You are on page 1of 34

Tugas Perekonomian Indonesia

Analisisi Determinan Inflasi di Indonesia

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat mata kuliah Perekonomian Indonesia Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran

Disusun oleh: ROMI RAMDANI (120120110034) FANNY FITRIANA (120120110035) AHMAD FAWAIQ (120120110036)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Inflasi merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting dalam suatu perekonomian karena inflasi merupakan salah satu indikator untuk mengetahui apakah perekonomian itu sehat atau tidak (Mishkin, 2007). Perubahan dalam indikator ini dapat berdampak terhadap dinamika perekonomian. Dalam perspektif ekonomi, inflasi merupakan suatu fenomena moneter di suatu negara, yang mana pergerakan naik dan turunnya inflasi cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi akibat perubahan harga. Adanya inflasi yang tidak terkontrol akan membuat masyarakat dalam suatu negara merasa menderita karena standar hidupnya akan semakin menurun disebabkan naiknya harga-harga barang yang terus menerus tanpa diimbangi kenaikan pendapatan mereka. Sedangkan inflasi yang rendah dan stabil merupakan dambaan dari semua negara di dunia. Hal itu dikarenakan stabilitas ekonomi makro dapat tercermin dari laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, sehingga mendorong peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Inflasi adalah kecenderungan dari harga yang akan naik secara terus menerus dan berkesinambungan. Berkesinambungan dapat diartikan bahwa kenaikan tersebut akan meluas dan mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari harga-harga barang lain. Kenaikan harga karena musiman atau yang hanya terjadi sekali-sekali saja misalkan pada saat akan menjelang hari raya besar suatu agama, tidak dapat disebut inflasi. Selain itu kenaikan harga yang tidak memiliki pengaruh lanjutan juga tidak dapat disebut inflasi. Karena inflasi merupakan suatu masalah yang cenderung dapat membuat ketidakstabilan perekonomian dalam suatu negara dan juga fenomena inflasi sampai sekarang masih terus menerus menghantui banyak negara di dunia,

maka itu inflasi masih tetap menjadi suatu topik yang masih menarik untuk diamati sampai saat ini. Sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa laju inflasi yang lambat dipandang merupakan stimulator dari petumbuhan ekonomi. Karena kenaikan harga tersebut tidak secepatnya diikuti oleh kenaikan upah pekerja, maka keuntungan akan bertambah. Pertambahan keuntungan akan menggalakkan investasi di masa akan datang dan ini akan menyebabkan percepatan dalam pertumbuhan ekonomi. Akibat percepatan dalam pertumbuhan ekonomi ini banyak pihak mendapatkan keuntungan. Tetapi jika inflasi lebih serius keadaannya perekonomian tidak akan berkembang seperti yang diinginkan. Pengalaman beberapa negara yang pernah mengalami hiperinflasi menunjukkan bahwa inflasi yang buruk akan menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik, dan tidak mewujudkan pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2000). Berikut adalah dampak-dampak negatif dari inflasi baik dari sisi sosial maupun ekonomi, antara lain : 1. Inflasi yang tinggi dapat memperburuk distribusi pendapatan, golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan tetap mengalami kemerosotan pendapatan riil, sementara pemilik modal dan pemilik harta tetap semakin kaya karena nilai kekayaan mereka semakin meningkat. 2. Dapat menyebabkan berkurangnya tabungan domestik. Berkurangnya pendapatan riil mendorong masyarakat untuk menarik tabungannya untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga tabungan domestik berkurang.

3.

Dapat menimbulkan ketidakstabilan politik. Ketidakpastian perekonomian akibat inflasi menyebabkan kacaunya kontrak kerja, pengupahan sehingga membahayakan stabilitas keamanan dan politik dalam negeri.

Golongan Keynesian beranggapan bahwa inflasi terjadi karena pengeluaran agregat terlalu besar. Dengan demikian kebijaksanaan yang ditawarkan oleh golongan Keynesian adalah dengan mengurangi pengeluaran agregat itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan mengurangi pengeluaran pemerintah atau dengan meningkatkan pajak. Kebijaksanaan moneter pun juga bisa dilakukan, yaitu dengan kebijaksanaan uang ketat. Golongan keynesian tidak melihat adanya konflik antara kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan fiskal. Menurut golongan ini keduanya adalah komplemen. Tetapi dalam kenyataannya, golongan ini lebih sering menggunakan kebijakan fiskal dalam memecahkan berbagai persoalan agregat ekonomi tak terkecuali inflasi. Karena kebijakan ini dianggap lebih ampuh dalam menghadapi resesi. Sedangkan golongan monetaris menganggap bahwa inflasi adalah fenomena moneter sebagaimana yang dikatakan oleh Milton Friedman inflasi dimanapun dan bagaimanapun merupakan fenomena moneter. Inflasi itu sendiri terjadi karena jumlah uang beredar terlalu banyak. Jika jumlah uang beredar terlalu banyak maka harga-harga akan naik. Dengan demikian cara yang dianjurkan golongan ini dalam menghadapi inflasi adalah dengan mengurangi jumlah uang beredar itu sendiri. Pada masa krisis tepatnya tahun 1998 pemerintah menetapkan kebijakan suku bunga yang terlalu ketat sedangkan kebijakan uang inti dirasakan terlalu longgar. Hal itu dapat dilihat dari kenaikan suku bunga yang amat tinggi. Pada puncaknya, suku bunga SBI mencapai lebih dari 60 persen. Tetapi, pada masa tersebut kita merasakan laju inflasi yang tinggi pula, bahkan

