You are on page 1of 11

1

KONSEP LINGKUNGAN HIDUP DAN PENDIDIKAN ISLAM


dalam Perspektif Teologi Pendidikan
Oleh: Imam Nasruddin
1



Pendahuluan
Islam adalah agama yang komprehensip (syaamil), sempurna (kaamil) dan
menyempurnakan semua sistem yang lain (mutakaamil). Islam mengatur semua sisi
kehidupan manusia. Islam adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Yang Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana, hal ini didasarkan pada firman Alah swt : Pada
hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan atasmu nikmatku,
dan Aku ridhai Islam sebagai aturan hidupmu (5: 3). Oleh karena itu, aturan Islam
haruslah mencakup semua sisi yang dibutuhkan oleh manusia dan kehidupannya.
Demikian tinggi, indah dan terperincinya aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini,
sehingga bukan hanya mencakup bagi sisi sesama manusia saja, melainkan juga
terhadap alam dan lingkungan hidupnya.
Jika Islam itu artinya tunduk dan patuh kepada iradah (kehendak) Allah,
maka kehendak-kehendak Allah itu perlu kita kenal dan pelajari agar kita dapat
memahami serta mematuhinya sebagai muslim yang baik (M. Imaduddin
Abdurrahim, 2002: 15). Memahami alam adalah bagian yang tidak terpisahkan agar
terjadi keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dengan alam tetap
terjamin.
Berkaitan dengan keharmonisan alam ini, Imaduddin melukiskan bahwa
kelestarian dan keharmonisan alam jagat raya ini telah dijamin oleh Allah swt.
Selanjutnya Allah memberikan tantangan bagi manusia agat meneliti andai manusia
menemukan cacat, ketidaksempurnaan atau kerusakan di dalam ciptaan-Nya. Allah
berfirman dalam al Quran (67: 3-4):

1
Pendidik di MAN Sakatiga Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.

2
_ _l> _,. ,... !!,L !. _. _l> _..-l _. ,'.. _>! .,l
_> _. _. L _ . _> .,l _,. `l1., ,,l| .,l !..l> > ,.> _

(3.) Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.
Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (4.)
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan
payah.
Ayat ini memberikan pemahaman bahwa al Quran sangat menggalakkan
manusia memperhatikan bahkan meneliti alam dan menemukan ayat-ayat yang
mengatur fenomena alam. Ibnu Rusyd mengatakan alam raya ini adalah kitab Allah
pertama yang diturunan sebelum kitab-kitab lain yang berbentuk kumpulan wahyu-
Nya. Gejala alam telah berbicara kepada mereka yang mau mengganti akan ayat-
ayat Allah yang telah dipatuhi itu (M. Imaduddin Abdurrahim, 2002: 26).
Penciptaan alam raya termasuk lingkungan kosmos manusia (tanah, air dan
udara) telah ditentukan qadar-nya (ukurannya atau ketentuannya) yang harus
senantiasa dijaga dan dilestarikan. Maka, siapa yang merusaknya berarti telah
merusak qadar Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran (15: 19-20):
Dan kami Telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung
dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami Telah
menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan
pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya.
Hal ini berarti bahwa masyarakat dunia membutuhkan peran agama guna
menumbuhkan kesadaran otentik dalam diri manusia, yaitu nilai-nilai agama.
Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam mempengaruhi
sikap dan perilaku pemeluknya dalam kehidupan. Artinya, pemahaman agama saat
ini tidak lagi berkutak pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga
harus beranjak ke aspek-aspek nyata masyarakat pemeluknya. Dengan nilai-nilai

3
agama, manusia akan memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca
tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk
melestarikan lewat hukum dan sejumlah peraturan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, lingkungan sangat berguna bagi
kehidupan manusia. Manusia sangat membutuhkan lingkungan dan berperan dalam
lingkungan hidup. Lingkungan mencakup segala sesuatu yang ada di sekitar manusia.
Bahkan manusia pun dapat dikategorikan sebagai lingkungan hidup. Pembentukan
lingkungan yang baik menjadi tugas dan tanggungjawab manusia. Dalam konteks
tulisan ini fokusnya adalah prinsip-prinsip al Quran tentang lingkungan hidup.

