You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Bahasa Arab tidak terlepas dari agama Islam. Atau dengan kata lain bahasa

Arab sama dengan agama Islam. Al-Qur an pun diturunkan dengan berbahasa Arab. Berarti sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk bisa membaca al-Qur an. Namun sebagian besar umat Islam di Indonesia belum mampu berbahasa Arab. Alasannya karena faktor perbedaan huruf atau karena Sehubungan dengan masalah di atas, saya tertarik untuk mengangkat tema di atas yang fokus sasarannya ialah bagaimana kendala pendidikan bahasa Arab di Indonesia. Dari fokus sasaran tersebut kita akan dapat mengetahui bagaimana solusi yang dapat diambil untuk memecahkan masalah bahasa Arab di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa definisi problematika (masalah) dan solusi? 2. Apa keuntungan kita mempelajari bahasa Arab? 3. Apa saja kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi dalam pembelajaran bahasa Arab? 4. Bagaimana solusi mengatasi hambatan tersebut? 1.3 Tujuan Tujuan penulisan makalah ini untuk mencari tahu bagaimana penguasaan bahasa Arab oleh masyarakat khususnya umat Muslim di Indonesia dan apa kendala yang dihadapi dalam mempelajari struktur kalimat bahasa Arab. Juga penulisan makalah ini sebagai syarat mengikuti ujian akhir semester. 1.4 Manfaat Manfaat penulisan karya ilmiah ini untuk memudahkan kita mencari solusi masalah atau problem (problem solving) masalah penguasaan bahasa Arab, Dapat

menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi para penulis dan para pembaca yang budiman, Serta dapat menjelaskan kepada para anak didik bahwa belajar bahasa Arab itu tidaklah sesulit yang dibayangkan.

BAB II Landasan Teori 2.1 Definisi Problematika dan Solusi 2.1.1 Definisi Problematika (masalah) Menurut Merlyn Cundiff, dalam bukunya The Power ofSilent

Command yang dikutip oleh Witijasoku dalam karyaindividualnya Definisi Masalah adalah Awal PenyelesaianMasalah mengemukakan

bahwa: Masalah adalah perbedaan antara apa yang kita miliki.Jadi, bila kenyataan yang kita hadapi tidak identik denganapa yang kita inginkan, berarti kita punya masalah, bila apayang kita hadapi sekarang, tidak sesuai dengan yang kitainginkan, berarti kita punya masalah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, masalah adalah sesuatu yg harus diselesaikan

(dipecahkan); soal; persoalan (nomina). Dalam bahasa sehari-hari dan juga dalam konteks penelitian dapat diartikan banyak. Pertama, kita mengatakan sesuatu hal adalah masalah jika hal tadi bersifat negatif. Sakit, lapar, rugi, kualitas buruk, kinerja tidak sesuai harapan, target tidak tercapai, dan lain sebagainya. Jadi jika seseorang ditanya Ada masalah? , dan jawabnya tidak , maka dia merasa tidak ada hal yang dianggapnya negatif. Kedua, masalah tidak selalu harus berarti yang something wrong , yang perlu segera ditanggulangi. Masalah dalam penelitian dapat saja sekedar berupa hal yang menarik untuk diteliti bukan karena keburukannya , tetapi justru karena kebaikannya ,

kehebatannya , atau keunikannya . Misalnya saja, ada sebuah organisasi yang menerapkan suatu sistem kerja baru yang berhasil meningkatkan kinerja organisasi tersebut, oleh karena itu sistem kerja baru tersebut menarik untuk diteliti, dan hal tersebut dapat dijadikan sebagai masalah penelitian. Ketiga, masalah juga kadang diartikan sebagai topik atau isu suatu diskusi atau pembicaraan. Misalnya, tidak jarang kita mendengar orang berkata : Masalah yang akan dibicarakan minggu depan adalah teknik memasak ikan . Keempat, masalah juga banyak dimaknakan sebagai suatu kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Jika seharusnya (harapan) pegawai masuk

pukul 07.00 wib., namun kenyataannya sebagian besar mereka masuk pukul 08.00, maka di dalamnya ada masalah. 2.1.2 Definisi Solusi Mnurut kamus besar bahasa Indonesia, solusi adalah penyelesaian; pemecahan (masalah dsb); jalan keluar (nomina). 2.2. Definisi Problematika dan Solusi Menurut Penulis\ 2.2.1. Definisi Problematika Masalah ialah keadaan dimana 2.2.2. Definisi Solusi Makna arti solusi adalah cara dimana kita bisa menyelesaikan suatu masalah dengan cara yang terbaik atau malah sebaliknya. Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaiakan, maka dari itu setiap masalah pasti ada solusi atau dikenal dengan jalan keluar . Setiap masalah ada solusinya 2.3. Pembahasan 2.3.1. Keuntungan Mempelajari Bahasa Arab Sesuai dengan sebuah ungkapan dari seorang sahabat Nabi SAW, Perdalamlah belajar bahasa Arab, karena itu merupakan setengah dari agamamu. Tentu maksud utama dari ungkapan ini adalah dorongan untuk mempelajari bahasa Arab agar mampu memahami isi kitab suci Alquran sebagai sumber ilmu pengetahuan agama (Islam). Maka, ketika akan memperdalam keyakinan spiritualnya dengan mempelajari Alquran, hendaknya seorang Muslim juga mempelajari bahasa Arab. Selain itu, literatur-literatur keagamaan zaman klasik juga ditulis dengan bahasa Arab. Lagi-lagi kemampuan berbahasa Arab menjadi tuntutan bagi yang hendak memperdalamnya. Bagaimana dengan lembaga pendidikan umum nonkeagamaan? Belajar bahasa Arab di lembaga pendidikan umum setidaknya menjadi tantangan tersendiri. Itu karena bahasa Arab secara umum masih diidentikkan dengan agama (Islam). Sehingga, mungkin akan terjadi kesalahpahaman akan keberadaannya. Mungkin motivasi berikut ini bisa menjadi pertimbangan: Ekonomi Berbicara tentang dunia Arab, tidak lepas dari perbincangan tentang sumber daya alamnya. Setidaknya kita semua mengerti bahwa benua Arab dikenal sebagai penghasil bahan bakar minyak (BBM) terbesar di dunia. Beberapa