pernah mencapai hampir 80 persen. Dan pada saat itu pertumbuhan jumlah uang beredar sangat pesat hingga mencapai lebih dari 50% per tahun, sehingga hal itulah yang juga membuat laju inflasi sangat tinggi. Untuk menghadapi kondisi ketidakstabilan moneter tersebut, Bank Indonesia kemudian menerapkan kebijakan moneter ketat (kebijakan suku bunga dan uang inti ketat). Kebijakan moneter ketat ini tercermin pada pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang terus ditekan. Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena pada periode itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar meningkat pesat. Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diiperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan tidak membelajakannya untuk membeli valuta asing. Upaya pemulihan kestabilan moneter tersebut melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai memberikan hasil positif. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing. Sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur surut. Inflasi mulai terkendali pada tahun 1999. Inflasi mulai dapat ditekan secara signifikan pasca krisis ekonomi moneter yang pada akhir 1999 tingkat inflasi berhasil ditekan hingga mencapai 1,66%. Dalam perkembangan selanjutnya, tingkat inflasi selama tahun 2001 dan 2002 sempat mengalami kenaikan yang terutama bersumber dari nilai tukar yang bergejolak karena berbagai

perubahan kondisi sosial politik. Bank Indonesia kembali menerapkan kebijakan yang cenderung ketat untuk mengurangi volatilitas nilai tukar. Sehingga Bank Indonesia memiliki ruang gerak untuk menurunkan suku bunga SBI setelah inflasi menurun. Selain itu kebijakan moneter ketat, dalam hal pengendalian laju inflasi, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memegang kendali yang sangat strategis dalam menciptakan kebijakan moneter yang stabil dalam perekonomian nasional. Maka itu setelah perekonomian Indonesia terguncang hebat karena krisis sehingga inflasi meningkat tajam hingga 78.38% pada akhir tahun 1998, Bank Indonesia menetapkan kebijakan Inflation Targeting. Inflation targeting telah terbukti berhasil dalam mengurangi inflasi dan meningkatkan kinerja perekonomian di negara penggunannya. Inflation Targeting juga dipandang sebagai suatu cara yang dapat diambil bank sentral untuk memperbaiki kinerjanya dalam mengendalikan inflasi sekaligus menjadikan moneter lebih transparan dan accountable.

1.2 Definisi Inflasi


Inflasi berasal dari bahasa latin Inflare yang berarti meningkatkan. Inflasi secara umum menunjukkan kenaikan dalam tingkat harga. Laju inflasi adalah perubahan tingkat harga secara umum. Tingkat harga dalam definisi inflasi, secara konseptual adalah tingkat harga rata-rata tertimbang dari barang-barang dan jasa-jasa dalam perekonomian. Dalam prakteknya, tingkat harga tersebut diukur dengan indeks harga, baik indeks harga konsumen (IHK), indeks harga perdagangan besar (IHPB) maupun GDP deflator. Lawan dari inflasi adalah deflasi, yaitu penurunan tingkat harga umum (Samuelson dan Nordhaus, 2004) Menurut Mc Nabb dan Mc Kenna (1990), inflasi merupakan suatu fenomena kenaikan harga barang secara umum yang berlangsung secara terus menerus di dalam jangka waktu

tertentu. Menurut Boediono (1998) definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari hargaharga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi. Syarat adanya kecenderungan naik yang terus menerus juga perlu digarisbawahi. Kenaikan harga-harga karena, misalnya, musiman, menjelang hari raya, dan sebagainya, yang sifatnya hanya sementara tidak disebut inflasi. Menurut A.P. Lehner inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Dimana kelebihan barang-barang ini dapat diartikan sebagai berlebihnya tingkat pengeluaran untuk komoditi akhir dibandingkan dengan tingkat output maksimum yang dicapai dalam jangka panjang, dengan sumber produksi tertentu. Tingkat ouput maksimum dalam jangka panjang diartikan sebagai tingkat output yang didasarkan pada beberapa macam persyaratan seperti tidak adanya lembur yang berlebihan, tersedianya bahan dasar dalam jumlah nominal, dan lain sebagainya. Tingkat output maksimum dalam jangka panjang ini disebut juga sebagai potential real GDP, sedangkan apabila dalam jangka pendek disebut sebagai capacity real GDP (Gunawan, 1991). Sementara itu Ackley (1978) mendefinisikan inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat), maka itu menurut definisi ini kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi (Iswardono, 1996). Weston dan Copeland (1988) mengemukakan bahwa inflasi adalah suatu keadaan ekonomi yang mengalami kenaikan tingkat harga tertinggi dan tidak bisa dicegah atau dikendalikan lagi. Sementara itu menurut Frederick S. Mishkin (2007) inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan tingkat harga dari berbagai macam barang secara umum dan terus-menerus.

Anton Hermanto Gunawan (2001) mengatakan bahwa inflasi dapat diartikan sebagai keadaan dimana terjadinya peningkatan harga umum secara terus-menerus, atau keadaan dimana akan terjadi peningkatan harga umum secara terus-menerus bila tidak ada pengendalian hargaharga.

1.3 Macam-Macam Inflasi Inflasi dapat digolongkan menurut sifatnya, menurut sebab terjadinya, parah dan tidaknya inflasi tersebut dan menurut asal terjadinya inflasi tersebut (Nopirin, 1997). 1.3.1 Inflasi Menurut Sifatnya Inflasi menurut sifatnya digolongkan dalam tiga kategori (Nopirin, 1997), yaitu: 1. Inflasi merayap (Creeping Inflation) Inflasi merayap terjadi ketika kenaikan harga terjadi secara lambat dengan persentase yang kecil dan dalam jangka waktu yang relatif lama (di bawah 10% per tahun). Inflasi jenis ini biasanya mencapai 2 sampai 4 persen dan biasanya inflasi jenis ini tidak dapat dihindari. 2. Inflasi menengah (Galloping Inflation) Inflasi jenis ini lebih serius dibandingkan inflasi merayap, yaitu tingkatnya mencapai 5 sampai 10 persen atau sedikit lebih tinggi. Inflasi menengah ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi, artinya adalah harga pada bulan atau minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu sebelumnya dan seterusnya. Pengaruh inflasi menengah tentu saja lebih besar dari dampak inflasi merayap.