Pengertian Lingkungan
Manusia wajib memelihara dan menjaga lingkungan hidup agar tetap lestari
dan alami. Hal ini disebabkan, karena lingkungan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dala kehidupan manusia. Lingkungan hidup menurut Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997, didefiniikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup. Dalam pengelolaan lingkungan hidup, manusia mempunyai
peranan yang sangat penting. Karena pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri,
pada akhirnya ditujukan untuk keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi
ini.
Selanjutnya lingkungan hidup (Human Ecology) menurut H.A. Mattulada
(1994) meliputi makhluk biologis, makhluk bermasyarakat dan sebagai insan
budaya. Dapat dikatakan, lingkungan hidup manusia terdiri atas: 1) lingkungan bio-
fisik, 2) lingkungan sosial, dan 3) lingkungan budaya. Adapun Yusuf al-Qardhawi
(2002) (dalam Jalaluddin, 2008: 3) menilai lingkungan hidup meliputi yang dinamis
(hidup) dan yang statis (mati).
Lingkungan dinamis (hidup), lanjut al Qardhawi meliputi wilayah manusia,
hewan, dan tumbuhan. Sedangkan lingkungan statis (mati) meliputi alam (thabiah)
yang diciptakan Allah, dan industri (shinaiyyah) yang diciptakan manusia.

4
Lingkungan statis ini dapat dibedakan dalam dua kategori pokok. Pertama, bahwa
seluruh alam ini diciptakan untuk kemaslahatan manusia, membantu dan memenuhi
semua kebutuhan mereka. Kedua, bahwa lingkungan dengan seisinya, satu sama lain
saling mendukung, saling menyempurnakan, saling menolong, sesuai dengan
sunnah-sunnah Allah yang berlaku di jagat raya ini.
Di sini terlihat, bahwa naturnya lingkungan itu berada dalam sebuah sistem
tatanan yang harmonis. Menurut H.A. Mattulada (1994), saling hubungan dan
ketergantungan antara segenap anasir melahirkan apa yang disebut sistem
lingkungan (ecosystem). Suatu sistem yang berlaku pada lingkungan hidup sosial
dan lingkungan hidup budaya, sebagai keseluruhan lingkungan hidup manusia.
Ketiga lingkungan hidup (alam fisik, sosial dan budaya) itu pun berada dalam saling
berhubungan dan saling ketergantungan (dalam Jalaluddin, 2008: 4).
Dari pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa lingkungan itu sebenarnya
ada dua, yaitu lingkungan manusia dan lingkungan selain manusia atau disebut juga
lingkungan alam (hewan, tumbuhan, sosial, benda, daya, keadaan dan termasuk
juga perilaku manusia). Atau dengan kata lain, lingkungan mencakup segala sesuatu
yang berada di sekitar manusia. Bahkan manusia pun dapat dikategorikan sebagai
lingkungan. Pembentukan lingkungan yang baik menjadi tugas dan tanggung jawab
manusia.
Setiap lingkungan memiliki esensi keperluan memelihara kelangsungannya.
Lingkungan bio-fisik, amat ditentukan kelangsungan hidupnya oleh air. Lingkungan
sosial kelangsungannya ditentukan oleh ketertiban hidup dan keteraturan hubungan.
Sedangkan lingkungan budaya kelangsungannya ditentukan oleh kelanjutan adanya
kreatifitas (daya cipta) dari pendukungnya.
Berangkat dari pemahaman ini terlihat peran strategis manusia dalam
hubungannya dengan pelestarian lingkungan. Nilai-nilai ajaran Islam
mengakomodasi peran tersebut dalam konsep Khalifah Allah fi al-Ard . Menurut M.
Quraish Shihab (1992), pengertian khalifah mencakup : 1) orang yang diberi
kekuasaan untuk mengelola wilayah luas ataupun terbatas; dan 2) memiliki potensi
untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.

5
Walaupun memperoleh anugerah status khalifah, namun sebagai makhluk
manusia memiliki kelemahan. Di awal penciptaannya, para malaikat sempat
mengendus sifat-sifat buruk pada manusia yang dinilai berpotensi untuk membuat
kerusakan di muka bumi ( QS, 2: 30). Namun, sesuai dengan kedudukan yang
diamanatkan kepadanya, Sang Khalik menganugerahkan peralatan lengkap kepada
manusia. Adam As. sebagai manusia pertama dianugerahi ilmu pengetahuan (Asma
Kullaha) dan teknologi (Aradhahum) melalui proses pendidikan langsung dari
Allah, seperti dalam al-Quran (2: 31), sebagai berikut:

l. :, ,!.- !l . .. _ls >.l.l _!1 _.:,. ,!.`.!, ,.> | ..
_,... _

Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!".

