You are on page 1of 35

PENDAHULUAN

Trauma merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengalami cedera oleh salah satu sebab. Penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industry, olah raga, dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk di Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. Didapatkan 300 ribu orang di antaranya menderita kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta orang menderita kecacatan sementara (30%). Keadaan ini dapat menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang pertahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas 12.000 orang pertahun.1 Berdasarkan data di atas maka desakan untuk memperbaiki/meningkatkan cara dan system penanggulangan penderita gawat darurat sekarang sangat dirasakan. Untuk meningkatkan kemampuan penanggulangan trauma di rumah sakit, di Indonesia saat ini diadakan kursus Advanced Trauma Life Support (ATLS).1

I.

Advanced Trauma Life Support (ATLS)

Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangat penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksankan. Proses ini dikenal dengan Initial assessment (penilaian awal) dan meliputi : 2 1. Persiapan 2. Triase 3. Primary Survey (ABCDE) 4. Resusitasi 5. Tambahan terhadap Primary Survey dan Resusitasi 6. Secondary Survey, pemeriksaan Head to Toe dan anamnesis
1

7. Tambahan terhadap Secondary Survey 8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan 9. Penanganan Definitif ATLS dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan penilaian dan resusitasi penderita trauma. Harus ada keijakan dalam menerapkan prosedur yang diperlukan, karena tidak semua prosedur perlu diterapkan pada satu penderita.

I.1. Persiapan Persiapan penderita sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase pertama adalah fase pra-rumah sakit (pre-hospital), di mana seluruh penanganan penderita sebaiknya berlangsung dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit (hospital) di mana dilakukan persiapan untuk menerima penderita, sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu cepat. I.1.1. Fase Pra-Rumah Sakit Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan akan menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan sebelum penderita mulai diangkat dari tempat kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit mempersiapkn Tim Trauma sehingga sudah siap saat penderita sampai di rumah sakit. Pada fase pra-rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan airway, control perdarahan dan syok, imobilisasi penderita dan segera ke rumah sakit terdekat yang fasilitasnya cocok, dan sebaiknya ke suatu pusat trauma yang diakui. Waktu di tempat kejadian yang lama harus dihindari. Yang juga penting adalah mengumpulakan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit, seperti waktu kejadian, sebab kejadian, dan riwayat penderita. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan berat perlukaan.2 I.1.2. Fase Rumah Sakit
2

Harus dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba. Sebaiknya ada ruangan/daerah khusus resusitasi untuk pasien trauma. Perlengkapan Airway (laringoskop, endoktrakeal tube dan sebagainya) sudah dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan di tempat yang mudah terjangkau. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan disipakan dan diletkkan pada tempat yang mudah dicapai. Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu system pemanggilan tenaga medic tambahan sudah harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi. Juga dipersiapkan formulir rujukan ke pusat trauma, serta proses rujukannya. Semua tenaga medic yang yang berhubungan dengan penderita harus dihindari dari kemungkinan penularan penyakit menular, terutama hepatitis dan AIDS. Centre of Disease Control dan pusat kesehatan lain sangat menganjurkan pemakaian alat-alat protektif seperti masker, kaca mata, naju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air, bila ada kontak dengan cairan tubuh penderita.2

I.2. Triase Triase adalah cara pemilihan penderita berdasarakan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada priorotas ABC (Airway dengan control vertebra servikal), Breathing, dan Circulation dengan control perdarahan. Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk, merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-rumah sakit untuk mengirim ke rumah sakit yang sesuai. Dua jenis keadan triase dapat terjadi : a. Multiple Casualties Musibah masssal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengncam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu. b. Mass Casualties
3

Musibah massal dengan junmlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit.2 I.3. Primary Survey Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tandatanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitive. Proses ini mrupaan ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut : A : Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control) B : Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi C : Circulation, dengan control perdarahan (hemorrhage control) D : Disability : status neurologis E : Exposure/environmental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermi Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali, dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Tindakan primary survey di atas adalah dalam bentuk beruruta (sekuensial) namun dalam prakteknya hal-ha di atas sering dilakukan bersamaan (simultan). Prioritas pada penderita anak pada dasarnya sama dengan dewasa. Walaupun jumlah darah, cairan obat, ukuran anak, kehilangan panas, dan pola perlukaan dapat berbeda, namun prioritas penilaian dan resusitasi adalah sama seperti orang dewasa. Prioritas pada orang hamil sama seperti tidak hamil, akan tetapi perubahan anatomis dan fisiologis dalam kehmailan dapat mengubah respon penderita hamil terhadap trauma.

