You are on page 1of 8

KONFLIK VERTIKAL Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda

atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4) Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai : 1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. 2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001). Secara umum konflik vertikal dapat didefinisaikan sebagai perselisihan kelompok masyarakat atau wilayah tertentu dengan Negara atau pemerintah. Konflik vertikal dapat juga diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka, 1. A. SEBAB-SEBAB TERJADINYA KONFLIK VERTIKAL

Ditinjau dari penyebab utama terjadinya konflik, ada 4 faktor: 1. A. Faktor politik Penyebab konflik karena adaanya diskriminasi politik dan eklusifisme ideologi nasional. 1. B. Faktor struktural Adalah faktor-faktor penyebab konflik yang terjadi olehkarena Negara atau pemerintah lemah, masalah dan pengaturan keamanan dalam Negara lemah serta benturan kepentingan etnik 1. C. Faktor sosial-ekonomi Fator penyebab konflik karena adanya problematika ekonomi yang tidak teratasi. Diskrimiasi sistem ekonomi serta modernisasi dan pembangunan ekonomi yang tidak adil. 1. D. Faktor kultural dan persepsi

Adalah faktor penyebab konflik karena adanya diskriminasi atau perasaan diskriminatif terhaadap minoritas dan benturan antatr kelompok dalam masyarakat. 1. B. 2. a. CONTOH KONFLIK VERTIKAL Negara Nasional Indonesia (NII)

Negara Islam Indonesia (disingkat NII juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah Rumah Islam adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam, lebih jelas lagi dalam undangundangnya dinyatakan bahwa Negara berdasarkan Islam dan Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alquran dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan hukum kafir, sesuai dalam Quraan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50 Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Negara Islam Indonesia merupakan suatu fenomena masalah sosial yang dapat menghancurkan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketika dibiarkan membesar. Perkembangan jemaah yang begitu banyak, apalagi sebagian besar tinggal di ibukota negara, menimbulkan kesan seakan ada pembiaran membesarnya pergerakan aksi makar ini. Selain itu kurang seriusnya pemerintah secara represif dalam mengatasi ancaman makar dari pergerakan bernama NII ini. Konsep makar, secara interpretasi sistematis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diartikan sebagai kejahatan terhadap keamanan negara, kepala negara, dan wakil kepala negara sahabat, menjadi mata-mata musuh, perlawanan terhadap pegawai pemerintah dan berbagai tindakan lain yang merugikan kepentingan negara. Adapun motif dari aksi makar ini dapat dilakukan dengan cara, merampas kemerdekaan, menggulingkan pemerintahan, mengubah sistem pemerintahan dengan cara yang tidak sah, merusak kedaulatan negara dengan menaklukan atau memisahkan sebagian negara untuk diserahkan kepada pemerintahan lain atau dijadikan negara yang berdiri sendiri. Sehingga, ketika gerakan NII yang ingin mengganti prinsip negara kesatuan dengan memegang prinsip kebhinekaan serta tindakan yang memberikan doktrin kepada setiap pengikutnya bahwa negara NKRI tidak sah dan kafir maka aktivitas tersebut dapat

dikategorikan aksi kejahatan terhadap keamanan negara serta tindakan kejahatan terhadap ketertiban umum. Bila dilihat dari perspektif konstitusional, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945, menentukan negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Karenanya selain aksi makar, aktivitas NII tersebut merupakan tindakan inkonstitusional, yang ingin menghancurkan NKRI sebagaimana yang telah dijamin secara mendasar oleh konstitusi. Mengingat telah berlangsung lama gerakan ini, menjadi sebuah bukti bahwa kurang seriusnya tindakan negara dalam melakukan upaya pemberantasan. Sebab jika ini dibiarkan berkembang maka cita-cita negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana diinginkan para founding fathers akan sirna. Sebab rasa persatuan dari seluruh elemen masyarakat Indonesia dari perbedaan suku, agama, ras, dan budaya yang teraktualisasi dalam prinsip bhineka tunggal ika, akan terabaikan. Tentu sangat disedihkan ketika kesatuan negara ini yang telah diperjuangkan dengan pertumpahan darah menuju kemerdekaan 17 Agustus 1945 silam tergerus oleh tindakan para pemberontak yang ingin menghancurkan satunya bangsa ini. Karenanya tindakan represif oleh pemerintah harus segera dilakukan terhadap pergerakan NII yang sangat mengancam kedaulatan negara. Hal ini agar tidak menimbulkan kesan perbedaan sikap negara terhadap aksi-aksi makar yang dilakukan oleh gerakan lainnya di Indonesia dan tentunya, sangat ironis ketika pergerakan NII dapat berkembang pesat di daerah dekat ibukota negara. Tindakan NII yang bertentangan dengan falsafah negara Indonesia yakni Pancasila, haruslah ditindak tegas. Dari perspektif ketatanegaraan dalam ilmu perundang-undangan, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, hal ini tercantum dalam Pasal 2 UndangUndang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karenanya ketika ada keinginan sebuah gerakan untuk mengganti sendi-sendi filosofi negara Indonesia ini, maka tindakan represif oleh pemerintah harus segera dilakukan. Dapat diilustrasikan sebuah penyakit kanker yang jika dibiarkan dan tidak diberantas maka manusia akan mati, hal ini sama seperti Negara.