Babakan awal penciptaan manusia ini menggambarkan adanya hubungan
antara tugas kekhalifahan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), serta
nilai-nilai imani. Manusia hanya akan mampu melaksanakan tugas kekhalifahan
dimaksud, bila didasarkan pada prinsip utamanya, yakni iman kepada Allah dan
kreatifitas yang bersumber dari ilmu pengetahuan yang ia miliki. Keduanya
terangkum dalam kata-kata kunci amanu dan amil al-shalihat yang mengacu kepada
tugas dan tanggungjawab bersama.

Pendidikan Islam
Sebelum kita mengartikan apa sebenarnya pendidikan Islam itu, ada baiknya
kita mengetahui dahulu apa pengertian pendidikan secara luas dan arti pendidikan
secara sempit. Dalam hal ini Hasan Langgulung, mengartikan pendidikan secara luas

6
meliputi hampir semua bidang aktifitas manusia semenjak yang paling sederhana
seperti mencari kayu bakar untuk keperluan memasak nasi sampai kepada aktifitas
yang kompleks seperti berpikir secara individu dan secara kolektif. Pendeknya ia
mencakup bidang-bidang yang sama luasnya dengan peradaban itu sendiri. Ia
meliputi bidang-bidang seperti politik, ekonomi, seni, kemiliteran, ilmu, sastra,
pertukangan, pertanian, perdagangan, filsafat, matematik dan lain sebagainya.
Sedang pendidikan dalam arti sempit hanya meliputi aktifitas manusia untuk
memelihara kelanjutan hidupnya sebagai individu dan sebagai masyarakat. Dalam
proses pemeliharaan diri ini termasuklah pewarisan berbagai nilai, ilmu, dan
keterampilan dari orang ke orang dan dari generasi ke generasi untuk memelihara
identitasnya dari zaman ke zaman (
1
Hasan Langgulung, 2003: 4).
Pada pengertian lain pendidikan diartikan sebagai usaha sadar mengarahkan
perkembangan manusia yang bertujuan untuk mendewasakan manusia, agar mereka
mampu menolong dirinya sendiri. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa
manusia memerlukan pendidikan untuk kelangsungan hidupnya (Mahmud dan Tedi
Priatna, 2005: 81).
Di kalangan ahli teologi dan ahli filsafat Islam, Pendidikan Islam dapat
diartikan sebagai usaha menurunkan sifat-sifat Allah kepada peserta didik. Contoh,
Tuhan ini memiliki sifat qudrat yang dengan sifat ini dapat berbuat apa saja yang
dikehendakinya, rasional maupun tidak menurut ukuran manusia. Tetapi Tuhan
sekaligus menempatkan dirinya sebagai Dzat dengan karakter yang rahman dan
rahim, sehingga betapapun agung dan besarnya kekuasaan Tuhan, Ia tetap menjadi
penolong dan pelindung bagi yang tertindas dan bagi mereka yang lemah.
Di perspektif ini, pendidikan Islam semakna dengan penguatan potensi
manusia yang memiliki sifat Tuhan yang Qudrat sekaligus Quwwat. Sifat ketuhanan
ini seharusnya tetap dilekatkan kepada anak didik sebagai usaha untuk menjaga
fitrah manusia. Tujuannya agar kelak anak didik mampu membaca tanda-tanda
kekuasaan (masyah dan iradah) Tuhan di realita alam ini. Pun demikian, perlu juga
dicatatkan bahwa pendidikan Islam dituntut mentransformasikan sifat Allah lain
dalam rahman dan rahim itu, sehingga potensi untuk membaca tanda-tanda

