You are on page 1of 15

1 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

KURIKULUM PENDIDIKAN JURNALISTIK;


PENDEKATAN INTEGRALISTIK DI ANTARA
KAPITALISME MEDIA
Oleh:
Rulli Nasrullah
(Dosen Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta)

Keywords ; Pendidikan Jurnalistik, Media, Integralistik, Kapitalisme


Media

ABSTRAK
Kurikulum Pendidikan Jurnalistik disesuaikan dengan Standar
Nasional Pendidikan yang nantinya diturunkan dalam Standar
Kompetensi dan Standar Isi. Yang riil dari standar itu dalam bentuk
kurikulum adalah apa yang disampaikan pengampu di dalam kelas
yang disebut dengan kurikulum terimplementasi. Yang menjadi
persoalan adalah apabila insitusi media menampung lulusan bukan
dari program studi jurnalistik. Kurangnya pengetahuan dan keahlian
jurnalistik tentu akan menjadi kendala utama yang mesti mendapatkan
perhatian serius, terlebih dengan masuknya era kebebasan pers di
Indonesia setelah tahun 1998 yang berakibat pada banyaknya
(institusi) media yang muncul.
Perkembangan media di Indonesia bisa dikatakan mengalami
kemajuan yang cukup pesat sejak pencabutan dua Peraturan Menteri
Penerangan (Permenpen), dilakukan oleh Menteri Penerangan kala itu,
M Yunus Yosfiah, pada tanggal 5 juni 1998. Kelonggaran yang ada
dalam Permempen yang baru tersebut mendorong berbagai badan
usaha maupun perorangan untuk menerbitkan media massa,
khususnya media cetak. Dalam dua minggu pertama sejak
diberlakukannya peraturan tersebut setidaknya sudah 20 SIUPP baru
2 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

telan dikeluarkan Deppen. Selanjutnya pada pertengahan 1999 jumlah


SIUPP baru yang dikeluarkan oleh lembaga ini menjadi 852.
Dalam banyak kasus, institusi media –dengan pertarungan
ideologi di dalamnya- menekankan aspek ekonomi media dibandingkan
aspek pelaksanaan fungsi media itu sendiri. Bahwa selain ada
pertimbangan-pertimbangan dasar yang menjadi acuan apakah
peristiwa dapat diberitakan atau program mata acara dapat disiarkan
kepada khalayak, ada pertimbangan lain, yaitu faktor untung-rugi bagi
institusi media yang bersangkutan. Persoalan yang muncul lainnya
bersinggungan dengan profesionalisme pelaku media. Misalnya,
wartawan yang mengabaikan kode etik jurnalistik ketika melakukan
praktek jurnalistik. Kasus Majalah Tempo dan pengusaha Tomi Winata
berkaitan dengan berita keterlibatan Tomi Winata atas megaproyek
Pasar Tanah Abang yang tidak dilakukan proses konfirmasi dan cover
both side sehingga berujung pada proses hukum adalah contoh kasus
bagaimana wartawan tidak bekerja pada kode etik jurnalistik.
Perkembangan Media di Indonesia di Era Kebebasan Pers
Perkembangan media di Indonesia bisa dikatakan mengalami
kemajuan yang cukup pesat sejak pencabutan dua Peraturan Menteri
Penerangan (Permenpen), dilakukan oleh Menteri Penerangan kala itu,
M Yunus Yosfiah, pada tanggal 5 juni 1998. Salah satu pasal yang
menjadi persoalan di kalangan pelaku media adalah berkaitan dengan
Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dalam
peraturan yang baru tersebut ditegaskan bahwa siapa saja, baik
perorangan dan atau kelompok, bebas menerbitkan media dan
peraturan tersebut tidak lagi mencantumkan sanksi pencabutan SIUPP
atau pembredelan bagi pers yang dinilai melanggar peraturan.1
Kebebasan dalam pengurusan SIUPP, bahkan tidak diperlukan lagi
pengurusan SIUPP dalam penerbitan, dan kelonggaran yang ada dalam
Permempen yang baru tersebut mendorong berbagai badan usaha
maupun perorangan untuk menerbitkan media massa, khususnya
3 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

