Professional Documents
Culture Documents
Dalam beberapa hari semenjak tahun 2008 dimulai, tekanan terhadap inflasi dalam negeri rupanya telah menunjukkan peningkatan yang kurang menggembirakan. Masih belum baiknya distribusi dan penyediaan kebutuhan pokok di dalam negeri rupanya telah memperparah angka inflasi Indonesia. Pada hari Selasa yang lalu, seperti yang dilansir Antara, Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah mengatakan bahwa kajian penelitian BI memperlihatkan tekanan inflasi pada 2008 maksimum terjadi 6,3%, bila pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun. Lebih lanjut ia mengatakan, "Para peneliti di BI melihat justru pada 'high end' dekat ke arah 6%, dan bahkan bisa melewati 6%, maksimumnya 6,3% apabila tidak ada usaha yang dilakukan, jadi apabila tidak melakukan apa-apa, maka itulah yang akan terjadi". Untuk itu, ia mengemukakan, pihaknya bersama pemerintah akan terus berupaya untuk mengendalikan tekanan inflasi yang kuat pada 2008. Menurutnya, pemerintah akan mengendalikan inflasi dengan berupaya perbaikan di bidang distribusi dan upaya penyediaan kebutuhan pokok. Banyak pihak mulai meragukan kemampuan pemerintah untuk merealisasikan target penurunan inflasi dalam negeri sebesar lima plus minus satu dapat tercapai. Apalagi jika dilihat dalam dua tahun sebelumnya, terbukti pemerintah juga telah meleset dari target penurunan inflasi yang ditetapkannya. Kenaikkan harga minyak dunia pada akhir tahun 2007 yang sempat mencapai $100 dollar per barel kemarin pun ternyata masih berdampak pada harga barang kebutuhan di dalam negeri. Seperti yang dikatakan Anton Gunawan, seorang ekonom Citibank kepada Antara, Kami memperkirakan tingkat inflasi 2008 bergerak lebih tinggi sebagai kelanjutan dari berbagai kecenderungan sebelumnya. Menurutnya kenaikan harga pangan serta tingginya tekanan pada inflasi inti, seperti gejolak kurs, pertumbuhan jumlah uang edar, akan meningkatkan tekanan pada inflasi. Disamping itu Indonesia diperkirakan juga masih akan menghadapi sejumlah masalah yang menyebabkan tekanan pada inflasi, seperti adanya gangguan arus barang dan jasa serta memburuknya infrastruktur. Untuk hal yang satu ini, tentunya Indonesia juga harus waspada, mengingat selama ini masih banyak pemenuhan kebutuhan barang di Indonesia bergantung pada arus impor dari luar negeri. Sebut saja barang-barang elektronik, suku cadang kendaraan, serta berbagai macam piranti komputer, mulai dari hardware hingga software, Indonesia masih sangat bergantung pada arus barang dagang dari luar negeri, alias import. Tentu saja hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri, mengingat nilai tukar rupiah terhadap dollar pun ternyata hingga saat ini belum menunjukkan perbaikan yang signifikan, apalagi kestabilan. Khusus untuk bidang IT, kerawanan terhadap distribusi hardware maupun software dari luar negeri tetap merupakan ancaman terbesar dalam masalah ini. Mengingat ketergantungan Indonesia terhadap arus barang datang serta belum mampunya industri dalam negeri memenuhi kebutuhan jenis barang ini. Selain itu, dari segi harga barang-barang jenis ini juga diperkirakan
masih akan sangat fluktuatif, mengingat gejolak ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang masih berlangsung hingga saat ini.