3. Inflasi tinggi (Hyperinflation) Inflasi jenis ini adalah inflasi yang sangat mengkhawatirkan, karena harga-harga barang meningkat sampai dengan lima atau enam kali, sehingga nilai uang turun secara tajam. Hyperinflation seringkali terjadi ketika suatu negara sedang dalam peperangan atau adanya ketidakstabilan politik yang berlangsung lama. Inflasi dapat mencapai tingkat yang sangat tinggi, yaitu tingkatnya dapat mencapai beberapa ratus atau beberapa ribu persen. Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (overheating), artinya kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga cenderung mengalami kenaikan. Kondisi ekonomi yang overheating tersebut juga menurunkan daya beli uang (purchasing power of money) dan mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya. Hyperinflation sering didefinisikan sebagai inflasi yang melebihi 50% per bulan, atau lebih dari 1% per hari. Dimajemukkan selama berbulan-bulan, tingkat inflasi ini mengarah ke kenaikan besar-besaran dalam tingkat harga. Tingkat inflasi lebih dari 50% per bulan menunjukkan kenaikan lebih dari 100 kali lipat dalam tingkat harga selama setahun, dan kenaikan lebih dari 2 juta kali selama tiga tahun (Mankiw, 2003) 1.3.2 Inflasi Berdasarkan Sebab Terjadinya Penyebab Inflasi dapat dibagi menjadi sebagai berikut : 1. Demand-Pull Inflation Inflasi ini terjadi apabila sektor perusahaan tidak mampu dengan cepat melayani permintaan masyarakat yang diwujudkan dalam pasar. Masalah kekurangan barang akan terjadi dan ini akan mendorong kepada kenaikan harga-harga. Atau secara umum faktor penyebab inflasi ini adalah akibat adanya jumlah atau laju pertumbuhan permintaan

agregat yang lebih tinggi daripada jumlah laju pertumbuhan penawaran agregat di dalam ekonomi suatu negara. Perkembangan permintaan agregat terdiri dari pengeluaran rumah tangga (konsumsi), investasi, pengeluaran pemerintah, sektor luar negeri (ekspor dikurangi impor) dan jumlah uang beredar. Sumber terjadinya perkembangan permintaan agregat ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan ditafsirkan berbeda oleh ahli-ahli ekonomi. Menurut golongan monetaris, disebabkan dari peningkatan atau ekspansi uang beredar yang beredar di masyarakat, sedangkan jumlah barang yang ada di pasar sedikit. Sedangkan menurut golongan non-monetaris yaitu Neo-Keynesian, walaupun tidak menyangkal pendapat tersebut tetapi menambahkan bahwa perkembangan permintaan agregat juga dapat disebabkan karena adanya peningkatan pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, atau ekspor neto, walaupun tidak disertai dengan adanya peningkatan jumlah uang beredar. Demand-Pull Inflation biasanya terjadi ketika pertumbuhan ekonomi tumbuh dengan pesat dan perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (Full Employment) yaitu dimana semua faktor telah digunakan secara penuh untuk memproduksi output di dalam suatu negara. Disamping itu demand-pull inflation juga dapat terjadi ketika dalam masa perang atau ketidakstabilan politik. Dalam periode seperti ini permintaan masyarakat bertambah dengan pesat dan perusahaan-perusahaan pada umumnya akan beroperasi pada kapasitasnya yang maksimal. Kelebihan-kelebihan permintaan yang terjadi akan menimbulkan kenaikan harga-harga. Dan apabila kelebihan permintaan ini menyebabkan ekuilibrium GDP berada di atas atau dengan kata lain melebihi GDP pada saat berada pada kondisi full employment maka akan terdapat adanya

inflationary gap. Inflationary gap inilah yang akhirnya akan menyebabkan inflasi (Winardi, 1995). Adanya peningkatan konsumsi masyarakat akan menyebabkan permintaan agregat meningkat sehingga menggeser kurva permintaan agregat ke kanan. Sama halnya dengan peningkatan pengeluaran pemerintah, ekspor bersih, optismisme bisnis dan konsumen yang akan menggeser kurva permintaan agregat ke kanan. Sedangkan pajak akan menggesar kurva permintaan agregat ke kiri.

Gambar 1.1 mencerminkan penyebab demand-full inflation terjadi. Bermula dengan harga P1 dan output Q1, kenaikan permintaan total menyebabkan permintaan agregat bergeser dari AD1 ke AD2. Pada AD2, tingkat harga adalah pada P2 dan output pada QFE, yang merupakan tingkat output pada saat perekonomian dalam kondisi full employment. Kenaikan permintaan yang terjadi pada kondisi ekonomi tersebut tidak dapat dipenuhi oleh penawaran yang ada. Akibatnya, harga naik menjadi P3 sedangkan output tetap pada QFE. Kenaikan AD3 selanjutnya menjadi AD4 menyebabkan harga naik menjadi P4 dengan output tetap pada QFE. Kenaikan harga ini akan menyebabkan timbulnya inflationary gap. Proses kenaikan harga ini akan berjalan terus sepanjang permintaan terus naik.

2. Cost-Push Inflation Cost-push Inflation adalah masalah kenaikan harga-harga dalam perekonomian yang diakibatkan oleh kenaikan biaya produksi atau karena menurunnya penawaran aggregat. Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan menaikkan harga, walaupun mereka harus mengambil resiko akan menghadapi pengurangan dalam permintaan barang-barang yang diproduksinya. Kenaikan biaya produksi dalam perekonomian akan menimbulkan dua akibat buruk yaitu inflasi yang terjadi membuat tingkat produksi nasional dan kesempatan kerja merosot, peristiwa seperti ini dinamakan stagflasi, yaitu stagnasi dalam perekonomian yang diikuti oleh inflasi. Kenaikan harga-harga barang dalam cost-push inflation ini dapat bersumber dari salah satu atau gabungan dari tiga faktor berikut : (Sukirno, 2000) i. ii. Para pekerja dalam perusahaan menuntut kenaikan upah. Harga bahan mentah yang digunakan perusahaan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. iii. Dalam perekonomian yang sedang mengalami perkembangan pesat pengusaha berusaha menaikkan keuntungannya. Gambar 1.2 Cost-Push Inflation

