You are on page 1of 10

SAMPAH ELEKTRONIK Ketikkan kata kunci "sampah elektronik emas" di mesin pencari Google, maka akan muncul ribuan

laman yang menunjukkan rupa-rupa cara "menambang" emas. Tak perlu ke tambang emas Grasberg di Puncak Jaya, Papua, atau Cikotok, Kabupaten Lebak, Banten. Tambang emas itu, menurut laman-laman tersebut, justru ada di kota-kota besar, seperti Jakarta. Tambang emas itu bernama sampah elektronik. Emas ada di dalam pesawat televisi, komputer, kulkas, monitor, tape, dan telepon seluler bekas. Memang tak ada angka pasti berapa besar timbunan sampah elektronik di Indonesia dan berapa banyak emas, perak, atau tembaga yang bisa didulang dari perkakas-perkakas bekas itu. Yang pasti, penjualan barang elektronik dari tahun ke tahun terus melesat. Untuk ponsel saja, menurut data Gartner, di seluruh dunia terjual lebih dari 1,6 miliar unit sepanjang 2010 -satu setengah kali lipat tahun sebelumnya. Tahun lalu, kata Ketua Electronics Marketers Club Iffan Suryanto, penjualan produk elektronik di negeri ini menembus Rp 24 triliun. "Pada 2011 akan naik menjadi Rp 27 triliun," ujarnya beberapa waktu lalu. Ketika orang membeli perkakas elektronik baru, yang lama mungkin akan ditinggalkan (dibuang). Otomatis jumlah barang bekasnya bisa dipastikan juga akan bertambah. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan (UNEP) memperkirakan setiap tahun ada lebih dari 40 juta ton sampah elektronik yang terbuang. UNEP meramal jumlah sampah elektronik ini akan berlipat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi.

Cina, yang ekonominya terus melesat, kini menjadi penyumbang sampah elektronik terbesar kedua, setelah Amerika Serikat. Setiap tahun Cina membuang 2,3 juta ton perkakas elektronik bekas. Sepuluh tahun lagi, UNEP memperkirakan, jumlah sampah elektronik negeri berpenduduk lebih dari semiliar itu akan berlipat empat. Negeri berpenduduk semiliar lainnya, India, UNEP menujum, pada 2020 akan membuang lima kali lipat sampah elektronik dibanding hari ini. Gunung sampah elektronik inilah yang dilihat para pendulang sebagai tambang emas baru. Di

timbunan sampah elektronik ini, menurut Utomo Santoso, Direktur Utama PT Teknotama Lingkungan Internusa, memang tersimpan rupa-rupa material, dari plastik, kaca, hingga logam langka seperti emas dan paladium, yang bisa dimanfaatkan kembali (reuse dan recycle). Dalam sekeping ponsel saja, seperti diungkapkan dalam laporan UNEP, Recycling-from E-Waste to Resources, setidaknya ada 40 elemen, seperti tembaga, nikel, kobalt, perak, emas, dan paladium. Dalam satu ton ponsel tanpa baterai, bisa didulang 3,5 kilogram perak, 340 gram emas, 140 gram paladium, dan 130 kilogram tembaga. "Pemanfaatan sampah elektronik ini bisa menjadi rantai kegiatan ekonomi baru," kata Utomo pekan lalu -dari tahap pengumpulan, pemisahan komponen, pencacahan, hingga peleburan.

