You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Perempuan diakui keberadaannya sebagai makhluk hidup, tetapi lingkup kehidupannya dipercayai telah dibatasi oleh kewajiban biologis. Kewajiban biologis itu bergantung pada konstruksi tubuhnya yang menentukan secara alamiah apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja, keberadaan rahim dalam tubuh perempuan sudah menjadikan fungsi mengandung dan melahirkan anak sebagai kewajiban mutlak perempuan yang tidak bisa diganggu-gugat. Oleh karena itulah, perempuan mempertanyakan akan pentingnya kewajiban tersebut sebagaimana layaknya manusia yang mampu berpikir, mereka dianggap melawan kehendak alam. 1 Berangkat dari hal-hal seperti itu, masyarakat telah menghidupkan sebuah tataran aturan yang meletakkan perempuan pada nomor dua setelah laki-laki. Padahal dalam sistem religiusitas, perempuan sangatlah dihormati, posisinya bahkan ditempatkan dalam singgasana kehormatan yang paling tinggi. Sedangkan dalam posisinya terhadap karya sastra, kekuatan narasi pengarang muda wanita kita sungguh menakjubkan. Kita menemukan beberapa di antara mereka begitu cepat melejit, dengan napas feminisme, eksplorasi seks, kekuatan style, yang mendekonstruksi struktur narasi. Di antara pengarang muda wanita kita, yang dipertautkan nafas feminisme, kita menemukan tiga yang mewakili zamannya: Ayu Utami, Oka Rusmini, dan Djenar Maesa Ayu. Dalam novel Oka Rusmini, Tarian Bumi, feminisme itu diekspresikan dalam kegigihan kaum perempuan melawan kungkungan adat dan tradisi. Ada upaya pembebasan terhadap nilai, norma, hukum, yang diciptakan keraton, adat, tradisi, dan sistem religi. Feminisme Oka Rusmini berakar pada lingkup sosioantropologis Bali, lengkap dengan harga diri dan kegigihan tokoh perempuan yang meretas dominasi hukum partiarki itu. 2 Dari sini lah kemudian penulis tertarik untuk membahas lebih dalam lagi seluk-beluk tentang Tarian Bumi, Bali, adat, dan manusia-manusianya dalam sebuah paper yang berjudul Potret Ambivalensi Tiga Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Tarian Bumi
1

Gita Romadhona, TARIAN BUMI: Perempuan, Kasta, dan Pemberontakan, tersedia dalam http://secangkircokelat.blogspot.com/2006/10/tarian-bumi-perempuan-kasta-dan.html, diunduh pada tanggal 22 Juni 2011 pukul 23:35 WIB

S. Prasetyo Utomo, Djenar, Ayu, Oka, dan Eksplorasi Seks Itu, Semarang: Harian Suara Merdeka, 2003. hlm.24

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan menjadi: Bagaimanakah ambivalensi yang dialami oleh tiga tokoh utama perempuan pada novel Tarian Bumi ?

C. Landasan Teori Hampir semua karya-karya yang dihasilkan oleh Oka Rusmini identik dengan tanah kelahirannya, Bali. Tidak terkecuali dengan Tarian Bumi yang memang menurut kebanyakan orang merupakan sisi lain dari Bali yang tersembunyi. Untuk itu, penulis merasa bahwa pendekatan yang cocok untuk mengkaji novel Tarian Bumi ini adalah pendekatan objektif. Teori objektif merupakan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Dalam teori ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dengan pengkajian karya sastra itu sendiri, baik secara metaforis maupun secara elektis. Istilah lain dari teori objektif adalah teori struktural.3

D. Biografi Pengarang Oka Rusmini, nama lengkapnya adalah Ida Ayu Oka Rusmini. Ia lahir di Jakarta, tanggal 11 Juli 1967. Oka Rusmini menulis novel, cerita pendek, dan dikenal pula sebagai wartawan. Ia bekerja di Harian Bali Post. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Udayana, kemudian bekerja di Bali Post. Cerpennya, Putu Menolong Tuhan, merupakan cerpen terbaik majalah Femina tahun 1994. Sajak-sajaknya dimuat dalam antologi Doa Bali Tercinta (1983), Rindu Anak Mendulang Kasih (1987), Perjalanan Malam (1991), Ambang (1992), Teh Ginseng (1993), Negeri Bayang-Bayang (1996), dan Mimbar Penyair Abad 21 (1996). Novelnya: Tarian Bumi (2000), dan Kenanga (2003). Novel dan kumpulan cerpennya berlatar sosial dan budaya Bali. Dalam Tarian Bumi dan Sagra, dengan berani Oka Rusmini mempertanyakan dan tidak setuju dengan sistem sosial masyarakat Bali yang tidak adil terhadap perempuan Bali. Karena perlawanannya itu, ia dikucilkan oleh keluarga dan teman-temannya. Akan tetapi, oleh sebagian orang novel dan kumpulan cerpennya itu dianggap sebagai wacana kebebasan dan pembebasan perempuan.
3

Adiel, Teori Objektif, tersedia dalam http://adiel87.blogspot.com/2009/11/teori-objektif.html, diunduh pada tanggal 26 Juni 2011, pukul 21.30 WIB.