Sebagai gejala historis maka tingkat inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Mengapa? Dan Apakah ini menguntungkan kehidupan serta pembangunan ekonomi? Pada umumnya tidak. Kinerja ekonomi dan laju pertumbuhan PDB di Thailand dan Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia. Di Asia Tenggara Indonesia lebih mirip Filipina. Inflasi di Filipina juga lebih tinggi (sedikit) daripada di Thailand dan Malaysia, dan laju pertumbuhan ekonomi Filipina juga di bawah Thailand dan Malaysia. Kinerja ekonomi mana lebih baik, di Indonesia atau di Filipina? Ini agak susah dijawab. Mungkin Filipina lebih baik sedikit. Filipina sesudah perang dunia kedua sudah mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara ASEAN, akan tetapi sesudah itu di lampaui oleh Thailand dan Malaysia. Sekarang pendapatan orang di Filipina mungkin masih lebih tinggi sedikit daripada di Indonesia, akan tetapi perbedaannya tidak banyak. Filipina sering disebut the sick man of Asia, dan akar penyakitnya ada di struktur sosialnya. Tetapi struktur sosial di Indonesia lain daripada di Filipina, yang dikuasai oleh sekelompok tuan tanah yang besar, antara lain keluarga Presiden. Mungkin kelebihan di Malaysia dan Thailand (dibandingkan Indonesia) adalah peran unsur penduduk Tionghoanya di perekonomiannya lebih besar. Di Indonesia penduduk etnis Tionghoa juga menguasai ekonomi tetapi tidak punya pengaruh politik. Di Indonesia politik ada di tangan penduduk golongan pribumi yang mayoritas. Mungkin perbedaan ini menyebabkan kualitas politik ekonomi di Indonesia lain daripada di Thailand dan Malaysia. Maka mungkin juga akar inflasi yang tinggi ada di keadaan sosial-politik ini. Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah, Salah suatu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya. Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak daripada nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia. Inflasi di Indonesia di zaman Suharto pun lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand, walaupun tingkat inflasi di zaman Suharto sudah jauh lebih rendah daripada di zaman Bung Karno. Itu akibat perubahan policy dari team ekonomi yang dikendalikan oleh Prof. Widjojo dan Ali Wardhana. Mereka berhasil mengurangi inflasi yang sebelumnya ratusan persen setahun dan merupakan runaway inflation. Senjatanmya adalah balanced budget, anggaran pemerintah yang berimbang. Rumus ini cukup berhasil. Di zaman Orde Baru itu maka belum ada ketentuan bahwa Bank Indonesia mempunyai misi utama menjaga nilai rupiah, alias pengekangan inflasi. Baru setelah Reformasi tahun 1998 ketentuan demikian dituangkan dalam undang-undang yang menjaga independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Ini banyak membantu untuk mengurangi inflasi. Apakah lalu kebijakan anggaran belanja pemerintah menjadi sumber inflasi? In prinsip, tidak. Karena prinsip anggaran belanja yang berimbang masih dipertahankan. Akan tetapi, dalam praktek ini belum merupakan jaminan. APBN yang meningkat, walaupun tetap berimbang, dampaknya inflator. Prinsip anggaran berimbang tidak boleh dipegang terlalu kaku.
Misalnya, akhir tahun 2005 ada kelebihan penerimaan besar karena sebagian subsidi BBM dihapus. Jumlah ini lalu dipaksakan menjadi pengeluaran pemerintah atas nama anggaran yang berimbang. Policy demikian ikut meniup inflasi. Sebetulnya anggaran belanja pemerintah harus diperbolehkan mengumpulkan surplus yang dampaknya akan deflator. Akan tetapi, selalu ada tekanan dari masyarakat agar pemerintah mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, atau untuk membantu sektor pendidikan dan kesehatan. Di sinilah pemerintah terjebak gejala orang miskin yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya. Ide fix masyarakat adalah kalau pemerintah meningkatkan pengeluaranya untuk pembangunan maka laju pertumbuhan ekonomi akan naik. Ini salah pikir. Yang lebih menentukan tingkat laju pertumbuhan ekonomi adalah total investasi di masyarakat, termasuk dari swasta dalam dan luar negeri. Jumlah ini tidak akan optimal kalau iklim moneternya serba inflator, yang mengganggu stabilitas ekonomi dan menambah resiko. Kemakmuran yang dibawa oleh inflasi adalah semu. Orang merasa lebih kaya oleh karena pegang uang lebih banyak. Akan tetapi nilai uang merosot sehingga akhirnya orang atau masyarakat itu menjadi lebih miskin.
Kredit perbankan April 2008 naik Rp 22,9 triliun (2,1 persen) dari Rp 1.080,1 triliun menjadi Rp 1.103,1 triliun. Secara year-on-year (April 2008 -April 2007), kredit meningkat Rp 247,7 triliun atau sekitar 29 persen%. Sekitar 71 persen dari total kredit ini dialokasikan kepada kredit modal kerja dan investasi. DPK pada periode yang sama naik 1,1 persen dari Rp 1.466,2 triliun (Maret 2008) menjadi Rp 1.481,8 triliun (April 2008). Kenaikan kredit yang lebih besar dari kenaikan DPK pada bulan ini menyebabkan rasio LDR perbankan naik dari 73,7 persen (Maret 2008) dan kembali mencapai level tertinggi 74,4 persen pada April 2008. Sementara rasio non performing loans (NPL) perbankan baik gross maupun net naik sedikit, dari 4,33 persen menjadi 4,39 persen, dan dari 1,78 persen menjadi 1,83 persen. antara/is
Perkembangan nilai inflasi di Indonesia sendiri mengalami pasang surut. Hal ini terlihat dari nilai aktual yang ada dalam data BI. Pada tahun 2001, target inflasi sekitar 4% - 6% dengan aktualisasi sebesar 12,55%. Sementara itu, pada tahun berikutnya adalah sebagai berikut.
y y y y y y y y y y
Tahun 2002 (9%-10% ; 10,03%) Tahun 2003 (9%-10% ; 5,06%) Tahun 2004 (5,5% 1%; 6,40%) Tahun 2005 (6% 1%; 17,11%) Tahun 2006 (8%1%; 6,60%) Tahun 2007 (6%1%; 6,59%) Tahun 2008 (5%1%;11,06%) Tahun 2009 (4,5%1%;2,78%) Tahun 2010 (5%1%; - ) Tahun 2011 (5%1% ; -)