negara besar di kawasan Eropa kerap bergantung pada penyediaan BBM kepada negara-negara Arab. Bahkan, Amerika demikian adanya. Seorang pengusaha minyak akan mudah berbisnis dengan sesama pengusaha minyak dari Arab jika menggunakan bahasa mereka. Secara sosiologis, orang Arab akan lebih menghormati bangsa lain yang mau mempelajari bahasa mereka. Berkaitan dengan Indonesia, hingga sekarang banyak warga negara Indonesia yang memilih bekerja di negara Arab meskipun hanya menjadi pembantu rumah tangga. Terlepas dari berbagai masalah ketenagakerjaan yang muncul, kesuksesan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di negara Arab ditopang oleh keterampilan komunikasinya dengan warga lokal. Setiap musim haji, rombongan haji Indonesia selalu membutuhkan pemandu yang tidak saja memperlancar pelaksanaan ibadah itu sendiri, tetapi juga untuk memperlancar aktivitas nonhaji di sana. Misalnya, saat menawar barang di pasar dan berjalan-jalan keliling kota dengan taksi, tentu dibutuhkan pemandu yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab. Sudah pasti hal tersebut mendapatkan keuntungan materi pula. Mencari keuntungan ekonomis adalah dambaan setiap pencari kerja. Namun, lembaga-lembaga ekonomi, apalagi yang sudah go international, tentu membutuhkan pekerja-pekerja bertaraf internasional pula. Memiliki kemampuan berbagai bahasa asing, mutlak menjadi modal utama. Sudah saatnya bahasa Arab menjadi salah satu kompetensi yang dimiliki para calon pekerja internasional. Diplomasi internasional ingin mencetak sejarah dalam dunia pergaulan politik internasional? Pelajari bahasa Arab! Lihatlah di televisi. Cermati isi pemberitaan dunia hari ini. Konflik kemanusiaan di benua Arab masih menghiasi layar televisi kita. Saat ini juga, perdamaian di benua Arab menjadi menu diplomatik luar biasa. Konflik Israel-Palestina, Yaman, Yordania, Iran, serta Irak meminta perhatian masyarakat internasional. Bangsa Arab membutuhkan penengah dan juru runding dari luar negara mereka. Tentunya dicari pula orang-orang yang mampu berbahasa Arab dengan baik dan benar. Inilah kesempatan emas bagi orang-orang yang mendambakan berkarier di dunia diplomatik internasional. Menjadi tokoh internasional, diawali dengan aktivitas diplomatik. Itu hanya bisa dilakukan dengan modal multibahasa yang dimilikinya. Bahasa Arab sudah barang tentu dibutuhkan karena kondisi nyata masyarakat dunia.

2.3.2. Kendala Penguasaan Bahasa Arab dan Solusinya Sebelum tahun 1943 M. sudah direncakanan agar ada kesan bahwa bahasa Arab itu sukar. Di Eropa ada upaya pengajaran bahasa Arab yang diseponsori oleh Orientalis. Cara yang mereka lakukan untuk tingkat permulaan yaitu sudah langsung diajarkan materi yang diambil dari kitab-kitab seperti Al-Bayan wa al-Tabyin, Al-Hayawan al-Kamil, Asror al-Balaghoh, Al-Mu'allaqot al-Sab'u, yang bagi orang Arab sendiri dianggap sukar untuk dipahami. Metodenya pun sangat tradisional, dimulai dengan hafalan kaidah-kaidah nahwu dan sharaf disertai terjemahan ke dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman untuk ungkapan-ungkapan yang memang sukar dipahami. Dengan cara demikian maka para peminat bahasa Arab, khususnya dari kalangan pelajar muslim di sana, serempak meninggalkan pengajaran tersebut (Ali al-Hadidi: 1966, 56-59) Bahasa Arab benar-benar terkesan sukar. Gagallah pengajaan bahasa Arab. Ini sebuah kegagalan yang direncanakan. Kadang-kadang tejadi kegagalan karena kenaifan. Seorang santri harus menghabiskan waktunya bertahun-tahun. Sementara dengan susah payah seperti itu kemampuan riel yang ia capai dalam berbahasa Arab tidak secara otomatis dapat dimanfaatkan, misalnya untuk membaca dan memahami kitab-kitab klasik berbahasa Arab, apa lagi untuk berkomunkasi dalam pergaulan dan menyampaikan ide dalam pertemuan resmi. Kritik ini pedas tapi kenyataannya demikian bahwa sistem pengajaran di pondok pesantren tradisional, selain tidak efisien sekaligus juga tidak efektif (H.A. Mukti Ali: 1987). Sukarnya mempelajari bahasa Arab berkaitan dengan metode pembelajaran. Pada waktu itu metode belum kelihatan penting. Tidak perlu heran karena metode pada awalnya tidak terlalu penting. Baru saja dirasakan pentingnya ketika terjadi peristiwa yang merusak citra bahasa Arab. Karena itu pula lalu Pemerintah Mesir pada tahun 1943 Masehi mendirikan al-Ma'had al-Tsaqofi di London yang fungsinya memberikan pengajaran bahasa Arab untuk memberikan gambaran

bahwa bahasa Arab bukan bahasa yang sukar atau mati. Pengajarnya sendiri adalah dekan Fakultas Adab Universitas Beirut, lalu disusul pencarian metode yang baik spesial untuk orang asing (selain Arab), dengan mengadakan Ma'had al-Dirasat al-Islamiyah al-Arobiy di Madrid Spanyol tahun 1959 atas prakarsa Pemerintah Mesir kerja sama dengan UNESCO tgl. 21-25 September 1959. (Ali al-Hadidi: 1966, 74-77). Hasil seminar itu adalah: 1. Titik tolak perhatian ada pada bahasa Arab fusha 2. Pengajaran dengan sebanyak-banyaknya memperaktekkan ucapan dan susunan bahasa yang baku berulang-ulang 3. Tidak memakai buku pelajaran yang beredar saat itu karena tidak sesuai lagi dengan pengajaran bahasa Arab 4. Pilih kosa kata yang banyak berkembang dan selalu dibu-tuhkan dalam jumlah total 3000 kata; 1000 untuk tingkat permulaan, 2000 untuk tingkat lanjutan dan penyajiannya tidak mufrodat tapi dalam bentuk tersusun dalam kalimat. 5. Terdiri dari dua buku, pertama utuk Marhalah Ula dengan pendekatan aural-oral approach disertai audio-visual, dan yang kedua lebih diutamakan kemampuan menulis. 6. Diupayakan buku untuk pegangan guru. 7. Buku pegangan tersebut berupa kamus atau glossar yang memuat 5000 kata termasuk 3000 kata yang ada dalam buku pelajaran. (Ali alHadidi: 1966, 87). Kelihatan bahwa upaya untuk pengembangan bahasa Arab dari segi metode pembelajarannya baru dilakukan tahun 1959 M. Sebelumnya bahasa Arab tidak diupayakan untuk penyebarannya, yang ada hanya pembahasan tentang bahasa Arab secara mendetil dalam buku-buku fiqh al-lghah dan sebagainya. Ini salah satu kendala pengembangan bahasa Arab dari segi metode. Kendala dari segi metode ini dimanfaatkan oleh pihak luar. Kini para pengajar bahasa Arab sendiri perlu menggali metode yang tepat. Penggalian metode tersebut tidak cukup hanya mengambil contoh dari metode pengajaran bahasa asing