Penting untuk survival ibu dan anak adalah pengenalan dini adanya kehamilan yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium (HCG), dan penilaian dini terhadap janin. Resusitasi pada usia tua perlu mendapat perhatian khusus, karena cadangan fisiologis penderita berkurang sebanding pertambahan umur. Kemamppuan bertahan orang tua terhadap trauma akan berkurang karaena adanya penyakit jantung, paru-paru dan metabolic yang kronis. Penyakit penyerta seperti DM, PPOM, penyakit coroner, penyakit hati dan gangguan vascular akan ditemukan lebih sering, dan akan memperberat keadaan. Pemakaian jangka panjang obat-obatan mungkin merubah respon terhadap trauma. 2 I.3.1. Airway, dengan Kontrol Servikal (Cervical Spine Control) Nilai kelancaran jalan nafas. Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama atau kuramg dari 8 biasanya memerlukan pemasangaan airway definitive. Adanay gerakan motoric yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya perlunya airway definitive. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak dilkaukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan; pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat menyingkirkannya. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka terhadap kepala harus dilkaukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinana fraktur servikal dapat disingkirkan. Proteksi vertebra sevikal (serta spinal cord) merupakan hal penting. Foto servikal dapat dilakukan setelah keadaan yang mengancam nyawa telah dilakukan resusitasi. Anggaplah
5

ada fraktur servikal pada setiap penderita multi-trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan di atas klavikula. Harus dilakukan segala usaha untuk menjaga jalan nafas dan memasang irway definitive bila diperlukan. Penting untuk mengenali kemungkinan gangguan airway yang dapat terjadi kemudian, dan ini hanya dapat dikenali dengan re-evaluasi berulang terhadap airway ini.2 I.3.2. Breathing dan Ventilasi Airway yang baik tidak menjamin ventilas yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk meihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memerlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru, dan open pneumothoraks. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey. Hemato-thorkas, simple pneumothoraks, patahnya tulang iga dan kontusio paru mengganggu ventilasi paru dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.2 I.3.3. Circulation dan Kontrol Perdarahan I.3.3.1. Volume darah dan cardiac output Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-bedah yang mungkin dapat di atasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita. Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemo-dinamik ini, yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
6

a. Tingkat kesadaran Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengkibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik : penderita yang sadar belum tentu normovolemik). b. Warna kulit Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia. c. Nadi Perikas pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri karotis (kirikanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa nrmo-volemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan anda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera.2 I.3.3.2. Perdarahan Perdarahan nadi arteri luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic splinting device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Spalk jenis ini harus tembus cahaya untuk dapat dilakukan pengawasan perdarahan. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bia ada amputasi traumatic. Pemakaian hemostat memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan seperti syaraf dan pembuluh darah. Sumber perdarahan internal (tidak telihat) adalah perdarahan dalam rongga
7

toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retro-peritoneal akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat dari luka tembus dada/perut. I.3.4. Disability (Neurologic Evaluation) Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah : Tingkat kesadaran Ukuran dan reaksi pupil Tanda-tanda lateralisasi Tingkat/level cedera spinal GCS adalah system skoring yang sederhana dan dapat meramal outcome penderita. Bila belum dilkaukan pda survey primer, harus dilkukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun demiikian bila sudaj disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran dan bukan alkoholisme sampai terbukti sebaliknya.2 I.3.5. Exposure/Kontrol Lingkungan Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiaannya, sering dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi penderita.setelah pakaian dibuka, selimuti penderita gar tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat, dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.

I.4. Resusitasi Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada kasus yang mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup. I.4.1 Airway Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita. Jaw thrust atau chin lift dapat dipakai. Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai naso-pharingeal airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada gag reflex, dapat dipakai oro-pharyngeal airway. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway, lebih baik memasang airway definitive. I.4.2. Breathing/ventilasi/oksigenasi Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway nya terganggu karena factor mekanik, ada gangguan ventilasi, atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakeal, baik oral maupun nasal. Prosedur ini dilakukan dengan kontrol terhadap vertebra servikal. Surgical way (cricothyroidotomy) dilakukan bila intubasi endo-trakeal tidak memungkinkan karena kontra indikasi atau karena masalah tekhnis. Tension pneumothoraks akan sangat mengganggu ventilasi, dan bila curiga adanya keadaan ini, harus segera dilkaukan dekompresi. Setiap penderita trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi sebaiknya oksigen diberikan dengan face-mask. Pemakaian pulse oximeter baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat. 2 I.4.3. Circulation (dengan kontrol perdarahan) Lakukan control perdarahan dengan tekanan langsung atau secara operatif. Bila ada gangguan sirkulasi, pasang sedikitnya 2 IV line. Awalnya sbaiknya mnggunakan vena pada lengan. Jalur IV line lain seperti vena seksi, atau vena sentralis tergantung kemampuan petugas yang melayani. Perbaikan volum sirkulasi dengan cara pemberian cairan yang agresif tidak dapat menggantikan proses penghentian (control) perdarahan, baik manual maupun operatif. Pada saat datang, penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid, sebaiknya Ringer Lactat. Bila tidak ada respon degna pemberian bolus kristaloid tadi, diberikan
9