BAB II PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Karya Novel Tarian Bumi merupakan novel yang membuat nama penulisnya bersinar sejak novel ini pertama kali diterbitkan. Novel yang mengusung isu feminisme dengan mengetengahkan persoalan perempuan Bali dalam belitan kultur dan agama (Hindu) tersebut membuat nama Oka Rusmini berkibar di blantika sastra tanah air, kendati kiprah kepenulisannya telah dimulai jauh sebelumnya. Latar belakang kehidupan Oka yang tidak menyenangkan, ternyata mampu melahirkan karya-karya yang membuat harum namanya. Hidup dan dibesarkan di sebuah keluarga Bali yang benar-benar paham arti menjadi orang Bali juga mampu memperkuat kekhasan dalam setiap novelnya, termasuk Tarian Bumi. Novel ini juga merupakan bentuk marah-marahnya seorang Oka Rusmini terhadap pakem yang ditakdirkan padanya. Mungkin tanpa terasa semua pengalaman itu menetes dalam karya-karya saya. Tentu pengalaman hidup saya tak semuanya menarik. Dengan membenturkannya pada permasalahan lain yang dialami orang, diskusi dengan sahabat-sahabat kreatif, membuat karya-karya saya mungkin terlihat hidup, mungkin juga terlihat sakit, jelas ibu dari Phasa Renaisan ini.4 B. Sinopsis Cerita Novel ini di awali dengan cerita tentang seorang Telaga, seorang anak perempuan yang mengalir padanya darah bangsawan (brahmana) yang sangat disegani oleh masyarakat Bali pada masa itu. Ia merupakan seorang penari yang terkenal dan sangat piawai menari Oleg. Ia juga mempunyai seorang teman perempuan bernama Luh Sadri, seorang sudra yang juga merupakan seorang penari tetapi ditabiatkan sebagai orang yang selalu iri kepada Telaga, walaupun Telaga selalu bersikap baik padanya dan keluarganya. Ibu Telaga adalah seorang perempuan sudra kebanyakan yang disunting oleh seorang lelaki brahmana. Pada masa kecilnya, Luh Sekar sangatlah menderita, ia hidup di dalam keluarga sudra, ia bertekad kelak akan menjadi seorang brahmana untuk mengangkat derajatnya dan keluarganya. Untuk itu ia mulai menjadi penari, dengan harapan akan ada pemuda dari kaum brahmana yang mau mengawininya. Kemudian harapan dan cita-citanya
4

Wayan Sunarta, Oka Rusmini, Pendobrak Tabu dar Bali, tersedia dalam http://www.journalbali.com/women/oka-rusmini-pendobrak-tabu-dari-bali.html, diunduh pada tanggal 23 Juni 2011 pukul 23.39 WIB.

menjadi kenyataan ketika pada akhirnya seorang Ida Bagus Ngurah Pidada bersedia mempersuntingnya. Sebelum akhirnya benar-benar menikah, di sisi lain ternyata ada seseorang yang mengagumi dan diam-diam cinta pada Luh Sekar, Luh Kenten namanya. Teman perempuan Luh Sekar yang selama ini setia menemani Sekar menari. Adatlah yang memaksanya untuk mencintai sesama jenis, dan ia harus siap menerima hal terburuk ketika mengetahui bahwa Sekar telah disunting oleh seorang brahmana. Perkawinan Luh Sekar dengan Ida Bagus Ngurah Pidada merupakan suatu klimaks kisah perjuangan hidupnya. Kenaikan kelas kastanya ditandai dengan perkawinan yang tidak sama sekali dilandasi oleh rasa cinta. Karena inilah selama ia menjabat menjadi Jero Kenanga, tidak pernah sedikitpun ia dan Ida Ayu Sagra Pidada (nenek Telaga) satu paham dan saling rangkul layaknya ibu dan anak. Bagi Dayu Sagra Pidada, Luh Sekar tetaplah Luh Sekar, seorang sudra tidak bisa begitu saja menjadi seorang brahmana walaupun segala atribut kesudraannya telah dilepaskan termasuk mengganti namanya menjadi Jero Kenanga. Ida Ayu Sagra Pidada sendiri merupakan ibu dari suami Jero Kenanga (ayah Telaga), ia mempunyai seorang suami yang sama-sama berasal dari kasta brahmana dengan dirinya yang bernama Ida Bagus Tugur, namun karena posisinya sebagai satu-satunya ahli waris dalam keluarganya, maka posisinya bertukar menjadi suami dan suaminya berstatus menjadi istri. Ida Bagus Tugur sendiri merupakan pemuda brahmana yang miskin dan punya ambisi besar untuk mempunyai jabatan. Namun akhirnya setelah menjadi Lurah, ia lupa diri dan ternyata punya simpanan. Setelah akhirnya Telaga memasuki masa dewasanya, ia mulai menjadi seorang perempuan brahmana yang sesungguhnya. Hidupnya mulai ditata oleh adat dan menari juga merupakan hal wajib yang harus dipelajarinya. Dan ternyata dari menari lah awal pula kisah percintaannya di mulai. Wayan Sasmitha, seorang lelaki sudra yang sudah sejak lama menari untuk griya, ia juga merupakan kakak dari Luh Sadri. Pemuda inilah yang membuat Telaga jatuh cinta, dan akhirnya dilepaskan dari keluarga. Cinta yang tumbuh di antara mereka akhirnya membuat keduanya mendobrak adat, terutama Telaga. Demi cintanya pada Wayan, ia rela menjatuhkan harga dirinya di hadapan Bali. Dan setelah Wayan meninggal inilah perjalanan baru Telaga dimulai, ia diharuskan menjalani upacara Pattiwangi, upacara turunnya derajat seorang brahmana menjadi seorang sudra.

