You are on page 1of 6

CARA KERJA ILMU

Ilmu iku kelakone kanthi laku, Lekase lawan kas, tegese kas nyantosani. Setya budya pangekesing dur angkara (Serat Wedatama)

1. Ilmu pengetahuan dicirikan sebagai usaha untuk mengumpulkan hasil pengetahuan secara teratur dan sistematis, berkat refleksi (olah fikir/akal). Pengungkapan hasil terjadi dalam berbagai model, yang dalam garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu model a-priori dan model a-posteriori. Model a-priori dirintis oleh Plato. Dalam pemikiran Plato, pengetahuan adalah, atau dapat dimengerti sebagai, hasil merefleksi apa yang ada (sebenarnya sudah ada) dalam ingatannya, serta melekat dalam jiwanya (jadi: apriori). Termasuk dalam katagori ini adalah ilmu-ilmu pasti. Selanjutnya, adalah Aristoteles yang mengenalkan abstraksi atas aneka pengalaman akan realitas yang sifatnya partikular (khusus) bagi perumusan pengetahuan yang sifatnya universal (umum). Sebagai hasil pemeriksaan a-posteriori itu diperoleh suatu "pengetahuan melalui sebab-musabab". Ilmu-ilmu dalam katagori ini disebut ilmu-ilmu empiris. Contoh: fisika. Dari uraian ini jelas bahwa Plato mengutamakan model atau pendekatan a-priori, yang mengutamakan proses deduksi, dan Aristoteles melengkapinya dengan pendekatan aposteriori, yang mengandalkan proses induksi. 2. Ilmuwan "mempertanggung-jawabkan" pengetahuannya hanya dengan mengandalkan logika, yaitu apa yang secara implisit terdapat deretan gagasan (= pernyataan) yang sifatnya runtut dan nalar (= dapat diterima sebagai hal yang "masukakal", oleh akal yang terdapat dalam semua manusia yang sehat). Dalam "mempertanggung-jawabkan" pengetahuan saya bahwa "S adalah P" (misal: "mahasiswa TE UGM adalah jempolan"), saya mencari penengah ("terminus medius") M, sehingga saya dapat mengatakan "S adalah P karena M". Misalnya, mahasiswa TE UGM (P) adalah jempolan (P), karena lulus UM UGM (M). Maka M menjadi sebab mengapa pengetahuan yang terungkap dalam pernyataan "S adalah P" adalah benar adanya. Dalam mempertanggung-jawabkan pengetahuan itu, digunakan prinsip logika yang sederhana, yang disebut silogisme (penyimpulan). Dalam proses penyimpulan, seseorang berhadapan dengan dua buah penyataan atau premis. Pernyataan yang pertama biasanya disebut premis mayor, karena biasanya mengungkapkan suatu yang benar dalam wilayahnya yang sangat umum. Misalnya premis mayor itu berupa: Semua manusia akan mati. Pernyataan kedua disebut premis minor, karena mengungkapkan sesuatu yang diterima sebagai hal yang benar dalam wilayahnya yang terbatas. Untuk contoh diatas, premis minor adalah misalnya: Sokrates adalah manusia. Dari kedua premis itu ingin ditegakkan kesimpulan. Logika mengajarkan bahwa proses penyimpulan itu menghasilkan kesimpulan yang berupa pernyataan sebagai berikut:

2 Maka (disimpulkan) Sokrates akan mati. Selama ini telah dikenal 4 bentuk silogisme: (1) Apabila p maka q. p. Maka q. (2) Apabila p maka q. Bukan p. Maka ... apa yang dapat disimpulkan? (3) Apabila p maka q. q. Maka ... apa yang dapat disimpulkan? (4) Apabila p maka q. Bukan q. Maka bukan p. Bentuk silogisme (1) disebut "modus ponendo ponens" (MPP), menegaskan sesuatu (disini q) sesudah menegaskan yang lain (disini p). MPP hanya mengulangi apa yang sudah ditegaskan. Meskipun demikian sebagai suatu prinsip penalaran (untuk memperoleh kesimpulan), MPP merupakan prinsip yang patut diandalkan, sebab prinsip itu tidak akan pernah membawa seseorang, sekurang-kurangnya, dari premis-premis yang benar diperoleh konklusi yang salah. Bentuk (4) disebut "modus tollendo tolens" (MTT), mengungkiri sesuatu (disini p) berdasarkan pemungkiran yang lain (disini q). Bentuk ini penting dalam cara kerja pengetahuan empiris. MTT juga patut diandalkan dalam penalaran, karena prinsip itu tidak akan pernah membawa seseorang dari premis-premis yang semuanya benar kepada konklusi yang salah. Bentuk (1) dan (4) merupakan dua bentuk deduksi, sedang bentuk (2) dan (3) tidak diberi nama, karena tidak ada yang dapat disimpulkan. Dua pola penalaran lain patut dicatat disini karena memang penting. Premis mayor berupa suatu asumsi, yaitu suatu pernyataan yang pada tahap ini dilontarkan sebagai sesuatu yang benar. 5. Diberikan p sebagai asumsi. Ternyata q. Maka benarlah kesimpulan, bahwa "jika p maka q". 6. Diberikan p sebagai asumsi. Ternyata q dan bukan q. Maka tidak ada alasan untuk menerima p sebagai hal yang benar. Bentuk (6) pada dasarnya bertumpu pada kenyataan, jika sebuah kontradiksi atau sesuatu yang "absurd" diperoleh atas dasar atau dari sebuah asumsi, maka pastilah asumsi itu tidak dapat diterima sebagai hal yang benar. 2

3 3. Cara kerja ilmu-ilmu empiris senantiasa mengikuti pola: membuat pengamatan membentuk hipotesis - memeriksa apakah implikasi dari hipotesis dapat diamati - kalau tidak, bentuk hipotesis baru ... dan seterusnya. Upaya utama adalah mendapatkan hipotesis yang implikasinya cocok dengan data pengamatan. Data empiris dapat "mengalahkan" atau menolak sebuah hipotesis, dapat pula menjadi alasan untuk menyempurnakan hipotesis, namun tidak pernah dapat dipakai untuk membuktikan secara tuntas berlakunya sebuah hipotesis. Tahap berikutnya dalam pembentukan ilmu adalah perumusan hukum. Dibandingkan dengan hipotesis, hukum memiliki 3 ciri khas, yaitu: (1) lebih pasti, (2) lebih bersifat umum, dan (3) memiliki daya-terang yang lebih kuat. Hukum dapat menjadi titik tolak bagi penjelasan-penjelasan deduktif. Setiap hukum bersifat empiris dan harus diperiksa kebenarannya atau digugurkan dari kedudukannya berdasarkan data empiris. Hukum-hukum yang terdapat dalam peristiswa serumpun dapat pula digabungkan dalam suatu hukum yang bersifat umum, menuju kepada pembentukan sebuah teori. Teori merupakan pandangan umum mengenai realitas, merupakan wujud dari usaha untuk mengkonsilidasikan perbendaharaan pengetahuan, agar diperoleh gambaran yang "efisien". Selama sebuah teori memiliki daya-terang yang menjelaskan kedudukan atau keterbatasan hukum, maka teori itu berguna. 4. Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk dalam katagori ilmu empiris. Namun karena obyeknya manusia, ilmuwan tidak dapat bersifat obyektif, dan manusia (secara individu atau kelompok) tidak bisa tidak dipengaruhi oleh hasil penelitian dan penafsiran tersebut. Dari berbagai jenis ilmu-ilmu kemanusiaan patut disebut ilmu-ilmu sosial, yang antara lain mencakup antropologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu sejarah. Masing-masing ilmu memiliki metode sendiri, sekalipun metode-metode itu memiliki pola yang sama seperti disebut dimuka. Tugas: (1) Cobalah resapi hakekat ilmu-ilmu sosial tersebut! (2) Buatlah suatu model untuk mempelajari sejarah. Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan tidak mudah mengamati mana sebab dan mana akibat. Oleh sebab itu dalam membuat penelitian dalam bidang ilmu-ilmu ini perumusan hipotesis merupakan langkah yang penting dan tak boleh dihindari. 5. Cara kerja ilmu-ilmu pasti (logika dan matematika) bertolak dari sejumlah faham dasar, aksioma atau patokan kerja yang tak bertentangan satu sama lain, yang ditentukan a-priori. Dari faham dasar itu ditarik dalil-dalil berguna. Itulah yang dikerjakan oleh David Hilbert dalam buku terkenalnya Grundlagen der Geometrie. Dibuatnya pernyataan tentang adanya 3 obyek, yaitu titik, garis dan bidang. Dari sana dibuat pernyataan awal ("aksioma") yang bersangkutan dengan tiga kata itu. Lalu Hilbert membuat hampir semua pernyataan yang sekarang dikenal sebagai dalil geometri berdasarkan deduksi saja. Maka pada dasarnya geometri dapat diajarkan baik kepada orang buta maupun kepada komputer.