(selain Arab) yang sudah ada. Perlu tindakan kritis, karena mengadopsi metode tanpa mengetahui perbedaan bahasa bisa terjebak pada metode pembelajaran bahasa asing yang tidak cocok untuk bahasa Arab. Akibatnya bisa fatal. Selanjutnya, kepentingan memahami agama Islam memang bisa dijadikan sebagai motif mempelajari bahasa Arab. Namun kepentingan itu hanya sebatas pada kemampuan pasif. Tidak sedikit para ahli agama Islam, para da i dan muballigh yang ahli dalam bahasa Arab tidak mempergunakannya dengan aktif, karena memang tidak diperlukan. Justru setelah memahami agama Islam dari buku-buku yang berbahasa Arab ternyata kemudian mereka menerangkan kepada umatnya dengan bahasa lokal atau bahasa umatnya sendiri yang nonArab. Akibatnya motif agama hanya sebatas untuk belajar secara pasif. Di samping itu motif agama tersebut juga terbatas hanya berguna untuk segelintir orang yang berperan sebagai da'i dan muballigh dan orang-orang yang menggantungkan kehidupannya pada pembelajaran bahasa Arab. Dalam kenyataannya, untuk memahami agama Islam sudah tidak lagi harus mendalami bahasa Arab. Buku-buku tentang Islam yang berbahasa Arab sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Bila untuk bisa khusyu' dalam shalat maka bisa dipelajari kalimat-kalimat tertentu secukupnya dan yang wajib-wajib saja seperti surat alFatihah, sehingga tidak harus belajar bahasa Arab sedetil-detilnya. Dengan nalar yang lebih kritis pemahaman tentang Islam sudah tidak lagi didominasi oleh para ahli bahasa Arab. Pemikiran-pemikiran baru tentang aplikasi ajaran agama Islam sering muncul dari pertanyaan pertanyaan kritis. Dari sini kelihatan bahwa agama tidak selamanya bisa menjadi motif kuat untuk belajar bahasa Arab. Faktor agama yang menjadi motif untuk mempelajari bahasa Arab justru bisa menjadi kendala bagi perkembangan bahasa Arab itu sendiri. Terkaitnya pengajaran bahasa Arab dengan pendalaman ilmuilmu keislaman merupakan kendala bagi perkembangan bahasa Arab.

Demikian ini karena proses belajar mengajar bahasa Arab menjadi sebagai persiapan dalam rangka menguasai ilmu-ilmu keislaman seperti hukum agama (fiqh), teologi (tauhid), tasawuf/akhlaq, dan materi keislaman lainnya. Dalam kontek seperti ini pembelajaran bahasa Arab menjadi kering, karena fungsinya hanya menjadi medium yang tidak memiliki nafasnya sendiri sehingga terasa membosankan, seperti halnya model pengajaran yang membagi-bagi materi menjadi nahwu, sharaf, balaghoh dan insya (Abdurrahman Wahid: 1990, 5). Pengalaman juga menunjukkan bahwa pada usia lanjut semangat para ahli untuk memperdalam bahasa dan satra Arab dengan seperangkat ilmu-ilmunya menjadi lebih lemah dibandingkan dengan semangat mendalami materi agama Islam secara langsung. Ilmu yang terasa dibutuhkan pada usia lanjut adalah ilmu agama Islam yang harus diperdalam semisal Hadis dan Tafsir Qur'an, sebagai bekal hidup yang langsung berkaitan dengan amal ibadah. Ilmu-ilmu yang diperlukan ini ditulis dengan bahasa sederhana, dan dapat dipahami tanpa memerlukan kajian ilmu-ilmu bahasa yang begitu komplek. Ini menyebabkan faktor agama sudah bukan lagi menjadi motif utama untuk menguasai bahasa Arab secara aktif. Di samping itu, ditinjau dari segi ekonomi, sudah jelas tampak bahwa beberapa guru atau dosen bahasa Arab khususnya ilmu-ilmu bahasa Arab yang termasuk di dalamnya, seperti ilmu balaghoh, sastra Arab dan sebagainya, tidak menunjukkan keistimewaan atau kelebihannya. Tampak jelas bahwa secara material kurang menjanjikan bagi kebanyakan mereka yang materi kajiannya secara khusus terbatas pada bahasa Arab dan seperangkat ilmunya. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan dan memberikan dampak negatif pada pengembangan bahasa Arab itu sendiri. Buku-buku berbahasa Arab yang dimiliki secara pribadi pada saatnya nanti dihibahkan kepada perpustakaan-perpustakaan karena kurang bermanfaat di rumah. Sementara buku-buku berbahasa Arab di perpustakaan yang ada di lembaga pendidikan Islam sekalipun, kurang mendapat perhatian.

Perpustakaan menjadi semacam museum untuk buku-buku yang berbahasa Arab. Fenomena di atas menunjukkan bahwa motif belajar bahasa Arab dari segi material maupun spiritual kurang mendukung. Kendala pengembangan bahasa Arab terletak pada motif mempelajarinya, yakni kendala dari dalam. Faktor pendorong dari luar untuk belajar bahasa Arab menjadi relatif sangat lemah. Hanya di negeri Timur Tengah saja faktor luar ini sangat dominan. Tanpa rekayasa maksimal pengembangan bahasa Arab sulit direalisasikan di luar negara-negara Arab. *Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 7-11

1. Faktor Linguistik.

Faktor linguistik yang dianggap menjadi penyebab kesulitan dalam belajar bahasa Arab muncul karena beberapa alasan, yakni: a. Adanya perbedaan tabiat bahasa termasuk gramatikanya (Ghufron Zainal 'Alim: 1992, 6-7), b. Adanya spesifikasi bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia (Imroatus Saadah: 1997, 62), c. Adanya perbedaan bahasa mulai dari sistem bunyi sampai dengan tulisannya (Urip Masduki: 1997, 53-5), dan d. Adanya pola konjugatif (tashrifat) sebagai ciri utama bahasa Arab yang tidak dikenal dalam bahasa Nusantara sebagai bahasa mudah yakni bahasa-bahasa Astronesia (Abdurrahman Wahid: 1990, 4). Adapun rincian faktor-faktor linguistik itu adalah sistem bunyi atau Nidlom as-Shout yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, yakni: , , , , , , , , , , .

