You are on page 1of 15

PERSPEKTIF FISIOLOGI SUATU ANALISIS KELELAHAN SAAT DEHIDRASI

Neng Tine Kartinah Almuktabar


Abstrak: Saat pertandingan, seorang atlet dapat mengalami kelelahan yang diakibatkan oleh dehidrasi. Kelelahan tersebut merupakan dampak dari penurunan kemampuan kerja otot yang disebabkan kelelahan di tingkat pusat dan perifer. Oleh karena, dehidrasi dapat menyebabkan hyperosmolarity yang berdampak pada penurunan sensitivitas saraf otak sehingga terjadi penurunan kemampuan rekruitmen dan frekuensi pengaktifan motor unit dalam kontraksi otot. Penurunan kemampuan rekritmen jumlah dan frekuensi pengaktifan motor unit merupakan penyebab kelelahan pusat. Dehidrasi juga menyebabkan hyperthermia dan hypovolemia. Hyperthermia dapat mengganggu perambantan impuls dan menimbulkan kerusakan enzim yang membantu dalam proses metabolisme. Hypovolemia menyebabkan menurunnya kesediaan oksigen dan energi untuk kontraksi otot. Gangguan perambatan impuls, kerusakan enzim serta kurangnya kesediaan oksigen dan energi akan menghambat proses kontraksi otot yang berdampak pada kelelahan perifer. Kata kunci: kelelahan pusat, kelelahan perifer, dehidrasi.

Saat pertandingan, seorang atlet dapat mengalami penurunan performance yang diakibatkan oleh kelelahan. Indikator penurunan performance tersebut dengan cara menilai kerja ototnya, karena performance atlet ditentukan oleh kemampuan kontraksi otot yang menghasilkan kekuatan otot (kemampuan otot atau sekelompok otot untuk melakukan satu kali kontraksi secara maksimal untuk melawan tahanan atau beban), daya tahan otot (kemampuan atau kapasitas
Neng Tine Kartinah Almuktabar adalah Dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Univesitas Pendidikan Indonesia (UPI).

94

Fisiologi Kelelahan Saat Dehidrasi (Neng Tine Kartinah Almuktabar)

sekelompok otot untuk melakukan kontraksi secara yang berulang-ulang melawan beban tertentu atau mempertahankan kontraksi dalam jangka waktu lama) sampai power otot (perkalian kekuatan dengan kecepatan). Untuk mempertahankan kerja otot saat pertandingan diperlukan kontribusi dari berbagai faktor yaitu faktor kemampuan pusat (susunan saraf pusat) untuk mengendalikan kontraksi otot, serta faktor perifer (di luar susunan saraf pusat) untuk melakukan proses kontraksi otot. Kemampuan faktor pusat dalam mengendalikan kontraksi otot melalui kemampuan otak dalam merekrut jumlah motor unit oleh susunan saraf pusat (SSP), sedangkan kemampuan faktor perifer dalam proses kontraksi otot meliputi kemampuan saraf, kemampuan mekanik kontraksi dan kesediaan energi untuk kontraksi. Dengan demikian berkurangnya kerja otot dapat disebabkan karena berkurangnya kemampuan kontraksi otot ditingkat pusat atau perifer. Berkurangnya kemampuan di tingkat pusat dikenal dengan kelelahan pusat dan berkurangnya kemampuan di perifer dikenal dengan kelelahan perifer. Kelelahan di pusat dan perifer tersebut bisa disebabkan oleh dehidrasi atau hilangnya cairan tubuh. Namun bagaimana mekanisme terjadinya kelelahan di pusat dan perifer saat dehidrasi dikaitkan dengan kemampuan kerja otot. Oleh karena itu, pada makalah ini akan mengkaji mekanisme kelelahan saat dehidrasi ditinjau dari kemampuan kerja ototnya. DEHIDRASI Keseimbangan air dan elektrolit diperlukan untuk mempertahankan kesehatan secara umum. Air merupakan komponen utama dalam tubuh yang jumlahnya sekitar 73% dari lean body mass. Air dalam tubuh didistribusikan dalam sel dan plasma. Saat tubuh sedang istirahat, sekitar 30-35% air berada di intra sel, 20-25% berada di interstitial dan sekitar 5% berada di plasma. Peran air dalam sel sebagai medium dari reaksi biokimia dan peran air dalam plasma untuk mempertahankan volume darah yang dibutuhkan oleh sistem kardiovaskular. Air sangat berperan dalam tubuh manusia, namun pada saat melakukan olahraga, seorang atlet akan banyak kehilangan air melalui keringat. Keringat merupakan mekanisme pembuangan panas yang paling efektif saat berolahraga. Oleh karena, saat berolahraga tubuh akan 95

JURNAL IPTEK OLAHRAGA, VOL. 11, No. 2, Mei 2009: 94108.