diberikan darah segolongan. Jangan terapi syok hipovolemik dengan operatif untuk menghentikan perdarahan. Hipotermia dapat terjadi pada penderita yang diberikan ringer laktat yang tidak dihangatkan atau darah yang masi dingin, atau bila penderita juga dalam keadaan kedinginan karena tidak diselimuti. 2

I.5. Tambahan Pada Primary Survey dan Resusuitasi I.5.1. Monitor EKG Dipasang pada semua penderita trauma. Disritmia (termasuk takikardi yang tidak diketahui sebabnya) fibrilasi atrium atau ekstra-sistol dan perubahan segmen ST dapat disebabkan kontusio jantung Pulseless Electrical Activity (PEA, dulu disebut Disosiasi olektro mekanikal) mungkin disebabkan tamponade jantung, tension pneumothoraks, dan/atau hipovolemi berat. Bila ditemukan bradikardi ataupun ekstra sistol harus segera dicurigai adanya hipoksia dan hipoperfusi. Hipotermia yang berat juga dapat menyebabkn disritmia. I.5.2 Kateter urin dan lambung a. Kateter uretra produksi urin merupakan indicator yang peka untuk menilai keadaan perfusi ginjal dan hemodinamik. Kateter urin jangan dipasang bila ada dugaan rupture uretra, yang ditandai : 1. Darah di orifisium uretra eksterna 2. Hematom di skrotum atau perineum 3. Pada colok dubur, prostat letak tinggi atau tidak teraba 4. Adanay fraktur pelvis Artinya pemasangan kateter urin tidak boleh dilakukan sebelum pemeriksaan genital dan colok dubur. Bila curiga rupture uretra, urerogram terlebih dahulu.
10

b. Kateter lambung Untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan muntah. Bila lamina kribrosa patah aau diduga patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT daam rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa jangan dimasukkan lewat jalur naso-faringeal.

I.5.3. Monitor Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada penemuan klinis seperti laju nafas, nadi, tekanan darah, ABG (arterial blood gases), suhu tubuh dan keluaran urin. Hasil pemeriksaan tersebut didapatkan secepatnya setelah mnyelesaikan survey primer. a. Laju nafas dan ABG digunakan untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur CO2 yang mnegukur End-Tidal CO2 merupakan cara yang baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT dalam trakea, dan bukan dalam esophagus. b. Penggunaan Pulse oximetry Mengukur kadar O2 saturasi. Suatu sensor diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan kemudian mengukur SatO2, biasanya sekaligus tercatat denyut nadi.
c. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah merupakan indicator

yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan. Jangan puas dengan mendapatkan tekanan darah normal, tetapi harus dipastikan bahwa perfusi perifer sudah membaik.2

I.6. Secondary Survey Dilakukan setelah primary surveey selesai. Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki, termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.
11

A. Riwayat AMPLE penderita dan mekanisme cedera 1. Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga, atau petugas pra-rumah sakit A = alergi M = medikasi (obat yang diminum saat ini) P = past illness (penyakit penyerta) / pregnancy L = last meal E = event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan 2. Dapatkan anamnesis sebab cdan meanisme cedera B. Kepala dan Maksilofasial 1. Penilaian a. Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk menemukan adanya laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal b. Re-evaluasi pupil c. Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS d. Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi lensa, dan adanya lensa kontak e. Evaluasi syaraf kranial f. Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan serebro spinal. g. Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebro spinal, perlukaan jaringan lunak dan ggi goyang 2. Pengelolaan
12

a. Jaga airway,pernafasan dan oksigenasi b. Control perdarahan c. Cegah kerusakan otak sekunder d. Lepaskan lensa kontak

