You are on page 1of 22

Penegrtian Tafsir dan Tawil

Pengertian Tafsir
Mei 18 Posted by chekie Makna tafsir dari segi bahasa menjelaskan dan menerangkan.[1] Pengertian seperti itu dapat dilihat pemakaiannya dalam QS. al-Furqan (25) : 33 sebagai berikut:

Terjemahnya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[2] Tafsir berasal dari akar kata al-fasr ( - - ) yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Dalam lisn al-Arab dinyatakan al-fasr ( ( secara leksikal berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-tafsir ( ) berarti menyingkap maksud suatu lafaz yang musykil atau pelik.[3] Di antara kedua bentuk itu, alfasr dan al-tafsir, kata al-tafsir (tafsir)lah yang paling banyak dipergunakan. Adapun pengertian tafsir secara terminologi ditemukan bahwa para ulama berbeda-beda secara redaksional dalam mengemukakan definisinya meskipun esensinya sama. Al-Jurjani misalnya mengetengahkan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari berbagai segi, baik konteks historisnya maupun sebab turunnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Kemudian Imam alZarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Quran dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar kemampuan manusia. Selanjutnya, al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk mengetahui dan memahami kandungan al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.[4] Dari beberapa definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa tafsir adalah upaya mengungkapkan dan menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran sesuai kadar kemampuan masing-masing yang sifatnya terbatas, sehingga dapat dijumpai pelajaran, hukum, dan hikmah yang terkandung di dalam kitab suci tersebut. Adapun pengertian tawil ditinjau dari aspek etimologi ialah mengembalikan. Sebagai contoh, dapat dilihat pemakaiannya dalam QS. Ali Imran (3): 7 sebagai berikut: ... Terjemahnya: . . . . Dan tidak ada yang mengerti tawilnya kecuali Allah [5] Tawil berasal dari akar kata al-aulu ( - - ) yang berarti kembali, mengembalikan kepada konteks yang ada dalam rangkaian kalimat. Sedangkan kata al-tawil berarti ungkapan atau penjelasan suatu ) dan al-tawil (tawil) lah yang sering pandangan.[6] Di antara kedua bentuk kata itu, al-aulu ( digunakan. Tawil menurut istilah, para ulama tampil mengemukakan dalam formulasi yang berbeda-beda. Muhammad Husain al-Zahabi berusaha merangkum berbagai pendapat tersebut lalu mengelompokkan ulama menjadi dua kelompok yaitu ulama salaf dan ulama khalaf. Menurut ...

ulama salaf bahwa pengertian tawil mengandung dua pengertian, yaitu : 1) tawil merupakan keterangan dan penjelasan arti suatu kalimat, 2) tawil berarti kalimat yang dimaksudkan itu sendiri. Sedangkan menurut ulama khalaf, tawil adalah suatu upaya memalingkan atau mengembalikan suatu lafaz dari makna biasanya ke makna lain yang memungkinkan karena ada dalil atau argumentasi yang menyertainya.[7] Dengan demikian, tawil adalah ilmu yang menjelaskan makna umum dan makna khusus dari susunan kalimat ayat-ayat al-Quran. Selanjutnya, hermeunitika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan dan hermenia berarti penafsiran atau interpretasi.[8] Kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata hermes . Meskipun secara etimologis dan historis diambil dari mitologi Yunani, namun secara teologis, peran Hermes sesungguhnya tak ubahnya dari peran para Nabi utusan Tuhan yang bertugas sebagai juru penerang dan penghubung untuk menyampaikan pesan dan ajaran Tuhan kepada manusia. Menurut Hussein Nasr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris as., yang disebut dalam al-Quran.[9] Dengan demikian, Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani sebuah misi, yaitu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan dalam text kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Secara terminologi, hermeneutika berarti upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan

Contoh Kitab-kitab tafsir bil-Masur yang terkenal : 1). Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas. 2). Tafsir Ibn Uyainah. 3). Tafsir Ibn Abi Hatim. 4). Tafsir Abusy Syaikh bin Hibban. 5). Tafsir Ibn Atiyah. 6). Tafsir Abuk Lais Samarqandi, Bahrul Ulum. 7). Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal Bayan an Tafsiril Qur-an. 8). Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jamiul Bayan fii Tafsiril Qur-an. 9). Tafsir Ibn Abi Syaibah. 10.) Tafsir al-Baghowi, Maalimut Tanzil. 11). Tafsir Abil Fida al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsirul Qur-anul Azhim. 12). Tafsir as-Salabi, al-Jawahirul Hisan fii Tafsiril Qur-an. 13). Tafsir Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durrul Mantsur fit Tafsiri bil Masur.

14). Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir. Contoh Kitab-kitab Tafsir bir-Rayi yang terkenal : 1). Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam. 2). Tafsir Abu Ali al-Jubai. 3). Tafsir Abdul Jabbar. 4). Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiqi Gawamidit. 5). Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib. 6). Tafsir Ibn Furak. 7). Tafsir an-Nasafi, Madarikul Tanzil wa Haqaiqut Tawil. 8). Tafsir al-Khozin, Lubabut Tawil fi Maanit Tanzil. 9). Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit. 10). Tafsir al-Baidawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Tawil. 11). Tafsir al-Jalalain; Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti. ---Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pustaka Rizki Putra, 2002.s

Syarat syarat Mufassir


a. Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim. Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqn f Ulm al-Qurn menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.1 Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqn f Ulm al-Qurn. Bab Marifah Syurth Al-Mufassir wa dbihi E-book. Diakses dari Mauqi Umm Al-Kitb li Al-Abhts wa Ad-Dirst Al-Ilikturniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.