4 Matematika berurusan dengan obyek atau obyek-obyek. Biasanya berawal dari obyek primitif, misalnya angka utuh positif 1,2, 3, ... Dari sana dibentuk himpunan obyek-obyek (yang memiliki kesamaan sifat), fungsi dan himpunan fungsi-fungsi, serta korespondensi antar fungsi ("operator"), himpunan korespondensi-korespondensi (yang memiliki kesamaan sifat), ... Semua merupakan obyek-obyek matematika, yang dapat saja "konkrit" dalam arti digali dari atau dapat dikaitkan dengan realitas fisis (sekurang-kurangnya inderawi, misalnya lingkaran), namun dapat juga sesuatu yang sifatnya "abstrak" (misalnya obyek matematika yang disebut "titik" dan "bilangan imaginer" yang bentuk primitifnya dilambangkan dengan huruf i dan yang secara operasional didefinisikan sebagai " 1 "). Harus dicatat bahwa yang diperlukan bukanlah apakah obyek-obyek itu, melainkan apakah yang dapat dikatakan ("allowable statement") mengenai obyek-obyek itu. Itulah definisi, yang pada dasarnya bersifat membatasi. Maka jika dibuat pernyataan bahwa "titik adalah sebuah obyek yang tak memiliki panjang atau lebar", itu bukan definisi, karena dalam pernyataan itu "panjang" atau "lebar" masih harus diberi arti. Matematika sering dinyatakan sebagai ilmu untuk mengambil konklusi yang perlu. Pertanyaannya: konklusi yang mana? Satu deretan silogism bukanlah matematika. Dalam matematika dicermati pernyataan-pernyataan yang ringkas namun mencakup bagian terbesar dari kasus-kasus khusus. Dalam matematika juga dihargai argumentasi yang meyakinkan serta pembuktian yang manis ("elegan" dan "indah"). Dan itu berarti bukan sekedar logika serta proses deduksi, namun lebih mengenai metode. Bahkan ciri khas dari matematika adalah bahwa semuanya terselenggara secara efektif dan efisien, tanpa membatasi obyek-obyeknya. Perkembangan matematika tampaknya tidak senantiasa mengikuti pola yang linear sifatnya. Dalam banyak hal dialog dengan ilmu dan ilmuwan bidang-bidang lain, khususnya fisika dan ilmu-ilmu teknik, mendorong kepada penemuan alur-alur yang membuka cakrawala baru tidak hanya dalam matematika sendiri, tetapi dalam bidangbidang ilmu lain. Contoh khas adalah obyek matematika "i" yang disebut dimuka. Kehadiran obyek itu tidak hanya memperkaya panorama obyek yang dibahas dalam matematika, namun juga membuat bangunan matematika tampil mempesonakan (i2 = -1, i3 = -i, i4 = i, eix = cos x + i sin x ... bilangan komplex; namun i i adalah ... bilangan real!). Dalam teknik elektro, kehadiran obyek itu telah membuat banyak pekerjaan menjadi mudah (berkat penemuan Charles "Proteus" Steinmetz). Pada gilirannya, teknik elektro memperkaya matematika dengan aneka tantangan baru. Akhirnya, pastilah ada paham yang mendasari semua semua teori yang dihasilkan oleh kajian matematika. Maka ada usaha serius untuk mencermati fondasinya, diatas mana teori dan bangunan matematika itu dibentuk. 6. Apa yang dapat dikatakan tentang "engineering" atau ilmu-ilmu teknik itu? Yang disebut ilmu-ilmu teknik adalah ilmu-ilmu yang di UGM diajarkan dan diteliti sekurang-kurangnya di Fakultas Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas teknologi Pertanian. Pada umumnya disepakati bahwa dalam ilmu-ilmu teknik ada unsur-unsur yang membuatnya dapat dikatagorikan sebagai ilmu empiris, tetapi juga ada unsur-unsur dari ilmu pasti juga. Dalam ilmu-ilmu teknik sasaran pokok bukan kebenaran dan hikmat, melainkan keputusan yang benar. Menurut Theodore von Karman, seorang ilmuwan teknik (dengan latar belakang penguasaan aktif tentang ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu pasti): Scientists explore what is, engineers create what has never been.

