You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN Anak merupakan investasi yang sangat penting bagi penyiapan sumber daya manusia (SDM) di masa

depan. Dalam rangka mempersiapakan SDM yang berkualitas untuk masa depan, pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk diberikan sejak usia dini, di samping juga anak harus dipenuhi kebutuhan lainnya, seperti misalnya kebutuhan akan gizi. Usia dini merupakan masa penting, karena dalam masa ini ada era yang dikenal dengan masa keemasan (golden age). Masa keemasan hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini merupakan masa kritis bagi perkembangan anak. Jika dalam masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta kebutuhan gizinya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Sejak lahir seorang anak manuisia memiliki kurang lebih 100 miliyar sel otak. Sel-sel otak yang ini saling berhubungan dengan sel-sel syaraf. Sel-sel otak ini tidak akan tumbuh dan berkembang dengan pesat tanpa adanya stimulasi dan didayagunakan (Gutama,dkk., 2005: 3). Di sinilah perlunya pendidikan sejak usia dini. Pentingnya pendidikan anak sejak usia dini juga didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujuak untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar nak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14). Berdasarkan hal-hal tersebut maka jelaslah bahwa pendidikan sejak usia dini sanggatlah penting. Dalam pendidikan anak usia dini salah satu kawasan yang harus dikembangkan adalah nilai moral, karena dengan diberikannya pendidikan nilai dan moral sejak usia dini, diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak akan mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga ia dapat menerapkannya dalam kegidupan sehari-harinya. Ini akan berpengaruh pada mudah tidaknya anak diterima oleh masyarakat sekitarnya dalam hal bersosialisasi. Dalam pengembangan nilai nilai moral anak usia dini harus dilakukan dengan tepat. Jika hal ini tidak bisa tercapai, maka pesan moral yang akan disampaikan orang tua kepada anak

menjadi terhambat. Pengembangan nilai moral untuk anak usia dini ini bisa dilakukan di dalam tiga tri pusat pendidikan yang ada, yaitu keluarga, sekolahh dan masyarakat. Dalam pengembangan nilai moral untuk anak usia dini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Hal ini dikarenakan anan usia dini adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan pra operasional kongkrit seperti yang dikemukakan oleh Piaget, sedangkan nilai-nilai moral merupakan konsep-konsep yang abstrak, sehingga dalam hal ini anak belum bisa dengan serta merta menerima apa yang diajarkan guru/orang tua yang sifatnya abstrak secara cepat. Untuk itulah orang tua harus pandai-pandai dalam memilih dan menentukan metode yang akan digunakan untuk menanamkan nilai moral kepada anak agar pesan moral yang ingin disampaikan guru dapat benar-benar sampai dan dipahami oleh siswa untuk bekal kehidupannya di masa depan. Metode yang dapat digunakan sangatlah bervariasi, salah satunya adalah metode bercerita. Metode bercerita ini ceenderung lebih banyak digunakan, karena anak usia dini biasanya senang jika mendengarkan cerita dari orang tua. Untuk bisa menarik minat anak untuk mendenganrkan, tentunya cerita yang dibawakan harus tepat sesuai dengan usia anak. Cerita yang dibawakan juga memuat nilai-nilai moral yang hendak disamapaikan orang tua kepada anak.

BAB II NILAI DAN MORAL SERTA TEORI PERKEMBANGAN

A. Pengertian Nilai dan Moral Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto dinyatakan bahwa nilai adalah harga, hal-hal yang berguna bagi manusia. Menurut I Wayan Koyan (2000 :12), nilai adalahsegala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai ktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kohlberg mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai yang bersifat instrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat kebenaran, keindahan dan keadilan. Adapaun nilai subyektif yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu, tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu. Menurut Richard Merill dalam I Wayan Koyan (2000 : 13) menyatakan bahwa nilai adalah patokan atau standar yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah satisfication, fulfillment, and meaning. Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (K.Prent, et al dalam Soenarjati 1989 : 25). Dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila (Amin Suyitni, dalam Soenarjati 1989 : 25). Dari pengertian itu dikatakan bahwa moral adalah berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.

B. Teori Perkembangan Moral Tahapan Perkembangan Moral (Piaget) Menurut Piaget perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama adalah tahap realisme moral atau moralitas oleh pembatasan dan tahap kedua tahap moralitas otonomi ataumoralitas kerjasama atau hubungan timbal balik. (Hurlock, 1998:79). Dalam tahap pertama, peerilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini anak menilai tindakannya benar atau salah berdasarkan konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakannya tersebut. Dalam tahap kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebih. Gagasan yang kaku dan tidak luwes tentang benar salah perilaku mulai dimodifikasi. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Tahap Perkembangan Moral (Kohlberg) Kohlberg mengemukakan ada tiga tahap perkembangan moral, yaitu: 1. Tingkat moralitas prakonvensional Pada tahap ini perilaku anak tunduk pada kendali eksternal. Dalam tahap pertama tingkat ini anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, dan moralitas suatu rtindakan pada akibat fisiknya. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyesuaian terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. 2. Tingkat moralitas konvensional Dalam tahap pertama tingkat ini anak menyesuaiakan dengan peraturan untuk mendapat persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan mereka. Dalam tahap kedua tingkat ini anak yakin bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhinfdar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial.

3. Tingkat moralitas pasca konvensional Dalam tahap pertama tingkat ini anak yaki bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinankeyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral. Dalam tahap kedua tingkat ini , orang menyesuaiakan dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasatidak puas demngan diri sendiri dan bukan untuk menghindari kecaman sosial.