menghasilkan banyak panas yang merupakan hasil dari metabolisme energi untuk mendukung kontraksi otot. Sebesar 70-90% energi yang dilepaskan dari metabolime tersebut berupa panas dan sisanya baru ATP. Oleh karenanya tubuh harus efektif dalam membuang panas yang dihasilkan saat berolahraga. Sebenarnya tubuh memiliki 4 mekanisme pembuangan panas yaitu: radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi. Radiasi adalah kehilangan panas dalam bentuk sinar infra merah. Hal ini melibatkan transfer panas dari permukaan satu objek ke permukaan lainnya tanpa melibatkan kontak fisik. Penting untuk diingat bahwa radiasi adalah transfer panas melalui sinar infra merah dan dapat menyebabkan hilangnya panas atau menerima panas bergantung pada kondisi lingkungan. Konduksi diartikan sebagai transfer panas dari tubuh ke molekul objek yang paling dingin karena adanya kontak dengan permukaan objek tersebut. Konveksi adalah bentuk hilangnya panas melalui molekul udara atau molekul air yang terjadi kontak dengan tubuh. Terakhir adalah evaporasi yaitu pembuangan panas melalui keringat. Mekanisme pembuangan panas tersebut dipengaruhi beberapa faktor yaitu suhu lingkungan, kelembaban udara, dan intensitas latihan (Werner, 1993). Mekanisme pembuangan panas melalui konduksi dan konveksi menjadi tidak efektif ketika suhu lingkungan panas, bahkan pembuangan panas secara radiasi menjadi tidak mungkin ketika suhu lingkungan panas (Douglas, 2000). Dengan demikian, ketika suhu lingkungan panas, maka pembuangan panas yang paling efektif melalui mekanisme evaporasi. Namun demikian, efektivitas pembuangan panas melalui evaporasi tersebut tergantung pada beberapa ukuran tubuh, intensitas latihan, temperatur ambien, kelembaban, dan aklimasi panas. Seperti pada kondisi udara panas dan kelembaban yang rendah maka evaporasi akan mampu membuang panas sebesar 98% dari total panas tubuh (Warner, 1993; Amstrong, 1993). Berdasarkan pada hal tersebut, saat olahraga maka pembuangan panas melalui mekanisme evaporasi adalah efektif. Namun, evaporasi tersebut berdampak pada kehilangan cairan tubuh. Menurut Sawka (1995), saat atlet berolahraga dengan intensitas tinggi akan terjadi pengeluaran keringat dengan laju sebesar 1.0-2.5 L/jam. Sedangkan menurut Greenleaf (1991), pembuangan keringat pada suhu panas sekitar 96

Fisiologi Kelelahan Saat Dehidrasi (Neng Tine Kartinah Almuktabar)

4 -10L/ hari. Padahal, berkurangnya cairan tubuh sebanyak 1-2% saja dari total body akan mengalami gangguan fungsi tubuh serta menimbulkan penurunan performance. Hal ini di dukung oleh beberapa penelitian para ahli diantaranya Amstrong (1985) yang meneliti dampak dehidrasi terhadap endurance performance pada pelari jarak 1500m, 5000m dan 10.000m. Hasilnya membuktikan dehidrasi menurunkan endurance performance sebesar 5% pada pelari jarak 5000m dan 10.000m dan sebesar 3% pada pelari 1500m. Sedangkan penelitian Burge (1993), dehidrasi pada atlet rowing menurunkan power otot sebesar 5%. Menurut Sawka (1992), dehidrasi sebesar 8% menurunkan waktu toleransi terjadinya kelelahan. Dengan demikian, dehidrasi akan mempercepat terjadinya kelelahan. KELELAHAN Kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi kelelahan yang berlokasi di sistem saraf pusat yang dikenal dengan kelelahan pusat dan kelelahan yang berlokasi di luar sistem saraf pusat yang dikenal dengan kelelahan perifer. Kelelahan Pusat Kelelahan pusat disebabkan karena kegagalan sistem saraf pusat merekrut jumlah dan mengaktifkan motor unit yang dilibatkan dalam kontraksi otot. Padahal kedua hal tersebut berperan dalam besarnya potensial yang dihasilkan selama kontraksi otot. Dengan demikian, berkurangnya jumlah motor unit dan frekuensi pengaktifan motor unit menyebabkan berkurangkan kemampuan kontraksi otot. Rekruitmen jumlah motor unit juga dipengaruhi oleh motivasi. Pada perangsangan elektrik pada otot yang lelah masih dapat mengembangkan kekuatan kontraksi otot. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan kekuatan otot tersebut dapat dipengaruhi oleh aspek psikologis. (Robert, 1999). Selain itu ada penelitan lain mengenai pengaruh motivasi terhadap performance. Seorang yang memiliki motivasi yang rendah akan mudah lelah dibandingkan dengan seorang yang memiliki motivasi tinggi (Robert,1999). Dengan demikian, diyakini bahwa rendahnya motivasi pada sistem saraf pusat akan menurunkan rekruitmen jumlah motor unit sehingga terjadi kelelahan pusat. 97

JURNAL IPTEK OLAHRAGA, VOL. 11, No. 2, Mei 2009: 94108.