Gambar 1.2 menjelaskan bagaimana cost-push inflation dapat terjadi. Bermula pada harga P1 dan QFE, kenaikan biaya produksi (disebabkan baik karena berhasilnya tuntutan kenaikan upah oleh serikat buruh ataupun kenaikan harga bahan baku untuk industri) akan menggeser kurva penawaran total dari AS1 menjadi AS2. Konsekuensinya harga naik menjadi P2 dan produksi turun menjadi Q1. Kenaikan harga selanjutnya akan menggeser kurva AS menjadi AS3, harga naik dan produksi menjadi Q2. Proses ini akan berhenti apabila AS tidak lagi bergeser ke atas. Proses kenaikan harga ini disebut dengan cost-push inflation. 3. Demand Supply Inflation (Winardi, 1995) Demand Supply Inflation disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang kemudian diikuti oleh menurunnya penawaran sehingga harga menjadi meningkat lebih tinggi. Interaksi antara permintaan dan penawaran yang mendorong kenaikan harga disebabkan oleh ekspektasi kenaikan harga oleh masyarakat dan kenaikan upah oleh pekerja atau adanya kelembaman inflasi (inertial inflation) di masa lalu. Inertial Inflation adalah tingkat kenaikan harga yang berasal dari periode atau tahun sebelumnya. Sehingga inertial inflation tergantung kepada persetujuan upah serta keputusan-keputusan harga yang terjadi sebelumnya untuk kelompok buruh dan produk yang berkaitan erat ketika mereka menentukan upah dan harga-harga mereka sendiri. Inertial Inflation merupakan suatu teori yang dikemukakan oleh golongan Neo Keynesian. Teori ini juga dinamakan ekspektasi adaptif. Dimana teori ini mengasumsikan bahwa ekspektasi orang-orang tentang inflasi di masa yang akan datang

didasarkan atas observasi tentang laju inflasi pada masa yang lampau. Hal tersebut menyebabkan cukup banyak pengaruh dari inflasi sebelum-sebelumnya yang dimasukkan kedalam pembentukan ekspektasi yang berkaitan dengan inflasi yang akan datang. Kekuatan-kekuatan dari inertial inflation agak lebih luas dibandingkan dengan ekspektasi saja tentang inflasi yang akan datang. Menurut teori dari inertial inflation, perusahan-perusahan dan pekerja-pekerja berkepentingan kepada upah relatif dan hargaharga relatif, karena mereka melihat apa yang telah terjadi terhadap upah serta harga yang memiliki hubungan yang erat ketika mereka mendeterminasi upah serta harga. Saat inertial inflation telah berlangsung, maka akan sulit untuk mengatasi inflasi tersebut. Laju inflasi hanya akan turun apabila sebuah resesi yang hebat tejadi sehingga pihak yang menetukan upah dan harga-harga bersedia untuk menurunkan upah serta harga-harga. Upaya untuk memperlambat inertial inflation memerlukan hal yang lebih banyak daripada hanya mengubah ekspektasi masyarakat mengenai laju inflasi secara umum, dimana salah satunya adalah terciptanya kondisi-kondisi pasar dimana para pihak yang menentukan upah dan harga ingin menurunkan upah atau harga-harga mereka sendiri.

Gambar 2.3 Demand Supply Inflation

Gambar diatas menjelaskan bahwa inflasi yang disebabkan tarikan permintaan akan menyebabkan timbulnya ekspektasi inflasi yang berakar sehingga dapat berkembang menjadi inflasi dari sisi dorongan penawaran setelah peningkatanpeningkatan dari permintaan agregat berhenti terjadi. Apabila terjadi peningkatanpeningkatan terhadap permintaan agregat maka akan terjadi pergeseran kurva permintaan agregat secara terus-menerus ke kanan sehingga menimbulkan inflasi. Apabila AD1 bergeser ke AD2, maka tingkat harga akan naik dari P1 ke P2 pada tingkat output full employment. Adanya ekspektasi inflasi akan membuat perusahan-perusahaan dan serikatserikat buruh terus menerus meningkatkan upah dan harga sehingga membuat harga terus meningkat menjadi P3 dan terus menjadi P4. Hal tersebut membuat timbulnya suatu inflasi dari sisi dorongan penawaran dimana harga-harga meningkat dan output menurun. 1.3.3 Inflasi Berdasarkan Parah dan Tidaknya (Nopirin, 1997) Jenis inflasi berdasarkan parah tidaknya ini terbagi menjadi empat kategori, yaitu: 1. Inflasi Ringan (di bawah 10% setahun) 2. Inflasi Sedang (antara 10-30% setahun) 3. Inflasi Berat ( antara 50-100% setahun) 4. Hiper Inflasi (di atas 100% setahun) 1.3.4 Inflasi Berdasarkan Asal Terjadinya (Boediono, 1998) Berdasarkan asalnya, inflasi dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) Inflasi yang berasal dalam negeri ini timbul karena terjadinya defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja negara. Untuk mengatasinya, biasanya pemerintah melakukan kebijakan mencetak uang baru.

