You are on page 1of 19

Anisa krisna Xii ipa 4 Acara Tahunan di Jepang

1.

Seijin Shiki (upacara orang dewasa) Seijin Shiki adalah upacara tahunan yang diadakan pemerintah lokal kota

dan desa di Jepang yang mengundang penduduk yang telah mencapai usia 20 tahun untuk merayakan usia yang telah dianggap cukup umur menurut hukum. Acara diselenggarakan di gedung pertemuan, ballroom hotel, atau aula serbaguna milik pemerintah lokal. Acara dimeriahkan denganpidato, penerimaan cendera mata, jamuan makan, dan foto bersama dengan pejabat lokal. Di kota-kota besar, upacara diadakan pada Hari Kedewasaan yang jatuh pada hari Senin minggu kedua bulan Januari. Di kota-kota kecil dan desa-desa, penyelenggaraan upacara sering dimajukan di hari-hari awal tahun baru untuk memudahkan peserta yang terdaftar di di daerah asal dan kebetulan sedang berada di kampung halaman. Jika hari penyelenggaraan upacara tidak dimajukan, peserta yang tinggal di kota harus kembali lagi ke kampung halaman untuk mengikuti Seijin shiki. Peserta upacara adalah penduduk yang merayakan ulang tahun ke-20 sehari sesudah upacara tahun lalu hingga hari upacara dilangsungkan. Selain itu, sebagian pemerintah lokal juga mengundang penduduk yang berulang tahun ke-20 pada tanggal 2 April tahun yang lalu hingga 1 April tahun berjalan (mengikuti sistem perhitungan umur yang digunakan sekolah-sekolah di Jepang). Di hari-hari penyelenggaraan Seijin shiki bisa ditemui pemandangan wanita muda peserta Seijin shiki mengenakan kimono resmi jenis Furisode dengan rias wajah dan tata rambut hasil salon, sedangkan laki-laki mengenakan setelan

kimono model Hakama. Wanita yang tidak ingin direpotkan dengan kimono bisa mengenakan gaun resmi dan pria mengenakan setelan jas. Pada sebagian kecil kasus, peserta upacara kadangkala memilih untuk tidak memasuki arena Seijin shiki dan malah bergerombol di luar dengan sesama peserta atau bekas teman-teman sekelas bagaikan acara reuni. Di beberapa kota, peserta pria menunggu di luar tempat upacara sambil bermabuk-mabukan hingga menimbulkan keributan.

Sejarah Tradisi merayakan kedewasaan sudah berlangsung sejak zaman kuno di Jepang. Laki-laki mengenal tradisi Genbuku, sedangkan wanita mengenal tradisi Mogi. Tradisi yang menurut antropologi budaya dan folklor merupakan bagian dari inisiasi. Upacara Seinen-sai ( perayaan generasi muda?) yang diselenggarakan 22 November 1946 di kota Warabi Distrik Kitaadachi, Prefektur Saitama merupakan asal-usul upacara Seijin shiki seperti yang ada sekarang. Pada mulanya, upacara diadakan untuk memberi harapan tentang masa depan yang cerah bagi generasi muda Jepang yang kehilangan segala semangat dan cita-cita akibatPerang Dunia II. Upacara dirintis pemimpin lokal generasi muda bernama Takahashi Sh jir dan mengambil lokasi di sebuah sekolah dasar di kota Warabi yang dipasangi tenda. Di tahun 1948, pemerintah Jepang mengambil perayaan Seinen-sai sebagai contoh dan menetapkan tanggal 15 Januari tahun berikutnya (1949) sebagai Hari Kedewasaan (Seijin no hi). Sejak itu, pemerintah lokal kota dan desa di Jepang selalu mengadakan upacara Hari Kedewasaan tanggal 15 Januari sampai hari penyelenggaraan diubah menjadi hari Senin minggu kedua di bulan Januarisesuai dengan Sistem Happy Monday.

2.

Setsubun(pembagian musim)
Setsubun adalah nama perayaan sekaligus istilah yang digunakan

di Jepang untuk hari sebelum hari pertama setiap musim. Dalam satu tahun

terdapat 4 kali hari pertama setiap musim: risshun, rikka, rish , dan ritt . Istilah "setsubun" sekarang hanya digunakan untuk menyebut hari sebelum risshun (hari pertama musim semi) sekitar tanggal 3 Februari, sedangkan hari-hari setsubun yang lain sudah terlupakan.

