You are on page 1of 3

Perjalanan Ke Cilacap Pertengahan Mei 2009.

Setelah enam sampai tujuh jam perjalanan darat yang cukup melelahkan dari Bandung, terutama setelah memasuki daerah Majenang sampai kota kecil Wangon karena jalur jalan yang tidak rata,sekitar pukul delapan malam kami sampai ke kota Cilacap. Jalur memasuki kota Cilacap diawali kelokan-kelokan di tengah suasana pedesaan Jawa Tengah di bawah naungan pepohonan. Menjelang masuk kota jalan mulai lurus dan melebar. Sayang, kota yang terkenal dengan kilang minyaknya ini sedang mengalami pemadaman listrik, sehingga saya kehilangan sensasi melihat lampu-lampu kota setelah beberapa jam tenggelam dalam kegelapan hutan jati. Sebagai orang yang pertama kali datang ke suatu kota dengan berbekal informasi yang minim, ditambah kegelapan akibat mati lampu, maka lengkaplah kebingungan saya. Dimana gerangan kami harus mencari penginapan? Sebagai pelajaran, jangan sekali-kali pergi ke suatu kota yang masih asing dan sampai ke kota itu pada malam hari! Beberapa penginapan yang kami temui ternyata kondisinya kurang memikat. Rata-rata kondisinya kumuh, bahkan satu hotel yang saya datangi menolak karena kami membawa anak-anak. Oh, rupanya tempat itu adalah hotel khusus dewasa! Sepertinya Cilacap pada tahun 2009 itu belum menyiapkan diri menjadi suatu kota wisata. Dengan logika sederhana sayapun mengarahkan kendaraan menuju pantai. Karena seharusnya di daerah pantai kan pasti ada penginapan. Menjelang daerah pantai kami menemukan penginapan, kalau tidak salah namanya Hotel Marina. Hotel itu bergaya agak ketinggalan jaman. Terdiri dari sekitar sepuluh kamar dengan harga berkisar antara Rp 70.000,- sampai Rp 160,000,- (harga saat itu). Fasilitas kamar hotel seadanya, kelas kamar mulai dari yang tanpa AC, dengan AC tanpa air panas dan yang termahal menyediakan AC plus air panas. Ruangan kamar cukup luas dengan pesawat TV di setiap kamar. Tetapi jangan harap ada kolam renang, yang ada hanya ada satu kolam ikan kecil saja. Tetapi secara keseluruhan, hotel seperti itulah yang kami cari untuk mengirit biaya. Pengelola hotel cukup berbaik hati mengingat mereka mau menerima kami yang datang secara rombongan. Pengalaman saya beberapa hotel agak rewel mengenai jumlah orang yang mengisi satu kamar. Sementara rombongan yang lain bersiap-siap untuk istirahat, saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan penjaga merangkap resepsionis hotel itu. Darinya saya mengetahui bahwa hotel tersebut adalah satu-satunya hotel yang berjarak terdekat dengan pantai.Nama pantai yang terdekat tersebut adalah pantai Teluk Penyu. Jaraknya sekitar 300 sampai 500 meter dari tempat kami menginap. Bahkan untuk sebuah hotel yang terdekat pun bibir pantai tidak dapat terlihat, jujur, sampai titik ini saya agak menyesal dengan kondisi yang saya temui. Pagi itu terasa hangat, udara khas daerah pinggir pantai. Kami berjalan kaki ke arah pantai menyusuri jalanan beraspal. Sekitar 100 meter dari bibir pantai tidak terdapat bangunan permanen, hanya hamparan lahan tak terurus, semakin dekat ke arah gerbang masuk terdapat jajaran kios-kios penjual makanan dan cendera mata. Rupanya sepanjang jalur tersebut, di bawah tanah, melintaslah jalur pipa minyak milik Pertamina sehingga tidak ada ijin bagi bangunan permanen yang dapat dikeluarkan. Di pintu gerbang masuk tampaknya dijaga oleh petugas yang memungut karcis bagi pengunjung yang akan memasuki kawasan pantai. Kami sendiri tidak membayar karena berjalan melintasi lahan kosong yang jauh dari gerbang, langsung dari arah penginapan. Suasana pantainya sendiri, saat itu hari Sabtu, lumayan agak ramai. Beberapa kendaraan mobil maupun motor tampak terparkir di sisi jalan yang menjulur sejajar garis pantai. Bangunan-bangunan