BAB III METODE DAN PENDEKATAN PENANAMAN NILAI MORAL AGAMA

Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang metode dan pendekatan pembelajaran dalam penanaman nilai moral dan agama perlu kiranya memahami terlebih dahulu tentang pendidikan anak usia dini. Dalam UU No. 23 Tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujuak untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar nak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14). Pendidikan anak usia dini memerluka perhatian yang sangat penting dari orang tua, ahli pendidikan, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan anak usia dini, khususnya Taman KanakKanak telah diselenggarakan sejak lama, yaitu sejak awal kemerdekaan. Di sekolah ini anakanak usia 4-5 tahun atau 6 tahun mendapat tempat untuk mengembangkan potensinya dalam berbagai bentuk kegiatan. Dalam Standar Kompetensi PAUD dinyatakan bahwa fungsi pendidikan TK dan RA adalah: 1. Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak. 2. Mengenalkan anak pada dunia sekitar 3. Menumbuhkan sikap dan perilaku baik 4. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi 5. Mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemapuan yang dimiliki anak 6. Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar. Adapun tujuan dari TK adalah membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Sedangkan ruang lingkup kurikulum di TK dan RA meliputi aspek perkembangan: 1. Moral dan nilai-nilai agama

2. Sosial, emosional dan kemandirian 3. Kemampuan berbahasa 4. Kognitif 5. Fisik/motorik 6. Dan seni. Dilihat dari fungsi, tujuan dan ruang lingkupnya tersebut, maka jelaslah bahwa penanaman nilai moral pada anak usia dini sangatlah penting, yang salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan formal, yaitu TK atau RA. A. METODE PENANAMAN NILAI MORAL DAN AGAMA Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat dipergunakan metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang didasari oleh nilai-nilai agama dan moralitas agar anak dapat menjalani kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Setiap guru akan menggunakan metode sesuai dengan gaya melaksanakan kegiatan. Tetapi yang harus diingat bahwa Taman Kanak-kanak memiliki cara yang khas. Oleh karena itu ada metode-metode yang lebih sesuai bagi anak Taman Kanak-kanak dibandingkan dengan metode-metode lain. Misalnya saja guru TK jarang sekali yang menggunakan metode ceramah. Orang akan segera menyadari bahwa metode ceramah tidak sesuai dan tidak banyak berarti apabila diterapkan untuk anak TK. Metode-metode yang memungkinkan anak dapat melakukan hubungan atau sosialisasi dengan yang lain akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Melalui kedekatan hubungan guru dan anak, seorang guru akan dapat mengembangkan kekuatan pendidik yang sangat penting (Moeslichatun, 1998: 7). Dalam pelaksanaan penanaman nilai moral pada anak usia dini banyak metode yang dapat digunakan oleh guru atau pendidik. Namun sebelum memilih dan menerapkan metode yang ada perlu diketahui bahwa guru atau pendidik harus memahami metode yang akan dipakai, karena ini akan berpengaruh terhadap optimal tidaknya keberhasilan penanaman nilai moral tersebut. Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini sangatlah bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata. Masing-masing metode mempunyai kelemahan dan kelebihan. Penggunaan salah satu metode penanaman nilai moral

yang dipilih tentunya disesuaikan dengan kondisi sekolah atau kemampuan seorang guru dalam menerapkannya. Penjelasan lebih rinci masing-masing metode tersebut sebagai berikut: Pertama, metode bercerita. Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilainilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Ketika bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa. Kedua, metode bernyanyi. Metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya jawab saja. Ketiga, metode bersajak atau syair. Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya. Melalui metode sajak guru bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni. Disamping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)

Keempat, metode karyawisata. Metode karya wisata bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanakkanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan. Kelima, pembiasaan dalam berperilaku. Kurikulum yang berlaku di TK terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan. Keenam, metode bermain. Dalam bermain ternyata banyak sekali terkandung nilai moral, diantaranya mau mengalah, kerjasama, tolong menolong, budaya antri, menghormati teman. Nilai moral mau mengalah terjadi manakala siswa mau mengalah terhadap teman lainnya yang lebih membutuhkan untuk satu jenis mainan. Pengertian dan pemahaman terhadap nilai moral mau menerima kekalahan atau mengalah adalah salah satu hal yang harus ditanamkan sejak dini. Seringkali terjadi sikap moral tidak terpuji seperti perusakan dan tindakan anarkis lainnya yang dilakukan oleh oknum tertentu ketika ia kalah dalam suatu persaingan, misalnya dalam pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, atau bahkan dalam pemilihan presiden. Oleh karena itu betapa penting untuk menanamkan nilai moral untuk mau menerima kekalahan sejak usia dini. Ketujuh, metode outbond. Metode Outbond merupakan suatu kegiatan yang memungkinkan anak untuk bersatu dengan alam. Melalui kegiatan outbond siswa alan dengan leluasa menikmati segala bentuk tanaman, hewan, dan mahluk ciptaan Allah yang lain. Cara ini dilakukan agar anak tidak hanya memahami apa yang diceritakan atau dituturkan oleh guru atau pendidik di dalam kelas. Melainkan mereka diajak langsung melihat atau memperhatikan sesuatu yang sebelumnya pernah diceritakan di dalam kelas, sehingga apa yang terjadi di kelas akan ada sinkronisasi dengan apa yang tampak di lapangan atau alam terbuka. Kedelapan, bermain peran. Bermain peran merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menanamkan nilai moral kepada anak TK. Dengan bermain peran anak akan mempunyai

kesadaran merasakan jika ia menjadi seseorang yang dia perankan dalam kegiatan bermain peran. Misalnya tema bermain peran tentang kasih sayang dalam keluarga. Anak akan merasakan bagaimana seorang ayah harus menyayangi anggota keluarga, bagaimana seorang ibu harus menyayangi keluarga, begitu juga bagaimana dengan anak-anaknya. Kesembilan, metode diskusi. Diskusi yang dimaksud di sini adalah mendiskusikan tentang suatu peristiwa. Biasanya dilakukan dengan cara siswa diminta untuk memperhatikan sebuah tayangan dari CD, kemudian setelah selesai siswa diajak berdiskusi dengan guru tentang isi tayangan CD tersebut. Isi diskusinya antara lain mengapa hal tersebut dilakukan, mengapa anak itu dikatakan baik, mengapa harus menyayangi dan sebagainya. Kesepuluh, metode teladan. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral yang ideal adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi. Guru hendaknya menjadi figur yang dapat dicontoh dalam bertingkah laku oleh siswanya. Secara kodrati manusia merupakan makhluk peniru atau suka melakukan hal yang sama terhadap sesuatu yang dilihat. Apalagi anak-anak, ia akan senantiasa dan sangat mudah meniru sesuatu yang baru dan belum pernah dikenalnya, baik itu perilaku maupun ucapan orang lain. B. PENDEKATAN DALAM PENANAMAN NILAI MORAL Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku. 1. Indoktrinasi Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah banyak menuai kritik dari para pakar pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini masih dapat digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak.

Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan. 2. Klarifikasi Nilai Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu moral.Pertanyaan yang muncul, apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk anak TK? Ternyata jawabannya dapat, karena anak TK yang berumur 6 tahun berada dalam masa transisi ke arah perkembangan moral yang lebih tinggi, sehingga mereka perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan keterampilan bertindak secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya (Dwi Siswoyo (2005:76). 3. Teladan atau Contoh Anak TK mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih dahulu pada gurunya. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral yang ideal adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi. Dalam pendekatan ini profil ideal guru menduduki tempat yang sentral dalam pendidikan moral. Banyak para ahli yang berpendapat dalam hal ini, diantaranya Durkheim, John Wilson dan Kohlberg. Durkheim, misalnya ia berpendapat bahwa belajar adalah satu proses sosial yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya (Dwi Siswoyo, 2005:76). Sementara, Kohlberg berpendapat bahwa tugas

utama guru adalah memberi kontribusi terhadap proses perkembangan moral anak. Tugas guru disini adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir, mempertimbangkan dan mengambil keputusan. 4. Pembiasaan dalam Perilaku Kurikulum yang berlaku di TK terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral menurut W. Huitt (2004) diantaranya adalah inculcation, moral development, analysis, klarifikasi nilai, dan action learning. 1. Inculcation Pendekatan ini bertujuan untuk menginternalisasikan nilai tertentu kepada siswa serta untuk mengubah nilai-nilai dari para siswa yang mereka refleksikan sebagai nilai tertentu yang diharapkan. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya modeling, penguatan positif atau negatif, alternatif permainan, game dan simulasi, serta role playing. 2. Moral development Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa mengembangkan pola-pola penalaran yang lebih kompleks berdasarkan seperangkat nilai yang lebih tinggi, serta untuk mendorong siswa mendiskusikan alasan-alasan pilihan dan posisi nilai mereka, tidak hanya berbagi dengan lainnya, akan tetapi untuk membantu perubahan dalam tahap-tahap penalaran moral siswa. Metode yang dapat digunakan diantaranya episode dilema moral dengan diskusi kelompok kecil. 3. Analysis Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa menggunakan pikiran logis dan penelitian ilmiah untuk memutuskan masalah dan pertanyaan nilai, untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional, proses-proses analitik, dalam menghubungkan dan mengkonseptualisasikan nilai-nilai mereka, serta untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola-pola

perilakunya. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya diskusi rasional terstruktur yang menuntut aplikasi rasio sama sebagai pembuktian, pengujian prinsip-prinsip, penganalisaan kasus-kasus analog dan riset serta debat. 4. Klarifikasi nilai Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu siswa menjadi sadar dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mereka miliki dan juga yang dimiliki oleh orang lain, membantu siswa mengkomunikasikan secara terbuka dan jujur dengan orang lain tentang nilai-nilai mereka, dan membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola berikutnya. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain, role playing games, simulasi, menyusun atau menciptakan situasisituasi nyata atau riil yang bermuatan nilai, latihan analisis diri (self analysis) secara mendalam, aktivitas melatih kepekaan (sensitivity), aktivitas di luar kelas serta diskusi kelompok kecil. 5. Action learning Tujuan dari pendekatan ini adalah memberi peluang kepada siswa agar bertidak secara personal ataupun sosial berdasarkan kepada nilai-nilai mereka, mendorong siswa agar memandang diri mereka sendiri sebagai makhluk yang tidak secara otonom interaktif dalam hubungan sosial personal, tetapi anggota suatu sistem sosial. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini adalah metode-metode didaftar atau diurutkan untuk analisis dan klarifikasi nilai, proyek-proyek di dalam sekolah dan praktek kemasyarakatan, keterampilan praktis dalam pengorganisasian kelompok dan hubungan antar pribadi. Ada beberapa prinsip dasar dalam rangka menyampaikan materi pengembangan nilainilai agama bagi anak, diantaranya : 1. penekanan pada aktivitas anak sehari-hari. 2. pentingnya keteladanan dari lingkungan dan orang tua/ keluarga anak. 3. kesesuaian dengan kurikulum/ajaran agama.
4. prinsip developmentally appropriate practice (DAP)

5. prinsip psikologi perkembangan


6. prinsip monitoring yang rutin

Dalam proses pembinaan dan pengembangan nilai-nilai agama bagi anak usia dini, muatan materi pembelajarannya harus bersifat :
1. Aplikatif : materi pembelajarannya bersifa terapan, yang berkaitan dengan kegiatan rutin

anak sehari-hari dan sangat dibutuhkan untuk kepentingan aktivitas anak, serta yang dapat dilakukan anak dalam kehidupannya.
2. Enjoyable : pengajaran materi yang dipilih diupayakan mampu membuat anak senang,

menikmati dan mau mengikuti dengan antusias. Mudah ditiru : materi yang disajikkan dapat dipraktekkan sesuai dengan kemampuan fisik dan karakter lahiriah anak.