media cetak. Dalam dua minggu pertama sejak diberlakukannya


peraturan tersebut setidaknya sudah 20 SIUPP baru telan dikeluarkan
Deppen. Selanjutnya pada pertengahan 1999 jumlah SIUPP baru yang
dikeluarkan oleh lembaga ini menjadi 852 SIUPP2. Jumlah tersebut
semakin bertambah ketika Deppen dibubarkan, diganti dengan Badan
Koordinasi Informasi dan Komunikasi Nasional (BKIKN), serta tidak
adanya lagi ketentuan yang mengharuskan setiap media massa yang
terbit harus memiliki SIUPP. Dan jumlah media semakin tahun semakin
bertambah banyak, baik itu media cetak, media elektronik, hingga
media online. Juga, terbitnya Undang-Undang No 40 Tahun 1999
tentang Pers semakin memberikan peluang besar tanpa harus phobia
terhadap tindakan represif pemerintah terhadap media media dalam
melakukan tugas-tugasnya.
Banyaknya media yang bermunculan tentu membawa konsekuensi
logis; bahwa semakin banyak diperlukan sumber daya manusia, dalam
hal ini wartawan. Ini artinya membuka peluang bagi lulusan jurnalistik
yang memang memiliki kompetensi untuk melakukan tugas-tugas
kewartawanan.
Namun, terbatasnya perguruan tinggi, baik negeri dan swasta,
yang menyelenggarakan program pendidikan di bidang jurnalistik
menyebabkan adanya ketimpangan antara kebutuhan dan
ketersediaan tenaga kerja yang ada. Sehingga untuk mengantisipasi
hal tersebut, mau tidak mau institusi media mengeluarkan kebijakan
bahwa dari program studi dan keahlian apapun bisa mendaftarkan diri
menjadi wartawan di institusi media mereka.
Di satu sisi, penyediaan peluang bagi lulusan program studi non-
jurnalistik membawa keuntungan tersendiri. Banyaknya rubrikasi atau
ragam mata acara yang disediakan oleh media membutuhkan
penguasaan dan keahlian yang khusus pula sehingga informasi yang
disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Misalnya,
rubrik ekonomi ditangani oleh para sarjana ekonomi , rubrik pertanian
4 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

ditangani oleh sarjana pertanian, begitu juga dengan rubrik-rubrik


yeng memang memerlukan dukungan keilmuan khusus. Hanya saja
persoalam spesialisasi atau pengkhususan ini akan memunculkan
persoalan lain, yaitu sarjana-sarjana yang direkrut tersebut –dalam
banyak kasus- tidak memahami kaidah-kaidah dalam jurnalistik, mulai
dari cara menulis berita, penggunaan bahasa, kaidah tata bahasa,
etika profesi, hingga teknik-teknik jurnalistik lainnya.
Proses (Penentu) Produksi Media
Metthew Kieran memberikan penegasan bahwa berita (atau
program mata acara di televisi) tidaklah dibentuk dalam ruang
hampa.3 Berita diproduksi dari ideologi dominan suatu wilayah
kompetensi tertentu. Ideologi yang dimaksud Kieran di sini tidak hanya
dalam arti ide-ide besar, juga bisa bermakna pada politik penandaan
atau pemaknaan.
Sementara Gramsci mengemukakan bahwa hubungan pemilik
modal dengan pekerja, atau dalam konteks organisasi media berarti
antara para wartawan dengan pemilik industri media merupakan
hubungan yang bersifat hegemonik. Di mana para wartawan tidak bisa
menyajikan realitas apa adanya tanpa mengaitkan ideologi media dan
kepentingan industri media yang bersangkutan. Hal yang sama
dikemukakan oleh Reese-Shoemeker (1996) dala penelitian tentang
sosiologi media bahwa faktor ideologi merupakan salah satu aspek
yang mempengaruhi isi media.
Dari sisi internal institusi media itu sendiri, pengaruhnya sangat
terlihat pada pola pandang yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kebijaksanaan redaksional guna mengkonstruksi realitas atau peristiwa
politik kepada publik. Bahkan bagi media massa hal tersebut jauh lebih
rumit karena tidak hanya melibatkan faktor politik, melainkan juga dari
segi ekonomi dan kepentingan dominan pemilik media dalam
menjalankan fungsi ekonomi-politik4.
5 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

