You are on page 1of 14

BAB II PEMBAHASAN

A. Sistem Religi Dalam Masyarakat Manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang diberikan akal, pikiran dan perasaan. Dengan adanya akal manusia bisa menciptakan suatu kebudayaan dan peradaban yang didalamnya menghasilkan suatu ilmu dan pengetahuan. Tapi ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Oleh karena itu, secara bersamaan muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem alam semesta ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian alam semesta. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Secara terminology, agama Religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religare (bahasa Latin) "menambatkan, adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Kamus Filosofi dan Agama mendefinisikan agama sebagai ...sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. Selain itu menurut Tylor bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal (Koentjaraningrat, 1980: 48). Pertama, adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati. Manusia sadar bahwa ketika manusia hidup ada sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut jiwa. Kedua, peristiwa mimpi, dimana manusia melihat dirinya di tempat lain (bukan di tempat ia sedang tidur). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yang disebut

jiwa. Selanjutnya Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya dengan roh (makhluk halus). Inilah yang menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh yang menempati alam. Sehingga manusia memberikan penghormatan berupa upacara doa, sesajian dan lain-lain (animisme). Sistem religi adalah semua agama dari zaman tradisional sampai agama yang modern, tradisional seperti animisme, dinamisme, politheisme, dan henotisme, kemudian berlanjut sampai adanya agama samawi seperti Hindu, Islam, Kristen. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa atau emosi keagamaan, emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan mendorong manusia melakukan tindakan yang bersifat religi, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, tindakan, dan gagasan, mendapat suatu nilai keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka bendabenda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat. Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu: (1). Sistem keyakinan, dalam rangka ini para antropolog biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun jahat, sifat-sifat dan tandatanda dewa-dewa, konsepsi tentang mahluk halus lainya seperti roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun jahat, hantu dan lain-lain, konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam, masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi), masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi), konsepsi tentang hidup dan mati, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lainnya. (2). Sistem upacara keagamaan, secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para antropolog ialah:

a. Tempat upacara keagamaan dilakukan, aspek ini berhubungan dengan tempattempat keramat dimana upacara dilakukan, seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. b. Saat upacara keagamaan dijalankan, adalah aspek yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. c. Benda-benda dan alat-alat upacara, dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. d. Orang yang melakukan dan memimpin upacara, yaitu pendeta, biksu, syaman, dukun dan lain-lain. e. Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu: bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama (yang telah disucikan dengan doa), menari tarian suci, nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius unutk mencapai keadaan trance, mabuk, bertapa, bersemedi. Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan doa. (3). Sistem umat yang menganut agama, bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi soal-soal pengikut agama, hubungannya satu dengan lain, hubungan dengan para pemimpin agama baik dalam saat adanya upcara keagamaan maupun dalam kehidupan sehai-hari, dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya. Menurut Koentjaraningrat, bagaimana kualitas hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya dapat dilihat dari sisi sistem emosi keagamaannya, sistem keyakinan,

sistem sosial umat yang menganutnya, dan upacara-upacaranya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba (1973:69-70) yang menyatakan bahwa selalu ada tiga ciri yang ditemukan pada setiap sistem religi: adanya kepercayaan terhadap Tuhan yang kudus, melakukan hubungan dengan Yang Kudus itu dengan ritus, kultus, dan permohonan; dan ada doktrin tentang Yang Kudus.

B. Perhatian Ilmu Antropologi Terhadap Religi. Sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adapt-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi te;ah menjadi suatu pokok penting dalam biku-buku para pengarang tulisan-tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu: 1.Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir. 2.bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diprlukan unutk mnyusun teori-teori tentang asal-mula religi. Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-uapacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yakni agam Nashrani. Hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehanya itu menarik perhatian. Masalah asal-mula dari suatu unsur universal seperti religi, ratinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna, unutk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lam menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah

asal-mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut seluruh umat manusia dalam zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitif. Dalam memecahkan soal asal-mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat kepada apa yang dianggapnya sisa-sisa dari bentuk-bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnorgafi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha penyusun teori-teori tentang asal-mula agama.