BAB IV STRATEGI PEMBENTUKAN PERILAKU MORAL

Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya anak usia dini memerlukan perhatian dan pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhu dan menentukan perkembangan perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak dapat terjadi melalui atau tanpa intervensi yang terencana, sistematis, dan berlanjut dari lingkungannya. Ibu-ibu, orangtua, pengasuh, dan keluarga-keluarga yang ada di pedesaan kemungkinan besar tidak memiliki wawasan dan pengetahuan, apalagi intervensi yang terencana dan berkesinambungan dalam membimbing, melatih, dan mendidik perilaku moral anak usia dini. Tetapi pada mereka ada kebiasaan-kebiasaan dan praktek budaya mengenai bagaimana menjaga, memelihara, merawat, membimbing dan mendidik anak baik selama masa kehamilan maupun pada masa-masa awal perkembangan anak. Tiap kelompok sosial, budaya, dan etnis masyarakat memiliki tradisi dan pola-pola budaya dalam mengasuh dan mengembangkan kehidupan moral pada anak-anak. Dalam berbagai studi dan penelitian di bidang psikologi anak, khususnya berbagai aplikasi psikologi dalam pemeliharaan dan perawatan bayi baik yang masih dalam kandungan maupun pasca kelahiran ditemukan berbagai hasil observasi perilaku baik emosional, intelektual, moral dan spiritual anak. Robert Coles (1986) dalam penelitiannya yang cukup panjang terhadap perilaku moral anak-anak usia dini yang berada di tempat-tempat penitipan bayi dan dirumahrumah keluarga menemukan tumbuhnya kecerdasan moral (moral intelligence) pada anak-anak. Karena itu ia menerbitkan satu buku yang terkenal, yaitu The Moral Intellegence of Children: How to Raise a Moral Child (1997). Sebelumnya Coles juga menulis dua buku yang cukup terkenal yaitu The Moral Life of Children (1986) dan The Spiritual Life of Children (1990). Buku-buku tersebut secara umum mengemukakan tiga strategi penting dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu (1) latihan (training) dan pembiasaan (habituation), (2) aktivitas dan bermain, serta (3) pembelajaran. 1. Strategi latihan dan pembiasaan

Menurut Bull (1969) bayi yang masih berada dalam masa kandungan sampai usia tiga bulan sesudah lahir berada pada fase perkembangan moral anomi. Artinya calon bayi dan anak bayi belum memiliki kemampuan moral (anomi). Moral bayi barulah sebatas potensi yang memang memerlukan peran dominan dari lingkungan untuk mengembangkannya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya sampai usia 2-3 tahun anak berada dalam tahap kesadaran moral heteronomy, atau disebut piaget (Duska & Whelan, 1977) sebagai fase absolut. Pada masa ini, anak-anak menghayati aturan, norma-norma dan nilai dari orang lain yang bermacam-macam. Anak menganggap siapa saja yang menetapkan aturan-aturan moral mutlak harus dipatuhi sehingga disebut sebagai fase moral absolute. Anak akan menghayati aturan sebagai suatu hal yang tidak dapat berubah karena berasal dari otoritas yang dihormatinya. Otoritas itu adalah orangtua, kakak, guru, aparat pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat. anak akan berusaha mentaati semua aturan otoritas untuk menghindari penghukuman otoritas diluar dirinya. Berdasarkan prinsip-prinsip yang mendasari perkembangan moral, strategi pelatihan dan pembiasaan merupakan strategi pembentukan moral yang efektif. Pada saat bayi dalam kandungan diperlukan suatu pelatihan dan pembiasaan bagi ibu-ibu dalam mempersiapkan diri dalam menyambut sang bayi. Para calon ibu dan calon ayah mesti dipersiapkan dengan sengaja bagaimana mereka mengembangkan moral perhatian terhadap bayi yang sedang dikandungnya. Latihan diri ini penting, termasuk bagaimana mereka sebagai calon ibu dan ayah dapat menjaga, memelihara, dan merawat bayi yang sedang dikandung melalui pemeriksaan medis secara berkala; mempersiapkan kebutuhan gizi secara proporsional untuk bayi dan ibu; menghindari diri dari berbagai kemungkinan yang dapat mengganggu proses pertumbuhan bayu seperti rokok, alcohol, atau obat dan zat adiktif lainnya yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Di samping itu tentu yang tidak kurang pentingnya ialah bagaimana mereka sebagai suami istri membangun tradisi dan kebiasaan hubungan yang dapat member keamanan psikologis kepada bayi yang sedang dikandung. Itu berarti bahwa suami istri perlu menghindari dai ketegangan dan konflik yang berkelanjutan yang dapat memberikan efek negatif dan mengganggu kenyamanan sang bayi dalam kandungan.

Para keluarga muda, calon ibu dan calon ayah memerlukan pelatihan dan pendidikan khusus tentang bagaimana mereka menampilkan peran keorangtuaan (parental role) yang lebih efektif, terutama pada masa selama kehamilan. Coles (2000) berpendapat bahwa perilaku moral anak-anak tumbuh seiring dengan moral perhatian dan kepedulian yang terus menerus dicurahkan oleh ibu, bapak, dan lingkungan dekat. Setelah calon bayi lahir, maka tugas keluarga beikutnya adalah bagaimana merawat, memelihara, mengasuh, dan menjadikan bayi itu makhluk berbudaya. Sebenarnya ukuran makhluk berbudaya dapat dilihat dari proses dan produk peradaban yang dimiliki. Di samping ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, karya-karya seni dan pranata sosial, juga moralitas dan etika sosial sebagai sumber-sumber hukum yang menata kehidupan masyarakat. oleh karena itu, sebenarnya berbagai teori pemeliharaan dan pengasuhan anak (child rearing), tidak hanya secara instinctual akan tetapi hubungan-hubungan kasih sayang alamiah antara ibu dan bayi. Latihan-latihan dan pembiasaan moral bagi bayi dilakukan melalui pelayanan kebutuhan yang tetap dan kontinyu. Kehadiran dan dekapan ibu terhadap bayi dalam ruang dan waktu yang ia butuhkan adalah bagian dari pembentukan sikap dan perilaku moral anak. Meskipun konsep moral pada bayi itu masih didasarkan kepada dorongan (instink) yang tidak disadari yang digerakkan oleh pleasure principle, tetapi pemenuhan kebutuhan ini sangatlah strategis dalam pembentukan kepribadian anak, termasuk moralitasnya. Bila relasi dan interaksi antara ibu, pengasuh, atau lingkungan dekat gagal memnuhi kebutuhan biologis anak akan muncul kecemasan (anxienty) yang apabila tak terkendali mengakibatkan munculnya gangguan dalam perkembangan kepribadian (mental disorder) pada anak di kemudian hari. Latihan-latihan moral pada anak berbasis pemenuhan kebutuhan berorientasi kepada pemberian rasa kenikmatan dan menghindari hal-hal yang mendatangkan rasa sakit. Misalnya, katika bayi kencing atau buang tinja, sesegera mungkin diganti popoknya. Jika bayi sudah disusui masih menangis, kemungkinan ada yang tidak beres dengan kesehatannya, mungkin perutnya sakit atau ada bagian tubuh lainnya yang sakit. Hal ini perlu segera diatasi sehingga anak mendapatkan rasa tubuh yang sehat dan nyaman. Pada saat bayi lahir hingga usia 2 tahun, latihan dan pembiasaan moral bagi anak diarahkan kepada pembentukan kepercayaan pada diri. Kepercayaan diri sebagai dasar moral

