You are on page 1of 206

KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MENUJU MASYARAKAT MADANI


(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof.
Dr. H. Muhaimin, M.A.)
SKRIPSI
Oleh :
Maratus Sholihah
03110028
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
2007
KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MENUJU MASYARAKAT MADANI
(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof.
Dr. H. Muhaimin, M.A.)
i 1
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar
Strata Satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh :
Maratus Sholihah
03110028
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
2007
HALAMAN PERSETUJUAN
KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MENUJU MASYARAKAT MADANI
(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof.
Dr. H. Muhaimin, M.A.)
Oleh :
Maratus Sholihah
03110028
i 2
Telah Disetujui pada tanggal 28 Juli 2007
Oleh Dosen Pembimbing :
Muhammad Amin Nur, M.A.
NIP. 150 327 263
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Drs. Moh. Padil, M.PdI.
NIP. 150 267 235
HALAMAN PENGESAHAN
KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENUJU
MASYARAKAT MADANI
(Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut Prof. Dr. H.
Muhaimin, M.A.)
SKRIPSI
dipersiapkan dan disusun oleh
Maratus Sholihah (03110028)
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 30 Juli 2007
dengan nilai A dan telah dinyatakan diterima sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar strata satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
pada tanggal 4 Juli 2007:
i 3
Panitia Ujian
Ketua Sidang
Drs. A. Zuhdi
NIP. 150 275 611
Sekretaris Sidang
Muhammad Amin Nur, M.A.
NIP. 150 327 263

Penguji Utama
Drs. Moh. Padil, M.PdI.
NIP. 150 267 235

Pembimbing
Muhammad Amin Nur, M.A.
NIP. 150 327 263
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Tarbiyah
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony
NIP. 150 042 031
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk:
Kedua orang tuaku tersayang Bapak Moh. Anam dan Ibunda Binti Amansiyah
yang selama ini telah membimbing dan mendidikku dengan sabar dan bijaksana,
sejak awal beliau selalu menginginkan anak-anaknya menjadi anak saleh dan
shalihah dan berhasil dalam menggapai harapan dan cita-cita. Berkat doa tulus
hati, kesabaran dan kepercayaan yang selalu mengiringi perjalanan studi penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
"Sembah sungkem kagem beliau"
Nenekku (Alm.), terimakasih atas nasehatnya untuk selalu berhati-hati dalam
melangkah. Semoga amal ibadahnya diterima disisi-Nya.
Kakak-kakakku tercinta Yusuf Bahruddin (Alm.), Yayuk Istikanah, Mujannatun
(Alm.), Syamsul Arifin dan kakak iparku Budi Prasetyo yang selalu membuatku
bangkit dan membangun semangatku dalam meraih cita-cita.
Keponakan-keponakan tersayang Moh. Naufal Zaky dan Shabrina Nailah
Mazroatul Ulya. Yang selalu membuatku tertawa dan menghibur serta
membuatku bersemangat kembali sehingga membuat hidupku lebih hidup.
"Kalian sungguh berarti dalam Hidupku"
i 4
Sahabatku semuanya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasih
atas motivasi untuk terus bersama-sama berjuang mengejar impian, cita, dan
menggapai asa serta bantuan dalam penyelesaian skripsiku.
"Kalian akan selalu berada dalam hatiku"
Segenap anggota KSR-PMI Unit UIN Malang dari semua angkatan (mas, mbak
dan adik-adik) yang membuat ku tertawa, senyum, dan menangis dalam
kebersamaan indah tak terlupakan, kita adalah saudara selamanya.
"Bravo KSR"
Semua Bocah-bocah kediri Yang tergabung pada Forum Komunikasi Mahasiswa
Kediri (FKM-K) terimakasih atas kepercayaan dan kebersamaannya.
"Semoga Sukses menyertai kita"

Someone in My Hearth "My-Greatest Inspiracy" yang masih menjadi misteri illahi,
yang selalu tiada henti-henti membuatku bersemangat terus berjuang disetiap
waktu serta selalu mendampingiku disaat kuragu melangkah menghadapi dunia-
ku.
Bapak dan Ibu guru serta dosen dari Taman-kanak-Kanak sampai Perguruan
Tinggi terimakasih jasamu tiada tara semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat
di dunia dan akhirat kelak. Amin
MOTTO
$ k ' %!# #q Z B# #q)?# !# ZF 9r R $B MB % 7
9 ( #q)?#r !# 4 b ) !# 7z $ J / bq=J?
Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap hari
(individu) melakukan Nadzar terhadap sesuatu
(ide, konsep, rencana kerja) yang telah diajukan dan ditawarkan
untuk hari esok (masa depan) dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha
Pemberi khabar terhadap
prestasi kerjamu.
(QS Al-Hasyr (59): 18)
i 5
__________________
(DEPAG, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Semarang: CV Toha Putra, 1989, hlm.
919)
Muhammad Amin Nur, M.A
Dosen Fakultas Tarbiyah
Universitas Islam Negeri Malang
NOTA DINAS PEMBIMBING
Hal : Skripsi Maratus Sholihah Malang, 9 Juni 2007
Lamp. : 6 (Enam)Eksemplar
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang
di
Malang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa
maupun tehnik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di
bawah ini :
Nama : Maratus Sholihah
NIM : 03110028
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
i 6
Judul Skripsi : Konsep Pembaruan Pendidikan Agama Islam Menuju
Masyarakat Madani (Analisis Paradigma
Pengembangan Kurikulum Menurut Prof. Dr. H.
Muhaimin, M.A.)
Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak
diajukan untuk diujikan.
Demikian, mohon dimaklumi adanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Pembimbing,

Muhammad Amin Nur, M.A.
NIP. 150 327 263
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, 9 Juni 2007
Penulis
Maratus Sholihah
i 7
i 8
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul "Konsep Pembaruan Pendidikan
Agama Islam Menuju Masyarakat Madani (Analisis Paradigma
Pengembangan Kurikulum Menurut Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.)".
Shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW., yang telah membimbing ummatnya ke jalan yang benar yakni
Dinnul Islam.
Penulis menyadari bahwa baik dalam perjalanan studi maupun dalam
penyelesaian skripsi ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan motivasi dari
berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
syukur dan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.Ayahanda dan Ibunda tercinta yang sangat banyak
memberikan dorongan baik moril, materiil, dan spirituil,
semoga atas pengorbanannya, kasih sayangnya, semoga Allah
SWT memberikan imbalan yang sebesar-besarnya.
2.Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dan para pembantu
Rektor, atas segala motivasi dan layanan fasilitas yang telah
diberikan selama penulis menempuh studi.
3.Bapak Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony, selaku Dekan Fakultas
Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
4.Bapak Drs. Moh Padil, M.PdI, selaku Ketua Jurusan
Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
5.Yang Terhormat Bapak Muhammad Amin Nur, M.A., selaku
Dosen Pembimbing yang penuh perhatian, ketelatenan,
kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam
i 9
penulisan skripsi ini, dan terimakasih yang sebesar-besarnya
atas waktu yang diluangkannya
6.Seluruh Dosen UIN Malang yang telah berjasa membantu
penulis dalam mencari dan mendalami ilmu pengetahuan
selama studi
7.Seluruh Karyawan UIN Malang yang telah membantu dan
memudahkan penulis dalam berurusan dengan administrasi di
lembanga UIN Malang.
8.Yang Terhormat Bapak Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, sebagai
tokoh utama dalam penyusunan Skripsi dalam memberikan
sumbangan pemikiran, bimbingan, arahan penulisan studi
tokoh ini, terimakasih atas waktu dan kesempatan yang telah
diberikan.
9.Saudara-Saudaraku di Forum komunikasi Mahasiswa Kediri
(FKM-K) yang telah memberikan kesempatan untuk
mendarmabaktikan dan keloyalan dalam organisasi daerah
Kediri
10.Saudara-Saudaraku di UKM KSR-PMI UIN Malang yang
telah memberikan motivasi dengan rasa persaudaraan.
11.Seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Tiada ucapan yang dapat penulis haturkan kecuali "Jazaakumullah
Ahsanul Jazaa " semoga semua amal baiknya diterima oleh Allah SWT.
Dan akhirnya penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik
yang konstruktif dari pembaca demi memperbaiki karya tulis yang sederhana ini
dan semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi para pengkaji/ pembaca dan
bagi penulis sendiri. Amiin Ya Robbal 'Alamiin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Malang, 9 Juni 2007
i 10
Penulis
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Contoh Butir-Butir Standar Kompetensi Lulusan Program
Studi PAI
Lampiran II : Contoh Standar Kompetensi Bahan Kajian Matakuliah-
Matakuliah Dari Masing-Masing Rumpun Kompetensi
Lulusan
Lampiran III : Contoh Profil & Standar Kompetensi Lulusan Fakultas
Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Lampiran IV : Contoh Silabus mata kuliah Perbandingan Agama
Lampiran V : Pedoman Wawancara
Lampiran VI : Dokumentasi Hasil Wawancara
Lampiran VII : Bukti Konsultasi
Lampiran VIII : Gambar PETA KONSEP (Kerangka Pikir Pembahasan)
i 11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PENGAJUAN ................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... v
HALAMAN MOTTO.......................................................................................... vi
HALAMAN NOTA DINAS .............................................................................. vii
HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... viii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... x
DAFTAR ISI........................................................................................................ xi
ABSTRAK........................................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.........................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ...................................................................10
i 12
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 10
E. Ruang Lingkup Pembahasan ................................................. 11
F. Penegasan Istilah.................................................................... 11
G. Metode Penelitian.................................................................. 14
H. Sistematika Pembahasan........................................................ 20
BAB II : HISTORIKA BIOGRAFI DAN INTELEKTUAL
A. Riwayat Kehidupan Muhaimin............................................. 21
B. Pendidikan dan Karir Muhaimin........................................... 23
C. Karya-karya Muhaimin......................................................... 24
BAB III : KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MENUJU MASYARAKAT MADANI MENURUT
PANDANGAN MUHAIMIN DI PTAI
A.Konsep Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani...........38
B.Konsep dan Latar Belakang Pembaruan pendidikan
Agama Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
di PTAI.............................................................................
49
C.Pandangan dasar dan kritik Muhaimin Terhadap
Pembaruan PAI menuju Masyarakat Madani
73
D.Filsafat pendidikan Agama Islam dan Implikasinya
terhadap paradigma pengembangan kurikulum........... 83
BAB IV : UPAYA MUHAIMIN DALAM MENGAPLIKASIKAN
i 13
PARADIGMA PENGEMBANGAN KURIKULUM DI PTAI
A. Konsep paradigma pengembangan kurikulum PAI.............. 97
B. Strategi Pembaruan Pendidikan Agama Islam Melalui
paradigma pengembangan kurikulum di PTAI..........116
C. Aktualisasi Pembaruan Pendidikan Agama Islam
Melalui paradigma pengembangan kurikulum di PTAI
....................................................................................134
D. Model pengembangan kurikulum pendidikan Islam di
PTAI sebagai alternatif dalam mewujudkan masyarakat
madani........................................................................145
BAB V : PENUTUP
A.Kesimpulan......................................................................... 178
B.Saran................................................................................... 181
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
i 14
ABSTRAK
Maratus Sholihah, Konsep Pembaruan Pendidikan Agama Islam Menuju
Masyarakat Madani (Analisis Paradigma Pengembangan Kurikulum Menurut
Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A.). Skripsi, Jurusan Pendidikan Islam, Fakultas
Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Muhammad Amin Nur, M.A.
Kata Kunci: Konsep Pembaruan Pendidikan Agama Islam, masyarakat
madani, paradigma pengembangan kurikulum, tokoh Prof. Dr. H.
Muhaimin, M.A
.
Muhaimin adalah seorang tokoh dalam pembaruan Pendidikan Agama
Islam di PTAI yang memiliki kapakaran di bidangnya. Dan juga merupakan salah
satu Guru Besar dalam bidang ilmu pendidikan Islam. Dari pemikiran Muhaimin
diharapkan mampu membawa PTAI menuju ke gerbang percaturan dunia yang
menjadi cita-cita masyarakat madani yang memiliki karakteristik ideal dalam
rangka menghadapi dunia yang syarat dengan perbedaan, pluralisme,
multikulturalisme, dan krisis multidimensional, serta dekadensi moral. Sehingga
paradigma yang dikembangkan menjadi jelas arah dan wilayah pengembangannya
dan output PTAI yang dihasilkan berciri khas Islami dan memiliki daya saing di
bidangnya.
Berpijak dengan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah:
(1) Bagaimana konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam menuju masyarakat
madani menurut Muhaimin dan (2) Bagaimana upaya Muhaimin dalam
mengaplikasikan pembaruan pengembangan kurikulum PAI menuju masyarakat
madani. Adapun tujuan yang dalam permasalahan ini adalah: (1) Mendiskripsikan
konsep pembaruan PAI dalam membangun masyarakat madani sesuai dengan
analisis paradigma pengembangan kurikulum menurut Muhaimin; (2) Untuk
mengetahui aplikasi, aktualisasi dan peran PAI dalam upaya mewujudkan
masyarakat madani menurut Muhaimin.
Penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library
research) dimana penulis menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif.
i 15
Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan metode dokumentasi dan
wawancara. Sumber data primer adalah buku-buku dan hasil wawancara dengan
Muhaimin dan data sekunder adalah orang-orang terdekat dengan beliau, dan
menganalisis buku-buku literatur yang mendukung pembahasan skripsi ini. Dalam
analisis, penulis menggunakan content analisis yakni pemahaman secara
konsepsional yang berkelanjutan didalam deskripsi, artinya melakukan analisis
terhadap makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Muhaimin tentang
paradigma pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di PTAI.
Hasil analisa, menunjukkan bahwa konsep pembaruan PAI menuju
masyarakat madani di PTAI adalah dengan menciptakan dan mengembangkan
paradigma pengembangan kurikulum. Sehingga diharapkan mampu menjadi salah
satu konsep yang tepat dalam upaya memperbarui pendidikan Islam yang menjadi
landasan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta
berimplikasi pada pengembangan kepribadian, penciptaan budaya akademik yang
Islami, dan etos belajar yang tinggi serta membentuk suasana religius dalam
lingkungan PTAI yang sesuai dengan tuntutan masyarakat madani, yakni
masyarakat yang beradab mencintai perbedaan, hasil wawancara dengan
Muhaimin penulis menghasilkan temuan-temuan dan fakta-fakta bahwa UIN atau
PTAI harus berbeda dengan Perguruan Tinggi yang lain, harus memiliki ciri khas
Islami tanpa cenderung pada madzhab tertentu dan bersifat non sekterianisme dan
kemudian dijabarkan pada rumpun-rumpun mata-kuliah yang diajarkan dan
pengembangan kurikulum yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari
melalui hidden kurikulum. Dalam pembahasan ini, ada hal-hal yang perlu dikaji
ulang dan perlu dicari solusinya sehingga dapat dilaksanakan sebagai suatu
program nyata pada masa yang akan datang, yakni persoalan kurikulum yang
dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang notabene
sebagai masyarakat yang multikultural, humanistik, pluralistik dalam rangka
mewujudkan masyarakat madani. Dan model pengembangan kurikulum yang
harus dikembangkan adalah model pendekatan rekonstruksi social yang relevan
dengan kebutuhan masyarakat madani. Dan menciptakan arah baru lulusan PTAI
yang siap pakai (link and match) sesuai dengan kebutuhan masyarakat madani.
Sehingga dengan pengembangan kurikulum ini mencapai standar
kompetensi lulusan di PTAI yang sesuai dengan harapan, yakni terciptanya
generasi ulul albab dan lulusan yang mampu bersaing di dunia kerja dan memiliki
kepribadian Islami, etos kerja/ belajar yang tinggi dan memiliki kepribadian yang
tecermin dari ciri dan karakteristik masyarakat madani di PTAI. Masyarakat
madani adalah masyarakat yang egaliter, menghargai orang berdasarkan prestasi,
keterbukaan, partisipasi seluruh masyarakat anggota aktif, penegakan hukum,
keadilan, toleransi, pluralisme, musyawarah dan demokrasi.
i 16
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kehidupan bangsa Indonesia tengah dilanda krisis. Krisis
ini telah melanda berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial,
budaya, hukum, ilmu pengetahuan, pertahanan dan keamanan dan lain
sebagainya. Misalnya saja dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sering disalahgunakan untuk tujuan-tujuan destruktif, selain itu juga
adanya dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan krisis
dalam bidang kebudayaan ditandai oleh kebudayaan hedonistik, mengabdi
kepada pemuasan hawa nafsu dan bebas nilai. Keadaan masyarakat yang
demikian mirip dengan keadaan Arab Jahiliyah pada awal kedatangan Islam
Untuk mengatasi masalah tersebut diatas, kini tengah dicari konsep
yang tepat untuk menggantikan konsep kemasyarakatan model sebelumnya
yang dinilai banyak mengandung berbagai kelemahan. Konsep yang
diharapkan dapat mengatasi permasalahan kemasyarakatan tersebut diatas
adalah konsep masyarakat madani. Sementara itu pendidikan Islam sebagai
sarana pembentukan dan penyiapan umat manusia, diharapkan mampu
memberikan kontribusi bagi upaya mewujudkan masyarakat madani.
1

1
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2001), Hlm. 123
i
2
Menurut Nurcholis Madjid yang menyatakan bahwa masyarakat
madani adalah masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dibangun
Rasulullah SAW selama 10 tahun di Madinah. Yakni masyarakat yang adil,
terbuka dan demokratis, dengan landasan taqwa kepada Allah SWT dan taat
pada ajaran-ajarannya.
2
serta mulai populer di Indonesia seiring dengan era
reformasi politik di Indonesia. Namun tugas mewujudkan masyarakat
madani bukanlah hal yang mudah, diperlukan proses yang panjang dan
kesabaran yang tidak pernah henti. Dalam konteks kehidupan bangsa
sekarang ini, dimana moralitas dan akhlak sudah hampir terkubur dalam
gempita konsumerisme dan hedonisme, kehadiran pendidikan yang
membebaskan sangat berarti. Pendidikan yang membebaskan adalah
pendidikan dimana manusia mampu membebaskan dirinya dan
masyarakatnya dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
3
Membangun masyarakat madani tidak cukup hanya dengan
melontarkan slogan kehidupan masyarakat madani. Perwujudan masyarakat
madani tidak sebatas ucapan dan tidak dapat dinyatakan dalam bentuk
verbal, tetapi dapat dinyatakan dengan aktualisasi tindakan manusia sehari-
hari. Masyarakat madani hanya dapat dibangun oleh individu manusia yang
memiliki karakteristik kehidupan dalam masyarakat madani itu, dan
membangun individu tidak dapat terjadi secara spontan, melainkan
diperlukan proses sosialisasi panjang dengan pendidikan, karena tatanan

2
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun Kritik hermeunitas Masyarakat Madani Nurcholis
Madjid (Yogyakarta: LP2IP Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2001), Hlm.3
3
Jawahir Thontowi, Siasat Gerakan Kota Jalan Menuju Masyarakat Baru
(Yogyakarta: Penerbit Shalahuddin), hlm. 76
i
3
masyarakat madani memiliki beberapa muatan karakteristik individu
manusia, misalnya sikap, moral, kebiasaan, nilai, dan kepribadian. Oleh
sebab itu membangun masyarakat madani melalui pendidikan melibatkan
mekanisme membangun sikap, sampai dengan kepribadian manusia itu.
4
Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup
manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat
manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan
pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya,
sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang (primitif). Dengan
demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban masyarakat, didalamnya
terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Oleh karena itu, sering
dinyatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.
Karena pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan
hidupnya.
5

Pendidikan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia
yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Manusia dikarunia
Tuhan akal pikiran, sehingga proses belajar bagi manusia adalah merupakan
usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai
dalam masyarakat dan kebudayaannya.
6


4
Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2003), hlm. 173
5
Ihsan Hamdani dan Ihsan Fuad, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001), hlm. 28
6
Tim Dosen FKIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan (Surabaya:
Usaha Nasional, 1988), hlm. 2
i
4
Pada era reformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan
perubahan dalam semua aspek kehidupan. Pendidikan dibutuhkan untuk
menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa mendatang.
Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap
manusia, Negara dan maupun pemerintah, maka pendidikan harus selalu
ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang
berwenang di Republik ini. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya
pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa selalu memiliki hubungan
yang sangat signifikan dengan rekayasa Bangsa dimasa mendatang, sebab
pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan masyarakat. Oleh karena itu,
mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan
tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan pembaruan
pendidikan menjadi suatu keharusan dan pembaruan pendidikan selalu
mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep,
kurikulum, proses, fungsi, tujuan, menajemen lembaga-lembaga pendidikan,
dan sumber daya pengelola pendidikan.
7
Mencermati konsep pembaruan pendidikan di atas, maka pembaruan
pendidikan merupakan suatu usaha atau proses multidimensional yang
kompleks, dan tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-
kekurangan yang dirasakan, tetapi terutama merupakan suatu usaha
penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi
pada rumusan tujuan yang baru dan selalu berorientasi pada perubahan

7
Hujair AH Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani
Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hlm. 5
i
5
masyarakat. Upaya pembaruan pendidikan tidak akan ada ujung akhir
sampai kapanpun.
8
Apabila mencermati keadaan pendidikan di Indonesia,
sebenarnya telah banyak di lakukan pembaruan, dan tujuan pembaruan itu
pada akhirnya ialah:
Untuk menjaga agar produk pendidikan kita tetap relevan dengan
kebutuhan dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada
jenjang pendidikan berikutnya. Patut diakui bahwa perkembangan
pendidikan di Indonesia secara kuantitatif mengalami kemajuan, tetapi
pemberdayaan masyarakat secara luas sebagai cermin dari kemajuan itu
belum tercapai.

Banyak paradigma pendidikan telah dilontarkan oleh beberapa
orang, namun paradigma mana yang relevan untuk masa depan pendidikan
di Indonesia, oleh sebab itu perlu analisis spekulatif berdasarkan keadaan
objektif masyarakat kita masa depan, yakni masyarakat madani
kedudukannya di tengah masyarakat global. Sekarang ini tampak adanya
pemikiran yang rasional yang sekarang kita kembangkan didalam system
pendidikan kita tampaknya tidak lagi mendapat tempat dan tidak lagi
fungsional untuk mengakomodasikan perubahan keadaan yang akan terjadi.
Karakteristik keadaan ini yang mendorong kita harus memiliki paradigma
pendidikan untuk masa depan khususnya di Indonesia, yakni sistem
pendidikan yang memungkinkan peserta didik dan pelaku praksis
pendidikan dapat mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itu dasar
pemikiran paradigma pendidikan ini tampaknya lebih kearah yang
berdampak terhadap praksis pendidikan kita. Sehubungan dengan itu

8
Ibid, hlm. 6
i
6
membuat begitu pentingnya kita untuk lebih besar memperhatikan
pendidikan kita sebagai dasar melihat masa depan.
9
Dalam konteks pendidikan, ide-ide atau nilai-nilai dasar itu
seharusnya diturunkan kebawah, yaitu kedalam UUD 1945, undang-undang,
dan secara operasional sampai kepada peraturan-peraturan pemerintah
kebawah. Hanya saja pada tataran yang lebih operasional, ide-ide atau nilai-
nilai itu mulai tidak jelas atau bahkan menghilang, terutama ketika
diimplementasikan dalam pendidikan sekolah atau perguruan tinggi, dimana
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, belum sepenuhnya manjadi
inti atau core dalam pengembangan pendidikannya. Akibatnya parah sekali,
antara lain lulusan sekolah atau perguruan tinggi kurang memiliki keimanan
dan ketakwaan yang kuat, yang pada gilirannya dapat menimbulkan krisis
multidimensional sebagaimana keadaan bangsa Indonesia sekarang ini, yang
intinya terletak pada krisis moral dan akhlak. Timbulnya tindakan-tindakan
dekadensi moral, termasuk didalamnya KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme), antara lain disebabkan karena rendahnya kualitas keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT.
10
Pada kenyataannya pengembangan kurikulum kita sekarang ini
belum mengantisipasi masa depan dan masyarakat madani. Artinya belum
mampu menyiapkan output yang sesuai dengan permintaan pasar, kurang
memiliki kemampuan bersaing secara kompetitif dan outputnya hanya
sekedar mengandalkan ijazah resmi dari bidang studi tertentu dari suatu

9
Djohar, op.cit., hlm. 85-86
10
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. (Jakata: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 88
i
7
lembaga pendidikan dengan kemampuan yang sangat terbatas atau pas-
pasan. Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan
untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh
potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani.
Menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah,
manusia dan alam semesta.
11
Dalam konteks yang terakhir tersebut, pada dekade yang lalu, kajian
yang berkembang di PTAI, sebagaimana tercermin dalam Fakultas- Fakultas
dan Jurusan yang ada, lebih menekankan pada perkembangan ilmu
pengetahuan agama Islam dalam pengertian al-ulum al-naqliyah (perennial
knowledge). Pengembangan semacam itu ternyata telah mendapat kritik,
yaitu bahwa paradigma yang mendasari PTAI tersebut dianggap kurang
relevan lagi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan
pembangunan nasional, karena bersifat sangat sektoral, hanya memenuhi
satu sektor tertentu dalam kehidupan Islam di Indonesia, yaitu memenuhi
kebutuhan akan sarjana-sarjana yang mendapatkan pengetahuan tinggi
mengenai agama Islam. Dengan demikian PTAI lebih mengabadikan faham
dualisme atau dikothomi, dan melahirkan over specialization, bahkan terjadi
isolasi akademik. Disamping itu PTAI dengan paradigmanya tersebut
dipandang tidak memungkinkan untuk melahirkan manusia-manusia yang
kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga PTAI dituntut untuk dapat melahirkan manusia-manusia

11
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam System Pendidikan Nasional Di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 31
i
8
yang menguasai iptek dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama
(Islam), yang hal ini merupakan pilar-pilar masyarakat madani.
12

Setiap kegiatan ilmiah memerlukan suatu perencanaan, organisasi.
Kegiatan tersebut harus dilaksanakan secara sistematis dan terstuktur.
Demikian pula dalam pendidikan, diperlukan adanya program yang mapan
dan dapat menghantarkan proses pendidikan sampai pada tujuan yang
diinginkan. Proses pelaksanaan, sampai penilaian pendidikan lebih dikenal
dengan istilah kurikulum pendidikan.
13
Sudah banyak pakar pendidikan
yang menyumbangkan pikiran tentang pengembangan kurikulum. Salah satu
diantara pakar itu adalah Muhaimin.
Dalam penelitian ini peneliti menganalisis tentang pemikiran
Muhaimin. Karena banyak memiliki, yakni:
1) Pengalaman dan kepakaran ilmu yang digelutinya serta berhasil di
bidangnya;
2) Banyak buku-buku yang dihasilkan atau mempunyai karya-karya
monumental;
3) Muhaimin merupakan salah seorang bagian penting dalam
pengembangan kurikulum PTAI, terutama di UIN Malang;
4) Ketokohannya diakui secara "Mutawatir".

Dari berbagai uraian diatas yang menjadi sebab ketertarikan bagi
penulis untuk mengkaji analisis paradigma pendidikan Agama Islam yang
dihasilkan beliau, yang mana semua ide-ide dan gagasan beliau tentang
pengembangan kurikulum banyak mewarnai pendidikan Agama Islam di

12
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: nuansa,
2003), hlm.297
13
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis Dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung : Penerbit Trigenda Karya, 1993), hlm. 183-
184
i
9
Indonesia ini, terutama di UIN Malang. Maka peneliti ingin menggali dan
menganalisis ide-idenya khususnya dalam pengembangan kurikulum.
Berdasarkan latar belakang diatas maka Penggalian ini dituangkan oleh
peneliti dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul KONSEP
PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENUJU
MASYARAKAT MADANI (Analisis Paradigma Pengembangan
Kurikulum menurut Prof. Dr. H. Muhaimin, MA..
Diharapkan dengan hadirnya konsep pembaruan pendidikan Agama
Islam yang didasarkan pada analisis paradigma pengembangan kurikulum
dapat dijadikan sebuah alternatif bagi dunia pendidikan dalam mengatasi
krisis multidimensional serta mengatasi permasalahan kehidupan umat
manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat madani.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan
masalah dalam pembahasan skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam menuju
masyarakat madani menurut pandangan Muhaimin di PTAI?
2. Bagaimana upaya Muhaimin dalam mengaplikasikan paradigma
pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam menuju masyarakat
madani di PTAI?

i
10
C. Tujuan Penelitian
Merujuk pada latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas,
besar harapan penulis agar tulisan ini dapat menjadi sumbangan pemikiran
bagi pendidikan Islam di masa mendatang yang penuh dengan perubahan
dan menuntut untuk disikapi secara arif dan bijaksana. Adapun tujuan
penulisan ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam
dalam membangun masyarakat madani sesuai dengan analisis paradigma
pengembangan kurikulum menurut Muhaimin.
2. Untuk mengetahui aplikasi Konsep Pembaruan PAI dalam upaya
mewujudkan masyarakat madani melalui analisis paradigma
pengembangan kurikulum menurut Muhaimin.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian studi tokoh Muhaimin. Mengenai analisis
paradigma pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam yang
diharapkan dapat bermanfaat :
1. Secara teoritis; Penelitian ini sebagai salah satu acuan dalam
pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam
meningkatkan khazanah ilmiah dalam dimensi Pendidikan Agama Islam.
Selain itu sebagai inovasi bagi lembaga Pendidikan Agama Islam yang
selalu mengadakan pembaruan menuju kearah kemajuan, sehingga peran
dan fungsinya dapat dirasakan oleh masyarakat. Khususnya lembaga Di
Universitas Islam Negeri Malang.
i
11
2. Secara praksis; Bermanfaat bagi kalangan pembaca dan penambahan
karya ilmiah di Perpustakaan UIN Malang. Dan juga memberikan
sumbangan dan kontribusi pemikiran tentang pentingnya membangun
masyarakat madani melalui jalur pengembangan kurikulum pendidikan
Agama Islam. Sehingga memunculkan suatu pemikiran konsep
pendidikan Agama Islam dalam membangun masyarakat madani,
sehingga menjadi konsep yang lebih maju dan menjadi wacana
pengembangan pemikiran terhadap pendidikan Agama Islam tentang
persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi masyarakat madani.
E. Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penulisan
skripsi ini lebih mengarah kepada analisis paradigma pengembangan
kurikulum menurut Muhaimin. Penulis sangat perlu manyajikan analisis ini
mengingat dunia pendidikan khususnya pengembangan kurikulum harus
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat, yang dapat
meningkatkan sumber daya manusia menuju masyarakat madani, khususnya
pendidikan Agama Islam sendiri yang mempunyai tujuan untuk membentuk
Insanul kamil (manusia paripurna).
F. Penegasan Istilah
Dalam rangka menghindari kekaburan dan untuk mempermudah
pemahaman dalam skripsi ini, maka perlu adanya pemahaman konkrit
mengenai istilah-istilah yang digunakan.
i
12
Dalam penegasan ini antara lain menjelaskan tentang pembaruan
pendidikan Islam menuju masyarakat madani dan analisis paradigma
pengembangan kurikulum. Diantara penegasan istilah ini adalah :
1. Pembaruan adalah identik dengan pembangunan development
yaitu proses, multidimensional yang kompleks menurutnya
pembaruan haruslah sesuai dengan kerangka pembaruan. Dalam
konteks ini pendidikan dianggap sebagai prasyarat dan kondisi
yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan
mencapai tujuan pembaruan. Dengan demikian tak heran ketika
pendidikan dikatakan sebagai kunci kearah pembaruan.
2. Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan
siswa dan meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati
agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama
dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
14

3. Masyarakat madani adalah masyarakat yang adil, terbuka dan
demokratis, dengan landasan taqwa kepada Allah SWT dan taat
pada ajaran-ajarannya serta membentuk manusia-manusia yang
kompetitif dalam era globalisasi yang didominasi oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga PTAI dituntut untuk dapat
melahirkan manusia-manusia yang menguasai IPTEK dan sekaligus

14
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam Di Sekolah ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset, 2004), hlm: 75-76
i
13
hidup didalam nilai-nilai agama Islam, dalam hal ini merupakan
pilar-pilar masyarakat madani.
4. Paradigma dalam konteks pengembangan ilmu, paradigma
merupakan khas mekanisme berpikirnya seorang ahli. Validitas
suatu paradigma akan menjadi lebih tinggi jika banyak ahli yang
mengadopsinya. Paradigma ini lebih mendeskripsikan mekanisme
atau dinamika, serta lebih menonjolkan interaksi dan interpedensi
antar komponen atau faktor. Misalnya saja pada persoalan
pengembangan kurikulum adalah suatu contoh paradigma.
15

5. Pengembangan kurikulum PAI adalah kegiatan menghasilkan
kurikulum PAI atau proses yang mengkaitkan komponen dengan
yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik,
serta kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan
penyempurnaan kurikulum.
6. Analisis konsep adalah suatu analisis mengenai istilah-istilah (kata-
kata) yang mewakili gagasan atau konsep. jika dalam suatu analisis
berusaha menemukan jawaban apanya sesuatu, maka apa yang
dilakukannya ini adalah analisis filosofis. Dalam analisis konsep,
jawabannya berbentuk definisi-definisi, dan definisi tergantung pula
kepada tokoh-tokoh atau lembaga yang mengeluarkan atau
menciptakannya.
16


15
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. Op.Cit. hlm.3
16
Djumransjah, Pengantar Filsafat Pendidikan,Kata Pengantar Imam Suprayogo,
(Malang: Bayumedia, 2004), hlm.40
i
14
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian
kepustakaan (library research) dimana penulis menggunakan metode
penelitian deskriptif-kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu
penelitian yang ditujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
fenomene, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,
pemikiran orang secara individual maupun kelompok.
17
Penelitian
kualitatif ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan
masyarakat, tingkah laku, juga tentang fungsionalisasi organisasi,
pergerakan-pergerakan sosial, atau hubungan kekerabatan.
18

Penelitian ini lebih menekankan pada kekuatan analisis data pada
sumber-sumber data yang ada yang didapat dari buku-buku, tulisan-
tulisan dan dengan mengandalkan teori-teori yang ada untuk
diinterpretasikan secara luas dan mendalam. Untuk itu, penulis
menggunakan pendekatan deskriptif kepustakaan dengan berdasarkan
tulisan yang mengarah pada pembahasan skripsi ini. Selain itu peneliti
menggunakan pendekatan interpretasi adalah suatu pendekatan

17
Nana Syodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Program Pasca
Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.60
18
Anselm Strauss and Juliet Corbin, Basics Of Qualitative Research grounded theory
procedures and techniques (Dasar -Dasar Penelitian Kualitatif Prosedur, Teknik, Dan Teori
Grounded), Penyadur Djunaidi Ghony, (Surabaya : PT Bina Ilmu Ofset, 1997), hlm 11
i
15
penelitian yang dilakukan oleh peneliti untuk menjelaskan bagian-bagian
yang kurang jelas berdasarkan asumsi dan pemahaman peneliti.
19
2. Sumber Data
Dalam pustaka yang dijadikan sumber acuan dalam kajian
pustaka seyogyanya menggunakan sumber primer dan dapat juga
menggunakan sumber sekunder.
20
Dalam hal ini penulis menggunakan
sumber data yaitu: (a) Sumber data primer; Dalam hal ini adalah buku-
buku karya Muhaimin yang berkaitan dan sesuai dengan pokok
persoalan konsep analisis paradigma pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam. Adapun buku-bukunya antara lain:
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi (2005). Jakarta: Rajawali Pers,
Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Di Sekolah (Bandung): Remaja Rosdakarya, 2001); Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003);
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum Hingga Islamisasi Pengetahuan (Bandung:
Nuansa, 2003). Selain itu penulis menggunakan data dari hasil
wawancara langsung dari Muhaimin (b) Sumber data sekunder; Adalah
sumber lain yang sependapat dengan pemikiran Muhaimin yang relevan
dengan pokok persoalan dalam kajian ini, dalam hal ini dapat berupa

19
Neong Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III (Yogyakarta, Rake Sarasin,
1996), hlm. 49
20
Biro Admisnistrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi bekerjasama
dengan Penerbit Universitas Negeri Malang, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi
Keempat, (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, Cetakan Ketiga 2003), hlm 3
i
16
buku-buku literature, makalah-makalah, artikel-artikel, serta hal-hal lain
yang memakai pemikiran Muhaimin dalam mendukung penulisan skripsi
ini. (c) data penunjang, adalah orang-orang yang pernah bergelut dengan
keseharian Muhaimin dalam rangka memperjelas analisis pemikiran
Muhaimin.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam studi ini dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu:
a) Tahap orientasi. Peneliti mengumpulkan data secara umum tentang
tokoh untuk mencari hal-hal menarik dan penting untuk diteliti;
b) Tahap eksplorasi; pada saat menggali informasi dan memperoleh
data peneliti membatasinya pada hal-hal yang relevan dengan fokus
studi;
c) Tahap fokus studi; peneliti mulai melakukan studi secara mendalam
yang terfokus pada maslah keberhasilan, keunikan, dan karya sang
tokoh yang dianggap penting dan mempunyai pengaru signifikan
pada masyarakat.

4. Metode Pengumpulan Data
Dalam Studi tokoh pada umumnya menggunakan dua metode
pengumpulan data, yakni:
21
a. Wawancara, Wawancara adalah metode pengumpulan data yang
merupakan salah satu aspek penting karena sifatnya yang luwes,
Rapport atau hubungan baik dengan orang yang diwawancarai
dapat memberikan suasana kerjasama, sehingga memungkinkan
diperolehnya informasi yang benar.
22

21
Arief Furchan dan Agus Maimun MA. Studi Tokoh, Metode Penelitian Mengenai
Tokoh.( Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm.50-58
22
Arief Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional,
1982) hlm. 248
i
17
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara
menanyakan sesuatu kepada subyek penelitian atau informan.metode
wawancara yang digunakan dapat mengacu pada wawancara tidak
berstruktur atau wawancara mendalam. Wawancara tidak berstruktur
menurut Danundjaja (1984) dibagi menjadi dua, yaitu wawancara
terarah dan wawancara tidak terarah. Melalui wawancara terarah ini
diharapkan dapat diungkap berbagai persoalan yang berkaitan
dengan obyek studi. Sementara dari wawancara tidak terarah dapat
diungkap berbagai informasi yang dapat mendukung data yang
diperoleh dari wawancara terarah. Untuk mendukung wawancara
tidak terarah. Dapat dilakukan juga wawancara sambil lalu (casual
interview), dimana subyek studi atau informan yang diwawancarai
tidak diseleksi lebih dahulu dan wawancara itu dilakukan secar
informal dan spontanitas. Wawancara terbuka (open-ended)
dilakukan untuk menggali ide, pendapat, pandangan sang tokoh.
Wawancara sebaiknya dilakukan pada waktu dan konteks yang
dianggap tepat untuk mendapatkan data akurat dan dilakukan
berkali-kali sesuai dengan keperluan. Wawancara semacam ini sering
disebut indepth interview. Wawancara juga dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Yaitu:
1. Wawancara langsung, yang dilakukan oleh peneliti secara
langsung kepada tokoh dengan mendengarkan dan menanyakan
hal-hal yang belum jelas tentang pemikiran tokoh. Wawancara
ini biasanya dilakukan apabila tokoh masih hidup.
i
18
2. Wawancara tidak langsung, yang dilakukan oleh peneliti
kepada orang lain yang mengetahui tentang aktivitas dan
produktivitas sang tokoh.

b. Dokumentasi
Dalam hal ini data dokumentasi ini digunakan untuk
melengkapi data yang diperoleh dari wawancara. Dengan
dokumentasi, peneliti dapat mencatat karya-karya yang dihasilkan
sang tokoh. Selama ini atau tulisan-tulisan orang lain yang berkaitan
dengan sang tokoh. Disamping itu, dengan dokumentasi peneliti
diharapkan dapat melacak dokumen pribadi sang tokoh. Dokumen
pribadi ini terdiri dari dua jenis:
1. Dokumen pribadi berdasarkan permintaan (solicated). Dokumen
pribadi yang dibuat atas permintaan adalah dokumen pribadi
yang dibuat atas permintaan peneliti
2. Dokumen pribadi yang tidak berdasarkan permintaan
(unsolicated). Dokumen yang tidak berdasarkan permintaan
adalah dokumen yang dibuat oleh sang tokoh untuk keperluan
sendiri atau atas permintaan orang lain yang bukan peneliti. Jadi
peneliti memakai dokumen yang sudah ada. Tugas peneliti
hanyalah memilih, mencari, menyajikan dan menganalisis
dokumen tersebut.

5. Tehnik Analisis Data
Analisis data adalah kegiatan mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi tanda/ kode, dan mengkategorikan data
sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hipotesis kerja berdasarkan
data tersebut.
23
Sedangkan menurut Neong Muhadjir Analisis data
merupakan upaya mancari dan menata secara sistematis catatan hasil

23
Lexy Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm.10

i
19
observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman
peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan
bagi orang lain.
24
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan
content analisis yakni pemahaman secara konsepsional yang
berkelanjutan didalam deskripsi, artinya melakukan analisis terhadap
makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Muhaimin tentang
paradigma pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di PTAI.
6. Pengecekan keabsahan data
Dalam penelitian kualitatif, yang termasuk studi tokoh,
pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan cara antara lain :
25

a) Kredibilitas data: Upaya peneliti untuk menjamin kesahihan data
dengan mengkonfirmasikan data yang diperoleh kepada subyek
penelitian. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa apa yang
ditemukan peneliti sesuai dan benar dengan apa yang dilakukan
subyek penelitian.
b) Transferabilitas data: Dilakukan dengan cara memberikan
kesempatan kepada orang untuk membaca laporan penelitian
(sementara) yang telah dihasilkan oleh peneliti;



24
Neong Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III (Yogyakarta, Rake Sarasin,
1996), hlm 104
25
Arief Furchan dan Agus Maimun. Op.Cit. hlm.50-58
i
20
H. Sistematika Pembahasan.
Adapun sistematika pembahasan skripsi adalah sebagaimana tersebut
dibawah ini :
BAB I Merupakan bab pendahuluan; berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup
pembahasan, penegasan istilah, metode penelitian, dan deskripsi
tentang sistematika pembahasan.
BAB II Merupakan pemaparan Biografi Muhaimin yang mencakup
riwayat kehidupan, pendidikan dan karir serta hasil karya tulis
dan kegiatan yang digelutinya
BAB III Merupakan analisis tentang konsep Pembaruan Pendidikan
Agama Islam menuju masyarakat madani menurut Muhaimin di
PTAI
BAB IV Membahas tentang analisis pengembangan kurikulum menurut
Muhaimin. Bab ini juga merupakan pengembangan dari bab
sebelumnya untuk mencari modus vivendy (titik temu) dari
rumusan masalah yang menjadi problema penulis.
BAB V Merupakan penutup yang meliputi Kesimpulan dan saran yang
bersifat konstruktif agar semua upaya yang pernah dilakukan
serta segala hasil yang telah dicapai bisa ditingkatkan lagi kearah
yang lebih baik




i
21
BAB II
HISTORIKA BIOGRAFI DAN INTELEKTUAL


A. Riwayat Kehidupan Muhaimin.
1
Nama lengkapnya adalah Muhaimin dilahirkan di Lumajang, 11 Desember
1956. Ayahnya bernama H. Soelchan (alm.) dan Ibu Hj. Chotimah (alm.). Kedua
orangtua Muhaimin sudah meninggal dunia. Kedua orangtua Muhaimin adalah
salah satu tokoh masyarakat/ kyai di Lumajang dan memiliki pondok pesantren.
Kedua orangtua Muhaimin telah berhasil mendidik dan membimbing dengan
sabar dan bijaksana. Sejak awal orangtuanya selalu menginginkan Muhaimin
menjadi anak yang saleh, yang berguna bagi keluarga, masyarakat, Nusa dan
Bangsanya. Muhaimin selalu berharap untuk mewujudkan keinginan orang tuanya
sampai akhir hayatnya. Muhaimin merupakan putera keempat dari tujuh
bersaudara.
Muhaimin menikah dengan seorang wanita yang berbudi pekerti luhur dan
cantik yang bernama Hj. Rosida Rahayu, istri Muhaimin inilah yang sangat setia
menemani dan mengingatkan atas kekeliruan dan juga memberikan solusi apabila
Muhaimin memiliki persoalan, dan yang tiada henti-hentinya memberikan
dukungan kepada Muhaimin dengan penuh kesabaran. Dari hasil pernikahannya
ini Muhaimin dikaruniai tiga orang putra dan putri; putri sulungnya bernama
Qurrotu Aini (Malang, 23 Januari 1984); Moh. Rosyidi Alhamdani (Malang, 27

1
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26
Februari 2007
i
22
Oktober 1986); dan bungsu Mahro Syihabuddin (Malang, 3 September 1988).
2

Sekarang Muhaimin bertempat tinggal bersama keluarga tercinta disebuah rumah
yang asri dikawasan perumahan padat penduduk di Jl. Joyo Raharjo 150 Malang
65144 Telp. (0341) 583968.
Semasa mahasiswa, aktif mengikuti kegiatan organisasi yakni mengikuti
PMII selama 1 tahun, lalu mengikuti HMI dan pernah menjabat sebagaii sekretaris
HMI. Namun setelah itu Muhaimin mulai merambah dunia pendidikan dengan
mengabdi di MTS Nurul Huda Sumbersari selama empat tahun. Selama studi di
S1 Muhaimin mendapatkan beasiswa selama 2 tahun. Selama studi Muhaimin
sempat mengikuti Ngaji "Wetonan di pondok pesantren Gading. Sahabat dekat
Muhaimin salah satunya dalah Hasyim Asyari, sahabat pada saat menempuh
pendidikan Di PGA di Lumajang. Hasyim sekarang menjadi ketua KUA DEPAG
di Lumajang. Hasyim Asyari inilah yang mengajarkan Muhaimin dalam
membimbing pada saat Mengikuti IPNU. Pada saat itu Muhaimin pernah
menjabat sebagai Ketua IPNU pada tahun 1974-1976. Dalam pemikiran
Muhaimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh pendidikan yang juga
merupakan guru-guru Muhaimin, diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Amin
Abdullah, Harun Nasution, Quraish Shihab, Mukti Ali, Syafi'i Ma'arif, Neong
Muhadjir, dan masih banyak lagi.
Muhaimin pernah menjadi Kepala Jaminan Mutu (KJM). Dan sekarang
menjadi Dosen Tetap/Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Agama di UIN Malang
dan bergelar lengkap sebagai Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Dahulu berkantor di

2
Muhaimin, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Rekonstruksi Social, Dalam Pidato
Ilmiah Disampaikan Di Hadapan Sidang Terbuka Senat UIN Malang dalam rangka Pengukuhan
Guru Besar, (Malang: DEPAG UIN Malang, 2004), hlm 39
i
23
UIN Malang Jalan Gajayana-Dinoyo No. 50 Malang 65145, Telp.(0341) 551354,
Fax. (0341) 572533. Selain itu Muhamin juga pernah menjadi yang tersebut
dibawah ini:
1. Anggota Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam di
Jawa Timur.
2. Konsultan dan Pelatih Pengembangan Pendidikan TK/RA, Madrasah (MI,
MTs, MA) dan Madrasah Diniyah di Kanwil Depag Jatim.
3. Tim Pengembang Kurikulum PTAI Ditpertais Depag RI (2004-2005).
4. Konsultan dan Pelatih Pengawas PAI dan Kepala Madrasah Kanwil Depag di
Jatim.
5. Konsultan Penulisan Buku Paket PAI SMP pada MGMP PAI Kotamadya
Malang. Anggota Tim Pakar Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi
PAI Madrasah Ditmapendais Depag Pusat (2003-2004).
6. Konsultan dan Pelatih Pengembangan Madrasah di Kanwil Depag Propinsi
Bali. Instruktur dan Pelatih pada Diklat Kanwil Depag Jawa Timur."