Sejarah Pada zaman kuno, perayaan setsubun adalah perayaan tahunan di istana kaisar. Menurut buku Engishiki, berbagai macam boneka dari tanah liat yang sudah diberi warna dipajang di berbagai pintu gerbang dalam lingkungan istana. Boneka-boneka yang dibuat berbentuk seperti anak-anak dan sapi. Tradisi mengusir Oni di hari setsubun konon berakar dari upacara Tsuina yang sudah dikenal sejak zaman Heian. Upacara Tsuina berasal dari daratan Tiongkok dan dilakukan di hari terakhir dalam setahun menurut kalender Tionghoa. Di zaman modern, berbagai tradisi kuno setsubun lenyap digantikan tradisi melempar kacang dan menegakkan kepala ikan sardin yang ditusuk dengan ranting pohon hiiragi di pintu masuk rumah pada saat senja di hari setsubun. Di beberapa daerah di Jepang, orang menggantung kepala ikan sardin dan ranting pohon hiiragi di atas pintu rumah. Tradisi tersebut dilakukan untuk mengusir oni yang dipercaya lahir pada hari setsubun.

Tradisi Kacang kedelai yang sudah digongseng matang dilempar-lemparkan ke arah oni. Tradisi melempar kacang merupakan perlambang keinginan bebas dari penyakit dan selalu sehat sepanjang tahun. Oni yang terkena lemparan kacang konon bakal kabur karena kesakitan. Kacang kedelai juga dimakan setelah dihitung jumlahnya agar sama dengan usia orang yang memakan. Tradisi setsubun merupakan perpaduan upacara mengusir arwah jahat di istana yang berasal dari tradisi Tiongkok dengan upacara Mamemaki (melempar kacang) yang bertujuan serupa di kuil agama Buddha dan Shinto. Kacang yang

dilempar-lemparkan biasanya adalah kacang kedelai, tapi sering diganti dengan kacang tanah sesuai dengan selera orang zaman sekarang. Kacang dilempar-lemparkan sambil mengucap mantera "Oni wa soto, fuku wa uchi" (Oni di luar, keberuntungan ke dalam). Di beberapa daerah yang memiliki kuil yang dipercaya ditinggali oni, mantera dibalik menjadi "Oni wa uchi, fuku wa soto (Oni ke dalam, keberuntungan ke luar)," atau kedua belah pihak diminta masuk ke dalam. Di rumah yang ditinggali orang yang memiliki nama keluarga dengan aksara kanji "Oni" seperti "Onizuka" atau "Kit ," mantera juga tidak mengusir "Oni" ke luar. Beberapa pekan menjelang hari setsubun, toko-toko swalayan mulai menjual kacang keberuntungan (fukumame) di tempat khusus yang gampang dilihat pembeli. Kacang dijual dengan hadiah topeng bergambar Oni untuk dipakai sang ayah atau orang lain di rumah yang berperan sebagai oni, sekaligus sasaran lemparan kacang anak-anak di rumah. Di sekolah-sekolah dasar dilakukan upacara melempar kacang yang dilakukan murid berusia 12 tahun, karena memiliki shio yang sama dengan shio untuk tahun yang berjalan. Kuil agama Buddha dan Shinto yang bekerjasama dengan taman kanak-kanak dan tempat penitipan anak mengadakan upacara melempar kacang oleh chigo (anak-anak kecil yang dirias) dan miko (pelayan wanita). Kuil besar mengadakan acara melempar kacang yang dilakukan atlet dan orang terkenal. Bungkusan kacang keberuntungan dilemparkan ke tengah-tengah khalayak ramai untuk ditangkap atau dipungut. Di daerah Kansai terdapat tradisi makan sushi yang disebut Eh maki (sejenis futomaki yang belum dipotong-potong). Sushi dimakan tanpa berhenti sambil menghadap ke arah mata angin tempat bersemayam dewa keberuntungan untuk tahun tersebut. Sushi dipegang dengan kedua belah tangan dan orang yang sedang makan dilarang berbicara sampai sushi habis dimakan. Pedagang di kota Osaka yang ingin bisnisnya lancar konon memiliki tradisi makan sushi di hari setsubun. Kebiasaan ini konon sudah dimulai di akhir zaman Edo atau awal zaman Meiji. Di awalzaman Showa, iklan tradisi memakan sushi di

hari setsubun (marukaburi zushi) mulai dipasang pedagang sushi di Osaka agar orang mau membeli sushi. Seusai Perang Dunia II, tradisi makan sushi di hari setsubun sempat terhenti hingga tahun 1974. Pada tahun itu, pedagang nori di kota Osaka mengadakan lomba cepat-cepatan makan norimaki. Di tahun 1977, asosiasi pedagang nori Osaka kembali menghidupkan tradisi memakan sushi di hari setsubun dengan mengadakan acara promosi penjualan nori.