bagi anak dibentuk oleh pemenuhan kebutuhan yang memadai dalam arti pada ruang dan waktu yang tepat, hubungan kasih sayang, serta saling mengenal dan memahami sebagai jaminan keamanan dan kenyamanan psikologis. Ibu, pengasuh, dan lingkungan dekat, mempunyai peran yang dominan dalam menciptakan landasan kepercayaan diri yang kuat kepada anak. Semua perlakuan perawatan dan pengasuhan oleh orangtua (parenting treatment) harus diusahakan sebaik mungkin atau sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga anak terbebas dari kemungkinan munculnya krisis psikososial yang pertama, yaitu ketidakpercayaan yang menyebabkan munculnya sikap kecurigaan anak yang berlebihan terhadap lingkungannya. Anak yang tidak memiliki kepercayaan diri kepada orang lain akan cenderung curiga, tidak bisa membangun landasan moral yang kuat dalam menjalani hidupnya. Apabila anak bertumbuh dalam kondisi krisis ketidakpercayaan, maka sebenarnya anak juga menghadapi krisis dasar dalam pengembangan sikap moral di kemudian hari. Banyak di antara anak-anak yang mngalami krisis ketidakpercayaan di usia awal kemudian mengalami tidak saja gangguan dalam perkembangan perilaku moral tapi juga kepribadian yang kurang sehat. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah anak mulai berjalan dan belajar mengenal bahasa sebagai alat komunikasi, latihan atau pembiasaan moral mulai diarahkan kepada aturanaturan harian dalam keluarga, seperti bangun, mandi, makan pagi, bermain, istirahat, makan siang, tidur, bermain, mandi, makan malam, istirahat, dan tidur. Dari latihan aturan hidup harian, latihan kebersihan diri atau yang dikenal sebagai toilet training mempunyai nilai yang cukup penting tidak hanya dari segi kesehatan tapi juga dari segi pembentukan disiplin dan kehidupan teratur. Latihan dan pembiasaan hidup menjalani aturan-aturan kesehatan dan kebersihan ini mulai diperkenalkan pada anak. Setiap anak yang berusia dua tahun keatas dibiasakan bangun pagi 05.30, dan dilatih/ dibiasakan ke kamar kecil untuk buang air kecil atau buang tinja. Selanjutnya anak dibiasakan dan dilatih menggunakan sikat dan odol untuk menggosok gigi, mandi menggunakan kamar mandi, membersihkan badan dengan menggunakan sabun, pembilas rambut, dan menggunakan handuk untuk mengeringkan badan. Kemudian juga dilatih

menggunakan gayung atau memutar stop kran untuk bisa membersihkan sabun, menggunakan closet jongkok atau duduk, membersihkan sisa kotoran di pantat dengan tissue dan air. Kegiatan berikut anak dilatih bagaimana memasang dan menggunakan pakaian dalam, pakaian luar, memasang sandal atau sepatu atau kaos kaki. Semua jenis latihan ini disesuaikan dengan tingkat kesiapan dan kematangan kordinasi otot, tulang, kaki, dan kepala. Toilet training juga merupakan basis pembentukan perilaku moral pada anak. Dalam latihan kebersihan anak diperkenalkan dengan berbagai aturan dan nilai-nilai dalam hidup sebagai anggota keluarga. Apabila kebiasaan ini terus menerus dilakukan akan terbentuk satu system nilai dalam diri anak mengenai tatanan kehidupan. Pada usia awal ini kehidupan seorang anak sesungguhnya dibentuk oleh nilai-nilai orang dewasa. Artinya bagaimana pemikiran, keinginan, dan tindakan anak sebenarnya mencerminkan keinginan, harapan, dan nilai-nilai orangtua bagaimana seharusnya kehidupan dan perilaku anak. Oleh karena tuntutan, harapan, dan norma-norma masyarakat itulah maka tugas ibu, ayah, dan keluarga terhadap anaknya adalah berupaya untuk membentuk perilaku moral anak. 2. Strategi aktivitas bermain Bermain adalah salah satu kebutuhan dasar dalam perkembangan anak. Aktivitas bermain muncul sebagai mekanisme dari dalam diri untuk meredakan ketegangan energy hingga mencapai kepuasan. Dorongan bermain muncul tanpa ada unsure paksaan dan tidak mempunyai tujuan kecuali pada permainan itu sendiri apakah mendatangkan kepuasan atau tidak. Jika permainan itu tidak member kepuasan akan dicoba lagi hingga dicapai kepuasan tertentu, atau dicari bentuk permainan lain yang lebih mendatangkan kepuasan terhadap anak. Schaller & Lazarus (Zulkifli,1999) mengemukakan bahwa bermain adalah aktivitas seseorang yang bersifat rekreatif untuk menenangkan pikiran atau beristirahat. Orang melakukan kesibukan bermain apabila ia selesai bekerja, atau ingin mengisi waktu aktivitas bekerja dengan bermain, agar ia dapat memperoleh pemulihan tenaga. Herbert Spencer (Zulkifli, 1999) mengemukakan aktivitas bermain sebagai upaya pelepasan energi. Ia berpendapat bahwa anakanak yang belum memiliki aktivitas bekerja yang teratur dan bertujuan, cenderung memiliki energy yang berlebihan.