B. Pendidikan Dan Karir Muhaimin.
Pendidikan diawali di MI Lumajang (1969), PGAN 4 Tahun (1973),
PGAN 6 Tahun Lumajang (1975), dan Sarjana Muda Jurusan Bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (1979), serta Sarjana Lengkap IAIN Sunan
Ampel Fakultas Tarbiyah Malang (1982), S-2 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(1989), dan mengambil S-3 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul
disertasi "FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA: Suatu Kajian
Tipologis". Selain mengajar muhaimin memiliki berbagai Pengalaman ke Luar
Negeri antara lain: Pada Tahun 2000, Muhaimin Mengikuti School Management
Training di Kanada, selama 3 bulan, Ke Saudi Arabia (Ibadah Haji) Tahun 2001,
Kunjungan ke Iran (Tahun 2003), Kunjungan Kerja ke Sudan, Qatar dan Mesir
(Tahun 2004), Kunjungan Kerja ke Malaysia (tahun 2004), Nara Sumber Pada
Seminar Pendidikan di Riyardh (Tahun 2005).
i
24
Muhaimin juga memiliki berbagai macam pengalaman-pengalaman dalam
menjalankan profesi yang digelutinya sejak masih muda yakni sebagai berikut:
1. Pegawai Harian Fak. Tarbiyah IAIN SA Malang (1981-1983);
2. Kasi Umum pada Fak. yang sama (1983-1984);
3. Kasi Pengajaran pada Fak. yang sama (1985-1987);
4. Dosen Tetap Pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel/STAIN Malang
sejak 1985 s.d sekarang;
5. Sekretaris Fakultas Tarbiyah UMM (1983-1984) dan Dekan Fakultas
Tarbiyah UMM (1984-1987);
6. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
di Malang (1992 s.d 1996);
7. Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel (1997);
8. Staf Pengajar di STIT Kepanjen Malang (1991-1997);
9. Staf Pengajar Fak.Tarbiyah UNISMA (1984-1996);
10. Staf Pengajar STAIPANA Bangil Pasuruan (1993-1998);
11. Staf Pengajar di UMM Program S1 (1984-1998);
12. Staf Pengajar pada Pasca Sarjana/S2 UMM Program Magister Agama Islam
tahun 1996 s.d sekarang;
13. Staf Pengajar Program Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Sidoarjo (2000 s.d
2003);
14. Staf Pengajar Program Pascasarjana UM Surabaya (2004 s.d sekarang).
15. Pembantu Ketua II STAIN Malang (1997-1998);
16. Pembantu Ketua I STAIN Malang (1998 s.d 2004) dan Pembantu Rektor I
UIN Malang (2004-2005).
17. Pembantu Rektor II UIN Malang (2005-2007).
18. Kepala Kantor Jaminan Mutu UIN Malang (2005-2007).
19. Staf Pengajar Program Pascasarjana (S2) STAIN/UIN Malang (1999 s.d
sekarang).
20. Staf pengajar Program Pascasarjana (S2) UNIPDU Jombang (2002 s.d
sekarang).
21. Staf Pengajar Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya (2005 s.d
sekarang).
22. Pembimbing Disertasi di Universitas Islam Negeri Malang dan IAIN Sunan
Ampel Surabaya.

C. Karya-Karya Muhaimin.
Memahami makna kreativitas dan produktivitas Tuhan alam raya ini
kiranya merefleksikan kinerja Muhaimin sebagai pribadi pengabdi untuk berkreasi
dan bekerja keras, ada beberapa buku yang bisa di identifikasikan sebagai hasil
kreatifitasnya. Dalam menerbitkan buku-buku Muhaimin bekerja sama dengan
i
25
penerbit-penerbit terkenal seperti Pustaka pelajar yogyakarta, Remaja Rosdakarya
Bandung, Trigenda Karya, Ramadhani Solo, dan penerbit lainnya yang terkenal.
Adapun buku-bukunya adalah:
1. Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia (1989). Jakarta: Kalam
Mulia.
2. Konsep Pendidikan Islam (Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum)
(1991). Solo : Ramadhani.
3. Belajar Sebagai Sarana Pengembangan Fitrah Manusia (1991). Jakarta: Kalam
Mulia.
4. Pengenalan Kurikulum Madrasah (1992). Solo : Ramadhani.
5. Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofik Dan Kerangka Dasar
Operasionalnya) (1993). Bandung: Trigenda Karya.
6. Bekal Para Juru Dakwah Masa Kini (1994). Bandung: Trigenda Karya.
7. Dimensi-Dimensi Studi Islam (1995). Surabaya: Karya Abditama.
8. Strategi Belajar-Mengajar (Penerapannya Dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam) (1996). Surabaya: Citra Media.
9. Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam)
(1996). Surabaya: Karya Abditama.
10. Tema-Tema Pokok Dakwah Islam Di Tengah Transformasi Sosial (1998).
Surabaya: Karya Abditama.
11. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di
Sekolah , Bandung: Remaja Rosdakarya.. Cetakan I (2001) dan Cetakan II
(Januari, 2002).
12. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (2003). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. (Cetakan Kedua, Agustus 2004).
13. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum hingga Islamisasi Pengetahuan (2003). Bandung: Nuansa
Cendekia.
14. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi (2005). Jakarta: Rajawali Pers.
15. Pengembangan Kurikulum di PTAI (2005). Yogyakarta: Pustaka
16. Pelajar Kawasan dan Wawasan Studi Islam (2005). Jakarta: Prenada.
17. Manajemen Penjaminan Mutu di UIN Malang. Malang: UIN, 2005.
18. Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Pendidikan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006.
19. Pedoman dan Implementasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) Madrasah Ibtidaiyah (MI). Surabaya: Kanwil Depag
Jatim, 2007.
20. Pedoman dan Implementasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) Madrasah Tsanawiyah (MTs). Surabaya: Kanwil Depag
Jatim, 2007.
i
26
21. Pedoman dan Implementasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah (MA). Surabaya: Kanwil Depag Jatim,
2007.

Di samping menulis beberapa buku, Muhaimin juga melakukan Penelitian-
penelitian, diantaranya penelitian yang pernah dilakukan adalah:
1. Deskripsi Empat Pondok Pesantren Di Jawa Timur: Studi Dan Eksperimentasi
Pengembangan Pondok Pesantren Di Jawa Timur (1982)-Riset kolektif.
Persepsi Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Malang Terhadap Jabatan Guru
Agama (1987).
2. Mencari Alternatif Pola Pengembangan Program Pengalaman Lapangan Di
Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (1988).
3. Telaah Kurikulum Madrasah Berdasarkan Konsep Pendidikan Islam (1989).
4. Tinjauan Islam Tentang Beberapa Upacara Di Gunung Kawi (1991)-Riset
Kolektif Strategi Pembinaan Dan Pengembangan Perpustakaan Masjid
Sebagai Pusat Informasi Dan Dakwah Di Kotamadya Malang (1992).
5. Kesiapan Masyarakat Desa Dalam Menghadapi Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun Di Kecamatan Bantur dan Gedangan Kabupaten Malang
(1993).
6. Eksistensi Pendidikan Agama Islam Luar Sekolah Di Pedesaan (Studi
Kasus Di Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa
Timur) (1994).
7. Studi Tentang Aliran-Aliran Pemikiran Teologi Dalam Islam Pada Periode
Klasik (1995).
8. Upaya K.H. Moh. Yahya Dalam Mengembangkan Pendidikan Di Pondok
Pesantren Miftahul Huda Gading Kasri Malang (1996).
9. Pengembangan Sumber Daya Manusia Di Pondok Pesantren Kecamatan
Lowokwaru Kotamadya Malang (1996) -Riset Kolektif. Pelaksanaan
Pendidikan Agama di Madrasah-Madrasah Kodya Malang (1997)-Riset
Kolektif. Penciptaan Suasana Religius Di Sekolah-Sekolah Kotamadya
Malang (1998).
10. Pemberlakuan Sistem Guru Kelas dalam Peningkatan SDM pada Madrasah
Ibtidaiyah di Kotamadya Malang (1999).
11. Etos Kerja Guru Pendidikan Agama Islam di SMU Negeri Kotamadya
Malang (1999/2000)-Penelitian Kompetitif. Evaluasi Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum (2003).
12. Pengembangan Pendidikan Agama Sebagai Budaya Sekolah Studi Kasus di
SMA Kotamadya Malang (2006).


Adapun yang termasuk hasil karya Muhaimin selama mengajar di
Perguruan Tinggi adalah menyusun Buku-Buku Diktat Kuliah. Antara lain::
i
27
1. Kuliah Pengantar Ilmu Agama Islam.
2. Dirosah Islamiyah: Aspek Teologi.
3. Dirosah Islamiyah: Aspek Filsafat.
4. Manusia Dan Pendidikan: Kajian Tentang Belajar Menurut Konsep Islam.
5. Pergumulan Umat Islam Di Pentas Sejarah: Seri Kuliah Sejarah Kebudayaan
Islam.
6. Pemikiran Teologi Islam Pada Periode Klasik.
7. Modul Ulum al-Hadits.
8. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
9. Bekal Pendidik Agama Islam Luar Sekolah
10. Pengembangan Pendidikan Islam: Menggagas Format Pendidikan Islam Masa
Depan.
11. Problematika Pendidikan Islam
12. Lima Belas Isu Penting Dalam Pengembangan Pendidikan Islam
13. Esei-Esei Pemikiran Pengembangan Pendidikan Islam.

Aktif mengikuti kegiatan ilmiah, seperti seminar, lokakarya, work shop,
pelatihan. Judul-Judul Makalah Yang Telah Diseminarkan adalah:
1. Perspektif filsafat pendidikan Islam dalam konteks pendidikan di Indonesia
(Disajikan pada Forum Ilmiah Fak. Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).
2. Pengembangan SDM dalam transformasi Iptek menuju terciptanya kader-
kader HMI yang mandiri (Disajikan pada Batra HMI Malang)
3. Pengembangan Perpustakaan di Fakultas Tarbiyah: Menyongsong sarjana
tarbiyah masa depan (Dialog Ilmiah).
4. Islam, Jihad dan Transformamsi sosial (Disajikan pada PKD PMII Malang).
5. Filsafat Islam: Kajian ontologis, epistemologis & aksiologis (Disajikan pada
LSAFI HMI Malang).
6. Strategi pembelajaran pendidikan agama Islam pada pendidikan dasar dan
menengah (Disajikan pada Seminar dan Workshop dalam rangka HAB
Depag Kodya Malang).
7. Kiat Fakultas Tarbiyah dalam menyiapkan lulusan yang siap pakai
(Disajikan pada seminar regional UNMUH Surabaya).
8. Feminisme dalam pandangan Islam (Disajikan pada seminar regional di
Malang).
9. Beberapa pokok pikiran tentang pengembangan kurikulum Fakultas
Tarbiyah (Disajikan pada seminar dan lokakarya kurikulum IAIN Sunan
Ampel).
10. Model-model pengembangan pendidikan agama Islam (Disajikan pada
seminar regional Fak. Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).
11. Peran Lembaga Pendidikan Agama Islam dalam penanggulangan HIV/AIDS
(Disajikan pada penataran Upaya Penanggulangan HIV/AIDS Kotamadya
Malang).
12. Profil Guru Agama pada era tinggal landas (Disajikan pada diolog ilmiah
dalam rangka HAB Depag Kodya Malang).
i
28
13. Model Penyusunan kurikulum lokal: suatu tinjauan praktis (Disajikan pada
Semlok kurikulum lokal Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel).
14. Pendekatan keagamaan dalam pendidikan anak di TKA (Disajikan pada
seminar dan lokakarya nasional di Fakultas Tarbiyah Jember IAIN Sunan
Ampel).
15. Refleksi ramadlan dalam konteks peningkatan etos kerja dan amal saleh di
era globalisasi (Disajikan pada dialog ilmiah di MIN I Malang).
16. Pemurnian aqidah issue sentral dakwah Islamiyah (Disajikan pada pelatihan
khatib di Kabupaten Malang).
17. Is Muhammad Feminism? (Disajikan pada seminar regional SEMA Fak.
Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).
18. Ujian negara bagi PTAIS jurusan PAI: Implikasinya dalam penyebaran
mata kuliah per-semester (Disajikan pada diskusi di Kopertais Wilayah IV
Surabaya).
19. Aktualisasi kebijakan nasional tentang pendidikan Islam (Disajikan pada
seminar regional di STIT Ibrahimi Banyuwangi).
20. Pembelajaran pendidikan agama di sekolah dan madrasah (Disajikan pada
seminar dan lokakarya nasional di UNDAR Jombang).
21. Profil guru agama: Sebuah renungan (Disajikan pada seminar dalam
rangka HAB Depag Kodya Malang).
22. Menyiapkan calon guru agama di IAIN: Sebuah pemikiran awal (Disajikan
pada seminar sehari Lustrum V IAIN Sunan Ampel).
23. Tantangan guru agama dalam era modernisasi dan industrialisasi (Disajikan
pada seminar regional HMJ PAI Fak. Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).
24. Membangun Kompetensi guru agama (Disajikan pada penataran dan
lokakarya Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).
25. Prospek guru agama dalam menatap masa depan (Disajikan pada seminar
regional di STIT Raden Rahmat Kepanjen Malang).
26. Profil mahasiswa IAIN dalam menatap era globalisasi (Disajikan pada
dialog ilmiah IAIN Sunan Ampel Fakultas Tarbiyah Malang).
27. Profil guru agama dalam menatap wajib belajar 9 tahun (Disajikan pada
seminar regional program D-2 Fakultas Tarbiyah).
28. Iman dan Taqwa: Sebuah Tinjauan Qur'ani. (Disajikan pada seminar Dosen
Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel).
29. Metodologi Studi Islam sebagai MKDU di STAIN (Disajikan pada seminar
dosen STAIN Malang).
30. Landasan filosofis pendidikan Madrasah (Disajikan pada penataran dan
lokakarya Kurikulum Madrasah bagi Pejabat dan Pengawas PAI Kanwil
DEPAG Jawa Timur di STAIN Malang).
31. Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam (Disajikan pada Penataran
Intensifikasi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam bagi Guru-Guru
MAN se Indonesia di UNISMA Malang, Tgl. 20 - 24 Agustus 1998).
32. Landasan filosofis pendidikan Madrasah (Disajikan pada penataran dan
lokakarya Kurikulum Madrasah bagi Pengawas Pendidikan Agama Islam
Kanwil DEPAG Jawa Timur di UNISMA Malang).
i
29
33. Kepala Madrasah Sebagai Pengembang Kurikulum (Disajikan pada
Pelatihan Manajemen Kepala Madrasah di STAIN Malang).
34. Tugas Kepala Madrasah Dalam Evaluasi Kurikulum (Disajikan pada
Pelatihan Manajemen Kepala Madrasah di STAIN Malang).
35. Kepala Madrasah Sebagai Pengembang dan Evaluator Kurikulum
(Disajikan pada Penataran dan Lokakarya Sosialisasi Kurikulum 1994 Bagi
Kepala Madrasah Aliyah se Wilayah Indonesia Timur di STAIN Malang).
36. Profil Mahasiswa Muslim Masa Depan. Makalah Disajikan pada Pelatihan
Kepemimpinan Mahasiswa di STAIN Malang, Juli 1999.
37. Membangun sinergi antara Madrasah Model dan Madrasah Satelit, Makalah
disajikan pada Workshop Manajemen Madrasah se-Jatim, 20 Oktober 1999.
38. Problem Statement Kepemimpinan pendidikan di Madrasah, Makalah
disajikan pada Workshop Manajemen Madrasah se Jatim, 20 Oktober 1999.
39. Pengembangan jurusan/program studi di STAIN Malang. Makalah
Disajikan pada Rapat Kerja Jurusan/Program Studi Tanggal 10 Desember
1999 di STAIN Malang.
40. Konsolidasi internal di bidang akademik (suatu upaya pencerahan STAIN
Malang di masa depan). Makalah disajikan pada Rapat Kerja STAIN
Malang, Tgl. 8-9 Mei 1999.
41. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah umum.
Makalah disajikan pada Penataran Guru Agama SLTP se Jawa Timur, tgl. 4
Agustus 1999, di Islamic Center Surabaya.
42. Pendekatan keagamaan dalam pendidikan anak di Taman Kanak-kanak.
Makalah disajikan pada Penataran Guru Agama TK se Jawa Timur, tgl. 4
Agustus 1999, di Islamic Center Surabaya.
43. Pengembangan tenaga kependidikan di Madrasah, Makalah disajikan pada
Penataran Kepala Madrasah se Kotamadya dan Kabupaten Kediri, 20-21
Maret 2000.
44. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah umum.
Makalah disajikan pada Penataran GPAI dan Kasi Pendais se-Jawa Timur,
tgl. 13Agustus 2000, di Wisma Sejahtera Surabaya.
45. Pengembangan Tenaga Kependidikan Agama Islam dalam Menatap Era
Globalisasi. Makalah disajikan pada Lokakarya GPAI, Kasi pendais se Jawa
Timur, tgl. 13 September 2000 di Islamic Center Surabaya.
46. Pengembangan Kurikulum PAI. Makalah disajikan pada Penataran KKG,
MGMP, Kasi Pendais dan PPAI se Jawa Timur, tgl. 14 Oktober 2000 di
Hotel Asida Batu Malang.
47. Pengembangan Jurusan/Program Studi di STAIN dalam Perspektif UIN.
Makalah disajikan pada Rapat Kerja STAIN Malang, tgl. 29-30 April 2000.
48. Prospek Fakultas/Jurusan Tarbiyah Dalam Menatap Otonomi Daerah.
Makalah disajikan pada Studium General di STIT Maskumambang Gresik
Jawa Timur, tgl. 17 September 2000.
49. Membangun Masyarakat Belajar yang Profesional. Makalah Disajikan pada
Diskusi Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Malang, tgl. 16 Desember 2000
50. Tergesernya Peranan Guru Agama. Makalah Disajikan pada Pelatihan Guru
Agama SMU Se Jawa Timur, tgl. 6 Mei 2001.
i
30
51. Posisi Bahasa Arab dalam pengembangan studi Islam, Makalaha disajikan
pada Workshop Pembelajaran Bidang Studi Bahasa Arab MA se Jatim dan
Nusa Tenggara, 24 Mei 2001.
52. Manajemen Pendidikan Berbasis Madrasah Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Makalah Disajikan Pada Lokakarya Pengawas Pendidikan Agama
Islam se Jawa Timur, 2 Juni 2001.
53. Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Makalah Disajikan pada Seminar PPS
Magister Agama Islam UMM, tgl. 10 Juni 2001.
54. Problema Umat Islam Dulu, Kini dan Yang Akan Datang. Makalah
Disajikan Pada Silaturrahmi Ulama se Kabupaten Malang, Rabu, 4 Juli
2001, di Kandepag Kabupaten Malang.
55. Pengembangan model school visit, Makalah disajikan pada Residensial
Program Sertifikasi Guru Madrasah se Kabupaten Lamongan, Bangkalan
dan Trenggalek, 20 Juli 2001.
56. Pengembangan Masyarakat Belajar yang Profesional di Madrasah.
Makalah Disajikan Pada Lokakarya Kepala Madrasah dan Pengurus
Madrasah se Kabupaten Malang, 12 Oktober 2001.
57. EBTANAS Masihkah Fungsional?Makalah Disajikan Pada Sarasehan yang
Diselenggarakan oleh Forum Intelektual Kotamadya Malang Jawa Pos, 25
November 2001.
58. Tantangan Pendidikan Agama Islam di Masa Depan. Makalah Disajikan
pada Pertemuan Para Kasi Pendais se Wilayah Kantor Departemen Agama
Jawa Timur di Tretes Pandaan Jatim, tgl. 5 Januari 2002.
59. Performa Guru Pendidikan Agama Islam Jenjang Pendidikan Dasar,
Makalah disajikan pada Seminar sehari Ketua MGMP PAI se Kabupaten
Malang, Februari 2002.
60. Profesionalisme GPAI di Sekolah, Makalah disajikan pada Seminar Sehari
Kelompok Kerja GPAI Kabupaten Malang, Maret 2002.
61. Problem Pendidikan Agama Islam di Sekolah/Madrasah, Makalah Disajikan
pada Seminar Sehari Bagi Pengawas PAI Se Jatim di Batu Malang, Februari
2002
62. Profesionalisme Guru Madrasah. Makalah Disajikan pada Seminar Guru-
Guru Madrasah Se Jatim di Surabaya, April 2002.
63. Pengembangan Kurikulum STAIN Malang Upaya Elaborasi Tarbiyah Ulul
Albab, Makalah disajikan di Diskusi pimpinan dan dosen, 5 Juni 2002.
64. Visi dan Misi STAIN dan Aktualisasinya dalam Pengembangan Program
PPL, Makalah disajikan pada Orientasi PPL tgl. 11 Juli 2002.
65. Pola Pengembangan kurikulum Bahasa Arab, Makalah disajikan pada
Pelatihan Bahasa Arab bagi Guru MA & MAK se Jatim, Bali, NTB dan
NTT, tgl. 12 Agustus 2002.
66. Integrasi Imtaq dan Ipteks, Makalah Disajikan pada Seminar di Surabaya,
Juni 2002.
67. Strategi Penyusunan Kurikulum dan Silabi PTAI, Makalah Disajikan pada
Seminar dan Workshop Kurikulum di STAIN Tulungagung, 28 Mei 2002
68. Pengembangan Pembelajaran Baca Tulis Al-Quran, Makalah Disajikan
pada Pelatihan GPAI SLTP Se Jatim Di Surabaya, September 2002.
i
31
69. Pendidikan kecakapan hidup dalam perspektif Islam, Makalah disajikan
pada Seminar sehari HMJ Tarbiyah, 21 Oktober 2002.
70. Model-Model Pengembangan Kurikulum PAI, Makalah disajikan pada
Workshop Penyusunan Kurikulum Nasional PAI, tgl. 29 Mei 2003.
71. Paradigma Pengembangan Pengabdian Kepada masyarakat, Makalah
disajikan pada Seminar Dosen, 13 Juni 2003.
72. Pengembangan Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan (Pondok
Pesantren). Makalah Disajikan Pada Acara Pembinaan dan Peningkatan
SDM Pengasuh Pondok Pesantren se Jawa Timur, Tgl. 23 s.d 25 Juni 2003
di Gedung Pusat Pengembangan Islam Surabaya.
73. Teori pengembangan kurikulum Bahasa Arab di PTAI, Makalah disajikan
pada Pelatihan Dosen Bahasa Arab PTAI se Indonesia, 5 Juli 2003.
74. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Madrasah, Makalah Disajikan pada
Seminar dan Workshop KBK Bagi Kabid Mapendais Kanwil Depag Se
Indonesia di Ciawi Bogor, Juni 2003.
75. Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis kompetensi, Makalah Disajikan
pada Pelatihan Pengawas PAI Se Jatim di Surabaya, Juli 2003.
76. Teori Pengembangan Kurikulum Program Studi di Lingkungan
IAIN/STAIN, Makalah Disajikan pada Pertemuan Ketua Program Studi
IAIN/STAIN se Indonesia di Ciputat Jakarta, 24 Juli 2003.
77. Kurikulum Berbasis Kompetensi PAI di Madrasah, Makalah Disajikan pada
Pelatihan Kepala dan Wakil Kepala Madrasah Se Jatim di Surabaya,
Agustus 2003
78. Integrasi Pendidikan Budi Pekerti dan Pendidikan Agama, Makalah
disajikan pada Pelatihan Guru-Guru PAI Se Jatim di Surabaya, Agustus
2003.
79. Implementasi Kurikulum PAI KBK, Makalah disajikan pada Orientasi KBK
bagi Wakil Kepala Madrasah dan Guru MTs se Jatim di Surabaya, 25-28
Agustus 2003.
80. Pengembangan Keguatan Belajar-Mengajar PAI, Makalah disajikan pada
Orientasi KBK bagi Wakil Kepala Madrasah dan Guru MTs se Jatim di
Surabaya, 25-28 Agustus 2003.
81. Model penyusunan draft Pedoman Umum dan Program Kerja MGMP
MA/SMU se Indonesia, Makalah disajikan pada Temu Konsultasi MGMP
tgl. 30 Agustus 2003.
82. Mengimplisitkan Pendekatan Keagamaan Dalam Pembelajaran Kemampuan
BTQ (BacaTulis Al-Quran) Di SD/SLTP, Makalah Disajikan Pada Seminar
dan Workshop Guru PAI SD/SLTP Se Jatim Di Surabaya, September 2003.
83. Strategi pengembangan kurikulum Fakultas Syariah, Makalah disajikan pada
Seminar dan Lokakarya Pemberdayaan Kualitas Lulusan Fakultas Syariah di
Pasaran Kerja, 3 September 2003.
84. Membangun sinergi antara Madrasah, Orang Tua, dan Tokoh Masyarakat,
Makalah disajikan pada Pelatihan Manajemen Madrasah Aliyah se
Kabupaten Kediri, 11 September 2003.
i
32
85. Pengembangan Kurikulum PTAI, Makalah Disajikan pada Pertemuan
Dekan dan Pembantu Dekan I IAIN Se Indonesia di Jakarta, 22-23
Nopember 2003
86. Indikator Kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Madrasah: Implikasinya
Terhadap Pengembangan Action Plan, Makalah Disajikan pada Temu
Konsultasi MGMP PAI MA/SMU Se Indonesia, September 2003.
87. Pengembangan Kurikulum Berbasis kompetensi PTAI, Makalah Disajikan
pada Woorkshop Pengembangan Kurikulum di Kopertais Makasar Ujung
Pandang, September 2003.
88. Konsep dan impelementasi KBK di PTAI, Makalah Disajikan pada
Workshop KBK di STAIN Ponorogo, 22-25 Agustus 2003
89. Pengembangan Program Studi Umum di PTAI (Sebuah Pertanggungan
Jawab Akademis), Makalah Disajikan pada Seminar dan Workshop STAIN
Se Jawa Barat dan Jawa Tengah di STAIN Cirebon, 16 Juni 2003
90. Pengembangan kurikulum PTAI Berbasis Kompetensi, Makalah Disajikan
pada Seminar dan Workshop STAIN Se Jawa Barat dan Jawa Tengah di
STAIN Cirebon, 16 Juni 2003.
91. Prospek Mahasiswa Tarbiyah, Makalah Disajikan pada Seminar Sehari di
STIT Kertosono-Nganjuk, Agustus 2003.
92. Model-Model Pembelajaran PAI, Makalah Disajikan pada Workshop
Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI bagi Guru-guru Madrasah Se Jatim di
Surabaya, September 2003.
93. Manajemen Peningkatan Mutu Madrasah, Makalah Disajikan Pada Pelatihan
Kepala Madrasah Aliyah Se-Jatim di Surabaya, Oktober 2003.
94. Strategi Global Pendidikan Indonesia Dalam Menyikapi Persaingan
Pendidikan Dalam Konteks Model Baru Kelulusan SLTP/SMU, Disajikan
pada Talk Show Pendidikan Tantangan dan Peluang Format Baru
Pelulusan SLTP/SMUdi Gedung SC UIIS Malang, Tgl. 29 April 2003
95. Visi dan Misi MA: Aktualisasinya dalam manajemen. Makalah disajikan
pada Seminar Kelompok Kerja Madrasah Aliyah se Kabupeten Gresik, 20
Desember 2003.
96. Tantangan PAI di Era Golabalisasi, Makalah Disajikan Pada Seminar Sehari
Bagi Pengawas PAI, Kepala TK/RA & Kepala Madrasah se Kabupaten
Madiun, di Madiun Januari 2004
97. Pengembangan Kurikulum dan Silabus STAIN, Makalah Disajikan pada
Workshop di STAIN Kediri, Februari 2004
98. Landasan Pengembangan Kurikulum Madrasah, Makalah Disajikan pada
Workshop Guru-Guru Madrasah Se Kabupaten Malang, 2 April 2004.
99. Akreditasi Madrasah, Makalah Disajikan pada Workshop Pengawas PAI Se
Kabupaten Malang, Maret 2004.
100. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah, Makalah Disajikan pada
Workshop Kepala Madrasah Aliyah Se Kabupaten Gresik, di Bungah Gresik
Jatim, Februari 2004.
101. Korupsi dalam Perspektif Pendidikan, Disajikan pada Musyawarah Majelis
Tarjih Muhammadiyah Jatim di Probolinggo, April 2004.
i
33
102. Tantangan STIT di Era otonomi Daerah, Pidato Ilmiah Disampaikan Pada
Dies Natalis dan Wisuda STIT Al-Mustaqim Negara-Bali, Tgl. 30 Mei 2004.
103. Kurikulum Berbasis Kompetensi PAI di Madrasah Aliyah, Makalah
Disajikan pada Workshop Kepala dan Wakil Kepala MA Se Kabupaten
Gresik, 4 6 Juni 2004
104. Inovasi Pendidikan Implikasinya terhadap Madrasah, Makalah Disajikan
pada Seminar dan Workshop Pengembangan Madrasah di Denpasar Bali, 9-
11 Juni 2004.
105. Peningkatan Kualitas Program Studi di UIN Malang, Makalah disajikan
pada Workshop Kurikulum Program Studi Bahasa dan Sastera Arab dan
Inggris.
106. Pengembangan Kurikulum UIN Malang, Makalah disajikan pada Workshop
Kurikulum Program Studi Bahasa dan Sastera Arab dan Inggris.
107. Pengembangan Kurikulum UIN Malang, Makalah disajikan pada Diskusi
Dekan dan PD I, Unit-Unit Penunjang di lingkungan UIN Malang
108. Upaya Peningkatan Mutu Program Studi di UIN Malang, Makalah disajikan
pada Diskusi Dekan dan PD I, Unit-Unit Penunjang di lingkungan UIN
Malang
109. Pengembangan Standar Kompetensi Lulusan UIN Malang, Makalah
disajikan pada Diskusi Dekan dan PD I, Unit-Unit Penunjang di lingkungan
UIN Malang.
110. Pengembangan Standar Kompetensi Lulusan Fakultas Tarbiyah UIN
Malang, Makalah disajikan pada Diskusi dosen-dosen di lingkungan
Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
111. Manajemen Program Pelatihan (Training). Makalah Disajikan pada Seminar
Widyaiswara Diklat di Surabaya, Tgl. 7 Desember 2004.
112. Posisi Strategis Penjaminan Mutu Dalam Rangka Pemberdayaan Madrasah.
Makalah Disajikan Pada Seminar dan Workshop Kepala MA se Jawa Timur
di Surabaya, tgl. 20 Mei 2005.
113. Musykilah at-Tarbiyah al-Islamiyah Wa Tanmiyatuha bi Indonesia. Makalah
Disajikan Pada Seminar Pendidikan Islam di Riyadh. Tgl. 23 24 Mei 2005.
114. Peningkatan Mutu Madrasah Tsanawiyah. Makalah Disajikan Pada Seminar
dan Workshop Kepala MTs se Jawa Timur di Surabaya, tgl. 8 Juni 2005.
115. Quality Assurance di Madrasah. Makalah Disajikan Pada Seminar dan
Workshop Kepala MA Kegamaan se Jawa Timur di Surabaya, tgl. 14 Juni
2005.
116. Pengembangan Wawasan Keislaman & Pembentukan Sikap Sosial Siswa.
Disajikan Pada Seminar Wakil Kepala SMA Bidang Kesiswaan se Jawa
Timur di Surabaya, tgl. 9 Agustus 2005
117. Mendesain Kurikulum STAIN. Makalah Disajikan Pada Seminar &
Workshop Pengembangan Kurikulum STAIN Ponorogo, Tgl. 11 September
2005.
118. Pengembangan Pendidikan Islam Menatap Masa Depan. Pidato Ilmiah
Disampaikan pada Rapat Terbuka Senat STAIPANA Bangil Dalam Rangka
Wisuda Sarjana S1 dan Lulusan D2, Tgl. 10 September 2005.
i
34
119. Tantangan Lembaga Pendidikan Islam Di Masa Depan. Pidato Ilmiah
Disampaikan pada Rapat Terbuka Senat STKIP-STIT Muhammadiyah
Lumajang Dalam Rangka Wisuda tahun 2005, Tgl. 25 September 2005.
120. Pengembangan Kurikulum di PTAIN. Makalah Disajikan Pada Seminar &
Workshop Pembelajaran, Penyusunan Kurikulum & SAP Bagi Dosen
STAIN Kendari, Tgl. 8 Oktober 2005.
121. Manajemen Penjaminan Mutu di PTAIN. Makalah disajikan pada Seminar
dan Workshop Pembantu Rektor & Pembantu Ketua Bidang Akademik
PTAIN se Indonesia di Malang, Tgl. 27 Oktober 2005.
122. Membangun Etos Kerja Dosen. Makalah Disajikan pada Pelatihan Dosen
PTAIN Se Jawa Timur, Tgl. 4 November 2005.
123. Merancang dan Membuat Program Pengajaran. Makalah Disajikan pada
Pelatihan Dosen PTAIN se Jawa Timur di Diklat Surabaya, Tgl. 16 Mei
2006.
124. Strategi Pembudayaan Agama Islam Dalam Komunitas Sekolah. Makalah
Disajikan Pada Seminar dan Workshop Guru PAI SMP se Jawa Timur. Tgl.
21 Juli 2006.
125. Strategi Pengembangan Pendidikan Agama Islam Di SMA/K. Makalah
Disajikan pada Seminar Guru Agama Islam SMA/K Se Jawa Timur di
Surabaya, Tgl. 2 Agustus 2006.
126. Pengembangan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN. Makalah disajikan
pada Seminar dan Workshop Pembantu Rektor & Pembantu Ketua Bidang
Akademik PTAIN se Indonesia di Jakarta, Tgl. 14 Agustus 2006.
127. Menggali & Membangun Potensi Sumberdaya Manusia Dalam Menghadapi
Dunia Kerja. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional Pengembangan
SDM, Tgl. 2 September 2006, di Kotamadya Madiun.
128. Penjaminan Mutu di STAIN. Makalah Disajikan Pada Seminar dan
Workshop Pimpinan dan Dosen-Dosen STAIN Tulungagung, tgl. 21
September 2006.
129. Interelasi Materi Pendidikan Agama Islam Dan Civic Education Di
Madrasah Tsanawiyah. Makalah disajikan pada Seminar AUSAID, Tgl. 25
September 2006 di Hotel Pelangi Malang.
130. Menggali makna Ibadah Puasa Ramadlan dan Pengembangannya Di
SMA/K. Makalah Disajikan pada Seminar Guru Agama Islam SMA/K Se
Jawa Timur, Tgl. 7 Oktober 2006.
131. Konsep Kurikulum Jurusan Kependidikan Islam Dalam Menjawab
Tantangan Global. Makalah disajikan pada Seminar Jurusan Kependidikan
Islam (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada tgl. 30
Nopember 2006.
132. Reorientasi Kurikulum STAIN Jember (Pengembangan Kurikulum STAIN
ke Arah Inovasi Pendidikan). Makalah disajikan pada Seminar & Workshop
Pimpinan dan Dosen pada tgl. 7 -8 Desember 2006 di STAIN Jember.
133. Peningkatan dan Pengembangan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN.
Makalah disajikan pada Seminar dan Workshop Dosen-Dosen PTAIN se
Indonesia Bagian Barat di Padang, Tgl. 24 Desember 2006.
i
35
134. Peningkatan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN. Makalah disajikan pada
Seminar dan Workshop Dosen-Dosen PTAIN se Indonesia Bagian Tengah
di Surabaya, Tgl. 26 Desember 2006.
135. Peningkatan dan Pengembangan Lembaga Penjaminan Mutu di PTAIN.
Makalah disajikan pada Seminar dan Workshop Dosen-Dosen PTAIN se
Indonesia Bagian Timur di Gorontalo, Tgl. 28 Desember 2006.
136. Madrasah Aliyah Keagamaan dan Standar Nasional Pendidikan. Makalah
Disajikan pada Seminar & Workshop Kepala MAK Se Jawa Timur, Tgl. 9
Januari 2007, Diselenggarakan oleh Madrasah Development Center di
Surabaya.
137. Kesiapan Sekolah/Madrasah Dalam Pengembangan KTSP. Makalah
Disajikan pada Seminar Sehari Dalam Rangka HAB Depag di Kabupaten
Gresik, Tgl. 21 Januari 2007
138. Implementasi Pengembangan KTSP di Madrasah. Makalah Disajikan pada
Seminar dan Workshop Penyusunan KTSP Bagi Kasi Mapendais Depag dan
Pengawas PAI se Jawa Timur Tgl. 29 Januari 2007.
139. Membangun Madrasah Aliyah Negeri Yang Berwawasan Lokal dan Global.
Makalah Disajikan pada Seminar Sehari di MAN Pasuruan, Tgl. 8 Februari
2007.
140. Pengembangan Kurikulum Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Makalah Disajikan pada Seminar Sehari Kepala MTs dan MA se Kabupaten
Malang, Tgl. 14 Februari 2007. Dan makalah-makalah lainnya yang tidak
sempat terdokumentasikan.