3.

Tanabata (Festival Bintang) Tanabata (Festival Bintang) adalah salah satu perayaan yang berkaitan

dengan musim di Jepang, Tiongkok, dan Korea. Perayaan besar-besaran dilakukan di kota-kota di Jepang, termasuk di antaranya kota Sendai dengan festival Sendai Tanabata. Di Tiongkok, perayaan ini disebut Qi Xi. Tanggal festival Tanabata dulunya mengikuti kalender lunisolar yang kirakira sebulan lebih lambat daripada kalender Gregorian. Sejak kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunisolar, atau sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 Agustus. Aksara kanji yang digunakan untuk menulis Tanabata bisa dibaca sebagai shichiseki (malam ke-7). Di zaman dulu, perayaan ini juga ditulis dengan aksara kanji yang berbeda, tapi tetap dibaca Tanabata. Tradisi perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada zaman Nara. Di zaman kuno Tiongkok terdapat tradisi merayakan pergantian musim di bulan ke-7 hari ke-7 menurut kalender Tionghoa (bulan ke-7 merupakan bulan pertama di musim gugur). Alasan dan sejak kapan hari ke-7 bulan ke-7 mulai dijadikan hari istimewa tidak diketahui dengan pasti. Literatur tertua yang menceritakan peristiwa di hari tersebut adalah Simin yueling (almanak petani) karya Cui Shi yang menulis tentang tradisi menjemur atau mengangin-anginkan buku di bawah sinar matahari. Menurut kalender yang pernah digunakan di Jepang seperti kalender Tempo, Tanabata dirayakan pada hari ke-7 bulan ke-7 sebelum perayaan Obon.

Setelahkalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, Tanabata dirayakan pada 7 Juli, sedangkan sebagian upacara dilakukan di malam hari tanggal 6 Juli. Di wilayah Jepang sebelah timur seperti Hokkaido dan Sendai, perayaan dilakukan sebulan lebih lambat sekitar 8 Agustus.

Sejarah Tanabata diperkirakan merupakan sinkretisme antara tradisi Jepang kuno mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen dan perayaan Qi Qiao Jie asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran wanita dalam menenun. Pada awalnya Tanabata merupakan bagian dari perayaan Obon, tapi kemudian dijadikan perayaan terpisah. Daun bambu (sasa) digunakan sebagai hiasan dalam perayaan karena dipercaya sebagai tempat tinggal arwah leluhur. Legenda Qi Xi pertama kali disebut dalam literatur Gushi shijiu shou (19 puisi lama) asal Dinasti Han yang dikumpulkan kitab antologi Wen Xuan. Selain itu, Qi Xi juga tertulis dalam kitab Jing-Chu suishi ji, festival dan tradisi tahunan wilayah Jing-Chu) dari zaman Dinasti Utara dan Selatan, dan kitab Catatan Sejarah Agung. Literatur Jing-Chu suishi ji mengisahkan para wanita memasukkan benang berwarna-warni indah ke lubang 7 batang jarum pada malam hari ke-7 bulan ke-7 yang merupakan malam bertemunya Qian Niu dan Zhi Nu, dan persembahan diletakkan berjajar di halaman untuk memohon kepandaian dalam pekerjaan menenun. Legenda asli Jepang tentang Tanabatatsume dalam kitab Kojiki mengisahkan seorang pelayan wanita (miko) bernama Tanabatatsume yang harus menenun pakaian untuk dewa di tepi sungai, dan menunggu di rumah menenun untuk dijadikan istri semalam sang dewa agar desa terhindar dari bencana. Perayaan Qi Xi dihubungkan dengan legenda Tanabatatsume, dan nama perayaan diubah menjadi "Tanabata". Di zaman Nara, perayaan Tanabata dijadikan salah satu perayaan di istana kaisar yang berhubungan dengan musim. Di dalam kitab antologi puisi waka berjudul Man'y sh terdapat puisi tentang Tanabata karya tomo no Yakamochi dari zaman Nara. Setelah perayaan Tanabata meluas ke kalangan rakyat biasa di zaman Edo, tema perayaan bergeser