1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek. Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,

.
Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitbullh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab. 2. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i rab. 3. Tashrf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui bin (struktur) dan shghah (tense) suatu kata. 4. Isytiqq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya ( ), apakah berasal dari ( ) atau ( ).

5. Al-Ma ni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna. 6. Al-Bayn karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna. 7. Al-Bad karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat. Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i jz) Al-Quran. 8. Ilmu qir ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qri dengan qri lainnya. 9. Ushluddn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh. 10. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidll (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbth. 11. Asbbun Nuzl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya. 12. An-Nsikh wa al-Manskh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya. 13. Fikih. 14. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui). 15. Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya. Dalam sebuah hadits disebutkan,

Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui. Ibnu Abid Dunya mengatakan, Ilmu Al-Quran dan istinbth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi. Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra yu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra yu (akal) yang dilarang. Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy2, maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam. 2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya. 3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.

Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antarpendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hij (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, Maknanya adalah qasam (sumpah) .
3

Silakan lihat: Syurth Al-Mufassir wa dbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 . Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqn. F Ulm Al-Qurn li As-Suythy. Beirut: Dr An-Nafis. Hal. 125

Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsr bil ma tsr. Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra yu sebatas yang diperbolehkan. Manhaj tafsr bil ma tsr tersebut akan dijelaskan sekilas di bawah ini.

1. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran Ayat Al-Quran terkadang disebutkan secara global dan ditafsirkan secara rinci pada ayat lain. Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara lusa pada ayat lain. Contoh penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah firman Allah ta ala dalam surat Al-Fatihah: 6-7.

*
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Orang-orang yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta ala,

Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orangorang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An-Nisa : 69) Contoh lainnya adalah firman Allah,

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah: 37) Beberapa kalimat dalam ayat ini ditafsirkan dalam ayat lainnya, yaitu firman Allah ta ala,

Keduanya berkata, Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi . (QS Al-A raf: 23) Penafsiran ini diriwayatkan dari banyak mufassir dari kalangan tabi in.

2. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal (global), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang mubham (tidak dimengerti), menafsirkan yang musykil (rumit), merinci yang ringkas, menyingkap bagian yang samar, dan memperlihatkan maksudnya. Demikian juga, Sunnah Nabawiyah datang dengan hukum-hukum yang tidak terdapat dan tidak ditentukan dalam Kitabullah. Sunnah Nabawiyah tidak keluar dari kaidah, pokok, maksud, dan tujuan Kitabullah. Tidak mungkin mencampakkan Sunnah Nabawiyah dan tidak boleh pula meremehkannya dalam kondisi apa pun. Hal itu karena urgensitasnya dalam memahami agama Allah, menafsirkan Kitab-Nya, dan mengamalkannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi i, Setiap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam berasal dari pemahamannya terhadap Al-Quran. Allah ta ala berfirman,

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. (QS An-Nisa : 105)4 Contoh penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah di antaranya adalah tafsir al-maghdhb alaihim (mereka yang dimurkai) dengan Yahudi dan adh-dhlln (mereka yang sesat) dengan Nasrani dalam surat Al-Fatihah. Ahmad, At-Tirmidzy, dan Ibnu Hiban dalam Shahhnya meriwayatkan dari Ady bin Hatim, dia berkata: Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah Yahudi dan mereka yang sesat adalah Nasrani. Tafsir ini diperkuat dengan firman Allah ta ala,

Katakanlah,

Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk

pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS Al-Maidah: 60) Yang dimaksud dengan mereka adalah Yahudi. Demikian juga firman Allah ta ala,

Katakanlah, Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya

Ya qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbb Al-Khatha f At-Tafsr; Dirsah Ta shliyyah. Juz I. Riyadh: Dr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 55.

(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus . (QS Al-Maidah: 77) Nabi shallallhu alaihi wa sallam menjadikan Yahudi sebagai contoh tipikal terhadap setiap orang yang rusak irdah (kemauan)nya. Mereka mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Nabi shallallhu alaihi wa sallam menjadikan Nasrani sebagai contoh tipikal terhadap setiap orang yang tidak memiliki ilmu dan ingin meraih kebenaran. Mereka kebingungan dalam kesesatan dan tidak mendapatkan petunjuk menuju kebenaran. Contoh lainnya adalah tafsir azh-zhulmu (kezaliman) dalam firman Allah ta ala,

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-An am: 82) Ahmad, Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas ud, ia berkata, Tatkala turun ayat ini, Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman , para sahabat merasa keberatan. Mereka berkata, Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya? Rasulullah bersabda, Sesungguhnya artinya bukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba shalih (Lukman), Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar . Sesungguhnya kezaliman (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah syirik.
5

3. Mengambil pendapat para sahabat Abu Abdurrahman As-Salma, seorang tabi in yang mulia, meriwayatkan dari para senior penghapal Al-Quran dari sahabat Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam bahwa apabila turun kepada mereka sepuluh ayat, mereka tidak langsung melaluinya hingga mengetahui ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka mengatakan, Kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan amal secara keseluruhan.
6

Diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas ud, bahwa ia berkata, Barangsiapa di antara kalian ingin meneladani seseorang, maka hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling bersih hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallhu alaihi wa sallam dan menegakkan din-Nya. Kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar mereka.
7

Para sahabat menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, lalu dengan As-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam, mereka
5

Silakan lihat: Abu Syuhbah, Muhammad. 1408 H. Al-Isriliyt wa Al-Maudh t f Kutub At-Tafsr. KSA: Maktabah AsSunnah. Hal. 50-51 Abu Syuhbah. Op. cit. hal. 52. Idem.