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported Inflation) Inflasi yang berasal dari luar negeri ini timbul karena negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang tinggi. Kenaikan harga-harga di luar negeri atau di negara-negara mitra dagang utama (antara lain disebabkan melemahnya nilai tukar) yang secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan kenaikan biaya produksi di dalam negeri. Kenaikan biaya produksi biasanya akan disertai dengan kenaikan harga-harga barang. 1.4 Dampak-Dampak Negatif Inflasi (Sukirno, 2000) Dampak-dampak negatif inflasi dapat dibedakan kepada dua aspek, yaitu: 1. Dampak negatif kepada perekonomian Sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa inflasi yang sangat lambat berlakunya dipandang sebagai stimulator bagi pertumbuhan ekonomi. Hal itu dapat dilihat dari adanya penambahan keuntungan dari kegiatan investasi yang akan menggalakkan investasi itu sendiri di masa akan datang dan ini akan mewujudkan percepatan dalam pertumbuhan ekonomi. Tetapi apabila inflasi menjadi lebih serius keadaannya,

perekonomian tidak akan berkembang seperti yang diinginkan. Pengalaman beberapa negara yang pernah mengalami hiperinflasi menunjukkan bahwa inflasi yang buruk akan menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik, dan tidak mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Terlebih dahulu perekonomian harus distabilkan sebelum pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan stabil dapat diwujudkan. Ketiadaan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari inflasi yang serius disebabkan oleh beberapa faktor penting seperti diuraikan di bawah ini: i. Inflasi menggalakkan penanaman modal spekulatif Pada masa inflasi terdapat kecenderungan di antara pemilik modal untuk menggunakan uangnya dalam investasi yang bersifat spekulatif. Membeli rumah dan tanah dan menyimpan barang yang berharga akan lebih menguntungkan daripada melakukan investasi yang produktif. ii. Tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi Untuk menghindari kemerosotan nilai modal yang mereka pinjamkan, institusi keuangan akan menaikkan tingkat bunga atas pinjaman-pinjaman mereka. Makin tinggi tingkat inflasi, makin tinggi pula tingkat bunga yang akan mereka tentukan. Tingkat bunga yang tinggi akan mengurangi kegairahan penanaman modal untuk mengembangkan sektor-sektor yang produktif. iii. Inflasi menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi di masa depan Laju inflasi akan semakin cepat apabila tidak dikendalikan. Pada akhirnya inflasi akan menimbulkan ketidakpastian dan arah perkembangan ekonomi tidak dapat

diramalkan lagi dengan baik. Keadaan ini akan mengurangi kegairahan pengusaha untuk mengembangkan kegiatan ekonomi. 2. Dampak negatif terhadap individu dan masyarakat Dampak negatif terhadap individu dan masyarakat dapat dibedakan kepada tiga aspek seperti yang diterangkan di bawah ini: i. Memperburuk distribusi pendapatan Dalam masa inflasi nilai harta-harta tetap sepeti tanah, rumah, pabrik dan pertokoan akan mengalami kenaikan harga yang adakalanya lebih cepat dari kenaikan inflasi itu sendiri. Sebaliknya, penduduk yang tidak mempunyai harta (meliputi sebagian besar masyarakat yang berpendapatan rendah). Pendapatan riilnya merosot sebagai akibat inflasi. Dengan demikian inflasi melebarkan ketidakmerataan distribusi pendapatan. ii. Pendapatan riil merosot Sebagian tenaga kerja di setiap negara terdiri dari pekerja-pekerja bergaji tetap. Dalam masa inflasi biasanya kenaikan harga-harga selalu mendahului kenaikan pendapatan. Dengan demikian inflasi cenderung menimbulkan kemerosotan pendapatan riil sebagian besar tenaga kerja. Ini berarti kemakmuran masyarakat merosot. iii. Nilai riil tabungan merosot Dalam perekonomian biasanya masyarakat menyimpan sebagian kekayaannya dalam bentuk deposito dan tabungan di institusi keuangan. Nilai riil tabungan

tersebut akan merosot sebagai akibat inflasi. Juga pemegang-pemegang uang tunai akan dirugikan karena kemerosotan nilai riilnya.

1.5 Indikator Perhitungan Inflasi Ada beberapa indikator ekonomi yang digunakan untuk mengetahui laju inflasi dalam periode tertentu. Indikator-indikator tersebut adalah indeks-indeks harga dimana indeks-

indeks harga tersebut mempunyai kegunaan yaitu untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara, untuk menformulasikan kebijakan ekonomi dalam hal menjaga stabilitas harga atau upah, untuk menyesuaikan perhitungan pendapatan nasional, dan sebagai tolak ukur penyesuaian upah dan gaji agar bisa selalu mengikuti perkembangan harga umum. Indeks-Indeks harga tersebut adalah indeks harga konsumen (IHK), indeks harga perdagangan besar (IHPB), indeks GDP deflator. a. Indeks Harga Konsumen (IHK) Indeks harga konsumen adalah angka indeks yang menggambarkan perubahan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat secara umum pada pada suatu periode waktu yang telah ditetapkan. Periode waktu yang telah ditetapkan sebagai dasar perhitungan atau pembanding ditentukan sama dengan 100. Indeks harga konsumen tentunya digunakan untuk melihat inflasi dari sisi konsumen. Jadi, indeks harga konsumen mengukur tingkat harga barang atau jasa yang dianggap mencerminkan konsumsi masyarakat secara rata-rata. Indeks harga konsumen biasanya dihitung berdasarkan suatu survei biaya hidup di daerah perkotaan yang dilakukan secara berkala. Secara umum, jenis barang dan jasa

dalam perhitungan IHK dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar, yaitu makanan, pakaian, perumahan serta aneka barang dan jasa. IHK dihitung dengan menjumlahkan laju inflasi bulanan selama satu tahun dan tidak memakai dasar perubahan point to point. Diharapkan perhitungan dengan cara ini dapat diperoleh hasil yang baik secara statistik, karena perkembangan harga setiap bulan sudah diperhitungkan dan faktor musiman sudah tercakup dalam perhitungan. Untuk menghitung indeks harga konsumen menggunakan formulasi modifikasi Laspeyers, sebagai berikut:

 

......................................................... (2.1)