dari pekerjaan tenun menenun menjadi kepandaian anak perempuan dalam berbagai keterampilan sebagai persiapan sebelum menikah. Tanabata dirayakan secara besar-besaran di berbagai kota, dimulai seperti: Sendai, Hiratsuka, Anjo, di wilayah Jepang bagian utara. Di zaman dulu, Sendai sering berkali-kali dilanda kekurangan pangan akibat kekeringan dan musim dingin yang terlalu dingin. Di kalangan penduduk lahir tradisi menulis permohonan di atas secarik kertas tanzaku untuk meminta dijauhkan dari bencana alam. Date Masamune menggunakan perayaan Tanabata untuk memajukan pendidikan bagi kaum wanita, dan hiasan daun bambu mulai terlihat di rumah tinggal kalangan samurai dan penduduk kota. Di zaman Meiji dan zaman Taisho, perayaan dilangsungkan secara kecil-kecilan hingga penyelenggaraan diambil alih pusat perbelanjaan di tahun 1927. Pusat perbelanjaan memasang hiasan Tanabata secara besar-besaran, dan tradisi ini berlanjut hingga sekarang sebagai Sendai Tanabata. 4. Obon Obon adalah serangkaian upacara dan tradisi di Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan seputar tanggal 15 Juli menurut kalender Temp (kalender lunisolar). Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama BuddhaJepang, tapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Buddha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Buddha yang disebut Urabon. Tradisi dan ritual seputar Obon bisa berbeda-beda bergantung pada aliran agama Buddha dan daerahnya. Di berbagai daerah di Jepang, khususnya di daerah Kansai juga dikenal perayaan Jiz bon yang dilakukan seusai perayaan Obon. dan Sagamihara. Perayaan

setelah Perang Dunia II dengan maksud untuk menggairahkan ekonomi, terutama

Asal usul Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Urabon yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja bon (nampan) ditambah awalan honorifik huruf "O." Pada mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (sh r ) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu, Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang datang semasa perayaan Obon. Asal-usul tradisi Obon tidak diketahui secara pasti. Tradisi memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di Jepang sejak sekitar abad ke-8. Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah leluhur yang dipercaya datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim semi dan awal musim gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai satu tahun dan pertengahan tahun sampai akhir tahun juga dihitung sebagai satu tahun. Di awal musim semi, arwah leluhur datang dalam bentuk Toshigami (salah satu Kami dalam kepercayaan Shinto) dan dirayakan sebagai Tahun Baru Jepang. Di awal musim gugur, arwah leluhur juga datang dan perayaannya secara agama Buddha merupakan sinkretisme dengan Urabon. Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sejak tanggal 1 Januari 1873, sehingga perayaan Obon di berbagai daerah di Jepang bisa dilangsungkan pada tanggal: 1. bulan ke-7 hari ke-15 menurut kalender Temp 2. 15 Juli menurut kalender Gregorian 3. 15 Agustus menurut kalender Gregorian mengikuti perhitungan Tsukiokure (tanggal pada kalender Gregorian selalu lebih lambat 1 bulan dari kalender Temp ).

Pada

tanggal 13

Juli 1873 pemerintah

daerah Prefektur

Yamana-

shi dan Prefektur Niigata sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Temp Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Temp semakin sedikit. Pada saat ini, orang Jepang umumnya merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus menurut kalender Gregorian. Orang yang tinggal di daerah Kanto secara turun temurun merayakan Obon pada tanggal 15 Juli kalender Gregorian, termasuk mengunjungi makam pada sebelum tanggal 15 Juli. Pengikut salah satu kuil di Tokyo selalu ingin merayakan Obon pada tanggal 15 Juli sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Juli, sedangkan pengikut kuil di Prefektur Kanagawa selalu ingin merayakan Obon tanggal 15 Agustus sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Agustus. Media massa memberitakan perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus sehingga orang di seluruh Jepang menjadi ikut-ikutan merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus. Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha. Ada kemungkinan perayaan Obon mendapat pengaruh dari orang yang mengartikan peristiwa bintang jatuh (hujan meteor) sebagai kedatangan arwah leluhur. Di dalam beberapa kebudayaan, arwah orang yang sudah meninggal sering diumpamakan berubah menjadi bintang, sedangkan peristiwa bintang jatuh paling banyak terjadi bertepatan dengan hujan meteor Perseid tahunan yang mencapai puncaknya beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus. Tanggal 15 Agustus bagi agama Katolik merupakan hari raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga yang banyak dirayakan di Eropa Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Perayaan Obon pada tanggal 15

Agustus juga bertepatan dengan hari peringatan berakhirnya perang (Sh sen kinenbi) yang di luar Jepang dikenal sebagai V-J Day (Victory over Japan Day).

5.