6 7

melakukan ijtihad karena mereka adalah orang Arab tulen, menyaksikan turunnya Al-Quran, dan menghadiri majelis-majelis Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam, sementara Al-Quran turun dengan bahasa Arab yang jelas. Kita mengambil tafsir sahabat dan lebih memprioritaskannya daripada tafsir generasi sesudahnya karena pada diri mereka terpenuhi sarana-sarana untuk melakukan ijtihad sebagai berikut: Pertama, mereka mengetahui maksud dan rahasia bahasa Arab. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang pemahamannya berkaitan dengan pemahaman bahasa Arab. Kedua, mereka mengetahui adat dan karakter bangsa Arab. Hal ini membantu mereka untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan perbaikan adat dan perilaku mereka, seperti firman Allah ta ala, ( ) Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah ) Dan bukanlah

menambah kekafiran (QS At-Taubah: 37) dan (

kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya (QS Al-Baqarah: 189). Ayat seperti ini hanya dapat dipahami oleh orang yang mengetahui adat Arab pada masa jahiliyah. Ketiga, mereka mengetahui keadaan yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunnya AlQuran Al-Karim. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang membicarakan Yahudi dan Nasrani, perkara-perkara yang mereka (Yahudi dan Nasrani) lakukan, dan bagaimana mereka memusuhi kaum Muslimin. Keempat, mereka mengetahui asbb an-nuzl (sebab-sebab turunnya ayat) karena mereka menyaksikan turunnya ayat dan ikut terlibat dalam berbagai peristiwa yang disebutkan Al-Quran. Pengetahuan mengenai hal itu membantu mereka untuk memahami banyak ayat. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullh ta l mengatakan, Mengetahui asbb an-nuzl dapat membantu untuk memahami suatu ayat karena pengetahuan terhadap sebab akan melahirkan pengetahuan terhadap musabab. 8 Kelima, mereka memiliki kekuatan dalam pemahaman dan pengetahuan. Allah telah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman yang dengannya mereka dapat melihat banyak faktor secara jelas. Ini merupakan perkara yang sudah maklum dari sejarah perjalanan hidup para sahabat radhiyallhu anhum. Dengan faktor-faktor tersebut, para sahabat banyak memahami ayat Al-Quran AlKarim yang tidak terdapat tafsirnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.9 Tafsir sahabat berdasarkan hukumnya terbagi menjadi dua: 1. Apabila termasuk perkara yang di luar wilayah akal, misalnya perkara-perkara ghaib, asbb an-nuzl, dan sebagainya, maka hukumnya marf . Wajib mengambilnya. 2. Apabila selain itu, yaitu perkara yang kembali pada ijtihad para sahabat, maka hukumnya mauqf selama sanadnya tidak bersandar kepada Rasul shallallhu alaihi wa sallam. Sebagian ulama

8 9

. Ibnu Taimiyah. Muqaddimah f Ushl At-Tafsr. Hal. 48. Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsr wa Al-Mufassirn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah. Hal. 45-46

mewajibkan untuk mengambil tafsir sahabat yang mauqf karena mereka menyaksikan korelasi dan kondisi yang dikhususkan kepada mereka dan tidak dikhususkan kepada selain mereka.10 Imam Abu Ya la menyatakan wajibnya berpegang pada tafsir sahabat. Ia mengatakan, Adapun tafsir sahabat, maka wajib kembali padanya. Inilah kesimpulan dari pendapat Ahmad rahimahullh di beberapa tempat dalam Musnadnya bagian kitab th ah Ar-Rasl (menaati Rasul) shallallhu alaihi wa sallam Alasannya adalah karena mereka menyaksikan peristiwa turunnya Al-Quran dan menghadiri takwil

sehingga mengetahui penafsirannya. Oleh karena itu, kami menganggap perkataan mereka sebagai hujjah.
11

Contoh tafsir sahabat di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah ta ala,

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang rapat, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS Al-Anbiya : 30) Ibnu Abbas mengatakan, Langit dahulu rapat, yaitu tidak menurunkan hujan. Bumi dahulu rapat, yaitu tidak mengeluarkan tumbuhan. Lalu Allah memisahkan langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuhan. Seseorang kemudian datang kepada Ibnu Umar radhiyallh anhum dan memberitahukan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Umar berkata, Aku katakan, mengapa aku harus heran terhadap keberanian Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Quran. Sekarang engkau telah mengetahui bahwa ia dianugerahi ilmu. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu aim dalam Al-Hilyah. As-Suyuthy juga menyebutnya dalam Al-Itqn.12