5 Jika diterima bahwa misi ilmu-ilmu pada dasarnya adalah pembebasan manusia (sekurangkurangnya dari himpitan ketidak-tahuan = tanpa ilmu dan tanpa pengetahuan, serta dari lubang kebodohan dan kedunguan), maka misi ilmu-ilmu teknik adalah pembebasan manusia dari keterbatasan fisiknya. Dalam pengertian itu ilmu-ilmu teknik mengawali kerjanya dengan membuat spesifikasi, yaitu perangkat pernyataan yang diterima sebagai hal yang benar menuju terwujudnya pembebasan manusia dari keterbatasan fisik tersebut. Spesifikasi dapat bersifat universal, namun yang bersifat lokal atau temporal sering sudah memadai. Spesifikasi mengisyaratkan kehadiran satu perangkat pilihan. Sesuatu disebut pilihan, karena memang memenuhi spesifikasi (baik yang tersurat maupun yang tersirat). Selanjutnya tiap pilihan mengandung dalam dirinya dua faktor yang sering tidak berjalan seiring: efektivitas dan efisiensi dalam proses pembebasan manusia dari keterbatasan fisiknya. Efektivitas berkaitan dengan kualitas keberhasilan, sedang efisiensi berhubungan dengan kuantitas usaha (biaya) yang dikeluarkan. Atas dasar itu langkah selanjutnya adalah perumusan keputusan yang benar atas aneka pilihan yang tersedia itu. Oleh karena itu tugas ilmuwan teknik adalah to determine the (best) course of action, dan paradigma yang dipakai adalah perencanaan. Jika kurikulum pendidikan di Fakultas Teknik tidak mengandung pelajaran merencana dan merancang, maka kurikulum itu patut dipertanyakan. Great engineering is simple enginering. Strategi pembebasan manusia dari keterbatasan fisik bertumpu pada pernyataan-pernyataan yang kebenarannya bersifat "self evident", tak terbantahkan. Itulah yang disebut hukum alam. Misalnya dalam membangun jembatan sebagai sarana pembebasan dari keterbatasan "ruang geraknya" oleh adanya sungai, hukum alam yang harus diperhatikan adalah bahwa semua benda memiliki berat oleh gaya gravitasi bumi. Maka jembatan dikonstruksi agar berat jembatan itu disalurkan dengan baik dan aman melalui struktur tiang ke dasar sungai dan ke bangunan peyangga di kedua sisi sungai. Demikian pula dalam membangun lahan persawahan pasang-surut di Kalimantan persoalan pokok adalah bagaimana caranya agar air untuk kepentingan pertanian itu tidak lagi memiliki nilai keasaman yang tinggi. Salah satu solusi adalah membangun suatu sistem pompa yang operasinya dikendalikan dengan cermat (bahkan dengan bantuan komputer). Tentulah itu solusi yang mahal biayanya. Solusi lain yang diusulkan, dan berhasil, adalah memanfaatkan irama pasang-surut itu sendiri dalam menghindari terbentuknya keasaman yang tinggi, serta membangun sistem saluran air yang sesuai. Alam memaksakan keterbatasan kepada manusia sehingga secara fisik manusia tak mampu mengembangkan persawahan untuk menopang hidupnya. Alam juga menyediakan sarana untuk mengatasi keterbatasan itu dengan sifatnya yang takterbantahkan -keteraturannya. Manusia dengan bantuan akal-budinya patut menangkap isyarat alam itu dan memanfatkannya dengan cerdik, agar terwujud suatu solusi yang jitu, berupa engineering structure (bangunan) yang sebelumnya tidak ada. Great engineering terwujud melalui simple engineering. Jika dalam ilmu-ilmu teknik sasaran bukan kebenaran, patut ditanyakan apakah yang disebut kebenaran dalam ilmu-ilmu ini? Ilmu-ilmu teknik pada akhirnya hanya merupakan hasil konsilidasi aneka pengetahuan dan pengalaman masa lalu, yang telah diterima sebagai hal yang benar. Itulah "standard practice" atau "established practice" yang diajarkan kepada semua siswa dan mahasiswa dalam semua bidang ilmu teknik. Riset dalam ilmu-ilmu teknik hanya berusaha menegakkan suatu pernyataan yang benar yang dapat dipakai sebagai dasar untuk mengambil keputusan-keputusan yang benar (dan "pener", bahasa Jawa) dalam usaha tak kunjung henti membebaskan manusia dari keterbatasan fisiknya. 5

You might also like