C. Vertebra servikalis dan leher Penilaian a. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot pernafasan tambahan
b. Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan,

deviasi trakea, simetri pulsasi c. Identifikasi//tentukan cedera pada laring, fraktur servikal, kerusakan vascular, cedera esophagus, gangguan neurologis. D. Toraks Inspeksi dari depan dan belakang untuk melihat adanya flail chest atau pneumothoraks. Palpasi pada tiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat menimbulkan nyeri bila ada fraktur sternum. Kontusio dan hematoma pada dinding dada mungkin disertai kelainan dalam rongga toraks. Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks untuk menentukan pneumotoraks, dan pada bagian posterior untuk untuk adanya hemotoraks. Auskultasi dilkaukan untuk mendengarkan bunyi jantung. Bunyi jantung yang jauh disertai tekanan nadi yang kecil mungkin disebabkan tamponade jantung.
13

Tamponade jantung ata tension pneumothoraks dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis, walaupun adanya hipovolemi akan meniadakan tanda ini. Foto toraks dapat menunjukkan adanya hemo atau pneumothoraks. Mediastinum yang melebar atau menyimpangnya NGT kea rah kanan dapat merupakan tanda rupture aorta. E. Abdomen Diagnosis yang tepat pada trauma abdomen tidak terlalu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi. Pada saat penderita baru datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak menyingkirkan diagnosis perlukaan intraabdomen, karena gejala mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat. Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan neurologis, gangguan ksadaran karena alcohol dan/atau obat dan penemuan pemeriksaa fisik abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan diagnostic peritonela lavage (DPL), USG abdomen, atau bila keadaan umum memungkinkan, pemeriksaan CT-Scan abdomen dengan kontras. F. Perineum/Rektum/Vagina Perineum diperiksa untuk melihat adanya kontusio, hematoma, laserasi, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum pemasangan kateter uretra. Harus diteliti kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rectum, dan tonus musculus sfingter ani. Paa wanita, pemeriksaan colok vagina, dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur. G. Muskuloskeletal Ekstremitas diperiksa untk menemukan adanya luka atau deformitas. Fraktur yang kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi atau gerakan abnormal
14

Fraktur pada pelvis dikenal dengan adanya jejas daerah ala ossis ilii, pubis, labia, atau skrotum. Nyeri pada kompresi kedua SIAS, atau adanya mobilitas pelvis dan simfisis osis pubis membantu diagnosis. Karena manipulasi pelvis seperti ini dapat menyebabkan perdarahan, sebaiknya tes kompresi ini dilakukan satu kali saja oleh ahli bedah.

Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya gangguan vascular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur. Kerusakan ligament dapat menyebabkan sendi menjadi tidak stabil, kerusakan otot-tendo akan mengganggu pergerakan.

Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia.

H. Neurologis 1. Penilaian a. Reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran b. Tentuan skor GCS c. Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas d. Tentukan adanya tanda lateralisasi

2. Pengelolaan a. Teruskan ksigenasi dan ventilasi


b. Pertahankan imobilisasi penderita2

I.7. Tambahan Pada Secondary Survey

15

Dalam secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostic yang lebih spesifik misalnya, a. Foto tambaha daru tuulang belakang serta ekstremitas b. CT scan kepala, dada, abdomen, spine c. Urografi dan angiografi d. USG transesofageal e. Bronkhoskopi f. Esofagoskopi dll Pemeriksaan-pemeriksaan ini seringkali membutuhkan transportasi penderita ke ruangan yang lain, harus tersedia perlengkapan untuk resusitasi. Semua prosedur di atas jangan dilakukan sebelum hemodinamik penderita stabil.

I.8. Re-evaluasi Lakukan evaluasi ulang terus menerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan ditangani secepatnya. Penyakit penyerta dapat menjadi nyata. Kewaspadaan yang tinggi akan memungkinkan diagnosis dini dan terapi segera. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting dilkaukan. Produksi urin pada dewasa sebaiknya dijaga 0,5 cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam. Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Pemakaian analgesia yang tepat diperbolehkan. Golongan opiate dan anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular. Obat-obat ini harus diberikan secara hati-hati dan cukup untuk mencapai analgesia tau menghilangkan ketakutan.

I.9. Terapi Definitif


16

Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta factor-faktor yang dapat mengubah prognosis. Apabila keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien.2

II.

Anatomi Femur

Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter major dan trochanter minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan ligamentum dari caput. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea.3 Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan ke bawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit. Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum. Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya terdapat rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada condylus medialis.Tepian lateral menyatu ke bawah dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia poplitea.
17

Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis.4
III.

Definisi Fraktur Femur

Femur merupakan tulang yang terpanjang pada badan. Fraktur femur merupakan iskontinuita femur yang dapat terjadi mulai dari proksimal sampai distal tulang.1

IV.