4. Mengambil pendapat para kibr (senior) tabi in, seperti Mujahid, Ibnu Jabr, Sa id Ibnu Jubair, Ikrimah dan Atha bin Abi Ribah, Al-Hasan Al-Bashry, Masruq bin Al-Ajda , Sa id bin Musayyib, dan sebagainya yang mempelajari langsung semua tafsir dari para sahabat ridhwnullh alaihim. Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukum mengambil tafsir yang dinukil dari tabi in. Pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama menyatakan bahwa tafsir tabi in termasuk tafsir bil ma tsr karena secara umum mereka mempelajarinya dari sahabat. Al-Hafizh Ibnu Rajab menyatakan bahwa ilmu yang paling utama dalam tafsir adalah atsar dari sahabat dan tabi in. Ia mengatakan, Ilmu paling utama dalam tafsir Al-Quran, makna hadits, serta
10

Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhts f Ushl At-Tafsr wa Manhijuhu. KSA: Maktabah AtTaubah. Hal. 29. Ya qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbb Al-Khatha f At-Tafsr; Dirsah Ta shliyyah. Juz I. Riyadh: Dr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 59-60. Silakan lihat: Abu Syuhbah, Muhammad. 1408 H. Al-Isriliyt wa Al-Maudht f Kutub At-Tafsr. KSA: Maktabah As-Sunnah. Hal. 55.

11

12

pembicaraan mengenai yang halal dan yang haram adalah atsar yang berasal dari sahabat, tabi in, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga berakhir pada zaman para imam Islam yang terkenal dan terteladani.
13

Setelah menempuh manhaj tafsir bil ma tsr terlebih dahulu, barulah seorang mufassir diperbolehkan menggunakan ra yunya dalam menafsirkan Al-Quran dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tafsir. Sebab, menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, tafsir bil ma tsr akan berhenti pada makna-makna, pemahaman, dan pesan-pesan yang disampaikan oleh riwayatriwayat yang ada.14 Sementara itu, tafsir bir ra yi yang sesuai dengan kaidah itulah yang justru

berpotensi untuk terus berkembang dan tidak berhenti. Karena tafsir yang demikian yang terus berinteraksi dengan masalah-masalah sastra, kalam, bahasa, hukum, dan problematika kehidupan lainnya.15 Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi kemudian menawarkan karakteristik tafsir ideal yang diharapkan sesuai dengan kaidah yang diakui para ulama dan pada saat yang sama dapat mengiringi ritme perkembangan zaman. Karakteristik-karakteristik tafsir ideal tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut: Pertama, menggabungkan antara riwayah dan dirayah. Kedua, menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Ketiga, menafsirkan Al-Quran dengan sunnah yang shahih. Keempat, memanfaatkan tafsir sahabat dan tabi in. Kelima, mengambil kemutlakan bahasa Arab. Keenam, memperhatikan konteks redaksional ayat. Ketujuh, memperhatikan asbb an-nuzul. Kedelapan, meletakkan Al-Quran sebagai referensi utama.16

b. Syarat Kedua: Aspek Kepribadian Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.

13

Ya qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbb Al-Khatha f At-Tafsr; Dirsah Ta shliyyah. Juz I. Riyadh: Dr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 60.

14

Problematika tafsir bil matsr menurut para ulama adalah banyaknya riwayat yang lemah dan palsu. Al-Kattani, Abdul Hayyie. Al-Quran dan Tafsir dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal. 101. 16 Idem.
15

Imam Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk memberitahukan dari seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk memberitahukan rahasiarahasia Allah ta ala? Sebab seseorang tidak dipercaya apabila tertuduh sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Bathiniyah dan sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk.
17

Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan,

Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat

memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya katakan, inilah makna firman Allah ta ala,

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. (QS Al-A raf: 146) Sufyan bin Uyainah mengatakan, Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.
18

Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: 1. Akidah yang lurus 2. Terbebas dari hawa nafsu 3. Niat yang baik 4. Akhlak yang baik 5. Tawadhu dan lemah lembut 6. Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta ala 7. Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang 8. Tidak bersandar pada ahli bid ah dan kesesatan dalam menafsirkan
17 18

Al-Ik, Khalid Abdurrahman. 1986. Ushl At-Tafsr wa Qawiduhu. Beirut: Dr An-Nafis. Hal. 189. As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqn f Ulm al-Qurn. E-book. Diakses dari Mauqi Umm Al-Kitb li Al-Abhts wa AdDirst Al-Ilikturniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.

9. Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitbullh sebagai pemimpin yang diikuti.19 Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: 1. Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan 2. Jujur dan teliti dalam penukilan 3. Berjiwa mulia 4. Berani dalam menyampaikan kebenaran 5. Berpenampilan simpatik 6. Berbicara tenang dan mantap 7. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya 8. Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran20 Syaikh Thahir Mahmud Muhammad Ya kub juga mengemukakan syarat yang berkaitan dengan sifat-sifat mufassir. Syarat-syarat terpenting tersebut di antaranya adalah sebagai berikut Akidah yang shahih dan pemikiran yang bersih Maksud yang benar dan niat yang ikhlas Mentadabburi dan mengamalkan Al-Quran secara mendalam Mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran Al-Karim dan tafsirnya, seperti ilmu qiraah, asbb an-nuzl, nsikh dan manskh Bersandar pada naql (penukilan) yang benar Mengetahui bahasa Arab dan uslubnya Tidak segera menafsirkan berdasarkan bahasa sebelum menafsirkan berdasarkan atsar Ketika terdapat beragam makna i rab, wajib memilih makna yang sesuai dengan atsar yang shahih sehingga i rab mengikuti atsar Mengetahui kaidah-kaidah yang dikemukakan salafush shalih untuk memahami dan menafsirkan AlQuran Mengetahui kaidah-kaidah tarjh menurut para mufassir Tidak membicarakan secara panjang lebar perkara-perkara yang hanya diketahui oleh Allah, misalnya asma dan sifat-Nya, serta tidak terburu-buru dalam menetapkan sifat Allah ta ala dari Al-Quran AlKarim. Berlepas diri dari hawa nafsu dan ta ashub madzhabi Tidak mengambil tafsir dari ahli bid ah, seperti Mu tazilah, Khawarij, para pentakwil sifat Allah, dan sebagainya Menghindari israiliyat

19

Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurth Al-Mufassir wa dbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 30 Agustus 2007. Al-Qaththan, Manna . 1973. Mabhits f Ulm Al-Qurn. Beirut: Mansyrt Al- Ashr Al-Hadts. Hal. 332. Silakan lihat juga terjemahannya: Al-Qaththan, Manna . 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal. 417-418.

20

Menjauhi masalah-masalah kalamiah dan pemikiran-pemikiran filsafat yang jauh dari Al-Kitab dan AsSunnah serta berkontradiksi dengan keduanya

Tidak membebani diri dalam tafsir ilmiah Jujur ketika menukil Mendahulukan orang yang lebih utama darinya dalam mengambil dan menukil tafsir serta mengembalikan kepada orang yang ia mengambil darinya21 Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari perkara-perkara

berikut ketika menafsirkan Al-Quran: 1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta ala dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya. 2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara mutasybiht. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya. 3. Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsn). 4. Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara. 5. Tafsir dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar i berdasarkan firman Allah ta ala,

Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. (QS Al-Baqarah: 169)22

A. SYARAT-SYARAT MUFASSIR Adapun syarat-syarat mufassir yang harus dipenuhi dalam menafsirkan al-Quran yaitu: 1. Moralitas - maksud yang benar - itiqad yang benar - memiliki integritas agama 2. Prosedural penafsiran : Tafsirnya dinukil dari Nabi Saw., dan para shahabat Nabi 3. Intelektual yang memadai - Ilmu bahasa Nahwu (tata bahasa) Tashrif (asal-usul kata) Al-Istiqaq (pengambilan kata) Ilmu Balaghah (Sastra Arab) - Ilmu Qiraat - Ilmu Ushul al-din - Ilmu Ushul al-fiqh - Ilmu asbab an-nuzul - Ilmu nasikh wal mansukh

21

Ya qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbb Al-Khatha f At-Tafsr; Dirsah Ta shliyyah. Juz I. Riyadh: Dr Ibn Al-Jauziyyah. Hal. 73-74. Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. Ilmu At-Tafsir. Kairo: Dr Al-Ma rif. Hal. 58

22

- Ilmu fiqh - Ilmu Mauhibah (Ilmu yang bersifat spiritual)

Tujuan Diturunkannya Al-Quran. 1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta menetapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru se-kaKan alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan ke-hidupan umat manusia. Hal ini dijelaskan dalam QS AI-lkhlash : 1 -4 dan QS Ali lmran : 64.

2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,yakni bahwa umat manusia merupakan satu umatyang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tug as ke-khalifahan. Perhatikan QS AI-Maidah : 2 dan Ali Imran : 104.

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatu-an, bukan saja antarsuku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik dan ekonomi yang kesemuanya berada di kiwah satu keesaan, yaitu keesaan Allah SWT. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 213 dan QS AI-Anbiya : 92 dan SAI-Mu'minun : 52.

4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyara-kat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Termaktub dalam QS Asy-Syura : 36-38.

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan agama. Al-Quran menjelaskannya dalam QS Al-Baqarah : 177 dan QS Ali lmran : 110.

6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia. Mengenai hal ini Allah memerintahkan dalam QS An-Nahl : 90.

7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Simak petunjuk Allah dalam QS AI-Baqarah : 143.

8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur I lahi. Dalam ha l ini Allah men jelask an dalam QS Al-Mujadilah : 11 dan QS Az-Zumar : 9.