Tenjinmatsuri Tenjinmatsuri adalah festival tahunan (matsuri) yang diselenggarakan di

kota Osaka oleh kuil Osaka Temmangu pada tanggal 24 Juli dan 25 Juli. Pembukaan festival (yomiya) diselenggarakan tanggal 24 Juli, sedangkan puncak perayaan berupa prosesi darat (riku togyo) dan prosesi perahu (funa togyo) dilangsungkan pada tanggal 25 Juli. Sungai kawa yang berada di tengah kota Osaka dipenuhi lebih dari 100 perahu yang melakukan prosesi dan dimeriahkan dengan pesta kembang api. Perahu yang berisi pengikut kuil Osaka Temmangu datang dari arah berlawanan dan berpapasan dengan perahu yang membawa Goh ren. Para sponsor dan undangan lainnya juga dapat naik di atas perahu yang tidak termasuk dalam kelompok prosesi. Penonton yang berada di tepi sungai juga bisa menyaksikan pesta kembang api dan pertunjukan Kagura, Danjiribayashi, Noh dan Rakugo yang diadakan di atas perahu. Perayaan Tenjinmatsuri juga dilangsungkan berbagai tempat di Jepang oleh kuil Shint yang menyandang sebutan kuil Tenjin, tapi festival Tenjinmatsuri di Osaka merupakan festival yang paling terkenal. Tenjinmatsuri adalah salah satu dari tiga festival terbesar di Jepang bersama-sama dengan Kanda Matsuri di (Tokyo) dan Gion Matsuri (Kyoto). Sejarah Perayaan Tenjinmatsuri dimulai pada tanggal 1 Juni tahun 951. Pada saat itu, perayaan dibuka dengan ritual menghanyutkan kamihoko (pedang dengan mata di kedua sisi) di sungai kawa. Lokasi perayaan ditentukan berdasarkan tempat tersangkutnya kamihoko yang dihanyutkan air sungai. Penghanyutan kamihoko merupakan asal-usul ritual Hokonagashi yang dilakukan sampai

sekarang ini. Puncak perayaan berupa prosesi perahu berasal dari ritual Hokonagashi yang menentukan lokasi perayaan di tengah sungai. Pada zaman Azuchi Momoyama, Toyotomi Hideyoshi menghadiahkan alat musik Taiko untuk digunakan dalam perayaan. Pada tahun-tahun terakhir era Kanei, ritual Hokonagashi tidak dapat dilakukan karena tempat ritual dijadikan pasar ikan dan sebagai gantinya ditampilkan Danjiri (float) yang merupakan asalusul prosesi darat yang dikenal sekarang ini. Pada tahun 1649, penarikan undian untuk menentukan urutan Danjiri mulai dilakukan agar orang tidak berlombalomba menarik masuk Danjiri ke dalam kuil Osaka Temmangu. Pada tahun akhir era Kanbun (awal tahun 1670-an) lokasi perayaan Tenjinmatsuri dipindahkan ke Ebisujima. Pada era Genroku (1688-1703), boneka berpakaian tradisional dengan tinggi 2 meter yang disebut O-mukae ningyo mulai dipasang di atas lunas perahu yang mengikuti prosesi perahu. Pada saat itu, Tenjinmatsuri konon mulai disebut sebagai salah satu dari tiga festival terbesar di Jepang. Kemegahan Tenjinmatsuri sudah dicatat dalam novel kisah perjalanan dari Edo ke Kyoto dan Osaka yang berjudul "T kai d ch hizakurige" terbitan tahun 1802-1822. Tenjimatsuri juga sudah dikisahkan dalam novel berjudul "Seken munazany " (1682). Pada tahun pertama era Kei (1865), Tenjinmatsuri tidak dapat diselenggarakan karena shogun Tokugawa Iemochi sedang memimpin operasi Penaklukan Ch sh dari Istana Osaka. Sejak itu, penyelenggaraan Tenjinmatsuri dibekukan dari tahun 1866 hingga tahun 1870. Tenjinmatsuri kembali diselenggarakan pada tahun 1871 sesudah berakhirnya kekacauan yang mengiringi Restorasi Meiji. Prosesi perahu tidak dilakukan mulai tahun 1874 hingga tahun [[1880] akibat perbaikan bangunan kuil utama dan berjangkitnya wabah penyakit kolera. Pada masa itu, Tenjimatsuri dalam hanya bentuk prosesi darat juga pernah beberapa kali diselenggarakan. Tenjinmatsuri juga pernah berkali-kali dibatalkan akibat wafatnya Kaisar Meiji dan meluapnya permukaan air sungai. Pada tahun 1930, ritual Hokonagashi kembali dihidupkan atas saran seorang penulis terkenal bernama Kema Namboku. Tenjinmatsuri lagi-lagi tidak