Investor/Own
ers
Capital/Direction Profits/Influence

Parent
Corporation
Capital/Policy Revenues/Influence
Public Attention
News
Media Firm Source
Money s
News Departemen

Journalism Market
Norms (Business)
Norms
Public Attention
News
Source Organizational Culture
s Information

Newsworkers

News Decisions
(Discovering, Selecting,
Reporting Issues/events)
6 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

Content Attention/Money

Consumers

General Public

Penampang 1
Skema Pengaruh dalam Produksi Berita5
Skema yang ditawarkan oleh McNamus tersebut menjelaskan
bahwa selain perangkat-perangkat media itu sendiri ada empat
kekuatan lain yang mempengaruhi produksi berita, yaitu sumber (news
sources), pengiklan (advertisers), konsumen berita (news consumers),
dan publik (the general public). Lalu, siapa sebenarnya yang paling
memberikan pengaruh terhadap produksi media? Bagi Robert Entman
(1989) dan Philip Meyer (1987) konsumen memiliki peranan penting
dalam produksi media, Herbert Gans (1979) menegaskan bahwa
produksi berita merupakan hasil pertarungan antara kekuasaan yang
mendominasi dengan konsumen, J. Herbert Altschull (1984)
menyatakan “whoever pays the piper calls the tune” dengan demikian
siapa yang memiliki kekuatan finansial -dalam konteks ini pihak
pengiklan- dapat mengatur dan menentukan produksi berita apa yang
diinginkannya. Hal senada juga diungkapkan oleh Joseph Turow (1984)
yang menyatakan bahwa pihak pengiklan mempunyai peran yang
dominan dalam menentukan nilai berita, akan tetapi pada tahap
selanjutnya Turow menegaskan bahwa pemilik modallah yang memiliki
peran6.
Walau Robert Lichter, Stanley Rothman, and Linda Lichter (1986)
menyatakan bila penentu akhir dari produksi media adalah wartawan
itu sendiri7, akan tetapi intervensi yang mungkin diberikan oleh pemilik
modal atau karena pertimbangan iklan seringkali sebuah berita yang
layak diterbitkan harus mengalah demi kepentingan tersebut8. Kondisi
7 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

demikian menegaskan bahwa institusi media beroperasi atas dasar


kepentingan bisnis yang murni.
Selain itu, perekrutan wartawan yang bukan dari lulusan dan
memiliki kompetensi dibidang jurnalisik, menyebabkan kurangnya
daya tawar dan lemahnya kemampuan wartawan tersebut dalam
menjalankan profesinya di lapangan. Persoalan ini tidak menjadi
masalah besar bagi institusi media yang telah mapan dan memiliki
segmentasi pembaca yang telah terbentuk serta memiliki pemasang
iklan yang tetap. Sebab, institusi media yang bersangkutan dapat
menyelenggarakan kursus internal untuk menyiapkan tenaga
wartawan yang ahli dan siap pakai9. Materi-materi yang diajarkan
dalam kursus internal itu antara lain Tata Bahasa Indonesia, Teknik
Jurnalistik, Kode Etik Wartawan, Panduan Menulis Ragam Berita, hingga
mengupas persoalan hukum dan psikologi sosial. Sementara waktu
pelatihan yang diberikan antara tiga bulan hingga satu tahun. Selesai
dari pelatihan tersebut, calon wartawan tadi masih harus mengalami
masa-masa uji coba yang memungkinkan untuk tidak diterima sebagai
wartawan institusi media yang bersangkutan. Hal ini berarti, walau
secara kompetensi calon wartawan itu bukan lulusan yang
berkonsentrasi pada jurnalistik, tetapi dengan mengikuti pendidikan
internal yang disediakan oleh institusi media yang bersangkutan dapat
dipastikan bahwa calon wartawan itu telah siap menjalankan
profesinya.
Namun, untuk menjalankan kursus internal dengan materi yang
telah disebutkan sebelumnya memerlukan waktu, sumber daya
manusia, dan tentu saja biaya yang tidak sedikit. Apalagi bila hal
tersebut dilakukan secara rutin setiap tahunnya -yang disebabkan
adanya tenaga-tenaga lama yang sudah memasuki masa pensiun atau
pindah bekerja ke institusi media lain- tentu akan menjadi persoalan
serius yang mesti dipikirkan oleh pemilik modal. Dan akan persoalan
akan semakin serius bila institusi media tersebut tergabung dalam
8 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