Hikmah Turunnya Al-Qur an Berangsur-angsur


Postingan kali ini kita akan membahas tentang hikmah turunnya Al-Quran secara bertahap alias berangsur-angsur. Al-Quran tidak diturunkan kepada Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam sekaligus satu kitab. Tetapi secara berangsur-angsur, surat-persurat dan ayat-perayat. Lantas hikmah apa saja yang dapat kita peroleh dari Hal tersebut? Mari kita simak pembahasan berikut ini, selamat menyimak sebagaimana yang kita ketahui segala sesuatu yang Allah kehendaki itu mengandung hikmah dan memiliki tujuan. Nah begitu juga dengan proses turunnya Al-Quran secara bertahap. Diantara hikmah atau tujuannya adalah sebagai berikut. Yang pertama Untuk menguatkan hati Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam. Alloh subhanahu wataala berfirman dalam surat al-furqon ayat 32 yang artinya : Berkatalah orang-orang yang kafir : Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Ayat tadi menerangkan bahwa Allah memang sengaja menurunkan Quran secara berangsur-angsur. Tidak turun langsung berbentuk satu kitab dengan Tujuan untuk meneguhkan hati Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam. Sebab dengan turunnya wahyu secara bertahap menurut peristiwa, kondisi, dan situasi yang mengiringinya, tentu hal itu lebih sangat kuat menancap dan sangat terkesan di hati sang penerima wahyu tersebut, yakni Nabi Muhammad. Dengan begitu turunnya melaikat kepada beliau juga lebih sering, yang tentunya akan membawa dampak psikologis kepada beliau; terbaharui semangatnya dalam mengemban risalah dari sisi Allah. Beliau tentunya juga sangat bergembira dengan kegembiraan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hikmah kedua adalah, Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Quran Allah menantang orang-orang kafir untuk membuat satu surat saja yang sebanding dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Quran, apalagi membuat langsung satu kitab. Hikmah yang ketiga adalah, Supaya mudah dihapal dan dipahami. Memang, dengan turunnya Quran secara berangsur-angsur, sangatlah mudah bagi manusia untuk menghafal serta memahami maknanya. Lebih-lebih bagi orang-orang yang buta huruf seperti orangorang arab pada saat itu; Quran turun secara berangsur-angsur tentu sangat menolong mereka dalam menghafal serta memahami ayat-ayatnya. Memang, ayat-ayat Quran begitu turun oleh para sahabat langsung dihafalkan dengan baik, dipahami maknanya, lantas dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya Umar bin Khattab pernah berkata: Pelajarilah Al-Quran lima ayat-lima ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Quran kepada Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam lima ayat-lima ayat. (Hadist Riwayat Baihaqi) Hikmah keempat adalah; Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Quran dan giat mengamalkannya.

Kaum muslimin waktu itu memang senantiasa menginginkan serta merindukan turunnya ayat-ayat Quran. Apalagi pada saat ada peristiwa yang sangat menuntut penyelesaian wahyu; seperti ayatayat mengenai kabar bohong yang disebarkan oleh kaum munafik untuk memfitnah ummul mukminin Aisyah radiyallahuanha, dan ayat-ayat tentang lian. Hikmah yang kelima Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum. Al-Quran turun secara berangsur-angsur; yakni dimulai dari maslaah-masalah yang sangat penting kemudian menyusul masalah-masalah yang penting. Nah, karena masalah yang sangat pokok dalam Islam adalah masalah Iman, maka pertama kali yang diprioritaskan oleh Al-Quran ialah tentang keimanan kepada Allah, malaikat, iman kepada kitab-kitbnya, para rasulnya, iman kepada hari akhir, kebangkitan dari kubur, surga dan neraka. Setelah akidah Islamiyah itu tumbuh dan mengakar di hati, baru Allah menurunkan ayat-ayat yang memerintah berakhlak yang baik dan mencegah perbuatan keji dan mungkar untuk membasmi kejahatan serta kerusakan sampai ke akarnya. Juga ayat-ayat yang menerangkan halal haram pada makanan, minuman, harta benda, kehormatan dan hukum syariah lainnya. Begitulah Quran diturunkan sesuai dengan kejadian-kejadian yang mengiringi perjalanan jihad panjang kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah di muka bumi. Dan ayat-ayat itu tak henti-henti memotivasi mereka dalam perjuangan ini. Untuk lebih memperjelas poin ini kita dapat simak contohnya : Pertama Surat Al-Anam yang termasuk surat makiyah karena turun di Mekah. Isinya menjelaskan perkara iman, akidah tauhid, bahaya syirik, dan menerangkan apa yang halal dan haram. Kemudian, ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum secara rinci, baru menyusul turun di Madinah; seperti tentang utang piutang dan pengharaman riba. Juga tentang zina, itu diharamkan di Mekkah, dapat kita lihat dalam surat al isro ayat 32. Tapi, ayat-ayat yang merinci hukuman bagi orang yang melakukan zina turun di Madinah kemudian. Contoh kedua Tentang ayat-ayat pengharaman khamer, yang pertama kali turun ialah ayat yang terdapat dalam surat an-Nahl ayat 67 yang artinya; Dan dari buah kurma serta anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik Kemudian yang berikutnya turun di surat Al-Baqarah ayat 219. Di dalam ayat itu dikatakan bahwa khamer itu mengandung manfaat yang temporal sifatnya, dan bahayanya lebih besar bagi tubuh, bisa merusak akal, pemborosan harta benda, dan bisa menimbulkan berbagai macam masalah kejahatan serta kemaksiatan di masyarakat. Setelah itu turun ayat yang melarang mabuk ketika shalat, bisa kita baca dalam surat An-Nisaa ayat 43. Setelah mereka tahu dan menyadari bahwa mabuk saat shalat diharamkan, kemudian turun ayat yang lebih tegas lagi dalam surat al-Maidah ayat 90: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Untuk lebih menjelaskan lagi bahwa turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur, mari kita simak apa yang dikatakan oleh ummul mukminin Aisyah rodhiyallohu anha, yang artinya sebagai berikut: Sesungguhnya yang pertama kali turun ialah surat dari surat-surat mufashal yang di dalamnya disebutkan perihal surga dan neraka, sehingga jika manusia telah kembali masuk Islam, maka

