Selain kedua faktor tersebut ketinggian suatu tempat juga berpengaruh terhadap kadar hemoglobin serta dipengaruhi juga oleh faktor makanan. Pada orang yang normal, konsentrasi hemoglobin pada orang yang tinggal di daerah yang tinggi akan lebih tinggi kadar hemoglobinnya dari pada orang yang tinggal didaerah rendah, hal ini berhubungan dengan kadar oksigen di udara. Pada bayi yang baru lahir kadar hemoglobinnya tinggi diatas orang dewasa yaitu 17 23 gr/dl. Kadar hemoglobin ini akan menurun setelah bayi berumur 2 bulan yaitu sekitar 9-14 gr/dl. Pada usia 10 tahun kadar normalnya sekitar 12-14 gr/dl untuk wanita sedangkan laki-laki 14-18 gr/dl. Angka normal ini akan menurun pada usia diatas 50 tahun Anemia Gizi Besi. 2. Anemia Gizi Besi Anemia adalah suatu keadaan kadar Hemoglobin (Hb) yang lebih rendah dari keadaan normal. Anemia dapat juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran / jumlah eritrosit atau kandungan hemoglobin (Wirakusumah, 1999). Batas normal kadar hemoglobin menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Batas Normal Kadar Hemoglobin Umur 6 bulan-6 tahun 6 -14 tahun Dewasa Laki-laki Wanita Wanita hamil Sumber: Depkes Ri,1999 Kelompok Anak Hemoglobin 11 gr/ 100 ml 12 gr/ 100 ml 14 gr/ 100 ml 12 gr/ 100 ml 11 gr/ 100 ml

Anemia gizi besi ditandai dengan ukuran eritrosit yang kecil serta kadar hemoglobin yang rendah. Keadaan ini merupakan tahap lanjut dari defisiensi besi dan muncul setelah kekurangan besi yang berlangsung lama. Menurut Gibson (2005) ada tiga tingkatan di dalam defisiensibesi, yaitu: 1) Hilangnya Besi (Iron depletion). Tahap ini ditandai dengan pengurangan jumlah cadangan besi dalam hati. Pada tahap ini tingkat transport besi dan hemoglobinnormal, tetapi cadangan besi hilang yang ditandai dengan turunnya konsentrasi serum ferritin. 2) Besi Defisiensi Erytropoiesis (Iron deficient erythropoiesis) Tahap kedua ini ditandai dengan habisnya seluruh cadangan sebagai hasilnya besi plasma yang mensuplai proses erytropoiesis menurun drastis dan terjadinya peningkatan transferin saturasi, sebaliknya terjadi peningkatan konsentrasi erytrosit protoporpyrin. Erytrosit protoporpyrin merupakan prekusor dari hem, yang terakumulasi dalam sel darah merah ketika suplai besi tidak cukup untuk sintesis hem. Kadar hemoglobin menurun sedikit, tetapi pada umumnya masih tetap dalam keadaan normal selama erythropoeisis berlangsung. 3)Besi Defisiensi Anemia (Iron deficiency anemia) Tahap ketiga atau tahap akhir dari defisiensi besi adalah menurunnya sirkulasi besi yang ditandai dengan turunnya kadar hemoglobin dalam sel darah merah. Gejala klinis dari tahap ini adalah perbandingan antara hematokrit dan sel darah merah dengan Mean Cell Volume (MCV) kurang dari 80 fL, disebut sebagai anemia mikrositik hypokronik (Gibson, 2005). Faktor utama penyebab anemia gizi besi adalah

67

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

kurangnya konsumsi besi makanan, atau rendahnya tingkat absorpsi besi dan adanya penghambat sehingga tidak dapat diserap secara optimal sehingga tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Hal ini terutama dapat terjadi pada orang yang mengkonsumsi makanan kurang beragam, pola konsumsi serta keadaan ekonomi juga berdampak pada ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan sumber besi. Hal ini juga berpengaruh pada tidak terpenuhinya kebutuhan tubuh akan besi (Wirakusumah, 1999). Kebutuhan meningkat akibat pertumbuhan, terutama pada bayi, anak-anak, dan remaja yang membutuhkan besi dalam jumlah relatif lebih besar karena pertumbuhan yang pesat pada bayi dan anak-anak. Begitu juga remaja wanita yang sudah mengalami haid dimana saat itu cukup banyak mengeluarkan darah, berarti jumlah besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Selain itu, kehilangan akibat dari perdarahan misalnya karena kecelakaan dan operasi. Keadaan infeksi terutama pada penyakit kronis (penyakit malaria, TBC,dll), infeksi parasit (kecacingan), dan faktor genetik (penyakit talasemia) juga sangat mempengaruhi rendahnya kadar hemoglobin di dalam darah (Wirakusumah, 1999 ; WHO, 2001). Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia pada dasarnya adalah mengatasi penyebabnya. Pada anemia berat (kadarHb < 8 gr %) biasanya pada penyakit yang melatarbelakangi, yaitu antara lain penyakit TBC, infeksi cacing atau malaria sehingga selain penanggulangan pada anemianya, harus dilakukan pengobatan terhadap penyakit-penyakit tersebut.