Kelebihan energi menimbulkan ketegangan dan rasa tidak enak; keadaan itulah yang secara tidak sadar mendorong anak untuk melepaskan kelebihan melalui kegiatan bermain, sehingga tercapai kenikmatan dan kesinambungan dalam dirinya. Karena itu proporsi bermain pada anak-anak jauh lebih besar dibanding dengan kelompok remaja, pemuda, atau orang dewasa yang pelepasan energinya disalurkan melalui pekerjaan. Pola dan intensitas kegiatan bermain pada anak sebenarnya berkembang sejalan dengan perkembangan kematangan otot, tulang, dan organ-organ tubuh lainnya seperti kaki, tangan, dan kepala serta dengan perkembangan bahasa, intelektual, sosial, dan perilaku moral anak. Apabila kita mengamati perkembangan aktivitas bermain pada anak-anak normal, kita akan mencatat bahwa anak-anak itu mula-mula bermain dengan badannya sendiri, seperti bermain dengan kaki dan tangannya disertai ekspresi wajah dan suara yang menunjukkan kegembiraan. Kemudian, ketika anak mulai berjalan, anak akan asyik bermain sendiri dengan berbagai alat permainan, meskipun kesibukan dan keasyikan bermain lebih sebagai aktivitas motorik yang belum mempunyai tujuan. Setelah memasuki usia 3-4 tahun dimana anak mulai belajar mencari teman, maka aktivitas bermain mulai dilakukan dalam kelompok, meskipun sebenarnya mereka bermain sendiri-sendiri. Tahap berikut, anak-anak ini mulai belajar bermain bersama dalam kedudukan yang setara. Dalam perkembangan selanjutnya aktivitas bermain dalam kelompok mulai dilakukan dalam suatu sistem yang teratur dengan mereka menunjuk sendiri pimpinannya. Aktivitas bermain pada anak sesungguhnya mempunyai manfaat psikologis yang penting bagi berbagai aspek perkembangan diri, seperti aspek intelektual, emosional, sosial, dan moral. Beberapa ahli (Zulkifli, 1999) mengemukakan manfaat aktivitas bermain pada anak sebagai berikut. Pertama, aktivitas bermain sebagai sarana untuk membawa anak kea lam kehidupan bermasyarakat. Dalam suasana dan situasi permainan anak-anak saling mengenal, saling menghargai satu dengan lainnya, dan dengan perlahan-lahan tumbuhlah rasa kebersamaan, dan saling membantu yang menjadi landasan bagi pembentukan perasaan sosial. Kedua, melalui kegiatan bermain, anak-anak akan belajar mengenai kekuatan, kelemahan, dan kedudukannya di kalangan teman-temannya, serta menganal lebih jauh ciri-ciri alat yang digunakan untuk kegiatan bermain.

Ketiga, kegiatan bermain merupakan sarana dan kesempatan anak untuk mengembangkan fantasi kreativitas, menyalurkan kecenderungan pembawaan dan perbedaan minat berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Jika anak laki-laki dan perempuan diberi bahan-bahan yang sama berupa kertas-kertas, perca (sisa kain), gunting, tampak nya mereka akan membuat sesuatu yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa anak laki-laki berbeda bentuk permainannya dengan anak perempuan. Keempat, melalui aktivitas bermain, anak-anak akan berlatih menempa perasaannya. Ada anak yang dapat menikmati suasana permainan itu dengan perasaan gembira dan puas, sebaliknya ada anak yang merasa kecewa dan tidak puas, ada anak yang menggerutu karena tidak dibantu dalam kegiatan bermain, ada anak yang marah karena anak lain bermain curang, ada yang acuh tak acuh, tidak peduli dengan perasaan teman yang lain. Kelima, dalam kegiatan bermain anak belajar mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam permainan serta belajar menerima hukuman jika seseorang bermain tidak mengikuti aturan atau bermain curang. Jadi dalam bermain anak belajar jujur dan menaati semua ketentuan yang disepakati dalam permainan. Keenam, manfaat aktivitas bermain yang paling utama adalah sebenarnya mendapatkan kegembiraan, kesenangan dan kepuasan. Apabila kondisi kepuasan tercapai berarti anak mendapatkan kembali keseimbangan (equilibrium) dalam sistem energy tubuh. Bermain sebagai dorongan dan aktivitas sukarela pada anak dapat digunakan dan dikelola sebagai strategi kegiatan untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Penelitian Jean Piaget (Duska & Whelan, 1977) melaporkan bahwa perkembangan perilaku moral pada anak-anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada tahap pertama, usia 0-2 tahun, khususnya anak-anak yang sudah bisa berjalan dan memeluk bola. Anak mulai bermain bola sebagai aktivitas motorik semata-mata. Belum ada aturan yang mengatur aktivitas bermain anak. Pada tahap kedua, yakni usia 2-6 tahun, anak mulai belajar mengamati anak-anak yang lebih besar bermain kelereng serta mulai meniru dan mencontoh bagaimana cara melakukan permainan itu. Bagian awal dari tahap kedua, yakni usia 2-3 tahun, anak tampak bermain dalam kelompok, tapi masih lebih banyak bermain sendiri.