Keterangan: In = Indeks bulan ke-n (bulan penelitian) = relatif harga yang terjadi pada bulan ke-n dibandingkan bulan sebelumnya (n-1) Pni = Harga suatu jenis barang pada bulan berjalan (n) P(n-1) = Harga suatu jenis barang pada bulan sebelumnya (n-1) P(n-1).Qoi = Nilai konsumsi suatu jenis barang pada bulan sebelumnya (n-1) Poi Qoi = Nilai konsumsi suatu jenis barang pada tahun dasar k = Jumlah/jenis barang yang tercakup dalam paket komoditas IHK

b. Indeks Harga Perdagangan Besar Indeks harga perdagangan besar adalah indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang diterima oleh produsen pada berbagai tingkat produksi. Indeks harga perdagangan besar digunakan untuk melihat inflasi dari sisi produsen, Jadi, indeks harga perdagangan besar menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat harga perdagangan besar ataupun harga grosir dari sejumlah komoditas tertentu yang diperdagangkan di suatu negara atau daerah. Indeks harga perdagangan besar dikelompokkan ke dalam lima sektor utama, yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, industri, ekspor, serta impor migas ataupun non-migas. Rumus menghitung indeks harga perdagangan besar adalah sebagai berikut:

 

......................................................... (2.2)

Keterangan: In = Indeks bulan ke-n (bulan penelitian) = relatif harga yang terjadi pada bulan ke-n dibandingkan bulan sebelumnya (n-1) Pni = Harga suatu jenis barang pada bulan berjalan (n) P(n-1) = Harga suatu jenis barang pada bulan sebelumnya (n-1) P(n-1).Qoi = Nilai konsumsi suatu jenis barang pada bulan sebelumnya (n-1)

Poi Qoi = Nilai konsumsi suatu jenis barang pada tahun dasar k = Jumlah/jenis barang yang tercakup dalam paket komoditas IHPB c. GDP Deflator GDP deflator adalah indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang diproduksi dalam negeri. IHK berbeda dengan GDP deflator dalam tiga cara utama, yaitu: (Dornbusch, 2004) y y GDP deflator mengukur harga barang yang lebih luas dibandingkan IHK. IHK mengukur harga kelompok barang yang tetap dari tahun ke tahun, sedangkan kelompok barang yang terdapat dalam GDP deflator berbeda-beda setiap tahun. y IHK secara langsung memasukkan harga impor, sedangkan GDP deflator hanya memasukkan harga barang-barang yang diproduksi di dalam negeri. Nilai GDP deflator dihitung dari rasio GDP nominal di tahun tertentu terhadap GDP riil tahun tersebut. GDP deflator mengukur perubahan pada harga yang terjadi antara tahun dasar dengan tahun sekarang. Rumus dari GDP deflator adalah sebagai berikut:

 

........................................... (2.3)

1.6 Teori-Teori Inflasi ( Boediono, 1998) 1.6.1 Teori Kuantitas Teori kuantitas merupakan teori yang paling tua mengenai inflasi. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang beredar dan psikologi masyarakat mengenai

kenaikan harga-harga (ekspektasi). Berdasarkan teori ini, jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian menentukan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: a. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar. Penambahan jumlah uang ibarat bahan bakar bagi api inflasi. Bila jumlah uang dikurangi, inflasi akan menurun dengan sendirinya. b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan keadaan, keadaan pertama adalah bila masyarakat tidak atau belum mengekspektasikan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang, maka dalam keadaan ini sebagian besar dari penambahan jumlah uang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya (memperbesar pos kas neraca anggota masyarakat). Ini berarti, sebagian besar dari penambahan jumlah uang tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Berarti, tidak akan ada kenaikan permintaan barang, yang berarti pula tidak akan ada kenaikan harga barang. Jika ada kenaikan harga, hal itu relatif kecil. Kemudian dalam keadaan kedua masyarakat mulai sadar adanya inflasi. Masyarakat mulai mengekspektasikan adanya kenaikan harga. Penambahan jumlah uang yang beredar, tidak lagi untuk menambah pos kas nya, tetapi untuk membeli barang (memperbesar pos aktiva barang-barang di dalam neraca). Hal ini akan menyebabkan meningkatnya permintaan barang. Akibat selanjutnya adalah kenaikan harga barang. Dalam hal ini, penambahan jumlah uang yang beredar 10%, akan diikuti kenaikan harga-harga sebesar 10% pula. Keadaan ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi sudah berjalan cukup lama, dan masyarakat memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan sikapnya terhadap situasi yang baru.

Terakhir adalah keadaan ketiga yang merupakan keadaan dimana inflasi telah terjadi lebih parah (hiperinflasi). Dalam keadaan ini masyarakat telah kehilangan kepercayaannya terhadap nilai mata uang. Masyarakat cenderung enggan memegang uang. Begitu menerima uang, masyarakat akan cenderung langsung membelajakannya. Masyarakat memiliki ekspektasi bahwa laju inflasi di bulan-bulan mendatang lebih besar dari laju bulan-bulan sebelumnya. Keadaan ini ditandai dengan makin cepatnya peredaran uang. Dalam keadaan ini penambahan jumlah uang sebesar 10% akan menyebabkan kenaikan harga-harga lebih besar dari 10%. Secara umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh jumlah uang beredar terhadap perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga dan output. Hubungan antara jumlah uang beredar, output, dan harga dapat ditulis dalam persamaan berikut ini:

M V = P T............................................................................................. (1.1)

Dimana P adalah tingkat harga, T adalah jumlah transaksi yang juga merupakan simbol dari jumlah output, M adalah jumlah uang beredar , dan V adalah velocity of money (perputaran uang). Persamaan ini disebut sebagai persamaan kuantitas (quantity equation). 1.6.2 Teori Keynes Teori ini menyatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan perekonomiannya. Proses inflasi menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini

akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia sehingga timbul apa yang disebut dengan inflationary gap. Inflationary gap timbul karena golongan-golongan masyarakat yang telah disebutkan sebelumnya berhasil menerjemahkan keinginan mereka menjadi permintaan efektif akan barangbarang. Dengan kata lain, mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah keinginannya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat ini, mungkin adalah pemerintah sendiri yang menginginkan bagian yang lebih besar dari output masyarakat dengan jalan melakukan defisit anggaran belanja yang ditutup dengan mencetak uang baru. Golongan ini mungkin juga pihak swasta yang ingin melakukan investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit bank. Golongan ini bisa juga dari serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji para anggotanya melebihi kenaikan produktifitas kerja buruh. Setelah itu apabila permintaan efektif dari golongan-golongan masyarakat tersebut pada harga-harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap akan timbul. Akibatnya akan terjadi kenaikan harga-harga barang. Dengan adanya kenaikan harga, sebagian dari rencana pembelian barang dari golongangolongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada periode berikutnya, golongan-golongan yang tidak bisa memenuhi rencana pembelian barang tadi akan berusaha memperoleh dana lagi (baik dari kredit bank atau kenaikan gaji). Tidak semua golongan tersebut berhasil memperoleh tambahan dana yang diinginkan. Golongan yang berhasil memperoleh tambahan dana lebih besar bisa memperoleh bagian dari ouput yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh tambahan dana akan memperoleh bagian output yang lebih sedikit. Golongan yang kalah dalam

perebutan ini adalah golongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik secepat kenaikan laju inflasi (pensiunan, PNS, petani, karyawan perusahaan yang tidak mempunyai serikat buruh). Inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti jika permintaan efektif total tidak melebihi jumlah output yang tersedia. Oleh karena dalam teori Keynes tidak menggunakan asumsi bahwa perekonomian selalu mencapai penggunaan tenaga kerja penuh maka penambahan dalam jumlah uang beredar akan menaikkan pendapatan nasional. Tetapi perkaitan diantara penambahan jumlah uang beredar dengan kenaikan pendapatan nasional tidaklah sesederhana seperti yang dinyatakan oleh teori kuantitas (Sukirno, 2000).
1.6.3 Teori Strukturalis

Teori strukturalis adalah teori inflasi yang didasarkan atas pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini menekankan pada rigiditas (infleksibilitas) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (yang hanya dapat berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori inflasi jangka panjang. Dengan kata lain adalah faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi dan inflasi tersebut berlangsung lama. Menurut teori ini ada dua rigiditas dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu: 1. Rigiditas yang pertama adalah ketidakelastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan oleh dua hal, pertama adalah harga pasar dunia dari barang-

barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan (dibandingkan dengan hargaharga barang impor yang harus dibayar), atau sering disebut dengan istilah dasar penukaran (term of trade) semakin memburuk. Dalam hal ini sering dianggap bahwa harga barangbarang hasil alam, yang merupakan barang-barang ekspor dari negara-negara sedang berkembang, dalam jangka panjang naik lebih lambat dari pada harga barang-barang hasil bukan alam. Dan yang kedua adalah penawaran atau produksi barang-barang ekspor tidak responsif terhadap kenaikan harga (tidak elastis). Kelambanan pertumbuhan ekspor berarti pula kelambanan kemampuan untuk impor barang-barang yang dibutuhkan (baik barang konsumsi maupun investasi). Akibatnya negara yang bersangkutan mengambil kebijakan pembangunan yang menekankan pada pengembangan produksi dalam negeri untuk barangbarang yang sebelumnya diimpor (import-subtitution strategy) walaupun harus sering dengan biaya produksi yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih rendah. Biaya yang lebih tinggi menyebabkan harga produk menjadi lebih tinggi. Dengan demikian inflasi akan terjadi. 2. Rigiditas kedua berkaitan dengan ketidakelastisan dari penawaran atau produksi bahan makanan. Pertumbuhan bahan makanan tidak secepat pertumbuhan penduduk dan penghasilan per kapita, sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cenderung naik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya tuntutan dari karyawan di sektor industri untuk memperoleh kenaikan upah. Kenaikan upah berarti kenaikan biaya produksi, yang berarti kenaikan harga barang-barang produksi. Kenaikan barang-barang, mengakibatkan tuntutan kenaikan upah lagi. Kenaikan upah akan diikuti oleh kenaikan harga produk, dan seterusnya. Proses ini akan berhenti dengan sendirinya apabila harga bahan makanan tidak terus naik.

Dalam prakteknya, proses inflasi yang timbul karena dua rigiditas tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Kedua proses tersebut saling berkaitan dan bahkan saling memperkuat satu sama lain.

1.7 Perbedaan Pandangan Golongan Monetaris dan Strukturalis Mengenai Inflasi Kebijakan makroekonomi memiliki peranan yang sangat penting untuk menghadapi berbagai masalah makroekonomi tak terkecuali inflasi. Persoalan ini telah menjadi perdebatan penting di kalangan ahli-ahli terkemuka sejak beberapa dekade yang lalu. Berbagai perkembangan dari teori inflasi timbul mengenai penyebab-penyebab terjadinya inflasi sampai dengan kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mengatasi masalah inflasi. Terdapat dua pandangan dari persoalan ini yaitu pandangan golongan monetaris dan golongan strukturalis. 1.7.1 Pandangan Golongan Monetaris Golongan monetaris menganggap bahwa inflasi hanya merupakan fenomena moneter, sehingga uang yang beredar merupakan variabel utama yang mempengaruhi tingkat atau perubahan harga di dalam ekonomi. Dasar pemikiran golongan monetaris mengenai inflasi adalah apabila penawaran uang melebihi permintaannya maka terjadi ketidakseimbangan dalam sektor moneter, sehingga timbul inflasi. Atas dasar pemikiran tersebutlah, maka salah satu argumen utama dari golongan monetaris adalah bahwa uang beredar merupakan instrumen kebijakan ekonomi (moneter) yang dapat dikendalikan oleh otoritas moneter (Deliarnov, 1995). Menurut golongan monetaris, kebijakan moneter menimbulkan akibat yang lebih cepat dari kebijakan fiskal dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam analisis golongan monetaris, mekanisme transmisinya lebih sederhana, yaitu: M MV PT

Dengan kata lain, apabila pemerintah (melalui bank sentral) menambah penawaran uang (M), dengan cepat langkah tersebut akan mempengaruhi transaksi-transaksi dalam perekonomian (MV) dan perubahan tersebut akan meningkatkan pendapatan nasional (PT).