Beliau juga berkarya dengan menulis di majalah/surat kabar, yakni:
1. Menguak kebangkitan Islam dalam perspektif sejarah. Majalah Tarbiyah
No. 20 tahun VIII.
2. Strategi belajar-mengajar (sebuah telaah praktek pendidikan dari segi CBSA
di Fak. Tarbiyah IAIN).
3. Majalah Tarbiyah No. 16 tahun VII Redupnya sebuah almamater.
4. Majalah Tarbiyah No. 17 tahun VII. Pendidikan Islam antara cita dan fakta.
Majalah Tarbiyah No. 15 tahun VI.
5. Istilah tarbiyah masih menjadi masalah. Majalah Tarbiyah No. 14 tahun VI.
6. Ibnu Rusyd membela filsafat. Majalah Tarbiyah No. 18 tahun VII.
7. Upaya mengaktualisasikan kebijakan nasional tentang pendidikan Islam.
Majalah Al-Syarif Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo Jawa Timur, No.
perdana, 1993.
8. Fungsi dan peran guru agama (sebuah telaah kurikulum pendidikan dasar
1994). Majalah Tarbiyah No. 37 tahun XIII.
9. Fungsi pendidikan dan pendekatannya dalam PBM. Majalah Mimbar
Pembangunan Agama Kanwil Depag Jatim.
10. Wajib belajar 9 tahun sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Majalah
Tarbiyah No. 36 tahun XIII.
i
36
11. Mewujudkan moral agama di kalangan masyarakat. Majalah Mimbar
Pembangunan Agama Kanwil Depag Jatim. Muwajahah al-mutathorrif fi al-
Islam. Jurnal Pendidikan Islam Vol. I.
12. Pendidikan dan Keadilan. Majalah Tarbiyah No. 23 tahun IX.
13. Jihad dan transformasi sosial: Implikasinya terhadap guru agama. Majalah
Tarbiyah No. 38 tahun XIII.
14. Iman dan Taqwa (Tinjauan Konseptual dan Pengembangannya dalam
Pendidikan). Majalah Tarbiyah No. 41 tahun XIII.
15. Upaya fakultas tarbiyah dalam menyiapkan sarjana siap pakai. Majalah
Tarbiyah No. 42 tahun XIII.
16. Eksistensi madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam.
Majalah Tarbiyah No. 45 tahun XIV.
17. The Religious Approach For Childhood Education In TPQ. Majalah
Tarbiyah No. 44 tahun XIV.
18. Era Baru Kebangkitan STAIN Malang (Dari Persatuan semu ke arah
Persatuan sejati). Gema STAIN Malang, Nov. 1997.
19. Wawasan dan Kawasan Metodologi Studi Islam sebagai MKDU di
IAIN/STAIN. Majalah El-Harokah No. 47 Tahun XV.
20. Masalah sosial dan pelanggaran hak asasi manusia. Majalah El-Harokah No.
48 Tahun XV
21. Gerakan Intelektual: Respon terhadap kemunduran peradaban Islam.
Majalah El-Harokah No. 49 Tahun XV.
22. Potret Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal
STAIN Malang Edisi No. 5 Tahun 1998.
23. Menyiapkan Imam Bagi Orang-Orang Bertaqwa.
24. Majalah El-Harakah STAIN Malang, Nomor 50, tahun XVI, September-
Nopember 1998.
25. Pemikiran Modern Dalam Islam (Implikasinya Terhadap Studi Islam di
STAIN).
26. Majalah El-Harakah STAIN Malang, Nomor 51, tahun XVII, Maret 1999.
27. Shafhah Syakhshiyah al-Thalib al-Muslim fi al-Mustaqbal. El-Hujum
STAIN Malang, September 1999/Jumadil Ula 1419.
28. Sketsa Pengembangan Kurikulum di STAIN Malang.
29. Majalah el-Harakah No. 52/XVIII/Juni-Agustus 1999.
30. Pengembangan Jurusan/Program Studi dalam Perspektif UIN. Majalah el-
Harakah No. 54/XX/Januari-Maret 2000.
31. Peran Kepala Madrasah dalam Pengembangan Masyarakat Belajar Yang
Profesional. Majalah Mimbar Pembangunan Agama, Maret 2001/Th. XV.
32. Perbincangan Tentang Pendidikan Islam di Indonesia, Ulul Albab, Jurnal
Studi Islam, Sains dan Teknologi, Vol. 3 No. 2 Tahun 2001. Azmah Akhlaq
al-Muta'allim: Man al-Masul 'Anha?El-Hujum STAIN Malang, Februari
2002.
33. Mencari Format Membangun Ukhuwah, Republika, Jumat 21 Maret 2003.
34. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Life Skill, Lektur, Jurnal Pendidikan
Islam, STAIN Cirebon Seri XVIII 2003.
i
37
35. Arah Pengembangan Program Studi Manajemen Pendidikan Islam. El-Jadid,
Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Vol.1,No. I, MeiOktober 2003.
36. Mencermati Paradigma Pengembangan Pendidikan Agama di Sekolah dan
PTU, Jurnal Diknas Jakarta, Februari 2004. KTSP Wujud Otonomi
Sekolah/Madrasah. Majalah Mimbar Pembangunan Agama, Nov. 2006
37. Membumikan Ulul Albab Upaya Kembali ke Khittah PTAIN. Gema Pers
UIN Malang, Desember 2006.
38. Penulis Artikel, Pengisi Rubrik Zikir Kontekstual dan Pengamat Pendidikan
pada Jawa Pos:
1) Ribuan Siswa Putus Sekolah
2) Krisis Akhlak Salah siapa?
3) Puasa dan pengendalian diri;
4) Ebtanas jangan semuanya pusat;
5) Puasa dan etos kerja;
6) Rindukan ramadlan lagi;
7) SKS perlu dirasionalisasi;
8) Hakekat kurban;
9) Membangun Negara Terpuruk;
10) Mendesak, Reorientasi Peran Guru;
11) Tak hanya jadi transformer;
12) Pendidikan belum Jreng;
13) Kuliah Tugu Bubar, Yes;
14) Sewa rahim dalam konteks pendidikan;
15) Puasa menuju life skill;
16) Kecakapan hadirkan Tuhan;
17) Iqra sebagai basic skill;
18) ZIS wujud pengembangan social skill;
19) Berkurban sejati;
20) Idul Fitri Titik Tolak Mewujudkan Perdamaian;
21) Zikir Kontekstual: Dikabulkan atau direspon;
22) Zikir Kontekstual: Pacaran, Allah atau Setan yang menemani;
23) Zikir Kontekstual: Rahmah, Maghfirah, & Itqun Min an-Nar;
24) Puasa Hidupkan iman inklusif (1);
25) Puasa Hidupkan iman inklusif (2);
26) Kategorisasi Shaim (1);
27) Kategorisasi Shaim (2);
28) Korbannya Sekolah Pinggiran;
29) Melatih Hidup dalam iman;
30) Tadarus Lahirkan generasi tilawah;
31) Puasa dan kepemimpinan;
32) Shaim sebagai pemelihara al-Quran;
33) Niat puasa dan membangun bangsa;
34) Mengapa pahala orang berpuasa berlipat ganda?;
35) Shaim hadapi upacara wisuda, Dll;


i
38
BAB III
KONSEP PEMBARUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MENUJU MASYARAKAT MADANI MENURUT
PANDANGAN MUHAIMIN DI PTAI



A. Konsep Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani
Pada dasarnya gagasan masyarakat madani sebenarnya bukanlah sebuah
wacana baru, Gellner menelusuri akar gagasan ini kemasa lampau melalui sejarah
peradaban barat (Eropa dan Amerika), dan antara lain yang menjadi perhatian
adalah ketika konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang pemikir terkenal
dari Skotlandia, Azam Ferguson (1723-1816) dalam karya klasiknya An Esyay
on History of Civil Society (1967), hingga perkembangan konsep masyarakat
lebih lanjut oleh kalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau, Hegel, Marx,
dan Toeguevlle, hingga upaya menghidupkan kembali di Eropa dan Barat di
zaman kontemporer. Istilah Masyarakat Madani yang disosialisasikan di
Indonesia, sebagai terjemahan dari bahasa Inggris Civil Society. Kata Civil
Society, sebenarnya dari bahasa latin Civitas Dei, artinya kota Ilahi dan society
yang berarti masyarakat, maka dari kata civil ini membentuk kata civilization,
berarti peradaban. Dengan demikian, kata civil sociaty, diartikan sebagai
komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju.
1



1
Hujair AH Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani
Indonesia (Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003), hlm. 42
i
39
Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:
"Masyarakat Madani itu adalah masyarakat yang beradab, masyarakat yang
pluralis dalam berpendapat, multikulturalisme, postmodernisme"
2

Dalam perspektif Islam, Civil society lebih mengacu kepada penciptaan
peradaban. Kata Al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan
dengan makna Al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu dalam
pengertian Al-madinah yang artinya harfiahnya adalah kota. Dengan demikian,
maka civil society yang diterjemahkan sebagai masyarakat madani yang
mengandung tiga hal, yakni; Agama, peradaban, dan perkotaan. Di sini agama
merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah
hasilnya.
3
Secara etimologi, madinah adalah derivat kata bahasa arab yang mempuyai
dua pengertian: pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan masyarakat
kota, karena kata madani adalah turunan dari bahasa arab Madinah, yang juga
dalam bahasa yunani polis dan politica yang kemudian menjadi dasar kata policy
dan politic dalam bahasa Inggris. kedua masyarakat berperadaban, karena
madinah juga derivat dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti
peradaban yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai civility dan civilization
dan kata sifat dari kata madinah adalah madani. Civilized Society atau civil society
dalam bahasa arab dapat disebut MujtamaMadani, masyarakat berperadaban

2
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26
Februari 2007
3
M. Dawam Rahardjo, Sejarah Agama Dan Masyarakat Madani, dalam Wododo Utsman
Dkk. (Editor) Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Pustaka Pelajar Offset Cet I, 2000),
hlm. 30
i
40
jadi masyarakat madani dapat berarti sama dengan civil society, karena
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai- nilai peradaban.
4
Secara terminologi, menurut Ahmad Hatta sebagaimana yang dikutip
Hujair A.H Sanaky, masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di kota
Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh keempat
khulafaur-Rasyidin. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Rasul
tersebut identik dengan civil society, karena secara sosial-kultural mengandung
substansi keadaban atau civility. Pendapat ini senada dengan Nurcholis Madjid
yang menyatakan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang
berperadaban sebagaimana yang dibangun Rasulullah SAW selama 10 tahun di
madinah. Yakni masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan
taqwa kepada Allah SWT dan taat pada ajaran-ajarannya. Madinah merupakan
negara yang didirikan untuk membangun peradaban baru, para sejarawan ada
yang mengatakan bahwa madani berarti madinah yaitu kota tujuan hijrah Nabi
Muhammad SAW yang dulunya bernama Yastrib. Kemudian, perubahan nama
dari Yastrib menjadi Madinah yang dipahami oleh umat Islam sebagai manifesto
konseptual mengenai upaya Nabi untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani,
dihadapkan dengan masyarakat badawi atau nomad. Nabi mengubah nama
Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya merupakan sebuah pernyataan umat,
sikap, proklamasi atau demokrasi bahwa ditempat baru itu, Nabi bersama
pendukungnya yakni kaum Anshor dan Muhajirin hendak mendirikan dan

4
Hujair.AH Sanaky, Op cit, hlm. 30
i
41
membangun suatu masyarakat yang beradab, yaitu suatu masyarakat yang teratur
atau berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah masyarakat.
5

Dengan tindakan ini, menurut Nurcholis Madjid, Nabi Muhammad SAW
telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun
masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang beradab (Ber-Madaniyah) karena
tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (Dia). Masyarakat
madani pada hakikatnya adalah reformasi total pada masyarakat yang tak kenal
hukum (lawness) Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi
seorang penguasa seperti selama ini menjadi pengertian umum negara. Perkataan
Madinah yang digunakan oleh Nabi SAW untuk menukar nama kota hijrah
beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam definisi
proklamasi, deklarasi, bahwa di tempat baru itu beliau hendak mewujudkan suatu
masyarakat teratur (berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat.
Maka sebuah konsep, Madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang
ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada
peraturan atau hukum.
6
Apabila ditelusuri, munculnya masyarakat madani di Indonesia 1995,
bermula dari gagasan yang diberikan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim, ketika itu
menteri keuangan dan timbalan perdana menteri Malaysia, yang membawa ke
Indonesia istilah masyarakat madani sebagai terjemahan civil society, dalam
ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka forum ilmiah pada festifal
istiqlal, 26 september 1995 (menurut suatu keterangan, istilah itu sendiri ia

5
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis
Madjid, (Yogyakarta : LP21P Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 3
6
Ibid,. Hlm.115-117
i
42
terjemahkan dari bahasa Arab MujtamaMadani. Yang diperkenalkan oleh Prof
Naquib Al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri
sebuah lembaga yang bernama Institute For Islamic Thourtht And Civilization
(ISTAC) yang di sponsori oleh Anwar Ibrahim.
7
Dalam ceramahnya yang
berjudul Islam dan pembentukan masyarakat madani, ia mengemukakan
sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan masyarakat madani ialah sistem sosial yang subur yang
diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha
serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan
mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan
keterdugaan predintability serta ketulusan transparancy system.
8

Dari sini paling tidak masyarakat madani adalah masyarakat (mahasiswa)
yang saling menghargai sesama, memberikan kebebasan perseorangan, memiliki
kemampuan spiritual, berilmu, bermoral, kemampuan inovasi dalam membangun
dan menata kehidupan dunia yang rahmatan lil alamin. Latar belakang Anwar
Ibrahim memiliki gagasan tentang masyarakat madani, dikarenakan fenomena
pada kelemahan dan keterbelakangan umat Islam rantau yang mayoritas muslim.
Yaitu sebagaimana pernyataannya bahwa:
Kemelut yang diderita oleh umat semasa semasa seperti meluasnya keganasan
sikap melampaui dan tidak tasamuh, kemiskinan dan kemelaratan, ketidakadilan
dan kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual dan kemuflisan budaya
adalah manifestasi kritis masyarakat madani. Kemelut ini kita saksikan di
kalangan masyarakat Islam baik di Asia maupun di Afrika, seolah-olah umat
terjerumus kepada salah satu kezaliman. Kezaliman akibat kediktatoran atau
kezaliman yang timbul dari runtuhnya atau ketiadaan order politik serta
peminggiran rakyat dari proses politik.
9


7
M. Dawam, Rahardjo, Masyarakat Madani di Indonesia : Sebuah Penjajakan Awal
(Jurnal Pemikiran Islam, Paramadina. Vol.1. no.02, 1999) , Hlm .8
8
Ibid, hlm. 23
9
Sufyanto, Op. cit. Hlm.95
i
43
Di sini pokok yang menjadi dasar masyarakat madani yaitu: prinsip moral,
keadilan, keseksamaan, musyawarah dan demokrasi. Dimana agama merupakan
sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai masyarakat
madani, yang mengandung tiga hal yakni agama, peradaban, dan perkotaan.
Sejarah ini dapat dilacak dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, dalam
konteks masyarakat madani kala itu. Gambaran tentang integritas umat itu
misalnya terlihat melalui wujud Nahdhatul ulama dan Muhammadiyah di
Indonesia. Dengan demikian, konsep masyarakat madani mengandung tiga hal
yaitu; agama sebagai sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat
kota atau perkumpulan sebagai hasilnya.
10
Penyebutan karakteristik masyarakat
madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana
masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal
dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu
sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja. Melainkan merupakan satu
kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat
madani.
11

Masyarakat madani yang hendak diwujudkan antara lain mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1) Masyarakat beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan
saling menghargai perbedaan agama masing-masing.

10
Adi Suryani Culla, MASYARAKAT MADANI: Pemikiran, Teori Dan Relevansinya
Dengan Cita-Cita Reformasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 183
11
Dede Rosyada, Dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education) Demokrasi, Hak
Asasi manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bekerja Sama Dengan The Asian Foundation Dan FRENADA MEDIA, 2003), hlm.247
i
44
2) Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan
orang lain. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta
mendahulukan kepentingan individu, kelompok, dan golongan.
3) Masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia. Mulai dari hak untuk
mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan ynag
layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak
untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil.
4) Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya
malu apabila melanggar hukum.
5) Masyarakat yang kreatif, mandiri, dan percaya diri. Masyarakat yang
memiliki orientasi kuat pada penyusunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6) Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif,
penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat
kemanusiaan universal (pluralistik).
12


Mengenai bentuk masyarakat yang diinginkan untuk masa depan umat
manusia dalam milenium ke 3 yang mengaku akan harkat dan manusia (human
dignity) yaitu hak-hak dan kewajibannya dalam masyarakat. Masyarakat tersebut
yaitu masyarakat madani (civil society), dapat digambarkan mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
1) Manusia dapat mengakui akan hakikat kemanusiaan (dignity of man) yang
bukan hanya sekedar untuk mengisi kebutuhannya untuk hidup (proses
humanisasi), tetapi juga untuk eksis sebagai manusia (proses humanisasi);
2) Pengakuan akan hidup bersama manusia segi makhluk sosial melalui sarana
yang berbentuk organisasi sosial seperti Negara;
3) Masyarakat yang mengakui kedua karakteristik tersebut, yaitu yang
mengakui akan hak asasi manusia dalam kehidupan yang demokratis. Inilah
yang disebut masyarakat madani atau civil society.
13


Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:
"Masyarakat Madani di lingkungan perguruan tinggi adalah masyarakat dari
kalangan mahasiswa, dosen, karyawan dan seluruh komponen di lembaga
perguruan tinggi yang diharuskan memiliki ciri khas sebagai perguruan tinggi
berciri khas islami, jadi PTAI harus berbeda dalam konsep dengan perguruan
tinggi umum yang lainnya"
14


12
Hujair Sanaky, Op, cit. hlm.50-51
13
Ibid. hlm: 155-156
14
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26
Februari 2007
i
45
Kalau kita melihat kembali pengertian (masyarakat madani) civil society
atau Madinah (kota) yakni terbentuknya suatu masyarakat yang mandiri, beradab
(civilized) dan tahu hak dan kewajibannya serta mengerti peranan yang
dilakukannya. Maka tataran yang demikian memiliki ciri khas yang
mengedepankan sikap mandiri, beradab (percaya ada tatanan dari pada anarkis),
taat hukum, mendahulukan penyelesaian otak daripada otot (rasional dari pada
anarkhis), taat hukum, mendahulukan penyelesaian otak daripada otot (rasional
daripada emosional) terhadap suatu permasalahan yang muncul, menggunakan
pendekatan diplomasi dari pada cara militer, mempunyai toleransi yang tinggi dari
pada ngotot-ngototan, menghargai kerja keras, menghargai ilmu dan keahlian
(meritokrasi, menghargai suasana yang majemuk (SARA), dan mempunyai
simbol peradaban yang maju seperti kualitas pendidikan, pembagian kerja yang
canggih (division of labour), ada sarana operasi ilmu pengetahuan dan seni seperti
perpustakaan, gedung kesenian dan museum.
15

Lebih jauh Nurcholis Madjid mengungkapkan beberapa ciri mendasar dari
masyarakat madani yang dibangun Nabi, antara lain:
1) Egaliterisme;
2) Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi;
3) Keterbukaan partisipasi seluruh masyarakat anggota aktif;
4) Toleransi dan pluralisme;
5) Musyawarah.
16


Dalam mewujudkan masyarakat madani menurut Nurcholis Madjid.
Dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan

15
Chairil Anwar, Islam Dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2000), hlm. 77
16
Adi Surtani Culla, Agama Dan Masyarakat Madani Iii, Dalam Adi Suryani Culla,
Masyarakat Madani : Pemikiran, Teori, Dan Relevansinya Dengan Cita-Cita Reformasi, (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm : 193
i
46
semangat ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama
manusia, untuk itu Nabi telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-
ciri masyarakat madani seperti di singgung di atas. Masyarakat madani
membutuhkan pribadi-pribadi yang tulus yang mengikatkan jiwa pada kebaikan
bersama. Tetapi, meskipun demikian, komitmen saja sebenarnya tidak cukup,
mengingat Itikad baik bukan perkara yang muda diawasi dari luar diri. Maka,
harus diiringi dengan tindakan nyata yang terwujud dalam amal saleh, tindakan
yang demikian harus diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatanan
kehidupan yang kolektif yang memberi peluang adanya pengawasan. Pengawasan
sosial adalah konsekuensi langsung Itikad baik yang diwujudkan dalam tindakan
kebaikan.
17
Dalam mewujudkan pengawasan itulah, menurut Madjid, dibutuhkan
keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia sebgai makhluk yang
lemah mungkin mengalami kekeliruan dan kekhilafan. Maka dengan keterbukaan
itu, setiap orang mempunyai potensi untuk mengatakan pendapat dan untuk
didengar sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk mendengar
dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat
orang lain untuk diikuti mana yang terbaik. Demikianlah, kata Madjid,
masyarakat madani antara lain dilihat merupakan masyarakat demokrasi yang
terbangun dengan menegakkan musyawarah.
Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yang luhur
dilandasi toleransi dan pluralisme ini tidak lain adalah wujud civility, yaitu sikap
kejiwaan pribadi dan sosial yang tersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar.

17
Ibid., hlm. 194
i
47
Pluralisme dan toleransi ini tak lain pula merupakan wujud dari ikatan keadaban
(bond of civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam
lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan,
betapapun perbedaan ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau
pandangan sendiri.
18
Peningkatan mutu, efisiensi, atau pemerataan tidak harus dimulai dari titik
nol (perubahan sistem). Karena proses pendidikan sudah berjalan sejak lama
memiki variabel yang begitu kompleks sehingga perubahan-perubahan
revolusioner diperkirakan akan menumbuhkan masalah-masalah baru yang tidak
kurang gawatnya dari pada masalah-masalah yang diperbaiki atau diubah. Oleh
karena itu, perbaikan dan pengembangan yang sering melibatkan perubahan, pada
hakikatnya, merupakan proses pembaruan yang berkesinambungan atau
penyesuian yang terjadi terus menerus.
19
Dalam proses perubahan pendidikan
paling tidak pendidikan memiliki dua peran, yang harus diperhatikan: (1)
pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan masyarakat, dan (2) pendidikan
harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi menuju
terwujud masyarakat madani. Proses perubahan sistem pendidikan harus
dilakukan secara terencana dengan langkah yang strategis, yaitu:
Mengidentifikasi berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan
dan merumuskan langkah-langkah pembaruan yang lebih bersifat strategis dan
praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan

Atau lebih bersifat operasional. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan
secara terencana, sistematis, dan menyeluruh semua aspek, mengantisipasi

18
Ibid hlm. 195
19
Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insania Press, 1995),
hlm. 55
i
48
perubahan yang terjadi, mampu merekayasa terbentuknya sumber daya manusia
cerdas, yang memiliki kemampuan inovatif dan mampu meningkatkan kualitas
manusia.
20
Masyarakat yang madani hanya akan terwujud apabila tatanan hidup
dalam sistem masyarakat madani mampu dinyatakan dengan tindakan sehari-hari.
Hal ini dimulai dengan pemberdayaan manusia sebagai elemen pokok dari suatu
masyarakat. Dan membangun individu tidak dapat terjadi secara spontan,
melainkan melalui proses sosialisasi panjang dengan pendidikan.
21
Karena tatanan
masyarakat madani memiliki beberapa muatan karakteristik individu manusia,
misalnya sikap, moral, kebiasaan, nilai, dan kepribadian, maka membangun
masyarakat madani dan perspektif pendidikan melibatkan mekanisme
membangun sikap, sampai dengan terbentuknya kepribadian manusia itu.
22

Oleh karena itu, mewujudkan masyarakat madani, yang menuntut
pergeseran paradigma masyarakat Indonesia dewasa ini, tentunya meminta
reposisi dan reinvensi pendidikan nasional. Menurut Tilaar pendidikan kita
dewasa ini belum menunjang jiwa reformasi yaitu yang menginginkan masyarakat
yang demokratis, masyarakat terbuka, pemerintahan yang bersih (Clean
Government), masyarakat transparan, masyarakat berdasarkan menit dan bukan
karena kolusi ataupun untuk kepentingan kelompok sendiri. Pendidikan kita telah
terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun kebudayaan
nasional.
23


20
Hujair AH Sanaky, Op. Cit., hlm.126
21
Djohar, Pendidikan Yang Membebaskan Untuk Kontruksi Masyarakat Madani, Dalam
Membongkar Mitos Masyarakat Madani (Pustaka Pelajar Offset Cet I, 2000), hlm 300
22
Ibid, hlm 301
23
H. A.R Tilaar, Op. cit, hlm176
i
49
B. Konsep Dan Latar Belakang Pembaruan Pendidikan Agama Islam dalam
Mewujudkan Masyarakat Madani.
Secara etimologi pembaruan mempunyai kata dasar baru yang kemudian
mendapat awalan pe dan akhiran an yang artinya cita-cita baru dan cara-cara
baru. Bila dikaitkan dengan istilah sistem pendidikan dan pengajaran Islam, maka
pembaruan dapat diartikan dengan lahirnya cita-cita baru dan cara-cara baru
dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia.
24

Sedangkan secara terminologi (istilah), menurut Santoso S. Hadi Wijaya
menjabarkan istilah baru dalam pembaruan pendidikan adalah:
Apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima
pembaruan, meskipun bukan baru lagi bagi orang lain. Akan tetapi yang lebih
penting dari sifatnya yang baru ialah sifat kualitatif berbeda dari sebelumnya.
25

Kualitatif yang dimaksud berarti bahwa pembaruan ini memungkinkan
adanya pengaturan kembali unsur-unsur pendidikan, maupun komponen
komponen pendidikan. Jadi adanya tuntutan diadakannya pembaruan pendidikan
karena kurangnya relevansi antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat. Apabila
mencermati keadaan pendidikan di Indonesia, sebenarnya telah banyak dilakukan
pembaruan, dan tujuan pembaruan itu pada akhirnya adalah:
Untuk menjaga agar produk pendidikan kita tetap relevan dengan kebutuhan
dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang berikutnya.
26


24
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaruan Pendidikan Dan Pengajaran Islam (Jember:
Muria Offset, 1985), hlm.1
25
Cece wijaya, et al, Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan Dan Pengajaran (Bandung:
Remaja Rosda karya, 1978), hlm.7-8
26
Hujair AH Sanaky, Op. Cit, hlm. 7
i
50
Sebelum penulis membicarakan pengertian pendidikan Agama Islam
(PAI) perlulah penulis awali dengan menguraikan pendidikan secara umum yang
dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
1. Zuhairini, mengemukakan pendidikan adalah suatu aktifitas untuk
mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan
seumur hidup.
27

2. Akhmad D. Marimba, mengemukakan secara umum pendidikan dapat
diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh guru terhadap
perkembangan jasmani dan rohani siswa menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
28

3. Ahmad Tafsir, berpendapat bahwa pendidikan adalah bimbingan yang
diberikan kepada seseorang agar dapat berkembang secara maksimal.
29


Dari pendapat tersebut diatas, maka pendidikan dapatlah diartikan/diambil
kesimpulan bahwa pendidikan adalah merupakan tuntunan dan bimbingan secara
sadar dari orang yang telah dewasa, agar bertanggung jawab didalam hidupnya,
untuk menuju kehidupan bahagia sejahtera lahir maupun batin.
Adapun pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI) sendiri mempunyai
banyak definisi menurut para ahli diantaranya :
1. Menurut Zuhairini, Pendidikan Agama Islam adalah usaha untuk
membimbing kearah pembentukan kepribadian peserta didik secara
sistematis dan pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran
Islam, sehingga terjalin kebahagiaan dunia akhirat.
30

2. Menurut GBPP PAI sebagaimana yang dikutip Muhaimin bahwa
pendidikan agama Islam (PAI) adalah usaha sadar untuk menyiapkan
siswa dan meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam

27
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 149
28
Akhmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Al-maarif,
1989), hlm. 19
29
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 27
30
Zuhairini, Metodologi Penelitian Agama (Solo : Ramadhani, 1993), hlm : 11
i
51
hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional.
31

3. Sedangkan menurut Muhaimin bersama Tim Dosen IAIN Sunan Ampel
Malang, yang menjelaskan PAI sebagai proses dan upaya serta cara
mendidikkan ajaran-ajaran agama Islam, agar menjadi anutan dan
pandangan hidup (way of life) bagi seseorang.
32


Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:
"Pendidikan agama Islam dapat menjadi factor integrasi dan disintagrasi karena
masyarakat yang majemuk"

Jadi dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan
Pendidikan Agama Islam itu ialah usaha sadar generasi tua (pendidik) untuk
mengarahkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan kepada
generasi muda (anak didik) agar kelak menjadi manusia muslim, bertaqwa kepada
Allah SWT, berbudi luhur, berkepribadian yang utuh, yang secara langsung
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga pendidikan Islam mampu menjadi pemersatu dalam
kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan Dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam adalah merupakan
masalah fundamental dalam pelaksanaan pendidikan, sebab dari dasar pendidikan
itu akan menentukan corak dan isi pendidikan dan arti tujuan pendidikan akan
menentukan kearah mana peserta didik itu akan diarahkan/ dibawa. Untuk
mempermudah pemahaman tentang dasar dan tujuan pendidikan agama Islam,
berikut ini akan dibahas secara terpisah.

31
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
Di Sekolah (Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset, 2001), hlm: 75-76
32
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang, Dasar- Dasar Kependidikan Islam. (Surabaya :
Karya Abditama, 1996), hlm: 2
i
52
Dasar pendidikan agama Islam adalah sesuatu yang menjadi pangkal tolak
atau landasan utama dilaksanakannya pendidikan agama Islam. Adapun dasar
tersebut adalah :
1. Dasar Keagamaan (Religius);
Dasar keagamaan (religius) dalam uraian ini adalah dasar-dasar yang
bersumber dari ajaran Islam yang termaktub dan dijelaskan dalam Al-Quran
dan sunah Rasul yang menerangkan tentang pentingnya pendidikan, antara
lain:
33

1. Surat Al-Mujadilah ayat 11
$' %!# #`# #) % 39 #s? =f9# #s$ x
!# 39 #) % #'# #'$ !# %!# #`# 3 %!# #?&
=9# M_ !# $/ =? 7z
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan
kepadamu,berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah,
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
34

2. Sedangkan Hadits Nabi adalah:

33
Akhmad D. Marimba, Pengantar Filasafat Pendidikan Islam (Bandung. Al-Maarif,
1974), hlm. 20
34
DEPAG, Al-Quran dan Terjemahannya. (Surabaya : Mahkota, 1990), hlm. 910-911
i
53

:

, )
( .
Artinya:Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: suruhlah anak-anakmu
mengerjakan sholat, ketika mereka berumur tujuh tahun, dan
pukulah mereka karena meninggalkan sholat, jika berumur sepuluh
tahun dan pisahkanlah anak laki-laki dan perempuan, tempat tidur
mereka.(HR. Abu Daud dengan sanad shahih).
35
2. Dasar yuridis
Dasar yuridis adalah dasar pelaksanaan pendidikan agama Islam yang berasal
dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung maupun tidak
langsung yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan
agama Islam di sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan formal di
Indonesia, meliputi :
1. Dasar Ideal
Yakni falsafah Negara RI yaitu Pancasila. Pancasila sebagai ideologi
negara berarti setiap warga negara Indonesia harus berjiwa Pancasila,
dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai dan
menjadi sumber pelaksanaan sila-sila yang lain. Dalam hal ini dapat dilihat

35
Abi Zakaria, Yahya bin Sarifin Nawawi. 1986. Tt. Riyadus Shalihin. PT. Al-Maarif.
Bandung. Hlm: 316
i
54
dalam undang-undang pendidikan dan pengajaran Nomor 4 tahun 1950
Bab III pasal 4 berbunyi: Pendidikan dan Pengajaran berdasar atas
asas-asas yang termaktub dalam pancasila."
36

Disamping itu juga disebutkan dalam ketetapan MPR No
II/MPR/1988 dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN),
menyebutkan bahwa: Pendidikan Nasional berdasarkan pancasila.
37
Dari uraian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa PAI sebagai
sub sistem pendidikan nasional berdasarkan pancasila.
2. Dasar struktural
Yakni dasar yang termaktub dalam UUD 1945 bab XI pasal 29 ayat 1 dan
2, antara lain disebutkan :
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan kepercayaannya itu.
38


Dari UUD 1945 diatas mengandung makna bahwa negara Indonesia
memberi kebebasan kepada semua warga negaranya untuk beragama
dengan mengamalkan semua agama yang dianut.
3. Dasar Operasional
Dasar operasional merupakan dasar yang secara langsung melandasi
pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah di Indonesia,
disebutkan dalam ketetapan MPR No II/MPR. RI/1988 tentang GBHN,

36
Zuhairini, Pengantar Ilmu Pendidikan Perbandingan (Malang: Biro Ilmiah Fakultas
Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel Malang, 1985), hlm :17
37
MPR RI. Ketetapan MPR RI NO.II MPR/1988 Tentang GBHN 1988-1993. (Surabaya :
CV. Amin) hlm. 92
38
Zuhairini dan Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
(Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Malang dan UM Press, 2004), hlm. 9
i
55
mengenai arah dan kebijaksanaan pembangunan dalam bidang agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan YME, yaitu:
Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan
bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang
dimasukkan kedalam kurikulum disekolah-sekolah, mulai dari
sekolah-sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas
negeri.
39
Bertitik tolak dari dasar yuridis diatas, maka dalam penyelenggaraan
pendidikan agama, perlu dipahami mengenai kedudukan pendidikan
agama di Indonesia dan sejarah adanya pendidikan agama itu, baik dari
segi dasar hukumnya maupun dari segi kedudukan dibidang sendi
pendidikan agama, didalam kurikulum sekolah umum.
Tujuan dalam proses pendidikan Islam adalah identitas (cita-cita) yang
mengandung nilai-nilai Islami, yang hendak dicapai dalam proses pendidikan
yang berdasarkan pada ajaran agama Islam. Dengan demikian tujuan Pendidikan
Agama Islam adalah:
Mewujudkan nilai-nilai Islami dalam setiap pribadi manusia didik yang
diikhtiyarkan oleh pendidik muslim, melalui proses yang terminal pada hasil
(produk) yang berkepribadian Islam, yang beriman, bertaqwa dan berilmu
pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang
taat.
40

Tujuan pendidikan itu ditentukan oleh zaman dan kebudayaan tempat
kita hidup. Juga telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh
pandangan hidup. karena pandangan hidup manusia itu berlain-lainan, berbeda-

39
MPR RI.Op. Cit., hlm : 9
40
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm.224
i
56
beda pula apa yang hendak dicapai dengan pendidikan itu.
41
Dengan demikian
tujuan pendidikan Islam berjangkauan sama luasnya dengan kebutuhan hidup
manusia modern, masa kini dan masa yang akan datang, dimana manusia tidak
saja memerlukan iman dan agama, melainkan juga ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) sebagai alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup didunia
dan sebagai sarana untuk mencapai hidup spiritual yang bahagia di Akhirat kelak.
Adapun tujuan akhir dari pendidikan Islam itu terletak dalam realisasi hidup
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. sebagai hamba-Nya yang berilmu
pengetahuan dan beriman secara bulat, sesuai kehendak Sang pencipta untuk
merealisasikan cita-cita yang terkandung dalam kalimat ajaran-Nya. Sebagaimana
firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Anam ayat 162:
> 9# > A$ $t 5 A ) % !
Artinya: Katakanlah sesungguhnya sembahyangku ibadahku, hidupku dan
matiku (aku persembahkan) untuk Allah, Tuhan seluruh Alam. (QS Al-Anam :
162).
42

Dari berbagai tujuan tersebut dapat ditarik beberapa hal yang hendak
ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan PAI, yaitu:
1) Dimensi keimanan siswa terhadap ajaran Islam;
2) Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan siswa
terhadap ajaran agama Islam;
3) Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan siswa dalam
menjalankan ajaran Islam;
4) Dimensi pengalamannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah
diimani, dipahami dan dihayati dan mampu diamalkan dalam kehidupan
pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa dan bertakwa kepada

41
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), hlm.23
42
M Said, Tarjamah Alquran Alkarim ,(Bandung: PT al-Ma'arif Bandung, 1987), hlm. 136
i
57
Allah SWT dan berakhlak mulia, serta diaktualisasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
43


Itulah konsep pembaruan pendidikan Agama Islam, selanjutnya akan
dibahas mengenai latar belakang perlunya pembaruan pendidikan agama Islam.
Yakni selama ini banyak muncul pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam
yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas Pendidikan Islam dan mampu
memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem Pendidikan Islam di
Indonesia, sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna
pengembangan kualitas manusia Indonesia, sesuai dengan Tujuan Pendidikan
Nasional dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
44


Dari Undang-Undang Sisdiknas ini dapat penulis simpulkan bahwa point
pertama adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan atau dalam istilah lain
adalah memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kemudian baru pengenalan diri
kepada kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari batasan inilah bahwa pentingnya
spiritual keagamaan sebagai asas yang pertama didalam mengembangkan peserta
didik. Untuk mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut maka

43
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Di
Sekolah. Op.cit, hlm.78
44
Tim Redaksi Fokus Media, Standar Nasional Pendidikan (SNP), (Bandung: Fokus
Media, 2005), hlm.98
i
58
Pendidikan Agama merupakan bagian penting dalam kegiatan pendidikan di
setiap jenjang dan jenis pendidikan karena merupakan pondasi untuk membangun
tujuan pendidikan dan watak bangsa utamanya beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan agama sangat
menentukan terhadap keberhasilan maupun kegagalan penyelenggaraan serta
pelaksanaan pendidikan di Indonesia yang pada akhirnya juga menentukan nasib
bangsa Indonesia.
45

Sehingga munculnya berbagai pemikiran dan kebijakan perlu dipotret,
ditata, dan didudukkan dalam suatu paradigma sehingga model-model, orientasi
dan langkah-langkah yang hendak dituju menjadi semakin jelas.
46
Namun
demikian dalam beberapa hal pemikiran konseptual pengembangan pendidikan
Islam dan beberapa kebijakan yang diambil kadang terkesan mengebu-gebu,
idealis, atau bahkan kurang realistis sehingga para pelaksana di lapangan
mengalami hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan
intensitas pelaksanaan dan efektivitasnya masih dipertanyakan. Menurut
Muhaimin, hal ini disebabkan oleh kurangnya kejelasan dan lemahnya
pemahaman paradigma (jendela pandang) pengembangan pendidikan Islam itu
sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan orientasi dan langkah, atau
ketidakjelasan wilayah dan arah pengembangannya. Menurut Asumsi Penulis
diperlukan suatu pemikiran yang jelas dan terarah, maka kajian ini diperlukan

45
Asma'un Sahlan. Model Pengembangan Pembelajaran PAI Melalui Pembudayaan
Suasana Religius Di Sekolah Umum: Studi Kasus di SMUN Malang I. El-Hikmah Jurnal
Kependidikan Dan Keagaman,, Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang. Volume IV.
Nomor 1, Juli 2006.. hlm. 40
46
Muhaimin, Potret Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ulul
Albab Vol.3. No.1 tahun 2001, hlm 99-100
i
59
pula seorang ahli atau pakar dalam upaya memberikan sebuah konsistensi,
persepsi, asumsi, teori, kerangka acuan dan juga khas mekanisme berpikirnya
seorang ahli.
PTAI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena
itu, PTAI secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-
perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru pengembangan Pendidikan
Tinggi/Perguruan Tinggi Nasional, dan bahkan internasional, seperti dirumuskan
dalam deklarasi UNESCO tentang Perguruan Tinggi pada tahun 1998. Dalam
konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan
momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi,
politik dan social. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan
mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi
juga tentang semakin merosotnya efektifitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam
menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage,
memiliki daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh
tantangan.
47
Dari sinilah Penulis memilih Muhaimin sebagai seorang tokoh pendidikan
yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan juga pakar dalam pengembangan
kurikulum Pendidikan Agama Islam. Diharapkan dari pembahasan ini akan
memperjelas konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam melalui analisis
paradigma pengembangan kurikulum sehingga dapat meningkatkan kualitas
Pendidikan Islam. Sebelum beralih pada ulasan yang lebih mendalam mengenai

47
Azyumardi Azra, "IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi", Dalam ed.
Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem Dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan
Tinggi Islam (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI., 2000), hlm. 3
i
60
hakikat kurikulum, maka perlu kiranya kita menyimak fenomena perkembangan
dan perubahan kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia.
Tinjauan terhadap fenomena kurikulum di PTAI ini sangat relevan mengingat
keadaannya yang sering berubah-ubah, sehingga konsekuensi logisnya
pelaksanaan pendidikan menjadi tidak jelas, bahkan kehilangan identitas diri.
Masykuri Abdillah memposisikan problematika kurikulum di PTAI ini sebagai
berada dalam stadium kronis.
48
Gambaran umum tentang kesiapan masyarakat
dalam merespon perkembangan kontemporer dapat kita saksikan dalam dunia
pendidikan. Dalam konteks ini, yang menjadi perhatian adalah Pendidikan Tinggi
Islam, sebab di kawasan tersebut tidak kalah rumitnya. Misalnya, besarnya arus
pemikiran keislaman yang mengalir dari Timur dan Barat telah membawa
perubahan paradigmatik (shifting paradigm) dalam penyelenggaraan Pendidikan
Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Perubahan paradigmatik tersebut
secara nyata ditunjukkan dengan adanya good will Departemen Agama R.I. dalam
meloloskan konversi status kelembagaan dari IAIN dan STAIN menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN). Ini jelas bukan sekadar perubahan kelembagaan
saja, namun lebih dari itu sangat bersentuhan dengan cara pandang kita terhadap
apa yang selama ini disebut dengan ilmu-ilmu keislaman. Apakah tidak mungkin
bahwa konversi kelembagaan Perguruan Tinggi Islam di atas diartikan sebagai
suatu bentuk koreksi tersamar terhadap pemahaman mengenai ilmu-ilmu
keislaman yang selama ini dimaknai secara sempit dan dikotomis. Paradigma baru
Perguruan Tinggi yang bertumpu pada tiga tungku utama, yaitu otonomi,

48
Masykuri Abdillah, "Menimbang Kurikulum IAIN: Kasus Kurikulum 1995 dan 1997,"
Ibid, hlm 73
i
61
akuntabilitas, dan jaminan kualitas, merupakan tantangan dan sekaligus peluang
bagi IAIN, termasuk dalam upaya mengatasi dikotomi keilmuan agama dan
umum dan sekaligus melakukan reintegrasi kedua disiplin ilmu tersebut.
49

Sedangkan dalam upaya meretas dikotomi keilmuan dinyatakan:
"Agama tanpa bantuan ilmu pengetahuan akan lumpuh dan gagal mencapai
tujuannya yang mulia, dan sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama
akan buta dan gagal pula melihat tujuannya yang sejati".

Demikianlah kata-kata Albert Einstein sebagaimana di kutip Soetandyo
dalam tulisannya. Problem akut yang dihadapi dalam dunia keilmuan modern
adalah adanya dikotomi keilmuan: umum dan agama. Dikotomi inilah yang
banyak disinyalir telah menimbulkan kesenjangan dan memicu munculnya
berbagai permasalahan dalam konteks manusia madani. Nasr misalnya,
menjelaskan bahwa terjadinya kehampaan spiritual didalam masyarakat madani
tidak dapat dilepaskan dari adanya pandangan yang dikotomis. Masyarakat
madani yang cenderung memisahkan secara diametral antara agama yang bersifat
transenden dan hal-hal keduniaan yang imanen telah menimbulkan kesenjangan
atau split personality dalam diri manusia. Jadi gagasan pembaruan konsep
Pendidikan Agama Islam ini memang tidak dapat dilepaskan dari realitas ini.
Menurut Suprayogo, dalam pengembangan kurikulum, kata kunci yang
perlu dipegang adalah:
"Membangun kualitas sumber daya manusia yang dibina berdasarkan nilai-nilai
akhlakul karimah, keluasan ilmu dan kematanagn profesional. Ketiganya harus
dikembangkan secara utuh dan terpadu, tidak cukup hanya mengedepankan
kekuatan ilmu dan ketrampilan".
50

49
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi Dan
Demokratisasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), Hlm.104-105
50
Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam (Malang: STAIN Press, 1998), hlm
16
i
62

Seperti halnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang dalam
pengembangan pendidikannya bertolak pada suatu paradigma bahwa Pendidikan
Islam yang perlu dikembangkan PTAI ke depan adalah pendidikan ulul albab.
Paradigma ini berimplikasi pada Pendidikan Islam yang berorientasi pada
peningkatan kualitas iman dan takwa, atau bahkan Imam bagi orang-orang yang
bertakwa.
51
Dengan status UIN tersebut muncul citra baru di masyarakat bahwa
PTAI ternyata juga familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setidaknya
gambaran ini di UIN Malang terlihat munculnya Jurusan Teknik Informatika.
Kesan tadi bahkan disertai dengan sebuah harapan yang besar dari masyarakat
terhadap munculnya babak baru dalam sejarah ilmu pengetahuan di Perguruan
Tinggi Islam, yaitu dialektikanya kembali ilmu pengetahuan dan agama setelah
sekian lama terpisah. Tetapi persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan,
khususnya jika dilihat dari sudut kebijakan kurikulum, misalnya bagaimana
Pendidikan Islam mengupayakan ilmu pengetahuan berdialektika dengan agama,
atau sebaliknya, sementara keduanya dalam beberapa hal menunjukkan
kecenderungan yang berbeda dalam suatu persoalan. Kemudian, bagaimana
dialektika itu diwujudkan dalam praktek pembelajaran: benarkah keduanya dapat
berjalan bersama dan saling memberi masukan; kalau benar, bagaimana perangkat
epistemologis dan instrumen apa yang diperlukan merupakan sederet persoalan
yang harus dijawab dengan segera dan hati-hati oleh Perguruan Tinggi Agama
Islam PTAI setelah perubahan status kelembagaannya.