Pada usia 4-6 tahun anak mulai mengenal aturan-aturan yang mengatur kegiatan bermain, walaupun pengetahuannya mengenai system aturan belum sempurna. Ia masih cenderung menerapkan aturan secara egocentric, karena kegiatan bermainnya masih sebagai hasil peniruan terhadap apa yang ia lihat seperti, menggambar sebuah lingkaran, mengatur posisi kelerengkelereng, menata arah kelereng, kemudian menembakkan kelereng ke lingkaran yang telah dibuat sebagai tujuan dari kegiatan bermain kelereng; dan aktivitas ini masih dipisahkan dari permainan sebagai aktivitas sosial. Permainan egosentrik ini sebenarnya merupakan tahap peralihan antara permainan individualistic murni yang merupakan aktivitas motorik dengan permainan kerjasama sosial yang benar. Pada tahap ketuga, 7-12 tahun, aktivitas bermain anak memasuki tahap kerjasama sosial. Pada tahap ini anak mulai menyadari mengenai system aturan dan nilai-nilai dari suatu jenis permainan. Anak harus mematuhi aturan itu, kalau tidak ia harus siap menerima hukuman atau ganjaran. Pada tahap ini sebenarnya aktivitas bermain mengarah kepada pembentukan realisme moral (moral realism) pada anak. Dari penelitian Jean Piaget itu, ia menemukan tahap-tahap aktivitas bermain dengan tahap-tahap dalam pelaksanaan aturan (practices of rule) dan tahap-tahap kesadaran terhadap aturan (consciousness of rule). Tahapan-tahapan perkembangan kesadaran moral diatas, dapat dirancang bentuk dan jenis permainan yang efektif untuk membentuk perilaku moral anak. Beberapa jenis permainan perlu dipertimbangka dalam perancangan aktivitas bermain sebagai strategi pembentukan moral anak usia dini. H. Hetzer (dalam Zulkifli, 1999) dan Freeman & Munandar (19999) mengemukakan beberapa jenis permainan. a. Permainan fungsi dalam jenis permainan ini yang diutamakan adalah gerakannya, seperti gerakan-gerakan tangan dan kaki pada bayi. Sedangkan pada anak-anak, merangkak, belajar berdiri, berjalan, berlari-lari, menggulingkan badan, berkejar-kejaran, melompat, berjingkrak, dan sebagainya adalah bentuk permainan fungsional. Disebut fungsional karena bentuk permainan ini gunanya untuk melatih fungsi-fungsi gerakan motorik, kemantapan kordinasi otot, tulang dan organ-organ lainnya.

Melalui gerakan-gerakan ini, anak akan mencapai kepuasan, sehingga gerakan-gerakan itu yang dilakukan melalui aktivitas berlari, berkejaran, melompat, menggulingkan badan akan diulang-ulangi sehingga anak mencapai titik jenuh, berupa kelelahan dalam permainan. Permainan perkembangan fungsi, meskipun motorik, sangat penting dan bagi anak untuk tetapi memantapkan juga harus

fungsi-fungsi

intelektual

emosional,

mengembangkan fungsi sosial dan moral anak. Misalnya, anak-anak dapat berlari dan berkejarkejaran di halaman rumah, tetapi tidak boleh merusak taman bunga ibu. Anak-anak boleh bermain fungsi dengan saling memeluk dan menggulingkan badan di ruang tamu, tetapi tidak boleh menyentuh pot bunga yang mudah pecah.

b.

Permainan eksploratif jenis permainan ini bertujuan mengeksplorasi diri sndiri dan mengeksplorasi lingkungan

tempat anak berada. Proses mengeksplorasi badan, pikiran, dan perasaan dilakukan melalui gerakan, penglihatan, pendengaran, dan perabaan, sehingga anak mengenal dunianya. Ia dapat meraba dan menekn papan kunci piano, atau memetik gitar dan mendengar bunyinya; anak dapat menekan papan kunci computer dan melihat tulisan atau gambar di layar. Selanjutnya, anak juga bermain sambil bereksplorasi terhadap sekitarnya: ruang atau tempat-tempat yang belum diketahui, orang lain, dan benda-benda disekelilingnya. Seorang anak kecil usia 2-3 tahun akan berjalan sendiri ke rumah tetangga sambil melihat-lihat burung kakaktua yang sedang bermain di sangkarnya. Melalui permainan eksporatif anak juga mulai bereksplorasi dengan lingkungan social, termasuk berbagai aturan perilaku dalam rumah yang harus dipatuhinya. Anak boleh bermain di halaman, tetapi tidak boleh keluar bermain di jalan karena banyak mobil yang lalu lalang. Dengan kata lain anak memang harus didorong dan difasilitasi ke dalam kegiatan permainan eksploratif, tetapi sekaligus mulai diperkenalkan mengenai berbagai aturan, dan norma dalam keluarga dan masyarakat untuk pengembangan moral anak. c. Permainan konstruktif