Kelelahan Perifer Kelelahan perifer merupakan kelelahan yang disebabkan karena faktor di luar sistem saraf pusat. Kelelahan perifer tersebut disebabkan ketidakmampuan otot untuk melakukan kontraksi dengan maksimal yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah gangguan pada kemampuan saraf, kemampuan mekanik kontraksi otot, dan kesediaan energi untuk kontraksi. Kelelahan pada gangguan saraf merupakan gangguan neuromuscular junction, ketidakmampuan sarcolemma mempertahankan konsentrasi Na+ dan K+ sehingga menurunkan depolarisasi sel dan amplitudo potensial aksi. Gangguan pada saraf tersebut akan berdampak pada berkurangnya kemampuan perambatan impuls dan ketidakmampuan membran otot untuk mengkonduksi potensial aksi. Gangguan perambatan impuls sehingga menuntut frekuensi stimulus yang tinggi. Stimulus yang berulang pada membran otot (sarkolemma) dapat berakibat blok impuls pada T tubule (Scott, 2002). Padahal proses terpicunya kontraksi karena impuls yang dihantarkan ke seluruh fibril dalam serat otot melalui T tubule. Blok impuls pada T tubule akan menyebabkan berkurangnya pelepasan Ca++ dari sarcoplasmic retikulum karena impuls di T tubule berperan dalam pelepasan ion Ca2+ dari sister terminal, yaitu kantung lateral retikulum sarkoplasmik yang bersebelahan dengan T tubule. Peran Ca2+ adalah memicu terjadinya kontraksi otot dalam proses sliding mechanism. Kemampuan menghasilkan gaya pada sliding mechanism termasuk dalam faktor mekanik pada kontraksi otot. Pada keadaan otot yang istirahat, troponin I terikat erat pada aktin, dan tropomiosin menutupi tempat-tempat untuk mengikat kepala miosin di molekul aktin. Jadi, kompleks troponin-tropomiosin membentuk protein relaksan yang menghambat interaksi aktin dengan miosin. Bila ion Ca 2+ yang dilepaskan oleh potensial aksi kemudian akan diikat oleh troponin C, ikatan antara troponin I dengan aktin menjadi melemah, sehingga memungkinkan tropomiosin bergerak ke lateral (Guyton, 1999). Gerakan ini membuka tempat-tempat pengikatan kepala-kepala miosin sehingga terjadi kontraksi (proses sliding). Proses sliding juga dapat terhambat karena meningkatnya kadar H+ akibat akumulasi asam laktat. Tingginya ion H+ pada otot akan menghambat pelepasan Ca +2 dari sarkoplasmic Reticulum, dan menginterfensi ikatan Ca +2 dengan troponin, sehingga 98

Fisiologi Kelelahan Saat Dehidrasi (Neng Tine Kartinah Almuktabar)

proses kontraksi otot terganggu. Dengan demikian, gangguan pada pelepasan Ca2+ dan peningkatan H+ akan menimbulkan berkurangnya force pada setiap cross-brigde sehingga terjadi kelelahan. Kelelahan tersebut disebabkan gangguan pada faktor mekanik kontraksi otot. Dari uraian sebelumnya, menunjukkan bahwa proses sliding terjadi karena aksi dari Ca2+. Namun selain aksi Ca2+,, kontraksi otot juga membutuhkan energi berupa ATP. ATP tersebut dapat diproduksi secara anaerobik (sistem ATP-PC dan glikolisis laktasid) dan aerobik. Sistem ATP-PC merupakan produksi ATP yang cepat melalui pemecahan PC. Phospocreatin (PC) merupakan senyawa yang mengandung fosfat dan tertimbun di otot. Sistem glikolisis laktasid merupakan produksi ATP dari rangkaian glikolisis anaerobik yang menghasilkan asam laktat. Sedangkan sistem aerobik merupakan produksi ATP dari sumber energi glukosa/glikogen dan asam lemak dengan bantuan oksigen. Dengan demikian, sumber energi yang dominan digunakan untuk memproduksi ATP adalah glikogen/glukosa dan asam lemak. Rendahnya cadangan glikogen otot akan mengurangi kemampuan otot untuk memproduksi ATP melalui glikolisis sehingga mengganggu kontraksi otot. Cadangan glikogen otot kurang dari 20 mmol/kgBB yang akan mengganggu kontraksi otot. Kemudian rendahnya mobilisasi asam lemak juga akan mengganggu pembentukan ATP secara aerobik. Produksi ATP secara aerobik melibatkan bantuan oksigen. Suplai oksigen tergantung dari VO2Max yang melibatkan peran ventilasi, kardiovaskular dan respirasi otot. Bila suplai oksigen tidak terpenuhi akan mengakibatkan produksi ATP secara anaerobik (sistem glikolisis laktasid) yang berdampak pada penumpukan asam laktat. Kelelahan karena gangguan perambatan impuls, mekanik kontraksi otot dan suplai energi akan menyebabkan kelelahan perifer. Kelehanan Pusat Akibat Dehidrasi Dehidrasi saat berolahraga dapat menyebabkan penurunan kemampuan rekruitmen motor unit oleh susunan saraf pusat yang dikenal dengan kelelahan pusat. Gangguan rekruitmen jumlah motor unit tersebut dikarenakan gangguan pada susunan saraf pusat akibat hyperthermia (kenaikan suhu inti tubuh). Hasil penelitian Sawka (1984) menunjukkan dehidrasi sebesar 6% menyebabkan peningkatan suhu inti tubuh sebesar 99