1.7.2 Pandangan Golongan Strukturalis Kaum strukturalis berpendapat bahwa penyebab inflasi di negara-negara berkembang bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena stuktural atau cost-push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade, utang luar negeri, dan kurs valuta asing dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Structural bottlenecks terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu: 1. Penawaran dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dari pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi penawaran dari sektor pertanian domestik yang tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya. 2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor.

Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barangbarang baik bahan baku, input antara, maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan penawaraan barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan. 3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang dan oleh karenanya fenomena inflasi di negara-negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.

1.8 Inflasi Dalam Sistem Kurs Tetap dan Mengambang (Mankiw, 2003) 1.8.1 Inflasi Dalam Sistem Kurs Tetap Sistem kurs tetap mengarahkan kebijakan moneter suatu negara pada tujuan tunggal, yaitu mempertahankan kurs pada tingkat yang telah diumumkan. Dengan kata lain, esensi dari sistem kurs tetap adalah komitmen bank sentral untuk membiarkan jumlah uang beredar menyesuaikan berapa pun kurs yang menjamin kurs ekuilibrium sama dengan kurs yang diumumkan. Selain itu, selama bank sentral siap membeli atau menjual mata uang asing pada kurs tetap, jumlah uang beredar menyesuaikan secara otomatis pada tingkat yang diperlukan.

Sistem kurs tetap ini memungkinkan negara yang mematok mata uangnya mendapatkan inflasi yang diimpor dari negara yang menjadi patokan untuk membakukan mata uangnya. 1.8.2 Inflasi Dalam Sistem Kurs Mengambang Di dalam sistem kurs mengambang bebas, bank sentral sepenuhnya berdiam diri dan membiarkan nilai tukar dengan bebas ditentukan oleh pasar valuta asing (Dornbush, 2004). Terdepresiasinya mata uang domestik akibat ekspansi moneter akan meningkatkan daya saing dalam negeri sehingga meningkatkan ekspor yang diharapkan dapat mengurangi pengangguran. Ketika perekonomian mengalami overheating (kegiatan ekonomi yang begitu tinggi sehingga inflasi merajalela), bank sentral dapat mendinginkannya dengan menurunkan penawaran uang. Sistem kurs mengambang bebas diyakini dapat membantu setiap negara untuk menentukan sendiri tingkat inflasi yang paling sesuai dengan kebutuhannya, sekaligus melenyapkan paksaan untuk mengimpor inflasi dari luar negeri.

2. Deskripsi Data 3. Evidence (Kajian Empiris)


3.1 Penelitian Reza Y.Siregar dan Gulasekaran Rajaguru (Siregar dan Rajaguru, 2002)

Penelitian ini berjudul Sources of Variations Between the Inflation Rates of Korea, Thailand and Indonesia During the Post 1997 Crisis. Penelitian ini meneliti mengenai bagaimana tekanan inflasi dan penyebab-penyebab utama timbulnya inflasi di tiga negara yaitu Korea, Thailand, dan Indonesia selama periode 1985-2001. Selain itu penelitian ini juga memberikan perhatian khusus dalam mengkaji sumber-sumber inflasi yang dapat meningkatkan tekanan inflasi di tiga negara tersebut selama periode krisis yang melanda Asia yang diawali

pada tahun 1997. Model estimasi dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan Autoregressive Distributed lag model (ARDL). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah selama masa sebelum krisis ekonomi 1997 di Indonesia, perubahan ekspektasi depresiasi nilai tukar rupiah dan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat inflasi, sedangkan suku bunga memiliki pengaruh yang tidak signifikan dalam mempengaruhi tingkat inflasi. Selama masa krisis dan setelah krisis ekonomi 1997 di Indonesia yaitu periode Juli 1997 sampai Desember 2001, perubahan ekspektasi depresiasi nilai tukar rupiah, jumlah uang beredar dan suku bunga domestik memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap inflasi. Dan juga penelitian ini menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar (base money) merupakan variabel yang memiliki kontribusi paling besar dalam mempengaruhi tingkati inflasi selama krisis ekonomi 1997 di Indonesia. Model matematis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Pt = f ( yt, rt, rft, edt, mst )
Dimana: Pt = tingkat inflasi pada periode t Yt = pendapatan riil pada periode t rt = suku bunga domestik pada periode t rft = suku bunga luar negeri pada periode t edt = ekspektasi depresiasi nilai tukar rupiah pada periode t mst = jumlah uang beredar pada periode t

3.2 Model Penelitian Model yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan model ekonometrik yaitu analisis model OLS (Ordinary Least Squares). Mengacu pada model dalam penelitian Siregar dan Rajaguru (2002). Dimana model tersebut dimodifikasi dengan menghilangkan variabel suku bunga luar negeri dan juga dengan mengganti variabel ekspektasi depresiasi dengan tingkat depresiasi. Tingkat depresiasi merupakan indikator dari imported inflation. Selain itu didalam model juga ditambahkan variabel ekspektasi inflasi yang merupakan penggerak kurva penawaran agregat sehingga tidak ada asumsi sticky price dalam analisis yang dilakukan dalam penelitian ini. Modifikasi model tersebut dilakukan karena mempertimbangkan kajian teoritis dan empiris serta kondisi riil perekonomian Indonesia. Sehingga model estimasi dalam penelitian ini, yaitu:

INFt = Dimana : INFt GM1t GRGDPt Rit DRERt Einft


0

1GM1t

2GRGDPt

3Rit

4DRERt

5EInf t

= Tingkat inflasi periode t = Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) periode t = Pertumbuhan tingkat output (GDP) riil periode t = Suku bunga domestik riil periode t = Tingkat depresiasi nilai tukar riil periode t = Ekspektasi inflasi periode t = Konstanta = Koefisien Regresi
= error term

1, 2, 3, 4

4. Policy Implications

You might also like