(Tsa', Syin, Dzal, Kho', Ha', Dho', Tho', Shod, Dlodl, 'Ain, Ghin), kosa kata atau mufrodat berkaitan dengan mudzakkar dan muannats, mutsanna dan jamak, khususnya yang berkaitan dengan morfhologi (tasrif) yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia, tata kalimat (tarkib al-kalimah) yakni susunan kata yang tertibnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia, bentuk kalimat: jumlah ismi-yah dan fi'liyah, adanya i'rab, perbedaan sistem tulisan dari kanan ke kiri dengan huruf berbeda ketika berada di tengah di depan dan di belakang, sistem waqof pada kata dengan akhiran huruf ta' marbuthoh yang dibaca beda ketika diwaqofkan, pelafalan alSyamsiyah, sistem tasydid atau penggandaan bunyi huruf, dan sistem uslub (gaya bahasa). Secara keseluruhan dinyatakan bahwa faktor linguistik itu memberikan kontribusi yang besar kalau bukan merupakan akar bagi timbulnya kesulitan penguasaan dan pengembangan pengajaran bahasa Arab terutama bagi selain bangsa Arab atau ghair al-Nathiqin bi al- Arabiyah (M. Fachir Rahman: 1998, 9). Untuk sementara kelihatan seolah-olah bahasa Arab itu bahasa yang sukar dikuasai, dan sukarnya mempelajari bahasa Arab itu disebutkan karena faktor-faktor bahasa Arab itu sendiri. Ini suatu pendapat yang belum pernah diuji kebenarannya. Kajian disini berusaha untuk

memberikan verifikasi pendapat tersebut dengan realitas bahasa Arab. Dengan demikian akan diketahui kebenaran atau kepalsuan pendapat tersebut. Kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran bahasa Arab yang berasal dari perbedaan tabiat antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia seperti dalam hal fonetik dapat diselesaikan dengan pelajaran ilmu tajwid, khususnya dalam fonem-fonem yang tidak terdapat di dalam bahasa Indonesia seperti tsa ha , kha , dzal, syin, shad, ghin dan sebagainya ketika dalam keadaan sendirian atau ketika bertemu dengan fonemfonem lainnya ( Ghufron Zainal 'Alim: 1992, 6-7). Dalam hal etimologi yang meliputi zaman (tenses) untuk kata fi il madli dan mudlori , tatsniyah dan jama , tadzkir dan ta nits, dan masalah gramatika serta kosa kata, sampai sejauh ini penulis belum menemukan adanya upaya pemecahannya sehingga tampak menjadi problem yang menimbulkan kesulitan dalam pembelajaran dan dianggap sebagai akar kesulitannya (M. Fachir Rahman: 1998, 9). Padahal belum tentu hal tersebut menyebabkan kesulitan. Hanya disebabkan cara pandangnya saja bisa menjadikan hal tersebut sebagai suatu kesulitan yang menjadi problem. Dalam hal tabiat bahasa Arab yang berbeda dari bahasa pelajar (Indonesia) seperti dalam hal fonetik, kiranya sudah dikemukakan pemecahannya dengan sederhana, yakni dengan belajar tajwid. Permasalahannya adalah bila memang alat bicara pada mulut bangsa Indonesia berbeda dari bangsa Arab maka memang ada masalah, tetapi perbedaan dari segi fisik para pelajar baik Indonesia maupun negara-negara lainnya ternyata tidak ada. Karena itu perbedaan tabiat bahasa tersebut sebetulnya bukan problem yang menyebabkan sulitnya belajar bahasa Arab. Dengan demikian problem tersebut tidak layak disebut sebagai problem kesulitan dalam pendidikan bahasa Arab. Dalam kaitannya dengan masalah etimologi (as-shorfiyah dan atau morphology) yang dinyatakan sebagai problem, tentunya tidak bisa dinyatakan sebagai problem serius meskipun masalah as-sharfiyah atau tashrifat dalam bahasa Indonesia tidak ada. Bahkan boleh jadi tashrifat yang ada itu justru membantu dan mempermudah bila terjadi kesulitan dalam mencari perbendaharaan kata. Sebagai gambaran singkat, ketika seseorang tidak mengerti terjemahannya "kunci" dalam bahasa Arab, maka dengan tashrifat dapat diselesai-kan sehingga diketahui bahwa "kunci" itu alat pembuka yang bisa diketahui melalui kata fataha (( yang berarti membuka

menjadi miftah (

) dengan makna alat untuk membuka.

Lain masalahnya bila suatu bahasa itu tidak mempunyai tashrifat. Para pelajar akan lebih banyak dibebani untuk menghafal kosa kata yang begitu banyak. Karena itu adanya tashrifat dalam bahasa Arab justru membantu. Para pelajar bisa mempergunakan kosa kata lama yang sudah dimiliki untuk menyebutkan sesuatu yang baru yang belum diketahui sebutannya dalam bahasa Arab. Tashrifat sebagai ciri-ciri bahasa tidak layak dianggap sebagai problem dengan alasan berbeda tabiat bahasanya atau tidak terbiasa dengan ciri-ciri tashrifat. Jadi tashrifat itu bukan penyebab terjadinya problem dalam pendidikan bahasa Arab. Dalam hal gramatika, tentunya masing-masing bahasa memiliki kekhususannya. Kekhususan bahasa itu bukan suatu problem dalam mempelajarinya. Bahasa itu dimiliki oleh suatu bangsa yang di da-lam nya juga ada masyarakat yang tidak cerdik, namun mereka bisa menggunakan bahasanya dengan baik, lancar, dan tidak mengalami problem. Fungsi gramatika suatu bahasa itu adalah sebagai ilmu tata bahasa. Demikian juga fungsi ilmu nahwu yang sering disebut sebagai qawa'id. Jadi pada dasarnya tidak ada problem dalam pembelajaran gramatika bahasa Arab sebagaimana gramatika yang ada dalam bahasa asing yang lain. Dalam kasus tertentu penulis memaklumi adanya problem khusus dalam pembelajaran gramatika bahasa Arab. Akan tetapi itu bukan karena keberadaan gramatika itu sendiri. Problem itu muncul karena orientasi pembelajarannya. Ilmu nahwu itu sering dianggap sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Ini suatu kekeliruan yang terlanjur dianggap sebagai kebiasaan. Kekeliruan inilah yang menyebabkan orientasi pembelajarannya melenceng sehingga dapat menyebabkan munculnya problem. Jadi problem pembelajaran ilmu nahwu itu muncul karena adanya kekeliruan dalam memfungsikannya, bukan karena ilmu nahwu itu sendiri. Kasus pembelajaran gramatika bahasa Arab sering berkaitan dengan masalah i'rab yang menjadi inti bahasannya. Kesulitan yang ada disebabkan konsep yang ada ternyata memang belum tuntas. Konsep i'rab yang selama ini dinyatakan sebagai "perubahan" atau "pengubahan" atau atsar atau suatu bayan tentang fungsi kata dalam sebuah kalimat, masih perlu ditinjau ulang, karena terdapat kekeliruan dalam konsep tentang i'rab yang tertera dalam buku-buku ilmu nahwu selama ini. Ini baru bisa dinyatakan sebagai problem, karena dalam materinya sendiri memang ada

masalah yang menimbulkan perselisihan pendapat tentang i'rab itu sendiri. Dalam kasus perbedaan arah tulisan bahasa Arab yang ke kiri dengan tulisan Latin yang ke kanan, maka pada dasarnya bukan suatu kesulitan yang menimbulkan problem. Tulisan bahasa Arab yang lengkap dengan syakalnya dan dengan sistemnya yang fonetik dan sistem ejaannya yang fonemis, adalah sangat mudah untuk dipelajari cara membacanya ( Saidun Fiddaroini: 1997, 65). Mudahnya membaca tulisan yang ejaannya bersistem fonemis adalah karena suatu ejaan yang menggunakan sistem ejaan fonemis adalah ejaan yang sempurna (Samsuri, Analisis Bahasa: 1991, 23). Dengan demikian perbedaan bentuk dan arah tulisan dari kanan ke kiri itu bukan penyebab timbulnya problem dalam pendidikan bahasa Arab. Justru tulisan bahasa Arab itu terbukti paling mudah untuk dipelajari cara membacanya bila tulisan yang dimaksud adalah tulisan bahasa Arab yang sempurna. Lain masalahnya apabila yang dimaksud itu adalah tulisan gundul. Bukan sistem tulisannya penyebab kesulitan, tetapi ketidaksempurnaannya itulah yang menimbulkan problem.