JURNAL IPTEK OLAHRAGA, VOL. 11, No. 2, Mei 2009: 94108.

0,8oC. Sedangkan Mountain (1992) mengemukakan peningkatan suhu inti tubuh seiring dengan peningkatan kehilangan cairan tubuh (dehidrasi). Saat tubuh mengalami dehidrasi sebesar 1% terjadi peningkatan suhu inti tubuh sebesar 0,2oC dan saat tubuh mengalami dehidrasi 6% terjadi peningkatan suhu inti tubuh sebesar 0,8oC. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap kehilangan cairan tubuh sebesar 1% akan menyebabkan peningkatan suhu inti tubuh dari 0,1 sampai 0.23oC. Peningkatan suhu inti tubuh tersebut merupakan dampak dari kegagalan tubuh dalam menjaga suhu tubuh yang stabil. Pusat pengaturan suhu tubuh terletak di hypotamulus. Anterior hypotalamus bertanggung jawab untuk meningkatnya suhu tubuh, sedangkan posterior hypothamulus bertanggungjawab untuk penurunan suhu tubuh. Pada saat olahraga, posterior hypothalamus bekerja untuk membuang panas dengan merangsang kelenjar keringat untuk membuang panas melalui proses evaporasi. Banyaknya cairan tubuh yang hilang saat proses evaporasi akan menimbulkan kehilangan cairan tubuh yang menyebabkan terjadinya hypovolemia dan hyperosmolarity. Hypovolemia dan hyperosmolarity tersebut dapat mengganggu proses pembuangan panas tubuh yang akan diuraikan berikut ini. Hypovolemia akan menyebabkan penurunan volume preload jantung. Penurunan volume preload tersebut akan menurunkan tekanan atrium (atrial filling pressure), sehingga akan merangsang baroreseptor (Fortney, 1995). Baroreseptor kemudian menginformasikan melalui serabut eferen ke hypothalamus sebagai pusat regulasi suhu. Respon hypothalamus akan memprioritaskan sirkulasi pada daerah yang aktif seperti otot dan mengabaikan daerah lainnya seperti permukaan kulit (Rowell, 1986; Johnson, 1996). Dengan demikian hipovolemia akan menyebabkan vasokontriksi pada sirkulasi permukaan kulit. Selain itu, rendahnya tekanan atrium dan meningkatnya rangsangan baroreseptor secara akan menstimulasi peningkatan catecholamine dalam plasma (Gonzales, 1995). Peningkatan tersebut akan menginhibisi respon vasodilatasi. Epinephrine yang merupakan cathecolamine berperan dalam meningkatkan resistensi vascular cutaneous dan menurunkan aliran darah. (Sawka, 2000; Gonzales, 1995).

100

Fisiologi Kelelahan Saat Dehidrasi (Neng Tine Kartinah Almuktabar)