C. Analisis Unsur Intrinsik a. Tema Tema merupakan makna suatu persoalan pokok dalam sebuah cerita atau kisahan. Tema tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kehidupan yang direkam oleh karya sastra, karena masalah dalam karya sastra merupakan sarana untuk membangun sebuah tema. Tema yang menjadi inti dalam novel Tarian Bumi adalah mengenai potret sisi lain Bali yang sampai saat ini masih tersimpan rapat (adat dan kasta). Dibalik keindahan pulaunya, ternyata banyak tersingkap perjalanan berat manusia-manusia Bali. Persoalan yang lebih kompleks adalah mengenai perjuangan dan nasib para perempuan-perempuan Bali yang terlahir dalam sebuah kasta yang tidak diinginkan dan memaksa mereka memilih untuk menjalani atau keluar dari pakemnya.

b. Tokoh dan Penokohan Penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. 5 Dalam Tarian Bumi, terdapat tiga tokoh perempuan utama, yaitu Ida Ayu Sagra Pidada, Luh Sekar/Jero Kenanga, dan Ida Ayu Telaga Pidada. Ida Ayu Sagra Pidada adalah seorang perempuan yang luar biasa keras, ia juga merupakan seorang puteri yang cantik dari bangsawan kaya. Karena ayahnya adalah seorang pendeta yang mempunyai banyak sisia, secara otomatis sejak muda ia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan terhormat dibanding perempuanperempuan lain di griya. Selain itu, ia juga merupakan pewaris tunggal dalam keluarganya, namun sayang karena ia tidak tertarik dengan laki-laki yang ada di dalam griya, maka akhirnya ia dijodohkan oleh Ida Bagus Tugur, pemuda dari keluarga brahmana yang miskin namun terpelajar dan mempunyai ambisi untuk memperoleh jabatan yang tinggi di pemerintahan. Dari pernikahan keduanya, lahirlah Ida Bagus Ngurah Pidada. Namun setelah akhirnya Ida Bagus Tugur telah menjadi Lurah, ia mulai lupa diri dan ternyata mempunyai simpanan seorang penari dari kalangan sudra. Kekecewaan Dayu selanjutnya dilakukan oleh laki-lakinya yang lain, anak semata wayangnya ini ternyata bukan menikah dengan seorang Ida Ayu melainkan dengan Luh Sekar. Sampai akhir hayatnya, Dayu Sagra selalu merasa semua impiannya hilang, serta

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Univeersity Press. 2005. hal. 165