2. Faktor Nonlinguistik

Faktor nonlinguistik yang dianggap sebagai sebab timbulnya problem dalam pendidikan bahasa Arab antara lain: Perbedaan sosio kultural bangsa Arab dengan sosio kultural pelajar (Indonesia), sarana dan prasarana fisik, tempat dan waktu (Urip Masduki: 1997, 53-5), kemampuan subyek didik fakor-faktor psikologisnya (Ghufron Zainal 'Alim: 1992 , 6-7), komponen-komponen instruksional yang tidak dipersiapkan dengan baik (M. Fachrir Rahman: 1998, 9), dan citra bahas Arab itu sendiri. (Abdurrahman Wahid: 1990, 4).

Faktor-faktor nonlinguistik yang dimaksudkan konkretnya adalah: Perbedaan ungkapan istilah untuk nama-nama benda, misalnya nama onta yang berbeda karena usianya, kurangnya jam pelajaran sehingga tidak tercapai tujuan yang digariskan dalam program pembelajaran pada kasus di Madrasah Aliyah, buku paket yang belum disiapkan dengan baik oleh penyusun kurikulumnya, rendah-nya kualitas tenaga pengajar bahasa Arab dan rendahnya kemampuan pelajarnya, masa depan yang tidak jelas bagi pelajar bahasa Arab dan tiadanya penghargaan langsug dari

masyarakat sehingga kurang adanya minat untuk mempelajarinya, tidak tepatnya tujuan dan orientasi pembelajaran dan metode pengajarannya, terpisahnya pengajaran bahasa Arab di sini (Indonesia) dari perkembangan bahasa Arab sendiri di kawasan Timur Tengah, minimnya kamus yang dikarang oleh orang-orang Nusantara tentang bahasa Arab, terkaitnya pengajaran bahasa Arab dengan pendalaman ilmuilmu agama, dan sikap umum bangsa Indonesia yang menganggap pengajaran bahasa Arab sebagai bagian dari pendidikan Islam sehingga ia dipisahkan dari kegairahan hidup dalam dunia komunikatif.

Dalam menanggulangi kesulitan pada kasus nonlinguistik telah dianjurkan adanya pendekatan linguistik kontrastif, yakni peng-ajaran dimulai dari yang ada kesamaannya dengan bahasa ibu; sedangkan untuk unsur dan struktur yang tidak memiliki kesamaan diajarkan belakangan (Urip Masduki: 1997, 53-5). Anjuran ini bisa diterima untuk ditindaklanjuti sehingga kasus ini tidak lagi menjadi problem. Kasus nonlinguistik lainnya yang dibeberkan dimuka ternyata belum ada yang mengemukakan pemecahannya yang berkisar pada masalah-masalah terbatasnya waktu yang di atur dalam kurikulum, sarana seperti buku dan alat-alat bantu teknik seperti audio visual, input yang lemah dalam bahasa Arab, dan syarat-syarat untuk kemampuan guru. Sementara upaya pemecahan yang dikemukakan hanya sebagai pertimbangan untuk ditinjau ulang dalam opersionalnya.

Perlu diketahui bahwa terbatasnya waktu bukanlah suatu problem karena dengan ditambahkannya waktu berarti sudah terselesaikan. Begitu juga mengenai sarana dan prasarana, maka pemenuhannya sudah merupakan penyelesaian. Jadi tidak layak hal-hal demikian dinyatakan sebagai problem dalam pendidikan bahasa Arab. Di samping itu perlu diperhatikan bahwa ada kalanya sarana-sarana itu juga tidak mutlak perlu, misalnya perangkat laboratorium bahasa yang tidak imbang antara harga dan manfaatnya, yang biasanya sering tidak dipakai dan jarang dimanfaatkan. Lemahnya input dalam berbahasa Arab tidak bisa dinyatakan sebagai problem. Kalau input sudah mahir maka proses pembelajaran bahasa Arab sudah tidak ada gunyanya. Pada langkah berikutnya perlu diterapkan kedisiplinan dalam evaluasi. Para pelajar atau mahasiswa yang sudah mampu menguasai materi pembelajaran bahasa Arab layak lulus dan yang tidak mampu tidak layak diluluskan. Meluluskan pelajar atau mahasiswa yang belum mampu sama dengan menciptakan rendahnya

mutu pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab. Inilah yang memunculkan problem, bukan lemahnya input tetapi membiarkan dan meluluskan calon luilusan yang lemah itulah problem.

Dalam kaitannya dengan metode yang dianjurkan untuk dipakai maka metode itu sangat berkaitan dengan materi dan tujuan dalam pembelajaran. Perlu diingat bahwa tiap metode yang dipakai itu memiliki keunggulan dan kekurangannya. Sebetulnya sangat dianjurkan untuk menyelesaikan problem metode ini dengan mema-hami dan menguasai berbagai metode untuk proses pembelajaran, sehingga setiap kali muncul permasalahan metode dapat diselesaikan dengan bantuan metode alternatif yang pada gilirannya disebut dengan metode eklektik. Adapun tidak dipergunakannya satu sistem yang konsisten dalam metode pengajaran, tidak adanya dorongan moril, tidak jelasnya masa depan mahasiswa yang belajar bahasa Arab di Perguruan Tinggi, dan tidak adanya penghargaan langsung dari masyarakat yang bisa mengurangi minat belajar bahasa Arab, maka semua itu diselesaikan dengan memberikan kontra operasional, yakni dengan mengadakan semua yang tiadanya itu menjadikan masalah ( Ghufron Zainal 'Alim: 1992, 25). Untuk keperluan tersebut maka daya tarik, motivasi belajar, dan prospek bahasa Arab perlu dikemukakan dengan positif, khususnya mengenai kesan pertama yang baik dalam mengenal dan menilai keman-faatan bahasa Arab. Dalam hal tenaga pengajar, tujuan dan orientasi pengajarannya, sarana prasarana serta lingkungan yang dinilai sebagai problem, maka M. Fahrir Rahman memberikan jalan keluarnya yaitu agar ditinjau kembali orientasi pengajaran bahasa sebagai ilmu alat, yakni perlu ketentuan belajar bahasa Arab itu sebagai alat pemahaman text book, atau untuk muhadatsah (berbicara), dan perlu simplifikasi terutama dari segi nahwiyah, perlu metode yang efektif, pengajar yang profesional, materi yang proporsional serta fasilitas yang memadahi termasuk sarana penunjangnya, kondisinya juga yang kondusif untuk merangsang pengajaran bahasa Arab, dan konkretnya lembaga bahasa perlu diefektifkan dengan pola pengajaran bahasa tiap hari dengan metode, materi, pengajar, dan fasilitas yang memadai (M. Fachrir Rahman: 1998, 10). Ini suatu jalan keluar yang mudah dipenuhi dalam menghilangkan problem nonlinguistik.