Berkurangnya aliran darah perifer akan menghambat pembuangan panas, sehingga suhu inti tubuh meningkat. Bahkan menurut Herzman (1960) peningkatan suhu inti tubuh tersebut akan mengurangi sensitivitas mekanisme berkeringat, sehingga memperberat kegagalan tubuh untuk membuang panas. Kegagalan tubuh untuk membuang panas juga disebabkan karena terjadi hyperosmolarity. Hyperosmolarity diakibatkan oleh penurunan volume plasma selama dehidrasi. Penurunan volume plasma terjadi karena kehilangan cairan tubuh melalui evaporasi. Namun pada proses respirasi pun memberi kontribusi terhadap kehilangan cairan tubuh meski tidak sebanyak melalui evaporasi. Kehilangan cairan tubuh tersebut tidak sebanding dengan kehilangan ion tubuh. Menurut Greenleaf (1994) kehilangan cairan tubuh melalui keringat dapat mencapai 4-10 L/hari. Kehilangan ion sodium cloride tubuh melalui evaporasi sebesar 10-70 mmol/L. Seperti halnya dengan sodium terdapat kehilangan ion lain bersamaan dengan keringat yaitu potasium sebesar 3-15 mmol/L, calsium sebesar 0,3-2 mmol/L dan magnsium sebesar 0,2-1,5 mmol/L (Brouns, 1991). Reabsorbsi ion utama tubuh (sodium) oleh kelenjar dengan cara transport aktif. Namun kecepatan reabsorbsi tersebut tidak seiring dengan laju kecepatan berkeringat sehingga konsentrasi sodium tersebut meningkat. (Sawka, 1996). Hal ini didukung oleh penelitian Senay (1968) yang menyatakan adanya korelasi antara peningkatan laju keringat dengan peningkatan konsentrasi Na+. Hal tersebut yang membuat terjadinya peningkatan osmolaritas cairan tubuh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehilangan cairan tubuh akan meningkatkan konsentrasi ion utama sehingga terjadi peningkatan osmolaritas cairan tubuh. Menurut Senay (1979) peningkatan konsentrasi ion utama dan osmolaritas cairan tubuh juga terjadi pada jaringan non kontraktil seperti sistem saraf pusat diantaranya adalah hypothalamus. Menurut Douglas (2000) neuron disekitar hypothalamus sensitif terhadap perubahan osmolaritas. Perbedaan tekanan osmotik pada area ini akan menyebabkan air bergerak dari jaringan menuju darah, sedangkan pergerakan ion ke arah yang berlawanan. Hal ini menyebabkan tingginya konsentrasi ion utama tubuh dalam jaringan. Padahal ratio Na+ dan Ca+2 disekitar neuron hypothalamus mempengaruhi peningkatan suhu inti tubuh. 101

JURNAL IPTEK OLAHRAGA, VOL. 11, No. 2, Mei 2009: 94108.

Dengan demikian, peningkatan ion utama dan osmolaritas menyebabkan terjadi peningkatan suhu inti tubuh. (Nielsen, 1974). Dari uraian tersebut, menunjukkan bahwa hyperthermia disebabkan karena hypovolemia dan hyperosmolarity. Hyperthermia tersebut akan berdampak pada fungsi otak dan sistem saraf sehingga akan menurunkan respon di otak. Hal tersebut terjadi akibat adanya peningkatan resistensi penyampaian informasi antar serabut saraf (Senay, 1979). Penurunan respons saraf tersebut akibat berkurangnya sensitivitas saraf akibat perubahan pada perangsangan membran yang kemungkinan disebabkan oleh perubahan dalam osmolaritas, konsentrasi Na +, neurotransmitters, dan perubahan dalam membran itu sendiri. Penurunan sensitivitas saraf pusat tersebut akan mengganggu proses rekruitmen jumlah motor unit dan frekuensi pengaktifan motor unit. Menurut Nielsen (1996), peningkatan suhu inti >39 C akan terjadi penurunan fungsi dari pusat motor dan penurunan kemampuan untuk merekrut motor unit. Padahal jumlah motor unit yang terlibat dan frekuensi pengaktifan motor unit akan menentukan potensial kontraktil dari otot. Berkurangnya jumlah motor unit dan frekuensi pengaktifan motor unit yang berkurang akan menyebabkan penurunan kekuatan kontraksi otot, daya tahan otot dan power otot. Hal ini didukung oleh penelitian yang membuktikan bahwa heat stress dapat menyebabkan penurunan maximal aerobic power sebesar 7% (Sawka, 1985), menurunkan power otot sebesar 7% (Burge, 1993) dan menurunkan muscle endurance (Douglas, 2000). Rektuitmen jumlah motor unit juga dipengaruhi oleh motivasi. Heat stress yang diakibatkan dehidrasi dapat mengganggu fungsi mental (Mountain, 1992) dan menyebabkan terjadinya penurunan motivasi (Douglas, 2000). Padahal motivasi berperan dalam merekrut jumlah motor unit. Menurunnya jumlah rekruitmen motor unit akan menimbulkan yang digolongkan dalam kelelahan sentral. Kelelahan Perifer Akibat Dehidrasi Dehidrasi menyebabkan gangguan kontraksi otot yang diakibatkan gangguan pada perambatan impuls (faktor neuromuscular), gangguan pada mekanik kontraksi otot, dan kekurangan energi untuk kontraksi otot.