1. b.

Konflik Aceh

Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.

Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalah pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia. Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah. Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia. Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar. Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998. Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besarbesaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi. Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan. Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu. Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh. Tujuannya, memberi kesempatan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog. 1. c. Tragedi Trisakti

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan. Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan Sidang Umum MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit. Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore

hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.

1. C.

UPAYA PENANGANAN KONFLIK

Dari kajian dalam menangani berbagai macam konflik di Indonesia, dapat dicuplik indikasi yang menyebabkan gagalnya penanganan konflik, yaitu : 1. Kelemahan deteksi
y y y y

Kelemahan fungsi intelegen yang tidak mampu mendeteksi sumber potensi konflik, sehingga tidak sempat dilakukan adanya pembinaan, penanggulangan atau pencegahan Kelemahan peran para tokoh penggerak masing-masing pihak yang berkonflik untuk melakukan tindakan pencegahan dini. Kegagalan upaya penggalangan : meredam isu, peran komunikasi/humas, sense of krisis. Kelemahan memperkirakan perkembangan situasi (pembuatan perkiraan cepat)

1. Kegagalan upaya pencegahan


y y y

Kelemahan pihak aparat melakukan tindakan pencegahan pada saat belum terjadinya peristiwa yang dapat memicu konflik atau pada awal terjadinya konflik Penyiapan tindakan preventif yang tidak memadai, seperti jumlah personil yang kurang memadai, kurangnya persiapan petugas, dan kurangnya persiapan. Keterlambatan menghadirkan back up penanganan, sehingga menimbulkan kecenderungan tindakan anarki massa

1. Kekeliruan penindakan oleh petugas lapangan :


y y y y y y

Keraguan bertindak karena HAM Tidak berani mengambil resiko Tidak berani bertindak tegas Tindakan yang eksesif dan diskriminatif Tindakan tidak profesional atau melanggar HAM Keterbatasan sarana dan prasarana

Dari pengalaman keberhasilan penanganan konflik dapat diambil butir-butir pembelajaran, diantaranya : 1. Potensi konflik dapat diredam sebelum terjadi melalui :

y y y y y

Deteksi tajam sehingga dapat meminimalisasi potensi konflik Penggalangan yang berhasil, sehingga dapat meredam konflik Upaya optimalisasi melalui barikade atau pemindahan lokasi Upaya pencegahan yang seimbang dan akurat Upaya melokalisir kejadian sehingga tidak meluas

1. Upaya pencegahan dengan upaya yang berimbang


y y

Pengerahan petugas yang jumlahnya berimbang dengan massa Intensitas upaya meredam isu yang berimbang antara provokasi/ agitasi dengan antisipasi

1. Upaya melokalisasi isu/kejadian


y y y

Upaya maksimal untuk meminimalisasi dampak akibat konflik Pencegahan terhadap arus bantuan massa dari pihak yang berkonflik Meredam adanya isu-isu yang dapat memperkeruh situasi STUDI KASUS Negara Nasional Indonesia (NII)

1. D. 2. a.

Sumber konflik vertikal NII ini meliputi isu ideologi. Penyelesaian masalah NII ini sampai saat ini masih diusahakan oleh pemerintah untuk mengusut kasus ini agar tidak berlarut-larut sehingga dapat membahayakan ideologi kita, Pancasila. 1. b. Koflik Aceh

Sumber potensi konflik yang sangat kompleks, meliputi : isu separatisme, ideologi, teritorial, ekonomi, etnis, dan kecemburuan sosial. Penyelesaian konflik Aceh diantaranya adalah :
y y y y

Pemenuhan hak-hak otonomi khusus Pemberian peluang lebih sebesar-besarnya pada warga/ otoritas lokal Peran pihak ketiga dalam rangka mencari solusi damai Kebijakan politik yang demokratis Tragedi Trisakti

1. c.

Tragedi ini bermula dari krisis ekonomi yang berkelanjutan melanda bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. DPR tengah berusaha menyelesaikan kasus tragedi Trisakti yang hingga kini masih terkatung-katung. Dalam usahanya tersebut, pemerintah telah membentuk tim untuk meneliti kembali kasus tragedi Trisakti ini yang telah merenggut nyawa keempat mahasiswa tersebut. DPR juga mengakui saat ini belum secara intensif membahas kasus ini. DPR masih harus melaporkan persoalan ini kembali kepada pimpinan DPR. Karena sebelumnya hasil pansus kasus Trisakti yang dibentuk beberapa tahun lalu menyimpulkan, tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti.

You might also like