turunlah surat yang menyebutkan tentang halal haram. Nah, sekiranya yang mula-mula turun ialah ayat yang berbunyi: janganlah kamu minum khamer, pasti mereka berkata: kami tidak akan meninggalkan kebiasaan minum khamer selama-lamanya. Dan seandainya yang turun itu ayat yang berbunyi: jangan berzina, niscaya mereka menjawab: kami tidak akan meninggalkan kebiasaan berzina selama-lamanya. Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari. Demikian beberapa hikmah dari diturunkannya Al-Quran secara bertahap, yang telah dijelaskan oleh para ulama. Mudah-mudahan bermanfaat.. Wallohu alam

A. Definisi Al-Makiy dan Al-Madaniy Ada beberapa definisi tentang al-Makiy dan al-Madaniy yang diberikan oleh para ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan kriteria yang disebabkan oleh perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk menetapkan Makiy atau Madaniy sebuah surat atau ayat. Ada tiga pendapat yang dikemukakan ulama tafsir dalam hal ini : 1. Berdasarkan tempat turunnya suatu ayat.

Makkiyah ialah suatu ayat yang diturunkan di Mekkah, sekalipun sesudah hijrah, sedang Madaniyah ialah yang diturunkan di Madinah. Berdasarkan rumusan di atas,Makkiyah adalah semua surat atau ayat yang dinuzulkan di wilayah Mekkah dan sekitarnya. Sedangkan Madaniyyah adalah semua surat atau ayat yang dinuzulkan di Madinah. Adapun kelemahan pada rumusan ini karena tidak semua ayat alQuran dimasukkan dalam kelompok Makiyyah atau Madaniyyah. Alasannya ada beberapa ayat al-Quran yang dinuzulkan jauh di luar Mekkah dan Madinah. 2. Berdasarkan khittab/ seruan/ panggilan dalam ayat tersebut.

Makkiyah ialah ayat yang khittabnya/panggilannya ditujukan kepada penduduk Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang khittabnya ditujukan kepada penduduk Madaniyah. Berdasarkan rumusan di atas, para ulama menyatakan bahwa setiap ayat atau surat yang dimulai dengan redaksi (wahai sekalian manusia) dikategorikan Makkiyyah, karena pada masa itu penduduk Mekkah pada umumnya masih kufur. Sedangkan ayat atau surat yang dimulai dengan (wahai orang-orang yang beriman) dikategorikan Madaniyyah, karena penduduk Madinah pada waktu itu telah tumbuh benihbenih iman di dada mereka. Adapun kelemahan-kelemahan pada rumusan ini, antaa lain: a. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi atau . Maksudnya, tidak selalu yang menjadi sasaran surat atau ayat penduduk Mekkah atau Madinah. b. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi meski Makkiyyah dan yang dimulai dengan redaksi meski Madaniyyah.

3. Berdasarkan masa turunnya ayat tersebut.

,I
Makkiyyah ialah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di luar Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah. Dibanding dua rumusan sebelumnya , tampaknya rumusan al-Makkiy dan al-Madaniy ini lebih populer karena di anggap tuntas dan memenuhi unsur penyusunan tarif (definisi).

B. Klasifikasi Ayat-Ayat dan Surat-Surat Al-Quran Pada umunya, para ulama membagi surat-surat al-Quran menjadi dua kelompok, yaitu surat-surat Makiyyah dan Madaniyyah. Mereka berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah masing-masing kelompoknya. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah surat Makiyyah ada 94 surat, sedangkan Madaniyyah ada 20 surat. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa jumlah surat Makiyyah ada 84 surat, sedangkan yang Madaniyyah ada 30 surat. Perbedaan-perbedaan pendapat para ulama itu dikarenakan adanya sebagian surat yang seluruhnya ayat-ayat Makkiyyah atau Madaniyyah dan ada sebagian surat lain yang tergolong Makiyyah atau Madaniyyah, tetapi di dalamnya berisi sedikit ayat yang lain statusnya. Suratsurat al-Quran itu terbagi menjadi empat macam : 1. Surat-surat Makiyyah murni, yaitu surat-surat Makiyyah yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus Makiyyah semua, tidak ada satupun yang Madaniyyah. 2. Surat-surat Madaniyyah murni, yaitu surat-surat Madaniyyah yang seluruh ayat-ayatnya juga berstatus Madaniyyah semua, tidak ada satupun yang Makiyyah. 3. Surat-surat Makiyyah yang berisi ayat Madaniyyah, yaitu surat-surat yang sebetulnya kebanyakan ayat-ayatnya adalah Makiyyah, sehingga berstatus Makiyyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyyah. 4. Surat-surat Madaniyyah yang berisi ayat Makiyyah, yaitu surat-surat yang sebetulnya kebnyakan ayat-ayatnya adalah Madaniyyah, sehingga berstatus Madaniyyah, tetapi di dalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Makiyyah.