Gambaran Klinis

Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan normal serta fragmen distal dalam posisi eksorotasi dan aduksi karena empat penyebab: 1) Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada fragmen atas dan bawah berkontraksi dan paha memendek, yang menyebabkan bagian paha yang patah membengkak. 2) Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada fragmen atas. Fraktur memisahkan dua kelompok otot tersebut, yang selanjutnya bekerja tanpa ada aksi antagonis. 3) Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi eksterna. 4) Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh ujung tulang fraktur yang tajam dan paha terisi dengan darah, sehingga terjadi pembengkakan.6,7,8 Selain itu, adapun tanda dan gejalanya adalah : Nyeri hebat di tempat fraktur
18

Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah Rotasi luar dari kaki lebih pendek Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

V.

Klasifikasi Fraktur Femur

Fraktur femur dapat dibagi dalam : V.1. Frakur Leher Femur1,5 Sering ditemukan pada orang tua terutama wanita umur 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis.

Mekanisme trauma : Jatuh pada daerah trokanter baik karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi di mana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Klasifikasi : 1. Hubungan terhadap kapsul Ekstrakapsuler Intrakapsuler

2. Sesuai lokasi
19

Sub-kapital Trans-servikal

3. Radiologis a. Berdasarkan keadaan fraktur Tidak ada pergeseran fraktur Fragmen distal, rotasi eksterna, abduksi dan dapat bergeser ke proksimal Fraktur impaksi

b. Klasifikasi menurut Garden Tingkat I : fraktur impoaksi yang tidak total Tingkat II : fraktur total tapi tidak bergeser Tingkat III : fraktur total disertai dengan sedikit pergeseran Tingkat IV: fraktur disertai dengan pergeseran yang hebat

c. Klasifikasi menurut Pauwel Berdasarkan atas sudut inklinasi leher femur.


Tipe I Tipe II Tipe III

: fraktur dengan garis fraktur 300 : fraktur dengan garis fraktur 500 : fraktur dengan garis fraktur 700

Pada tipe II dan III tekanan yang dialami oleh daerah fraktur lebih besar dan prognosisnya jelek. Patologi : Kaput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber :
20

1. Pembuluh darah intrameduler di dalam leher femur 2. Pembuluh darah servikal asendens dalam retinaculum kapsul sendi 3. Pembuluh darah dari ligament yang berputar Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intrameduler dan pembuluh darah retinaculum selalu mengalami robekan, bila terjadi pergeseran fragmen. Fraktur transervikal adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler yang mempunyai kapasitas yang sangat rendah dalam penyembuhan karena adanya kerusakan pembuluh darah, periosteum yang rapuh serta hambatan dari cairan synovia. Gambaran klinis : Riwayat jatuh dari ketinggian disertai nyeri pada daerah panggul terutama pda daerah inguinal depan. Nyeri dan pemendekan anggota gerak bawah dalam posisi rotasi lateral. Pengobatan : 1. Konservatif dengan indikasi yang sangat terbatas 2. Terapi operatif Pengobatan operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur leher femur, karena : Perlu reduksi yang akurat dan stabil Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah komplikasi

Jenis-jenis oprasi : 1. Pemasangan pin 2. Pemasangan plate dan screw 3. Artroplasti; dilakukan pada penderita umur di atas 55 tahun, berupa : Eksisi artroplasti Hemiartroplasti Artroplasti total
21

V.2. Fraktur Daerah Trokanter1,5,9 Disebut juga fraktur trokanterik (intertrokanterik), adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Bersifat ekstraartikuler dan sering terjadi pada orang tua di atas 60 tahun.

Mekanisme trauma : Terjadi bila penderita jatuh dengan trauma langsung pada trokanter mayor atau pada trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan minor di mana fragmen proksimal cendrung bergeser secara varus. Fraktur dapat bersifat komunitif terutama pada korteks bagian posteromedial.