7
kebesaran Tuhan itu, dapat dibombing oleh sikap dan sifat lemah-lembut dengan
menebarkan rasa kasih sayang kepada seluruh hamba Tuhan (Cecep Sumarna, 2007:
61-62).
Makna pendidikan Islam yang demikian setidaknya dapat diambil dengan
asumsi bahwa manusia dalam perspektif ahli kalam dan filosof Muslim berada dalam
dua posisi sinergis; hamba dan sekaligus khalifah Allah. Oleh karena itu, pendidikan
Islam pada hakekatnya adalah bagaimana mempertahankan dua fungsi kemanusiaan
sebagai abdullah dan sekaligus khalifah Allah yang memiliki potensi untuk
mengalami perubahan positif-negatif baik secara jismiyah (perbuatan fisik) maupun
aqliyah (perbuatan unfisik). Di wilayah ini, pendidikan Islam dapat diartikan
sebagai melakukan pemerdekaan manusia dari segala perbudakan. Sebab dalam
posisi sebagai abdullah manusia, hanya tunduk dan patuh kepada Allah dengan
harus menafikan seluruh ilah kecuali Allah (Cecep Sumarna, 2007: 62).
Ahmad Tafsir (1995: 137) mengartikan pendidikan Islam sebagai ilmu
pendidikan yang berdasarkan Islam, berdasarkan nilai-nilai Islami yang terdapat
dalam al Quran dan Sunnah Nabi. Pendapat A. Tafsir ini meski terkesan sangat
sederhana, tetapi jika diperhatikan dengan menyebut bahwa dasar pendidikan Islam
itu al Quran dan al Sunnah, maka kajian terhadap makna pendidikan akan menjadi
luas dan memerlukan waktu serta energi yang tidak sedikit. Belum kalau makna-
makna literatur dalam ayat-ayat al Quran dan Sunnah tadi didekati secara
hermeuneutik, pasti akan melahirkan perbedaan yang sulit memperoleh titik temu.
Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaebany (1975: 339), menjelaskan
pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui
proses kependidikan. Usaha melakukan perubahan ini harus dilandasi oleh nilai-nilai
Islami, yakni nilai-nilai yang terdapat dalam al Quran dan al Sunnah Nabi.
Kalau disimpulkan dari beberapa pendapat tadi, maka pendidikan Islam itu
sebenarnya diperuntukkan untuk manusia itu sendiri yang akhirnya akan
membentuk abdullah (dalam arti tunduk dan patuh kepada aturan sang Pencipta),
akan tetapi juga sebagai khalifah dalam arti yang lebih luas lagi. Bukan hanya

8
khalifah untuk umat manusia saja, akan tetapi juga mengatur alam dan kehidupan
agar lebih bersinergi dengan kehidupan manusia sesuai tuntutan Sang Pencipta tadi.

Nilai-nilai Teologi Pendidikan
Jagat raya dan seisinya ini adalah ciptaan Allah, karenanya disebut sebagai
makhluk Allah. Manusia, bumi, langit dan lainnya adalah bagian dari alam.
Walaupun demikian manusia merupakan makhluk yang paling mulia. Allah telah
menciptaan manusia tidak hanya berbeda dengan makhluk lain, tetapi juga
memberikan kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Allah
menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya, seperti yang tertera dalam al-
Quran (95: 4), sebagai berikut:
.1l !.1l> _.. _ _.> ,1. _
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya .
Sebagai makhluk yang mulia dan dianugerahi akal, maka manusia dapat
berpikir, memilih, dan memilah yang benar dan yang salah, memilih yang baik dan
yang buruk, dan dengan akal manusia dapat mengembangkan kehidupannya. Oleh
karena itu, manusia tidak boleh menimbulkan kerusakan terhadap alam dan
lingkungan bahkan ia harus memelihara alam dan lingkungannya seperti dalam al-
Quran (30: 41), sebagai berikut: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).
Lebih lengkap lagi, menurut Jalaluddin ( 2002: 34-36), secara garis besarnya
potensi yang diberikan kepada manusia itu terdiri atas empat potensi utama yang
secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu:



9
a). Hidayat al-Gharizziyat (potensi naluriah)
Dorongan ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara
keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Diantaranya dorongan berupa instink
untuk memelihara diri, seperti makan, minum dan penyesuaian tubuh dengan
lingkungan. Dorongan yang kedua yaitu dorongan untuk mempertahankan diri.
Bentuk dorongan ini berupa nafsu marah, bertahan atau menghindar dari gangguan
yang mengancam dirinya. Dorongan yang ketiga, berupa dorongan untuk
mengembangkan jenis. Dorongan ini berupa naluri seksual.
Ketiga macam dorongan tersebut melekat pada diri manusia secara fitrah.
Diperoleh tanpa harus melalui proses belajar. Karena itu dorongan ini disebut
sebagai dorongan naluriah (instinktif). Dorongan yang siap pakai, sesuai dengan
kebutuhan dan kematangan perkembangannya.