Dengan analisis tersebut di atas kiranya patut dinyatakan bahwa sebetulnya tidak

ada masalah nonlinguistik yang layak disebut sebagai problem dalam pendidikan bahasa Arab. Masalahnya adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan nonlinguistik. Ini artinya apabila kebutuhan nonlinguistik sudah dipenuhi, maka proses pembelajaran bahasa Arab bisa berlangsung dengan lancar begitu saja. Dalam prakteknya, sarana dan prsarana itu hanya sekedar bantuan tambahan untuk memperlancar proses pembelajaran bahasa Arab. Meskipun tanpa pemenuhannya dapat juga diatasi dengan segala kesederhanaan sebagaimana belajar bahasa di masa-masa lalu yang tidak terlalu manja dengan sarana prasarana yang canggih seperti perangkat laboratorium bahasa dan sebagainya.

Dengan demikian masalah nonlinguistik ini dapat dinilai sebagai masalah yang sangat sederhana, tidak bisa dijadikan alasan atau sebab-sebab tidak bisa belajar bahasa Arab, atau sebab terjadinya kesulitan ketika belajar bahasa Arab. Demikian sederhananya masalah nonlinguistik ini maka tidak layak disebut sebagai problem pembelajaran bahasa Arab. Perlu dicermati lagi bahwa yang utama dalam pembelajaran bahasa adalah praktek dan keaktifan para pelajar itu sendiri dalam berbahasa Arab.

Jadi langkah penyelesaian masalah nonlinguistik adalah pemakaian bahasa Arab itu sendiri secara disiplin dalam proses pembelajarannya. Kondisi pembelajaran perlu diciptakan agar tidak lagi membicarakan bahasa Arab tetapi sebaliknya hendaknya senantiasa memakai bahasa Arab untuk membicarakan apa saja termasuk hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Masalah konkretnya adalah bagaimana dapat diciptakan lingkungan yang selalu memaksa untuk berbahasa Arab.

Dalam hal kultur, maka hal ini menjadi masalah bila dipaksakan untuk mempelajari kultur Arab di awal pembelajaran. Perihal yang penting adalah penguasaan kosa kata serta kaedahnya. Baru kemudian setelah mahir dapatlah diberikan makna-makna khusus yang berkaitan dengan kultur. Untuk materi ini biasanya diambilkan dari contoh-contoh idiomatik. Dengan demikian masalah kultur Arab dapat

disederhanakan dan tidak lagi menjadi masalah.

2. Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Mesir, Syria, Iraq,

Yordania, Qatar, Kuait, dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu Arab fushha dan Arab mmyah. Keduanya digunakan dalam realitas sosial dengan konteks dan nuansa yang berbeda. Bahasa Arab fushha digunakan dalam forum resmi (kenegaraan, ilmiah, akademik, jurnalistik, termasuk khutbah); sedangkan bahasa Arab mmiyah digunakan dalam komunikasi tidak resmi, intrapersonal, dan dalam interaksi sosial di berbagai tempat (rumah, pasar, kantor, bandara, dan sebagainya). Frekuensi dan tendensi penggunaan bahasa Arab mmiyah tampaknya lebih sering dan lebih luas, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, melainkan juga kalangan masyarakat terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan sesamanya). Mereka baru menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari kalangan mereka saja. Menurut Abd al-Shabr Syhn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa Arab fushha di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa Arab mmiyah atau dialek lokal (al-lahajt al-mahalliyah). Jika jumlah negera Arab berjumlah 22 negera, berarti paling tidak ada 22 ragam bahasa mmiyah. Hal ini belum termasuk dialek sukusuku dan kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, dialek lokal Iskandaria (Alexandria) tidak sama dengan dialek Thantha, dan sebagainya. Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan baru, yaitu munculnya fenomena al-fush amiyyah ( ), campuran ragam fushha dan mmiyah. Gejala ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena terjadi degramatisasi atau pengeleminasian beberapa gramatika (qaw id). Kaedahkaedah bahasa yang baku kurang diperhatikan, sementara pembelajaran qaw id pada umumnya tidak efektif. Kultur fush amiyyah lebih dominan daripadi kultur akademik yang memegang teguh kaedah-kaedah berbahasa Arab. Bahkan di kalangan perguruan tinggi Mesir, termasuk di Fakultas Adab, sebagian besar dosennya banyak menggunakan ragam baru ini. Kedua, masih menurut Syhn, realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan pada tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat, termasuk penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang tidak sampai menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi penggunaan minat belajar bahasa Arab di kalangan generasi muda.

Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas nama globalisasi untuk menyebarkan dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel dengan kemajuan teknologi. Fard al-Anshr menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme (alisti mr al- awlam al-jadd) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam dewasa ini memang dimaksudkan untuk membunuh karakter dan identitas budaya , terutama Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik menyangkut kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Negara Adidaya ini seringkali mencampuri urusan dalam negara-negara Islam, baik melalui intervensi langsung maupun melalui operasi agen-agen rahasianya yang terkenal lihai dan licin. Salah satu agenda yang diselundupkan ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan identitas bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber-sumber ajaran Islam dari sistem pendidikan di dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser meskipun belum sampai digantikan oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran sains. Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepakbola, yang disiarkan dari Barat (liga Inggris, Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda) sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula, mata acara atau program tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan materialistik. Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi menurun. Semantara itu, di Indonesia, kita cenderung hanya mempelajari bahasa Arab fushha, dengan rasionalitas bahwa bahasa Arab fushha itu merupakan bahasa Al-Qur an dan Al-Sunnah, karena tujuan utama studi bahasa Arab adalah untuk kepentingan memahami sumber-sumber ajaran Islam. Sebagian kalangan boleh jadi karena ketidaktahuan bahasa Arab mmiyah cenderung anti bahasa Arab mmiyah, karena mempelajari bahasa Arab pasaran itu dapat merusak bahasa Arab fushha. Betulkah demikian?