Kalisifikasi : 1. Stabil 2. Tidak stabil Disebut tidak stabil bila korteks bagian medial remuk dan fragmen besar mengalami pergeseran terutama trikanter minor. Fraktur trokanterik diklasifkasikan aats 4 tipe : Tipe I Tipe II
Tipe III

: fraktur melewati trokanter mayor dan minor tanpa pergeseran : fraktur melewati trokanter mayor disertai pergeseran trokanter minor : fraktur disertai dengan fraktur spiral femur

Gambaran klinis :
22

Penderita lanjut usia dengan riwayat trauma pada daerah femur proksimal. Pada pemeriksaan didapatkan pemendekan anggota gerak bawah disertai rotasi eksterna. Pemeriksaan radiologis : Dapat menentukan jenis fraktur dan seberapa jauh pergeseran fraktur. Pengobatan : Fraktur tanpa pergeseran dapat dilakukan terapi konservatif dengan traksi. Pada fraktur trokanterik sebaiknya dilakukan pemasangan fiksasi interna dengan tujuan : 1. Untuk memperoleh fiksasi yang kuat 2. Untuk memberikan mobilisasi yang cepat pada orang tua

V.3. Fraktur Subtrokanter1,5,9 Dapat terjadi pada setiap umur dan biasanya akibat trauma yang hebat. Gambaran klinis : Anggota gerak bawah dalam keadaan rotasi eksterna, memendek dan ditemukan pembengkakan pada daerah proksimal femur disertai nyeri pada pergerakan. Pemeriksaan radiologis : Dapat menunjukkan fraktur yang terjadi di bawah trokanter minor. Garis fraktur bias berifat transversal, oblik, atau spiral dan sering bersifat komunitif. Fragmen proksimal dalam posisi fleksi sedangkan distal dalam posisi adduksi dan bergeser ke proksimal. Pengobatan :
23

Reduksi

terbuka

dan

fiksasi

interna

merupakan

pengobatan

pilihan

dengan

mempergunakan plate dan screw.

V.4. Fraktur Diafisis Femur1,5 Dapat terjadi pada setiap umur, biasanya karena trauma hebat misalnya kecelakaan lalu lintas atau trauma lain misalnya jatuh dari ketinggian. Femur diliputi oleh otot yang kuat dan merupakan proteksi untuk tulang femur, tetapi juga dapat berakibat jelek karena dapat menarik fragmen fraktur sehingga bergeser. Femur dapat pula mengalami fraktur patologis akibat metastasis tumor ganas. Fraktur femur sering disertai dengan perdarahan masif yang harus selalu dipikirkan sebagai penyebab syok. Mekanisme trauma : Pada pokoknya ini adalah fraktur orang dewasa muda. Fraktur spiral biasanya disebabkan oleh jatuh dengan posisi kaki tertambat sementara daya pemuntir ditransmisikan ke femur. Fraktur melintang dan oblik biasanya akibat angulasi atau benturan langsung, karena itu ini sering ditemukan dalam kecelakaan sepeda motor. Pada benturan keras (sering berupa kombinasi kekuatan langung dan tak langsung) frakur mungkin ersifat kominutif, atau tulang dapat patah pada lebih dari satu tempat (fraktur segmental). Meskipun jaringan lunak selalu mengalami cedera dan perdrahan mungkin hebat (dapat kehilngan darah lebih dari satu liter), otot masih dapat menstabilkan fraktur batang-tengah yang diterapi dengan traksi. Sebaliknya fraktur pada kedua ujung biasanya sulit dikendalikan. Gambaran klinik :

24

Sebagian besar pasien adalah orang dewasa muda. Mungkin datang dalam keadaan syok, dan pada fraktur tertutup emboli lemak sering ditemukan. Kaki berotasi luar dan mungkin memendek dan mengalami deformitas. Paha membengkak dan memar. Pemeriksaan radiolgis : Dengan foto rontgen dapat ditentukan lokalisasi dan jenis fraktur. Fraktur dapat terjadi pada setiap bagian batang, tetapi tempat ang plaing sering terjadi adalah sepertiga bagian tengah. Fraktur dapat bebrbentuk spiral atau melintang, atau mungkin terdapat fragmen berbentuk segitiga (kupu-kupu) yang terpisah pada satu sisi. Pergeseran dapat terjadi pada setiap arah. Kadan-kadang terdapat dua fragmen melintang, sehingga segmen femur akan terisolasi. Pelvis harus selalu difoto dengan sinar-X untuk menghindari terlewatkannya cedera pinggul atau fraktur pelvis yang menyertai.