saung yang setengah tak terurus berjajar di dinggir pantai. Pasir pantai terlihat agak kehitaman, jenis pasir yang biasa terdapat di pantai-pantai pulau Jawa. Sementara jauh menjorok ke arah laut terdapat beberapa dermaga sepanjang kurang lebih 30-50 meter. Entah masih berfungsi atau tidak, karena tidak tampak ada satupun kapal yang bersandar di ujungnya. Di seberang Teluk Penyu tampak pulau Nusakambangan yang terkenal dengan kompleks penjaranya. Rupanya pulau itulah yang menjadi benteng bagi pantai Cilacap, sehingga saat tsunami melanda pantai selatan Cilacap hingga Pangandaran hampir tidak ada pengaruh terhadap pantai Teluk Penyu. Lebih ke arah barat lagi, di utara jalan (pantai terletak di selatan jalan), terdapat sebuah pasar. Di pasar tersebut dijual berbagai kebutuhan sehari-hari, baju, cindera mata sampai keperluan oleholeh. Seperti biasa oleh-oleh tersebut terdiri dari ikan asin dan berbagai panganan olahan ikan laut. Melanjutkan lagi ke arah barat pasar terdapat jajaran restoran makanan laut. Beberapa tampak sepi, hanya satu dua restoran yang penuh terisi pengunjung. Biasanya, kalau tidak ada informasi yang dapat diandalkan, maka pilihlah restoran yang dipenuhi pengunjung. Karena hal itu dapat dijadikan indikator bahwa makanan di tempat itu enak atau murah. Restoran yang kami masuki rasa masakannya cukup lumayan. Kami berdelapan, memesan beberapa porsi ikan bakar, ikan goreng, udang, kepiting serta beberapa jenis minuman standar, dengan nasi putih tentunya, hanya dinilai 150 ribu rupiah, dan karena kami memesan banyak porsi masih ada diskon pembayaran sehingga yang harus dibayarkan hanya 120 ribu rupiah! (maaf, ini harga tahun 2009, tetapi untuk saat itu pun termasuk murah). Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut senanglah hati. Setelah selesai makan, dari arah pantai mendekat beberapa orang yang berpenampilan seperti nelayan, menawarkan perahu untuk disewa menuju pulau Nusakambangan. Nusakambangan? Dalam pikiran saya pulau itu adalah sebuah daerah tertutup yang dikhususkan untuk narapidana, sehingga orang luar yang akan masuk diharuskan memiliki ijin khusus. Ternyata ada beberapa daerah di pulau tersebut yang bebas untuk didatangi wisatawan, salah satunya dengan menggunakan perahu-perahu milik masyarakat. Harga yang ditawarkan adalah sepuluh ribu rupiah per orang untuk perjalanan pergi pulang. Pengunjung akan ditinggal dan dijemput kembali setelah puas menjelajah. Waktu maksimal penjemputan adalah jam 5 sore, atau kalau sudah selesai sebelumnya telpon saja HP sang penjemput. Dengan menggunakan perahu nelayan bermotor kamipun melaju ke arah pulau Nusakambangan yang terkenal itu. Ada sedikit kecemasan, maklum predikat yang disandang oleh pulau ini cukup menyeramkan, tempat narapidana kelas kakap. Di sebuah teluk kecil yang tenang terdapat pelabuhan nelayan. Pasir pantainya yang kelabu terlihat bergerak-gerak, akibat ribuan anak kepiting yang berlarian dan segera bersembunyi ke dalam pasir begitu ada gerak kaki manusia mendekat. Di lokasi tersebut terdapat tiga warung makan sederhana yang terbangun dari bambu. Terdapat pula pos wisata kecil yang memberi informasi sederhana tentang rute wisata setempat. Untuk dapat melanjutkan perjalanan per orang ditarif dua ribu rupiah. Selepas pos jaga itu sebuah jalan setapak menanjak ke dalam hutan terhampar. Suasana yang kontras dengan di daratan Cilacap. Tidak ada bising suara kendaraan bermotor yang terdengar. Hanya saja kalau kondisi hujan agaknya jalanan ini akan sangat menyulitkan bagi yang membawa keluarga seperti kami. Sepanjang jalan sering kali kami berpapasan ataupun beriringan dengan beberapa kelompok wisatawan lain. Hal yang sekali lagi agak menenangkan karena hutan ini adalah

hutan pulau Nusakambangan, pulaunya para narapidana. Trek jalan setapak yang dilalui cukup berat karena saya harus menggendong anak yang masih berumur dua tahun. Setelah setengah jam perjalanan yang lambat, di sisi kiri jalan tampak hamparan pasir putih memanggil kami. Ditambah dengan kondisi pasukan yang sudah setengah putus asa dan jarum jam yang mendekati sore, maka kami memutuskan bahwa perjalanan sampai disini saja. Padahal dari informasi di pos terdapat beberapa tempat wisata seperti benteng-benteng peninggalan penjajah dan pantai selatan yang lebih menantang. Tetapi pantai yang ada inipun cukup bagus, pasirnya yang putih dengan butiran pasir yang relatif besar-besar, rasanya pasir terbagus dari seluruh pantai yang pernah saya datangi, baik di Bali, Manado, Lampung apalagi pulau Jawa. Entah kalau pantai yang belum pernah saya datangi. Pantainya sempit menghadap ke arah timur, dinding karang mengelilingi pantai tersebut. Ombaknya kecil karena terhadang hamparan karang dangkal yang menjorok ke arah laut. Sesekali melintas kapal tanker yang pergi atau menuju pelabuhan Cilacap. Selain Nusakambangan masih ada beberapa tempat yang biasa dikunjungi wisatawan. Antara lain Benteng Pendem di pinggir pantai Cilacap, tidak terlalu jauh dengan Teluk Penyu. Benteng Pendem merupakan benteng pertahanan peninggalan Belanda, dengan areal yang cukup luas dihiasi alur-alur air dan dihiasi banyak pepohonan. Sebagian jalur-jalur gua untuk persembunyian menuju ke arah laut, sehingga saat air pasang maka jalur gua akan terendam air laut. Maka areal Benteng Pendem untuk sekedar mencari kesejukan setelah seharian berkutat di daerah yang panas, bolehlah. Sekedar berteduh sambil bercengkerama dengan beberapa ekor kijang yang terdapat di kompleks itu. Ada lagi Kampung Laut di selat Segara Anakan, yang sayangnya tidak sempat kami datangi. Untuk keperluan buah tangan, Cilacap menyediakan cukup banyak jenis. Toko-toko penyedia oleh-oleh banyak tersedia selain di pasar di pinggiran pantai Teluk Penyu. Kota Cilacap sendiri cukup besar dan tidak terlalu membosankan untuk ditelusuri, percampuran antara kota kuno dengan kemoderenan yang tanggung. Secara keseluruhan perjalanan menjelajahi Cilacap cukup menyenangkan, murah dan kita tidak akan cepat kehabisan obyek wisata.

You might also like