tidak mempunyai harga diri. Ia akhirnya meninggal sebulan setelah anaknya meninggal. Luh Sekar adalah seorang sudra tulen, bapaknya terseret dalam peristiwa 65 yang membuat keluarganya dikucilkan dari masyarakat. Hidup menderita dari kecil telah membangkitkan cita-citanya untuk menaikkan derajatnya menjadi seorang Jero. Beruntung Sekar memiliki tubuh dan wajah yang cantik, aset ini ia manfaatkan untuk menjadi seorang penari yang merupakan jalan satu-satunya untuk naik kelas. Setelah akhirnya disunting oleh seorang Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang brahmana murni yang mempunyai perangai buruk yang merupakan anak dari Ida Ayu Sagra Pidada, impiannya terbayar. Dari hasil perkawinan ini kemudian lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Tapi darah sudra yang mengalir dalam darah Sekar tetap menjadikannya seorang sudra ditengah-tengah orang-orang griya, walaupun ia telah menjadi Jero Kenanga, dan tetap menjadi sumber kesalahan dalam setiap perbuatan suaminya. Ida Ayu Telaga Pidada merupakan anak dari Jero Kenanga dan Ida Bagus Ngurah Pidada, ia hidup dalam kebencian sosok bapaknya. Percekcokan yang dialami antara ibu dan neneknya setiap hari membuat dilema besar dalam hidupnya. Ketika akhirnya neneknya meninggal sebulan setelah bapaknya meninggal, ia hidup dalam tata cara ibunya yang menjadikannya seorang penari serta akan menikahkannya dengan seorang pemuda brahmana. Tapi pada akhirnya Telaga justru menikah dengan seorang sudra, Wayan Sasmitha namanya. Dari hasil pernikahan keduanya lahirlah Luh Sari. Pilihan menikah dengan seorang sudra menjadikannya terbuang dari keluarga griya, terlebih ketika akhirnya Wayan meninggal ia diharuskan oleh Luh Gumbreg (ibu mertuanya) untuk melakukan upacara Pattiwangi, upacara yang membuatnya menjadi seorang sudra yang utuh. Selanjutnya tokoh-tokoh pendukung yang ada di dalam novel, yaitu Luh Kambren (guru tari Ida Ayu Telaga Pidada), Luh Sadri (adik Wayan Sasmitha), Luh Kenten (teman Luh Sekar/Jero Kenanga), Luh Dalem (ibu Luh Sekar/Jero Kenanga), Kerta dan Kerti (adik Luh Sekar/Jero Kenanga), Luh Dampar (teman Luh Kambren) dan Luh Kendran (teman Luh Sadri).

c. Alur/Plot Alur atau plot merupakan struktur peristiwa-peristiwa dalam karya fiksi. Pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut adalah untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Dan alur yang digunakan dalam novel Tarian Bumi adalah alur zigzag. Namun sebenarnya secara keseluruhan alur yang disajikan adalah flashback dari cerita seorang Luh Telaga tentang bagaimana akhirnya ia menjalani kehidupan di awal novel dan merubah namanya menjadi seorang Luh. Pada tahap pertama alur yang disajikan adalah alur maju, di awal cerita dikisahkan tentang Telaga yang telah menjadi seorang Luh yang telah memiliki seorang anak bernama Luh Sari, kemudian alur berubah menjadi mundur, ia menceritakan tentang kisah bapak, ibu dan neneknya. Lalu alur berubah maju lagi, menjadi kisah tentang Telaga pada masi kecil yang penuh wejangan dari neneknya. Pada tahap kedua, alur kembali mundur, di sini diceritakan tentang masa lalu ibu Telaga (Luh Sekar), mulai dari penderitaannya sejak kecil, asal-usul adiknya Kerta dan Kerti, menikah dengan seorang brahmana, sampai ibu Sekar memberikan tusuk konde kepada Sekar. Setelah itu alur menjadi maju, diceritakan tentang Telaga yang telah menjadi perempuan dewasa dan sudah harus hidup dalam aturan adat juga dalam aturan ibunya salah satunya adalah menari. Kemudian alur menjadi mundur kembali, di sini diceritakan tentang percintaan Luh Kambren dan juga Luh Dampar, teman Luh Sadri yang menikah dengan orang Jerman. Pada tahap ketiga, alur menjadi maju. Setelah Luh Kambren meninggal dan Telaga telah menjadi seorang penari, dimulailah kisah percintaannya dengan Wayan Sasmitha sampai akhirnya menikah dan Wayan meninggal dunia. Dan klimaksnya Telaga diharuskan menjalani upacara Pattiwangi.

d. Latar Latar merupakan keterangan waktu, tempat, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar tempat menunjukkan secara jelas lokasi tertentu. Latar waktu dapat dikategorikan sebagai latar fisik, sebab ia dapat merujuk pada saat tertentu secara jelas. Latar tempat pada novel Tarian Bumi memperlihatkan gambaran luas mengenai Bali. Dari awal hingga akhir cerita, menjelaskan semua kejadian yang terjadi pada setiap sudut bangunan-bangunan maupun tempat-tempat di Bali. Hal ini terlihat dari awal sampai akhir cerita, seperti sanggah Perempuan itu sudah tidak bisa lagi 7