Terapi darurat : Di tempat kecelakaan, syok harus diterapi dan fraktur dibebat sebelum pasien dipindahkan. Tungkai yang mengalami cedera dapat diikat pada kaki yang satunya atau dengan bebat yang sesuai. Untuk pengangkutan, idealnya digunakan bebat Thomas: kaki ditarik lurus dan dilewatkan melalui cincin bebat; kaki yang dipasangi ladam diikat pada persilangan untuk mempertahankan traksi, dan tungkai serta bebat dibalut bersama-sama dengan erat. Begitu sampai di rumah sakit dan cocok untuk dioperasi, pasien di anestesi, bebat dilepas (dilakukan pembersihan luka kalau fraktur itu terbuka) dan diberikan terapi yang pasti. Pengobatan : 1. Terapi konservatif

25

Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi definitive untuk mengurangi spasme otot. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah terjadi union fraktur secara klinis

2. Terapi operatif Pemasangan plate dan screw terutama pada fraktur proksimal dan distal femur Mempergunkan K-nail, AO-nail, atau jenis-jenis lain baik dengan operasi tertutup ataupun terbuka. Indikasi K-nail, AO-nail, terutama pada fraktur diafisis. Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur komunitif, infected pseudoartrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat. Komplikasi : 1. Komplikasi dini : Syok; dapat terjadi perdarahan sebanyak -2 liter walaupun fraktur bersifat tertutup Emboli lemak; sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur femur. Perlu dilalkukan pemeriksaan gas darah. Trauma pembuluh drah besar; ujung fragmen tulang menembus jaringan lunak dan merusak arteri femoralis. Dapat berupa kontusi saja dengan oklusi atau terpotong sama sekali. Trauma saraf; trauma pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen daapt disertai kerusakan saraf yang dapat bervariasi dari neuropraksia samapi aksonotemesis. Trombo-emboli; penderita dengan tirah baring yang lama misalnya ditraksi di tempat tidur, dapat mengalami komplikasi trombo-emboli. Infeksi; dapat terjadi pada fraktur terbuka akibat kontaminasi dari luka, infeksi dapat pula terjadi setelah tindakan operasi. 2. Komplikasi lanjut :

26

Delayed union; fraktur femur pada orang dewasa mengalami union daam 4 bulan

Nonunion; apabila permukaan fraktur menjadi bulat dan sklerotik dicurigai

adanya nonunion dan diperlukan fiksasi interna dan bone graft


Malunion; bila terjadi pergeseran kembali kedua ujung fragmen, maka diperlukan

pengamatan terus menerus selama perawatan. Angulasi lebih sering ditemukan. Malunion juga menyebabkan pemendekan pada tungkai sehingga diperlukan koreksi berupa osteotomy Kaku sendi lutut; setelah fraktur femur biasanya terjadi kesulitan pergerakan pada sendi lutut. Hal ini disebabkan oleh adanya adhesi periartikuler atau adhesi intramuskuler Refraktur; terjadi apabila mobilisasi dilakukan sebelum terbentuk union yang solid V.5. Fraktur Suprakondiler Femur1,5 Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur. Mekanisme trauma : Fraktur terjadi karena tekanan varus atau valgus disertai kekuatan aksial dan putaran. Klasifikasi : 1. Tidak bergeser 2. Impaksi 3. Bergeser 4. Komunitif Pergeseran terjadi pada fraktur oleh karena tarikan otot sehingga pada terapi konservatif lutut harus difleksi untuk menghilangkan tarikan otot.

27

Gambaran klinis : Berdasarkan anamnesis ditemukan riwayat trauma yang disertai pembengkakan dan deformitas pada daerah suprakondiler. Pada pemeriksaan mungkin ditemukan adanya krepitasi. Pemeriksaan radiologis ; Dapat menetukan jenis frakur. Pengobatan : 1. Terapi konservatif Traksi berimgbang dengan mempergunakan bidai Thomas Cast-bracing Spika panggul

2. Terapi operatif Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau adanya pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail-plate dan screw dengan macam-macam tipe yang tersedia.

V.6. Fraktur Suprakondiler Femur dan Fraktur Interkondiler1,5 Fraktur suprakondiler femur sering bersama-sama dengan fraktur interkondiler yang memberikan masalah pengelolaan yang lebih kompleks.

28

Klasifikasi : Klasifikasi menurut Neer, Grantham, Shelton : Tipe I Tipe IIA Tipe IIB Tipe III : fraktur suprakondiler dan kondiler bentuk T : fraktur suprakondiler dan kondiler dengan sebagian metafisis (bentuk Y) : sama seperti IIA tetapi bagian metafisis lebih kecil : fraktur suprakondiler komunitif dengan fraktur kondiler yang tidak total

Pengobatan : 1. Terapi konservatif, seperti pada fraktur suprakondiler dengan indikasi yang sama 2. Terapi operatif, karena fraktur ini bersifat intra-artikuler, maka sebaiknya dilakukan terapi operatif dengan fiksasi interna yang rigid untuk memperoleh posisi anatomis sendi dan segera dilakukan mobilisasi