Menurut penulis,

anggapan itu

tidak sepenuhnya benar, karena dalam

kenyataannya, masyarakat Arab yang terpelajar pun tetap menggunakan dua ragam bahasa Arab tersebut secara proporsional, sesuai dengan situasi dan kondisi. Banyak para guru atau dosen di perguruan tinggi di Mesir, Arab Saudi, Syria, dan lainnya tetap fasih berbahasa fushha, meskipun dalam pergaulan keseharian dengan sesamanya lebih cenderung menggunakan mmiyah. Yang hendak ditegaskan di sini adalah bahwa studi bahasa Arab diperguruan tinggi Islam di Indonesia perlu dikembangkan tidak hanya berorientasi penguasaan bahasa Arab fushha semata, melainkan juga bahasa Arab mmiyah perlu mendapat ruang dan waktu (porsi), meski hanya sekedar pengenalan dialek, agar para mahasiswa juga mampu berkomunikasi secara alami dan efektif dengan penutur bahasa Arab dalam situasi formal maupun informal. Tudingan sementara pihak bahwa upaya mengganti bahasa Arab fushha dengan mmiyah merupakan usaha kaum orientalis agar umat Islam menjauhi atau tidak dapat memahami al-Qur an dengan baik juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, bagaimana mungkin orientalis Barat mendiktekan kemauan mereka untuk berbahasa Arab mmiyah, sedangkan mereka sendiri (para orientalis) secara akademis mempelajari bahasa Arab fushha sebelum mengkaji budaya dan peradaban Timur (Islam)? Bahasa Arab fushha akan tetap lestari meskipun orang-orang Arab sendiri lebih suka berbahasa Arab mmiyah. Kecenderungan berbahasa Arab mmiyah tampaknya lebih didasari oleh kepentingan dan tujuan pragmatis, yaitu: komunikasi lisan yang lebih mengutamakan aspek kepraktisan, simpel, dan cepat. Namun demikian, maraknya penggunaan bahasa Arab mmiyah tetap merupakan sebuah tantangan yang dapat mengancam atau setidak-tidaknya mengurangi mutu kefashihan bagi orang atau bangsa Arab pada umumnya. Selain itu, studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga mengalami disorientasi: tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini, antara lain, terlihat pada struktur program kurikulum PBA yang bermuatan beberapa mata kuliah yang tampaknya tidak semuanya revelan dengan visi dan misi PBA. Mata kuliah seperti: Nushsh Adabiyyah dan ilm al- Ardh (Metrics) agaknya sudah tidak revelan dengan kebutuhan riil mahasiswa maupun kebutuhan pasar. Selain itu, antara satu mata kuliah dengan lainnya terkesan kurang saling melengkapi dan memperkuat basis dan kerangka keilmuan. Sebagai contoh kasus, ketika membelajarkan insy

(composition), penulis masih banyak disibukkan dengan urusan pembenahan dan pembekalan kaedah-kaedah nahwu dan sharaf, di samping penguatan pola berpikir logis. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran nahwu dan sharaf belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang seharusnya dipecahkan dalam perkuliahan itu. Pada saat yang sama, fakta ini juga menunjukkan bahwa para mahasiswa belum banyak menerima latihan (tadrbt nahwiyyah atau sharfiyyah) yang jika

dikembangkan semestinya membuat mereka terlatih menyusun kalimat baku secara baik dan benar. Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih mendua dan setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi kailmuan. Keduanya memang perlu dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya perlu dijadikan sebagai fokus: apakah bahasa Arab diposisikan sebagai studi keterampilan yang berorientasi kepada pemahiran mahasiswa dalam empat keterampilan bahasa secara mumpuni? Ataukah bahasa Arab diposisikan sebagai disiplin ilmu yang berorientasi kepada penguasaan tidak hanya kerangka epistemologinya, melainkan juga substansi dan metodologinya. Jika orientasi pertama yang dipilih, maka idealnya 70% mata kuliah di PBA bermuara pada pengembangan keterampilan: mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menerjemahkan. Sisanya, 30% untuk pengayaan materi keilmuan bahasa Arab, kefakultasan dan MKU (Mata Kuliah Umum/Universitas). Sebaliknya jika orientasi kedua yang dipilih, maka idealnya 70% mata kuliah di PBA bernuansa: ilm al-ashwt (fonologi), ilm al-sharf (morfologi), ilm al-nahwi (sintaksis), ilm al-dillah

(semantik), ilm al-mu jam (leksikografi), metodologi penelitian bahasa Arab, linguistik terapan ( lm al-lughah al-tathbq), sosiolinguistik ( ilm al-lughah alijtim ), psikolinguistik ( ilm al-lughah al-nafs), linguistik teks ( ilm lughat al-nashsh), sejarah dan filsafat bahasa Arab, dan sebagainya. Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di madrasah dan lembaga pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu. Ketidakmenentuan ini dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) dan tujuan sebagai alat untuk menguasai pengetahuan yang lain yang menggunakan bahasa Arab (seperti

mempelajari tafsir, fiqh, hadits, dan sebagainya). Kedua, dari segi jenis bahasa Arab yang dipelajari, apakah bahasa Arab klasik (fushha turts), bahasa Arab modern/kontemporer (fushha mu shirah) atau bahasa Arab pasaran ( mmiyyah). Ketiga, dari segi metode, tampaknya ada kegamangan antara mengikuti perkembangan dan mempertahankan metode lama. Dalam hal ini, bahasa Arab banyak diajarkan dengan menggunakan metode qaw id wa tarjamah. Tantangan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan pendidikan bahasa Arab adalah rendahnya minat dan motivasi belajar serta kecenderungan sebagai pelajar atau mahasisiwa bahasa Arab untuk mengambil jalan yang serba instan tanpa menulis proses ketekunan dan kesungguhan. Hal ini terlihat dari karya-karya dalam bentuk makalah dan skripsi yang agaknya cenderung merosot atau kurang berbobot mutunya. Mahasiswa yang sudah berada di dunia PBA bahasa Arab seakan tidak betah dan ingin mencari dunia lain , sehingga ini perlu disurvei dan dibuktikan secara akademis tidak sedikit yang mengeluh bahwa jurusan bahasa Arab itu sebetulnya bukan habitat mereka yang sesungguhnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi Mas ud terhadap 30 mahasiswa Ilmu Politik (Humaniora) pada International Islamic University Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab menunjukkan bahwa penyebab kesulitan belajar bahasa Arab ternyata bukan sepenuhnya pada substansi atau materi bahasa Arab, melainkan pada ketiadaan minat (100%), tidak memiliki latar belakang belajar bahasa Arab (87%), materi/kurikulum perguruan tinggi (83%), kesulitan memahami materi bahasa Arab (57%), dan lingkungan kelas yang tidak kondusif (50%). Lebih dari itu, ditemukan bahwa 80% penyebab kesulitan belajar bahasa Arab adalah faktor psikologis. 77% di antara mereka memiliki kesan negatif terhadap bahasa Arab; dan 33% herregristasi mata kuliah bahasa Arab dianggap mempengaruhi belajar bahasa Arab mereka di kampus. Jadi, faktor penyebab kesulitan belajar bahasa Arab bukan sepenuhnya bersumber dari bahasa Arab itu sendiri (faktor internal sistem bahasa Arab), melainkan lebih disebabkan oleh faktor psikologis (minat, motivasi, tidak percaya diri), edukatif, dan sosial. Karena itu, pendekatan dan metode yang dipilih dalam

pembelajaran bahasa Arab seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor psikologis, edukatif, dan sosial kultural.