diselenggarakan dari tahun 1938 hingga tahun 1948 akibat Perang Sino-Jepang II dan Perang Dunia II. Pada tahun 1949, Tenjinmatsuri kembali dihidupkan, tapi prosesi perahu tidak dapat dilakukan karena perahu tidak bisa lewat di bawah jembatan akibat tanah yang amblas. Pada tahun 1953, Tenjinmatsuri dapat diselenggarakan seperti biasa tetapi perahu berlayar berlawanan dengan arus sungai. Prosesi perahu tidak dilaksanakan akibat krisis minyak tahun 1974. Sesuai dengan perkembangan zaman, prosesi Girl Mikoshi yang menampilkan wanita muda dimulai tahun 1981. Pada tahun 1994, pertunjukan festival Tenjimatsuri dalam skala kecil pernah diselenggarakan di Brisbane. Pada tahun 2003, penyelenggaraan pesta kembang api Suito-sai yang merupakan acara tahunan di Osaka digabung dengan perayaan Tenjinmatsuri, sehingga pesta kembang api menjadi lebih meriah.

6.

Hinamatsuri Hina Matsuri adalah perayaan setiap tanggal 3 Maret di Jepang yang

diadakan untuk mendoakan pertumbuhan anak perempuan. Keluarga yang memiliki anak perempuan memajang satu set boneka yang disebut hinaningy (boneka festival). Satu set boneka terdiri dari boneka kaisar, permaisuri, puteri istana (dayangdayang), dan pemusik istana yang menggambarkan upacara perkawinan tradisional di Jepang. Pakaian yang dikenakan boneka adalah kimono gaya zaman Heian. Perayaan ini sering disebut Festival Boneka atau Festival Anak Perempuan karena berawal permainan boneka di kalangan putri bangsawan yang disebut hiina asobi (bermain boneka puteri). Walaupun disebut matsuri, perayaan ini lebih merupakan acara keluarga di rumah, dan hanya dirayakan keluarga yang memiliki anak perempuan. Sebelum hari perayaan tiba, anak-anak membantu orang tua mengeluarkan boneka dari kotak penyimpanan untuk dipajang. Sehari sesudah Hinamatsuri, boneka harus segera disimpan karena dipercaya sudah menyerap roh-roh jahat dan nasib sial.

Boneka diletakkan di atas panggung bertingkat yang disebut dankazari (tangga untuk memajang). Jumlah anak tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang ada. Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan berdasarkan tradisi turun temurun. Panggung dankazari diberi alas selimut tebal berwarna merah yang disebut hi-m sen. Satu set boneka biasanya dilengkapi dengan miniatur tirai lipat (by bu) berwarna emas untuk dipasang sebagai latar belakang. Di sisi kiri dan kanan diletakkan sepasang miniatur lampion (bombori). Perlengkapan lain berupa miniatur pohon sakura dan pohon tachibana, potongan dahan bunga persik sebagai hiasan. Susunan boneka 1. Tangga teratas Dua boneka yang melambangkan kaisar (o-dairi-sama) dan permaisuri (ohina-sama) diletakkan di tangga paling atas. Dalam bahasa Jepang, dairi berarti "istana kaisar", dan hina berarti "sang putri" atau "anak perempuan". Wilayah Kansai dan Kanto memiliki urutan kanan-kiri yang berbeda dalam penempatan boneka kaisar dan permaisuri, namun susunan boneka di setiap anak tangga berikutnya selalu sama. 2. Tangga kedua Tiga boneka puteri istana (san-nin kanjo) diletakkan di tangga kedua. Ketiga puteri istana membawa peralatan minum sake. Boneka puteri istana yang paling tengah membawa mangkuk sake (sakazuki) yang diletakkan di atas samp . Dua boneka puteri istana yang lain membawa poci sake (kuwae no ch shi), dan wadah sake yang disebut (nagae no ch shi). Gigi salah satu boneka puteri istana dihitamkan (ohaguro) dan alisnya dicukur habis. Dalam boneka versi Kyoto, puteri istana yang paling tengah dari Kyoto membawa shimadai (hiasan tanda kebahagiaan dari daun pinus, daun bambu, dan bunga ume). 3. Tangga ketiga