bersembahyang di sanggah, pura keluarganya (Rusmini, 2007:55), griya Perempuan itu adalah sesepuh griya (Rusmini, 2007:171), pasar Badung Kalau bukan karena mulut orang-orang pasar Badung, Luh Sekar tidak akan tahu (Rusmini, 2007:51), dan pasar Kumbasari Suatu hari karena harus ikut ujian di sekolah, Sekar tidak bisa ikut ibunya menjual babi di pasar Kumbasari (Rusmini, 2007:47). Dan latar waktu yang terdapat dalam nover Tarian Bumi, bermula diperkirakan pada kisaran tahun 1965-an ketika Luh Sekar masi kecil dan bapaknya adalah seorang anggota PKI (hlm. 22), selanjutnya tidak ada keterangan waktu yang tepat hanya saja disebutkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada waktu, seperti setelah menjalani upacara Menek Kelih Saat Telaga makin dewasa, terlebih setelah menjalani upacara Menek Kelih (Rusmini, 2007:64), upacara Pattiwangi Dulu, ketika kau dikawini anak tiang, kau belum pamit ke griya. Kau juga belum melakukan upacara Pattuwangi (Rusmini, 2007:164).

e. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dalam novel Tarian Bumi ini, terdapat beberapa sudut pandang, yaitu dalam setiap alur mundur, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga maha tahu (narator luar). Narator ini menceritakan peristiwaperistiwa yang terjadi di luar maupun pada tokoh utama (Telaga). Bagi Telaga, ayahnya adalah laki-laki paling tolol (Rusmini, 2007:10) Tidak ada baju, tidak ada sepatu, kue atau permen. Tidak juga uang. Luh Sekar melihat ibunya dibopong orang-orang sedesa. Tubuh perempuan itu berlumuran darah. Luh Sekar menjerit-jerit (Rusmini, 2007:47). f. Pesan Moral Pada hakikatnya, setiap karya sastra berfungsi dan bersifat mendidik, menambah pengetahuan, serta menghibur. Kesemuanya dapat didapatkan setelah membaca dan meresapi pesan-pesan moral yang didapat setelah membaca suatu karya sastra. Dalam kaitannya dengan novel Tarian Bumi, kesemuanya dapat didapatkan setelah kita membaca keseluruhan novelnya. Pengetahuan lain tentang sisi lain Bali tergambar jelas di novel ini, dimulai dari kehidupan masyarakatnya, kasta, adat yang mengikat, serta proses-proses yang membelit di dalamnya. 8

Dan pesan moral yang amat ditekankan oleh pengarang, sangatlah jelas terlihat di dalam novel, seperti terlihat dalam kalimat-kalimat berikut: Hidup ini begitu dahsyat. Begitu banyak hal-hal yang mengejutkan. Seringkali hidup seperti mengejar Meme dengan ganasnya. Hidup juga sering menjebak Meme. Rasanya Meme sering main kucing-kucingan dengan hidup Meme. Itu indahnya. Itu kesenian paling tinggi dalam peradaban manusia (Rusmini, 2007:81). Sering sekali Sekar bertanya pada Sang Hidup, dosa apa sesungguhnya yang telah diperbuat perempuan ini hingga tak ada habis-habisnya kesialan dan penderitaan melingkari hari-harinya. Anehnya dia tetap tabah. Tetap pasrah (Rusmini, 2007:57). Yang tiang sesalkan, begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan yang sesungguhnya (Rusmini, 2007:174). D. Analisis Potret Ambivalensi Tiga Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa dalam novel Tarian Bumi terdapat tiga tokoh utama perempuan yang berperan besar dalam pengisahan dari awal sampai akhir. Kisah mereka memang yang berbeda, namun ternyata mereka bertiga mempunyai ambivalensi yang sama. Perempuan yang pertama adalah seorang Ida Ayu Sagra Pidada. Sejak kecil hidupnya penuh dengan kejayaan dan kehormatan melebihi penghuni-penghuni griya lainnya. Ia juga amat menghormati sifat kebangsawanan yang dimiliki. Tetapi di masa tuanya ia tidak pernah bahagia, hidupnya diwarnai dengan tinta hitam dan awan kelam oleh kedua laki-laki yang dicintainya. Hidup sebagai seorang brahmana membuat cintanya tidak tertuju pada satu pun sosok pemuda brahmana yang ada di dalam griya. Takut menyimpang dari apa yang diinginkan, kedua orang tuanya akhirnya menjodohkan Dayu Sagra dengan lelaki brahmana miskin namun terpelajar, dan yang lebih penting mempunyai ambisi untuk mendapatkan suatu jabatan penting dalam pemerintahan. Setelah menikah, yang terjadi adalah posisi perempuan kini menjabat menjadi seorang suami, dan sebaliknya laki-laki harus menuruti semua tindakan dan keputusan sang perempuan yang menjabat menjadi seorang suami. Keadaan yang mengenaskan ini terjadi akibat si perempuan adalah seorang sentana, satu-satunya anak yang dimiliki oleh keluarganya yang otomatis menjadi ahli waris atas harta kedua orang tuanya. Seperti yang dijelaskan oleh I Gusti Ngurah Bagus (295), bahwa keturunan dari suami-istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan

mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana (pelanjut keturunan). Inilah ambivalensi pertama yang dirasakan oleh Ida Ayu Sagra, secara tidak langsung ia menyukai posisi yang diberikan kepadanya, yaitu menjadi seorang suami dengan tubuh perempuan, dengan ini ia bias menempatkan dirinya sebagai perempuan yang harus dihormati. Tetapi di lain sisi, karena perlakuan yang demikianlah suaminya yang sesungguhnya telah terbiasa dengan perlakuan yang harus dilakukan. Hingga akhirnya Ida Ayu Sagra merubah sifatnya, Ida Bagus Tugur tetap tidak berubah. Di sinilah ambivalensi atas sentana mulai terjadi, ia menyukai status yang disandangnya karena kedudukannya sebagai sentana di tengah-tengah keluarganya, tapi ia juga menyesal dengan statusnya tersebut karena setiap usaha yang ia lakukan untuk menghargai suaminya menjadi sia-sia. Memang dulu Nenek merasa sangat bersalah. Dia selalu menempatkan dirinya sebagai perempuan terhormat. Dulu, dia juga memandang sebelah mata pada lakilaki itu. Dan kakek tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Hormat pada Nenek, hormat pada orang tua Nenek. Lama-lama Nenek mulai berubah, Nenek mulai menyiapkan makan pagi dan makan malam. Nenek ingin menunjukkan bahwa status Kakek di rumah sama dengan dirinya Percuma, tidak ada hasilnya. Nenek merasa berjuang sendiri 6 Selanjutnya, setelah jabatan didapat, yang terjadi adalah sang suami lupa diri. Hingga akhirnya Dayu Sagra mengetahui bahwa suaminya mempunyai seorang simpanan. Bukan hanya itu, anak laki-lakinya juga ternyata tidak pulang dengan seorang Ida Ayu seperti apa yang diharapkannya. Tapi justru Ni Luh Sekar lah yang dipersuntingnya, seorang sudra. Konflik batin yang bertubi-tubi dialami oleh seorang Dayu Sagra memupuskan semua harapan dan impiannya. Ambivalensi kedua yang dialami oleh Ida Ayu Sagra adalah ketika akhirnya rumah tangganya hancur karena adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya. Ia sangat marah dan kecewa, dan yang makin membuatnya marah adalah karena simpanan suaminya merupakan janda dua anak keturunan sudra. Namun yang terjadi adalah Ida Ayu Sagra sendiri tidak mau melepaskan suaminya. Walaupun hatinya hancur berantakan tapi tetap saja ia tidak menginginkan berpisah dengan suaminya. Bagi perempuan tua ini, lebih baik pasrah daripada harus kehilangan posisi dan kedudukannya serta laki-laki yang selalu mempermalukannya namun amat ia cintai. Sampai terdengar desas-desus, ternyata Kakek memiliki simpanan seorang penari yang sangat cantik. Yang membuat Nenek semakin mendidih, perempuan itu

Oka Rusmini, Tarian Bumi, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 16

10

bukan perempuan brahmana. Melainkan seorang sudra, janda dua anak (Rusmini, 2007:16). Kau harus tahu, Telaga, tuniangmu sangat mencintai suaminya. Cintanya yang luar biasalah yang menyebabkan tuniangmu tersiksa. Perempuan itu tidak memiliki kemampuan untuk merebut laki-laki yang telah dinikahinya (Rusmini, 2007:19). Selanjutnya, perempuan yang kedua adalah sosok Ni Luh Sekar/Jero Kenanga. Awalnya adalah perempuan sudra yang menpunyai ambisi keras untuk menaikkan harga dirinya menjadi bagian dari anggota keluarga brahmana. Terlahir dengan kenyataan dengan seorang ayah yang terlibat menjadi anggota PKI mengucilkan Sekar kecil dari lingkungan sekitarnya. Tekanan batin yang dialami Sekar kecil membangkitkan ambisinya untuk terus melanjutkan misinya menjadi seorang penari. Ia menari sebenarnya hanya semata-mata untuk dilihat oleh orang banyak, khususnya lelaki brahmana. Ini merupakan suatu pemberontakan dari suatu sistem, ia menginginkan perubahan dalam hidupnya tidak melulu seorang sudra menikah dengan sudra lainnya. Misi yang diluncurkan berhasil, seorang pemuda yang digambarkan buruk rupa namun keturunan brahmana tulen mempersuntingnya, Ida Bagus Ngurah Pidada. Pernikahan tanpa cinta ini sebenarnya hanyalah cara Sekar agar ia bisa naik kelas. Bayangkan saja bagaimana mungkin penari secantik Sekar mau menerima seorang yang buruk rupa kalau tidak karena harta dan kedudukannya? Laki-laki yang menjadi suami Sekar ini kepribadiannya digambarkan oleh pengarangnya layaknya sosok laki-laki Bali pada umunya. Laki-laki yang memiliki ibu adalah laki-laki paling aneh. Dia bisa berbulan-bulan tidak pulang. Kalau di rumah kerjaannya hanya metajen, adu ayam, atau duduk dekat perempatan bersama para berandalan minum tuak, minuman keras (Rusmini, 2007:12). Jauh berbeda dengan gambaran perempuan Bali yang sesungguhnya, Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkah keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri (Rusmini, 2007:25). Terlihat dengan jelas betapa ironis dan sadisnya nasib perempuan-perempuan Bali. Di balik keindahan pulaunya ternyata banyak tersembunyi peluh dan air mata perempuanperempuan tak berdosa yang terkekang adat. Dan ternyata lagi-lagi adatlah yang memaksa kepicikan berani menantang kehidupan. Demi harga diri, apapun dilakukan. Padahal, dengan masuk pada keluarga tingkat atas, ia harus rela kehilangan kehangatan keluarganya, terutama ibunya. Inilah kepasrahan yang 11