51
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2004), hlm.63
i
63
Masalah pokok ini meniscayakan komitmen dan kerja cerdas, karena hal
tersebut berkaitan dengan aspek yang sangat essensial bagi suatu Perguruan
Tinggi, yaitu sistem keilmuan yang menjadi pondasi bagi bangunan
kurikulumnya. Dalam setiap lembaga pendidikan, kurikulum merupakan dasar
bagi seluruh aktivitas pendidikan. Namun kualitas kebijakan yang selama ini
dibuat belum cukup mampu "mengubah" keadaan pendidikan kita menjadi lebih
maju. Dengan posisinya yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pendidikan
tersebut, semestinya kurikulum menempati prioritas yang tinggi dalam kebijakan
pendidikan. Sebab kurikulum merupakan salah satu elemen pendidikan terkait
langsung dengan dasar pengembangan diri peserta didik agar bisa menjadi
manusia yang bermutu dan memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan. Itulah
sebabnya, apabila Perguruan Tinggi Agama Islam bertujuan melahirkan sarjana
yang memiliki karakter intelektual yang ulama dan profesional, maka tidak bisa
tidak disyaratkan adanya reformasi dan rekonstruksi kurikulumnya. Jadi
pembaruan kurikulum merupakan salah satu jalan yang dapat diprioritaskan oleh
pengambil kebijakan dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia.
Dan konsepsi ideal pendidikan Islam adalah sebuah proses transformasi
dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islami pada diri anak didik
melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, guna mencapai
keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya, untuk masa kini dan
masa akan datang, agar tercipta kepribadian muslim sejati yang disebut insan
i
64
kamil.
52
Dari sini penulis mengambil kesimpulan bahwa latar belakang konsep
pembaruan Pendidikan Islam ini harus didudukkan ke dalam paradigma yang jelas
dan terarah yakni sesuai dengan pemikiran Muhaimin yang menyatakan bahwa
PTAI yang harus beda dengan Perguruan Tinggi yang lain dan memiliki ciri khas.
Maka kajian ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi tentang pengembangan
pendidikan Islam melalui potret atau pemetaan paradigma yang ada dan
memperjelas orientasi dan wilayah dan masing-masing paradigma tersebut
sehingga pemikiran dan kebijakan yang terkesan menggebu-gebu, idealis dan
kurang realistis, dapat ditelaah ulang dan dikoreksi kembali. Selanjutnya dapat
direkonstruksi paradigma mana yang sekiranya relevan untuk dikembangkan
dalam menatap masa depan bangsa Indonesia menuju masyarakat madani.
53

Dalam ajaran Islam masyarakat madani juga telah dicontohkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW pada periodisasi Madinah. Yakni gambaran tatanan
kehidupan sosial manusia yang harmonis, ditandai dengan semangat menjunjung
tinggi nilai-nilai Islam tentang keadilan, perlindungan hak, toleransi, musyawarah
dan pola-pola hidup Islami lainnya yang tercatat dalam tinta sejarah periodisasi
madinah yang kita kenal dengan istilah masyarakat madani (civil society) yaitu
tatanan masyarakat yang dicita-citakan oleh setiap umat manusia di manapun
berada.
54

Jadi PTAI dituntut melahirkan manusia-manusia yang menguasai iptek
dan hidup dalam nilai-nilai agama (Islam) yang merupakan pilar-pilar masyarakat

52
Jamali Sahrodi, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam, Pengantar Ke Arah Ilmu
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), Hlm. 13-15
53
Muhaimin, op. cit. hlm.36
54
Triyo Supriyatno, Paradigma Berbasis Teo-Antropo-Sosiosentris, (Malang: P3M
(Penerbit Pusat Pengembangan Pendidikan Dan Masyarakat) dan PTAI Malang, 2004), hlm.63
i
65
madani. Lembaga Perguruan Tinggi yang bertugas untuk mengembangkan
kemampuan intelektual mahasiswa sangat diperlukan didalam pembentukan
masyarakat Indonesia yang madani yaitu masyarakat terbuka (open society).
Sesuatu yang mengimplikasikan adanya warga masyarakat yang mempunyai
kemampuan untuk berpikir bebas sehingga dapat membuka cakrawala pemikiran
masyarakat untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan bermoral. Jadi
tugas pendidikan akan makin berat. Sebagai bagian dari reformasi total, reformasi
pendidikan harus ditujukan tidak semata-mata meningkatkan intelektualnya atau
bertujuan untuk mendapat keuntungan melainkan harus diimbangi dengan
pembangunan moral, sikap dan perilaku.
55
Pendidikan memang merupakan kunci
kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu
masyarakat /bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas
masyarakat/bangsa. Tidak salah jika Fazlurrahman menyatakan bahwa:
Setiap reformasi dan pembaruan dalam Islam harus dimulai dengan
pendidikan. Karena itu, para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam
tiada henti-hentinya untuk memperbincangkan masalah tersebut".
56


Dalam hubungannya dengan ini pendidikan tidak lepas dari gejolak
reformasi ini. Reformasi total memerlukan perubahan sikap, perilaku, nilai-nilai
hidup sebagai way of life bersama, sebuah pemerintahan yang bersih dari korupsi,
kolusi dan nepotisme. Ini adalah tugas pendidikan nasional yang mungkin harus
lebih mempertimbangkan aspek moral dari para pendidik sehingga nantinya
menghasilkan output yang tidak hanya pandai di bidangnya masing-masing

55
Farid Samsu Hananto dan Ahmad Abtokhi, "UIN: Menyelaraskan Perkembangan Iptek
dengan Imtaq", dalam Zainuddin (Eds.) Memadu Sains Dan Agama Menuju Universitas Masa
depan, (Malang, Bayumedia Publishing bekerja sama dengan PTAI Malang, 2004), Hlm.90
56
Muhaimin, Perbincangan Tentang Pendidikan Islam Di Indonesia, Jurnal Ulul Albab.
Vol.3 nomor 2 thn 2001, hlm 6
i
66
melainkan juga tinggi akhlak dan budi pekerti yang luhur. Jauh dari sikap perilaku
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dengan semua itu penulis mengharapkan akan adanya konsep pembaruan
Pendidikan Agama Islam yang mampu mengatasi dekadensi moral. Penulis dapat
menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan realitas diskursus tentang Perguruan
Tinggi Agama Islam, bahwa hal yang bisa dijalankan bagi masyarakat yang
memang peduli pada bangsa adalah menguatkan kembali dunia pendidikan.
Institusi-institusi pendidikan yang di bangun secara mandiri sebagai bentuk dari
civil society atau masyarakat madani, sudah waktunya bergegas kembali manata
dan mengembangkan sayap edukatifnya yang lebih menitikberatkan pada
pembangunan peradaban. Perubahan (change) harus selalu digalakkan dengan
tetap harus diiringi semangat dan gerak untuk maju (progress). Maka dengan
begitu, input dan output yang nantinya bisa dihasilkan tidak hanya bertambah
banyaknya lembaga-lembaga pendidikan serta bervariasinya gelar-gelar akademis
melainkan pendidikan yang peduli pada pembentukan sikap-sikap mental yang
tahan banting, berorientasi pada kepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia, kreatif
dan tingginya moralitas.
Kehadiran pendidikan Islam patut disambut gembira, karena darinya
diharapkan bangkitnya gerakan-gerakan pemikiran baru di bidang pendidikan
Islam, sebagai upaya menggali pemikian-pemikiran alternatif serta memberikan
kontribusi dalam mengantisipasi persolan pendidikan nasional, terutama dalam
konteks pembangunan bangsa Indonesia yang sedang dilanda krisis
multidimensional. Oleh karena itu perlu adanya paradigma pengembangan
i
67
kurikulum dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam dewasa ini dan
juga mengatasi masalah krisis yang melanda. Dewasa ini, termasuk Indonesia
masih dilanda krisis global atau krisis multidimensional yang berkepanjangan
terutama dalam ekonomi dan finansial. Jadi dalam hal ini kita membutuhkan
tenaga-tenaga terampil dan profesional yang berkualitas tinggi dan jumlah yang
memadai. Apalagi kemajuan teknologi dan informasi komunikasi, telah
mendorong terciptanya suatu masyarakat terbuka di dalam berbagai kehidupan
manusia, tidak hanya bidang ekonomi dan bisnis tapi juga bidang-bidang lainnya.
Di masa krisis ini baru kita sadar akan pentingnya sumber daya manusia yang
berkualitas. Kualitas disini bukan semata-mata ahli dalam bidang-bidang tertentu
melainkan juga disertai dengan sikap dan perilaku yang profesional antara lain
keahlian itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga bertanggungjawab
untuk mengentaskan negara dari krisis. Yang lebih penting dari itu semua adalah
moral dan perilaku dari sumber daya manusia itu sendiri.
57
Dalam usaha perubahan dan pembaruan global, maka perlu diperhatikan
dalam konteks global adalah masalah multikulturalisme dalam berbagai aspek
yang menempel kepadanya. Mengelola pendidikan mensyaratkan pemahaman
multikulturalisme dalam berbagai aspek yang menempel kepadanya. Mengelola
pendidikan dengan meluaskan pergaulan ke berbagai kawasan negara, ideologi,
organisasi, atau bahkan keyakinan (agama). Melalui hal ini peradaban global
Islam akan terbentuk secara damai dan menyejukkan.
58
Konsep pendidikan
multikulturalisme harus dihadapi dengan obyektif dan percaya diri, selain itu juga

57
Farid Samsu Hananto Dan Ahmad Abtokhi, Op. Cit. hlm.87-88
58
A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan , Editor Ahmad Barizi, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005. Hlm.41
i
68
memperkokoh tauhid/dasar-dasar keyakinan Islam. Semangat multikultur harus
tercermin dari isi / konten kurikulum. Perbedaan latar belakang kultur (agama dan
budaya) harus tercipta saling menghargai dan menghormati dengan saling
mengenal, diskusi dan bertukar pendapat. Karena keterbukaan maka sebenarnya
akan memperkokoh keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing.
Sedangkan reaksi terhadap tuntutan menghadapi masyarakat global adalah
pluralisme. Pluralitas agama dalam konteks masyarakat Indonesia adalah realitas.
Agama adalah hakikat manusia Indonesia. Karenanya pluralisme agama harus
menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dan bukan kekuatan destruktif.
59

Potensi konstruktif-transformatif akan berkembang bila masing-masing komunitas
agama menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan. Sebaliknya potensi
destruktif akan dominan jika masing-masing komunitas agama tidak memiliki
sikap toleran, bahkan menganggap agamanya paling benar (truth claim), paling
memonopoli keselamatan (claim of salvation), superior dan memandang inferior
agama lain (alwi Shihab, 1997). Kondisi ini akan menjadi pemicu
ketidakharmonisan, konflik dan ketegangan antarumat beragama dan antar
madzhab.
60
Keharmonisan hidup dalam konteks pluralisme, dapat dibangun
dengan dasar kearifan menghadapi perbedaan keyakinan. Karena itu,
pembelajaran pendidikan agama Islam diharapkan mampu mewujudkan ukhuwah
Islamiyah dalam arti luas tersebut. Sungguhpun masyarakat berbeda-beda agama,
suku, ras, etnis, tradisi, budaya, tetapi bagaimana melalui keragaman ini dapat

59
Muhaimin, Dkk. Strategi Belajar Mengajar. (Surabaya: CV Citra Media, 1996), hlm 1-2
60
Umi sumbulah, Merekonstruksi Pluralisme Agama Dengan Perspektif Al-quran. El-
Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan. Edisi 59 tahun XIII Maret-Juni
2003. Hlm.77-78
i
69
dibangun suatu tatanan hidup yang rukun, damai dan tercipta kebersamaan hidup
serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia. Masyarakat
yang plural membutuhkan ikatan keadaban (the bound of civility), yakni pergaulan
antara satu sama lain yang diikat dengan suatu civility (keadaban).
Ikatan ini pada dasarnya dapat dibangun dari nilai-nilai universal ajaran
agama. Karena itu, bagaimana guru agama atau dosen mampu membelajarkan
pendidikan agama yang difungsikan sebagai panduan moral dalam kehidupan
masyarakat yang serba plural tersebut, serta mampu mengangkat dimensi-dimensi
konseptual dan substansial dari ajaran agama, seperti kejujuran, keadilan,
kebersamaan, kesadaran akan hak dan kewajiban, ketulusan dalam beramal,
musyawarah dan sebagainya, untuk diaktualisasikan dan direalisasikan dalam
hidup dan kehidupan masyarakat yang plural tersebut.
61

Dari berbagai uraian pembahasan diatas maka penulis sependapat dengan
Muhaimin yang menegaskan bahwa kesadaran pluralisme. Dan toleransi agama
akan dimiliki oleh seseorang diharapkan semakin tinggi toleransinya. Sebaliknya
semakin rendah pengetahuan dan wawasan keislaman seseorang, maka akan
semakin besar kemungkinan timbulnya hal-hal yang negatif. Di Indonesia juga
memiliki berbagai macam kebudayaan yang saling mempengaruhi. Jadi terdapat
pluralisme budaya yang lebih beragam dalam suatu masyarakat dan sama-sama

61
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam Di Sekolah, Op.Cit, hlm.76-77
i
70
diberlakukan. Pluralisme budaya dapat muncul karena adanya berbagai macam
suku bangsa dan juga karena adanya proses perubahan masyarakat.
62

Dari uraian diatas dapat dipaparkan kesimpulan dari latar belakang
munculnya gagasan perubahan PTAIN adalah:
a) Karena pentingnya perubahan ini karena banyak kalangan pemerhati Islam
ada keprihatinan bahwa kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam tampak
berhenti pada dasar-dasar rasionalisme dan komparatifisme yang sudah
diletakkan oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam awal seperti Harun Nasution
dan Mukti Ali. Hal inilah yang dalam pandangan para ahli kurang cukup
kuat untuk merespon kebutuhan dan tuntutan baru yang lebih kompleks, jadi
diperlukan paradigma seorang tokoh yang jelas dan terarah;
b) Adanya proses globalisasi yang demikian cepat serta perkembangan industri
yang sedemikian luar biasa. Jadi PTAI sebagai Institusi yang berperan dalam
melahirkan Sumber daya manusia yang bersifat responsif terhadap tuntutan
tersebut menuju masyarakat madani;
c) Adanya krisis multidimensional yang saat ini sedang melanda bangsa
Indonesia, jadi dengan adanya perubahan diharapkan akan memainkan
perannya sebagai lembaga yang memiliki amanah untuk menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas unggul akan dapat diemban secara
lebih leluasa;
d) Upaya merentas dikhotomi ilmu pengetahuan.
e) Menumbuhkan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme yang ada di
dalam pendidikan di negeri ini.
f) Perlunya dibangun pada dataran operasional yakni dengan pengembangan
kurikulum agar lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan
bidang keahlian sehingga menciptakan peluang bagi kita untuk merespon
barbagai tuntutan dan tantangan dengan mengembangkan PTAI lebih berciri
khas.

Terkait dengan konsep pembaruan Pendidikan Agama Islam melalui
pengembangan kurikulum ini kiranya akan membawa angin segar dalam
pengembangan pendidikan. Jadi dengan adanya kurikulum terbaru akan
membawa kesan:
1. Umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia terasa semakin
dinafikan, dimana ciri khas kepribadian: Pendidikan Islam itu sendiri

62
Musleh Harry, Pluralisme Budaya Dalam Reformasi Hukum Di Indonesia,(Jurnal el-
Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan Edisi 59 Tahun XXIII Maret-
Juni 2003. Malang. hlm.60-61.
i
71
menjadi tidak terlihat. Dan yang tampak hanya Pendidikan Umum berciri
khas agama Islam,
2. Kurikulum ini terkesan terlalu banyak percabangan ilmu (poliferasi)
sehingga beban yang dipikul peserta didik terlalu berat. Sebenarnya
modifikasi pendidikan umum bisa saja dilakukan tanpa harus mengurang
atau bahkan memangkas materi pelajaran agama sebagai ciri khas
kepribadian Pendidikan Islam.
3. Kurikulum ini terkesan cenderung menghantarkan out putnya untuk lebih
memprioritaskan Perguruan Tinggi Umum sebagai alternatif melanjutkan
studi, dan sebenarnya cukup membawa dampak positif sekaligus
membanggakan; hanya saja kemudian inputbagi lembaga tinggi agama
termasuk IAIN/STAIN menjadi sangat minim kalau tidak boleh dikatakan
habis kalaupun ada barangkali harus puas dengan kualitas norma buncit
yang tidak terjaring dalam UMPTN/SPMB; sementara dengan modal
Pendidikan Agama yang diperolehnya sejak MI, MTS, dan MA masih
belum mampu menghantarkan memiliki kepribadian yang tangguh dalam
keimanan dan ketakwaan (IMTAQ).

Suatu hal yang membawa angin segar dalam proses pengembangan
kualitas pendidikan tinggi adanya keputusan menteri agama nomor: 383 tahun
1997 tentang kurikulum nasional program sarjana S-1 sebagai upaya peningkatan
sumber daya manusia, antisipasi terhadap proses globalisasi serta diharapkan agar
mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan perubahan yang terjadi, tanpa
harus meninggalkan ciri kepribadiannya sebagai Lembaga Pendidikan Islam.
Adapun kendala yang melilit sebagian besar lulusan PTAI itu sudah lama
diketahui orang, antara lain:
1. Penguasaan ilmu agama Islam yang kurang mendalam akibat
ketidakmampuan membaca kitab klasik yang merupakan khazanah ilmu
Pendidikan Islam,
2. Penguasaan ilmu pengetahuan umum untuk berkomunikasi secara lancar
dengan anggota masyarakat yang menguasai bidang itu kurang,
3. Penguasaan yang kurang luas atas metodologi dan teknik penyampaian
ajaran Islam agar mudah diterima oleh warga masyarakat yang berbeda-
beda;
4. Keteladanan yang kurang dapat ditiru akibat kurangnya penghayatan ajaran
agama oleh sarjana agama itu sendiri. Jadi menurut penulis PTAI harus
memiliki ciri khas dan berbeda dengan perguruan tinggi umum yang lain.

i
72
Masalah kemanusiaan merupakan tantangan terbesar dunia pendidikan
bagi Indonesia Baru. Namun, apakah banyak diantara warga bangsa, khususnya
kaum elite negeri ini yang memandang hal itu sebagai persoalan besar yang harus
diprioritaskan. Jika kita sepakat atas persoalan besar kemanusiaan ini, perumusan
kembali Paradigma baru merupakan agenda paling penting. Paradigma baru
itu harus bisa dihadapkan kesadaran kebangsaan, kearifan natural dan
kemanusiaan. Untuk itu pendidikan harus bebas kepentingan dan kekuasan sesaat,
tetapi lebih pada masyarakat, karena generasi dimasa depan harus memperhatikan
pendidikan. Karena sebuah peradaban adalah produk pendidikan, kegagalan suatu
bangsa dan hancurnya peradaban berarti kegagalan dunia pendidikan.
63

Dari beberapa uraian diatas maka dapat dianalisis bahwasanya dewasa ini,
pemerintah telah mengusahakan agar Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dan menarik berbagai
perbaikan atau pengembangan kurikulum. Upaya tersebut dilakukan untuk
menghasilkan lulusan yang berkepribadian Islami. Merumuskan konsep
Pendidikan Islam memang bukan pekerjaan yang mudah dan ringan, sebab
rumusan tersebut harus mengkaitkan Islam sebagai disiplin ilmu. Dalam upaya
merekonstruksi Pendidikan Islam, perlu diperhatikan prinsip-prinsip Pendidikan
Islam yakni:
1. Pendidikan Islam merupakan bagian sistem kehidupan Islam, yaitu suatu
proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah
informasi, pengetahuan, sikap, perilaku, dan budaya,
2. Pendidikan Islam merupakan life long process sejak dini kehidupan
manusia,

63
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 159
i
73
3. Pendidikan Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni
harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara dosen dan
mahasiswa;
4. Pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesan-
pesan moral kepada mahasiswa.

Jadi penulis dapat menganalisis bahwa pembaruan Pendidikan Pendidikan
Islam melalui paradigma pengembangan kurikulum di PTAI adalah dalam rangka
merentas adanya dikotomi keilmuan, serta upaya dalam meningkatkan kualitas
Pendidikan Islam sehingga menghasilkan lulusan Perguruan Tinggi yang mampu
menjawab tantangan zaman global serta dalam upaya mengatasi dekadensi moral,
krisis multidimensional, dan reaksi terhadap tuntutan pluralitas agama serta
multikulturalisme sehingga tercipta masyarakat madani yang beradab sehingga
kualitas hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih baik.


C. Pandangan dasar dan kritik Muhaimin Terhadap Pembaruan
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam menuju
Masyarakat Madani Di PTAI.
Menurut Muhaimin dalam rangka pembaruan pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam maka kurikulum yang dikembangkan di PTAI
dipertimbangkan didasarkan pada beberapa pandangan dasar dari Muhaimin.
Pandangan dasar tersebut antara lain sebagai berikut:
1. PTAI sebagai Perguruan Tinggi Islam mengemban misi sebagai lembaga
pengembangan keilmuan atau kajian ilmu-ilmu keislaman yang bersifat
rasional, dinamis, analitis kritis, empiris dan antisipatif, dan berusaha
membangun sikap dan perilaku beragama yang loyal, memiliki komitmen
(pemihakan) terhadap Islam, serta penuh dedikasi terhadap agama yang
i
74
diyakini kebenarannya, atas dasar wawasan keilmuan keislaman yang dimiliki,
dengan tetap menjaga kerukunan hidup beragama yang dinamis;
2. PTAI sebagai Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan
akademik, vokasional dan/atau professional, mengemban misi untuk
menyiapkan calon-calon lulusan yang mampu mengintegrasikan kepribadian
ulama dengan intelektualitas akademik sesuai dengan bidang keahlian atau
konsentrasi studi yang ditekuni, yang diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ditengah-tengah kehidupan dunia
yang semakin global;
3. PTAI sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional berupaya
menyiapkan calon lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif sesuai standard mutu nasional dan internasional; dan
4. PTAI juga merupakan lembaga dakwah yang mengemban misi pembinaan dan
pengembangan masyarakat Islam dalam berbagai sector kehidupannya.

Keempat pandangan dasar tersebut diatas akan berimplikasi pada orientasi
pengembangan kurikulum yang menekankan pada:
1. Upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT
yang dilandasi oleh keilmuan yang kokoh;
2. Upaya pemberian basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas
dari Perguruan Tinggi Islam, sekaligus sebagai landasan dan pendasaran
bagi pengembangan bidang-bidang studi yang dikembangkan pada
jurusan/program-program studi yang ada;
3. Upaya penyaluran bakat, minat dan kemampuan dalam pengembangan
bidang-bidang atau konsentrasi studi yang bermanfaat bagi pembangunan
masyarakat;
4. Upaya pencegahan timbulnya pengaruh negatif dari perkembangan iptek dan
seni serta pengaruh negatif dari globalisasi baik di bidang budaya, etika
maupun moral;
5. Upaya pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa yang
memiliki kemampuan dan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang
semakin global; dan
6. Upaya mewujudkan pendidikan sepanjang hayat (life long education).
64


Sejak ditetapkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/ U/
2000 tentang pedoman penyusunan kurikulum dan penilaian hasil belajar
mahasiswa, yang kemudian disusul dengan Keputusan Menteri Pendidikan

64
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: nuansa, 2003), hlm.207-208
i
75
Nasional Nomor 145/U/2000 tentang kurikulum inti Pendidikan Tinggi,
dikalangan PTAI timbul perbincangan tentang model pegembangan kurikulum
untuk merespon keputusan tersebut. Pertemuan para pembantu Rektor/pembantu
ketua I (bidang akademis) PTAI yang diselenggarakan pada tanggal 16-17 April
2001 dapat merespons keputusan tersebut untuk selanjutnya akan dilakukan
sharing ideas. Rapat kerja para Rektor UIN/IAIN serta para ketua STAIN se-
Indonesia pada awal bulan November 2002 yang lalu juga merespons SK tersebut
dia atas.
Perbincangan tersebut dilanjutkan dengan pertemuan para pembantu
Rektor I UIN dan IAIN serta pembantu ketua I STAIN se Indonesia pada tanggal
22-24 Desember 2002. Perbincangan tersebut ditindaklanjuti dalam pertemuan
tim kecil dari beberapa pembantu Rektor I IAIN dan Puket I STAIN yang
berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Pada tanggal 8-10 Januari 2003
ditindaklanjuti dengan pertemuan orientasi peningkatan mutu akademis yang
dihadiri oleh seluruh Rektor UIN/IAIN dan ketua STAIN serta pembantu Rektor I
UIN/IAIN dan pembantu ketua I STAIN se-Indonesia. Bahkan ditindaklanjuti
dengan pertemuan semua ketua program studi.
Perbincangan tentang kurikulum oleh para pengambil kebijakan tidak bisa
dilepaskan dari komitmen mereka untuk lebih meningkatkan mutu PTAI, yang
menurut Direktur Pertais, mutu lulusannya dianggap kurang signifikan. Hal
tersebut antara lain disebabkan karena kelemahan kurikulum PTAI , yaitu:
1. Kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat: banyak program studi yang
tidak diminati masyarakat tetap dipertahankan;
2. Kurang efektif, yakni tidak menjamin dihasilkannya lulusan yang sesuai
dengan harapan;
i
76
3. Kurang efisien, yakni banyaknya mata kuliah dan SKS tidak menjamin
dihasilkannya lulusan yang sesuai harapan;
4. Kurang fleksibel, yakni PTAI kurang berani secara kreatif dan bertanggung
jawab mengubah kurikulum guna menyesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat (setempat, nasional, global);
5. Readibility rendah, tidak komunikatif (bisa menimbulkan banyak tafsir);
6. Hanya berupa deretan mata kuliah;
7. Berbasis (berfokus) pada mata kuliah/ penyampaian materi, bukan pada
tujuan kurikuler/hasil belajar/mutu lulusan; dan
8. Hubungan fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tujuan kurikuler
kurang jelas.

Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan tersebut, maka Direktur Pertais
mengambil kebijakan tentang pengembangan kurikulum, yaitu:
1. Kurikulum berbasis hasil belajar;
2. Kurikulum terdiri atas kurikulum inti dan kurikulum institusional;
3. Kurikulum inti (40%) ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku secara
nasional, sedangkan kurikulum institusional (60%) ditetapkan oleh PTAI
dan berlaku hanya di PTAI tersebut;
4. Kurikulum secara keseluruhan (inti dan institusional) ditetapkan oleh PTAI ;
dan
5. Kualitas kurikulum menjadi tanggung jawab PTAI
65

Kebijakan tersebut mengandung makna bahwa:
1. Kurikulum perlu dikembangkan dengan lebih menitikberatkan pada
pencapaian target kompetensi daripada penguasaan materi;
2. Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya
pendidikan yang tersedia;
3. Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di
PTAI untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai
kebutuhan;
4. Menggunakan prinsip kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam
pelaksanaan; dan
5. Pengembangan kurikulum memuat sekelompok mata kuliah pengembangan
kepribadian (MPB) pada semua program studi, serta the four of education:
learning to know (how and why/MKK), learning to do (MKB), lerning to be
or capable to be (mpb), learning to live together (MBB).
66
jadi dari berbagai
perbincangan tersebut keputusan yang diambil adalah memakai
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi di lingkungan perguruan
tinggi.


65
Ibid, hlm 208-209
66
Ibid, hlm.207-210
i
77
Adapun kritik yang dikeluarkan Muhaimin adalah bahwa Bangsa
Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional. Dari hasil kajian pelbagai
disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala
macam krisis itu berpangkal dari krisis akhlak atau moral. Krisis ini oleh
sementara pihak disebabkan faktor kegagalan pendidikan agama. Sedangkan
indikator kegagalan pendidikan agama adalah:
1. Hasil survey menunjukkan bahwa negeri kita masih bertengger dalam
jajaran negara yang paling korup di dunia, dari pejabat tinggi hingga pejabat
paling rendah;
2. Disiplin makin longgar;
3. Tingkat penindasan yang kuat terhadap yang lemah, seperti tampak dalam
tingkah laku semerawut dan saling menindas para pelaku lalu lintas, juga tak
berkurang;
4. Semakin meningkatnya tindak kriminal, tindak kekerasan, anarchisme,
premanisme, tindakan brutal, perkelahian antar pelajar, konsumsi minuman
keras, narkoba, yang sudah melanda di kalangan pelajar dan mahasiswa,
white colar crimes (kejahatan kerah putih), KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme) melanda di berbagai institusi dan lain-lain;
5. Masyarakat kita cenderung mengarah pada masyarakat
kepentingan/patembayan (gesellschaft), nilai-nilai masyarakat paguyuban
(gemeinschaft) ditinggalkan, yang tampak di permukaan adalah timbulnya
konflik kepentingan-kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok,
agama, etnis, politik maupun kepentingan lainnya.

Sungguhpun demikian, merajalelanya korupsi tersebut bukan semata-mata
disebabkan karena kegagalan pendidikan agama. Hal ini bisa dibuktikan dengan
hasil survei dari International Country Risk Guide Index (ICRGI), bahwa sejak
tahun 1992 hingga 2000 yang menyatakan bahwa indeks korupsi di Indonesia
yang mayoritas beragama Islam terus meningkat dari sekitar 7 menjadi hampir 9
(tahun 2000). Dengan demikian, tinggi rendahnya tindak kriminal (seperti
korupsi) tidak banyak terkait dengan agama, tetapi lebih terkait dengan tatanan
hukum yang jelas dan tegas diiringi penegakan hukum berat terhadap tindak
i
78
kriminal (korupsi). Karena itu, tidaklah adil bila orang secara simplistik
mengkambinghitamkan agama. Faktor-faktor yang mengakibatkan mewabahnya
korupsi dan penyakit-penyakit sosial lainnya justru lebih banyak disebabkan
karena:
a) Lemahnya penegakan hukum, atau soft state (negara lembek) daalm
penegakan hukum. Semuanya bisa diatur dengan sogok menyogok, money
politics, dan KUHP (kasih uang habis perkara);
b) Mewabahnya gaya hidup hedonistik;
c) Tidak adanya political will dan keteladanan dari pajabat-pejabat publik
untuk memberantas korupsi atau penyakit sosial lainnya.

Walaupun demikian harus diakui bahwa pendidikan agama masih
mengalami kekurangan setidak-tidaknya dalam dua aspek mendasar:
a) Pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik,
ritualistic, serta bersifat legal formalistic (halal-haram) dan kehilangan ruh
moralnya;
b) Kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ranah
kognitif dan paling banter hingga ranah emosional, (kadang-kadang terbalik
hanya menyentuh ranah intelektual), tetapi tidak mewujudkannya dalam
tindakan nyata akibat tak tergarapnya ranah psikomotorik.

Kritik semacam ini juga berkembang di masyarakat, yaitu bahwa
kurikulum PAI kurang berhasil dalam membentuk sikap, perilaku, dan
pembiasaan peserta didik/mahasiswa. Sebagai indikatornya antara lain:
a) Rendahnya minat dan kemampuan mahasiswa untuk malaksanakan ibadah;
b) Tidak mampu baca tulis al-Quran;
c) Berperilaku kurang terpuji, bahkan melakukan tindak kriminal dan aksi
kekerasan, anarchisme, premanisme, tindakan brutal, perkelahian, konsumsi
minuman keras, narkoba dan lain-lain. Munculnya fenomena white collar
crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan yang dilakukan oleh kaum
berdasi, seperti para eksekutif, birokrat, guru, politisi atau setingkat dengan
mereka), serta isu KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang dilakukan oleh
para elit, juga merupakan bagian dari kegagalan pendidikan agama Islam.

Muhaimin tidak sepenuhnya setuju terhadap pendapat yang menyatakan
bahwa timbulnya krisis akhlak atau moral hanya disebabkan kegagalan
i
79
pendidikan agama. Dengan bertolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan
pendidikan merupakan suatu proses pengembangan dan penanaman seperangkat
nilai dan norma implicit dalam setiap mata kuliah dan sekaligus dosennya, maka
tugas mendidikkan akhlak yang mulai sebenarnya bukan hanya menjadi
tanggungjawab dosen PAI ansich. Apalagi Iman dan Taqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa merupakan persyaratan utama bagi setiap dosen, yang secara praktis
akan berimplikasi pada keharusan setiap dosen untuk mengimplisitkan nilai-nilai
akhlak yang mulia dalam setiap mata kuliah yang dipelajari oleh dan diajarkan
kepada mahasiswa (peserta didik).
67
Karena itu jika ada beberapa mahasiswa /
peserta didik yang terlibat narkoba, misalnya maka hal itu bukan berarti kegagalan
dosen PAI saja, tetapi hal itu juga kegagalan dari dosen mata kuliah yang lain. Hal
itu bukan berarti para dosen PAI mengelak dari tanggungjawabnya sebagai
pembimbing dan pengarah ajaran dan moral agama, tetapi lebih membangun
kekompakan dan harmonisasi dalam proses pendidikan. Keteladanan akhlak
bukan hanya ditunjukkan oleh dosen PAI, tetapi juga oleh para tenaga
kependidikan yang lainnya. Apalagi saat ini kita sudah memasuki era globalisasi
sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang komunikasi dan informasi. Atas
dasar teori dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dipraktekkan di
berbagai negara seperti Singapura, Australia, Inggris, dan Amerika; juga didorong
oleh visi, misi, dan paradigma baru Pendidikan Agama Islam, maka penyusunan
kurikulum perlu dilakukan berbasis kompetensi dasar (basic competency).

67
Ibid, hlm.181-183
i
80
Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian kemampuan
kognitif, kurang mengakomodasikan keragaman kebutuhan daerah meskipun
secara nasional kebutuhan keberagaman mahasiswa pada dasarnya tidak berbeda.
Dengan pertimbangan itu, maka kompetensi dasar (basic competency) yang
mencerminkan kebutuhan keberagaman mahasiswa secara nasional. Standar ini
diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum
PAI pada setiap jenjang pendidikan sesuai kebutuhan daerah/ Perguruan Tinggi.
Berbagai kritik tersebut mendasari pengembangan kurikulum yaitu:
a) Lebih menitikberatkan pencapaian target kompetensi (attainment target)
dari pada penguasaan materi;
b) Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya
pendidikan yang tersedia;
c) Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di
lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan
sesuai dengan kebutuhan.

Adapun pesan-pesan besar Pendidikan Agama Islam (PAI) yang ingin
dikembangkan dalam kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Berusaha menjadikan PAI sebagai jurusan yang dapat menjaga dan
memperkokoh akidah siswa ketika terjun menjadi Guru Pendidikan Agama
Islam (GPAI);
b. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang mengajarkan agama dengan baik,
dalam pengertian bahwa konteks bangsa Indonesia yang ber-Bhineka
Tunggal Ika, pengembangan pendidikan agama diharapkan agar tidak
sampai menumbuhkan semangat fanatisme buta, menumbuhkan sikap
intoleran di kalangan peserta didik dan masyarakat Indonesia dan
memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan
nasional;
c. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang dapat memacu siswa untuk menjadi
rajin dan pintar, serta kreatif, kritis, dan inovatif;
d. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang bisa membina etika sosial mahasiswa,
yakni keterpaduan antara personal religiousity dengan social religiousty,
keterpaduan antara sikap keberagamaan di masjid/rumah ibadah dengan
tingkah laku di kantor, jalan raya, dan sebagainya, atau seseorang tetap
beragama dimana dan kapan saja;
i
81
e. Menjadikan PAI sebagai jurusan yang bisa mencetak mahasiswa yang
bertanggungjawab dalam hidup dan kehidupannya.

Dari berbagai uraian diatas dapat ditegaskan bahwa upaya memotret
paradigma pengembangan kurikulum di Indonesia memang amat diperlukan untuk
mempertajam pemahaman kita akan keunikan realitas Pendidikan Islam yang
sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kendatipun hal itu bukan pekerjaan
yang sederhana dan bahkan akan menimbulkan kontroversi. Jika menurut
Muhaimin seperti itu, maka tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai macam
alternatif lainnya guna memperkaya wawasan dan visi kita terhadap model-model
paradigma pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jadi
pengembangan kurikulum PAI perlu dilakukan secara terus menerus guna
merespon dan mengantisipasi perkembangan dan tuntutan yang ada tanpa harus
menunggu pergantian menteri pendidikan nasional atau menteri agama. Apalagi
saat ini masyarakat sudah memasuki era globalisasi, baik di bidang ipteks maupun
social, politik, budaya dan etika. Hal ini akan berimplikasi pada banyaknya
masalah pendidikan yang harus segera diatasi, tanpa harus menunggu-nunggu
keputusan dari atas.
68
Pembaruan dan modernisasi Pendidikan Islam bisa dilihat
dari empat level:
1. Level kelembagaan, yaitu pembaruan atau perubahan kelembagaan, yaitu
pembaharuan dan perubahan kelembagaan Pendidikan Islam
2. Substansi isi (content) kurikulumnya, yaitu dari pengajaran ilmu-ilmu agama
bergeser dengan memperkenalkan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga
Pendidikan Islam.
3. Aspek metodologi, yaitu perubahan metodologi pengajaran yang selama ini
di terapkan di lingkungan Pendidikan Islam yang kurang relevan.

68
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 14 .
i
82
4. Segi fungsi. Secara tradisional fungsi Pendidikan Islam meliputi transfer
ilmu-ilmu keislaman, memelihara tradisi Islam, dan melahirkan ulama.
Dengan pembaruan yang terjadi di tubuh Pendidikan Islam, fungsi ini juga
mengalami perubahan.
69


Jadi menurut penulis pandangan dasar dan kritik Muhaimin tersebut akan
membantu penulis dalam menganalisis konsep pembaruan Pendidikan Agama
Islam melalui analisis paradigma pengembangan kurikulum sehingga tercipta
suatu tatanan masyarakat ideal yakni masyarakat madani di Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI) dan dengan bertolak dari visi mata kuliah Pendidikan
Agama Islam, yaitu menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan
program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan kepribadiannya
melalui penjabaran standar kelulusan yang ada di Perguruan Tinggi. Karena itu
Junaidi menyatakan bahwa perlunya pembaruan pendidikan di lingkungan PTAIN
seperti IAIN, STAIN, dan UIN untuk segera melakukan pembaruan, khususnya
dalam bidang kurikulum studi Islam, karena salah satu misi didirikannya PTAI
pada awalnya adalah untuk melahirkan ahli agama Islam, dengan tidak
mengesampingkan konteks keindonesiaan serta perkembangan ilmu pengetahuan
dan kecakapan hidup.
Lebih jauh dari itu, dalam wacana Nurcholis madjid mengenai
modernisasi, pembaruan kurikulum PTAIN dimaknai sebagai proses rasionalisasi
aspek-aspek pendidikan dalam ajaran Islam, yang bagi setiap muslim
sesungguhnya merupakan suatu keharusan. Artinya, menjadi pembaharu dengan

69
Mastudi Dan Marzuki Wahid, Perguruan Tinggi Agama Islam Di Indonesia Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembangan, (Jakarta: DEPAG RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama
Islam, 2003) Hlm. 3
i
83
mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah dan bersikap dinamis serta
progresif merupakan peran sarjana Perguruan Tinggi yang tak terelakkan.
70

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:
"Kurikulum yang dikembangkan harus mampu membangun kepribadian sehingga
meningkatkan etos belajar, yakni dengan melalui pemberian tugas,
keteladanan/pembiasaan dan aktif selama proses belajar mengajar, sehingga
output (lulusan) yang dihasilkan mampu mengantisipasi tantangan dunia
global"
71

Menurut penulis pandangan dasar dan kritik Muhaimin adalah untuk
memacu laju pembaruan pendidikan agama Islam agar mampu merespon secara
cepat dan tepat sasaran dalam menghadapi tantangan global perkembangan zaman
dan laju arus ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih dengan
melalui tataran operasional, yakni melalui kurikulum karena realitanya
dampaknya langsung bersentuhan dengan peserta didik.
D. Filsafat pendidikan Agama Islam dan Implikasinya terhadap Paradigma
Pengembangan Kurikulum di PTAI.
Kehidupan kontemporer merupakan suatu perkembangan terkini dalam
kehidupan manusia yang ditandai oleh cepatnya proses perubahan sosial. Sejak
dimulainya gerakan renaissance di Eropa pada abad ke-15 M, dan dilanjutkan
dengan aufklarung pada abad ke-18 M. Yang lalu, perkembangan masyarakat,
setidaknya di Barat, telah memasuki era baru yang lebih maju atau modern.
Perkembangan ini oleh sarjana baik di Barat maupun di kawasan dunia yang lain

70
Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan Tinggi Islam. Dalam Pidato Pengukuhan Yang Disampaikan Pada Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Pendidikan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang, Depag dan UIN Malang, 2007, hlm. 8-9
71
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26
Februari 2007
i
84
di sebut dengan era modern karena filsafat dan ilmu pengetahuan kembali
memainkan peran yang baru dalam kehidupan manusia, setelah sebelumnya
mengalami pasang surut, baik ketika di Yunani maupun di "Dunia Islam".
72
Dalam buku Muhaimin yang berjudul Arah Baru Pengembangan
Pendidikan Islam, diberikan sebuah wacana dalam upaya memahami arah
pengembangan Filsafat Pendidikan Islam. Sehingga diperlukan telaah terhadap
pemikiran dilihat dari sudut pandang. Dalam pembahasan filsafat pendidikan,
persoalan tersebut dapat disederhanakan ke dalam tiga persoalan pokok, yaitu
pandangan mengenai realita yang dipelajari oleh metafisika atau ontologi,
pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, dan
pandangan mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, termasuk di dalamnya
etika dan estetika. Jadi hakikat filsafat pendidikan Islam sebagaimana yang
dikemukakan para ahli dapat ditilik dari ketiga persoalan tersebut.
Menurut Mulkhan (1993), jika filsafat menempatkan segala yang ada
sebagai obyek, filsafat pendidikan mengkhususkan pada pendidikan, dan filsafat
pendidikan Islam, lebih khusus lagi kepada pendidikan Islam. Pemahaman
tersebut diatas diperkuat oleh pendapat-pendapat para ahli filsafat pendidikan
pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. Barnadib (1987) misalnya
menyatakan bahwa:
"Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Karena bersifat filosofis,
dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakikatnya adalah penerapan
suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan".


72
Koento Wibisono, Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa Umum Sebagai
Pengantar Untuk Memahami Hakikat Ilmu Dan Kemungkinan Pembangunannya. (Yogyakarta:
IKIP, 1988), hlm 7-8
i
85
Walaupun pendapat-pendapat tersebut diatas memiliki gaya bahasa yang
berbeda, tapi saling menjelaskan antara satu dengan lainnya dan berada dalam
satu pengertian yang sama, yaitu bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya
merupakan sistem berpikir filsafat yang diaplikasikan dalam memecahkan
masalah pendidikan. Sebagai produk dari pemikiran (filsafat) pendidikan ini akan
dapat memberikan kerangka orientasi atas pandangan dunia pendidikan.
73

Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa filsafat
Pendidikan Islam merupakan sistem berpikir filsafat yang diterapkan dalam
memecahkan persoalan Pendidikan Islam. Dan sekaligus sebagai normatif atau
perspektif, dalam arti filsafat Pendidikan Islam memberikan arah, pedoman dan
resep bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang tepat. Karena itu, walaupun
pengembangannya bersifat terbuka, realistis, dinamis dan fleksibel, tetapi
sejumlah prinsip, kepercayaan dan premis-premisnya harus sesuai dengan
semangat atau ruh ajaran Islam. Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang
berkembang saat ini, baik dalam Pendidikan Islam pada khususnya maupun
pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang
bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga
berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan
pendidikan itu sendiri.
Ma'arif (1993) setelah menyajikan dialog antara Iqbal dan Rumi dalam
konteks pendidikan Islam, berkesimpulan bahwa fondasi filosofis yang mendasari
sistem pendidikan Islam selama ini masih rapuh, terutama tampak pada adanya

73
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Op. Cit. hlm 88-89
i
86
bentuk dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang
menduduki posisi fardu'ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada
posisi fardu kifayah, yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakkan.
Disamping itu, kegiatan pendidikan Islam yang seharusnya berorientasi ke langit
(orientasi transendental), tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas
dalam rumusan filsafat pendidikan Islam, bahkan belum dimilikinya. Karena itu,
penyusunan suatu filsafat pendidikan Islam merupakan tugas strategis dalam
usaha pembaruan pendidikan Islam.
Berbagai keprihatianan para pakar tersebut merupakan indikasi mengenai
pentingnya konstruksi filsafat pendidikan Islam, karena bagaimanapun filsafat
bukanlah penyelidikan yang terpisah dan eksklusif, tetapi justru merupakan
bagian dari kehidupan manusia dan pendidikan. Hubungan antara filsafat dan
pendidikan sangat erat, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan pokok dan
mendasar yang dihadapi oleh pendidikan, Brubacher (1995) sebagaimana dikuti
oleh Ozmon & Craver (1995) menyarankan agar persoalan-persoalan yang
mendasar dalam pendidikan perlu dipecahkan dan dibahas menurut teori filsafat.
Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat. Sebagai implikasinya
diperlukan bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem
pendidikan ibarat sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat pendidikan
Islam itu mencakup berbagai dimensi, yaitu:
1) Dimensi bahan-bahan dasar yang menentukan kuat atau tidaknya suatu
fondasi bangunan. Dalam konteks filsafat pendidikan Islam berarti sumber-
sumber atau semangat pemikiran dari para pemikir pendidikan Islam itu
sendiri.
2) Dimensi fondasi filsafat itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar atau asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar) berpikir dalam menjawab persoalan-
i
87
persoalan pokok pendidikan yang termuat dalam sistem (komponen-
komponen pokok aktivitas) pendidikan Islam.
3) Dimensi tiang penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta
pemikiran-pemikiran yang fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir
pendidikan Islam itu sendiri dalam mengembangkan, mengarahkan dan
mengkokohkan bangunan sistem pendidikan Islam.