kelompok media yang memiliki penerbitan di daerah serta bagi


institusi media yang dibangun hanya dengan modal yang sekadarnya
saja. Sehingga sangat beralasan bila banyak institusi media yang tidak
Terbatasnya perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
jurnalistik dan semakin banyaknya media yang secara signifikan juga
menerima banyak lulusan perguruan tinggi yang bukan sesuai dengan
kompetensi dan kompetisi bidang pekerjaan adalah kenyataan yang
tidak bisa dihindari. Bila pemilik institusi media dihadapkan pada
pilihan mengadakan pendidikan internal bagi calon wartawannya
dengan pilihan memanfaatkan dana pelatihan untuk kepentingan
peningkatan kualitas atau dalam kondisi yang ekstrim sampai pada
pilihan yang penting koran/majalah memerlukan biaya cetak, maka
jelas pilihan jatuh pada yang terakhir10.
Jelas, ini adalah persoalan!
Mengurai Persoalan Praktik Jurnalisme
Kondisi yang telah disebutkan di atas setidaknya akan membawa
persoalan, salah satunya adalah, dalam banyak kasus, institusi media –
dengan pertarungan ideologi di dalamnya- menekankan aspek
ekonomi media dibandingkan aspek pelaksanaan fungsi media11 itu
sendiri. Bahwa selain ada pertimbangan-pertimbangan dasar yang
menjadi acuan apakah peristiwa dapat diberitakan atau program mata
acara dapat disiarkan kepada khalayak12, ada pertimbangan lain, yaitu
faktor untung-rugi bagi institusi media yang bersangkutan. Apakah
jumlah ekslempar akan lebih banyak terjual atau rating tayangan akan
naik menjadi faktor penting yang ikut masuk dalam proses produksi
berita atau program, bahkan dalam banyak kasus menjadi faktor yang
mendominasi.
Persoalan yang muncul lainnya bersinggungan dengan
profesionalisme pelaku media. Misalnya, wartawan yang mengabaikan
kode etik jurnalistik13 ketika melakukan praktek jurnalistik. Kasus
Majalah Tempo dan pengusaha Tomi Winata berkaitan dengan berita
9 | Kurikulum Pendidikan Jurnalistik

keterlibatan Tomi Winata atas megaproyek Pasar Tanah Abang yang


tidak dilakukan proses konfirmasi dan cover both side sehingga
berujung pada proses hukum adalah contoh kasus bagaimana
wartawan tidak bekerja pada kode etik jurnalistik. Belum lagi dengan
adanya ungkapan-ungkapan seperti “wartawan amplop”, “wartawan
pemeras”, atau “wartawan kuning” seringkali terdengar dan
dikeluhkan para narasumber dan mereka yang “dipaksa” menjadi
narasumber; semakin jelaslah bahwa persoalan etika wartawan
menjadi masalah yang dihadapi oleh media.
Distorsi terhadap indentitas sosiol budaya adalah persoalan lain
yang muncul terhadap tidak terintegralnya kurikulum pendidikan
jurnalistik, baik dalam penggunaan Bahasa Indonesia maupun
dominasi selera pasar dalam pemberitaan/program acara yang
dilakukan olek pelaku media. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan
bahwa Bahasa Indonesia diajarkan kepada seluruh mahasiswa di
pelbagai jurusan/program studi karena masuk dalam kelompok MKDU
(Mata Kuliah Dasar Umum), akan tetapi hasil akhirnya tidak
menghasilkan mahasiswa yang mampu menulis14. Ditambah dengan
tidak adanya pelatihan menulis Bahasa Indonesia sesuai dengan
kaidah tata bahasa dan menurut EYD (Ejaan Yang Disempurnakan)
yang disediakan khusus oleh institusi media –dan dalam banyak kasus
sturktur keredaksian media yang tidak menempatkan khusus seorang
redaktur pengoreksi bahasa- sehingga mengakibatkan mudahnya
ditemui kesalahan-kesalahan kalimat dalam publikasi; mulai dari
struktur kalimat, logika kalimat, sampai pada penggunaan kata-kata
yang tidak sesuai dengan kaidah berbahasa yang baik. Juga, adanya
stereotype yang dilakukan media, misalnya, bahwa foto-foto yang
tragis, kejam, bahkan mengerikan adalah foto yang sangat disenangi
oleh khalayak dibandingkan foto-foto yang humanis15.

