You are on page 1of 11

Tugas Makro 2 : Kebijakan Moneter dan Fiskal serta Variabel-Variabel Makro selama Pemerintahan SBY

Disusun Oleh:

I Gusti Ayu Astri Pramitari

1006830506

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI-PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI UNIVERSITAS INDONESIA 2011

STATEMENT OF AUTHORSHIP

Saya / kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah / tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya / kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya / kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak / belum pernah disajikan / digunakan sebagai bahan untuk makalah / tugas pada mata ajaran lain, kecuali saya / kami menyatakan dengan jelas bahwa saya / kami menggunakannya. Saya / kami memahami bahwa tugas yang saya / kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Kelas Mata Ajar Judul Makalah / Tugas

: Kelas A102P & 2P102P : Ekonomi Makro : Tugas Makro 2 :Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal serta Variabel-Variabel Makro Selama Pemerintahan SBY

No 1.

Nama I Gusti Ayu Astri Pramitari

NIM 1006830506

Tanda Tangan

Hari, Tanggal Nama Pengajar Tanda Tangan

: Jumat, 07 Oktober 2011 : Prof. Susijati B. Hirawan, S.E., M.Sc., Ph.D :

Masa Pemerintahan SBY dimulai pada tahun 2004, dimana pada saat itu pelaksaan pemilihan umum secara tidak langsung mempengaruhi keadaan perekonomian di Indonesia. Stabilitas moneter di dalam negeri mengalami tekanan berasal dari ekspektasi yang berlebihan terhadap pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia dan perubahan kebijakan moneter ke arah yang lebih ketat di Amerika Serikat. Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya demi menjaga stabilitas perekonomian yang terjadi, hal ini dapat dilakukan melalui 2 cara yakni dengan menggunakan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. I. Kebijakan Moneter Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga (www.wikipedia.com). Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Beberapa hal yang ditekankan dalam pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia yakni mengenai posisi uang primer, tingkat bunga, tingkat money supply baik M2 maupun M1, kinerja perbankan yang dapat kita lihat dalam kredit, loan to deposit ratio (LDR) dan capital adequacy ratio (CAR), harga valas atau nilai tukar asing, dimana semuanya diatur guna menjaga tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia. Tingkat Bunga BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan

diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan (www.bi.go.id). Grafik Perkembangan Suku Bunga BI Rate, SBI 3 bulan & Deposito, PUAB O/N 2005 - 2009

BI rate merupakan jangkar dari penentuan suku bunga SBI 3 bulan, yang digunakan sebagai salah satu dasar penghitungan APBN. BI rate ditetapkan sebesar 8,50 persen pada Juli 2005 dan terus meningkat hingga mencapai 12,75 persen pada akhir tahun 2005. Peningkatan BI rate tersebut ditujukan untuk mengantisipasi tekanan dan ekspektasi inflasi yang meningkat akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan BI rate pada tahun tersebut mendorong kenaikan suku bunga SBI 3 bulan dari 8,45 persen menjadi 12,83 persen. Sejalan dengan relatif stabilnya laju inflasi, pada tahun 2006 dan 2007 BI melakukan kebijakan moneter yang cenderung longgar dengan menurunkan BI rate secara bertahap yang diikuti dengan menurunnya suku bunga SBI 3 bulan. Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan pada tahun 2006 dan 2007 masing masing sebesar 11,73 persen dan 8,04 persen. Meningkatnya laju inflasi pada pertengahan tahun 2008 telah mendorong BI untuk menaikkan BI rate hingga mencapai 9,25 persen pada akhir tahun. Kondisi tersebut menyebabkan suku bunga SBI 3 bulan

terus meningkat hingga mencapai rata-rata 9,34 persen. Selama tahun 2009, laju inflasi yang relatif terkendali memberikan peluang bagi penurunan BI rate hingga mencapai 6,50 persen pada bulan Agustus. Tingkat suku bunga tersebut terus dipertahankan hingga akhir tahun 2009. Ratarata BI rate dan suku bunga SBI 3 bulan pada tahun 2009 masing-masing sebesar 7,15 persen dan 7,59 persen (www.anggaran.depkeu.go.id). Money Supply Selain menjaga stabilitas suku bunga, Bank Indonesia juga memiliki peranan untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Uang yang beredar didefinisikan menjadi 2 yakni M1, merupakan jumlah uang yang beredar dalam arti sempit yang terdiri dari uang yang dapat digunakan langsung dalam pembayaran. Sedangkan M2 merupakan uang yang beredar dalam arti luas, yang terdiri dari uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Grafik 1.2

*sumber: adb.org tanggal unduh 01 Oktber 2011 Berdasarkan Grafik 1.2 persentase jumlah uang yang beredar (money supply) cenderung mengalami kenaikan, meskipun pada tahun 2008 mengalami penurunan yang cukup tajam.

Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar (US$)

*sumber: adb.org tanggal unduh 01 Oktber 2011 Nilai tukar rupiah terhadap dolar mengalami titik terendah pada tahun 2009, hal ini merupakan imbas dari krisis Global yang melanda Amerika. Perubahan suku bunga BI Rate dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian (www.bi.go.id). Tingkat Inflasi Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Tingkat inflasi dikatakan rendah ketika mencapai angka di bawah 2 atau 3 persen, tingkat inflasi yang moderat mencapai

di antara 4-10 persen. Inflasi yang sangat serius dapat mencapai tingkat beberapa puluh atau beberapa ratus persen dalam setahun (Sukirno,Sadono. 2004: 14) Tingkat inflasi dapat tercermin dari IHK atau indeks harga konsumen yang merupakan nomor indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga (household).

*sumber: adb.org tanggal unduh 01 Oktber 2011 Grafik di atas menunjukkan bahwa IHK mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2008, kemudian pemerintah melalui kebijakan moneter telah berhasil menurunkan tingkat harga sehingga stabilitas perekonomian dapat dicapai. Berdasarkan penjabaran di atas maka dapat kita simpulkan bahwa kebijakan moneter yang diterapkan adalah monetery expansion, yakni kebijakan yang dilakukan dengan menambah jumlah uang yang beredar. Peningkatan jumlah uang yang beredar diharapkan dapat meningkatkan investasi sehingga output yang dihasilkan dalam sebuah perekonomian akan semakin tinggi.

Kurva Monetery Expansion

Pergerakan kurva LM ke arah bawah terjadi akibat meningkatnya jumlah output yang dihasikan dari kegiatan investasi, sedangkan suku bunga mengalami penurunan.
II.

Kebijakan Fiskal Kebijakan Fiskal meliputi langkah-langkah pemerintah membuat perubahan dalam

bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian (Sukirno, 24, 2009). Kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat yang digunakan oleh Pemerintah dalam rangka mencapai sasaran pembangunan nasional. Kebijakan fiskal mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi anggaran untuk tujuan pembangunan, fungsi distribusi pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, dan juga fungsi stabilisasi ekonomi makro dalam rangka mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi perekonomian yang lesu, pengeluaran Pemerintah yang bersifat ekspansif, khususnya belanja barang dan jasa serta belanja modal, dapat memberi stimulasi kepada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya dalam kondisi ekonomi yang memanas akibat terlalu tingginya permintaan agregat, kebijakan fiskal dapat berperan melalui kebijakan untuk menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber perekonomian.

Grafik 2.1

*sumber: adb.org tanggal unduh 03 Oktber 2011 Penerimaan dari sektor pajak mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2008, hal ini diakibatkan kebijakan yang kita kenal dengan sunset policy. Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya di tahun 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam pasal 37A (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007). Dengan adanya sunset policy mendorong masyarakat yang sebelumnya belum menjalankan kewajiban perpajakannya untuk mulai aktif dalam menjalankan kewajibannya tersebut (www.pajakpribadi.com). Selanjutnya dalam rangka mencegah perlemahan ekonomi yang lebih parah sebagai akibat dampak negatif krisis keuangan global, dalam tahun 2009 pemerintah akan menerapkan kebijakan countercyclical dalam bentuk stimulus fiskal. Kebijakan tersebut ditujukan terutama untuk (a) memelihara dan/atau meningkatkan daya beli masyarakat untuk menjaga agar konsumsi rumah tangga tumbuh 4,0 sampai dengan 4,7 persen; (b) menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha menghadapi krisis global; serta (c) menciptakan kesempatan kerja dan menyerap dampak PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Besaran stimulus fiskal APBN 2009 adalah Rp. 73,3 triliun, yang terdiri dari: a. Stimulus perpajakan dan kepabeanan sebesar Rp. 56,3 triliun yang berasal dari penurunan tarif PPh, kenaikan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak), PPN DTP (Ditanggung Pemerintah), Bea Masuk DTP, Fasilitas PPh pasal 21 dan PPh Panas Bumi.

b. Stimulus belanja negara sebesar Rp. 17,0 triliun, meningkat Rp. 2 triliun untuk tambahan belanja infrastruktur. Dari total stimulus belanja negara tersebut, terdapat stimulus belanja infrastruktur sebesar Rp 12,2 triliun (www.anggarandepkeu.go.id). Kebijakan pemerintah dengan dengan menurunkan jumlah pajak dan anggaran yang semakin defisit menandakan bahwa pemerintah melakukan kebijakan fiscal expansion.

Referensi: Sukirno,Sadono. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers http://www.pajakpribadi.com http://www.adb.org http://www.kompas.com http://www.scribd.com http://www.bi.go.id http://www.wikipedia.com

You might also like