3. Pembentukan Sel Darah Merah Pembentukan sel darah merah berasal dari eritroblast di sumsum tulang, produksi sel darah merah diperlukan 1) Besi untukmetabolisme hemoglobin, mioglobin, dan sitokrom, 2) Asam folat untuk metabolisme purin / pirimidin, 3) Vitamin B12 untuk daur ulang koenzim folat dan, 4) Vitamin C sebagai antioksidan dan untuk mengoptimalkan absorpsi besi (Parakkasi, 1992). Proses pembentukan sel darah merah diawali dengan pembentukan deoxyribonucleic acid (DNA) dalam inti sel dan berikutnya proses pembentukan hemoglobin dalam plasma eritrosit. Inti sel sebelum mitosis, diawali terbentuk dua pasang kromosom oleh DNA. Bila pembentukan DNA terhambat akan berakibat mitosis tidak terjadi meskipun pembentukan hemoglobin dalam plasma telah cukup. Penundaan terjadi sampai jumlah DNA yang diperlukan tercapai. Pembentukan DNA memerlukan katalisator vitamin B12 dan asam folat. Kekurangan vitamin B12 dan asam folat berakibat berkurangnya mitosis sel, disisi lain proses pembentukkan hemoglobin dalam sitoplasma sel berjalan terus, sehingga terjadi sel eritrosit berukuran besar (abnormal) masuk dalam sirkulasi darah disebut anemia makrositosis (MCV <100fL) (Gibson, 2005). Hemoglobin terdiri dari protoporfirin, globin, dan besi, protoporfirin dibentuk di sekitar mitokondria. Globin dibentuk di sekitar ribosom, dan besi berasal dari transferin. Pada permukaan sel darah merah berinti terdapat reseptor transferin. Gangguan pengikatan besi

68

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

untuk membentuk hemoglobin berakibat terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung hemoglobin (hipokromasia). Peristiwa ini terjadi saat kadar besi dalam darah rendah dan rendahnya transferin dalam darah. Sel darah merah berinti maupun retikulosit hanya memiliki reseptor transferin bukan reseptor besi. Besi elemental adalah besi yang dapat terikat oleh transferin untuk membentuk 1 ml packed red cells diperlukan 1 mg besielemental (Reksodiputro, 1994). Pembentukan sel darah merah baru akan terganggu apabila zat gizi yang diperlukan tidak mencukupi. Padahal umur sel darah merah hanya 120 hari dan jumlah sel darah merah, di dalam darah harus selalu dipertahankan cukup banyak. Terganggunya pembentukan sel darah merah bisa disebabkan makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat gizi, terutama zat-zat gizi penting seperti besi, asam folat, vitamin B12, protein, vitamin C dan zat gizi penting lainnya (Wirakusumah, 1999). 4. Peran Zat Besi terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin

3,5 g besi yang hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein, adapun pada bayi baru lahir lebih kurang 250 mg dari jumlah tersebut (60-70%) dinamakan besi fungsional, karena berefek pada fungsi tubuh, sedangkan sisanya disimpan disebut besi nonessensial (Wardhini S dan Dewoto H R, 1995). Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan senyawa-senyawa besi sebagai enzim oksidatifseperti sitokrom dan flavoprotein. Walaupun jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan yang sangat penting. Mioglobin ikut dalam transportasi oksigen menerobos sel-sel membran masuk ke dalam sel-sel otot. Sitokrom, flavoprotein, dan senyawa-senyawa mitokondria yang mengandung besi lainnya, memegang peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan Adenosin TriPhosphat (ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi.Sehingga apabila tubuh mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan bekerja (WHO, 2001). Kecukupan besi yang direkomendasikan adalah jumlah minimum besi yang berasal dari makanan yang dapat menyediakan cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada 95% populasi, sehingga dapat terhindar kemungkinan anemia kekurangan besi. Kecukupan besi ditentukan berdasarkan bioavailabilitas besi dari golongan makanan (Kartono J dan Soekatri M, 2004). Ditinjau dari bioavailabilitas besi dari makanan dapat dibagi 3 tipe ( MacPhail, 2000 ) yaitu Tipe bioavailabilitas rendah (besi dari bahan makanan pokok beras, jagung atau umbi-umbian, kurang mengandung unsur daging, ikan dan vitamin C dengan penyerapan besi tipe ini kurang dari 5%), Tipe bioavailabilitas menengah (beras dan jagung dengan sejumlah daging dan vitamin C dengan penyerapannya antara 5-15%), Tipe

Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Tubuh manusia sehat mengandung

69

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

bioavailabilitas tinggi (makanan yang banyak mengandung daging dan vitamin C dengan penyerapan besi lebih dari 15%). 5. Interelasi Protein dengan Kadar Hemoglobin

Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sebagai alat angkut, protein ini dapat bertindak secara khusus, misalnya protein pengikat retinol yang hanya mengangkut vitamin A. atau dapat mengangkut beberapa jenis zat gizi seperti besi sebagai transferin (Almatsier, 2003). Protein sebagai alat angkut dan penyimpanan terhadap hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan ferritin (Winarno, 2002). Terutama protein hewani, walaupun tidak semua, juga dapat mendorong penyerapan besi nonhem. Protein seluler yang berasal dari daging sapi, kambing, domba, hati, dan ayam menunjang penyerapan besi nonhem. Namun protein yang berasal dari susu sapi, keju dan telur tidak dapat meningkatkan penyerapan besi nonhem. Faktor yang menyebabkan kenaikan penyerapan besi lebih dikenal sebagai MFP (meat, fish, poultry) factor (Wirakusumah, 1999). 6. Interelasi Vitamin Hemoglobin A dengan

seluler yang berdampak pada perkembangan epitel yang mensekresi mukosa atau pada sistem kekebalan tubuh (Almatsier, 2003). Retinol dan besi, sama-sama diangkut oleh negative phase protein, yaitu Retinol Binding Protein (RBP) dan transferin. Sintesis kedua protein ini tertekan bila ada infeksi. Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, maka dengan kemampuan vitamin A melawan infeksi, akan terjadi penurunan derajat infeksi. Akibatnya sintesis retinol binding protein dan transferin kembali normal. Kondisi ini memungkinkan besi retinol yang semula terjebak di tempat penyimpanan dapat dimobilisasi kembali. Dengan menghilangnya infeksi, besi yang semula ditahan makrofag akan dilepas kembali ke sirkulasi dan diangkut transferin untuk kepentingan eritropoeisis (Turnham, 1993). Vitamin A juga berperan dalam pembentukan sel darah merah, kemungkinan melalui interaksi dengan besi. (Almatsier, 2003). Dengan demikian jelas bahwa status vitamin A yang tidak adekuat akan berdampak pada metabolisme besi dan eritropoeisis yang gilirannya akan menurunkan kadar hemoglobin. Beberapa penelitian membuktikan bahwa vitamin A mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kadar hemoglobin. Pemberian suplemen vitamin A 110 mg pada anak yang kekurangan vitamin A (retinol < 0,60 mol/L) dapat meningkatkan hemoglobin dan transferrin saturasi (Bloem, 1990). Suplementasi besi yang dikombinasi dengan vitamin A selama 2 bulan pada anak-anak yang menderita anemia mempunyaipengaruh yang lebih besar pada peningkatan kadar hemoglobin dan transferin saturasi, dibandingkan dengan yang hanya diberikan suplemen besi

Vitamin A adalah zat gizi esensial yang larut dalam lemak dan dibutuhkan untuk kelangsungan berbagai fungsi tubuh yang penting. Retinol tampaknya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi

70

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

atau vitamin A saja (Meijia and Chew, 1988). Pemberian dosis tunggal vitamin A 200.000 IU pada anak yang menderita xerossis conjuctival setelah dua minggu ternyata dapat meningkatkan hemoglobin, hematokrit, serum besi dan transferin saturasi (Bloem, 1995). Hasil penelitian yang dilakukan terhadap ibu hamil di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama. Ibu hamil yang anemia dengan kadar retinal <1.1 mol/L yang diberikan suplementasi vitamin A dan besi (besi 60 mg dan vitaminA 2.4 mg) mempunyai perubahan yang lebih besar pada peningkatan kadar hemoglobin dan transferin saturasi, dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapat suplementasi besi atau vitamin A saja (Suharno, 1993). Vitamin A berpengaruh terhadap transferin saturasi, tetapi tidak berpengaruh pada peningkatan cadangan besi dalam tubuh. Mekanisme yang pasti tentang peranan vitamin A terhadap status besi belum jelas benar. Diperkirakan bahwa kekurangan vitamin A dapat menghambat penggunaan kembali cadangan besi yang disimpan dalam hati (Bloem, 1995 ; Schultink dan Gross, 1998). Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A marginal mengganggu eritropoeisis, tetapi tidak mempengaruhi penyerapan dalam intestinal terhadap besi dalam makanan sehari-hari (Roodenburg, 1994). Beberapa hasil penelitian cross sectional menyimpulkan bahwa peningkatan asupan vitamin A dapat mendorong ke arah peningkatan status vitamin A dan status besi (Schultink dan Gross, 1998). Penelitian lainnya telah menemukan suatu korelasi signifikan antara serum retinol dan kosentarsi hemoglobin, diantara anak pra sekolah di India pada studi ini menunjukkan kadar hemoglobin lebih rendah pada mereka yang mempunyai serum retinol di bawah

20 g/dL, dibandingkan dengan yang mempunyai kadar hemoglobin normal. Suplementasi vitamin A pada anak yang defisiensi meningkat secara signifikan pada kadar hemoglobin, hematokrit dan besi serum. Observasi ini menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A bisa memberikan kontribusi terhadap anemia dan akan mepunyai efek positif pada status besi (IVACG, 1998). 7. Interelasi Vitamin Hemoglobin C dengan

Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin C adalah vitamin yang paling labil. (Almatsier, 2003). Beberapa reaksi enzim membutuhkan vitamin vitamin C seperti proses hidrosilasi yang menggunakan molekul oksigen dan sering mempunyai kofaktor besi atau tembaga. Dalam reaksi tersebut vitamin C mempunyai 2 (dua) peranan : (1) sebagai sumber elektron untuk mereduksi oksigen, (2) sebagai zat pelindung untuk memelihara status reduksi besi. Dalam metabolisme besi, terutama mempercepat penyerapan besi usus dan pemindahannya ke dalam darah. Vitamin C dapat juga terlibat dalam mobilisasi simpanan besi terutama hemosiderin dalam limpa (Parakkasi, 1992). Vitamin C diperlukan untuk meningkatkan penyerapan besi di dalam tubuh. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50,100 dan 250 mg dapat memperbesar penyerapan besi sebesar 2, 3, 4, dan 5 kali (Wirakusumah, 1999). Vitamin C mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyerapan besi terutama dari besi nonhem yang

71

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

banyak ditemukan dalam makanan nabati. Bahan makanan yang mengandung besi hem yang mampu diserap sebanyak 37% sedangkan bahan makanan golongan besi nonhem hanya 5% yang dapat diserap oleh tubuh. Penyerapan besi nonhem dapat ditingkatkan dengan kehadiran zat pendorong penyerapan seperti vitamin C dan faktor-faktor pendorong lain seperti daging, ayam, ikan (Berdanier, 1998). Vitamin C bertindak sebagai enhancer yang kuat dalam mereduksi ion ferri menjadi ion ferro, sehingga mudahdiserap dalam pH lebih tinggi dalam duodenum dan usus halus (Almatsier, 2003) Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonhem meningkatkan empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke ferritin (Almatsier, 2003). Hasil penelitian Saidin, 1998 melaporkan bahwa dengan pemberian vitamin C dalam bentuk tablet maupun dalam bentuk bahan makanan (buah pepaya) dapat meningkatkan penyerapan besi ibu hamil. Pemberian tablet vitamin C 100 mg meningkatkan penyerapan besi 37,5% - 46,0% pada bumil dengan makanan pokok beras, jagung dan tiwul. Sedangkan dengan pemberian vitamin C dalam bentuk bahan makanan (250 g buah pepaya)meningkatkan penyerapan 42 54.2%. Pengaruh vitamin C atau asam askorbat adalah dose related dan signifikan pada semua jenis makanan (Svanberg, 1995). Hubungan secara tidak langsung ini memberikan pengaruh utama pada pemberian pertama 25-50 mg asam askorbat dalam makanan, penambahan asam askorbat selanjutnya relatif kurang efektif (Hallberg, 1989). Hasil penelitian Saidin dan Sukati, 1997 tentang pemberian tablet besi dengan penambahan vitamin C terhadap perubahan kadar Hb dan ferritin serum

membuktikan bahwa pemberian tablet besi dan vitamin C 150 mg, dapat meningkatkan kadar hemoglobin yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok lain. KESIMPULAN Zat besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paruparu ke jaringan tubuh. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Vitamin C diperlukan untuk meningkatkan penyerapan besi di dalam tubuh. Sintesis trnasferin sebagai alat transpor zat besi akan terhambat jika terjadi infeksi, sedangkan pemberian vitamin A yang adekuat dapat melawan infeksi sehingga dapat menormalkan sintesis transferin. Jadi zat protein vitamin C dan vitamin A bekerja sama melalui perannya masingmasing untuk meningkatkan sintesis hemoglobin.