Perlu pengaturan Tak seperti sampah dapur yang tak laku dijual ke mana-mana, perdagangan limbah elektronik antarnegara di pasar gelap terjadi dalam volume besar. Pengaturan sampah elektronik, menurut Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner, sudah sangat mendesak. Investigasi Greenpeace pada 2009 mengungkap bagaimana negara maju memperlakukan Ghana, Nigeria, India, dan Cina bak halaman belakangnya. Di negara-negara itu sampah elektronik dibongkar, dipreteli, dan sisanya yang tak bisa dimanfaatkan dibuang begitu saja. Dua pekan lalu, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) menjatuhkan denda US$ 31,5 ribu kepada dua perusahaan pengelola sampah elektronik, Avista Recycling dan Metro Metals. Kedua perusahaan di Minnesota ini terbukti berusaha menyelundupkan monitor bertabung katoda ke Vietnam lewat pelabuhan Seattle. Badan Lingkungan Kanada juga menjatuhkan denda US$ 30 ribu atas ulah nakal Jieyang Sigma Metal Plastic, akhir Januari lalu. Perusahaan ini tertangkap tangan berusaha menyelundupkan ribuan baterai bekas dan monitor tabung ke Hong Kong dan Cina. Berdasarkan konvensi Basel pada 1989, tabung katoda termasuk barang berbahaya yang terlarang diekspor negara maju ke negara berkembang atau miskin.

Setahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup juga memerintahkan sepuluh kontainer yang memuat televisi tabung dan monitor bekas untuk dipulangkan kembali ke Amerika Serikat. Seperti dikutip PCWorld, sampah elektronik itu dikapalkan ke Indonesia oleh Advanced Global Technologies untuk CRT Recycling, perusahaan pengelola sampah asal Massachusetts. Peter Kopcych, Manajer Umum CRT Recycling, terang-terangan membantah tudingan mengirim sampah. Menurut dia, meskipun barang bekas, televisi yang dia kirim masih berfungsi dengan baik. Dengan dalih seperti itulah barang bekas elektronik dari negara maju membanjiri Cina, India, Ghana, dan Nigeria, dan sebagian mengalir ke Indonesia. "Impor sampah elektronik itu ilegal," kata Masnellyarti Hilman, Deputi Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, menegaskan. Repotnya, kata Utomo, batas definisi apakah perkakas itu tergolong barang bekas atau sampah elektronik belum ada. "Itu tugas pemerintah."

Disalurkan kemana? Di negeri ini memang belum ada peraturan yang khusus mengurusi sampah elektronik. "Peraturan pemerintahnya masih dibahas," ujar Masnellyarti. Dalam Peraturan Pemerintah Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, tak diatur detail apa definisi sampah elektronik, mana sampah elektronik yang berbahaya sekaligus beracun dan mana yang tidak berbahaya, bagaimana pengolahannya, dan siapa yang bertanggung jawab. Padahal Undang-Undang Pengelolaan Sampah mewajibkan setiap produsen mengelola kemasan dan produknya yang sulit terurai oleh proses alam. Masnellyarti mengatakan, "Prinsipnya, siapa yang menghasilkan sampah, dialah yang membayar." Namun, karena undang-undang itu tak menjelaskan detail aturan pelaksanaannya, sampai detik ini nasib sampah elektronik hanya ada dua pilihan, yakni disalurkan lewat pemulung dan pendulang emas atau dibuang begitu saja. Masalahnya, selain menyimpan logam langka, sampah elektronik tak cuma sulit terurai secara alamiah, tapi bahkan menyimpan sejumlah bahan beracun, seperti timbel, merkuri, berilium, bromium, dan kadmium. "Satu lampu neon saja, jika pecah, akan melepaskan tiga hingga lima miligram merkuri," ujar Syarif Hidayat, Manajer Teknik PT Prasadha Pamunah Limbah Industri. Padahal akumulasi merkuri dalam tubuh manusia akan merusak sistem saraf dan ginjal.

Tanpa peraturan, kini yang bermain di sampah elektronik ini adalah para "penambang" emas partikelir. Cara itu bukannya menyelesaikan persoalan sampah, justru melahirkan masalah baru. Untuk memisahkan emas dari material lain, pengolah sampah kelas rumah tangga itu menggunakan cara-cara yang berbahaya. "Mereka pakai sianida atau merkuri," kata Syarif. Peralatan laboratorium dan mesin pengolah sampah elektronik milik Teknotama yang sudah dipasang sejak setahun lalu justru nganggur. "Belum ada klien satu pun," kata Utomo sembari terbahak. Padahal mesin ini berharga puluhan miliar rupiah. Mesin milik Teknotama ini mampu memisahkan material logam dengan nonlogam dalam papan sirkuit elektronik (PCB) dan kemudian mencacahnya menjadi butiran-butiran halus.