Di dalam bukunya Muhaimin, pengembangan kurikulum adalah termasuk
dalam tataran epistemologis. Dalam lapangan epistemologi, antara lain diperlukan
dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum. Kurikulum yang biasa diartikan
sebagai serangkaian kegiatan atau sarana untuk mencapai tujuan pendidikan,
diibaratkan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik dalam usaha
memahami dan mengenal ilmu pengetahuan. Agar para peserta didik berhasil
dalam mencapai tujuan itu, maka secara bertahap mereka perlu mengenal hakikat
pengetahuan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan Islam
yang berkembang pada dasarnya mengarah pada lima (5) tipologi yang masing-
masing memiliki parameter dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi
pendidikan Islam itu sendiri dan juga pada pengembangan kurikulumnya.
Pertama, Perennial-esensialis salafi. Ciri-ciri pemikirannya adalah ia
menjawab persoalan pendidikan dalam konteks wacana salafi, memahami nash
secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat dengan ayat lain, ayat dengan hadits,
hadits dengan hadits, sehingga memungkinkan kurang adanya pengembangan dan
elaborasi. Jadi pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin
agama, kitab-kitab besar, kembali pada hal-hal yang utama (dasar) dan esensial,
serta matakuliah-matakuliah kognitif. Dalam kurikulum PAI bidang-bidang
ibadah khusus (sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain). Hal ini dimaksudkan untuk
i
88
melestarikan, mempertahankan, dan menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah
yang benar sesuai dengan amaliah para salaf as-shalih/ adanya penyelewengan di
bidang-bidang tersebut, akan segera diketahui dengan tolok ukur mereka. Inilah
antar lain yang dimaksud dengan tajdid (pembaruan) agama, yakni
mengembalikan ajaran agama kepada keadaannya semula sebagaimana yang
terjadi pada masa salaf al-shalih (zaman Nabi Muhammad, sahabat, dan tabi'in).
Kedua, Perennial-esensialis mazhabi. Ciri-ciri pemikirannya menekankan
pada pemberian Syarh dan Hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, dan
kurang ada keberanian mengkritisi atau mengubah substansi materi pemikiran
pendahulunya. Pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin
dan nilai-nilai agama sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab
karya ulama terdahulu, yang berisi hal-hal yang utama (dasar) dan esensial, serta
mata kuliah-mata kuliah kognitif sebagaimana yang ada pada masa pasca salaf.
Dalam kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus, misalnya dimaksudkan
untuk melestarikan, mempertahankan, menyebarkan pemikiran kaidah dan
ubudiyah hasil karya-karya imam-imam madzhab terdahulu serta
mengamalkannya sejalan dengan pandangan mereka, tanpa ada keberanian untuk
mengkritisi dan mengubah substansi pemikiran para pendahulunya.
Ketiga, Tipologi modernis. Ciri-ciri pemikirannya adalah ia tidak
berkepentingan untuk mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem
pendidikan para pendahulunya, lapang dada dalam menerima dan mendengarkan
pemikiran pendidikan dari manapun dan siapapun untuk kemajuan pendidikan
Islam, serta selalu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali pendidikan
i
89
Islam dengan tuntutan perubahan social dan perkembangan Iptek. Pengembangan
kurikulum PAI ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan
berkembang di lingkungannya atau dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya
dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektif ajaran dan
nilai-nilai agama Islam. Dalam pengembangan kurikulum PAI misalnya, peserta
didik diajarkan untuk menggali, menemukan, mengindentifikasi masalah-masalah
kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kenakalan remaja, narkoba dan lain-lain.
Keempat, Perennial-essensialis kontekstual- falsifikatif menekankan
perlunya: (1) sikap regresif dan konservatif terutama dalam konteks pendidikan
agama, yang menghormati dan menerima konsep pendidikan tradisional yang
sudah mengakar dalam kehidupan umat Islam dengan melakukan kontekstualisasi
dan falsifikasi; (2) sikap rekonstruktif yang kurang radikal; (3) wawasan
kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan
Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial.
Pengembangan kurikulum PAI disamping ditekankan pada pelestarian doktrin-
doktrin dan nilai-nilai agama yang dipandang mapan sebagaimana tertuang dan
terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yang berisi hal-hal yang utama (dasar)
dan essensial, serta matakuliah-matakuliah kognitif pada masa salaf.
Kelima, Rekonstruksi social, bahwa pendidikan agama Islam bertujuan
untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-
masalah yang dihadapi umat manusia, yang merupakan bagian dari kewajiban dan
tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk memecahkannya melalui dakwah bi
al-hal, baik yang terkait dengan masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya
i
90
ataupun lainnya, dan mengajarkan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan
untuk memecahkan semua problem tersebut agar dapat berpartisipasi dalam
melakukan islah (perbaikan) dan amar ma'ruf nahi munkar, sehingga dapat
terwujud suatu tatanan masyarakat baru yang lebih baik. Kurikulumnya
memusatkan perhatian pada masalah-masalah sosial dan budaya yang dihadapi
masyarakat dan mengharapkan peserta didik dapat memecahkan masalah tersebut
melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Dengan dilandasi
pandangan aliran interaksional kurikulum rekonstruksi sosial mengharapkan
mahasiswa dapat berinteraksi, bekerjasama dengan dosen dan mahasiswa lainnya,
maupun sumber-sumber belajar yang tersedia, untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam masyarakat menuju masyarakat yang lebih baik.
Kelima tipologi tersebut dikonseptualisasikan Muhaimin dari hasil kajian
terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-
pola pemikiran Islam yang berkembang dalam menjawab tantangan dan
perubahan zaman. Dan menurut Muhaimin tipologi-tipologi diatas agaknya masih
lebih mengembangkan wawasan kependidikan Islam masa lalu dan masa
sekarang, dan kurang menyentuh wawasan antisipasi masa depan.
74
Dilain pihak, selain pemikiran Muhaimin terdapat filsafat pendidikan yang
juga mengembangkan wawasan antisipasi masa depan, yang dikembangkan oleh
Muhadjir (2000) sebagai rekonstruksi sosial. Filsafat pendidikan tersebut
berangkat dari bottom up yang dibangun dari grass root, dalam pluralisme, dan
dalam konteks mengejar keunggulan. Berbeda halnya dengan rekonstruksi sosial

74
Ibid, hlm.105
i
91
tahun 1970-an yang top down dan lebih berorientasi ke teknis planning. Menurut
Muhadjir (2000) bahwa kompleksitas kehidupan pluralistik menuntut seseorang
untuk tidak menampilkan konstruk tertentu yang closed ended, tetapi
menampilkan konstruk yang terus dikembangkan bolak balik antara empiris dan
konsep teori. Karena percepatan perubahan sosial dan lain-lainnya semakin tak
terduga, maka rekonstruksi sosial tersebut perlu dikembangkan postparadigmatik,
yakni paradigmanya terus dikembangkan. Operasional kurikulum misalnya, perlu
dikembangkan untuk selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman atau
updating kurikulum secara berkelanjutan. Kurikulum pendidikan yang meliputi
program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu kurikulum dianggap sebagai bagian
yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar, sehingga dalam
pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama
dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa
mengikuti program-program yang ada di dalamnya, maka inovasi pendidikan
tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam
pembaruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan
kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaruan pendidikan dan
tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.
Jadi hasil kajian menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan
pemikiran yang relevan dengan tuntutan masyarakat madani adalah pemikiran
berwawasan Rekonstruksi social, disamping menekankan perlunya sikap progresif
dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipatif dalam menghadapi perkembangan
i
92
iptek, tuntutan perubahan, dan berorientasi ke masa depan. Ia sangat concern
terhadap pengembangan sistem pendidikan Islam yang opened-ended, cepat
merespon tuntutan-tuntutan yang ada pada masa sekarang dan yang akan terjadi di
masa mendatang, dan komitmen terhadap pengembangan kreativitas yang
berkelanjutan. Tugas pandidikan Islam terutama membantu agar manusia menjadi
cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggungjawab terhadap pengembangan
masyarakatnya dilandasi oleh tingginya kualitas Iman dan takwa terhadap Allah
SWT. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya:
a) Upaya menumbuhkembangkan kreativitas peserta didik secara
berkelanjutan;
b) Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai
insani dan ilahi; dan
c) Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang mampu mengantisipasi
masa depan, dan/atau mampu memberi corak struktur kerja masa depan
yang dijiwai oleh spirit Islam.

Dalam hal ini penulis setuju dengan pandangan Muhaimin, yakni bahwa
tipologi yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi social yang
teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:
a) Bangsa Indonesia mengakui Pancasila, sebagai dasar negara, sila pertama
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menunjukkan keharusan bangsa
Indonesia untuk bersikap teosentris;
b) Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang sangat rentan terhadap
timbulnya konflik-konflik, namun demikian mereka bertekad untuk
Berbhinaka Tunggal Ika. Pengembangan pendidikan Islam berusaha
menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yang mampu membentuk
manusia yang memiliki kesalehan pribadi sekaligus kesalehan sosial, yakni
melalui daya kreativitasnya memiliki keunggulan partisipatoris yang
dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan takwa terhadap Allah SWT;
c) Terdapat kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa depan yang
mengarisbawahi perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan peserta didik
yang unggul dalam iptek, produktif dan kompetitif, dengan tetap memiliki
kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam hidup bersama dan kesadaran
bersama dalam demokratis.

i
93
Konstruksi filosofis dari tipologi rekonstruksi social yang teosentris
adalah:
a) Secara epistemologik, akal-budi manusia perlu dikembangkan secara
berkelanjutan dalam proses pendidikan Islam, baik melalui taallum maupun
taqarrub, agar semakin bersikap rasional-kritis, kreatif, mandiri, bebas dan
terbuka, bersikap rasional-empirik, obyaktif-empirik, obyektif-matematis,
dengan tetap memiliki komitmen terhadap nilai-nilai amanah dan
tanggungjawab individu dan sosial, sikap solidaritas terhadap sesama serta
terhadap makhluk lainnya, dan mampu mempertanggungjawabkan segala
amal perbuatannya dihadapan Tuhannya;
b) Secara ontologik, realitas bangsa Indonesia adalah pluralistik, yang sangat
rentan terhadap timbulnya konflik-konflik, bahkan di dalam tubuh
masyarakat Islam sendiri terdapat keragaman internal. Dengan bertekad
untuk ber-Bhineka Tunggal Ika, maka moral hidup ditampilkan dalam
bentuk sikap keterbukaan, toleransi dan demokratis, mampu membuat
overlapping concensus antar etnik, ras dan antar agama, serta percepatan
arus perubahan social. Suasana tersebut menuntut terwujudnya sumber daya
manusia yang unggul baik dalam aspek intelektual, profesionalitas, maupun
moral dan spiritual;
c) Secara aksiologik, perlu diakui adanya keragaman tata nilai antar agama dan
mungkin juga antar etnik. Dalam konteks kehidupan nasional dan juga
global, tumpang tindihnya kesepakatan tata nilai mesti terjadi, tetapi perlu
dididikkan untuk mengaktualisasikan hak dan kewajiban asasi manusia,
dengan bertolak dari satu keyakinan universal dan adil. bahwa yang tidak
baik akan memperoleh siksa Tuhan.
75


Perspektif rekonstruksi social teosentris adalah bertolak dari kajian hakikat
manusia sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya di Bumi. Sebagai hamba-Nya, ia
mempunyai potensi ruhaniah yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fitrah,
sehingga ia siap mengadakan hubungan vertical dengan-Nya (Habl min Allah)
sebagai manifestasi dari sikap teosentris manusia yang mengakui Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sebagai khalifah-Nya, ia al-aql dan al-qalb (temuan Baharuddin,
2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks hubungan
horizontal (Habl min al-nas), yaitu hubungan antara sesama ciptaan-Nya (alam

75
Ibid, hlm 102
i
94
dan sesama manusia), yang diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi social secara
berkelanjutan untuk mencapai ridha-Nya. Jadi dalam hal ini penulis setuju dengan
pendapat Muhaimin dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam dalam
mengembangkan PTAI ke masa depan dengan melihat fenomena yang terjadi di
dalam masyarakat.
Filsafat ilmu mempunyai makna yang sangat penting bagi pengembangan
ilmu pengetahuan. Arti penting ini dapat dilihat dari kadar keterlibatannya dalam
berbagai bidang ilmu lainnya, tidak terkecuali agama Islam. Sebagaimana
penuturan Abdullah, ilmu apapun yang disusun, diajarkan, disebarluaskan secara
lisan maupun tulisan meniscayakan paradigma kefilsafatan. Asumsi dasar seorang
ilmuan berikut metode (proses dan prosedur) yang diikuti, kerangka teori, peran
akal, tolok ukur validitas keilmuan, prinsip-prinsip dasar, hubungan subyek dan
obyek merupakan beberapa hal pokok yang terkait dengan struktur fundamental
sebuah bangunan keilmuan. Dengan demikian, tidak ada sebuah ilmupun-terutama
yang telah tersistematiskan sedemikian rupa dapat mengarahkan dan
menggerakkan kerangka kerja teoritik maupun praktisi keilmuan serta
membimbing arah penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
Disinilah filsafat ilmu merupakan struktur fundamental yang mendasari,
melatar belakangi dan mendorong kegiatan keilmuan. Namun, pada kenyataan
dilapangan menunjukkan tidak semua dosen keislaman di PTAI memahami secara
baik persoalan yang amat fundamental ini. Bisa jadi mereka yang mengajarkan
cabang-cabang ilmu keislaman, yang mungkin saja sangat mendetail, terlepas
begitu saja dan kurang begitu memahami kerangka teori yang digunakan oleh
i
95
bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsekuensinya pada praksis-
sosial-keagamaan.
Apabila kita melihat fungsi dan peran PTAI bagi pembangunan bangsa
dan Negara di masa mendatang, maka akan tampak kaitan yang erat antara ide
dasar pendirian Perguruan Tinggi dengan filsafat ilmu. Memang menurut Dorst
dalam tulisannya "untuk apa Perguruan Tinggi di dirikan" (1990:3-4) bahwa ide
dasar didirikannya Perguruan Tinggi adalah untuk menciptakan manusia yang
intelektual yang humanis, sanggup berfikir dan bekerja untuk masyarakat dan
Negara.
Dalam upaya pengembangan kurikulum PAI memerlukan landasan yang
jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang ambing oleh arus transformasi
dan inovasi pendidikan dan pembelajaran yang begitu dahsyat sebagaimana yang
terjadi akhir-akhir ini. Apalagi inovasi itu pada umumnya cenderung bersifat top
down innovation melalui strategi power coersive atau pemaksaan dari atasan yang
berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk
meningkatkan efisiensi dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan
diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, mengajarkan dan bahkan
memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya.
Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.
Dengan merujuk pada tulisan Djunaidi, salah satu guru besar di UIN
Malang maka penulis dapat menganalisis bahwa Apabila dihubungkan dengan
agenda pengembangan kurikulum gencarnya inovasi pendidikan yang pada
gilirannya ditransfer begitu saja ke dalam matakuliah-matakuliah pendidikan
i
96
agama Islam, maka perlu didudukkan secara proporsional dalam kerangka
landasan filsafat pendidikan Islam yang kokoh. Makna perubahan kurikulum di
setiap Perguruan Tinggi tentu berbeda-beda antara satu dengan yang lain,
tergantung pada nilai-nilai dasar yang dijadikan filosofi pendidikan di dalamnya,
kondisi institusional, situasi sosial dan masyarakat tempat Perguruan Tinggi
tersebut didirikan.
Pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan maupun selalu
mengandaikan adanya pertimbangan-pertimbangan rasional dan landasan berfikir
filosofis yang mendalam. Pertimbangan dan landasan berfikir seperti ini dalam
usaha reformasi pendidikan akan membantu dalam memahami setiap akar
persoalan. Meskipun cara ini mungkin memiliki banyak nuansa yang kompleks,
namun dalam pengembangan kurikulum tersebut tidak dapat dihindarkan. Oleh
karena itu Sirotnik menegaskan soal pentingnya memperbaiki cara pengembangan
kurikulum secara professional dalam dunia pendidikan.
Menurutnya, proses pengembangan kurikulum harus dimulai dengan
perbedaan antara tanggung jawab dan akuntabilitas. Tanggung jawab sebenarnya
meliputi akuntabilitas, tetapi juga mencakup kualitas yang berlapis, seperti
mampu membuat keputusan moral dan rasional; dapat dipercaya atau reliable; dan
menghasilkan keputusan yang tepat. Itulah sebabnya, para pendidik yang
bertanggungjawab adalah mereka yang mampu menjawab tantangan dalam
pengembangan kurikulum secara tepat dan dapat dipertahankan akuntabilitasnya
secara public.
i
97
Dalam ajaran Islam, segala tugas yang dibebankan kepada kita adalah
amanat. Usaha perbaikan kualitas pendidikan merupakan pekerjaan mendasar
dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah, sebab, sebagaimana
dinyatakan Hangstrom, pendidikan tidak lain adalah investasi masa depan. Karena
itu, para pengambil kebijakan seyogyanya memiliki kisi-kisi pemahaman yang
luas dan dalam menentukan pilihan.
76
Jadi penulis sependapat bahwa filsafat
pendidikan Islam sangatlah penting dan dapat dijadikan patokan dasar dalam
mengembangkan pendidikan Islam melalui kurikulum.

























76
Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan Tinggi Islam. Dalam Pidato Pengukuhan Yang Disampaikan Pada Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Pendidikan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang, Depag dan UIN Malang, 2007, hlm16-18
i
98
BAB IV
UPAYA MUHAIMIN DALAM PEMBARUAN PARADIGMA
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM DI PTAI

A. Konsep Paradigma Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
di PTAI
Thomas Kuhn, dalam bukunya The stucture of scientific revolutions, yang
pertama kali mempopulerkan makna paradigma di dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan praktik atau tingkah laku manusia didalam kehidupan sehari-
hari. Konsep paradigma bermula dari kajian sejarah dan filsafat sains dan
kemudian konsep serta pengertian paradigma juga telah digunakan oleh ahli-ahli
ilmu tingkah laku (behavioral sciences). Pengertian paradigma secara etimologi,
berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti type of something, model,
pattern (bentuk sesuatu, model, pola). Secara sederhana paradigma diartikan
sebagai cara pandang dan cara berpikir. Paradigma sebagai dasar sistem
pendidikan adalah cara berpikir atau sketsa pandang menyeluruh yang mendasari
rancang bangunan suatu sistem pendidikan.
1
Tuntutan pertama berpikir ilmiah adalah memiliki sudut pandang tertentu,
sehingga disiplin ilmu dapat dinyatakan berhak berdiri sendiri sebagai suatu
disiplin ilmu yang berbeda atau terpisah dari ilmu yang lain, dimana sudut
pandang tersebut akan menghasilkan apa yang disebut sebagai objek formal ilmu
yang objek materialnya bisa sama dengan ilmu lainnya. Objek material ilmu-ilmu

1
Hujair AH Sanaky, Op.Cit., hlm 94-95
i
99
sosial, dimana ilmu pendidikan termasuk dalam kategori ilmu ini, misalnya adalah
manusia, sedangkan objek formalnya berbeda-beda. Tugas ilmu adalah
menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini agar dapat dipahami,
manfaat, dan terpelihara. Bagi ilmuwan muslim, semuanya itu dalam rangka
meningkatkan kualitas Iman dan Takwa kepada Allah SWT. Serta mengagungkan
AsmaNya semata. Untuk menjelaskan sesuatu agar dapat dipahami seterusnya
itu diperlukan suatu paradigma, yakni cara memandang sesuatu, atau dalam sains,
sebuah model, pola atau teori ideal, yang dari sudut pandang itu sebuah fenomena
dijelaskan (Tim Penulis Rosda, 1995). Yang diparadigmakan itu menentang dari
filosofis sampai ke operasional. Dengan paradigma ini, maka seseorang akan
dapat menjaga konsistensi alur berpikirnya dalam menganalisis, berargumentasi,
serta dalam sintesis, evaluasi, kesimpulan dan keputusan.
Paradigma berasal dari bahasa Yunani, paradeigma, yang aslinya adalah
istilah ilmiah, tetapi secara umum kini digunakan untuk membuat persepsi,
asumsi, teori, kerangka acuan, atau kacamata yang digunkan untuk memandang
dunia. Paradigma itu seperti peta kawasan atau kota. Bila tidak tepat, tak akan ada
bedanya betapa kerasnya seseorang bekerja untuk menemukan tujuannya atau
betapa positifnya cara berpikir seseorang, maka ia tetap saja akan tersesat.
Sebaliknya, bila petanya tepat, maka ketelitian dan sikap baru akan berguna.
Dalam konteks pengembangan ilmu, paradigma merupakan khas
mekanisme berpikirnya seorang ahli. Validitas suatu paradigma akan menjadi
lebih tinggi jika banyak ahli yang mengadopsinya. Paradigma ini lebih
mendeskripsikan mekanisme atau dinamika, serta lebih menonjolkan interaksi dan
i
100
interpedensi antarkomponen atau faktor (Muhajir,1990). Misalnya, hubungan
interaktif lima faktor pendidikan, yaitu tujuan, pendidik, anak didik, alat
pendidikan, dan lingkungan adalah suatu contoh paradigma.
2
Walaupun untuk
pertama kali terma paradigma dipergunakan sebagai penjelas ilmu-ilmu sosial,
namun demikian teoritisasi perkembangan ilmu tersebut dalam kerangka struktur
paradigmatik dapat digunakan untuk menjelaskan kesejarahan pemikiran manusia
khususnya pemikiran Islam ini sendiri. Istilah ini pertama kali diperkenalkan
Thomas Kuhn untuk menjelaskan teorinya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan yang terjadi secara revolusioner.
Teori pekembangan diatas berbeda dengan kecenderungan umum pada
waktu itu yang menganggap bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bersifat
kumulatif. Kuhn menganggap pandangan demikian sebagai mitos yang tidak lagi
dapat menjelaskan dinamika ilmu pengetahuan. Bagi Kuhn, setiap teori selalu
akan berhadapan dengan masa ketidakberlakuan yang dimulai oleh terjadinya
anomali yaitu ketika berbagai perubahan realita menjadi tidak terjelaskan.
Keadaan ini kemudian berkembang menjadi gugatan realitas sosial atas
keberlakuan suatu teori sehingga teori sehingga teori tersebut mengalami masa
krisis. Jawaban dari suatu krisis teori inilah kemudian melahirkan paradigma baru.
Pandangan Thomas khun dalam bidang yang lebih substansial dapat dicari
sumbernya dalam dialektika Hegel walaupun agak berbeda dalam mengartikan
suatu perubahan. Hegel justru memandang bahwa nilai-nilai sintesa pertama akan
terbawa dalam bentuk baru dalam sintesa, sementara revolusi Kuhn lebih

2
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Menurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.1-3
i
101
mencerminkan perubahan radikal.
3
Apa yang dimaksud dengan paradigma Kuhn
adalah pandangan mendasar mengenai suatu pokok persoalan ilmu tertentu.
Secara lebih sederhana Robert Friendrichs merumuskan makna paradigma itu
sebagai pandangan mendasar suatu disiplin ilmu mengenai apa yang menjadi
pokok persoalan.
Dalam suatu paradigma dapat berkembang berbagai pandangan teoritis
yang berbeda-beda. Namun demikian perbedaan itu terintegrasi melalui kesamaan
pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian berbagai teori tersebut. Dalam
pengertian dan fungsi demikian perbedaan itu terintegrasi melalui kesamaan
pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian berbagai teori tersebut. Dalam
pengertian dan fungsi demikian inilah paradigma dapat dipergunakan untuk
menjelaskan fenomena pluralitas pandangan mengenai suatu masalah tersebut.
Dalam fungsi demikian hendak dijelaskan berbagai perbedaan teoritis pemikiran
Islam khususnya di bidang pendidikan Islam Kesadaran komunitas ilmuwan
dalam pemikiran Islam mengenai perbedaan dan keterbatasan masa keberlakuan
suatu pandangan toritis diharapkan dapat dipandang sebagai unsur dinamis dari
pemikiran Islam. Kesadaran ini perlu, sehingga perbedaan pemikiran Islam tidak
terjebak pada paradigma konflik apalagi jika disadari bahwa dalam jangka waktu
tertentu akan mengalami anomali dan krisis yang mendorong lahirnya suatu
paradigma baru.
4

Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus di tempuh oleh pelari.

3
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim (Yogyakarta: Sipress, 1993),
hlm.16
4
Ibid, hlm. 17
i
102
Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti a title
rececourse (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olah raga).
Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dalam dunia pendidikan,
memberinya pengertian sebagai circle of instruction yaitu suatu lingkaran
pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
5
Sementara pendapat
yang lain dikemukakan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau gelar.
6
Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow & Crow sebagaimana yang
dikutip Abuddin Nata yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan
pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis
yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu.
7
Sementara itu, pengertian kurikulum sendiri berkembang sejalan dengan
perkembangan teori dan praktek pendidikan, definisi kurikulum sebagaimana
yang telah disebut diatas dipandang sudah ketinggalan zaman. Dalam pandangan
yang muncul kemudian para pakar pendidikan memberikan pengertian
pendidikan, yang sangat luas tidak hanya di kelas tetapi juga diluar kelas. Saylor
dan Alexander sebagaimana dikutip S. Nasution misalnya, mengatakan bahwa
kurikulum tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran akan tetapi segala usaha
sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, kurikulum tidak hanya
mengenai situasi didalam sekolah akan tetapi juga diluar sekolah.
8
S. Nasution
sendiri mengatakan bahwa kurikulum bukanlah sekedar dokumen yang dicetak

5
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), Hlm. 78
6
Hamdani dan Fuad, Filasafat Pendidikan Islam,,( Bandung : Pustaka Setia, 2001),
hlm.131
7
Abuddin Nata, Filasafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.123
8
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 9
i
103
atau distensil. Untuk mengetahui kurikulum sekolah tidak cukup mempelajari
buku kurikulumnya melainkan juga apa yang terjadi didalam sekolah, didalam
kelas, diluar kelas, kegiatan-kegiatan di lapangan olah raga atau diaula, dan
sebagainya.
9
Sedangkan kurikulum yang dipaparkan menurut Muhaimin dalam
pengertian ynag sempit, kurikulum merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar disekolahan. Pengertian ini
menggarisbawahi adanya 4 komponen kurikulum, yaitu, isi/bahan, organisasi,
strategi. Sedangkan pengertian kurikulum dalam arti yang luas, kurikulum
merupakan segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk
disajikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan (institusional,
kurikuler, dan instruksional). Pengertian ini menggambarkan segala bentuk
aktifitas sekolah yang sekiranya mempunyai efek bagi pengembangan peserta
didik, adalah termasuk kurikulum, dan bukan terbatas pada kegiatan belajar
mengajar saja.
10
Menurut pendapat muhaimin adalah sebagai berikut:
"Bahwa kurikulum operasional adalah berupa kajian keislaman jadi ilmu-ilmu
keislaman sebagai landasan dan ilmu-ilmu umum adalah bagian dari disiplin
ilmu yang komprehensif"
11

Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan diatas, terlihat dengan
jelas bahwa sebelumnya hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan didalam kelas,

9
Ibid. hlm.10
10
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya : Pusat Studi Agama,
Politik Dan Masyarakat (PSAPM) Bekerja Sama Dengan Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 182-183
11
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 20 Maret
2007
i
104
kemudian dalam perkembangannya kurikulum juga dilakukan di luar kelas seperti
aula, halaman kelas, dan sebagainya. Adapun tentang pengertian kurikulum
dalam pendidikan Islam, apabila kita kembali pada kamus-kamus bahasa arab,
maka istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj(kurikulum) bermakna jalan
yang terjang, atau jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai
bidang kehidupan. Apabila dikaitkan dengan bidang pendidikan, kurikulum
manhaj dimaksudkan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru
latih dengan orang-orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mereka.
12
Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum
adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran, yang disusun
secara sistematis sebagai dasar yang harus diikuti oleh guru-guru atau pendidik,
institusi pendidikan dalam membimbing peserta didik ke arah tujuan yang
didinginkan melalui akumulasi pengetahuan demi terbentuknya manusia
paripurna. Dari beberapa definisi tentang kurikulum tersebut, maka dapat
difahami bahwa pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai kegiatan
menghasilkan kurikulum; atau (1) proses mengaitkan suatu komponen dengan
yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik dan /atau (2)
kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan
kurikulum.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum tersebut. Ternyata
mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun dalam beberapa hal

12
Omar Muhammad Al-thoumy Al-Syabany. Falsafah Pendidikan Islam. Alih bahasa
Hasan Langgulung (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm.478
i
105
tertentu paradigma sebelumnya masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Hal
ini dapat dicermati dari fenomena sebagai berikut:
1) Perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari
ajaran-ajaran agama Islam, serta disiplin mental agama spiritual
sebagaimana pengaruh dari Timur Tengah, kepada pemahaman tujuan,
makna dan motivasi beragama Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran;
2) Perubahan dari cara berfikir tekstual dalam memahami dan menjelaskan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam;
3) Perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam
dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga
menghasilkan produk tersebut; dan
4) Perubahan dari pola pengembangan kurikulum yang hanya mengandalkan
pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum kearah
keterlibatan yang luas dari pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk
mengidentifikasi tujuan dan cara-cara mencapainya.

Kurikulum merupakan konsep studi yang luas. Banyak teori tentang
kurikulum. Beberapa teori yang menekankan pada rencana, yang lain pada
inovasi, pada dasar-dasar filosofis dan pada konsep-konsep yang diambil dari
perilaku manusia. Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas
teori-teori yang lebih menekankan pada isi kurikulum, pada situasi pendidikan
serta pada organisasi kurikulum.
13
Penekanan pada isi kurikulum. Strategi pengembangan yang menekankan
pada isi, merupakan yang paling lama dan banyak dipakai, tetapi juga terus
mendapat penyempurnaan atau pembaruan. Sebab-sebab yang mendorong
pembaruan ini adalah:
a) Pertama, karena didorong oleh tuntutan untuk menguatkan kembali nilai-
nilai moral dan budaya dari masyarakat.
b) Kedua, karena perubahan dasar filosofis tentang struktur pengetahuan.
c) Ketiga, karena adanya tuntutan bahwa kurikulum harus berorientasi pada
pekerjaan.

13
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum (Bandung : Remaja Rosda Karya,
2005), hlm.174
i
106
Faktor tersebut tidak timbul dari atau tidak hubungannya dengan
perkuliahan, tetapi sangat mempengaruhi perkembangan kurikulum. Pengaruh
terhadap pengembangan kurikulum umpamanya, penguatan kembali nilai-nilai
moral dan budaya akan meminta perhatian yang lebih besar kepada kumpulan
ilmu pengetahuan masa lalu, orientasi kepada pekerjaan akan lebih banyak
melihat masa depan, sedangkan titik tolak pada pandangan filosofis akan lebih
menekankan pada disiplin-disiplin keilmuan. Pengembangan kurikulum yang
menekankan pada isi bersifat material contered. Kurikulum ini memandang murid
sebagai penerima resep yang pasif. Anak dianggap sebagai bahan kasar yang tidak
berdaya. Salah satu atribut organisasi kurikulum yang didasarkan pada
pengetahuan, memungkinkan pengembangan dalam jumlah besar.
Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan
pada masalah dimana, bersifat khusus, sangat memperhatikan dan disesuaikan
dengan lingkungannya. Tipe ini akan menghasilkan kurikulum berdasarkan
situasi-situasi lingkungannya. Tipe ini akan menghasilkan kurikulum yang benar-
benar merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang
menekankan pada situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan
kurikulum menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian antara
kurikulum dengan situasi dimana pendidikan berlangsung. Kurikulum ini ruang
lingkupnya sempit, masa pengembangannya juga relatif lebih singkat dari pada
desiminasinya.
Penekanan pada organisasi. Tipe kurikulum ini sangat menekankan pada
proses belajar-mengajar. Meskipun dengan berbagai perbedaan dan pertentangan,
i
107
umpamanya antara konsep sistem instruksional (pengajaran program, pengajaran
modul, pengajaran dengan bantuan komputer) dengan konsep pengajaran
(perkembangan) dari Bruner dan Jean Piaget, keduanya sangat mempengaruhi
perkembangan kurikulum tipe ini. Perbedaan yang sangat jelas antara kurikulum
yang menekankan pada organisasi dengan yang menekankan pada isi dan situasi,
adalah memberikan perhatian yang sangat besar kepada si pelajar atau siswa.
Dalam teori kurikulum setidak-tidaknya terdapat 4 karakteritik dalam
pengembangan kurikulum diantaranya, yaitu: pendekatan subyek akademik;
pendekatan humanistik; pendekatan teknologi; dan pendekatan rekonstruksi
sosial.
14
1. Karakteristik Pengembangan Kurikulum Melalui Pendekatan Subyak
Akademis.
Pendekatan ini adalah pendekatan yang tertua, sejak sekolah yang pertama berdiri
kurikulumnya mirip dengan tipe ini.
15
Pendekatan subyak akademis dalam
menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi
disiplin ilmu masing-masing. Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi
tertentu yang berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembangan
kurikulum subyek akademik dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu
mata kuliah apa yang harus dipelajari mahasiswa, yang diperlukan untuk
(persiapan) pengembangan disiplin ilmu. Tujuan kurikulum ini adalah yang solid
serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses penelitian.


14
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah,
Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.139
15
Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit,. hlm. 81
i
108
2. Karakteristik Pengembangan kurikulum melalui pendekatan humanistik.
Pendekatan humanistik dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide
memanusiakan manusia. Penciptaan konteks yang memberi peluang manusia
untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan
dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembangan program
pendidikan. Kurikulum pada pendekatan ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a) Partisipasi, kurikulum ini menekankan partisipasi mahasiswa dalam belajar.
kegiatan belajar adalah belajar bersama, melalui berbagai bentuk aktivitas
kelompok. melalui partisipasi kegiatan bersama. Mahasiswa dapat
mengadakan perundingan, persetujuan, pertukaran kemampuan,
bertanggungjawab bersama, dan lain-lain. ini menunjukkan ciri yang otoriter;
b) Integrasi, melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok terjadi
interaksi, interpenetrasi, dan integrasi dari pemikiran, dan juga tindakan;
c) Relevansi, isi pendidikan relevansi dengan kebutuhan, minat dan kebutuhan
mahasiswa karena diambil dari dunia mahasiswa oleh mahasiswa sendiri;
d) Pribadi anak, pendidikan ini memberikan tempat utama pada kepribadian
anak;
e) Tujuan, pendidikan ini bertujuan pengembangan pribadi yang utuh, yang
serasi baik didalam dirinya maupun dengan lingkungan secara menyeluruh.

3. Karakteristik pengembangan kurikulum melalui pendekatan teknologi
Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan
bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-
tugas tertentu. Pembelajaran PAI dikatakan menggunakan pendekatan teknologis,
bilamana yang menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah
belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan menilainya.
Pendekatan teknologis ini sudah tentu mempunyai keterbatasan-keterbatasan,
antara lain: ia terbatas pada hal-hal yang bisa dirancang sebelumnya. Karena dari
itu pendekatan teknologis tidak selamanya dapat digunakan dalam pembelajaran
PAI. Kalau kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam hanya sampai kepada
i
109
penguasaan materi dan ketrampilan menjalankan ajaran agama, mungkin bisa
menggunakan pendekatan teknologis, sebab proses dan produknya bisa dirancang
sebelumnya. Pesan-pesan pendidikan agama Islam tidak semua dapat didekati
secara teknologis. Sebagai contoh: bagaimana membentuk kesadaran keimanan
mahasiswa terhadap Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-kitabNya dan lainnya.
Masalah kesadaran keimanan banyak mengandung masalah yang abstrak, yang
tidak hanya dilihat dari prilaku riil atau konkritnya. Prinsip efisiensi dan
efektifitas (sebagai ciri khas pendekatan teknologis) kadang kala juga sulit untuk
dicapai dan dipantau oleh dosen, karena pembentukan keimanan, kesadaran
pengamalan ajaran Islam dan berakhlak Islam, sebagaimana tercantum dalam
tujuan pendidikan agama Islam, memerlukan proses yang relatif lama, yang sulit
dipantau hasil belajarnya dengan hanya mengandalkan pada kegiatan belajar
mengajar di kelas dengan pendekatan teknologis, karena itu perlu menggunakan
pendekatan lain yang bersifat non teknologis.
4. Karakteristik pengembangan kurikulum melalui pendekatan rekonstruksi
sosial.
16

Pendekatan rekonstruksi sosial dalam menyusun kurikulum atau program
pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat,
untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja
secra kooperatif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju pembentukkan
masyarakat yang lebih baik. Kurikulum rekonstruksi sosial disamping
menekankan isi pembelajaran atau pendidikan juga sekaligus menekankan proses

16
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah,
Perguruan Tinggi, Op.Cit., hlm.173
i
110
pendidikan dan pengalaman belajar. Pendekatan rekonstruksi sosial berasumsi
bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu
membutuhkan manusia lain, selain hidup bersama, berinteraksi dan bekerjasama.
Isi pendidikan terdiri atas problem-problem aktual yang dihadapi dalam
kehidupan nyata di masyarakat. Proses pendidikan atau pengalaman belajar
mahasiswa berbentuk kegiatan-kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan
kerjasama, baik antar peserta didik, peserta didik dengan guru/ dosen dengan
sumber-sumber belajar yang lain. Karena itu, dalam menyusun kurikulum atau
program pendidikan PAI bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat
sebagai isi PAI, sedang proses atau pengalaman belajar mahasiswa adalah dengan
cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan
kolaboratif, berupaya mencari pemecahan terhadap problem tersebut menuju
pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge,
1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan
seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan, maka
pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup
Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup
orang Islam.
17
Pandangan dan sikap hidup dipahami melalui makna hidup itu sendiri.
Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup seseorang
harus bisa mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan, dan

17
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam Di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2004), hlm.39
i
111
kebahagiaan dalam hidup. Konteks inilah para pemikir dan pengembangan
pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tidak
bisa dilepaskan dari sistem politik dan latar belakang sosio-kultural yang
mengitarinya. Secara histories-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul beberapa
paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut :
1. Paradigma formisme;
Didalam Paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sebagai dikotomi atau
diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Sehingga
pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau
kehidupan rohani saja. Karena itu, pengembangan pendidikan Islam hanya
berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi,
atau aspek kehidupan jasmani. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum
sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut. Paradigma formisme
mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih
berorientasi pada keakhiratan sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting,
serta menekankan pada pendalaman al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan)
yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains
(ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan
yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normative, doktiner dan
absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (aktor) yang loyal (setia),
memiliki sikap keberpihakan (commitment), dedikasi (pengabdian) yang tinggi
terhadap agama yang dipelihara. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang
bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman
i
112
sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normative dan doktiner
tersebut. Lembaga pendidikan Islam (terutama madrasah sebagai Pendidikan
Tinggi atau al-jamiah) tidak pernah menjadi Universitas yang difungsikan
semata-semata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan
nalar. Ia banyak diabdikan kepada al-ilm al-diniyah (ilmu-ilmu agama) dengan
penekanan pada fiqh, tafsir dan hadits. Sementara ilmu-ilmu nonagama
(keduniaan), terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan
sains dan teknologi, sejak awal perkembangan madrasah dan al-jamiah sudah
berada dalam posisi marginal. Islam memang tidak pernah membedakan antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan
dikhotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas
sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (alulum al-
diniyah) sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Bertolak dari kenyataan sejarah
tersebut, maka kemunduran peradaban Islam serta keterbelakangan sains dan
teknologi di dunia Islam di samping karena faktor dari luar juga banyak
dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri umat Islam sendiri, yang kurang peduli
terhadap kebebasan penalaran intelektual dan kurang menghargai kajian rasional-
empiris atau semangat pengembangan ilmiah dan filosofis. Dengan kata lain,
paradigma formisme dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan
pendidikan Islam.
2. Paradigma mekanisme;
Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek,
dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat
i
113
nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya
sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau
tidak. Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama,
nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, dan lain-lain. Hubungan
antar nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral
(independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier (Muhaimin, 1995).
Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi
umum yang bukan berciri khas agama Islam. Di dalamnya diberikan seperangkat
mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata
pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam
pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum,
yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Sebagai
implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti pendidikan agama
tersebut bergantung pada kemauan, dan Political-will dari para pembinanya dan
sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut, terutama dalam
membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya.
Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata pelajaran atau
mata kuliah lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), lateral
sekuensial, atau bahkan vertical linier. Kebijakan ini akan sulit
diimplementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang cukup puas
hanya dengan pola relasi horizontal lateral (independent). Barangkali kebijakan
tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang
mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan
i
114
tersebut adalah para guru agama harus memahami ilmu umum dan menguasai
ilmu agama, sebaliknya guru umum (bidang keahliannya). Bahkan guru agama
dituntut untuk menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan
hubungan antara keduanya. Namun demikian adanya kesulitan ketika berhadapan
dengan dasar pemikiran yang berbeda, sehingga terjadi konflik antara keduanya.
Contoh sederhana adalah menyangkut asal-usul manusia. Sains yang diajarkan di
sekolah bertolak dari dasar pemikiran bahwa manusia, sementara pendidikan
agama dari hasil penelitian terhadap sejumlah hewan untuk diterapkan kepada
manusia, sementara pendidikan agama dari hasil pemahaman terhadap wahyu
(kitab suci). Suasana tersebut menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik,
terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikan umum)
saling memaksakan kebenaran pandangannya. Agama memang bertolak dari
keimanan, sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari keimanan, sedangkan ilmu
pengetahuan bertolak dari keraguan. Dari sini peserta didik nampaknya diuji
pandangannya. Bila pandangan agama mendominasi pemikirannya, mungkin ada
kecenderungan untuk bersikap pasif dan statis, sedangkan bila ilmu pengetahuan
mendominasi pemikirannya maka ada kecenderungan untuk bersikap split of
personality. Jangan-jangan budaya NKK (Nepotisme, Korupsi, Kolusi) adalah
sebagai akibat dari pengembangan pendidikan Islam yang menggunakan
paradigma mechanism tersebut, terutama yang menerapkan pola relasi horizontal-
lateral (independent) dan lateral-sekuensial.


i
115
3. Paradigma organisme;
Paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa pendidikan Islam
adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang
rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/ semangat hidup
(weltanschauung) Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan
keterampilan hidup yang Islami. Dalam konteks pandangan semacam itu, Al-
Tarbiyah Al Islamiyah (pendidikan Islami) berarti al-tarbiyah fi al-Islami
(pendidikan dalam Islam) dan al-tarbiyah inda al-muslimin (pendidikan di
kalangan orang-orang Islam). Pengertian ini menggarisbawahi pentingnya
kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental
values yang tertuang dan terkandung dalam al-Quran dan al-sunnah al-shahihah
sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi pemikiran dari para
ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu, nilai ilahi/ agama/
wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek
kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi
horizontal-lateral atau lateral sekuensial, tetapi harus berhubungan vertical linier
dengan nilai Ilahi/ agama. Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan
Islam diharapkan dapat mengintegrasi nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai
agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus
hidup didalam nilai-nilai agama. Paradigm organism perlu segera direalisir,
karena betapa kita telah melihat bahaya yang dialami oleh dunia barat yang
memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama (paradigma formism), demikian
i
116
pula produk pendidikan Islam yang menerapkan paradigm mechanism yang
belum mampu menjadikan pendidikan agama sebagai factor integrative dalam
pengembangan keilmuan, bahkan masing-masing berbicara dengan bahasanya
sendiri (relasi horizontal-lateral) dan di antara mereka tidak terjadi komunikasi
dan interaksi yang produktif dan dinamis.
Menurut H.A.R. Tilaar (1998), bahwa penelitian, pemikiran, dan gagasan-
gagasan dari para ahli yang terpisah-pisah tersebut (horizontal-
lateral/independent) dapat berbahaya dalam eksistensi kehidupan manusia.
Misalnya bahaya dari praktek bioteknologi dengan adanya praktek cloning
terhadap manusia. Meskipun perintah Amerika Serikat misalnya telah melarang
teknologi cloning terhadap manusia, tetapi hal ini telah merupakan indikasi
perlunya kita berhati-hati di dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang
terlepas dari nilai-nilai agama. Karena itu Universitas Islam haruslah merupakan
suatu model lembaga pendidikan tinggi masa depan karena lembaga tersebut akan
mengintegrasikan nilai-nilai agama dan etik yang pada akhirnya merupakan
karakteristik dari masyarakat madani era global abad 21. Dari berbagai uraian
diatas dapat ditegaskan bahwa upaya memotret paradigma pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia memang amat diperlukan untuk mempertajam
pemahaman kita akan keunikan realitas pendidikan Islam yang sedang tumbuh
dan berkembang di Indonesia, kendatipun hal itu bukan pekerjaan yang sederhana
dan bahkan akan menimbulkan kontroversi.
18


18
Ibid, hlm. 40-47
i
117
B. Strategi Pembaruan Pendidikan Islam melalui Pengembangan kurikulum
Menuju Masyarakat Madani.
Strategi pembaruan pengembangan kurikulum dalam rangka pembaruan
pendidikan agama Islam dilaksanakan dengan melalui beberapa cara, yang dapat
ditempuh dengan melalui hidden kurikulum, karena terkait dengan upaya
penciptaan masyarakat madani yang notabene masyarakat yang beradab,
berbudaya, mencintai perbedaan, demokratis, menghargai hak asasi manusia dan
lain-lain, jadi diharapkan dengan melalui kurikulum tersembunyi ini akan tercapai
harapan menuju masyarakat madani.
Jadi menurut penulis suatu budaya akademik yang baik memang belum
disadari kegunaannya oleh Perguruan Tinggi. Karena itu perlu perhatian
pemerintah dan tokoh pendidikan untuk mengembangkan kesadaran ini dan
memberi bantuan untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, Perguruan Tinggi
tidak cukup hanya berorientasi pada kurikulum resmi yang ditentukan dari pusat,
tetapi juga harus bisa menghasilkan hidden curiculum berupa tradisi hubungan
antar mahasiswa, dosen, karyawan, dan lainnya sehingga dapat menghasilkan
sikap serta pola perilaku modern dan berbudaya. Dan dalam hal ini penulis
cenderung pada pendapat dengan tokoh pendidikan, yakni Muhaimin.
Dalam buku Muhaimin yang berjudul "Nuansa Baru Pendidikan Islam,
Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan" yang merujuk pada pendapat Fajar
(2003) ada beberapa persoalan dasar yang perlu dipertimbangkan tatkala
mengagendakan rencana pengembangan pendidikan Islam, yaitu:
1) Stigma keterpurukan bangsa, yang berakibat kurangnya rasa percaya diri;
i
118
2) Eskalasi konflik, yang di satu sisi lain mengancam harmoni bahkan
integrasi sosial baik lokal, nasional, regional maupun internasional;
3) Krisis moral dan etika, yang melanda kehidupan bangsa kita dalam berbagai
tataran administratif pemerintahan pusat atau daerah dan dalam berbagai
sektor negara maupun swasta;
4) Pudarnya identitas bangsa, terutama berhadapan dengan hegemoni kekuatan
dunia yang unggul baik dari aspek politik, sosial maupun kultural.