102

Fisiologi Kelelahan Saat Dehidrasi (Neng Tine Kartinah Almuktabar)

Gangguan perambatan impuls dikarenakan adanya perubahan dalam neurotransmitter, osmolaritas, dan konsentrasi Na +. Penurunan neurotransmitter akan mengganggu perambatan impuls pada synap dan neuromuscular junction. Hyperosmolarity yang ditunjukkan dengan peningkatan konsentrasi ion utama tubuh yang berdampak pada penurunan sensitivitas serabut saraf. Penurunan sensitivitas saraf tersebut akan menimbulkan kegagalan pada kemampuan membran otot untuk mengkonduksi potensial aksi dan akan menyebabkan blok potensial aksi pada T tubule. (Scott, 2002) Blok potensial aksi tersebut menyebabkan penurunan pelepasan Ca++ dari sarcoplasmic retikulum. Dan sebagaimana diketahui Ca++ berperan dalam mekanisme sliding pada kontraksi otot. Selain itu, kontraksi otot akan terganggu bila terdapat penurunan produksi ATP. Produksi ATP tersebut ditentukan oleh faktor suplay sumber energi dan oksigen. Sumber energi yang digunakan saat terjadi dehidrasi adalah glikogen. Menurut Douglas (2000) terjadi peningkatan degradasi glikogen otot saat terjadi dehidrasi. Rangkaian katabolisme glikogen dilanjutkan pada rangkaian proses glikolisis yang bisa dilakukan secara anaeobik atau tanpa kehadiran oksigen dalam metabolismenya dan secara aerobik atau memerlukan oksigen dalam metabolismenya. Rangkaian glikolisis yang dilakukan secara anerobik akan menghasilkan asam piruvat, atom hidrogen yang bergabung dengan NAD+ membentuk NADH dan H+. Terbentuknya asam piruvat dan atom hidrogen akan menghentikan proses glikolisis dan berakhirnya pembentukan ATP. Asam piruvat dalam keadaan anaerob akan di ubah menjadi asam laktat yang berdifusi dengan mudah keluar sel masuk ke dalam cairan ekstra sel atau masuk ke dalam cairan intrasel pada sel yang tidak aktif. Rangkaian glikolisis yang dilakukan secara aerobik setelah katabolisme glukosa menjadi asam piruvat, maka piruvat tersebut diubah menjadi molekul asetil ko-A yang akan masuk dalam siklus kreb untuk menghasilkan atom hidrogen. Atom hidrogen tersebut yang dibawa oleh NADH + H+ dan FADH2 akan dioksidasi dalam rangkaian electron transport chain dalam mitokondria yang akan menghasilkan ATP. Proses keberlangsungan reaksi kimia pada rangkaian glikolisis tersebut membutuhkan enzim. Enzim merupakan katalisator yaitu zat yang mempercepat reaksi kimia. Enzim merupakan protein yang berperan 103

JURNAL IPTEK OLAHRAGA, VOL. 11, No. 2, Mei 2009: 94108.

dalam regulasi jalur metabolisme dalam sel. Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu yang optimum. Secara umum, peningkatan kecil suhu tubuh akan berdampak pada peningkatan aktivitas enzim. Hal ini sangat membantu untuk pemenuhan energi yang meningkat saat olahraga. Peningkatan suhu yang kecil tersebut akan meningkatkan aktivitas enzim yang berperan dalam membantu proses metabolisme yang bertujuan untuk menghasilkan energi. Namun demikian, ketika terjadi peningkatan suhu yang besar akan berdampak pada penurunan aktivitas enzim. Pada saat dehidrasi akan terjadi peningkatan suhu otot yang disebabkan berkurangnya perfusi darah dalam jaringan selama kontraksi dan relaksasi otot. (Douglas, 2000). Dengan demikian peningkatan suhu tersebut akan mengganggu rangkaian kimia dalam metabolisme glikolisis sehingga akan menghambat produksi ATP. Produksi ATP melalui rangkaian glikolisis aerobik memerlukan suplay oksigen yang memadai. Kebutuhan oksigen otot tersebut dipengaruhi oleh VO2Max yang melibatkan sistem jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal dalam mengambil oksigen dan menyalurkannya ke jaringan yang aktif sehingga dapat digunakan pada proses metabolisme di otot. Dengan demikian faktor yang berperan dalam VO2Max adalah: (1) kemampuan paru untuk menghirup udara dan mengalirkan udara melewati permukaan alveolus ke peredaran darah yang ditandai dengan ventilasi maksimum permenit dan kapasitas difusi paru-paru; (2) kemampuan darah untuk mengangkut oksigen; (3) kemampuan sirkulasi jantung untuk menghantarkan oksigen ke otot yang sedang bekerja; (4) kemampuan pembuluh darah untuk mengalirkan darah ke otot yang bekerja; serta (5) kemampuan otot untuk mentransport oksigen dari haemoglobin ke mitokondria dan kemampuan mitokondria untuk menggunakan oksigen. Pada saat dehidrasi terjadi penurunan VO2Max lebih dari 3% (Sawka, 1999). Penurunan tersebut disebabkan menurunnya kemampuan sistem respirasi dan kardiovaskular. Pada sistem respirasi terjadi peningkatan tekanan parsial CO2. Peningkatan CO2 dikarenakan saat dehidrasi tidak terjadi peningkatan sensitivitas untuk membuang CO 2 karena adanya penurunan sensitivitas sistem saraf pusat. Peningkatan tekanan parsial CO2 akan mempengaruhi proses difusi gas. Sebagaimana 104