Cacahan nonlogam, setelah kandungannya dipastikan memenuhi standar baku mutu, bisa menjadi campuran bahan bakar di pabrik semen. Butiran-butiran logam tersebut mengandung tembaga sekitar 90 persen. Butiran logam ini bisa langsung dilebur atau dipilah lagi kandungannya. "Kami belum punya teknologi pemisahannya. Jepanglah jagonya," kata Utomo.

Prasadha, yang 95 persen sahamnya dimiliki perusahaan pengolah limbah asal Jepang, Dowa Eco-System, juga berniat memasang mesin pengolah limbah elektronik di pabriknya di Cileungsi, Bogor. Dowa punya pengalaman panjang mengolah sampah elektronik di Negeri Samurai. Mereka tinggal menunggu peraturan pemerintah kelar. Bisnis ini, kata Syarif, sangat bergantung pada tekanan regulasi. "Tak bisa hanya berdasarkan sukarela. Tanpa peraturan, tak akan bisa jalan," ujarnya. Soal teknologi pengolah sampah elektronik, menurut Utomo, tak ada masalah. Yang perlu dipikirkan justru masalah di hulu, yakni bagaimana proses pengumpulannya dan siapa yang akan mengongkosi proses pengolahan perkakas elektronik bekas ini. Jaringan pemulung yang sudah terbentuk tinggal dimanfaatkan. Soal ongkos, bisa dipastikan konsumenlah yang membayar. Mekanismenya, mereka membayar ongkos itu kala membeli barang elektronik. Duit ini ditampung produsen elektronik dan dibayarkan ke perusahaan seperti Teknotama saat barang itu sudah menjadi sampah yang siap dibelah. Sebagian biaya ditutup dari penjualan hasil pengolahan sampah. Sapto Pradityo, Kartika Candra http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/03/07/LIN/mbm.20110307.LIN136102.id.ht ml

Soal Limbah Elektronik, Bergurulah ke Jepang!


Berbeda dengan jenis limbah lainnya, limbah dari produk elektronik bekas kerap dianggap tidak berguna dan sulit untuk didaur ulang. Namun, lain halnya di Jepang. Limbah jenis ini masih memiliki potensi untuk kembali dimanfaatkan. Sejak 2001, pemerintah Jepang memang telah mewajibkan perusahaan elektronika yang ada di Negeri Matahari Terbit ini untuk mendaur ulang produk lama mereka. Produk-produk rumahan seperti televisi, kulkas dan mesin cuci yang sudah tidak terpakai disarankan untuk didaur-ulang demi kehidupan yang ramah lingkungan.

Hal seperti ini telah dilakukan oleh Panasonic Eco Technology Center atau PETEC di Kota Amagasaki, Jepang. Di pabrik mereka, produk-produk rumah tangga yang telah usang disulap menjadi plastik untuk membuat meja dan kursi atau gantungan baju. Bahkan, dijadikan campuran aspal untuk jalan raya.

Secara ekonomis, daur ulang sampah elektronik memang tidak murah. Selain padat modal, masyarakat Negeri Sakura juga harus membayar untuk barangnya yang mau didaur ulang dengan membeli voucher di toko serba ada terdekat. Namun, berkat dukungan yang kuat dari pemerintah dan kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, maka sistem seperti ini masih mampu untuk terus berjalan di Jepang hingga sekarang.