dijalankan oleh seorang perempuan bernama Sekar, ia menyadari bahwa untuk menjadi istri bangsawan ia harus membayar mahal (2007:84). Berani mengambil tindakan yang sebenarnya banyak merenggut kabahagiaannya bukanlah suatu pilihan tapi keharusan. Bahkan setelah ia telah menjadi Jero pun ia masih dianggap sebagai sudra oleh para penghuni griya. Sementara dalam keluarga suaminya, Seka tetap seperti perempuan sudra. Dia harus berbahasa halus dengan orang-orang griya. Tidak boleh minum satu gelas dengan anak kandungnya sendiri. Tidak boleh memberikan sisa makanannya pada orang-orang griya, termasuk anak yang dilahirkannya (Rusmini, 2007:61). Hal itulah yang akhirnya menjadi ambivalensi dalam diri Kenanga karena di satu sisi ia menikmati status kebangsawanannya di mata masyarakat, sedang di sisi lain ia tertekan karena masih saja dianggap sudra. Tak hanya melahirkan sikap ambivalensi perubahan dari Luh Sekar menjadi Jero Kenanga, sekali lagi membuatnya terbuang. Oleh ibunya ia sudah tidak diakui sebagai anak karena derajatnya kini lebih tinggi, ia seorang Jero Kenanga. Sedangkan di griya, Nenek (ibu mertuanya) tetap menganggapnya sebagai Luh Sekar, si perempuan sudra. 7 Dan perempuan yang ketiga adalah Ida Ayu Telaga Pidada. Ia penari yang lahir dari ibu sudra dan ayah brahmana. Ia dihormati sebagai bagian dari kalangan bangsawan. Namun kemudian harkatnya diruntuhkan: lewat sebuah upacara, ia dijadikan perempuan sudra hanya karena mencintai seorang Wayan.8 Telaga adalah sosok kompleks yang ditampilkan pengarangnya. Banyak pertentangan dalam hidupnya, sejak kecil dibesarkan dalam keluarga yang semrawut. Ayahnya lelaki bejat yang mati di pelukan seorang pelacur, ibu dan neneknya selalu silang pendapat dan tak jarang beradu argumen di depannya. Sedang kakeknya hanya ia anggap patung dan pelengkap neneknya saja, kerena kenyataannya lalki-laki itu memang kerjanya hanya berdiam diri di rumah. Sosok Telaga sudah sejak lama tidak kerasan berada di tengah-tengah keluarga bangsawan, baginya brahmana adalah suatu kemunafikkan. Hidup tidak selamanya berada dalam aturan adat. Telaga adalah perempuan gelisah yang sesungguhnya ogah mengamini begitu saja kehendak lingkungannya. Ia menghendaki emansipasi, ia mau kesejajaran antar individu. Ia keki terhadap kaum lelaki yang mau menang sendiri. Namun, di pihak lain ada juga semacam sikap pasrah untuk menerima segala paksa. Kalaupun perlawanan, itu tetap
7

Novi Diah Hariyanti, Subaltern dan Konstruksi Sosial Masyarakat Bali dalam Novel Tarian Bumi, tersedia dalam http://ruangkata-katavie.blogspot.com/2011/03/jejak-kekerasan-dalam-novel-tarianbumi.html, diunduh pada tanggal 25 Juni 2011 pukul 21.13 WIB Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Bimbang Hati Perempuan Bali. Jakarta:Detak. 2000, hlm. 106