b). Hidayat al-Hassiyat (potensi indrawi)
Potensi indrawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk mengenal
sesuatu di luar dirinya. Melalui indra yang dimilikinya, manusia dapat mengenal
suara, cahaya, warna, rasa, bau dan aroma maupun bentuk sesuatu. Jadi indera
berfungsi sebagai media yang menghubungkan manusia dengan dunia luar dirinya.
Potensi indrawi yang umum dikenal terdiri atas indera penglihat, pencium,
peraba, pendengar dan perasa. Namun di luar itu masih ada sejumlah alat indera
dalam tubuh manusia seperti antara lain indera keseimbangan dan taktil. Potensi
tersebut difungsikan melalui pemanfaatan alat indera yang sudah siap pakai seperti
mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan otak maupun fungsi syaraf.

c). Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal)
Hidayat ini hanya dianugerahkan Allah kepada manusia. Adanya potensi ini
menyebabkan manusia dapat meningkatkan dirinya melebihi makhluk-makhluk lain
ciptaan Allah.
Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-
simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat

10
kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yang benar dari yang
salah. Kemampuan akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam
menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya
mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknoogi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.

d). Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Pada diri manusia sudah ada potensi keagamaan, yaitu berupa dorongan untuk
mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
Dalam pandangan antropolog, dorongan ini dimanifestasikan dalam bentuk percaya
terhadap kekuasaan supernatural (believe in supernatural being).
Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan yang tidak
dapat ditawar oleh siapa pun dan kapan pun. Oleh karena itu, pelestarian
lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara
spiritual fiqhiyah Islamiyah, Allah memiliki kepedulian ekologis yang paripurna.
Paling tidak dua pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir bahwa
lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan
Allah kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada
campur tangan manusia.
Seperti yang dimuat dalam Disertasi Cecep Sumarna (2007: 4), salah satu
kegagalan pendidikan adalah mengantisipasi krisis lingkungan. Saat ini alam berada
dalam keadaan yang labil karena terlalu banyak campur tangan manusia. Kasus
Tsunami yang terjadi 26 Desember 2004 di Aceh, Jogyakarta dan Pangandaran
pada tanggal 17 Juli 2006, yang telah menewaskan ratusan ribu orang, dalam
beberapa hal kejadian ini dapat disebut sebagai kegagalan manusia modern
meramahkan lingkungan dan hidup secara harmonis dan berdampingan dengan
alam. Dan, masih segar dalam ingatan kita di mana pada tanggal 2 September 2009
terjadilah gempa yang mengguncang Tasikmalaya Jawa Barat yang konon mencapai
skala 7,6 SR (skala richter), gempa ini terasa juga sampai di Kota Bandung pada
pukul 14.50 wib selama lebih kurang 20 detik. Ribuan nyawa manusia melayang,

11
kehilangan harta benda, rumah, binatang dan terlebih lagi kehilangan anggota
keluarganya. Bahkan, sampai hari ini, katanya, penanganan korban gempa termasuk
perumahannya belum terselesaikan.

Penutup
Kesalahan manusia yang tak termaafkan, adalah karena terlalu mengandalkan
konsep produk pemikiran manusia untuk mengatasi segala permasalahan
kehidupannya, tanpa mencari penyelesaiannya dengan menggunakan manual peran
agama guna menumbuhkan kesadaran otentik dalam diri manusia, yaitu nilai-nilai
agama. Padahal kegagalan telah menyeret dunia ke dalam jurang penderitaan. Salah
satu diantaranya adalah dalam masalah penanganan lingkungan hidup manusia itu
sendiri.
Untuk itu, maka diperlukan pendidikan yang selalu memadukan nilai-nilai
Ilahiyat dengan nilai-nilai modern yang akan membawa dunia lebih maju pada taraf
posmoderen akan tetapi dengan tetap tidak kehilangan aroma nilai-nilai ilahiyat
tadi.
Ajaran Ilahiyat telah jelas, bukan hanya larangan merusak lingkungan
kehidupan dan lingkungan alam, akan tetapi juga perintah melestarikannya agar
kelak sampai kepada generasi penerus pada zaman yang akan datang, sehingga nilai-
nilai Islami tetap lestari seperti yang umat Islam cita-citakan selama ini. Karena
pelestarian alam itu membutuhkan manusia, maka campur tangan manusia tetap
diperlukan akan tetapi tentu dengan bimbingan dan arahan Tangan Tuhan yang
Maha Kuasa, agar tidak terjadi kerusakan yang lebih fatal nantinya.

You might also like