Bertolak dari persoalan-persoalan dasar tersebut, Pendidikan Agama Islam
di Perguruan Tinggi maupun masyarakat perlu diorientasikan pada:
a. Pengembangan SDM, karena keterpurukan bangsa bisa diobati dan
disembuhkan dengan tersedianya SDM yang tangguh: cerdas secar
intelektual, sosial dan spiritual, memiliki dedikasi dan disiplin, jujur, tekun,
ulet dan inovatif;
b. Arah pendidikan agama Islam perlu dikemas dalam watak multikultur,
ramah menyapa perbedaan budaya, sosial dan agama;
c. Mempertegas misi liutammima makarimal akhlaq (untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak) sebagai misi utama rasulullah;
d. Melakukan spiritualisasi watak kebangsaan, termasuk spiritualisasi berbagai
aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradab (Fadjar, 2003). pada
yang terakhir ini sekaligus mengandung makna perlunya pengembangan
pendidikan agama sebagai budaya.

Sedangkan menurut Muhaimin Paling tidak ada beberapa landasan
mengenai perlunya pendidikan agama Islam dikembangkan sebagai budaya, yakni
pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun
2003, orang tua yang memiliki hak prerogratif untuk memilih Perguruan Tinggi
bagi anak-anaknya, penyelengaraan Pendidikan Islam di Perguraun Tinggi tidak
lepas dari nilai-nilai, norma, perilaku, keyakinan maupun budaya, dan selama ini
banyak persepsi orang tentang prestasi perguruan tinggi dilihat dari dimensi
tampak, bisa diukur dan dikuantifikasikan, padahal yang penting adalah nilai-
nilai, keyakinan, budaya, norma yang berlaku, dan terakhir adalah budaya
Perguruan Tinggi mempunyai dampak kuat terhadap prestasi kerja. Budaya
akademik merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses dan
i
119
gagalnya pendidikan Islam. Di Perguruan Tinggi. Jadi pembahasan ini mengarah
pada tinjauan konteks pembudayaan akademik yakni dengan melalui kegiatan
yang terencana secara sistematis berkaitan dengan peningkatan kualitas akademik
atau sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan oleh civitas akademika berkaitan
dengan nilai-nilai akademik.
Upaya pengembangan budaya akademik setidaknya diarahkan pada hal-hal
seperti:
1) Menanamkan motivasi dan dorongan moral, yaitu menyadari dimensi dan
makna kegiatan akademis dari dan dalam sebagai institusi Pendidikan
Tinggi Agama Islam untuk berprestasi dan mencapai keunggulan ilmiahnya;
2) Membantu ilmuan dan peneliti yang cerdas dan berkepribadian dengan
semangat hidup, etos kerja serta dedikasi yang tinggi dalam menguasai iptek
serta mengembangkan teori ilmiah, meningkatkan mutu dan kemampuan
metodologi menurut disiplin ilmu serta menerapkan pengetahuan secara
bertanggungjawab sesuai dengan kebenaran hati nurani yang jernih;
3) Menciptakan iklim dan suasana kehidupan kampus yang mendorong
terbentuknya komunitas ilmiah yang dinamis dan kreatif dalam kerja sama
yang sehat dan dialogis;
4) Menumbuhkan kepekaan sosial baik secara pribadi maupun institusioanl
terhadap berbagai masalah lokal, regional dan nasional yang menimpa
masyarakat, dengan memberikan analisis serta jalan keluar secara ilmiah dan
bertanggungjawab.
19


Arah kebijakan dalam pengembangan budaya akademik mencakup tiga
kompetensi, yaitu kompetensi kelembagaan, kompetensi dosen dan kompetensi
lulusan. Namun yang relevan dengan kurikulum adalah kompetensi lulusan.
Karena kebijakan ini diarahkan pada:
1) Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum,
berupa diversivikasi kurikulum untuk melayani kebaragaman peserta didik,
penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan
kepentingan setempat,

19
Muhammad In'am Esha (eds) Pengantar Imam Suprayogo, 2 Tahun Universitas Islam
Negeri (UIN) Malang, (Malang: UIN Malang Press, juni 2006).hlm. 21
i
120
2) Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan daya saing produk diantara
produk-produk perguruan tinggi umum.
20


Sebagaimana dikemukakan oleh Agus Maimun adalah:
"Strategi pengembangan di suatu lembaga perguruan tinggi adalah melalui
budaya akademik yang dijadikan dari manifestasi pengembangan kurikulum"
21

Pengembangan PAI sebagai budaya Perguruan Tinggi tidak bisa
dilepaskan dari peran para penggerak kehidupan keagamaan di Perguruan Tinggi
tersebut yang berusaha melakukan aksi pembudayaan agama di perguruan tinggi.
meminjam Teori Philip Kotler (1978) bahwa terdapat 5 (lima) unsur dalam
melakukan gerakan perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat perguruan
tinggi, yang disingkat 5 C, yaitu:
a) Causes, atau sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan, yang natara
lain berupa ideas (gagasan atau cita-cita ) atau pandangan dunia dan nilai-
nilai, yang biasanya dirumuskan dalam visi, misi, motif atau tujuan yang
dipandang mampu memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi.
b) Change agency, yakni pelaku perubahan atau tokoh-tokoh yang berada
dibalik aksi perubahan dan pengembangan
c) Change target (sasaran perubahan), seperti individu, kelompok, atau
lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya pengembangan dan perubahan
d) Channel (saluran), yakni media untuk menyampaikan pengaruh dan respons
dari setiap pelaku pengembangan dan perubahan
e) Change strategy, yakni teknik utama mempengaruhi yang diterapkan oleh
pelaku pengembangan dan perubahan untuk menimbulkan dampak pada
sasaran-sasaran yang dituju.

Strategi pengembangan PAI sebagai budaya perguruan tinggi, meminjam
teori Koentjaraningrat (1974) tentang wujud kebudayaan, meniscayakan adanya
upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran
praktik keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang

20
Ibid, hlm 25
21
Wawancara dengan Agus Maimun, Dosen Tetap UIN Malang, tanggal 6 Maret 2007
i
121
dianut, perlu dirumuskan, disepakati, dikembangkan dan dibangun komitmen dan
loyalitas bersama diantara semua warga perguruan tinggi terhadap nilai-nilai yang
disepakati. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horisontal (habl-min
allah dan habl min an-nas, dan dengan lingkungan alam sekitarnya.). Dalam
tataran praktik keseharian, yakni dengan sosialisasi, penetapan action plan, dan
penghargaan terhadap nilai yang telah dijalankan tersebut. sedangkan dalam
tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan dengan
mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-
nilai agama dengan yang lebih agamis, misalkan motto, foto-foto, model pakaian
dan lain-lain.
Didalam ajaran agama yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam
bentuk hubungan manusia atau warga kampus dengan Allah (hbl min Allah),
misalnya kegiatan sholat berjamaah, puasa senin kamis dan lain-lain. dan dalam
nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia dengan sesamanya adalah dengan
dibagi 3 (tiga) kelompok hubungan, yaitu: (1) hubungan atasan bawahan; (2)
hubungan profesional; (3) hubungan sederajat atau sukarela. Hubungan atasan
bawahan: menggarisbawahi perlunya kepatuhan dan loyalitas para guru, dosen,
dan tenaga kependidikannya terhadap atasannya, misalkan dosen dan rektor.
Hubungan profesional: mengandaikan perlunya penciptaan hubungan yang
rasional, kritis, dinamis antara sesama dosen, mahasiswa untuk saling berdiskusi,
dan lain-lain Hubungan sederajat/sukarela: merupakan hubungan manusiawi
antarteman sejawat, untuk saling membantu, mengingatkan, mendoakan dan lain-
lain.
i
122
Untuk menghindari tumpang tindih dalam penerapannya perlu disikapi
secara cermat dan proporsional dengan dilandasi oleh kode etik tertentu yang
dibangun dari ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Menurut penulis hal ini
diperlukan karena pendidikan pada dasarnya merupakan upaya normatif untuk
membantu orang/pihak lain berkembang ke norma yang lebih baik. Jika hubungan
atasan bawahan bisa membawa kepada sifat kemapanan, doktriner dan otoriter,
demikian pula jika hubungan sederajat bisa membawa kepada hubungan yang
serba bebas dan permisif, maka tujuan ideal pendidikan agama Islam justru gagal.
Pada lingkup internal, Perguruan Tinggi dituntut untuk terus menata diri
dengan menyatukan langkah seluruh anggota sivitas akademikanya dalam
mengantisipasi perubahan dan tantangan ke depan. Dalam konteks PTAI, untuk
menyatukan gerak seluruh anggota sivitas akademika, maka diskursus ilmiah
tentang karakteristik Universitas Islam, epistemology pengembangan ilmu
berdasarkan konsep Islam dan sosok lulusan yang dihasilkan harus menjadi tema
sentral di kalangan anggota sivitas akademika universitas. Konseptualisasi
pengembangan ilmu yang berlandaskan nilai-nilai keislaman atau disebut dengan
istilah Islamic paradigm harus menjadi prioritas utama gerakan akademik PTAI
ini, sebab konsep ini akan menjadi dasar kebijakan pengembangan kurikulum
lebih lanjut. Singkatnya paradigma keilmuan universitas ini, yakni Islamic
paradigm, akan menjadi pilar penggerak dan penyangga pengembangan
universitas secara menyeluruh sekaligus sebagi tolok ukur keberhasilannya.
22

22
Mudjia Rahardjo, Universitas Islam Negeri (PTAI) Malang Ditengah Perubahan Global.
(Eds) M. Zainuddin, Muhammad Inam Esha dalam Horison Baru, Pengembangan Pendidikan
Islam, Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global (Malang: PTAI Press: Juni 2004) Hlm.
135-136
i
123
Perguruan tinggi yakni tempat civitas akademikanya (dosen dan
mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang
bergerak pada jalur untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi
berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang
dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan
memposisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul obyektif dan
menyuarakan kepentingan masyarakat.
23

Selain itu merujuk pendapat tokoh orientalis barat Ernest Gelner yang
dengan penuh sikap empatik, mengatakan bahwa umat Islam mempunyai potensi
untuk membentuk masyarakat madani. Potensi tersebut berasal dari karakter-
karakter pribadi umat Islam. Yakni karakter yang terbentuk atas dasar keyakinan
kebenaran agamanya. Baik yang menyangkut kebenaran akan nilai-nilai
kemanusiaan, nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai persamaan, maupun nilai-nilai
kebebasan. Nilai-nilai tersebut tampak termanifestasikan dalam sebuah karakter
pribadi yang kemudian tercermin dalam pola kehidupan sehari-hari.
Nilai ialah suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi
seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu
yang bermakna bagi kehidupannya.
24
Nilai utama PAI ialah keberagaman peserta
didik itu sendiri, bukan terutama pada pemahaman dan agama. Dengan perkataan
lain, yang diutamakan PAI bukan hanya knowing (mengetahui tentang ajaran dan
nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekkan apa yang diketahui setelah

23
Dede Rosyada, dkk. Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education), Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bekerjasama Dengan The Asia Foundation Dan Prenada Media), hlm.251
24
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hlm 147-148
i
124
diajarkannya di kampus). Tetapi justru lebih mengutamakan beingnya (beragama
atau menjalani atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Karena itu PAI harus lebih
diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar mahasiswa tidak hanya
berhenti pada tataran kompeten, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan
kekuasaan (habit) dalam mewujudan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di perguruan
tinggi dapat dilakukan melalui:
a. Power Strategy, yakni strategi pembudayaan dengan cara menggunakan
kekuasaan atau melalui peoples power;
b. Persuasive Strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan
pandangan masyarakat atau warga kampus;
c. Normative Re-Educative. Norma adalah aturan yang berlaku dalam
masyarakat.

Demikianlah pentingnya strategi pendidikan Islam dalam menghadapi
tantangan hidup bermasyarakat. Para pendidik dengan memperoleh masukan dari
para cendekiawan muslim diharapkan mampu berperan dalam era globalisasi
untuk ikut mengurangi kegoncangan hidup bermasyarakat. Dalam suasana seperti
inilah nilai-nilai Islami tetap menjadi kerangka dasar pembinaan kehudupan yang
aman dan tentram dengan berperannya pendidik dalam mengatur strategi
Pendidikan Islam.
Aspek strategis lainnya yang harus dikembangkan adalah membangun
budaya Islam yang lebih sejati dan nyata. Budaya ini adalah budaya yang
menyangkut hal kecil, namun penting dan strategis dalam rangka membangkitkan
gairah juang lembaga pendidikan seperti misalnya budaya kebersihan, kerapian,
disiplin, tanggungjawab, konsistensi, jujur, terbuka, yang semuanya itu dapat
i
125
dijadikan sebagai kebiasaan sehari-hari. Semua itu karena pendidikan Islam juga
membangun kedalaman spiritual dan akhlak, maka kegiatan-kegiatan sholat
berjamaah, membaca al-Quran, sholat malam, puasa wajib maupun sunah, dan
lain-lain yang dicontohkan oleh Rasulullah. Senantiasa dikembangkan.
Pendidikan adalah proses pembiasaan dan keteladanan. Perilaku luhur yang ingin
dicapai pendidikan Islam tidak akan lahir dengan tiba-tiba, melainkan lewat
proses yang panjang dan terus menerus. Lembaga pendidikan Islam, selain
sebagai pengembangan ilmu pengetahuan sekaligus harus dimaknai sebagai
tempat pembiasaan kehidupan Islami secara maksimal dalam kaitannya
membangun budaya ini guru/ dosen memiliki peran sangat strategis, mereka
menjadi uswah hasanah dalam pengertian seluas-luasnya.
Pendidikan yang ada di Perguruan Tinggi merupakan wahana yang sangat
tepat mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia
Indonesia seutuhnya (insan kamil). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional tersebut, kedudukan mata kuliah dalam jurusan PAI dalam kurikulum
perguruan tinggi sangat kuat baik dilihat dari sudut landasan historis dan
perundang-undangan. Dengan pendidikan agama tersebut, mahasiswa diharapkan
untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun, menumbuhkan sikap dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai religius yang diyakininya, baik di lingkungan
sekolah, keluarga, masyarakat maupun dalam segala aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Jadi membudidayakan suasana religius di perguruan tinggi sangat
penting karena akan menjadikan ajaran agama sebagai ruh, nafas, gerak seluruh
i
126
aspek kegiatan di perguruan tinggi. Keluarga, masyarakat maupun dalam segala
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penciptaan suasana religius di perguruan tinggi memiliki landasan yang
kuat setidak-tidaknya dapat dipahami dari landasan filosofis bangsa Indonesia,
yaitu pancasila. Ide-ide atau nilai-nilai dasar itu seharusnya diturunkan kebawah,
yaitu kedalam UUD 1945, undang-undang dan yang secara operasional sampai
kepada peraturan pemerintah ke bawah. Hanya saja menurut Tafsir (2004), pada
tataran yang lebih operasional tersebut ide-ide atau nilai-nilai itu mulai tidak jelas
atau bahkan menghilang, terutama ketika turun ke peraturan yang menyangkut
kurikulum perguruan tinggi, dimana keimanan kepada Tuhan YME tidak menjadi
inti atau core kurikulum. Yang berakibat pada lulusan yang tidak memiliki
keimanan yang kuat, yang pada gilirannya dapat memunculkan krisis
multidimensional. Sebagaimana keadaan bangsa saat ini, yang intinya terletak
pada krisis moral dan akhlak. Timbulnya tindakan-tindakan dekadensi moral
antara lain disebabkan karena rendahnya kualitas keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
25
Sedangkan penciptaan suasana religius yang menyangkut hubungan
mereka dengan lingkungan atau alam sekitarnya dapat diwujudkan dalam bentuk
membangun suasana atau iklim yang komitmen dalam menjaga dan memelihara
berbagai fasilitas atau sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kampus atau
perguruan tinggi, serta menjaga dan memelihara kelestarian, kebersihan dan
keindahan lingkungan hidup sekolah, sehingga tanggungjawab dalam masalah

25
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, op.cit. Hlm. 37-58
i
127
tersebut bukan hanya terbatas atau diserahkan kepada para petugas cleaning
servis, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh warga sekolah. Adapun untuk
mewujudkan suasana religius di Perguruan Tinggi Pada strategi pertama tersebut
dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and
punisment. sedangkan pada strategi kedua dan ketiga dengan melalui pembiasaan,
keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan
cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa
meyakinkan mereka.
26
Sikap kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi
positif. Bisa juga berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis
dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut
memberi warna dan arah pada perkembangan. Bisa pula berupa antisipasi, yakni
tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.
Membudidayakan suasana religius di Perguruan Tinggi sangat penting karena
akan menjadikan ajaran agama sebagai ruh, nafas, gerak seluruh aspek kegiatan di
perguruan tinggi. Keluarga, masyarakat maupun dalam segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhaimin, bahwa:
"UIN harus berbeda dalam konsep dengan PTAI yang lain, sebagai konsep ulul
albab, yang semua pengembangan kurikulumnya harus berdasarkan pada non
madzhabi dan non sekterianisme"
27

Strategi lain dalam upaya pengembangan kurikulum adalah dengan cara
mengembalikan khittah ulul albab. Hal ini penulis analisis dari tulisan Muhaimin

26
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
Op. Cit, Hlm.154-161
27
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 26
Februari 2007
i
128
di Tabloid GEMA yang berjudul Membumikan Ulul Albab Sebagai Upaya
Mengembalikan Khittah PTAIN. Penulis menganalisis statement-statement yang
ditulis dan dikritik Muhaimin dalam upaya mengembalikan khittah ulul albab Hal
ini juga sesuai dengan hasil wawancara penulis kepada Muhaimin. Muhaimin
memberikan statement bahwa Departemen Agama merasa prihatin terhadap
PTAIN menyangkut rendahnya budaya akademik. Munculnya pengumuman hasil
survey dunia internasional bahwa PTAIN tidak masuk dalam Perguruan Tinggi
terbaik di dunia cukup menyentak dan membuat Muhaimin sebagai orang PTAIN
merasa risih karena mungkin berimplikasi pada PTAIN secara menyeluruh yang
akan kehilangan wibawa akademik. Masalahnya adalah budaya akademik di
PTAIN termasuk rendah. Karena itu PTAI yang memiliki jargon ulul albab akan
berjuang mengantisipasi masalah tersebut terutama dalam konteks studi Islam
Untuk menjawab persoalan ini diperlukan pengamatan dan analisis secara cermat,
menyeluruh dan utuh terhadap kondisi riil PTAI. Dalam realitas sejarahnya,
aspirasi umat Islam pada umumnya dalam mendirikan Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri sejak semula didorong oleh beberapa tujuan yang saling terkait
antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
1) Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam
pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah. Kajian-
kajiannya diharapkan lebih mengarah pada pendekatan non madzhabi dan
berusaha memudarkan warna-warna dan sikap truth claim serta bentuk-
bentuk yang bernuansa sektarianisme yang justru sangat rentan terhadap
timbulnya perpecahan konflik-konflik sosial keagamaan. Lebih-lebih pada
saat bangsa sedang menghadapi ekskalasi konflik yang relativ tinggi, yang
biasanya dipicu oleh dan mengatasnamakan Agama Islamyang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang pluralistis, baik dalam agama,
ras, etnis, tradisi, budaya dan sebagainya. Sebaliknya, pendekatan yang
menonjolkan sektarianisme;
2) Untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam; dan
i
129
3) Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama.

Bangsa Indonesia sejak dini sudah menyatakan tekadnya untuk ber-unity
in diversity atau berbhineka tunggal ika, walaupun pada masa orde baru baru
pernah terjadi bahwa yang Unity (Tunggal Ika) justeru dikembangkan, sebaliknya
yang Bhinneka (Diversity) justeru di-SARA-kan, sehingga tampilannya menjadi
monoloyalitas (kesetiaan tunggal). Tekad itu tidaklah semudah apa yang
dibayangkan, apalagi kalau dalam lingkungan intern umat beragama maupun antar
agama sendiri masih disibukkan dengan persoalan klaim kebenaran, yakni
masing-masing mengklaim sebagai dirinya atau kelompoknyalah yang paling
benar dan/atau merasa benar sendiri.
28
Dalam beragama, bahwa meyakini hanya
agamanya yang paling benar (truth claim) adalah keniscayaan akan tetapi tidak
harus merendahkan keyakinan yang lain, jika pendidikan agama multikultur
diterapkan di perguruan tinggi, maka konsekuensinya semua komponen sistem
pendidikan agama harus berubah, mulai dari kurikulum, strategi pendekatan,
metodologi, hingga pembinaan SDM, serta pembinaan manajemen sekolah.
29
Dilihat dari dimensi tersebut, agaknya sebagian besar PTAIN lupa atau
bahkan sengaja meninggalkan khittahnya dan masih berkutat pada penyakit-
penyakit klasik yang hingga kini tak kunjung sembuh, apalagi ketika terjadi
suksesi. Memang pengembangan PTAIN tidak bisa terlepas dari siapa yang
dominan dan banyak mempengaruhi serta menghegemoni sisi-sisi kebijakan.
Sungguhpun demikian, bukan berarti unsur-unsur interes kelompok (sebagai

28
Ibid, hlm. 137
29
Imam Suprayogo, (ed.) Samsul Hadi Dan Rasmianto, Pendidikan Berparadigma Al-
Quran, Pergulatan Membangun Tradisi Dan Aksi Pendidikan Islam, (Malang: Aditya Media
Dengan PTAI Malang Press, 2004), hlm 59-63
i
130
penyakit klasik) lebih ditonjolkan dari pada profesionalisme atau kompetensi yang
ditunjukkan dengan prestasi kerja, integritas pribadi dan visinya ke depan, yang
pada gilirannya dapat melumpuhkan budaya akademik di PTAIN itu sendiri.
Agaknya PTAIN berbeda dengan PTAIS dalam banyak hal. Antara lain
menyangkut atribut yang melekat padanya. Adalah wajar PTAIS yang berada
dibawah organisasi tertentu (NU, Muhammadiyah, PERSIS dan lain-lain)
berusaha mewariskan, menanamkan dan mengembangkan ideologinya melalui
muatan dan kegiatan pendidikan atau akademik. Karena itu, jika pada PTAIS
yang berada di bawah naungan NU mengembangkan Aswaja, maka pada PTAIS
yang berada di bawah naungan Muhammadiyah mengembangkan ke-
Muhammadiyahan. Jika tidak demikian, apa bedanya UNISMA, UNMUH dengan
UNIBRAW, UM, UNAIR dan lain-lainya. Namun demikian, bagi PTAIN
mestinya mampu mengendalikan diri untuk bersikap netral dan menjadi
ummatan wasathan, yakni berada pada posisi pertengahan yang tidak memihak
ke kiri dan ke kanan, yang hal ini akan mengantarnya berlaku adil. Untuk itu
selayaknya PTAIN mengusung budaya-budaya dan tradisi-tradisi dari kelompok
tertentu untuk dilembagakan dan dikembangkan di dalamnya atas nama
Perjuangan ideologi, sehingga corak kehidupan keagamaan di kampus PTAIN
di warnai oleh ideologi tertentu.
Tradisi dalam gerakan Islam di Indonesia sebetulnya lebih mengacu
kepada suatu pembentukan masyarakat. Islam mengacu kepada integrasi umat
atau masyarakat. Acuan kearah integrasi umat ini dipegang terutama oleh
Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah lebih mengacu kepada penciptaan
i
131
masyarakat etis yang progresif menuju kearah keunggulan. Tapi dalam pandangan
NU maupun Muhammadiyah peranan agama diperlukan. Dalam perspektif Islam,
civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban.
30

Sejalan dengan khittah PTAIN dan pengertian ulul albab tersebut, maka
PTAIN harus mampu bersikap obyektif dan menerima secara terbuka terhadap
berbagai pandangan yang sangat plural. Lembaga-lembaga kajian keislamannya
harus mampu melahirkan ide-ide dan konsep yang segar serta dapat memayungi
semua pihak. Untuk mendukung semuanya itu, maka tidak heran jika di PTAIN
dikembangkan kajian-kajian Islam inter atau multidisipliner, serta pengembangan
matakuliah-matakuliah seperti Perbandingan Madzhab, Masail Al-Fiqh, pemikiran
modern dalam Islam dan lain-lain.
Melalui kajiankajian semacam itu, maka diharapkan lahirnya pemikiran
yang jernih dalam memecahkan isu-isu atau problem actual yang dikupas dari
berbagai perspektif. Selain itu, pengembangan wawasan terhadap khazanah
pemikiran ulama-ulama terdahulu untuk ditelaah ulang secara kritis dan dikaitkan
dengan problem, tuntutan dan tantangan perkembangan zaman. Melalui upaya ini
diharapkan mampu melahirkan pemikiran yang jernih tanpa diselubungi oleh
kabut-kabut ide yang bisa menghambat terhadap upaya pemudaran sektarianisme
tersebut.
Sebagai implikasinya, maka untuk melaksanakan pengembangan dan
peningkatan dakwah Islam, berjalan di tempat dan tereduksi menjadi dakwah
dalama arti memberikan pengajian-pengajian keagamaan di masyarakat yang

30
M. Dawam Rahardjo, Sejarah Agama Dan Masyarakat Madani, dalam Wododo Utsman
Dkk. (Editor) Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Pustaka Pelajar Offset Cet I, 2000),
Hlm.29-30
i
132
kering isi, makna, dan tidak kontekstual, karena hanya mengulang-ulang dan
mewariskan model penafsiran dan pemikiran, dan konsep operasionalnya yang
mandiri dan independen melalui pendekatan inter, multi ataupun lintas disiplin
untuk membangun kembali suatu tatanan masyarakat yang lebih ideal dan
berkeadaban, agaknya belum banyak muncul dari PTAIN.
Karena itu, masyarakat sering mempertanyakan tentang kontribusi PTAIN
terhadap pembangunan masyarakat, institusi keagamaan, pendidikan, ekonomi
dan lain-lainnya yang ada di daerahnya. Sebenarnya proyek-proyek untuk itu
relatif banyak di PTAIN, seperti proyek desa binaan, madrasah binaan dan lain-
lain, tetapi hasilnyapun belum signifikan karena belum dibarengi dengan ide-ide
segar serta konsep operasional yang matang dan berkesinambungan. Ironisnya,
kegiatan dakwah semacam itu biasanya hanya dilakukan demi memenuhi
panggilan proyek.
Bermuara pada pengertian Albab (sebagai bentuk jamak dari lubb), yang
berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi
kacang dinamai lubb. Dengan demikian ulul albab adalah orang-orang yang
memiliki akal (pemikiran) yang jernih dan murni, yang tidak diselubungi oleh
kulit, yakni kabut ide, interes-interes pribadi atau kelompok yang dapat
melahirkan kerancuan dalam berfikir. Intisari pengertian ini agaknya memiliki
konsekuensi tertentu dalam bidang studi keislaman dan membangun kehidupan
keagamaan di PTAIN. Karena itu, sekali lagi kita perlu merenung dan mengkaji
ulang makna ulul albab tersebut diatas serta kembali ke khittah PTAIN itu sendiri.
i
133
Jadi saat ini kita harus mulai merancang PTAIN sebagai Perguruan Tinggi
yang selalu ikut berpartisipasi dalam percaturan akademik secara internasional,
dan mengedepankan Quality Assurance sehingga kualitasnya diakui secara
eksternal bahkan internasional. Melalui upaya ini, Insya Allah ketiga aspirasi dan
tujuan diselenggarakan PTAIN, sekaligus akan melahirkan ide-ide, konsep
pemikiran dan operasionalnya yang bermakna bagi pembangunan masyarakat baik
secara local, regional, maupun internasional, serta menjadi Ummatan Wasathan
yang mampu menjadi wasit dan mediator dalam menghadapi dan memecahkan
problem sosial-kultural keagamaan di masyarakat.
31

Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:
"Pemikiran seperti di UIN malang harus beda dengan PTAI yang lain, dikatakan
Universitas Muhammadiyah dan Universitas Islam Malang (UNISMA) adalah
contoh Universitas yang mengusung simbol ideologi pendidikan, karena
mengusung nama aliran atau madzhab tertentu"
32

Jadi dalam hal ini penulis dapat menganalisis bahwa strategi yang perlu
diupayakan dalam pengembangan kurikulum di perguruan tinggi lebih
diorientasikan kepada hidden kurikulum dan juga manifestasi dari penjabaran
kurikulum yang ada dan aplikasi daripada kegiatan-kegiatan yang menciptakan
suasana religius, membudayakan budaya akademik yang memiliki ciri khas yang
mengedepankan nilai-nilai agamis, serta mengembalikan khittah PTAI yang ulul
albab. Yakni memiliki kesamaan visi dan misi mengembangkan agama Islam
dengan tanpa mempersoalkan perbedaan aliran, suku, ras dan agama tertentu
dalam rangka mewujudkan masyarakat madani dan memberantas korupsi, kolusi,

31
Muhaimin, Tabloid Gema, Media Informasi dan kebijakan Kampus Edisi 25 November-
Desember 2006), hlm 11
32
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 20 Maret
2007
i
134
nepotisme dan budaya-hedonisme, serta memiliki kemampuan yang tinggi dalam
mengatasi krisis multidimensional dan juga menciptakan masyarakat yang
beradab dan cinta perbedaan. Dan yang lebih penting mengedepankan paham non
madzhabi atau tidak cenderung pada aliran atau madzhab tertentu, atau non
sekterianisme.
Paling tidak strategi dalam pengembangan kurikulum yang tepat adalah
kurikulum mampu mengantarkan para siswanya memiliki kepribadian dan
sekaligus pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh lingkungan
masyarakatnya. Dengan itu penulis merujuk pada konsep Imam Suprayogo
merumuskan bahwa kurikulum Perguruan Tinggi pendidikan Islam harus mampu
mengantarkan para lulusannya memiliki 4 kekuatan: yaitu "kedalaman spiritual,
keagungan akhlak, keluasan ilmu, kematangan profesional".
Dan seyogyanya kurikulum yang dikembangkan oleh lembaga Pendidikan
Islam mampu menghilangkan kesan terhadap adanya dikotomi ilmu pengetahuan,
yaitu yang dikenal dengan ilmu agama dan ilmu umum. Yang membedakan antara
jenis keilmuan, bukan terletak pada jenis, melainkan pada sumber ilmu itu sendiri
diperoleh.
33

C. Aktualisasi pembaruan pendidikan Islam melalui paradigma
pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Aktualisasi adalah sebagai proses menjadikan konsep-konsep ideal
terrealisasi menjadi tindakan nyata akan lebih jelas sosoknya bila terpolakan

33
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Alquran, Pergulatan Membangun Tradisi
Dan Aksi Pendidikan Islam, Op. Cit, hlm. 43-45
i
135
sesuai konsep dasar yang menjadi pijakan. Dalam hal ini konsep paradigma
pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan sosial budaya dan dampak dari
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah konsep pendidikan humanisme, konsep
pendidikan demokratisasi, dan multikultural pendidikan, yang diharapkan konsep
tersebut mampu menciptakan suatu tatanan masyarakat madani yang dicita-
citakan.
Aktualisasi filsafat ilmu untuk memegang peranan yang berarti bagi upaya
pengembangan ilmu tak terkecuali ilmu-ilmu agama ('ulumuddin) di perguruan
tinggi lainnya, yaitu untuk mengajak para dosen dan mahasiswanya memahami
proses berpikir ilmiah yang mencakup pengertian tentang hakikat ilmu dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya, hal yang dipelajari ilmu, bagaimana ilmu
membentuk (tubuh) pengetahuannya dan untuk apa ilmu pengetahuan itu
dipergunakan. Demikian pula mengenai alat atau sarana berfikir yang harus
dikuasai agar mampu melakukan kegiatan ilmiah dengan baik.
Hal ini bisa dicapai melalui mata kuliah filsafat ilmu. Dengan filsafat ilmu
kita akan mampu mensublimasikan disiplin ilmu yang menjadi tanggungjawab
kita masing-masing dan mengangkatnya ke dataran filsafat, sehingga kita dapat
memahami perspektif beserta berbagai kemungkinan agar kemudian kita sanggup
melakukan spekulasi-spekulasi yang terdalam guna menemukan teori-teori
ataupun paradigma-paradigma baru yang tepat guna bagi kepentingan bangsa
Indonesia (Koento Wibisono, 1988:13).
34


34
Farid Samsu Hananto dan Ahmad Abtokhi, "UIN: Menyelaraskan Perkembangan Iptek
dengan Imtaq", dalam Zainuddin (Eds.) Memadu Sains Dan Agama Menuju Universitas Masa
depan, (Malang, Bayumedia Publishing bekerja sama dengan PTAI Malang, 2004), hlm.51-67
i
136
Di Indonesia, pemicu konflik seringkali bersumber dari perbedaan
keagamaan, baik perbedaan suku, budaya dan antar golongan, atas dasar ini maka
pendidikan agama berwawasan multikultur menjadi sangat penting. Ada beberapa
prinsip yang perlu dikemukakan sebelum memperbincangkan tentang pendidikan
agama multikultur adalah:
1. Islam adalah agama yang bersifat universal. Islam bukan diperuntukkan bagi
salah satu suku bangsa, etnis tertentu, golongan tertentu, melainkan sebagai
Rahmatan lil'alamin;
2. Islam menghargai agama-agama dan kepercayaan agama lain. Islam juga
mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama;
3. Islam juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya;
4. Islam juga menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat
manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, dan
bangsa yang beraneka ragam. Perbedaan itu gara terjadi saling mengenal;
5. Islam memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan majemuk
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah sendiri ketika membangun
masyarakat madani di Madinah. Sebagai sebuah negara (waktu itu masih
berbentuk negara kota-city state-dan belum menjadi negara bangsa-nation
state), Madinah sudah mengakui, menghargai, mengakomodasi berbagai
etnik dan berbagai golongan. Semua warga negara menikmati hak hidup dan
dilindungi undang-undang, sebagaimana diatur dalam Piagam Madinah.
Prinsip-prinsip dasar seperti ini perlu dijadikan rujukan dalam
memperbincangkan pendidikan multikultur.

Pendidikan multikultur, selain memperkokoh tauhid atau dasar-dasar
keyakinan Islam, pendidikan bercorak demikian juga perlu mengembangkan
prinsip-prinsip dasar pergaulan antar sesama manusia menurut ajaran Islam secara
lebih mendalam. Semangat multikultur ini harus tercermin dari isi atau konten
kurikulum.
35

Bagian penting pendidikan multikultur adalah bagaimana menumbuhkan
sensitivitas mahasiswa akan kekayaan budaya masyarakat yang bersifat plural.

35
Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur'an Pergulatan Membangun Tradisi
Dan Aksi Pendidikan Islam, Op. Cit, hlm. 59-61
i
137
Hal itu sejalan dengan pendapat Bennet (1986) yang menyatakan bahwa asumsi
dasar pendidikan multikultural adalah bagaimana kelompok-kelompok etnik yang
beragam dapat menentukan sendiri budaya asli yang mereka miliki, serta pada
saat yang bersamaan dapat menjadi multikultural. Dengan kata lain orang-orang
dapat belajar tentang berbagai macam alternatif untuk mempersepsi, berperilaku,
dan mengevaluasi kelompok lainnya sehingga mereka dapat menyesuaikan
kepada aspek-aspek makrokultur yang diperlukan untuk kesejahteraan bersama,
tanpa melakukan pengurangan penerimaan akan etnisitasnya sendiri yang orosinil.
Jadi pendidikan multikultur sangat penting bagi upaya pembangunan watak
bangsa. (nation and character building).
Oleh sebab itu fokus pendidikan multikultur adalah memberikan wawasan
budaya kepada anggota masyarakat agar mereka dapat hidup berdampingan secara
damai dengan kelompok sosial lainnya. Hal ini sejalan dengan rekomendasi
APNIEVE UNESCO yang menandaskan bahwa hasil pendidikan tidak hanya
berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan anak didiknya, namun juga dalam
hal penanaman dan pengembangan nilai-nilai dan afeksi mereka yakni dalam
bentuk belajar hidup bersama, berpartisipasi dan bekerja sama dengan
individu/masyarakat dari kelompok budaya yang berlainan dalam segala aktivitas
(Mutohir,1997). Secara lebih operasional Katz (dalam Mogdil, 1986) menyatakan
bahwa terdapat 4 tujuan pendidikan multikultur:
1. Memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa yang mengenalkan
secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti
realisme, demokrasi, dan sebagainya.
2. Mengembangkan ketrampilan untuk klarifikasi nilai, termasuk kajian untuk
mentransmisikan nilai-nilai laten dan manifest.
i
138
3. Untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada
strategi pembelajaran dosen.
4. Mengkaji variasi kebahasaan dan kebergamaan gaya belajar sebagai dasar
bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai.

Perguruan tinggi sebagai salah satu representasi lembaga pendidikan Islam
yang mempunyai akar yang sangat kuat di Indonesia mempunyai peran dan
tanggung jawab yang sama dalam mengantarkan anak didiknya mencapai
kecerdasan, kedewasaan, baik secara intelektual, emosional maupun sosial,
dengan harapan agar anak didik tersebut ke depan mempunyai visi kebangsaan
yang pluralistik. Pendidikan multikultur merupakan bagian dari konsep universal
Islam yang disebut "Islam Rahmatan Lil 'Alamin" yaitu, ajaran Islam yang
merupakan ajaran yang universal, mencakup segala aspek kehidupan manusia,
rahmatnya tidak terbatas pada umat Islam saja, tetapi juga pada semua manusia
lintas agama, budaya, ras, etnis. Kenyataan bahwa kehidupan manusia merupakan
masyarakat yang plural dan multikultural, terdiri dari berbagai suku, etnis, budaya
dan agama yang berbeda adalah sesuatu yang taken for granted. Maksudnya
adalah pendidikan multikultur untuk menjembatani kesenjangan persepsi
mengenai pluralitas, baik pluralitas etnis, budaya, maupun agama. Demikianlah
Tuhan menjadikan sesuatu yang plural dan multikulturalisme sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur'an, yang artinya:
"Sesungguhnya telah kami jadikan menusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar mereka saling mengenal" (Q.S Al-Hujurat: 13).

Dalam upaya pembentukan afeksi mahasiswa agar dapat saling menerima
keberadaan pluralisme etnis, budaya, dan agama maka pendidikan multikultur
perlu diintegrasikan dalam kurikulum Perguruan Tinggi. Meskipun demikian,
i
139
memberikan pendidikan multikultur di Perguruan Tinggi merupakan tantangan
tersendiri, sebab dalam pemahaman sebagian kelompok Islam, ada yang belum
bisa menerima sepenuh hati adanya pengintegrasian atau akulturasi budaya atau
pengintegrasian agama. Seperti adalam akulturasi budaya jawa dengan Islam juga
masih ada sebagian kelompok Islam yang belum bisa menerima. Ini memang
suatu tantangan tersendiri. Menurut Steenbrink (1986), dalam Islam di Jawa,
secara umum diterima adanya variant santri dan abangan, baik oleh orang jawa
sendiri maupun orang luar.
36
Jadi diharapkan melalui pendidikan multikultur
pada mahasiswa di perguruan tinggi, ke depan diharapkan akan terbentuk
masyarakat yang memiliki nilai-nilai dan pespektif tentang bagaimana
menghargai keunikan budaya dan gaya hidup dari masing-masing kelompok
budaya serta pada saat bersamaan membangun komitmen tentang perlunya hidup
sebagai satu bangsa. Adapun implementasi program pendidikan multikultur pada
perguruan tinggi dengan menggunakan model pendekatan inklusif ditempuh
dengan cara mengintegrasikan pendidikan multikultur ke dalam mata kuliah yang
mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan pendidikan multikultur, yaitu: mata
kuliah pengembangan kepribadian. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
majemuk, yang ditandai dengan keanekaragaman etnis, agama dan budaya.
Realita tersebut setidaknya telah disadari oleh para pendiri negara yang kemudian
dituliskan dalam lambang negara yang bertuliskan Bhineka Tunggal Ika yang
artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Menurut Gonggong (kompas, 16/12/2000)
kebhinekaan dalam masyarakat Indonesia adalah kenyataan yang terjadi sejak

36
Warsono, dkk. Dosen UNESA (Universitas Negeri Surabaya), Ulul Albab, Jurnal Studi
Islam, Sains Dan Teknologi. Vol. 7, No 1 Tahun 2006, hlm.90-97
i
140
awal berdirinya negara bangsa (nation state). Hal ini antara lain dapat dilihat dari
keberagaman dalam etnisitas, bangsa, kultur dan religi. Kebhinekaan bangsa
Indonesia tersebut selanjutnya dapat dimatangkan melalui proses dialog diantara
para elit bangsa telah bersepakat untuk bersatu, hidup bersama di dalam satu
negara kesatuan. Bagi bangsa Indonesia kemajemukan etnis, budaya, dan agama
telah disadari oleh para pendiri negara. Sejarah telah mencatat bahwa sejak awal
para pendiri negara telah bertekad membangun tatanan masyarakat demokratis.
Tatanan masyarakat demokratis yang dicita-citakan oleh para pendiri negara
ternyata merupakan pilihan yang strategis untuk mengatasi perbedaan paham dan
golongan dari segenap unsur yang ada dalam masyarakat Di tengah masyarakat
yang sedang berubah ke arah tatanan demokratis, kurikulum dapat diartiakan
sebagai pembuatan keputusan dalam pendidikan yang sejalan dengan visi dan
berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, para pendidik secara
inklusif harus mengembangkan nilai-nilai yang positif dalam perilakunya.
37

Selain itu konsep pembaruan pendidikan jika diaktualisasikan dalam
pendidikan demokratis. Pandangan reformasi sistem politik demokrasi, yakni
pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah
terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi. Dalam tataran ini, pembangunan
institusi-institusi politik yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding
pembangunan ekonomi. Model pengembangan demokrasi ini pun pada
kenyataannya tidaklah menjamin demokrasi berjalan sebagaimana layaknya.
Kegagalan demokrasi sejumlah negara dalam banyak hal berhubungan dengan

37
Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan Tinggi Islam. Op. cit. hlm 6-7
i
141
tingkat kemiskinan warga negaranya. Paradigma membangun masyarakat madani
sebagai basis utama pembangunan demokrasi. Pandangan ini merupakan
paradigma alternatif diantara dua pandangan yang pertama yang dianggap gagal
dalam pengembangan demokrasi.
38

Upaya untuk mengaktualisasikan demokrasi dan civil society melalui
pendidikan kelihatannya masih menempuh jalan yang panjang. Pendidikan harus
berusaha menerapkan paradigma baru yang tujuan akhirnya adalah pembentukan
masyarakat Indonesia yang demokratis dan berpegang pada nilai-nilai civility
(keadaban). Jika sekolah/Universitas akan memainkan peranan penting dalam
pembentukan demokrasi yang otentik, sebaiknya dilakukan akselerasi dalam
penerapan paradigma baru tersebut. Dan dalam rangka menumbuhkan
pengembangan pemahaman itu, maka perguruan tinggi menerapkan
pengembangan kurikulum yang terdapat dalaam MKDU pancasila dan kewiraan
atau mata kuliah kewargaan.
39
Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa ciri utama masyarakat madani
adalah masyarakat yang "demokrasi yang akan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan (humanisasi), masyarakat yang mempunyai paham keagamaan yang
berbeda-beda, masyarakat yang penuh toleransi, menegakkan hukum, dan
peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya tinggi, masyarakat yang
memiliki spiritualisme ilahiyah yang tinggi, memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki komitmen kepada demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai

38
Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, Demokrasi hak asasi manusia dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif hidayatullah Jakarta Bekerjasama Dengan The
Asia Foundation. 2006), hlm. 318
39
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm.159-160
i
142
kemanusiaan (insaniyah) dan hak manusia, memiliki nilai-nilai moral dan akhlak
yang anggun, masyarakat yang penuh toleransi, mengakui perbedaan pandangan
dan keagamaan, masyarakat yang memiliki komitmen hukum dan peraturan yang
berlaku serta masyarakat yang berbudaya tinggi. Dengan demikian, salah satu cara
untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melakukan demokratisasi
pendidikan, sebab demokratisasi pendidikan merupakan tuntutan dari
terbentuknya masyarakat madani yang demokratis. Adapun kondisi proses belajar
mengajar yang demokratis tentu akan terjdi kesetaraan atau sederajat dalam
kebersamaan (egalitarian) antar pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak
harus selalu top down namun selalu diimbangi dengan bottom up sehingga tidak
ada lagi pemaksaan kehendak pendidik, tetapi yang akan terjadi adalah tawar
menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, proses
belajar mengajar dan evaluasi hasil belajarnya. Perubahan dari periode ke periode
merupakan penyempurnaan, penyesuaian atau hanya sebuah kebijakan
pemerintah. Ternyata setelah dilakukan evaluasi terhadap kurikulum yang berlaku
dan ditemukan banyak kekurangan yang perlu disempurnakan, maka perubahan
yang terjadi adalah sebagai perwujudan upaya penyempurnaan dari sederhana
menuju kesempurnaanya, dari materi yang sedikit menjadi lebih memadai, dan
dari ketidakteraturan pemasaran menuju keteraturan atau keterarahan. Dalam
pengertian ini perubahan kurikulum disusun berdasarkan konsepsi humanistik dan
mementingkan pengalaman pribadi meemuaskan dan mengarahkan ke proses
aktualisasi diri.
40


40
Djunaidi Ghony, Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam Peningkatan Mutu
i
143
Proses "humanisasi" merupakan proses terbuka, dimana manusia
diberdayakan dan dioptimalkan potensi (fitrah) bawaannya sehingga manusia
dapat menguasai ilmu pengetahuan, ketrampilan, teknologi serta penerapannya
dan penghayatan dan seni serta budaya, dan sebagainya. Ini berarti, peran, dan
fungsi pendidikan sangat sentral dalam upaya proses humanisasi tersebut.
Pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam harus dapat meletakkan kedudukan
manusia sebagi subyek dalam proses pembinaan dan pengembangan potensi
(fitrah) bawaannya. Dalam proses humanisasi, sangat dibutuhkan konsep
pendidikan yang betul-betul tepat memberi gambaran yang komprehensif sebagai
solusi dalam memanusiakan manusia (humanisasi) dengan menekankan
keharmonisan hubungan baik sesama manusia, masyarakat, maupun dengan
lingkungan yang didasarkan pada nilai-nilai normatif ilahiyah.
41
Dari hasil penelitian dari lembaga penelitian di PTAI diantara kelemahan
budaya akademik adalah: orientasi pengembangan akademik belum terumuskan
secara eksplisit, tetapi mengacu pada visi dan misi masing-masing. Memang
dalam realitasnya Kompetensi dosen PTAI masih relatif belum memadai,
sehingga kegiatan-kegiatan pengembangan budaya akademik belum berjalan
secara optimal. Namun pengembangan budaya akademik secara perlahan sudah
menunjukkan peningkatan, meskipun ada beberapa dosen yang belum
menampakkan kesadaran penuh tentang pentingnya pengembangan budaya
akademik di lingkungan kampusnya Posisi pendidikan agama di Perguruan

Pendidikan Tinggi Islam, Op. Cit, Hlm. 28
41
Hujair, AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Maaasyarkat Madani
Indonesia, (Yogyakarta : Safiria Insania Press, Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia,
2003), hlm 231
i
144
Tinggi cenderung berupa transformasi informasi, pengetahuan dan bukan
transformasi pengalaman, pembiasaan dan pembentukan sikap dan perilaku. Oleh
karena itu yang menjadi ukurannya adalah angka/ indeks (IP). Bukan sikap dan
tingkah laku para siswa yang mendapat nilai baik dalam bidang agama belum
tentu berperilaku jujur. Malah di perguruan tinggi sendiri kadang menjadi tempat
bersemainya nilai-nilai ketidakjujuran. Nyontek, pendongkrakan IP serta KKN
sering terjadi. Perguruan tinggi mungkin dengan waktu yang terbatas sulit
mengubah siswa dari tidak baik menjadi baik. Persoalan pendidikan
watak/kepribadian memang pertama-tama harus menjadi tanggungjawab orangtua
dan keluarga sejak masa pembentukan.
Didalam pendidikan tinggi, hal itu lebih parah lagi, tidak adanya ebtanas
di perguruan tinggi mengakibatkan nilai (indeks prestasi) yang diperoleh
mahasiswa dari perguruan tinggi yang berbeda tidak dapat dibandingkan. IP 3.8 di
suatu perguruan tinggi mungkin sama kualitasnya dengan nilai 2,4 di perguruan
tinggi yang lain, karena standar yang dipakai oleh keduanya mungkin berbeda.
Bahkan didalam perguruan tinggi itu sendiri pun IP itu sulit dibandingkan
mengingat tidak adanya standar baku yang digunakan oleh para dosen dalam
menilai prestasi mahasiswanya. Ketidakadaan ukuran penilaian standar inilah
yang menyebabkan keluhan masyarakat akan rendahnya mutu Perguruan tinggi di
Indonesia. Belum lagi keluhan tentang ketidaksesuaian antara materi pelajaran
yang diberikan di perguruan tinggi dengan kebutuhan masyarakat. Banyaknya
lulusan perguruan tinggi yang menganggur (tidak dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat) menunjukkan bahwa banyak Perguruan Tinggi yang telah
i
145
meluluskan (menyatakan tidak memiliki kemampuan tertentu) peserta didik yang
sebenarnya belum memenuhi standar yang diinginkan oleh masyarakat.
42

Dengan demikian inti pembentukan masyarakat madani sebenarnya sangat
tergantung atau berasal dari akhlak dan moral pribadi manusia yang bersangkutan
tentunya sejauh mungkin akan berusaha agar ia dapat menghindari perbuatan-
perbuatan tidak bermoral, termasuk menghindari praktik KKN. Tapi sebaliknya
seandainya moralnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, niscaya praktik-praktik
KKN akan senantiasa mewarnai manusia yang bersangkutan. Walaupun
sebenarnya secara intelektual, ia tidak tahu persis bahwa yang melakukan KKN
tentunya dilarang agama, tapi karena agama dipahami hanya cukup melakukan
ibadah ritual semata, KKN dianggapnya sebagai hal yang biasa. Semua ibadah
ritualnya, termasuk sholat misalnya belum kemudian mewarnai semua perilaku
sosialnya, ibadah ritual dan realitas sosial seakanakan merupakan dua ruang
yang berbeda dan tidak bersentuhan satu sama lain.