Pendekatan Integralistik dalam Kurikulum Jurnalistik


10 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

Kompetensi Pendidikan Jurnalistik yang diselenggarakan di


perguruan tinggi di Indonesia adalah jenjang pendidikan yang
menyiapkan tenaga-tenaga jurnalis siap pakai dan atau memiliki
kompetensi di bidang jurnalistik; baik itu cetak, elektronik, dan online.
Oleh karena itu, Kurikulum Pendidikan Jurnalistik disesuaikan dengan
Standar Nasional Pendidikan yang nantinya diturunkan dalam Standar
Kompetensi dan Standar Isi. Yang riil dari standar itu dalam bentuk
kurikulum adalah apa yang disampaikan pengampu di dalam kelas
yang disebut dengan kurikulum terimplementasi, entah itu berupa
teori maupun praktek.
Matakuliah seperti Bahasa Indonesia, Dasar-Dasar Kepenulisan,
Teknik Wawancara, Menulis Berita, Fotografi, dan atau Menulis Skrip
merupakan matakuliah yang memberikan kemampuan teknik
jurnalistik kepada mahasiswa. Sementara matakuliah seperti Etika
Jurnalistik, Pengantar Hukum Indonesia, Pengantar Politik Indonesia,
atau Psikologi Sosial memberikan kemampuan non-teknik bagi
mahasiswa. Dua kemampuan ini merupakan bagian integral dalam
membentuk kompetensi lulusan program studi jurnalistik. Sehingga
ketika masuk dalam dunia kerja di bidang jurnalistik para lulusan
program studi ini tidak menemui kendalam dalam melakukan
tugasnya.
Yang menjadi persoalan adalah apabila insitusi media menampung
lulusan bukan dari program studi jurnalistik. Kurangnya pengetahuan
dan keahlian jurnalistik tentu akan menjadi kendala utama yang mesti
mendapatkan perhatian serius, terlebih dengan masuknya era
kebebasan pers di Indonesia setelah tahun 1998 yang berakibat pada
banyaknya (institusi) media yang muncul.
Namun, adalah tidak bijak merumuskan rekomendasi terhadap
semua institusi media bahwa semua wartawan yang direkrut haruslah
berasal dari program studi jurnalistik serta kewajiban pelaksanaan
pendidikan intrenal untuk setiap calon wartawan.
11 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

Oleh karena itu, beberapa usulan berikut sekiranya dapat


dijadikan pertimbangan baik bagi (calon) wartawan, institusi media,
khalayak media, hingga pemerintah yang pemegang regulasi
kebijakan. Pertama, sebagai salah satu kekuatan dalam pilar
demokrasi, keberadaan media menjadi penting. Apalagi mengingat
media merupakan saluran komunikasi yang paling efektif dan efisien
dibandingkan dengan saluran komunikasi yang lain16, sehingga
diperlukan tanggung jawab secara moral untuk melaksanakan tugas-
tugas jurnalistik dan berperan aktif dalam mengembangan segala
aspek dalam proses pembangunan di Indonesia. Contoh kasus yang
bisa dipaparkan di sini adalah dalam melestarikan Bahasa Indonesia
yang baik serta benar.
Kedua, Institusi media dan pemerintah –ditambah dengan
perguruan tinggi- sudah saatnya menjalin kerjasama untuk
meningkatkan kualitas wartawan dalam melakukan tugasnya. Biaya
yang mahal apabila institusi media harus melakukan sendiri
pendidikan secara internal dapat diatasi dengan melakukan kerjasama
antara institusi media dengan berbagai pihak, utamanya dengan
perguruan tinggi. Wartawan yang bukan berasal dari program studi
jurnalistik, misalnya, dapat mengikuti kuliah-kuliah jurnalistik dan
kebahasaan sebagai mahasiswa tamu. Sebaliknya, media juga
memberikan peluang bagi perguruan tinggi untuk mempublikasikan
penelitian dan atau kesempatan bagi para mahasiswa untuk
melakukan praktek kerja lapangan sebagai prasayarat utama dalam
menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dengan adanya simbiosis
mutualisme ini diharapkan persoalan yang dihadapi oleh media
terhadap calon wartawannya akan dapat diatasi.
Ketiga, berkaitan dengan etika wartawan maupun institusi media
dalam melakukan tugasnya, diperlukan keseriusan dari lembaga
independen seperti Dewan Pers yang dibentuk oleh pelaku media
sendiri utuk mengawasi, memberikan pertimbangan, hingga
12 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