Penanganan Masalah Sampah Elektronik

Penanganan Masalah Sampah Elektronik Penggunaan alat-alat elektronik menimbulkan maslah limbah yang sangat membahayakan manusia dan lingkungan hidupnya. Hal ini diharuskan adanya penanganan masalah agar tidak berkelanjutan. Salah satu upaya guna menjadikan industri elektronik di Jerman dapat menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan telah dilakukan IZM Fraunhofer Institute di Berlin, diantaranya dengan terus bekerja sama bersama kalangan Litbang industri guna merumuskan TPI-Toxic Potential Indicator disamping melakukan riset guna mengembangkan teknik dan metode yang selaras dengan tuntutan kelestarian lingkungan hidup. Data TPI misalnya berisikan index tinggi potensi bahaya kandungan racunan dari material logam komponen telepon seluler. Riset IZM Fraunhofer Institute juga menghasilkan temuan solder dari amalgam campuran yang terdiri atas material tin-silvercoper sebagai alternatif pengganti solder dengan bahan dasar timbal yang berdaya cemar yang sangat tinggi terhadap lingkungan hidup. Dengan menerapkan kaidah serupa itu maka produk telepon seluler bebas timbal atau lead-free cellphones buatan Jerman dapat diwujudkan dengan segera. Bagi pengguna telepon selular Indonesia yang pertumbuhan pasarnya terbilang cukup tinggi di kawasan Asia Pasifik, maka cepat atau lambat tentu akan menghadapi ancaman timbunan sampah produk elektronik yang dapat membebani lingkungan hidup.

Pesatnya dorongan meningkatnya penggunaan telepon seluler juga mesti mengingat karakteristik sebagian tertentu pengguna hp masa kini di Asia termasuk Indonesia yang menganggap perangkat hand-phone layaknya bagai fashion hingga merasa perlu cukup sering untuk berganti model dalam jangka waktu relatif singkat. Agaknya dalam menyambut kewajiban pemberlakuan proses daur ulang dalam produksi telepon selular, maka produsen Motorola yang mengklaim telah siap dengan produk telepon seluler masa depan yang 85% komponennya dari material yang siap didaur ulang boleh dipandang sebagai salah satu yang terdepan guna menghasilkan produk telepon seluler yang ramah lingkungan atau greenphone .

Hanya sayang produk buatan AS yang penggunanya cukup popular dan meluas saat pertama kali layanan telepon seluler khususnya untuk model pertama telepon yang terpasang dalam mobil mulai diperkenalkan di Indonesia sekitar 10 tahun y.l., semakin kini menjadi semakin tenggelam di pasaran dan menurut survey terakhir hanya menyisakan 1,52 % pemakai hp. Ada sebuah layanan yang namanya Mobile Muster yang melakukan jasa pembuangan limbah handphone secara baik dan terstruktur, sehingga meski tak mungkin dapat mereduksi 100 persen pembuangan limbahnya tapi setidaknya faktor perusakannya diminimalkan. Handphone-handphone itu didekonstruksikan. Bagian-bagian yang memang tak bisa dipakai lagi akan dibuang dalam pembuangan khusus yang terproteksi dari lahan bebas. Sementara itu bagian-bagian yang bisa digunakan kembali (reuse) akan diurai dan dikelompok-kelompokkan untuk kemudian dipakai lagi pada produk-produk baru. Alhasil, perusahaan-perusahaan produsen handphone dan barang-barang elektronik lainnya yang bisa menggunakan bahan dasar yang sama dengan handphone pun jadi punya pilihan untuk tidak selalu mengambil bahan dasar langsung dari alam, melainkan menggunakan yang pernah dipakai sebelumnya dan telah diurai dengan baik. Ghana, dan banyak dari negara-negara dunia ketiga seperti Cina, Nigeria, India, Vietnam,Pakistan bahkan ke negeri kita sendiri, Indonesia - tetapi kebanyakan dibuang ke Ghana. Dengan ratusan juta ton limbah dikirim setiap tahun, pembuangan limbah elektronik ilegal ke Ghana menjadi bentuk sebagai usaha ekonomi sendiri. Dump Agbogbloshie di Accra, Ghana, adalah gurun elektronik terbesar di Afrika Barat. Penduduk setempat menyebutnya Sodom dan Gomora. Sekitar 3000 orang bekerja di Accra dan mencari nafkah dengan menjual logam dari hasil memulung sampah peralatan elektronik. TV Tua, monitor komputer, hard drive dan keyboard yang dibedah untuk setiap bagian dapat digunakan kembali seperti lensa dari disk drive dan papan sirkuit, dan dengan harga global melonjak, logam menjadi permintaan tinggi. Kabel dan papan tercetak yang dibakar untuk diekstrak guna diambil tembaga dan logam mulia yang mungkin tersisa. Tetapi proses yang digunakan untuk mengambil logam adalah proses yang sangat beracun. Pekerja yang melakukan proses ini sering tidak memiliki peralatan pelindung dan bernapas dalam kadar tinggi bahan kimia beracun, yang kemudian dilepaskan ke atmosfir. Racun seperti timbal, kadmium dan merkuri yang dibakar di Ghana, dengan konsentrasi yang melebihi nilai normal hingga 100 kali lipat