Lima boneka pemusik pria (go-nin bayashi) berada di tangga ketiga. Empat musisi masing-masing membawa alat musik, kecuali penyanyi yang membawa kipas lipat. Alat musik yang dibawa masing-masing pemusik adalah taiko, kawa, kotsuzumi, dan seruling. 4. Tangga keempat Dua boneka menteri (daijin) yang terdiri dari Menteri Kanan (Udaijin) dan Menteri Kiri (Sadaijin) berada di tangga ke-4. Boneka Menteri Kanan digambarkan masih muda, sedangkan boneka Menteri Kiri tampak jauh lebih tua. Dari sudut pandang pengamat, Menteri Kanan berada di sebelah kiri, sedangkan Menteri Kiri berada di sebelah kanan. 5. Tangga kelima Pada tangga kelima diletakkan tiga boneka pesuruh pria (shich ). Ketiganya masing-masing membawa bungkusan berisi topi (daigasa) yang dibawa dengan sebilah tongkat, sepatu yang diletakkan di atas sebuah nampan, dan payung panjang dalam keadaan tertutup. Dalam boneka versi lain, pesuruh pria membawa penggaruk dari bambu (kumade) dan sapu.[2] Selanjutnya, kereta sapi dan berbagai miniatur mebel yang dijadikan hadiah pernikahan diletakkan di atas tangga-tangga di bawahnya.

Sejarah Sebelum kalender Gregorian digunakan di Jepang, Hinamatsuri dirayakan setiap hari ke-3 bulan 3 menurut kalender lunisolar. Menurut kalender lunisolar, hari ke-3 bulan 3 disebut momo no sekku (perayaan bunga persik), karena bertepatan dengan mekarnya bunga persik. Kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang sejak 1 Januari 1873 sehingga perayaan Hinamatsuri berubah menjadi tanggal 3 Maret. Walaupun demikian, sebagian orang masih memilih untuk merayakan Hinamatsuri sesuai perhitungan kalender lunisolar (sekitar bulan April kalender Gregorian), Dalam sejumlah literatur klasik ditulis tentang kebiasaan bermain boneka di kalangan anak perempuan bangsawan istana dari zaman Heian (sekitar abad ke-8). Menurut perkiraan, boneka dimainkan bersama rumah boneka yang berbentuk

istana. Permainan di kalangan anak perempuan tersebut dikenal sebagai hina asobi (bermain boneka puteri). Pada prinsipnya, hina asobi adalah permainan dan bukan suatu ritual. Sejak abad ke-19 (zaman Edo), hina asobi mulai dikaitkan dengan perayaan musim (sekku) untuk bulan 3 kalender lunisolar. Sama halnya dengan perayaan musim lainnya yang disebut "matsuri", sebutan hina asobi juga berubah menjadi Hinamatsuri dan perayaannya meluas di kalangan rakyat. Orang Jepang di zaman Edo terus mempertahankan cara memajang boneka seperti tradisi yang diwariskan turun temurun sejak zaman Heian. Boneka dipercaya memiliki kekuatan untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh boneka, dan karena itu menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang berbahaya atau sial. Asal-usul konsep ini adalah hinanagashi ("menghanyutkan boneka"). Boneka diletakkan di wadah berbentuk sampan, dan dikirim dalam perjalanan menyusuri sungai hingga ke laut dengan membawa serta roh-roh jahat. Kalangan bangsawan dan samurai dari zaman Edo menghargai boneka Hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita yang ingin menikah, dan sekaligus sebagai pembawa keberuntungan. Sebagai lambang status dan kemakmuran, orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik dan termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin. Boneka yang digunakan pada awal zaman Edo disebut tachibina (boneka berdiri) karena boneka berada dalam posisi tegak, dan bukan duduk seperti sekarang ini. Asal-usul tachibina adalah boneka berbentuk manusia (katashiro) yang dibuat ahli onmy d untuk menghalau nasib sial. Boneka dalam posisi duduk (suwaribina) mulai dikenal sejak zaman Kan'ei. Pada waktu itu, satu set boneka hanya terdiri sepasang boneka yang keduanya bisa dalam posisi duduk maupun berdiri. Sejalan dengan perkembangan zaman, boneka menjadi semakin rumit dan mewah. Pada zaman Genroku, orang mengenal boneka genrokubina (boneka zaman Genroku) yang dipakaikan kimono dua belas lapis (j nihitoe). Pada zaman Ky h , orang mengenal boneka ukuran besar yang disebut ky h bina (boneka zaman Ky h ). Perkembangan lainnya adalah pemakaian tirai lipat (by bu)