12

masa berlangsungnya diam-diam semata.9 Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup harus terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga (Rusmini, 2007:175). Telaga juga merupakan sosok perempuan Bali yang sangat berani mendobrak hal yang sangat tabu di Bali. Pilihan menikah dengan seorang sudra merupakan hal yang hina bagi seorang brahmana, harkat dan derajatnya mau tak mau harus turun pada tingkat kasta yang terendah. Tapi bagi Telaga, selama ia bisa terus dengan Wayan maka ia akan terus bahagia. Namun ternyata takdir memberikan jawaban lain, Wayan akhirnya ditemukan meninggal di studio lukisnya. Disini lah sangat terlihat bagaimana ambivalensi menguasai diri Telaga. Sejak Wayan meninggal, Telaga mulai mempertanyakan hidupnya. Ia meragukan keputusannya mmenikah dengan Wayan. Ketika akhirnya ia harus melakukan upacara Pattiwangi pun ia sebenarnya enggan untuk melakukannya, tapi karena suatu keharusan dari sang ibu mertua, maka ia menjalaninya juga walaupun harus menahan sakit. Telaga ingin bercerita bahwa dia bahagia. Karena bersama laki-laki sudra ini Telaga lebih memahami hidup Entah mengapa, sejak kepergian Wayan, Telaga mulai beran menanyakan pilihan hiduonya. Apakah ini sdudah semacam keraguan? (Rusmini, 2007:154). Kebahagiaan itu sulit digambarkan. Juga tidak bias diucapkan. Kadang-kadang sesuatu yang tidak bernilai bias membuat kita tentram, lalu beberapa detik kemudian terenggut lagi. Tiang tidak tahu bagaimana merasakan arti kebahagiaan itu sendiri. Terlalu mahal (Rusmini, 2007:170). Ini juga merupakan klimaks dari novel Tarian Bumi, betapa hebat perjuangan perempuan Bali pada masa itu, masa di mana adat dan kasta masih sangat kuat mengikat tapi tubuh dan jiwa tidak bias menolaknya. Pelajaran yang sangat berharga yang tersembunyi di balik cantiknya sunset di pantai Kuta, pulau dewata.

Ibid., hlm. 107

13

BAB III PENUTUP

Tarian Bumi merupakan novel yang pantas untuk diapresiasi. Oka Rusmini mampu menggambarkan sisi lain Bali yang penuh dengan perjuangan manusianya, yang merupakan cerita yang berbeda yang disajikan pengarang kepada pembaca, khususnya rakyat Indonesia. Banyak konflik dan peristiwa yang terjadi di dalam novel tersebut, pemberontakan dan kepasrahan merupakan hal yang sangat berhubungan satu sama lain. Tapi, jika keduanya dirasakan dan disatukan secara bersamaan maka yang akan timbul adalah sebuah ambivalensi bagi si penderita. Ambivalensi yang dialami ketiga tokoh utama terjadi tidak secara bersamaan. Namun, ketiganya sama-sama mengalami ketika perjalan hidup mereka berada pada klimaksnya. Tokoh Ida Ayu Sagra Pidada mengalami ambivalensi ketika suaminya mulai lupa diri hingga akhirnya diam-diam mempunyai simpanan seorang sudra. Dan Luh Sekar mulai merasakan ambivalensinya ketika ia telah menikah dan masuk ke dalam keluarga Brahman dan menjadi Jero Kenanga. Sedangkan Ida Ayu Telaga Pidada mulai mengalami ambivalensi ketika akhirnya suaminya meninggal dan ia diharuskan menjalani upacara Pattiwangi.

14

DAFTAR PUSTAKA
Adiel, Teori Objektif, tersedia dalam http://adiel87.blogspot.com/2009/11/teori-objektif.html, diunduh pada tanggal 26 Juni 2011, pukul 21.30 WIB. Hariyanti, Novi Diah Hariyanti, Subaltern dan Konstruksi Sosial Masyarakat Bali dalam Novel Tarian Bumi, tersedia dalam http://ruangkata-katavie.blogspot.com/2011/03/ jejak-kekerasan-dalam-novel-tarian-bumi.html, diunduh pada tanggal 25 Juni 2011 pukul 21.13 WIB. Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2005. Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Bimbang Hati Perempuan Bali. Jakarta:Detak. 2000. Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Romadhona, Gita, TARIAN BUMI: Perempuan, Kasta, dan Pemberontakan, tersedia dalam http://secangkircokelat.blogspot.com/2006/10/tarian-bumi-perempuan-kasta-dan.html, diunduh pada tanggal 22 Juni 2011 pukul 23:35 WIB. Rusmini, Oka, Tarian Bumi, Jakarta: Gramedia, 2007. Teeuw, A. Sastera dan Ilmu sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. Utomo , S. Prasetyo, Djenar, Ayu, Oka, dan Eksplorasi Seks Itu, Semarang: Harian Suara Merdeka, 2003.

15

You might also like