Sumber-sumber dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan kita juga masih relatif kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan pendidikan bahasa Arab; dan juga disebabkan oleh kurangnya hubungan lintasuniversitas atau lembaga pendidikan dalam bentuk kerjasama ilmiah kita dengan perguruan tinggi di Timur Tengah, sehingga kita tidak banyak mendapat pasokan sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian kebahasaaraban. Selain itu, penting juga ditegaskan, bahwa perhatian negara-negara Arab dalam bentuk penyediaan sumber belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, relatif masih kurang, jika dibandingkan dengan negaranegara Barat, seperti Amerika dengan Amcor (American Corner)-nya. D. Pengembangan Epistemologi dan Kurikulum Bahasa Arab Tantangan dan berbagai persoalan yang dihadapi pendidikan bahasa Arab tidak mungkin dapat dipecahkan secara personal, tetapi harus melalui pendekatan institusional dan melibatkan banyak pihak. Namun yang mendesak untuk kita diskusikan secara lebih mendalam adalah pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab pada jurusan Pendidikan bahasa Arab. Yang dimaksud dengan pengembangan epistemologi bahasa Arab adalah pengokohan bangunan keilmuan bahasa Arab agar arah pengembangan pengkajian bahasa Arab lebih dinamis. Dari bangunan epistemologi inilah, struktur keilmuan dapat dikembangkan lebih jauh dalam kurikulum bahasa Arab. Berikut ini adalah beberapa pokok pikiran mengenai model pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab. Pertama, revitalisasi sinergi ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain yang mempunyai kedekatan bidang kajian, sehingga terjadi proses take and give (al-akhdz wa alath ) seperti: ilm al-Nashsh (tekstologi), ilm al-makhaththt (filologi), ilm aluslb (stilistika) dan sebagainya. Dengan demikian, ilmu bahasa Arab tidak hanya menjadi basis studi, tetapi juga mempunyai jaringan keilmuan yang lebih luas dan multifungsi. Dalam konteks pengembangan kurikulum, pokok-pokok bahasan masing-masing ilmu (baca: mata kuliah) sebaiknya me

Kedua, pengembangan cabang-cabang bahasa Arab menjadi ilmu mandiri, seperti: ilm al-tarjamah, ilm al-insy, ilm ushl al-nahwi, ilm al-Mu jam (leksikografi) dan sebagainya, sehingga ilmu-ilmu ini tidak hanya sekedar suplemen , tetapi menjadi ilmu yang lebih substantif, sistematis, dan mendalam. Seiring dengan semakin menguatnya basis dan tradisi keilmuan, jika memungkinkan di suatu saat nanti, PBA dapat membuka program studi atau peminatan: metodologi penelitian bahasa Arab tarjamaah ArabIndonesia, metodologi pembelajaran bahasa Arab, pengembangan kurikulum bahasa Arab, teknologi pendidikan bahasa Arab, dan sebagainya. Ketiga, pembandingan, adaptasi, dan improvisasi ilmu bahasa Arab dengan bahasa Inggris dan Perancis yang saat ini lebih maju dan modern. Upaya ini sebetulnya sudah dilakukan, terutama dalam konteks pembagian metodologi pembelajaran bahasa Arab. Namun tokoh-tokoh pengembangnya relatif masih terbatas. Di antaranya adalah Kaml Ibrhm Badr, Muhammad Ism l Shn, Rusyd Ahmad Thu aimah, Mahmd Kmil alNqah, Rusyd Khathir, Mahmud Fahm Hijazi, Tammm Hassn, dan Abduh al-Rajih. Semua tokoh tersebut pernah mengenyam pendidikan tinggi di Barat, seperti Amerika, Perancis, Inggris, dan Jerman. Keempat, revitalisasi pendasaran dan pengaitan pengembangan penelitian bahasa Arab dengan nuansa Islam dan sumber utama ajaran Islam, yaitu: al-Qur an dan alSunnah. Dewasa ini cukup marak dilakukan oleh para sarjana di perguruan tinggi Arab. Beberapa karya yang dapat disebut di sini, antara lain, adalah: al-Isytirk, alLafzh fi al-Qur n al-Karm Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbq, Al-Tarduf, fi alQur an,Al-Karm, Baina al-Nazhariyyah, wa al-Thabq, Al-Tarduf, fi al-Qur n, alKarm Baina al-Nazhariyyah wa Al-Tathbq, ketiganya karya Muhammad Nuruddn alMunajjid (1999), al-Nahw al-Qur n: Qaw id wa Syawhid karya Jaml Ahmad Dhafr (1998), dan al-Manhaj al-Islm fi al-Naqd al-Adab karya Sayyid Sayyid Abd alRazzq (2001). Kelima, penguatan penelitian dan pendidikan bahasa Arab melalui aplikasi dan improvisasi linguistik modern dan pengalaman positif di bidang pembelajaran bahasa dari Barat dengan tetap mempertahankan kekhususan atau karakteristik ilmu-ilmu bahasa Arab, baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun semantiknya. Upaya semacam ini, antara lain, terlihat dalam beberapa karya seperti: Dirsat Nahwiyyah wa Dilliyah wa Falsafiyyah fi Dhaui al-Lisniyyah al-Mu shirah karya Mzin Al-Wa r (2001), al-Dillah wa Al-Harakah: Dirsah li Af l Al-Harakah fi Al- Arabiyyah Al-

Mu shirah fi Ithr Al-Manhij al-Hadtsah dan al-Dilalah wa al-Kalm Dirsah li Afal Al-Harakah fi Al-Arabiyyah Al-Mu shirah fi Ithr Al-Manhij al-Hadtsah keduanya karya Muhammad Muhammad Dwd (2002).

BAB III KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA Gay, L.R & Diehl, P.L. Research Methods for Business and management, 1992 Kerlinger, Fred N, Foundatios Of Behavioral Research, Second Edition, 1973. www.thohiriyyah.com/2010/03/untuk-apa-belajar-bahasa-arab.html Arsyad, Prof. Dr. Azhar. 2003. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. http://id.wikipedia.org/wiki/arab-indonesia Zaini, Hisyam dkk. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif, Yogyakarta: institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Daftar Pustaka
Arsyad, Prof. Dr. Azhar. (2003). Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gay, L.R & Diehl, P.L. (1992). Research Methods for Business adn Management. Kebudayaan, D. P. (1990). Kamus Besar Bahasa Indoneia. Jakarta: Balai Pustaka. Kerlinger, F. N. (1973). Foundations of Behavioral Research, Second Edition.

You might also like