43



D. Model pengembangan kurikulum pendidikan Islam di PTAI sebagai
alternatif dalam mewujudkan masyarakat madani
Munculnya berbagai kritik tentang kelemahan PAI dan sekaligus
merupakan kegagalan pelaksanaan PAI bisa jadi disebabkan karena adanya

42
Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia, Anatomi Keberadaan
Madrasah dan PTAI, (Yogyakarta : Gama Media), hlm. 136
43
Sudarsono Shobron Dan Mutohharun Jinan (eds), oleh Wawan Darmawan Masyarakat
Madani: Peran Startegis Umat Islam Dalam Islam, Masyarakat Madani, Dan Demokrasi,
Muhammadiyah University Press Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1999, hlm 20-24.
i
146
kekeliruan dalam mentransfer sistem pengembangan kurikulum atau pembelajaran
yang berkembang selama ini, yang sebenarnya eksperimennya bukan berasal dari
pendidikan agama tetapi dari bidang studi lain, kemudian diadopsi begitu saja
tanpa daya kritisisme yang memadai. Untuk mengantisipasi masalah tersebut,
maka perlu dicarikan model-model pengembangan kurikulum PAI (Pendidikan
Agama Islam) dengan mendudukkan kembali kepada landasan filosofisnya.
44

Dengan begitu, pengembangan kurikulum tersebut akan memberi peserta didik
kemampuan untuk:
1) Menguasai dan mengembangkan iptek;
2) Menciptakan kelembagaan yang efisien; dan
3) Kekokohan Iman dan Taqwa yang meneguhkan moral. Penguasaan iptek bagi
mahasiswa jika dikaitkan dengan pengembangan kurikulum merupakan upaya
penguatan basis pendidikan pada lembaganya. Terutama dalam menghadapi
kompleksnya masalah eksternal, berupa ketidakpastian hidup sebagai akibat
dari perkembangan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural di
masyarakat.

Dalam konteks ini, pengembangan kurikulum harus memperhatikan:
1) Tahap perkembangan peserta didik;
2) kesesuaian dengan lingkungan;
3) Kebutuhan pembangunan nasional;
4) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian;
5) Kesesuaiannya dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.

Kurikulum harus dibenahi karena di dalam pengembangan dan perubahan
kurikulum secara otomatis akan berpengaruh pada perkembangan bahkan
perubahan sistem. Alasan lainnya adalah karena kurikulum lebih luas cakupannya
dan lebih fleksibel dibanding dengan komponen pendidikan lainnya. Jadi sebagai
konklusinya, mengingat nilai penting kurikulum yang dianggap sebagai alternatif
solusi untuk meningkatkan pendidikan dan menyelesaikan "kemandulan"

44
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, Op. Cit. Hlm28
i
147
pendidikan kita, maka perlu sangat diperhatikan, dikembangkan dan dirombak
sebagian atau bahkan keseluruhan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat bahwa
kurikulum merupakan salah satu alat yang dapat secara maksimal mewujudkan
dan merealisasikan tujuan pendidikan, karena dalam kurikulum mencakup
kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Yang berorientasi pada tujuan
pendidikan, mencakup metode, materi, maupun sistem penilaian. Jadi sekali lagi
yang perlu dan sangat harus diperhatikan adalah bagaimana kurikulum itu dikelola
sebaik mungkin sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan, serta terasa manfaat
dan nilai pentingnya yang akhirnya akan benar-benar mewujudkan tujuan
pendidikan.
45

Salah satu peran kurikulum dalam pendidikan adalah menetapkan tujuan
yang ingin dicapai secara pasti agar dapat menjembatani proses perubahan dalam
masyarakat. Atas dasar semuanya itu, pengembangan kurikulum diharapkan juga
menggunakan pendekatan pola fikir sistematik yang mencakup berfikir secara
holistik dengan pendekatan sistem. Terutama dalam upaya meningkatkan
pengalaman belajar peserta didik, demi terciptanya life skill pada lulusan sehingga
menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Kurikulum itu adalah ibarat resep masakan atau desain pakaian. Oleh
karena itu hasilnya akan banyak ditentukan oleh para dosennya yang mengajar
dan mendidik mahasiswa yang belajar. Akan tetapi jika selama ini
penyelesaiannya hanya terfokus pada kurikulum, maka tidak akan pernah

45
Aziz Syah, Mahasiswa PAI Semester I Plus. Artikel, Kurikulum Sebagai Alat Vital
Pendidikan Analisis Pengembangan Kurikulum Di Indonesia,. GEMSI Gabungan Elemen
Mahasiswa Cerdas Inovatif Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah. Edisi
Keempat/November 2005, hlm. 02-04
i
148
memuaskan masyarakat, sebab apapun yang dikeluhkan tentang pendidikan akan
dituduhkan kepada kurikulum sebagai penyebabnya. Tentu amat banyak pilihan
kebijakan dalam rangka menjawab dan memecahkan masalah rendahnya mutu
pendidikan, selain mengutak-atik kurikulum. Jika fokus perhatian diarahkan pada
kualitas lulusan dan bukan hanya pada kurikulum belaka, maka akan terjadi
perubahan yang mendasar pada kualitas SDM sebagai produk dari sistem
pendidikan. Karena itu, jika saat ini sudah diterapkan KBK, maka janganlah kita
menyikapi KBK hanya untuk KBK, tetapi KBK adalah untuk peningkatan mutu
lulusan. Artinya: kurikulum itu sendiri sebenarnya adalah instrument untuk
menghasilkan lulusan yang berkualitas, yakni lulusan yang memiliki pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan karakter pribadi/watak yang dapat diandalkan, yang sesuai
dengan standar yang diakui di tingkat Nasional, Regional, dan tingkat
Internasional. Hal ini sangat penting diperhatikan, karena kita sudah memasuki
era globalisasi atau era persaingan bebas. Sebagai alternatif dalam pengembangan
kurikulum adalah Melalui model pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.
Adapun dengan adanya model ini diharapkan agar:
1) Mutu pendidikan lebih terjamin;
2) Lebih dapat memenuhi kebutuhan lapangan kerja; dan
3) Peran PTAI sebagai agen perubahan masyarakat dapat lebih terpenuhi.

Gambaran umum tentang KBK di PTAI adalah bahwa pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi merupakan perwujudan dari pendekatan
teknologis, sehingga dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan
bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-
tugas tertentu. Kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen dan penuh
i
149
tanggungjawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap
mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat inteligen
harus ditunjukkan sebagai kemahiran, ketepatan dan keberhasilan bertindak. Sifat
penuh tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan, baik
dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Dalam arti,
tindakan itu benar ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan; efisien; efektif dan
memiliki daya tarik dilihat dari sudut teknologi; dan baik ditinjau dari sudut etika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang dianggap memiliki
kompetensi dalam melakukan tugas atau pekerjaan tertentu memerlukan: (1) basic
skills: reading, writing, arithmetic & mathematics, speaking and listening; (2)
thinking skills; thinking creatively, making decisions, solving problems,
visualizing things in the minds eye. Knowing how to learn & reasoning; (3)
Personal quality: individual responbility, elf-esteem, sociability, self management
& integrity (Muhaimin, 2002). Karena itu, ketiga kemampuan atau kecakapan
tersebut harus termuat dalam pengembangan kurikulum.
Adapun landasan pengembangan kurikulum PTAI berbasis kompetensi
setidak-tidaknya bertolak dari landasan filosofis sebagai berikut, yakni:
1) Secara ontologis, manusia memiliki potensi jismiyah, nafsiyah yang
mengandung dimensi al-nafsu, al-'Aql dan al-Qalb, dan potensi ruhiyah
yang memancar dari dimensi al-ruh dan al-fitrah, sehingga ia siap
mengadakan hubungan vertikal dengan-Nya (habl min Allah) sebagai
manifestasi dari sikap teosentris manusia mengakui Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia yang dicitakan adalah manusia yang mampu mengembang tugas-
tugasnya di muka bumi, baik sebagai hamba Allah maupun khalifah-Nya;
2) Secara epistemologis, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi
memiliki dasar rasional tertentu, yaitu: (a) siapa yang akan dijadikan peserta
didik?; (b) apa kompetensi hasil didik, sebagai apa?; (c) siapa yang
membutuhkan hasil didik, berapa jumlahnya, dan bagaimana jenjang karir
i
150
yang tersedia di masyarakat?; dan (d) bagaimana proses pendidikannya agar
tujuan yang diinginkan terwujud?;
3) Secara aksiologis, pengembangan KBK diarahkan pada pengembangan
kemampuan menjalankan tugas-tugas atau pekerjaan tertentu.

Dilihat dari dasar historisnya, aspirasi umat Islam pada umumnya dalam
pengembangan PTAI, pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu:
1) Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam
pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah;
2) Untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam;
3) Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris
keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta,
serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan, dan sebagainya.

Dilihat dari segi dasar sosiologis bahwa masyarakat Indonesia bersifat
plural, serba ganda dan beragam, sehingga tidak adil bila segala-galanya harus
disamakan. Karena itu pengembangan kurikulum harus mampu memberi peluang
kepada masing-masing PTAI untuk berimprovisasi dan berkreasi untuk
mengembangkan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Disamping itu masyarakat bersifat dinamis dan berkembang, sehingga
memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dan/atau kesiapan untuk berhadapan
dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang ada.
Dilihat dari segi psikologis, bahwa setiap peserta didik memiliki potensi-
potensi dasar yang perlu diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan secara
berkelanjutan untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan
khalifah-Nya di bumi. Dari segi landasan hukumnya, sebagaimana tertuang di
dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwa salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional
adalah mengembangkan dan melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi.
i
151
Adapun jika dilihat dari prinsip-prinsip dasar kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) adalah:
1) Menekankan pada hasil (outcomes); Outcomes merupakan kompetensi yang
dapat diukur;
2) Evaluasi keberhasilan merupakan pengukuran penguasaan kompetensi yang
telah dicapai (competency mastery) oleh peserta didik;
3) Relevansi lebih besar pada pekerjaan dan tugas-tugas nyata dan dunia kerja;
4) Menekankan pada kemampuan berpikir lebih tinggi.

Menurut keputusan menteri agama nomor 353 tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Agama Islam pasal 9, bahwa
Kompetensi Lulusan dikelompokkan menjadi empat kompetensi:
a) Kompetensi dasar adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa
sebagai dasar bagi kompetensi utama pendukung dan kompetensi lainnya;
b) ompetensi utama adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa
sesudah menyelesaikan pendidikannya di suatu program studi tertentu;
c) Kompetensi pendukung adalah kompetensi yang diharapkan dapat
mendukung kompetensi utama;
d) Kompetensi lain adalah kompetensi yang dianggap perlu dimiliki oleh
mahasiswa sebagai bekal mengabdi di masyarakat, baik yang terkait
langsung maupun yang tidak terkait.

Kompetensi-kompetensi tersebut diperlukan untuk:
a) Memberikan basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas dari
PTAI, serta ilmu-ilmu dasar lainnya yang menjadi landasan dalam
pengembangan kepribadian dan pendasaran bagi keahlian dari prodi-prodi
yang ada;
b) Memberikan kemampuan adaptasi terhadap ketidakpastian lapangan kerja,
sifat pekerjaan, dan perkembangan masyarakat yang semakin tidak menentu;
c) Mengantisipasi pekerjaan dengan persyaratan kompetensi yang sifatnya
kompetitif dan tidak mengenal batas-batas fisik wilayah, negara dan
pemerintahan;
d) Memfasilitasi proses pendidikan sepanjang hayat, dalam bentuk proses
belajar menemukan dan method of inquiry seseorang.
46


Dalam memahami penjabaran standar kompetensi lulusan maka perlu
dipaparkan Kerangka Pikir Pengembangan SKL dan Macam-Macam Kompetensi

46
Ibid, Hlm.307
i
152
Lulusan PTAI. Standar kompetensi lulusan (SKL) adalah seperangkat kompetensi
lulusan yang dibakukan dan diwujudkan dengan hasil belajar peserta didik.
Standar ini harus dapat diukur dan diamati untuk memudahkan pengambilan
keputusan bagi dosen, tenaga kependidikan lain, peserta didik, orang tua, dan
penentu kebijaksanaan. Standar bermanfaat sebagai dasar penilaian dan
pemantauan proses kemajuan dan hasil belajar peserta didik. Dan dalam
merumuskan fungsi dan tugas-tugas tersebut harus didasarkan pada analisis
landasan konseptual dan landasan empiris.
47

Adapun tujuan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah:
1) Mewujudkan standar nasional dan standar institusional kompetensi lulusan;
2) Memberikan acuan dalam merumuskan kriteria, kerangka dasar
pengendalian, dan quality assurance (jaminan mutu) lulusan;
3) Memperkuat profesionalisme lulusan melalui standarisasi lulusan secara
nasional dengan tetap memperhatikan tuntutan institusional, yaitu
mewujudkan visi dan misi PTAI. Namun, makna perubahan kurikulum di
setiap Perguruan tinggi tentu berbeda-beda antara satu dengan yang lain,
tergantung pada nilai-nilai dasar yang dijadikan filosofi pendidikan di
dalamnya, kondisi institusional, situasi sosial dan masyarakat tempat
Perguruan Tinggi.

Dibawah ini akan dipaparkan Standar Kompetensi Lulusan sebagai contoh
model pengembangan Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas
Tarbiyah. Adapun dalam mendeskripsikan PAI mempunyai visi: menjadi Jurusan
/ Program Studi Pendidikan Agama Islam terdepan di lingkungan Perguruan
Tinggi Islam dalam menyiapkan tenaga pendidik agama Islam dan pengelola
satuan pendidikan keagamaan Islam yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat lokal, nasional, regional, dan internasional, dengan memiliki

47
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, Op. Cit, Hlm 230-231
i
153
kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu dan
kematangan profesional. Sedangkan misi Jurusan PAI adalah:
a) Menyelenggarakan pendidikan unggul yang dirancang untuk menghasilkan
lulusan yang siap menjadi pendidik agama Islam di sekolah/ madrasah dan
jenis pendidikan keagamaan Islam, serta menjadi pengelola satuan
pendidikan keagamaan Islam,
b) Mempersiapkan lulusan yang berkualitas yang memiliki kekokohan akidah
dan kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan
profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kependidikan
Islam,
c) Mengembangkan paradigma baru manajemen pendidikan dan menciptakan
iklim akademik religius dalam pengelolaan pendidikan dan pengembangan
kompetensi sebagai pendidik agama Islam,
d) Mengembangkan penelitian yang melahirkan dan mengembangkan teori-
teori pendidikan formal, informal dan non formal,
e) Mengembangkan pengabdian kepada masyarakat yang lebih bersifat proaktif
dan antisipatif dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan
Pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
f) Mengembangkan jaringan kerjasama/kemitraan dengan Perguruan Tinggi di
dalam dan luar negeri, masyarakat pengguna lulusan, dan stakeholders
lainnya,
g) Mengembangkan dan menjaga nilai, etika profesional, dan moral akademis
untuk pengendalian mutu program studi.

Standar kompetensi lulusan merupakan seperangkat kompetensi yang
dibakukan dan harus dicapai peserta didik sebagai hasil belajarnya pada Program
Studi Pendidikan Agama Islam. Untuk mewujudkan fungsi dan tugasnya, adapun
fungsi pertama adalah tenaga pendidik agama Islam pada jalur pendidikan formal
dan non formal, bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran
PAI, menilai hasil pembelajaran PAI, melakukan pembimbingan dan pelatihan
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan jenis pendidikan keagamaan
Islam dan membimbing dan menggerakkan kegiatan keagamaan. Dan fungsi
kedua adalah menjadi tenaga kependidikan Islam, yang bertugas membentuk,
mengelola, dan mengembangkan program pendidikan keagamaan Islam. Lulusan
i
154
Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah harus memiliki
kompetensi lulusan yang di kelompokkan ke dalam beberapa rumpun, sebagai
berikut.
48
(lihat lampiran I ). Adapun profil Lulusan Fakultas/Jurusan Tarbiyah
Program Studi PAI. Orientasi Fakultas/ Jurusan Tarbiyah program studi
pendidikan agama Islam perlu dikembangkan kearah penyiapan profil dan
kompetensi lulusan sebagaimana tertuang dalam lampiran III.
Untuk menentukan mata kuliah dapat dilakukan dengan cara
mengorganisasikan indicator-indikator kompetensi lulusan yang relevan satu sama
lain menjadi satu kesatuan yang utuh, untuk selanjutnya dapat ditetapkan nama
kuliah apa yang representatif atau mewakili kesatuan indicator yang utuh tersebut,
dengan tetap memperhatikan sudut pandang rumpun keilmuannya. Dibawah ini
adalah standar kompetensi bahan kajian yang dicapai melalui sejumlah bahan
kajian atau mata kuliah dari masing-masing rumpun kompetensi lulusan yang
terlampir di lampiran II, adapun implikasinya adalah sebagai berikut:
49
1. Standar kompetensi lulusan berimplikasi terhadap pemilihan materi
perkuliahan. konsep atau bahan kajian yang esensial dan strategis perlu dipilih
sesuai dengan waktu dan ruang kurikulum untuk mendukung pencapaian
kompetensi lulusan dan indikatornya. Dengan perkataan lain, jumlah mata
kuliah dan bahan kajian yang dipilih sedemikian rupa sehingga dapat dikelola
dalam pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi lulusan yang
direncanakan. keluasan dan kedalaman materi juga perlu diperhatikan agar
lulusan memiliki keyakinan diri dan kemantapan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya dikemudian hari.
2. Standar kompetensi lulusan merupakan acuan utama kendali mutu lulusan
program studi PAI Fakultas Tarbiyah pada umumnya, yang diusahakan agar
semua lulusannya yang akan menjadi calon guru agama Islam di
sekolah/madrasah, pembimbing dan penggerak kegiatan keagamaan Islam di

48
Ibid, hlm 282-283
49
Ibid, Hlm. 293-295
i
155
sekolah/madrasah, pengelola satuan pendidikan keagamaan Islam, memiliki
kemampuan yang sama atau setara dalam menjalankan tugas-tugasnya.
50


Penjaminan mutu perlu dilakukan dalam rangka pemenuhan standar mutu
keseluruhan dimensi pengelolaan pendidikan pada program studi PAI Fakultas
Tarbiyah secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan demikian, stakeholders
memiliki kepuasan. Penjaminan mutu perlu dilakukan mulai dari peningkatan
mutu masukan, pembelajaran yang variatif sampai dengan asessmen proses dan
hasil belajar. Pembentukan kompetensi lulusan program studi Fakultas Tarbiyah
ini merupakan dari berbagai pihak terkait atau stakeholders diluar Fakultas
Tarbiyah. Untuk itu diperlukan jaringan kerjasama/kemitraan antara program
studi PAI Fakultas Tarbiyah dengan semua pihak yang terkait. Jaringan kerja
sama/kemitraan ini diperlukan dalam keseluruhan upaya pengembangan
kurikulum, dan akan sangat membantu, baik dalam rangka evaluasi dan
pemutakhiran kurikulum mapun dalam rangka analisis kebutuhan yang perlu
dilakukan pada awal upaya pengembangan kurikulum.
Evaluasi terhadap kurikulum yang telah dikembangkan perlu dilakukan
secara berkelanjutan. Evaluasi tersebut dalam rangka pemutakhiran kurikulum
erat kaitannya dengan dinamika kebutuhan masyarakat maupun globalisasi Ipteks.
Kegiatan ini dilakukan melalui kajian tentang kesenjangan kurikulum yang ada
dengan perkembangan yang terjadi di lapangan. Terbuka pula kemungkinan
terjadinya perkembangan dalam ipteks yang mengimplikasikan juga perlunya
perbaikan dan penyesuaian kurikulum program studi yang dikembangkan pada
program studi PAI di Fakultas Tarbiyah. Kelompok pemrakarsa atau pihak yang

50
Ibid,Hlm.303
i
156
berperan serta dalam pengembangan kurikulum ini terdiri dari perwakilan dari
Jurusan/Program Studi PAI, seluruh pimpinan Fakultas Tarbiyah, direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, para pakar, unit-unit yang ada di PTAI, dan para
dosen program studi serta pihak-pihak yang berkepentingan (stake holders).
51
Dari pemaparan diatas maka penulis dapat menganalisis dan menjabarkan
standar kompetensi lulusan. Dalam hal ini penulis dibantu oleh salah satu dari
dosen PTAI yang telah banyak ikut serta dan tanggap dengan pemikiran
Muhaimin. Menurut Malik Karim (2007) Pada saat Muhaimin menjadi Pembantu
Rektor I pada tahun 2004-2005. Muhaimin dalam hal ini menjadi pakar dalam
bidang pengembangan kurikulum. Dan Muhaimin memiliki suatu paradigma yang
dikembangkan. Yakni paradigma non madzhabi dan menghindari sektarianisme.
Yang hal tersebut tidak hanya diwujudkan dalam hidden kurikulum. Akan tetapi
diwujudkan melalui Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang kemudian
dimanifestasikan kedalam jajaran mata kuliah.
Jadi didalam Jurusan/ Fakultas Tarbiyah terdapat mata kuliah wajib dan
mata kuliah dasar yang wajib diajarkan oleh dosen dan dimanifestasikan ke dalam
proses pembelajaran dan hal mata kuliah ini wajib diikuti setiap mahasiswa
disegala Jurusan / Fakultas di PTAI ini.
Keputusan dirjen dikti depdiknas RI Nomor: 38 /DIKTI/Kep/2002 tentang
rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di Perguruan
Tinggi menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu
mata kuliah kelompok pengembangan kepribadian (MPK). Visi mata kuliah ini

51
Ibid, Hlm.307
i
157
menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam
mengantarkan mahasiswa mengembangkan kepribadiannya. Sedangkan misinya
adalah membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam
menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa
tanggungjawab kemanusiaan. (Pasal I dan 2).
Menurut pendapat penulis, jika dilihat dari visi dan misi PAI tersebut,
maka idealnya PAI diorientasikan dan dikembangkan kearah paradigma
organisme, yang menjadikan PAI sebagai sumber nilai dan pedoman bagi
penyelenggaraan program studi serta membantu mahasiswa (calon sarjana) agar
mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan Ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni. Kurikulum yang dikembangkan dalam rangka membentuk
karakter seperti dalam masyarakat madani adalah dengan adanya mata kuliah
pengembangan kepribadian dan sikap. Adapun mata kuliah yang termasuk dalam
pengembangan kepribadian ini terbagi menjadi tiga rumpun yang akan sedikit
dijabarkan yakni adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan Kepribadian dan sikap Sebagai Warga Negara Indonesia dan
warga global; Masyarakat madani juga telah banyak di singgung dalam mata
kuliah civic education atau pancasila dan kewarganegaraan yang didalamnya
banyak memaparkan kajian civil society, yang mana masyarakat madani
adalah masyarakat yang sangat menghargai perbedaan, baik suku bangsa,
aliran, madzhab, adat istiadat dan lain-lain. Sama seperti yang telah
dipaparkan dalam pandangan Muhaimin. Mata kuliah ini merupakan
matakuliah Yang sebarkan kepada semua Fakultas/Jurusan di PTAI dalam
rangka membentuk kepribadian dan sikap. Adapun indikator yang perlu
dikembangkan adalah memiliki rasa kebangsaan, memiliki semangat
kebhinekaan, demokratis, memiliki solidaritas sosial, memiliki kepekaan
informasi lokal dan global, mampu berpikir global dan bertindak lokal.
Rumpun mata kuliah ini juga tersebar ke Fakultas-Fakultas lain non
Tarbiyah, dari sini bisa digambarkan bahwa mata kuliah tersebut berupaya
mewujudkan sebagai karakter yang mendukung menuju terciptanya
i
158
masyarakat madani. Dalam hal ini dapat dilihat dari rumpun mata kuliah
tersebut yang dikembangkan di PTAI ini.
2. Pengembangan Kepribadian dan sikap sebagai orang Islam (warga muslim);
Dalam mengembangkan kepribadian sebagai warga muslim yang beriman
dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka diperlukan mata kuliah
yang terkait dalam mewujudkan masyarakat madani, yakni mata kuliah
Pengantar Studi Islam, yang mana mata kuliah tersebut turut andil dalam
mengembangkan kepribadian diri sebagai muslim dan sesuai dengan
karakteristik menuju masyarakat madani. Adapun indikator yang diusahakan
dalam menghasilkan lulusan yang kompeten adalah: memiliki komitmen,
loyalitas dan dedikasi terhadap ajaran Islam, mampu berpikir, berbicara, dan
bertindak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, memiliki tanggung jawab,
harga diri, integritas, mampu bersosialisasi, mampu saling menghormati
antar umat beragama.
3. Pengembangan Kepribadian dan sikap sebagai mahasiswa muslim; Dalam
hal ini mahasiswa diharapkan memiliki watak dan kepribadian yang unggul,
pemikiran yang ilmiah, logis dan terarah. Dalam hal ini dalam matakuliah
diajarkan melalui pengantar filsafat ilmu. Adapun indikatornya adalah
pengembangan kepribadian dan sikap sebagai mahasiswa muslim yang
bersikap ilmiah, yakni cinta ilmu pengetahuan, cinta kebenaran, rasional,
kritis, objektif, menghargai pendapat orang lain dan mandiri. Dengan
demikian pemberian mata kuliah filsafat ilmu di perguruan tinggi
diharapkan akan bisa mengatasi sempitnya wawasan serta masalah-masalah
lain. Masyarakat perguruan tinggi (terutama dosen dan mahasiswa) akan
lebih siap untuk tidak memandang ilmu sebagai kumpulan bahan bacaan
(hafalan) melainkan akan berusaha mencermatkan kegiatan ilmiah.
Selanjutnya penalaran akan berkembang dan semangat ilmiah berkobar.
Dalam hal ini mata kuliah filsafat ilmu akan memberikan peranannya.
52


Dari pemaparan diatas dapat dipahami bahwa dalam pengembangan
kepribadian dimanifestasikan ke dalam jajaran mata kuliah tidak hanya melalui
hidden kurikulum, artinya kepribadian yang dikembangkan diluar kegiatan
pembelajaran seperti pembiasaan sholat berjamaah di PTAI, bagi setiap warga
kampus mulai dari dosen, mahasiswa dan karyawan. Karena manifestasi juga
penting dalam usaha mengembangkan PTAI ke Depan perlu dikembangkan
budaya-budaya akademik dosen dan mahasiswa. Budaya akademik adalah

52
Wawancara dengan Bapak Malik Karim Dosen Fakultas Tarbiyah pada tanggal 6 Maret
2007 pada pukul 09.00 WIB. Di Kantor Jaminan Mutu di Gedung Pasca Sarjana lantai 1
i
159
kegiatan yang terencana secara sistematis berkaitan dengan peningkatan kualitas
akademik atau sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan oleh civitas akademik
berkaitan dengan nilai-nilai akademik.
Adapun Budaya akademik antara lain: motivasi belajar-mengajar,
kegemaran melakukan riset, kegemaran menulis, kemampuan berfikir rasional,
analitis, kritis, kemampuan berkomunikasi secara ilmiah-akademis, kemampuan
berkreasi, menemukan yang baru, kemampuan menyesuaikan diri dengan
perubahan, disiplin dalam tugas dan pekerjaan, komitmen kepada kemajuan,
berwawasan ke depan (prospektif), mengadopsi kemajuan teknologi informasi,
kemampuan dan kegemaran bekerjasama dalam pengembangan keilmuan.
Sedangkan Kompetensi Sosial yang perlu di kembangkan adalah
Kemampuan berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerjasama dengan jajaran
pimpinan, dengan sesama dosen, dengan para karyawan, serta dengan para
mahasiswa. Orientasi akademik yang perlu dikembangkan di PTAI adalah:
Pengembangan ilmu yang relevan, Pengembangan SDM (dosen, karyawan,
mahasiswa), Antisipatif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman, Pembenahan
sistem & perilaku manajerial akademik.
Sebenarnya agama Islam mengajarkan bahwa setiap umat Islam wajib
mendakwahkan dan mendidikkan ajaran agama Islam kepada yang lain. Namun
demikian, pendidikan agama ternyata tidak hanya menyangkut masalah
transformasi ajaran dan nilainya kepada pihak lain, tetapi sampai pada
transinternalisasi nilai ajaran Islam. Karena itu, lebih merupakan masalah yang
kompleks, dalam pengertian setiap kegiatan pembelajaran pendidikan agama akan
i
160
berhadapan dengan permasalahan yang kompleks, misalnya masalah keyakinan,
keilmuan, penghayatan dan pengamalan ajaran agama dari guru/dosen itu sendiri
untuk ditransformasikan dan ditransinternalisasikan kepada peserta didik dengan
berbagai karakteristiknya, dengan berbagai kondisi dan situasi, berbagai kendala
yang perlu diperhitungkan, sarana yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan
pendidikan agama, cara atau pendekatan apa yang digunakan dalam
pembelajarannya, bagaimana mengorganisasikan dan mengelola isi pembelajaran
agama itu, hasil yang diharapkan dari kegiatan pendidikan agama itu, dan
seberapa jauh tingkat efektivitas, efisiensinya, serta usaha-usaha apa yang
dilakukan untuk menimbulkan daya tarik bagi peserta didik, demikian seterusnya.
Karena itulah, setiap calon guru termasuk guru agama, perlu dipersiapkan
dengan berbagai kemampuan tersebut. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
pendidikan agama mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam
pembangunan negara dan masyarakat Indonesia. Demikian strategisnya posisi
pendidikan agama tersebut, sehingga fakultas Tarbiyah masih sangat diperlukan
eksistensinya untuk menyiapkan calon guru agama yang profesional.
Berbicara tentang lulusan yang siap pakai tidak bisa dilepaskan dari
pembicaraan tentang strategi link and match (keterkaitan dan kesepadanan), yang
saat ini merupakan salah satu prioritas pembangunan pendidikan nasional.
Keterkaitan (link) dalam pengertian keterkaitan program pendidikan dengan
kebutuhan pembangunan sehingga terjadi (match), dalam pengertian lulusannya
siap pakai untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.
i
161
Diskursus tentang lulusan yang siap pakai ternyata mengundang polemik
dan controversial. Sementara pihak menyatakan bahwa tidak mungkin (nonsense)
lulusan yang siap pakai bisa dihasilkan oleh sekolah atau perguruan tinggi,
termasuk Fakultas / Jurusan Tarbiyah. Diantara alasannya adalah karena
kenyataan menunjukkan bahwa kebutuhan yang ada di masyarakat senantiasa
berkembang dan mengalami dinamika. Disamping itu, lembaga pendidikan bukan
untuk mencetak lulusan yang siap pakai, tetapi ingin mendidik dan menyiapkan
lulusan yang memahami dirinya, perannya di masa depan. Sementara, pihak lain
justru menghendaki agar Perguruan Tinggi bisa diprogramkan untuk
menghasilkan lulusannya mampu dan siap menjalankan tugas untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan di lingkungan atau masyarakatnya.
Kesiappakaian lulusan harus diartikan bahwa mereka siap dengan berbagai
kemampuan, alat atau kelengkapan untuk dimanfaatkan di bidang keahliannya.
Lulusan Fakultas Tarbiyah dikatakan siap pakai bilamana dia disiapkan dengan
kurikulum atau seperangkat pengalaman belajar yang relatif sempurna di
Fakultas/ Jurusan Tarbiyah yang kemudian setelah lulus dia siap bekerja dalam
bidang kesarjanaannya, yakni sarjana pendidikan agama. Kalau dia sudah
disiapkan dengan seperangkat kurikulum dan pengalaman belajar, tetapi toh dia
tidak bisa bekerja (menjalankan tugas sebagai guru agama/ pendidik), maka dia
tidak siap pakai.
Menurut UU Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 dalam pasal 6
tentang guru dan dosen yang menyatakan bahwa kedudukan guru dan dosen
sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan
i
162
nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
53
Mempersiapkan para dosen menjadi pendamping dan pembimbing
mahasiswa supaya mereka dapat berfungsi dengan baik dan mampu melahirkan
figure mahasiswa ideal yang unggul dalam kegiatan akademis dengan tetap
berpijak pada lingkungan sosialnya adalah bukan hal mudah. Kita harus
menyadari untuk menata secara rasional ke arah pembimbingan mahasiswa yang
lebih mapan. Asumsi yang mendasari barangkali adalah bahwa mahasiswa
merupakan calon pemimpin di masa depan sesuai dengan bidang yang
ditekuninya dengan berbagai persaingan yang semakin menajam.
Adanya problem yang terjadi di madrasah menuntut perlunya penyiapan
guru-guru madrasah yang berwawasan akademis sekaligus memiliki komitmen
keislaman yang tinggi, agar mereka mampu menangkap makna substansial dari
eksistensi madrasah. Sebagai konsekuensinya rekruitmen tenaga kependidikan di
madrasah perlu dibedakan dengan sekolah non madrasah, demikian pula
penyiapan calon guru madrasah perlu dibedakan dengan calon guru non
madrasah. Disinilah salah satu tantangan PTAI/IAIN/STAIN di masa mendatang,
dalam arti ia memiliki tanggungjawab besar untuk menyiapkan calon-calon guru

53
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen,
serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. 2006.
Bandung: Citra Umbara
i
163
tersebut yang memiliki komitmen akademis-religius atau personal dan
professional religius.
54
Perguruan Tinggi, sebagai suatu tahapan akhir yang akan menghasilkan
para cendekiawan, ilmuwan, praktisi, dan akademisi, diharapkan mampu
menghasilkan pimpinan bangsa ini. Untuk itu dibutuhkan suatu pola belajar yang
berprestasi menghasilkan tuntutan tersebut. Upaya ini bukanlah suatu hal yang
mudah karena disamping dibutuhkan suatu kesadaran, tekad, dan kesabaran, tapi
juga dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan yang tinggi dari para dosen
pendamping/pembimbing kemahasiswaan. Harapan ideal dari terbentuknya upaya
dan model bimbingan kepada mahasiswa yang dipercaya mampu melahirkan
SDM berkualitas di masa depan. Usaha ke arah pemberdayaan dan
mempersiapkan masa depan mahasiswa harus menjadi mainstream utama pada
diskusi kali ini. Hal ini sejalan dengan mengubah model pembelajaran, Dari
berorientasi kepada guru/dosen (teacher oriented) ke pembelajaran yang
berorientasi kepada siswa/mahasiswa (student oriented).Mencintai mahasiswa
dan dicintai mahasiswa adalah modal dasar bagi para dosen ke arah bimbingan
yang signifikan bagi pembangunan kualitas SDM mahasiswa di masa depan.
Menghadapi persaingan global pada tahun 2020, mahasiswa adalah menempati
pada posisi umur produktif yang kepadanyalah segenap harapan ditumpukan.
55
Menurut pengamatan para ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa
Indonesia ini hampir mencapai tittik zero trust society, atau masyarakat yang

54
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: nuansa, 2003), hlm.203
55
A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan, Editor Ahmad Barizi, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005. hlm.283-284)
i
164
sulit percaya dan dipercaya, akibatnya kita kalah bersaing dengan orang-orang
luar, basis-basis ekonomi justru dikuasai oleh orang-orang asing, karena mereka
lebih dapat dipercaya dari pada masyarakat kita sendiri, sementara kita harus
mengabdi kepada mereka. Dalam konteks pendidikan, munculnya pemalsuan
ijazah, tradisi nyontek dikalangan siswa/mahasiswa, plagiasi skripsi, tesis atau
disertasi, adalah merupakan indicator dari rendahnya sikap amanah (trust).
Fenomena semacam itu merupakan tantangan yang perlu segera dijawab
oleh Fakultas/Jurusan Tarbiyah, dalam arti apa kontribusinya dalam membangun
masyarakat yang memilki sikap amanah (trust) yang tinggi tersebut. Apakah yang
dapat diperbuat terhadap para mahasiswanya, generasi penerus, lingkungan, dalam
rangka terwujudnya masyarakat madani, yakni masyarakat yang memiliki pribadi-
pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia, yang dapat berdiri sendiri dan
bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan
penuh sikap amanah.
Disamping itu kita juga sedang menghadapi globalisasi di bidang budaya,
etika dan moral sebagai akibat dari kemajuan teknologi, terutama di bidang
informasi. Melalui media massa yang canggih menyebabkan peran guru pada
umumnya dan termasuk guru agama Islam, dalam belajar sudah mulai bergeser.
Para siswa saat ini telah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, yaitu:
1) Guru yang bersifat pedagogis;
2) Buku-buku pelajaran yang bersifat pedagogis dan terkontrol oleh guru;
3) Buku-buku bacaan ada yang terkontrol oleh guru dan ada yang tidak
terkontrol;
4) Surat kabar adalah sumber pesan pesan pembelajaran yang tidak terkontrol;
majalah, radio, film, televisi, wisatawan asing yang tidak terkontrol.
Sumber-sumber pesan pembelajaran yang tidak terkontrol oleh pendidik
i
165
tersebut dapat mengakibatkan perubahan budaya, etika dan moral siswa atau
masyarakat.
56


Dari penjabaran standar kompetensi kelulusan ini adalah merupakan
kerangka pemikiran Muhaimin yang dideskripsikan dalam bentuk jajaran
matakuliah yang harus ditempuh dan kemudian dicapai kompetensi yang dicapai.
Jadi standar kompetensi lulusan hanya dijadikan landasan berpikirnya Muhaimin
dalam rangka mempersiapkan output atau lulusan yang mampu merespon
tantangan dan menjawab persoalan dalam upaya menghasilkan lulusan yang
mampu bersaing di dalam segala bidang keilmuan. Dan dapat dijadikan acuan
dalam menjamin mutu lulusan sesuai dengan visi dan misi di PTAI atau di
Perguruan Tinggi yang merujuk pada standar kompetensi lulusan tersebut.
Langkah pertama guna membentuk pola pikir, sikap, dan tingkah laku
yang Islami, adalah meluruskan kembali pemahaman nilai-nilai keagamaan, serta
menyebarluaskannya, sehingga dapat dipahami dan dihayati oleh umat. Cukup
banyak masalah yang perlu diluruskan, sebagaimana tidak sedikit yang perlu
mendapatkan interpretasi baru seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
57

Melihat kenyataan yang terjadi di tingkat Perguruan Tinggi, tingkat yang
mestinya kualitas menjadi ciri khas. Di Perguruan Tinggi bahkan ada yang
sepertinya hanya menjual ijazah, tidak menyiapkan peserta didiknya untuk dapat
bersaing secara nasional, apalagi secara global. Banyak PTAI yang tidak
berorientasi pada kebutuhan masyarakat sehingga banyak lulusannya tidak dapat