berwarna emas sebagai latar belakang genrokubina dan ky h bina sewaktu dipajang. Keshogunan Tokugawa pada zaman Ky h berusaha membatasi kemewahan di kalangan rakyat. Boneka berukuran besar dan mewah ikut menjadi sasaran pelarangan barang mewah oleh keshogunan. Sebagai usaha menghindari peraturan keshogunan, rakyat membuat boneka berukuran mini yang disebut keshibina (boneka ukuran biji poppy), dan hanya berukuran di bawah 10 cm. Namun keshibina dibuat dengan sangat mendetil, dan kembali berakhir sebagai boneka mewah. Sebelum zaman Edo berakhir, orang mengenal boneka yang disebut y sokubina (boneka pejabat resmi istana). Boneka dipakaikan kimono yang merupakan replika seragam pejabat resmi istana. Prototipe boneka Hinamatsuri yang digunakan di Jepang sekarang adalah kokinbina (translasi literal: boneka zaman dulu). Perintis kokinbina adalah Hara Sh getsu yang membuat boneka seakurat mungkin berdasarkan riset literatur sejarah. Boneka yang dihasilkan sangat realistik, termasuk penggunaan gelas untuk mata boneka. Mulai sekitar akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji, boneka Hinamatsuri yang mulanya hanya terdiri dari sepasang kaisar dan permaisuri berkembang menjadi satu set boneka lengkap berikut boneka puteri istana, pemusik, serta miniatur istana, perabot rumah tangga dan dapur. Sejak itu pula, boneka dipajang di atas dankazari (tangga untuk memajang), dan orang di seluruh Jepang mulai merayakan hinamatsuri secara besar-besaran. 7. Sichi go san Shichi-Go-San adalah nama upacara di Jepang yang merayakan

pertumbuhan anak berusia 3, 5, dan 7 tahun. Perayaan dilakukan setiap tahun sekitar tanggal 15 November dan bukan merupakan hari libur. Peserta perayaan adalah anak laki-laki berusia 3 dan 5 tahun, dan anak perempuan berusia 3 dan 7 tahun. Umur-umur tersebut dipercaya sebagai tonggak sejarah dalam kehidupan, dan angka-angka ganjil menurut tradisi Tionghoa dipercaya membawa keberuntungan. Anak-anak yang cukup umur sebagai peserta

Shichi Go San didandani dengan kimono dan dibawa ke kuil Shinto untuk didoakan. Orang tua memanfaatkan kesempatan ini untuk mengabadikan anakanak yang sudah berpakaian bagus dengan berfoto di studio foto. Anak-anak yang merayakan Shichi Go San mendapat hadiah permen panjang yang disebut permen chitose ( chitoseame?, permen seribu tahun)

yang dipercaya membuat anak sehat dan panjang umur. Kantong tempat permen chitoseame bergambar kura-kura dan burung jenjang yang merupakan simbol umur panjang.

Asal usul Hari ke-15 menurut kalender Tionghoa merupakan hari baik dan semua yang dilakukan di hari tersebut dipercaya membawa keberuntungan, dan bulan 11 merupakan bulan selesai panen. Orang zaman kuno pergi ke kuil di bulan purnama hari ke-15 bulan ke-11 untuk berterima kasih atas hasil panen. Kesempatan ini sekaligus digunakan untuk berterima kasih atas pertumbuhan anak, serta memohon perlindungan agar anak tetap sehat dan dapat tumbuh hingga dewasa. Di zaman dulu, angka kematian anak kecil sangat tinggi sehingga lahir tradisi merayakan anak-anak yang berhasil mencapai usia tertentu di kalangan keluarga petani di Jepang. Tradisi ini meluas ke kalangan samurai yang menambahkan sejumlah upacara. Anak perempuan dan anak laki-laki berusia 3 tahun mengikuti upacara Kamioki yang menandai mulai dipanjangkannya rambut anak setelah sebelumnya selalu dicukur habis. Anak usia 5 tahun mengikuti upacara Hakama-gi yang menandai pertama kali anak mulai memakai hakama dan haori. Anak perempuan mengikuti upacara Obitoki Himo-otoshi yang menandai pergantian kimono yang dipakai anak perempuan, dari kimono anakanak yang bertali menjadi kimono berikut obi seperti yang digunakan orang dewasa. Kesempatan Shichi Go San sering merupakan kesempatan pertama bagi anak perempuan untuk merias wajah. Sejak kalender Gregorian digunakan di Jepang, perayaan dilangsungkan pada 15 November. Di zaman sekarang, waktu membawa anak ke kuil sebagai

Shichi Go San sudah disesuaikan dengan waktu libur orangtua. Anak boleh dibawa kapan saja ke kuil di sepanjang bulan November (hari Sabtu, Minggu, atau hari libur), dan tidak harus persis di tanggal 15 November. Di Hokkaido dan daerah-daerah dengan musim dingin yang sangat dingin, udara sudah dingin di sekitar 15 November sehingga perayaan sering dilakukan sebulan lebih awal pada 15 Oktober.

TUGAS BAHASA JEPANG ACARA TAHUNAN DI JEPANG

DISUSUN OLEH: ANISA KRISNA MURTI XI IPA 5/ 13

2010/2011 SMA NEGERI 1 YOGYAKARTA

You might also like