Fisiologi Kelelahan Saat Dehidrasi (Neng Tine Kartinah Almuktabar)

diketahui bahwa proses difusi gas tersebut dipengaruhi oleh perbedaan tekanan parsial O2 dan CO2. Selain itu, menurut Sawka (1985) dehidrasi menyebabkan terjadinya penurunan volume darah yang menyebabkan peningkatan viskositas darah dan menurunkan venous return. Peningkatan viskositas darah akan menimbulkan peningkatan resistensi sirkulasi sistemik sehingga akan menurunkan cardiac filling dan menyebabkan penurunan pada stroke volume, mean artial pressure dan cardiac output. (Allen, 1977; Douglas, 2000). Dehidrasi akan menurunkan kemampuan pengiriman oksigen pada otot dan menurunkan uptake oksigen oleh otot. Kemampuan penurunan pengiriman oksigen tergantung pada aliran darah. Saat dehidrasi terjadi peningkatan viskositas darah dan resistensi sistemik yang berdampak pada penurunan aliran darah. Selain itu, uptake oksigen oleh otot juga berkurang saat terjadi dehidrasi, karena penurunan cardiac output. Uptake oksigen oleh otot merupakan kontribusi dari cardiac output dan arterial-mixed venous oxygen difference. Penurunan cardiac output akan menghasilkan penurunan uptake oksigen oleh otot yang akan digunakan untuk proses oksidasi pada rangkaian produksi ATP dalam otot. Berkurangnya uptake oksigen dalam otot akan menyebabkan otot mengalami hypoxia. Rendahnya oksigen dalam otot menyebabkan meningkatnya metabolisme energi secara glikolisis anaerob yang akan menghasilkan laktat. Selain itu, rendahnya oksigen juga menyebabkan rendahnya aktivitas transport elektron untuk menghasilkan ATP secara aerob. Dengan demikian rendahnya oksigen dalam otot akan menyebabkan berkurangnya aktifitas pembentukan energi secara aerob dan meningkatnya aktifitas pembentukan energi secara anaerob yang menghasilkan asam laktat. Penumpukan asam laktat akan menurunkan pH sehingga meningkatkan suasana asam dalam sel. Peningkatan keasaman dalam sel tersebut akan mengganggu stimulasi saraf dan metabolisme seluler. Oleh karena, aktivitas enzim yang berperan dalam metabolisme dipengaruhi oleh pH sel. Aktivitas enzim tersebut memerlukan pH yang optimum, bila terjadi perubahan pH maka akan berdampak pada penurunan aktivitas enzim tersebut. Dengan demikian penurunan pH tersebut akan mempengaruhi aktivitas enzim yang berperan membantu proses metabolisme tubuh untuk 105

JURNAL IPTEK OLAHRAGA, VOL. 11, No. 2, Mei 2009: 94108.

menghasilkan energi. Berkurangnya kemampuan metabolisme sel untuk memproduksi energi akan menurunkan kemampuan otot untuk berkontraksi. Menurunnya kemampuan otot akibat akumulasi asam laktat disebabkan berkurangnya kecepatan laju removal asam laktat, yang disebabkan adanya ketidak seimbangan antara produksi asam laktat dengan removal asam laktat di hati. Kecepatan laju removal asam laktat memerlukan peningkatan sirkulasi untuk mengangkut asam laktat di otot untuk dibawa ke hati agar dapat di daur ulang menjadi sumber energi baru melalui siklus cori. Saat dehidrasi terjadi penurunan sirkulasi serta penurunan aliran darah sehingga eliminasi asam laktat di otot menjadi terhambat. Hal ini yang menyebabkan menurunnya kemampuan otot untuk berkontraksi sehingga terjadi kelelahan di otot yang dikenal dengan kelelahan perifer. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Dehidrasi dapat menimbulkan kelehanan di pusat dan perifer; (2) Kelelahan pusat disebabkan terjadinya hyperosmolarity yang menyebabkan penurunan sensitivitas saraf otak sehingga terjadi penurunan kemampuan rekruitmen jumlah motor unit dan frekuensi pengaktifan motor unit yang dilibatkan dalam kontraksi otot; dan (3) Kelelahan perifer disebabkan karena hyperthermia mengganggu perambantan impuls dan kerusakan enzim yang membantu dalam proses metabolisme dan hypovolemia menyebabkan menurunnya kesediaan oksigen dan energi untuk kontraksi otot. DAFTAR PUSTAKA Amstrong, L.E, Costill, D.L. & Fink, W.J. 1985. Influence of DiureticInduced Dehidration on Competitive Running Performance. Med Sci Sport Exerc. 59:1394-401. Amstrong, L.E. & Marest, C.M. 1993. The Exertional Heat Illnesses: A Risk of Athletic Participation. Med Exerc Nutr Health. 2:125-134. Allen, T.E., Smith, D.P. & Mliller, D.K. 1977. Hemodynamic Response to Submaximal Exercise after Dehydration and Rehydration in High School Wrestler.Med Sci Sport. 9:159-63. 106