C. Unsur-unsur Khusus Dalam Rangka Sistem Religi. Dalam rangka pokok antroplogi tentang religi, sebaiknya juga di bicarakan sistem ilmu gaib sehingga pokok itu dapat dibagi menjadi dua pokok khusus, yaitu (1) sistem religi dan (2) sistem ilmu gaib. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilng lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Mengenai masalah apakah emosi itu, tidak akan kita persoalkan lebih lanjut dalam buku ini. Pokoknya, emosi keagamaan menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat. Demikian juga benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat, yang biasanya profane, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaaan, sehingga ia solah-olah terpesona, maka bendabenda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagmaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga usnur lain, yaitu: 1. sistem keyakinan; 2. sistem upacara keagamaan; 3. suatu umat yang menganut religi itu. Sistem kayakinan secara khusus mengandung benyak sub-unsur lagi. Dalam rangka ini para ahli antroplogi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat-sifat dan tanda-tanda dewa-dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmologi); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan mati konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat lain-lain. Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama, dongeng suci tengtang riwayat-riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci. Sistem upacara keagaman secara khusus mengandung emosi aspek yang menjadi perhatian khusus dari para hali antroplogi ialah: 1. tempat upacara keagamaan dilakukan; 2. saat-saat upacara keagmaan dijalankan; 3. benda-benda dan alat-alat upacara; 4. orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Aspek yang pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan sebagainya. Aspek ke-2 adalah aspek yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. Aspek k-3 adalah tentang benda-benda ynag dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambngkan dewa-dewa, alatalat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan

sebagainya. Aspek ke-4 adalah aspek yang mengani para pelaku upacara keagamaan, yaitu pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain. Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu: 1.bersaji, 2.berkorban; 3.berdoa; 4.makan ebrsama makanann yang telah disucikan dengan doa; 5.menari tarian suci; 6.menyanyi nyanyian suci; 7.berpropesi atau berpawai; 8.memainkan seni darama suci; 9.berpuasa; 10.intolsikasi atau menaburkan pikiran dengan makan obat bius unutk mencapai keadaan trance, mabuk; 11.bertapa; 12.bersemedi. Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan doa. Sub-unsur ke-3 dalam rangka religi, adalah sub-unsur mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan khusus sub-unsur itu meliputi misalnya soal-soal pengikut agama, hubungannya satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upcara keagamaan maupun adalam

kehidupan sehai-hari; dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya. Pokok-pokok khusus dalam rangka sistem ilmu gaib, atau magic, pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapatjuga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan yang menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Kecuali itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama saat-saat tertentu unutk mengadakan upacara (biasanya juga pada saat-saat atau hari-hari keramat); ada peralatan untuk melakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu di mana upacara harus dilakukan. Akhirnya suatu upacara ilmu gaib seringkali juga mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya. Misalnya; orang melakukan ilmu gaib untuk menambah kekatan ayam yang hendak diadunya dalam suatu pertandingan adu ayam. Untuk itu dia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, serta dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali. Walaupun pada lahirnya religi dan ilmu gaib sering kelihatan sama, dan walaupun sukar untuk menentukan batas daripada upacara yang bersifat religi, dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerahkan diri sama sekali kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang; pokoknya menyerahkan diri samasekali kepada kekuatan tinggi yang disembanhnya itu. Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikaplain samasekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ia capainya.

DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat, Baru. Koentjraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Koentjaraningrat.1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia Sajogyo, Pudjawati. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Pengantar Imu Antropologi 1986, Jakarta, Aksara

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk ciptaan tuhan yang diberikan akal, pikiran dan perasaan. Dengan adanya akal manusia bisa menciptakan suatu kebudayaan dan peradaban yang didalamnya menghasilkan suatu ilmu dan pengetahuan. Tapi ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Oleh karena itu, secara bersamaan muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem alam semesta ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian alam semesta. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

B. Tujuan Mengetahui sistem religi yang ada dalam masyarakat Mengetahui Unsur-unsur penting dalam suatu religi

C. Rumusan Masalah Sistem religi dalam masyarakat Perhatian Ilmu Antropologi Terhadap Religi. Unsur-unsur Khusus Dalam Rangka Sistem Religi.

MAKALAH SOSIOLOGI ANTROPOLOGI SISTEM RELIGI

DISUSUN OLEH: MUHAMMAD AGUS EVI APRIANI ERRY AMELIA FERA ARISKA YUNITA SINTIA SARI

DOSEN PENGAJAR: Dr. ANANG BAKAR M.Pd

BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AKADEMIK 2011/2012 DAFTAR ISI

Halaman Judul Kata Pengantar Daftar isi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan C. Rumusan Masalah BAB II PEMBAHASAN A. Sistem Religi Dalam Masyarakat B. Perhatian Ilmu Antropologi Terhadap Religi C. Unsur-Unsur Khusus Dalam Rangka Sistem Religi BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

i ii iii 1 1 1 1 2 2 5 6 10 10 10

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah swt. Karena berkat rahmat dan karuniaNya jua kami dapat menyelesaikan makalah kami yang bertema sistem religi. Dengan adanya makalah inikami berharap dapat membantumahasiswa/i dalam mempelajari tentang sosiologi antropologi. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurnakepada para pembacakami menampung kritik dan saran guna kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.

Desember,

2011

Penulis

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

You might also like