V.7. Fraktur Kondilus Femur1,5 Kalsifikasi : Tipe I Tipe II bergeser Tipe III : kombinasi antara sagittal dan koronal : fraktur kondilus dalam posisi sagittal : fraktur dalam posisi koronal di mana bagian posterior kondilus femur

Gambaran Klinis :

29

Terdapat trauma pada lutut disertai nyeri dan pembengkakan . mungkin ditemukan krepitasi dan hemartrosis sendi lutut. Pemeriksaan radiologis : Sebaiknya dilakukan foto posisi AP, lateral, dan oblik untuk melihat posisi fraktur. Pengobatan : 1. Terapi konserfativ; pada fraktur yang tidak bergeser dapat dipergunakan pemasangan gips sirkuler di atas lutut. 2. Terapi operatif; mempergunakan screw agar didapatkan posisi anatomis sendi lutut dan mobilisasi dapat segera dilakukan

Laporan Kasus

Pasien perempuan usia 25 tahun datang ke IGD RS Achmad Muchtar Bukittinggi dengan keluhan nyeri pada paha kiri sejak 2 jam sebelum masuk RS.

Primary Survey : A = clear


30

B = baik, 22 x/menit, bentuk dan pergerakan dada simetris C = baik, TD: 110/70 mmHg, nadi 82 x/menit D = alert, GCS 15

Secondary Survey : Keluhan utama : nyeri pada paha kiri sejak 2 jam sebelum masuk RS RPS : Awalnya pasien sedang naik mobil yang kemudian menabrak batu besar, bagian depan mobil ringsek sehingga paha pasien terhimpit antara dashboard dan bangku Pasien sadar, sakit kepala (-), muntah (-) Pasien merasa nyeri di paha kiri yang disertai bengkak dan tidak dapat menggerakkan kaki kirinya Perdarahan dari mulut, hidung, telinga (-) Pasien baru dapat dikeluarkan dari mobil 1 jam setelah kecelakaan dan langsung di bawa ke puskesmas, kemudian dirujuk ke RSAM.

PEMERIKSAAN FISIK Status generalis


Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi

: Tampak Sakit sedang : Compos mentis cooperatif : 110/70 mmHg : 82 x/m


31

Suhu
Pernafasan Kepala Leher

: Afebris : 22x / menit : dalam batas normal : JVP tidak meningkat : Bentuk dan gerak simetris : supel, NT (-) dan NL (-) : Bunyi jantung murni dan reguler : dalam batas normal : status lokalis

Thorax
Abdomen Jantung

Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah

Status Lokalis a/r femur sinistra :


Look

: Skin Shape Deformity

: abrasi (-), wound (-), hematome (-), : swelling (+) : (+), angulasi ke lateral, diskrepansi (+) : warm

Feel

: Skin NT (+)

Pulsasi arteri popliteal, arteri tibialis anterior, arteri dorsalis pedis normal compare to the other side
32

Sensibilitas distal (+) baik Capillary refill < 2


Movement

: ROM of hip to knee joint is limited due to pain

DIAGNOSIS KLINIS: Close fraktur femur sinistra

PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto polos femur sinistra AP dan Lateral Kesan : close fraktur 1/3 tengah femur sinistra tansverse displaced

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Dalam batas normal

DIAGNOSIS: close fraktur shaft femur sinistra 1/3 tengah transverse displaced

RENCANA TERAPI Analgetik ATS Imobilisasi pasien dengan skin traksi ORIF elektif

33

Daftar Pustaka
1. Rasjad Chairuddin, 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 2. Bintang Lamumpatue.

Makassar . Hal 437-447 2. ATLS Advance Trauma Life Support Untuk Dokter. 2004. Edisi 7. American College of Surgeon. United States. Hal 13-65 3. Thompson Jon C, 2002. Netters Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. Elsevier. Philadelphia. Hal 180-185
4. Anatomi Femur. Diakses dari http://doctorology.net.. Diunduh tanggal 6 Februari 2012 5. Apley Graham A, Solomon Louis, 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.

Edisi 7. Widya Medika. Jakarta. Hal 367-381


6. De Jong W, Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal

180-183
34

7. Djoko Simbardjo. Fraktur Batang Femur. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bagian Bedah FKUI. 8. Dandy DJ. Essential Orthopaedics and Trauma. Edinburg, London, Melborue, New York: Churchill Livingstone, 1989. 9. Mostofi Sayed Behrooz. Fractur Classifications in Clinical Practice. 2006. Springer. United Kingdom. Hal 43-54

35

You might also like