C. Ciri ciri Makiyyah dan Madaniyyah Para ulama telah menetapkan karakteristik/ciri Makiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut : a. Ciri/kandungan Makiyyah Ada beberapa karakteristik yang dimiliki Makiyyah di antaranya : 1. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kata Kata ini dipergunakan untuk memberi peringatan yang tegas dan keras kepada orang-orang Mekkah yang keras kepala. 2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah termasuk Makiyyah. 3. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu termasuk Makiyyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran yang keduanya termasuk Madaniyyah. Adapun surat al-Rad yang masih diperselisihkan.

4. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis termasuk Makiyyah, kecuali surat Al-Baqarah yang tergolong Madaniyyah. 5. Setiap surat yang dimulai dengan huruf abjad, alphabet (tahjjiy) ditetapkan sebagai Makiyyah, kecuali Al-Baqarah dan Ali Imran. Huruf tahjjiy yang dimaksud di 6. antaranya , , , dll Mengandung seruan (nida) untuk beriman kepada Allah dan hari kiamat dan apaapa yang terjadi di akhirat. Di samping itu, ayat-ayat Makiyyah ini menyeru untuk beriman kepada para rasul dan para malaikat serta menggunakan argumen-argumen akal, kealaman dan jiwa. Membantah argumen-argumen kaum Musyrikin dan menjelaskan kekeliruan mereka terhadap berhala-berhala mereka. Mengandung seruan untuk berakhlak mulia dan berjalan di atas syariat yang hak tanpa terbius oleh perubahan situasi dan kondisi, terutama hal-hal yang berhubungan dengan memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Terdapat banyak redaksi sumpah dan ayatnya pendek-pendek.

7. 8.

9.

b. Ciri/kandungan Madaniyyah Seperti halnya dalam Makiyyah, Madaniyyah pun mempunyai karakteristik : 1. Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk Madaniyyah. 2. Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukumhukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah. 3. Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk Madaniyyah, kecual surat Al-Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk Madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik. 4. Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan muamalah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lain-lain. 5. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.

Sejarah Pembukuan Al-Quran


1. Periode Nabi Muhammad SAW Alquran merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah menghafalkan secara pribadi, Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-quran untuk di milikinya sendiri diantara sahabat tadi , para sahabat selalu menyodorkan al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan. Pada masa rasullah untuk menulis teks al-Quran sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Quran di pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-quran sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-quran masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf,

Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para sahat dan penulisan teks Al-Quran yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Quran ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Quran segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain. 2. Periode Abu Bakar r.a Ketika rasullulah wafat dan kekholifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H),yang menewaskan sekitar 70 para Qoridan Hufadz. dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir AlQuran akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Quran yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Quran umar berkata kepada Abu Bakar Demi allah ini adalah baik dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit . Pada awalnya Zaid bin Tsabit menolaknya dikarenakan pembukuan Al-Quran tidak pernah dilakukan pada masa rasulullah sebagaimna Abu Bakar menolaknya. Zaid bin Tsabit dengan kecerdasannya mengumpulkan Al-Quran dengan berpegang teguh terhadap para Hufadz yang masih tersisa dan tulisan-tulisan yang tadinya ditulis oleh Zaid atas perintah rasullullah. Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Quran merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan. 3. Periode Umar Bin Khattab Pada masa masa Umar Bin Khattab tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang AlQuran karena al-Quran dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan sahabat dan para tabiin. dimasa kekhalifaan umar lebih konsen terhadap perluasan wilayah, sehingga ia wafat. Yang selanjutnya kekhalifaan jatuh ketangan Ustman bin Affan. 4. Periode Ustman Bin Affan Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiroah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiroah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiroah tersebut terjadi disebabkan kelonggarankelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Quran menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiroah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiroah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits. Ustman Bin Affan memerintahkan kepada Zaid untuk mengambil Mushaf yang berada dirumah Hafsah dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek yakni dialek Qurays, mushaf yang asli dikembalikan lagi ke hafsah. Ustman Bin Affan menyuruh Zaid untuk memperbanyak mushaf yang diperbaruhi menjadi 6 mushaf, yang lima dikirimkan kewilayah islam seperti Mekkah, Kuffah, Basrah dan Suria, yang satu tersisa disimpan sendiri oleh Ustaman dirumahnya. Mushaf ini dinamai Al-Imam yang lebih dikenal mushaf Ustmani, demikian terbentuknya mushaf ustmani dikarenakan adanya pembaruan mushaf pada masa ustmani.

Kesimpulan Pada masa rasulullah Al-Quran hanya berupa hafalan-hafalan yang berada benak dada para sahabat dan tulisan dilempeng-lempeng batu, pelepah kurma dan dikeping-keping tulang, pada masa itu AlQuran masih berserakan belum ada pembukuan al-Quran dalam satu mushaf. , atas usulan Umar pada Masa Abu Bakar mulailah terbentuk pembukuan Al-Quran, yang dipicu oleh banyak para Qori dan hufadz yang gugur pada peperangan Yamamah ( melawan orang yang murtad dari islam ), dikawatirkan Al-Quran akan punah. Pada masa Umar Bin Khattab tidak terjadi permasalahan dengan Al-Quran, karena pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab lebih berorientasi terhadap perluasan wilayah. Masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Quran karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Quran dengan dialek Qurays, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.

You might also like