Bermain konstruktif dapat mengikuti proses eksplorasi material. Dalam permainan ini yang diutamakan adalah hasilnya. Anak bermain dengan menggunakan berbagai obyek, membentuk, menggabungkan, mengubah, membongkar, dan membentuk kembali obyek-obyek seperti berbagai balok kayu dalam jenis dan ukuran yang berbeda, bahan-bahan dari tanah liat, pasir, batu-batuan, tongkat, biji-bijian. Pada tahap selanjutnya, sejalan dengan perkembangan kemampuan symbol-simbol mental, anak akan bermain dengan menumpuk, memasang, mencocokkan, mencari keseimbangan antara bagian-bagian dari sebuah obyek yang akan disusun seperti rumah, kantor, menara, benteng, jembatan, dan sebagainya. Dalam permainan konstruktif, anak mulai mengembangkan kemampuan melihat hubungan-hubungan di antara berbagai obyek, dan akibat atau kosekuensi dari hubunganhubungan itu. Permainan konstruktif itu juga sekaligus membentuk kemampuan anak umtuk mematuhi atau tidak mematuhi aturan. Anak akan mengurungkan perbuatannya untuk mencoratcoret dinding rumah dengan kapur, apabila melihat raut wajah ibu yang marah dan melarang anak untuk tidak boleh mencorat-coret dinding. Ketika anak sedang menggambar dipintu kamar, lalu tiba-tiba ibunya lewat, maka anak akan segera menyembunyikan kapur dengan tangan yang disilang kebelakang. Di sini anak sudah tau menggambar di pintu kamar tidak boleh, karena kosekuensinya ialah akan dimarahi, atau tangannya akan dicubit ibunya. Konsekuensi inilah yang menjadi pertimbangan anak. Dalam pengembangan permainan konstruktif sebagai sarana pembelajaran moral, dapat dikembangkan unsure-unsur aturan yang dapat melatih proses berfikir anak dalam mempertimbangkan serta memilih sesuatu dan membentuk obyek-obyek tertentu serta akibat dan konsekuensi-konsekuensi konstruktif dari perbuatannya. d. Permainan destruktif dalam permainan ini, anak bereksperimen dengan benda-benda yang diperlakukan secara destruktif, seperti melempar, memecahkan, membongkar, menendang, menyobek-nyobek, mencoret, menggaris, atau membantingkan suatu obyek. Suara dari suatu obyek yang jatuh, roboh, pecah akan memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi anak. Ia menyusun suatu

menara dari balok-balok kayu kemudian merobohkan kembali. Ia dapat membongkar mobilmobilan karena hanya merasa senang melihat suatu obyek yang tidak punya bentuk lagi. Dari perspektif pengembangan moral, permainan destruktif ini dapat melatih kemampuan anak untuk mempertimbangkan akibat-akibat negative dari suatu perbuatan destruktif. Misalnya, kalau mobil mainan itu dibanting maka mobil itu akan rusak, dan tidak mungkin diperbaiki sebagaimana kondisinya sebelum dibanting. Kalau bangunan rumah yang disusun dari balokbalok kecil itu ditendang, kemudian roboh, maka tidak mungkin lagi akan tersusun bangunan rumah seperti sebelumnya. Dalam permainan ini, di samping anak dilatih mengenai imaginasinya ketika obyek-obyek permainan itu rusak, tetapi juga harus dilatih tentang akibat atau konsekuensi destruktif dari perbuatannya itu. e. Permainan yang terorganisasi jenis permainan ini mempunyai system aturan yang harus diikuti oleh pelaku permainan. Tujuan utama permainan ini ialah tercapainya kepuasan dan kegembiraan. Bila anak berhasil memasukkan kelereng dalam lingkaran, maka ia akan mendapat nilai kemenangan. Tetapi dalam permainan ini anak harus mematuhi berbagai aturan yang ditetapkan. Kalau terjadi pelanggaran, ia akan mendapat hukuman. Jenis permainan ini antara lain permainan kelereng, permainan congklak, permainan kotak-kotak, dan kucing-kucingan. Melalui jenis permainan terorganisasi, anak dilatih mematuhi aturan-aturan permainan. Umpamanya adalah kemenangan atau kekalahan. Kalau anak menang dengan mematuhi aturan, maka ia akan terus berusaha meraih kemenangan berikut dengan tetap mengikuti aturanaturan yang ada. Apabila ia bermain curang maka ia diberikan hukuman sesuai aturan yang berlaku dalam permainan itu, misalnya tidak boleh melanjutkan permainan, dan menyerahkannya ke anggota lain yang ikut dalam permainan itu. f. Permainan reseptif dalam permainan reseptif, anak lebih banyak dalam posisi menerima dan menyimak berbagai obyek dari luar. Aktivitas permainan berfokus pada proses mengamati, mendengar, berfikir, menghayati, dan berimaginasi terhadap obyek-obyek luar yang dilihat, dan didengarnya. Sambil mendengarkan cerita atau melihat-lihat buku bergambar, anak berfantasi dan menerima

kesan-kesan yang membuat jiwanya sendiri menjadi aktif. Cerita pendek atau dongeng yang mengandung benih-benih budi pekerti, rasa sosial, dan rasa keadilan sangat baik untuk membangkitkan fantasi. Jenis permainan reseptif dapat dikembangkan sebagai sarana untuk latihan

pengembangan moral pada anak. Berbagai cerita dongeng, cerita bergambar, baik secara auditif visual atau audio visual, dapat memuat pesan-pesan moral kepada anak. Melalui permainan reseptif ini anak dapat menghayati nilai-nilai kebaikan dan ketidak baikan dari setiap tingkah laku dalam cerita.

Daftar Pustaka Aziz Mustafa dan Imam Musbikin. 2003. Sepasang Burung dan Nabi Sulaiman. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Cheppy Haricahyono. 1995. Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Press. Depdiknas. 2003. . Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta:Depdiknas. _________.2003. Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Dwi Siswoyo dkk. 2005. Metode Pengembangan Moral Anak Prasekolah. Yogyakarta: FIP UNY. Elizabeth Hurlock. 1998. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Gutama,dkk. 2005. Mewujudkan Pendidikan Anak Usia Dini yang Holistik. Seminar dan Lokakarya Nasional 2005 Pendidikan Anak Usia Dini, kampus UGM 14-16 Nopember 2005. Huitt, W. 2004. Values Education. http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/affys/values.html I Wayan Koyan. 2000. Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta: Depdiknas. Martini Jamaris. 2006. Perkembangan dan Pengembangan Anak di usia taman Kanak-Kanak. Jakarta : Grasindo. Otib Satibi Hidayat. 2000. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama. Jakarta: Universitas Terbuka. Soenarjati dan Cholisin. 1994. Dasar dan Konsep Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Laboratorium PMP dan KN. Tadzkiroatun Musfiroh dkk. 2005. Cerita Untuk Perkembangan Anak. Yogyakarta: Navil 16
Slamet Suyanto. 2005. Dasar-dasar pendidikan anak usia dini. Yogyakarta: Hikayat. W.J.S. Poerwadarminta. 2007. Kamus umum bahasa indonesia edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

You might also like