56
Muhaimin, Arah Baru Op. Cit, hlm.299
57
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994) hlm, 251
i
166
dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai ijazahnya. Banyak diantara mereka
menganggur.
Jadi PTAI perlu melakukan introspeksi dengan merumuskan kembali.
Maka PTAI perlu kembali kepada khittah atau mencari kembali khittahnya yang
hilang. PTI perlu merumuskan misi, visi dan tujuannya di masa depan dengan
melakukan pembenahan terhadap komponen-komponen pendidikan seperti
kurikulum, dosen dan proses belajar mengajar, dan lain-lain. Kurikulum PTAI
perlu diusahakan agar relevan, efektif dan efisien, serta luwes dengan fokus
sasaran yang jelas dan dapat diukur relevan artinya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat; efektif artinya ada bekasnya (dampaknya) bagi pengetahuan dan
ketrampilan mahasiswa; efisien artinya tujuan itu dicapai dengan penggunaan
waktu, dana, dan tenaga yang sehemat mungkin; luwes dalam arti mudah
disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat. Kurikulum yang luwes
akan memungkinkan mahasiswa, dengan latar belakang yang berbeda-beda untuk
mencapai tujuan kurikuler yang ditetapkan. Kualitas dosen juga perlu
ditingkatkan, baik dibidang penguasaan ilmu, ketrampilan mengajar, maupun cara
mengevaluasi hasil kuliah. Kualitas dosen ini penting karena merekalah ujung
tombak di ruang balajar dan the man behind the gun yang menentukan layanan
pendidikan di PTAI.
Menurut penulis usaha meningkatkan mutu pendidikan agama silam juga
dipengaruhi oleh kualitas input mahasiswa. Ini adalah faktor yang amat penting
karena kualitas mahasiswalah yang menjadi suatu ukuran bagi suatu lembaga
pendidikan. Lulusan yang baik menunjukkan bahwa proses pendidikan dilembaga
i
167
itu baik, begitu pula sebaliknya. Ini dapat dilakukan dengan melakukan serangan
masuk yang standar dan ketat. Namun, yang dihadapi PTAIN adalah lulusan
SLTA yang bukan bibit unggul (yang bibit unggul lebih memilih perguruan tinggi
lain yang lebih menjanjikan masa depan yang lebih cerah). Dengan kenyataan
seperti ini, yang bisa dilakukan hanya berusaha melakukan pembinaan yang
mendekati standar yang telah kita tetapkan dalam tujuan kurikuler (misalnya
melalui program artikulasi/remedial). Peningkatan kualitas proses belajar
mengajar di PTAI juga penting. Ini menyangkut cara perkuliahan yang diberikan
dosen dan pemanfaatan bahan pustaka. Pendidikan diarahkan bukan pada
pemberian ikan tetapi pemberian kail. Mahasiswa harus dididik bukan untuk
menerima informasi guna memecahkan masalah yang mereka hadapi nanti. Jadi,
penekanan harus pada penguasaan metodologi (kaidah-kaidah) pengembangan
ilmu (penelitian) bukan hasil-hasil penelitian.
Pengembangan pendidikan agama Islam memerlukan upaya rekonstruksi
pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang
terjadi: pertama; subject matter pendidikan Islam harus berorientasi ke masa
depan: kedua; perlu dikembangkan sikap terbuka bagi transfer of knowledge dan
kritis terhadap setiap perubahan, ketiga; menjauhkan paradigma dikotomis
terhadap ilmu (ilmu agama dan ilmu umum), tidak terjebak pada kategori-kategori
yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus
disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Karena agama dan
ilmu merupakan entitas yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu sama
lain.
i
168
Setiap diskursus tentang metodologi memerlukan sentuhan-sentuhan
filsafat. Tanpa sense of Philosophy maka sebuah metodologi akan kehilangan
substansinya. Metodologi Studi Islam (MSI) perlu visi epistemologis yang dapat
menjabarkan secara integral dan terpadu terhadap tiga arus utama dalam ajaran
Islam: aqidah, syariah dan akhlak. Mata kuliah tersebut diberikan kepada semua
fakultas yang merupakan mata kuliah dasar (wajib) bagi pengantar semua mata
kuliah yang ada, yang mencakup ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Diharapkan dengan matakuliah ini, mata kuliah lainnya akan terarah pada
wawasan dan ruh ke-Islaman yang kontekstual-transformatif, bukan dogmatik,
sebab kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set
back) ke zaman pra-copernicus dan mengundang kemungkinan tersebut pada
zaman ini. Begitu pula kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam
pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Disinilah
perlunya paradigma integralisme dan desekularisasi terhadap ilmu. Lebih dari itu
dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama
Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu
memberikan kontribusi yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ilmuan-ilmuan Muslim sebelumnya.
58
Adanya integrasi keilmuan karena adanya dikotomi keilmuan, selama ini
kita dihadapkan pada kenyataan adanya dikotomi keilmuan. Keilmuan agama dan
keilmuan non-agama atau dalam tulisan ini diistilahkan dengan "sains dan

58
Zainuddin, ( Eds) Memadu Sains Dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan,
(Malang: PTAI Malang dan Bayu Media Publishing, 2004), hlm. 18-19
i
169
agama". Sebenarnya persoalan ini bukanlah hal yang baru dalam tradisi Islam.
Dalam dunia Islam dikotomi ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena Islam
telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun yang lalu.
Persoalan dikhotomi dalam sistem pendidikan itu bukan hanya
menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja tetapi juga perbedaan yang
lahir dari pendekatan terhadap tujuan pendidikan. Oleh karena itu para
cendekiawan muslim dari berbagai dunia berkumpul untuk memecahkan
persoalan ini sehingga muncul gagasan baru untuk memecahkan permasalahan
tersebut diatas antara lain dengan mengintegrasikan antara ilmu-ilmu pengetahuan
agama dan ilmu pengetahuan umum. Rendahnya kualitas anak didik tidak bisa
dilepaskan dengan masalah dikhotomi sistem pendidikan, yang mana telah
memunculkan pribadi-pribadi yang terpecah dan tidak menghasilkan anak didik
yang mempunyai komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam. Oleh karena
itu, ada 4 usaha yang menurut Fazlur rahman harus dilakukan:
a) Memberikan pelajaran Al-Quran dan metode tafsir secara sistematis;
b) Memberikan materi disiplin ilmu agama secara historis, kritis dan
menyeluruh;
c) Mengintensifkan penguasaan bahasa asing;
d) Menumbuhkan sikap toleran perbedaan pendapat.
59


Terlepas dari masalah terakhir ini, di lingkungan PTAI atas persetujuan
Departemen Agama sejak 1970-an telah melakukan berbagai upaya untuk
memperkecil jika tidak menghilangkan dikotomi tersebut. Setidaknya ada langkah
yang signifikan yang dilakukan, yakni dengan memperkenalkan dan

59
Jalaluddin Anshori Kalatin, Pembaruan Pendidikan Islam Dalam Wacana Pemikiran
Fazlur Rahman, Dalam Buku Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaruan
Pendidikan Islam, (Shabran, Jurnal Studi Dan Dakwah Islam, Edisi 01, Vol. XIV, 2000), Lembaga
Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm, 93-95
i
170
memperbanyak mata kuliah umum seperti filsafat umum, sosiologi, perbandingan
agama, statistik dan lain-lain dalam kurikulum nasional IAIN/PTAI. Dan adapun
contoh silabi perbandingan agama sebagai upaya merentas dikotomi ilmu
pengetahuan adalah termaktub dalam (lampiran IV). Tujuan upaya ini selain
untuk mendekatkan "ilmu-ilmu agama" dengan "ilmu-ilmu umum", juga agar
mehasiswa IAIN tidak terbelenggu dalam kerangka normatif dalam memahami
agama, sebagaimana lazim dalam"ilmu-ilmu agama". Dengan begitu, diharapkan
mahasiswa IAIN juga mampu berpikir dan menggunakan pendekatan sosiologis
historis dalam memahami agama.
60
Dari hasil penelitian di UIN dapat diketahui bahwa model integrasi
keilmuan yang mungkin bisa dikembangkan di UIN adalah model integrasi yang
bersifat dialektis. Model integrasi dialektis dipahami sebagai model integrasi yang
mencoba mendialeketikkan antara keilmuan dan agama. Integrasi dialektis
tersebut dapat memanifestasikan dalam bentuk:
a) Integrasi dalam desain besar pembelajaran dan/atau program studi integrasi
dalam konteks yang pertama ini sebagaimana dijelaskan Machasin dapat
dilakukan dengan membuat desain pembelajaran yang berparadigma
integratif. Perangkat pembelajaran seperti kurikulum menjadi hal yang harus
jadi perhatian;
b) Integrasi dalam sikap ilmuwan. Integrasi dalam konteks yang kedua lebih
menjadikan subjek sebagai objek dari integrasi. Dengan demikian, hal ini
yang terpenting adalah bagaimana mode berfikir (mode of thought) ilmuan
itu yang dipengaruhi. Ini juga berarti bahwa integrasi keilmuwan lebih
diperlakukan dalam ranah etis.

Upaya yang harus diusahakan semaksimal mungkin berkenaan dengan dua
model integrasi diatas adalah:

60
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Restrukturisasi Dan
Demokratisasi, Op. Cit, hlm. 102-103
i
171
1. Mahasiswa mesti diberi pengetahuan berkenaan dengan asumsi-asumsi ilmu
yang dipelajarinya. Mereka harus memahami landasan filosofis dari
keilmuan yang dipelajari di masing-masing program studi. Pada titik ini kita
menyadari arti penting dari filsafat ilmu dalam memperkuat program
integrasi keilmuan. Abdullah dengan tandas menegaskan bahwa filsafat ilmu
mempunyai makna sangat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Ilmu apapun yang disusun, diajarkan dan disebarluaskan secara lisan
maupun tulisan meniscayakan paradigma kefilsafatan. Dengan memberikan
pemahaman dasar kepada mahasiswa diharapkan hambatan-hambatan yang
muncul seperti sikap skeptis dikalangan mahasiswa dapat diatasi;
2. Hal selanjutnya adalah bagaimana landasan epistemologi ilmu dipelajari
oleh mahasiswa, itu adalah suatu keharusan. Oleh karena itu, kurikulum,
silabi harus benar-benar menunjang terhadap proses pembelajaran yang
mengarah pada integrasi ilmu dan agama;
3. Membangun academic sphare yaitu suasana akademik atau atmosfir
akademik yang kondusif bagi tumbuhnya wacana integrasi ilmu dan agama,
sehingga suasana diskusi ini benar benar dihidupkan;
4. Komitmen dosen, pimpinan juga harus benar-benar nayata dalam
menggulirkan wacana integrasi ilmu dan agama. Semua civitas akademik
dari rektor hingga pimpinan yang lain harus konsisten dalam mengkontruksi
wacana ini. Jangan berharap membangun di luar kalau di dalam masih
berbeda-beda, oleh sebab itu harus ada komitmen tinggi dari segenap civitas
akademika;
5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (dosen). Berkenaan dengan hal
ini terdapat beberapa langkah yang mungkin bisa dilakukan yakni
penyaiapan mental ruhiyah setiap pribadi, penguasaan informasi terutama
berkenaan dengan masalah agama yang mencukupi, dan penguasaan ilmu
yang dibidangi secara tuntas dan mendalam.
61


Terdapat asumsi-asumsi dari Muhaimin, terdapat hal-hal yang dijadikan
fokus perhatian, maka perlu dicarikan alternatif model pengembangan interaksi
guru (dosen) dan peserta didik dalam penyiapan ulul albab pada Perguruan Tinggi
Islam (PTI). Model tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:
1) Perlu memposisikan mahasiswa sebagai santri di PTI, guna membina
seperangkat kepribadian yang terkait dengan model atau sentral identifikasi
diri, atau menjadi penutan atau teladan serta konsultan bagi peserta
didiknya;
2) Perlu memposisikan mahasiswa sebagi Thalib Alilm di PTI. Kata thalib
berasal dari kata thalab yang berarti berusaha, mendapatkan, mencari,

61
Abdul Wahab Rosyidi dan M. In'am Esha. Ulul albab. Jurnal Studi Islam, Sains dan
Teknologi. Vol 7. No.1 Tahun 2006. hlm. 62-80.
i
172
meminta, menginginkan sesuatu, mengajukan permohonan, atau melamar.
Kehadiran mahasiswa di PTI adalah untuk mengajukan permohonan atau
melamar keilmuan para dosennya atau seperangkat keilmuan yang
dikembangkan PTI tersebut;
3) Perlu menciptakan suasana interaksi mendidik di PTI terutama antara
pendidik (tapi bukan dosen) dengan mahasiswa, atau antara para karyawan
(pegawai) dengan mahasiswa. Pendidikan Islam adalah upaya
pengembangan pandangan hidup Islami yang dikembangkan dalam sikap
hidup dan diwujudkan dalam ketrampilan hidup. Bertolak dari pandangan
ini, maka para tenaga pustakawan, laboran, karyawan, administrasi, pesuruh
dan lainnya yang bekerja di PTI tersebut, perlu diberi berbagai pembekalan
yang memungkinkan uatuk dapat mambantu konteks atau suasana yang
menunjang ke pengembangan pandangan hidup Islami yang dikembangkan
dalam sikap hidup dan diwujudkan dalam ketrampilan hidup sehari-hari;
4) PTI sebagai institusi social, jika dilihat dari struktur hubungan antar
manusianya, dapat diklasifikasikan kedalam tiga hubungan, yaitu: (1)
hubungan atasan-bawahan; (2) hubungan professional; (3) hubungan
sederajat atau sukarela. Ketiga hubungan tersebut perlu didudukkan secara
proporsional dengan dilandasi oleh kode etik tertentu, untuk menghindari
tumpang tindih.
62


Karena itu, Ulul albab adalah sosok manusia yang diharapkan mampu
mampu berkiprah diberbagai sector kehidupan dan berbagai bidang keahlian, serta
berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dalam arti, agar lulusan PTAI
Malang mampu berkiprah dalam forum manapun, maka perlu dikembangkan
bidang-bidang tugas yang lebih luas, yang meliputi penyiapan calon-calon
pendidik agama Islam, psikolog, budayawan atau sastrawan, ekonom, sosiolog,
saintis dan lain-lainnya yang berkepribadian ulama (berperspektif Islam).
63
Pada prinsipnya, posisi dan peranan Fakultas Tarbiyah sangat ditentukan
kemauan dan kemampuan Fakultas tersebut dalam mengolah tantangan tersebut.
Hal demikian antar lain dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan berbagai

62
Muhaimin, Penyiapan Ulul Albab Alternatif Pendidikan Islam Masa Depan, el-Hikmah,
Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, Vol 1. No. I, 2003. hlm 14-20
63
Muhaimin, Arah Baru, Op. Cit, hlm .297
i
173
unsur yang terdapat dalam pendidikan tersebut. Untuk itu, dapat dikemukakan
hal-hal sebagai berikut:
1) Fakultas Tarbiyah harus melahirkan tenaga guru yang profesional, yaitu
guru yang selain memiliki wawasan pengetahuan di bidang materi yang
akan diajarkannya juga memiliki keahlian dan ketrampilan
menyampaikannya sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif
dan efisien, guru masa depan juga harus berjiwa agama yang kuat, bermoral
dan berakhlak mulia, sehingga tidak terpengaruh oleh paham kehidupan
sekularistik.
2) Segi kurikulum, Fakultas Tarbiyah harus memiliki kurikulum yang
mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Cara pengajaran pengetahuan
agama saat ini dilakukan satu per bidang studi, perlu diimbangi dengan
upaya pemberian pengetahuan agama bersifat integrated atau perenialis.
3) Segi dosen, Fakultas Tarbiyah harus memiliki dosen yang selain memahami
visi tentang fakulatas Tarbiyah, juga menguasai barbagai ilmu pengetahuan
yang diajarkannya secara profesional, penyampaiannya secara didaktis dan
metodologis.
4) Segi sarana dan prasarana harus memiliki peralatan yang cangih misalkan
peralatan laboratorium micro teaching.
5) Jenis sasaran yang harus dipenuhi oleh Fakulas Tarbiyah adalah berbagai
corak dan bentuk pendidikan yang variatif sesuai dengan jenjangnya yang
dibutuhkan masyarakat dengan membuka jurusan baru.
6) Sejalan dengan pentingnya menyeimbangkan antara penguasaan iptek dan
imtak, maka fakulatas tarbiyah seyogyanya juga harus mempelopori
pelaksanaan konsep pendidikan terpadu.
64


Model integrated ini memiliki landasan yang kuat yaitu falsafah negara
atau bangsa Indonesia, yakni pancasila, yang jika dianalisis dengan menggunakan
pendekatan filsafat, maka pencasila bukan yang mengandung lima ide dasar
melainkan empat yaitu:
1) Kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) Persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3) Kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4) Keadilan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pengertian ini tersurat dalam simbol yang ada di dada garuda yang
dijadikan lambang pancasila. Di situ bintang atau simbol keimanan

64
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan IAIN Syarif Hidayatullah, 2001)
hlm.164-170
i
174
mengambil daerah empat sila lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa
inti pancasila adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Model kurikulum integrated, yakni model pembelajaran yang
menggunakan pendekatan antar bidang studi. Dalam konteks pengembangan ilmu
atau teori disebut dengan menggunakan cara kerja multidisiplin. Kerja
multidisiplin adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin dan berupaya
membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi dengan ahli disiplin lain.
Didalam kurikulum PAI tentunya terdapat tema-tema atau ide-ide
konseptual yang bisa dipadukan atau dikoordinasikan dengan bidang studi atau
mata pelajaran yang lainnya. Misalnya dosen mata kuliah civic education yang
mengajarkan materi dengan tema hak asasi manusia. Dosen pendidikan agama
Islam meninjaunya dari perspektif ajaran dan nilai-nilai Islam, yang menjadi
sumber atau pusat konsultasi dari mata kuliah yang lainnya. Agama Islam memuat
nilai-nilai Ilahi (nilai-nilai hidup etik religius) yang memiliki kedudukan vertikal
lebih tinggi daripada nilai-nilai hidup lainnya. Disamping itu, nilai Ilahi
mempunyai konsekuensi pada nilai-nilai lainnya, dan sebaliknya nilai-nilai
lainnya memerlukan konsultasi pada nilai Ilahi, sehingga hubungannya termasuk
vertikal linier. Sedangkan nilai-nilai hidup insani (seperangkat mata kuliah non
agama Islam) mempunyai relasi sederajat. Dosen PAI meninjaunya dari perspektif
sosiologi, geografis, ekonomi, ilmu kealaman. Namun demikian semuanya
program studi atau matakuliah tersebut berada pada payung pendidikan agama
i
175
Islam yang mengembangkan dan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT.
65

Keberhasilan dalam internalisasi paradigma integrasi keilmuan tidak bisa
dilepaskan dari peran dosen sebagai "soko guru"nya. Maka, peningkatan kualitas
sumber daya manusia adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks ini pengiriman
dosen dalam short course, seminar, simposium, program sandwich, dsb adalah hal
yang mesti dilakukan secara berkesinambungan dan merata. Dengan
memperhatikan standar isi kurikulum dan standar kelulusan di Perguruan Tinggi
maka model kurikulum juga dapat menggunakan pendekatan eklektik, yakni dapat
memilih yang terbaik dari keempat pendekatan dalam pengembangan kurikulum
(pendekatan subyek akademis, humanistis, rekonstruksi sosial, dan teknologis)
sesuai dengan karakteristik bahan-bahan kajian tersebut.
Namun dalam hal ini penulis menganalisis bahwa model pengembangan
kurikulum PAI yang sesuai dengan tuntutan masyarakat adalah model pendekatan
kurikulum rekonstruksi sosial yang diharapkan mampu mewujudkan cita-cita
terbentuknya suatu masyarakat madani yang mampu merespon tantangan global,
baik dalam menghadapi persoalan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan
lain sebagainya. Dan dengan model pengembangan kurikulum rekonstruksi sosial
maka output yang diharapkan memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain,
sanggup menganalisis dan memecahkan kepincangan-kepincangan sosial dan
masalah-masalah lainnya di masyarakat, terpanggil untuk membantu kelompok
yang lemah, memiliki komitmen untuk senantiasa memihak kepada si lemah, dan

65
Muhaimin, Nuansa Baru. Op.Cit, hlm.181-183
i
176
berupaya selalu untuk menjembatani perbedaan paham dan memelihara ukhuwah
Islamiyah.
Sebagaimana yang di sampaikan oleh Muhaimin, bahwa:
"Mata kuliah dasar sebagai landasan untuk keahlian dan diintegrasi dalam
internalisasi nilai-nilai agama dalam proses pembelajaran di dalam perkuliahan.
Kurikulum integrative adalah kurikulum yang dikembangkan antar bidang studi
dan lintas disiplin dengan karakteristik dari masing-masing bidang studi 60 %
dan 40% memadukan tema tertentu".
66

Jadi penulis dalam hal ini menawarkan alternatif model yang mampu
menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum melalui konsep pembaruan
pendidikan Islam yang jelas dalam wilayah dan arah pengembangannya dengan
merujuk pada pemikiran Muhaimin dan tokoh-tokoh yang ahli dan kompeten di
bidangnya. Karena tuntutan lebih besar lagi terhadap sistem pendidikan tinggi
nasional muncul melalui paradigma baru Perguruan Tinggi (1999) berikut dengan
terjadinya krisis ekonomi dan politik sejak akhir 1997.
Kondisi kurikulum silabus Perguruan Tinggi Islam yang digambarkan
diatas tampaknya tidak compatible untuk berhadapan dengan ide-ide yang
dilemparkan oleh para orientalis yang memiliki landasan filsafat, teologi,
metafisik, dan pandangan hidup barat yang kukuh. Oleh karena itu, lembaga-
lembaga tersebut memerlukan tajdid, pembaruan atau Islamisasi dalam bidang-
bidang yang terkait. Sementara itu, mahasiswa dan sarjana Perguruan Tinggi
Islam yang selama ini lebih cenderung hanya mengkaji pertentangan antar mazhab
di bidang teologi dan filsafat dan belum sampai pada tahap konseptualisasi
metafisika dan epistemology Islam akan merasa menemukan kecanggihan

66
Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, tanggal 20 Maret
2007
i
177
pemikiran barat dan dengan sangat antusias siap mengadosinya ke dalam
pemikiran keagamaan Islam. Sikap mereka itu tampak begitu canggung dan
seakan-akan menggapai-gapai suatu objek yang besar dengan tangan yang kecil
lagi lemah. Inilah sebenarnya yang diidentifikasikan al-Attas sebagai problem
ilmu pengetahuan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam.
67

Menurut Thomas (1997), yang menyatakan bahwa kegiatan pendidikan di
sekolah, baik melalui pembelajaran di dalam kelas atau di luar kelas, tidak pernah
bebas nilai. Isi dan materi kurikulum yang diberikan kepada peserta didik pun
secara implisit mengandung transmisi nilai, yang terwujud sebagai bagian
kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi. Karena itu, pendidikan
sekolah pada dasarnya harus selalu mengajarkan nilai-nilai baik direncanakan atau
tidak karena nilai-nilai yang dikembangkan sebagai budaya kampus tersebut
seyogyanya bersumber dari nilai-nilai agama.
Penelitian tentang pengembangan kurikulum juga dilakukan oleh Zakaria.
Pengembangan disini dilakukan dengan memodifikasi antara kurikulum Diknas
dan kurikulum khas dengan menerapkan metode pengajaran yang mengacu pada
tiga ranah, kognitif, afekif dan psikomotor secara berimbang pengembangan
kurikulum mencakup aspek tujuan, materi, metode dan evaluasi. Hasil
pengembangan kurikulum tersebut diaplikasikan dalam sistem fullday school,
yang tetap mengacu pada integrated curriculum dan integrated activity.
68

67
Al-Attas, Syed M. Naquib, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-
Attas Diterjemahkan Dari The Educational Philosophy And Practice Of Syed Muhammad Naquib
Al-Attas Terbitan ISTAC (International Institute Of Islamic Thought And Civilization) Wan Mohd
Noor wa Daud, 1998. Penerbit Mizan. Bandung. Hlm : 31-33
68
Miftahul Huda, Dosen Fakultas Tarbiyah. Menggagas Epistemology Pendidikan Anak
Qur'ani, Jurnal Ulul Albab Vol. 7 No.2 Tahun 2006, hlm.474-475
i
178
Keberadaan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi telah
memperoleh landasan yang kokoh sejak dikeluarkannya ketetapan MPRS Nomor
II Tahun 1960 dan Undang-Undang Perguruan Tinggi nomor 22 tahun 1961, yang
mewajibkan pengajaran mata kuliah agama di Perguruan Tinggi Negeri. Dengan
ketetapan ini, posisi PAI semakin kokoh sebagai sarana pembentukan kepribadian
mahasiswa. Untuk itu, diperlukan pemikiran strategis yang terus menerus
bagaimana reorientasi pengembangan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi.
Namun saat ini, masih banyak kalangan menganggap bahwa Pendidikan
Agama Islam termasuk di Perguruan Tinggi, belum memadai dan kurang relevan
dengan tuntutan zamannya. Pendidikan Agama Islam telah jatuh hanya sekedar
pengajaran agama, singgah sebentar di kepala mahasiswa, dan keluar pada waktu
ujian semester, sehingga tidak mampu untuk membentuk kepribadian mahasiswa
menjadi pribadi luhur (akhlakul karimah).




















i
179
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk membangun Perguruan Tinggi, diperlukan berbagai terobosan
dalam penyusunan konsep, tindakan dan paradigma baru dalam menghadapi
berbagai tantangan yang menghadang. Sektor pendidikan Islam memiliki peran
yang strategis dan fungsional dalam upaya membangun masyarakat madani. Dari
uraian dan pembahasan di bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
pembaruan pendidikan Islam menuju masyarakat madani melalui analisis
pengembangan kurikulum menurut Muhaimin adalah sebagai berikut :
1. Konsep dan latar belakang Pembaruan PAI berdasarkan Pandangan dasar
dan kritik Muhaimin Terhadap menuju masyarakat madani menurut
Muhaimin di PTAI adalah dengan menciptakan dan mengembangkan
paradigma pengembangan kurikulum. Sehingga pemikiran Muhaimin
diharapkan mampu menjadi salah satu konsep yang tepat dalam upaya
memperbarui pendidikan Islam yang menjadi landasan keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta berimplikasi pada
pengembangan kepribadian, penciptaan budaya akademik yang Islami, dan
etos belajar yang tinggi serta membentuk suasana religius dalam lingkungan
PTAI yang sesuai dengan tuntutan masyarakat madani, yakni masyarakat
yang beradab mencintai perbedaan. Sedangkan filsafat pendidikan agama
Islam dan implikasinya terhadap paradigma pengembangan kurikulum
merupakan landasan akan pentingnya konsep baru dalam pendidikan Islam,
i
180
karena dalam setiap pembaruan diperlukan konsep yang tepat sesuai dengan
perkembangan yang ada. Jadi alasan pemilihan Muhaimin dalam mencari
konsep pembaruan pendidikan Islam, adalah karena Muhaimin merupakan
salah satu dari seorang tokoh dalam Pendidikan Agama Islam di PTAI yang
memiliki kapakaran di bidangnya. Dan juga merupakan salah satu Guru
Besar dalam bidang ilmu pendidikan Islam. Dari pemikiran Muhaimin
diharapkan mampu membawa PTAI menuju ke gerbang percaturan dunia
yang menjadi cita-cita masyarakat madani yang memiliki karakteristik ideal
dalam rangka menghadapi dunia yang syarat dengan perbedaan, pluralisme,
multikulturalisme, dan krisis multidimensional, serta dekadensi moral.
Sehingga paradigma yang dikembangkan menjadi jelas arah dan wilayah
pengembangannya dan output PTAI yang dihasilkan berciri khas Islami dan
memiliki daya saing di bidangnya. Jadi konsep pembaruan PAI menuju
masyarakat madani di PTAI adalah dengan menciptakan dan
mengembangkan paradigma yang jelas dan terarah.
2. Upaya Muhaimin dalam mengaplikasikan paradigma pengembangan
kurikulum di PTAI adalah dengan melalui berbagai macam strategi. Hal ini
dilakukan dalam mengantisipasi perkembangan masyarakat yang semakin
kompleks, sehingga mampu menciptakan lingkungan perguruan tinggi yang
berbudaya, beradab, sesuai dengan karakteristik masyarakat madani. Hasil
analisis penulis, menyatakan bahwa Muhaimin menghasilkan temuan-
temuan dan fakta-fakta bahwa UIN atau PTAI harus berbeda dengan
Perguruan Tinggi yang lain, harus memiliki ciri khas Islami tanpa cenderung
i
181
pada madzhab tertentu dan bersifat non sekterianisme dan kemudian
dijabarkan pada rumpun-rumpun mata-kuliah yang diajarkan dan
pengembangan kurikulumnya yang dimanifestasikan dalam kehidupan
sehari-hari melalui hidden kurikulum. Dalam pembahasan ini, ada hal-hal
yang perlu dikaji ulang dan perlu dicari solusinya sehingga dapat
dilaksanakan sebagai suatu program nyata pada masa yang akan datang,
yakni persoalan kurikulum yang dikembangkan dan disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat yang notabene sebagai masyarakat yang
multikultural, humanistik, pluralistik dalam rangka mewujudkan masyarakat
madani karena Pandidikan Agama Islam dapat menjadi faktor integrasi dan
disintegrasi. Dan model pengembangan kurikulum yang harus
dikembangkan adalah model pendekatan rekonstruksi social yang relevan
dengan kebutuhan masyarakat madani. Dan menciptakan arah baru lulusan
PTAI yang siap pakai (link and match) sesuai dengan kebutuhan masyarakat
madani. Sehingga dengan pengembangan kurikulum ini dapat mencapai
standar kompetensi lulusan di PTAI yang sesuai dengan harapan, yakni
terciptanya generasi ulul albab dan lulusan yang mampu bersaing di dunia
kerja dan memiliki kepribadian Islami, etos kerja/ belajar yang tinggi dan
memiliki kepribadian yang tercermin dari ciri dan karakteristik masyarakat
madani di PTAI. Masyarakat madani adalah masyarakat yang egaliter,
menghargai orang berdasarkan prestasi, keterbukaan, partisipasi seluruh
masyarakat anggota aktif, penegakan hukum, keadilan, toleransi, pluralisme,
musyawarah dan demokrasi.
i
182
B. Saran
Memperhatikan fenomena pengembangan kurikulum di PTAI, melalui
perspektif analisis pengembangan kurikulum diatas, maka sekedar memberikan
sedikit pemikiran bagi usaha peningkatan Perguruan Tinggi Islam ke depan, ada
beberapa saran yang dapat penulis sampaikan terkait dengan hal ini :
1. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan makna bagi
konsep pembaruan pendidikan Islam terutama dalam upaya pengembangan
kurikulum menuju masyarakat madani di PTAI. Konsep ini hanya
merupakan pemikiran awal yang disana sini masih terdapat kekurangan, dan
harus senantiasa terus dikembangkan, dikaji ulang dan perlu dicari solusinya
dengan baik agar hal-hal yang perlu diperbarui dapat segera ditinjau ulang
dan dilaksanakan sebagai suatu program nyata pada masa yang akan datang.
Terkait dengan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia, maka
pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan irama perkembangan
dan kemajuan peradaban kebutuhan masyarakat Indonesia yang notabene
sebagai masyarakat madani yang multikultural, pluralistik dan demokratis.
Mudah-mudahan skripsi ini menjadi salah satu khazanah bagi
perkembangan PTAI pada umumnya dan di UIN (Universitas Islam Negeri)
Malang pada khususnya. Bagi Muhaimin diharapkan terus mengabdi pada
dunia pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa dan
menjadikan anak didik yang kreatif, cerdas, beretika baik dan berbudaya.
2. Adapun dari Standar Kompetensi Lulusan di PTAI diharapkan dapat
bermanfaat bagi lembaga-lembaga pendidikan, antara lain:
i
183
a) DITPERTAIS DIRJEN BAGAIS Departemen Agama RI dan Dirjen
Dikti Depdiknas, sebagai sarana pengendalian dan penjaminan mutu
lulusan dan perumusan berbagai kebijakan yang terkait dengan bersikap
lebih mandiri dalam penyusunan kurikulum, sesuai dengan keilmuan
Perguruan Tinggi dan disesuaikan dengan tuntutan masyarakat madani;
b) Program-program studi yang dikembangkan di Fakultas-Fakultas di
lingkungan PTAI sebagai rambu-rambu dalam: (1) Perencanaan,
pengembangan kurikulum, pengalaman belajar, seta evaluasi proses dan
hasil pembelajaran; (2) Perencanaan dan penyediaan atau penyiapan
fasilitas pendukung pembelajaran yang terstandarisasi; (3) Melakukan
rekrutmen penempatan dan pembinaan dosen, agar pemberdayaan SDM
yang ada dapat dicapai secara opimal;
c) Mahasiswa PTAI, sebagai acuan dalam upaya melakukan evaluasi diri
terhadap pencapaian kualifikasi berkenaan dengan penguasaan
kompetensi lulusan yang secara minimal harus dipenuhi sebagai
persyaratan lulusan; Masyarakat pengguna lulusan (users), sebagai
acuan dalam merencanakan dan melaksanakan rekrutmen, penempatan,
dan pengembangan tenaga kerja yang diperlukan
Demikian sekedar pemikiran sebagai saran sekaligus memberikan
sumbangan baik dalam tataran konseptual, maupun dalam tataran praktis.






i
184
DAFTAR PUSTAKA


Abdillah, Masykuri. 2000. "Menimbang Kurikulum IAIN: Kasus Kurikulum 1995
dan 1997. Dalam Eds. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo,
Problem Dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta:
Dirjen Binbaga Islam Depag RI

Al-Attas, Syed M Naquib.1998. Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-Attas Diterjemahkan Dari The Educational Philosophy And
Practice Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas Terbitan ISTAC
(International Institute Of Islamic Thought And Civilization) Wan Mohd
Nor Wa Daud, Bandung: Penerbit Mizan.

Al-Thoumy Al-Syaibany, Omar Muhammad. 1979. Falsafah Pendidikan Islam.
Alih bahasa Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Anwar, Chairil. 2000. Islam Dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Arifin, HM. 1993. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Arifin, Muzayyin. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Azra, Azyumardi. 2000. "IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi".
Dalam eds. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem Dan
Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam Depag RI.

_____________. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi Dan
Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Biro Admisnistrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi bekerjasama
dengan Penerbit Universitas Negeri Malang. Cetakan Ketiga, 2003.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Keempat. Malang: Penerbit
Universitas Negeri Malang.

Culla, Adi Suryani. 2002. Masyarakat Madani Pemikiran Teori Dan Relevansinya
Dengan Cita-Cita Reformasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Darmawan, Wawan. Shobron, Sudarsono dan Jinan Mutohharun (Eds.). 1999.
Masyarakat Madani: Peran Startegis Umat Islam Dalam Islam, Masyarakat
Madani, Dan Demokrasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Daulay, Haidar Putra. 2003. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
i
185

DEPAG. 1990. Al-Qur an dan Terjemahannya. Surabaya: Mahkota.

Djohar. 2003. Pendidikan Strategi Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.

______. 2000. Pendidikan Yang Membebaskan Untuk Kontruksi Masyarakat
Madani, Dalam Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.

Djumransjah. 2004. Kata Pengantar Imam Suprayogo. Pengantar Filsafat
Pendidikan. Malang: Bayumedia.

Esha, Muhammad In'am (eds.) 2006. Pengantar Imam Suprayogo, 2 Tahun
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Malang: UIN Malang Press.

Fajar, Malik 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Editor: Ahmad Barizi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Feisal, Yusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insania
Press.

Furchan, Arief. 2004. Transformasi Pendidikan Islam Di Indonesia, Anatomi
Keberadaan Madrasah dan PTAI. Yogyakarta: Gama Media.

____________. 1982. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.

____________. dan Maimun, Agus. 2005. Studi Tokoh, Metode Penelitian
Mengenai Tokoh. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Ghony, Djunaidi. 2007. Paradigma Pengembangan Kurikulum Dalam
Peningkatan Mutu Pendidikan Tinggi Islam. Dalam Pidato Pengukuhan
Yang Disampaikan Pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang
Ilmu Pendidikan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN).
Malang: Depag dan UIN Malang

Hamdani dan Ihsan Fuad. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka
Setia

Hananto, Farid Samsu dan Abtokhi, Ahmad. 2004. "UIN: Menyelaraskan
Perkembangan Iptek dengan Imtaq", dalam Zainuddin (Eds.) Memadu
Sains Dan Agama Menuju Universitas Masa depan, (Malang, Bayumedia
Publishing bekerja sama dengan PTAI Malang.
i
186
Harry, Musleh Pluralisme Budaya Dalam Reformasi Hukum Di Indonesia,(Jurnal
el-Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan Edisi
59 Tahun XXIII Maret-Juni 2003. Malang

Hidayat, Komaruddin dan Azra, Azyumardi. 2006. Demokrasi, Hak Asasi
Manusia Dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif hidayatullah
Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation.

Huda, Miftahul. Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang. Menggagas Epistemologi
Pendidikan Anak Qur'ani. Jurnal Ulul Albab Vol.7 No.2 Tahun 2006.
hlm.474-475

Kalatin, Jalaluddin Anshori. Pembaruan Pendidikan Islam Dalam Wacana
Pemikiran Fazlur Rahman, Dalam Buku Kontroversi Pemikiran Fazlur
Rahman Studi Kritis Pembaruan Pendidikan Islam, (Shabran, Jurnal Studi
dan Dakwah Islam, Lembaga Studi Islam edisi 01, Vol. XIV, 2000.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Marimba, D Akhmad. 1974. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-
Maarif.

_________________. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-
Maarif.

Mastudi Dan Wahid Marzuki. 2003. Perguruan Tinggi Agama Islam Di Indonesia
Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan. Jakarta: DEPAG RI Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.

Moeleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

MPR RI. Ketetapan MPR RI NO.II MPR/1988 Tentang GBHN 1988-1993.
Surabaya: CV. Amin.

Muhaimin. 2004. Pendidikan Agama Islam Berwawasan Rekonstruksi Sosial.
"Dalam pidato ilmiah disampaikan dihadapan sidang terbuka (senat UIN
Malang dalam rangka pengukuhan guru besar di UIN Malang".

_________. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di
Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

_________. 2004. Paradigma Pendidikan Agama Islam Upaya mengefektifkan
Pendidikan Agama Di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

i
187
_________. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut
Dunia Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_________. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Mengurai,
pemberdayaan, pengembangan kurikulum, hingga redefinisi Islamisasi
pengetahuan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_________. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: Pusat
Studi Agama, Politik Dan Masyarakat (PSAPM) Bekerja Sama Dengan
Pustaka Pelajar .

_________. Perbincangan Tentang Pendidikan Islam Di Indonesia, Jurnal Ulul
Albab. Vol.3 nomor 2 thn 2001.

_________. Penyiapan Ulul Albab Alternatif Pendidikan Islam Masa Depan, el-
Hikmah, Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, Vol 1. No. I, 2003.

_________. Potret Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jurnal Ulul Albab Vol.3. No.1 Tahun 2001.

_________. Tabloid Gema, Media Informasi dan kebijakan Kampus Edisi 25
November-Desember 2006.

_________, dkk. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Surabaya: CV Citra Media.

_________, dan Mujib, Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian
Filosofis Dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung: Penerbit
Trigenda Karya.

Muhajir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III. Yogyakarta: Rake
Sarasin.

Mulkhan, Abdul Munir. 2003. Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem
Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

___________________. 1993. Paradigma Intelektual Muslim. Yogyakarta:
Sipress

Nasution, S. 1991. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Nata, Abuddin. 2001. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

____________. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

i
188
____________. 2001. Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama
dengan IAIN Syarif Hidayatullah

Purwanto, Ngalim. 2003. Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya

Rahardjo, M. Dawam. 2000. Sejarah Agama Dan Masyarakat Madani, dalam
Widodo Utsman Dkk. (Editor) Membongkar "Mitos" Masyarakat Madani.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

__________________. 1999. Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah
Penjajakan Awal. Jurnal Pemikiran Islam, Paramadina. Vol.1. No.02

Rahardjo, Mudjia. 2004. Editor M. Zainuddin, Muhammad Inam Esha.
"Universitas Islam Negeri (PTAI) Malang Ditengah Perubahan global".
Dalam Horison Baru, Pengembangan Pendidikan Islam, Upaya Merespon
Dinamika Masyarakat Global. Malang: PTAI Press.

Rosyada, Dede Dkk, 2003, Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bekerja Sama Dengan The Asian
Foundation Dan Frenada Media.

Rosyidi, Abdul Wahab dan M. In'am Esha. Ulul Albab. Jurnal Studi Islam, Sains
dan Teknologi. Vol 7. No.1 Tahun 2006.

Sahlan. Asma'un. Model Pengembangan Pembelajaran PAI Melalui
Pembudayaan Suasana Religius Di Sekolah Umum: Studi Kasus di SMUN
Malang I. El-Hikmah Jurnal Kependidikan Dan Keagamaan, Fakultas
Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang. Volume IV. Nomor 1, Juli
2006.

Sahrodi, Jamali dkk. 2005. Membedah Nalar Pendidikan Islam, Pengantar Ke
Arah Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group

Said, M. 1987. Tarjamah Alquran Alkarim. Bandung: PT al-Ma'arif.

Sanaky, Hujair, AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, Magister Studi
Islam Universitas Islam Indonesia.

Shihab, Quraish. 1994. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan

i
189
Sufyanto. 2001. Masyarakat Tamaddun Kritik hermeunitas Masyarakat Madani
Nurcholis Madjid, Yogyakarta: LP2IP Bekerja Sama Dengan Pustaka
Pelajar.

Sukmadinata, Nana Syodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT.
Remaja Rosdakarya.

_______________________. 2005. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosda Karya..

Suprayogo, Imam. 1998. Reformulasi Visi Pendidikan Islam. Malang: STAIN
Press

_______________. 2004. (eds.) Samsul Hadi dan Rasmianto. Pendidikan
Berparadigma Al-Quran, Pergulatan Membangun Tradisi Dan Aksi
Pendidikan Islam. Malang:Aditya Media Dengan PTAI Malang Press.

Supriyatno, Triyo. 2004. Paradigma Berbasis Teo-Antropo-Sosiosentris, (Malang:
P3M: Pusat Pengembangan Pendidikan Dan Masyarakat) dan PTAI
Malang.

Sumbulah, Umi. Merekonstruksi Pluralisme Agama Dengan Perspektif Al-quran.
El-Harakah, Wacana Kepemimpinan, Keagamaan Dan Kebudayaan. Edisi
59 tahun XIII Maret-Juni 2003.

Strauss, Anselm and Corbin, Juliet. 1997. Basics Of Qualitative Research
grounded theory procedures and techniques (Dasar -Dasar Penelitian
Kualitatif Prosedur, Teknik, Dan Teori Grounded), Penyadur Djunaidi
Ghony. Surabaya : PT Bina Ilmu Offset.

Syah, Aziz. Mahasiswa PAI Semester I Plus. Artikel Edisi keempat/November
2005.Kurikulum Sebagai Alat Vital Pendidikan Analisis Pengembangan
Kurikulum Di Indonesia. GEMSI (Gabungan Elemen Mahasiswa Cerdas
Inovatif Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah).

Tafsir, Ahmad. 2000. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya

Thontowi, Jawahir. 2003. Siasat Gerakan Kota, Jalan Menuju Masyarakat Baru.
Yogyakarta: Penerbit Shalahuddin.

Tim Dosen FKIP IKIP Malang. 1988. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.

i
190
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam.
Surabaya: Karya Abditama.

Tim Redaksi Fokus Media. 2005. Standar Nasional Pendidikan (SNP). Bandung:
Fokus Media

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru Dan
Dosen, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang SISDIKNAS. 2006. Bandung: Citra Umbara

Warsono, dkk. Dosen UNESA (Universitas Negeri Surabaya), Ulul Albab, Jurnal
Studi Islam, Sains Dan Teknologi. Vol. 7, No 1 Tahun 2006.

Wawancara dengan Muhaimin, Dosen Tetap/ Guru Besar UIN Malang, Tanggal 26
Februari 2007

_________________ Abdul Malik Karim Amrullah, Dosen Jurusan Pendidikan Agama
Islam di Fakultas Tarbiyah UIN Malang, Tanggal 6 Maret 2007

_________________ Agus Maimun, Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam di Fakultas
Tarbiyah UIN Malang, Tanggal 20 Maret 2007

Wibisono, Koento. 1988. Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa
Umum Sebagai Pengantar Untuk Memahami Hakikat Ilmu Dan
Kemungkinan Pembangunannya. Yogyakarta: IKIP.

Wirjosukarto, Amir Hamzah. 1985. Pembaruan Pendidikan Dan Pengajaran Islam.
Jember: Muria Offset

Wijaya, Cece et al. 1978. Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan Dan
Pengajaran. Bandung: Remaja Rosda karya.

Yahya bin Sarifin Nawawi, Abi Zakaria. 1986. Tt. Riyadus Shalihin. PT. Al-
Maarif. Bandung.

Zuhairini, 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

________. 1993. Metodologi Penelitian Agama. Solo: Ramadhani

________. 1985. Pengantar Ilmu Pendidikan Perbandingan. Malang: Biro Ilmiah
Fakultas Tarbiyah. IAIN Sunan Ampel Malang.

________. dan Ghofir, Abdul. 2004. Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam. Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Malang dan UM Press.


i

You might also like