72

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S 2003, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta : Gramedia Bloem, MW 1995, Interdependence of vitamin A and iron : an Important association for programmess of anemia control Proc Nutr Soc Bloem, MW et al. 1990, Vitamin A Intervention : Short-term effects of a single, oral, massive dose on iron metabolism, Am J Clin Nutr (51), Berdanier, CD 1998, Advanced Nutrition Micronutrients, Professor, Food Nutrition, University of Georgia Athens, Georgia, by CRC press.LCC De Maeyer 1993, Pencegahan dan Pengawasan Anemia Defisiensi Besi.WHO,Jenewa, Diterjemahkan oleh Ronardy, DH Widya Medika.Jakarta Indonesia Departemen Kesehatan RI 1996, Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi di Indonesia, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta Departemen Kesehatan RI 1999, Pedoman Pemberian Besi Bagi Petugas, Ditjen. Binkesmas, Jakarta Gibson, RS 2005, Principles of Nutritional Assessment, Oxford University Press new york, p.443 - 453. Hallberg, L, Brune, M, Rossander, L 1989, Iron absorption in man : Ascorbic acid and dose dependent inhibition by phytate, Am J ClinNutr 49 : p.140-4. Kodyat, Benny, A dkk. 1998, Penuntasan Masalah Gizi Kurang, Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI Tahun 1998, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta hal.755.

Reksodiputro, A, Haryanto 1994, Mekanisme Anemia Defisiensi Besi, Sub. Bagian HematologyOnkologi Medik bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UI, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, hal. 154 160. Roodenburg, AJC, West, CE, Yu, S, Beynen, AC 1994, Comparison between time-dependent changes in iron metabolism of rats as induced by marginal deficiency of either vitamin A or iron, Br J Nutr

73

SCIENTIA VOL. 1 NO. 1 2010 ISSN : 2087-5045

Petunjuk Penulisan Pada Jurnal Scientia


1. Naskah berupa hasil penelitian atau karya ilmiah dari bidang Ilmu Farmasi dan Kesehatan, baik berupa review maupun sintesis. Naskah belum pernah dan tidak akan pernah dipublikasikan pada media lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila naskah dalam bahasa Inggris, maka abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia, sebaliknya bila naskah dalam bahasa Indonesia, maka abstrak ditulis dalam bahasa Inggris. 3. Naskah diketik menggunakan komputer, dengan jumlah halaman maksimal 10 halaman kertas ukuran kuarto (A4) dengan spasi ganda. Abstrak tidak lebih dari 250 kata yang diketik dengan jarak 1 spasi. Naskah 1 rangkap beserta softcopy (dalam bentuk CD) dikirim ke redaksi. 4. Sistematika penulisan disusun sebagai berikut : a. Judul, nama lengkap penulisan dan lembaga b. Abstrak c. Pendahuluan : berisi latar belakang masalah, ditambah literatur pendukung yang relevan d. Metode Penelitian e. Hasil dan Pembahasan f. Kesimpulan atau saran g. Daftar Pustaka (kutipan dari buku dengan susunan : nama penulis, tahun, judul buku (tulis tebal), penerbit, kota terbit; kutipan dari jurnal dengan susunan : nama penulis, tahun, judul artikel, judul jurnal, volume, nomor halaman) 5. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang jelas 6. Redaksi berhak merubah naskah tanpa mengurangi isi dan maksud naskah 7. Redaksi berhak menolak naskah yang kurang layak untuk dipublikasikan. Naskah akan dikembalikan jika dilengkapi perangko secukupnya 8. Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar dan lembaga/instansi tempat penulis bekerja 9. Pada bagian akhir naskah dicantumkan riwayat hidup penulis 10. Naskah & softcopy dapat dikirimkan ke : Alamat : Jl. Adinegoro/Simp. Kalumpang Km. 17 Lubuk Buaya Padang-25173 e-mail : stifi_perintis@yahoo.com (khusus softcopy)

You might also like