melakukan teguran terhadap media. Hanya saja perlu adanya


pengembangan lebih lanjut terhadap keberadaan Dewan Pers, yaitu
dengan melibatkan banyak kalangan dari beragam sektor sehingga
lembaga ini akan semakin profesional dalam memberikan
pertimbangan terhadap kasus-kasus yang menimpa pelaku dan
institusi media. Selain itu, Dewan Pers bisa dijadikan lembaga yang
memberikan akreditasi bagi institusi media serta sertifikasi profesional
bagi wartawan. Bersama insitusi media, pemerintah, perguruan tinggi,
dan pihak-pihak terkait Dewan Pers bisa mengusulkan untuk
merumuskan panduan pendidikan jurnalistik yang standar dan
diberlakukan secara nasional, dengan tetap memperhatikan kekhasan
nilai-nilai lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B., Media Economics, Understanding Markets Industries
and Concepts, Ames-Iowa: Iowa State University Press, 1996
Alwasilah, A Chaedar, Bahasa Indonesia di PT, Harian Pikiran Rakyat,
Edisi Sabtu, 26 Agustus 2006
-----------------------------, Redefinisi Profesi Dosen, Harian Pikiran Rakyat,
Edisi Kamis, 5 Januari2 006
Atmakusumah (ed.), 10 Pelajaran untuk Wartawan, Jakarta:LSPP-
Kedutaan Besar Swiss, 2000
Bharata, Bonaventura Satya, “Dinamika Framing Surat kabar Indonesia
dan Kontroversi RUU Penyiaran 2002”, dalam Antonius Birowo,
Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: Gitanyali, 2004
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003
Hertsgaard, M., On Bendeed Knee, New York:Farrar, Straus, Giroux,
1988
Kieran, Matthew, News Reporting and the Ideological Presumption,
Journal of Communication, Vol. 47, No. 2, 1997
Litcher, Rothman & L Litcher, The Media Elite; America’s New
Powerbrokers, Bethesda, MD: Adler&Adler, 1986
McNamus, John H., Market Driven Journalism: Let The Citizen Beware?,
California: Sage Publication, 1994
13 | K u r i k u l u m P e n d i d i k a n J u r n a l i s t i k

McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit Erlangga,


1987
Nasrullah, Rulli, Membaca dengan Nurani, artikel budaya di Padang
Ekspres, edisi Minggu, 18 Maret 2007
Sen, Krishna dan David T Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia,
Jakarta:ISAI, 2000
Siregar, Ashadi, (et.all), Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk
Media Massa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998
Walseley, Ronald E. dan Laurence R. Campbell, Exploring Journalism,
New Jersey: Prentice-Hall, 1957
1
Kekuatan dari peraturan pemerintah yang melegalkan tindakan represif pemerintah untuk
menghentikan bahkan membubarkan institusi media sudah sejak lama disuarakan oleh kalangan
wartawan. Pembredelan terhadap Harian Sinar Harapan pada tahun1970-an hingga pada kasus
Majalah Tempo pada Juni 1994 merupakan contoh kasus bagaimana kontrol yang dilakukan
terhadap teks dan lembaga media yang dilakukan oleh pemerintah. Lebih lanjut baca Krishna
Sen dan David T Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta: ISAI,2000, hal.7
2
Diantara 825 SIUPP yang telah dikeluarkan masih didominasi oleh media umum sebanyak 561
media atau 64,84 persen ; media bisnis dan ekonomi serta politik sebanyak 83 buah atau 9,74
persen ; media hiburan, olahraga serta pariwisata sebanyak 49 buah atau 7,75 persen ; media
keluarga, kesehatan dan anak, gaya hidup dan perempuan sebanyak 40 buah atau 4,68 persen ;
media hukum, keadilan kriminalitas dan HAM sebanyak 39 media atau 4,57 persen ; media
pendidikan dan bursa kerja sebanyak 33 media atau 3,87 persen ; media keagamaan sebnayak
22 buah atau 2,58 persen ; media seni sastra dan kebudayaan 14 buah atau 1,64 persen serta
lain-lain 11 buah atau 1,22 persen.
3
Matthew Kieran, News Reporting and the Ideological Presumption, Journal of Communication,
Vol. 47, No. 2, 1997, hlm. 80 dan 85
4
John H. McNamus, Market Driven Journalism: Let The Citizen Beware?, California: Sage
Publication, 1994, kajian yang dilakukan oleh McNamus ini terutama mewakili paradigma kritis
dimana kebijakan suatu media juga terpengaruh oleh faktor ekonomi.
5
Ibid., hlm. 60
6
Untuk kasus Amerika Serikat, McNamus memandang secara lingkungan kerja yang
melandaskan pada kebijakan hukum, budaya, dan teknolgi, maka yang memainkan peranan
penting adalah pemilik modal dan investor utama media. Ibid., hlm. 32. Hal ini kembali
ditegaskan oleh Edward Herman dan Noam Chomsky yang menyatakan bahwa yang berkuasa
dalam menentukan keputusan akhir di ruang media adalah para penguasa dan pemilik modal.
Lihat dalam M. Hertsgaard, On Bendeed Knee, New York:Farrar, Straus, Giroux, 1988
7
Rothman Litcher & L Litcher, The Media Elite; America’s New Powerbrokers, Bethesda, MD:
Adler&Adler, 1986
8
Mc Namus, Op.cit, hal.30-31
9
Dalam pengamatan dan pengalaman penulis, institusi media-media yang menyelenggarakan
kursus internal bagi calon wartawan adalah KOMPAS-Gramedia Grup, Majalah Gatra, Kelompok
TEMPO, Media Group, jaringan berita nasional ANTARA, Media Nusantara Citra (RCTI, TPI,
GLOBALTV, Tabloid Genie, Tabloid Realita, Harian Seputar Indonesia, Radio GlobalFM, Radio
Trijaya, Women Radio, Radio DangdutTPI), Kelompok Surya Citra Televisi, dan Republika.
Sementara jaringan koran daerah terbesar di Indonesia, Jawa Pos Grup, yang juga mulai bermain
di televisi lokal tidak memberikan kursus internal jurnalistik bagi calon wartawannya.
10
Untuk melihat bagaimana institusi media di Indonesia lebih mementingkan faktor keuntungan
finansial dari pada pertimbangan kualitas isi dari berita atau program acara yang disiarkan bisa
dilihat dalam Krishna Sen dan David T Hill, Op.cit, hal.10-13
11
McQuail mencatat bahwa fungsi media terbagi atas dua bagian besar, yaitu fungsi media bagi
masyarakat dan fungsi media bagi individu. Bagi masyarakat, media berfungsi sebagai saluran
informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi. Sementara bagi individu, media
berperan besar sebagai tempat untuk mencari informasi, mengindentifikasikan idenitas pribadi,
integrasi dan interaksi sosial, serta sebagai hiburan. Lihat Denis McQuail, Teori Komunikasi
Massa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987, hal. 69-73
12
Dalam proses konstruksi terhadap realitas, pelaku media memiliki kriteria yang dijadikan
pedoman, yaitu kriteria teknis dan kriteria yang berkaitan dengan kualitas atau bobot produk
berita. Kriteria atau persyaratan teknis ini berkaitan dengan unsur-unsur peristiwa yang memiliki
nilai berita (news value). Sementara unsur-unsur nilai berita dari peristiwa atau realitas itu