Sampah Elektronik Belum Diatur Senin, 16 Agustus 2010 | 03:28 WIB

Jakarta, Kompas - Indonesia belum secara khusus mengatur penanganan sampah elektronik. Selain belum didefinisikan dengan jelas, Indonesia juga tidak memiliki tata cara pengelolaan sampah seperti komputer bekas, lampu bekas, baterai bekas, dan sampah elektronik lainnya.

Peneliti Indonesian Center for Enviromental Law, Dyah Paramita, menyatakan, karena tidak diatur secara khusus, pengelolaan sampah elektronik di Indonesia memakai kerangka pengelolaan limbah bahan berbahaya beracun (B3). Karena tidak memiliki kerangka pengelolaan sampah elektronik, tidak ada data berapa jenis maupun volume sampah elektronik Indonesia, baik yang dihasilkan Indonesia maupun yang diimpor, kata Mita.

Sampah yang terkait barang elektronik pun diperlakukan sama dengan sampah organik. Baterai atau lampu listrik yang mengandung merkuri, misalnya, pembuangannya tercampur dengan sampah organik. Selain itu, sejumlah kasus impor sampah elektronik juga terjadi. Proses pemanfaatan sampah elektronik yang diimpor itu tidak terkontrol, kata Mita.

Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2009 mengutip data Badan Pusat Statistik yang menyatakan, penduduk Indonesia menghasilkan 51,4 juta ton sampah per tahun. Sampah di luar limbah industri itu terdiri dari sampah bahan organik (65 persen), kertas (13 persen), plastik (11 persen), kayu (3 persen), dan sampah lainnya (1 persen).

Kendati volume sampah elektronik jauh lebih kecil dibandingkan total volume sampah, Direktur Bali Fokus Yuyun Ismawati menyatakan, pertumbuhan volume sampah elektronik paling tinggi. Pertumbuhan sampah elektronik tiga kali lebih cepat dibandingkan pertumbuhan sampah domestik, kata Yuyun.

Menurut dia, Indonesia termasuk negara yang kerap mengimpor sampah elektronik untuk dijadikan bahan baku industri di dalam negeri. Sebagian masuk secara legal, tetapi banyak juga sampah elektronik yang secara ilegal. Sampah elektronik diolah ulang menjadi televisi rekondisi, misalnya, lalu diekspor ke jazirah Arab, kata Yuyun.

Industri yang memanfaatkan sampah elektronik negara lain antara lain terdapat di Jawa Timur dan Batam. Sampah elektronik diurai atau dilebur untuk didaur ulang menjadi plastik, aneka jenis logam, atau dirakit ulang menjadi barang elektronik baru.

You might also like