Fisiologi Kelelahan Saat Dehidrasi (Neng Tine Kartinah Almuktabar)

Burge, C.M., Carey, M.F. & Payne, W.R. 1993. Rowing Performance, Fluid Balance, and Metabolic Function Following Dehydation and Rehydration. Med Sci Sport Exec. 25:1258-64. Brouns, F. 1991. Heat-Sweat-Dehydration-Rehydration: A Praxis Oriented Approach. J Sport Sci.9:143-52. Douglas, J.C., Lawrance, E.A. & Scott, J.M., 2000. National Athletic Trainers Association Position Statement: Fluid Replacement for Athletes. Journal of Athletic Training. 35: 212-224. Fotney, S.M., Nadel, E.R., Wenger, C.B. & Bove, J.R. 1981. Effect of Blood Volume on Sweating rate and Body Fluid in Exercising Humans. J Apply Physiol. 51:1594-600. Gonzales, A.J., Mora, R.R. & Below, P.R. 1995. Dehydration Reduces Cardiac Output and Increase Systemic and Cutaneous Vascular Resistance During Exercise. J Apply Physiol. 79:1487-96. Greenleaf, J.E. 1994. Enviromental Issues That Influence Intake of Replacement Beverages. In: Marriot BM. Fluid Replacement and Heat Strss. Washngton DC: National Academic Press. Guyton, A.C. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta.EGC. Hertzan, A.B. & Ferguson, I.D. 1960. Failure in Temperature Regulation during Progressive Dehydration. US Armed Forces Med J. 11:542-606. Johnson, J.M. & Proppe DW. 1996. Cardiovascular Adjustments to Heat Stress. In: Fregley MJ, Blatteis CM. Handbook of Physiology. Section 4. New York: Oxford niversity Press. Mountain, S.J. & Coyle, E.F. 1992. Influence of Graded Dehydration on Hyperthermia and Cardiovascular Drift during Exercise. J Apply Physiol. 73:1340-50. Nielsen, B. 1999. Effect of Change in Plasma Na + and Ca++ Ion Concentration on Body Temparature During Exercise. Acta Physion Scand. 191:123-129. Robert, S.R. 1999. Exercise Physiology; Exercise, Performance and Clinical Application. St. Louis. Mosby. Rowel, L.B. 1986. Human Circulation: Regulation during Physical Stress. New York: Oxford University Press.

107

JURNAL IPTEK OLAHRAGA, VOL. 11, No. 2, Mei 2009: 94108.

Sawka, M.N. & Coyle, E.F. 1999. Influence of Body Water and Blood Volume on Thermoregulation and Exercise Performance in The Heat. Exerc Sport Sci Rev. 27: 167-218. Sawka, M.N., Francesconi, R.P., Pimental, N.E. & Pandolf KB. 1984. Hydratian and Vascular Fluid Shift during Exercise in The Heat. J Apply Physiol. 56;91-96. Sawka, M.N. & Pandolf, K.B. 1990. Effect of Body Water Loss on Physiological Function and Exercise Performance. In: Gisolvi CV, Lamb DR. Perspectives in exercise Science and Sport Medicine. Vol 3. Carmel IN: Benchmark Press. Sawka, M.N. & Scot, M.J. 2000. Fluid and Electrolyte Supplementation for Exercise Heat Stress. Am J Clin Nutr. 72:564-72 Sawka, M.N. Wenger, C.B. & Pandolf, K.B.1996. Thermoregulatory Response to Acute Exercise Heat Stress and Heat Aclimation. In; Fregly MJ, Blatteis CM. Handbook of Physiology. Section 4. Enviromental Physiology . New York: Oxford University Press. Sawka, M.N., Young, A.J., Francesconi, R.P., Muza, S.R. & Pandolf, K.B. 1985. Thermoregulatory and Blood Response during Exercise at Graded Hypohydration Levels. J Apply Physiol. 59:394-401 Sawka, M.N., Young, A.J., Latzka, W.A., Neufer, P.D. & Quigley MD. 1992. Human Tolerance to Heat Strain during Exercise: Influence of Hydration. J.Appl Physiol. 73:368-75. Scott, P.K. & Howley, E.T. 2002. Exercise Physiology; Theory and Application to Fitness and Performance. Boston. Mc Graw Hill. Senay, L.C. 1968. Relationship of Evaporation Rates to Serum [Na +], [K+], and Osmolarity in Acute Heat Stress. J Apply Physiol. 25;149152 Senay, L.C. 1979. Temperature Regulation and Hypohydration: a Singular View. J.Apply Physiol. 47: 1-7. Werner, J. 1993. Temperature Regulation during Exercise: an Overview. In: Gisolfi CV, Lamb DR, Nadel ER. Exercise , Heat, and Termoregulation. Dubuque, IA: Brown and Benchmark.

108

You might also like