adalah memiliki nilai penting (significance), kedekatan waktu (timeliness), peristiwa besar atau
melibatkan tokoh besar (magnitude), ada kedekatan (proximity), ketenaran peristiwa dan
sumber yang terlibat (prominence) dan unsur ketertarikan yang melibatkan sisi kemanusiaan
(human interest). Lihat dalam Bonaventura Satya Bharata, “Dinamika Framing Surat kabar
Indonesia dan Kontroversi RUU Penyiaran 2002”, dalam Antonius Birowo, Metode Penelitian
Komunikasi, Yogyakarta: Gitanyali, 2004, hal. 170-172 bandingkan dengan pendapat [ersyaratan
teknis nilai berita Ronald E. Walseley dan Laurence R. Campbell. Menurut mereka, ada dua faktor
yang dapat digunakan, yaitu faktor determinan dan faktor komponen. Sebagai faktor
determinan, Walseley dan Campbell membaginya dalam lima kriteria, yakni ketepatan waktu,
kedekatan, dikenal, konsekuensi, dan human interest. Sebagai faktor komponen, Walseley dan
Campbell menyebutkan bahwa komponen berita berkaitan dengan bagian yang ada di dalam
berita itu sendiri. Komponen berita biasanya dikaitkan dengan sumber berita atau keadaan yang
menyertai peristiwa tersebut. Misalnya, usia, jenis kelamin, atau kebiasaan. Lihat Ronald E.
Walseley dan Laurence R. Campbell, Exploring Journalism, New Jersey: Prentice-Hall, 1957, hal.
271-272 bandingkan pula dengan Siregar, Ashadi, (et.all), Bagaimana Meliput dan Menulis Berita
untuk Media Massa, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998
13
Undang-undang tentang kebebasan pers tidak hanya melahirkan banyak media, tetap juga
memunculkan banyak organisasi profesi kewartawanan yang masingmasing memiliki kode etik
tersendiri, seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dan AJTI
(Aliansi Jurnalis Televisi Indonesia). Namun, hasil kesapakatan antara organisasi profesi
kewartawanan tersebut muncullah Kode Etik Wartawan Indonesia, yaitu (1) Wartawan Indonesia
menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, (2) Wartawan Indonesia
menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan
identitas kepada sumber informasi, (3) Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak
bersalah, tidak mencampur fakta dnegan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran
informasi serta tidak melakukan plagiat, (4) Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi
yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan
susila, (5) Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi, (6)
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, off the record sesuai kesepakatan, dan (7) Wartawan Indonesia segera mencabut dan
meralat dalam pemberitaan serta melayani hak jawab. Selanjutnya lihat dalam Atmakusumah
(ed.), 10 Pelajaran untuk Wartawan, Jakarta:LSPP-Kedutaan Besar Swiss, 2000
14
Ada banyak persoalan dalam pengajaran Matakuliah Bahasa Indonesia di perguruan tinggi, yaitu
bobot matakuliah yang hanya 2 atau 4 sks, diajarkan oleh dosen muda yang kurang
berpengalaman dan tidak memiliki kemampuan menulis ilmiah atau menulis di media, kelasnya
relatif besar dan heterogen, pengulangan materi yang pernah diajarkan di SMU, tidak ada
klasifikasi berdasarkan kompetensi dan kebutuhan mahasiswa, rumusan tujuan perkuliahan yang
saalah alamat dan mubazir. Lebih jauh lihat A Chaedar Alwasilah, Bahasa Indonesia di PT, Harian
Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu, 26 Agustus 2006 dan juga Redefinisi Profesi Dosen, Harian Pikiran
Rakyat, Edisi Kamis, 5 Januari 2006
15
Ada kecenderungan bahwa saat ini media lebih mementingkan tampilan yang bernuansa sek,
kriminal, dan konflik. Baca Rulli Nasrullah, Membaca dengan Nurani, artikel budaya di Harian
Padang Ekspres, edisi Minggu, 18 Maret 2007
16
Hafied Cangara memaparkan lima karakteristik media sebagai medium dalam komunikasi
massa dibandingkan komunikasi personal, interpersonal, dan antarpersonal. Pertama, media
massa bersifat melembaga, pihak yang mengelola media melibatkan banyak individu mulai dari
pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi. Kedua, bersifat satu arah. Ketiga,
jangkauan yang luas, artinya media massa memiliki kemampuan untuk menghadapi jangkauan
yang lebih luas dan kecepatan dari segi waktu. Juga, bergerak secara luas dan simultan di mana
dalam waktu bersamaan informasi yang disebarkan dapat diterima oleh banyak individu.
Keempat, pesan yang disampaikan dapat diserap oleh siapa saja tanpa membedakan faktor
demografi seperti jenis kelamin, usia, suku bangsa, dan bahkan tingkat pendidikan. Kelima,
dalam penyampaian pesan media massa memakai peralatan teknis dan mekanis. Hafied
Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal.134-135

You might also like