You are on page 1of 30

1

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

JUDUL

: UPAYA POLISI KEHUTANAN DALAM MEMBERANTAS PENCURIAN KAYU JATI (STUDY DI KELURAHAN PALANGGA KECAMATAN PALANGGA KABUPATEN KONAWE SELATAN). : : ERVINA H1A1 00 033 ILMU HUKUM HUKUM PIDANA

NAMA NO. STAMBUK

PROGRAM STUDI : BAGIAN :

MENYETUJUI

PEMBIMBING I

PEMBIMBING II

MUNTAHA, SH. MH Nip. 131 636 470

ANGKI BARUASI, SH Nip. 130 937 324

HALAMAN PENGESAHAN UPAYA POLISI KEHUTANAN DALAM MEMBERANTAS PENCURIAN KAYU JATI (STUDY DI KELURAHAN PALANGGA KECAMATAN PALANGGA KABUPATEN KONAWE SELATAN).

Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Haluoleo guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) pada hari Sabtu tanggal 24 Pebruari 2007 dan dinyatakan lulus dengan hasil sangat memuaskan

PANITIA UJIAN

Ketua Sekretaris Pembimbing I Pembimbing II Tim Penguji

: Muntaha, SH. MH : Muhammad Satria SE, MKn : Muntaha, SH. MH : Angki Baruasi, SH : Rustam, SH, MSi Herman, SH Ali Rezky, SH

(..................................) (..................................) (..................................) (..................................) (..................................) (..................................) (..................................)

Kendari, Pebruari 2007 Dekan Fakultas Hukum

Muntaha, SH. MH NIP. 131 636 470

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sebesar-besarnya penuls panjatkan kehadirat Allah SWt karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul Upaya Polisi Kehutanan Dalam Memberantas Pencurian Kayu Jati (Study Di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan) ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.. Skripsi meruipakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program kekhususan Hukum Pidana program studi Ilmu-Ilmu Hukum Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari. Selama penyusunan ini penulis banyak dibantu oleh Bapak Muntaha SH. MH sebagai pembimbing I dan Bapak Angki Baruasi, SH sebagai pembimbing II. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih atas segala saran dan kritik selama penyelesaian skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan informasi mengenai hasil penelitian ini.

Kendari, Desember 2006 Penulis. UCAPAN TERIMA KASIH Tiada kata yang patut dan pantas penulis ucapkan selain memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia, kesehatan, kemudahan dan atas semua hidayah-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Teriring rasa syukur dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Muntaha, SH. MH sebagai Pembimbing I dan Bapak Angki Baruasi, SH sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis haturkan kepada Ayahanda Arifin Polingay SMHK, dan Ibunda Zulhijah atas doa restu dan kasih sayangnya serta dukungan moril maupun materiil dalam menyelesaikan studi serta saudara-saudaraku tercinta (Erni, Eva dan Indratmo) yang telah banyak memberikan keceriaan dan kegembiraan dalam kehidupanku. Terima kasih yang sama dihaturkan pula kepada semua pihak yang langsung maupun secara tidak langsung berperan mengantarkan penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini : 1. Bapak Prof. Ir. H. Mahmud Hamundu, MSc selaku Rektor Universitas Haluoleo 2. Bapak Muntaha, SH. MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo. 3. Seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Unhalu, Ketua Bagian Ilmu Hukum dan seluruh staf Tata Usaha di lingkup Fakultas Hukum Unhalu yang telah banyak meluangkan waktunya dan tenaganya pada saat-saat ujian akhir.

4. Seluruh Dosen dan Civitas Akademika Fakultas Hukum yang telah banyak memberikan bantuan selama masa perkuliahan. 5. Bapak Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian di dalam lingkup Dinas Kehutanan. 6. Terima kasih kepada Bapak Kepala Rayon Perlindungan Hutan (KRPH) Kecamatan Palangga 7. Terima kasih kepada Bapak Hasanuddin dan Bapak Haeruddin, selaku Tokoh Masyarakat Kecamatan Konawe Selatan yang telah memberikan informasi dalam penyusunan skripsi ini. 8. Terima kasih kepada Bapak BRIPKA Mukhlis selaku Anggota Polres Kabupaten Konawe Selatan 9. Terima kasih kepada Bapak Rustam SH, MSi yang telah memberikan memberikan arahan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 10. Rekan-rekan seperjuangan penulis, Wia, Ipul, Muthar, Hendra, adi Rustam dan Uta serta semua yang lainnya, terima kasih atas dukungannya. 11. Teman-teman telah memberikan masukan, teriman kepada Uta dan Fitma Gone, Hera dan masih banyak lagi yang saya tidak sebutkan satu per satu, khususnya angkatan 2000. Semoga Allah SWT senantiasa berkenan membalas budi baik serta melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Kita. Amin. Kendari, Maret 2007 PENULIS ABSTRAK

ERVINA (H1A1 00 033) Upaya Polisi Kehutanan Dalam Memberantas Pencurian Kayu Jati (Study Di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan) (dibawah Bimbingan Muntaha, SH. MH sebagai Pembimbing I dan Angki Baruasi, SH sebagai Pembimbing II) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga. Penelitian dilakukan pada Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan, dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat penebangan kayu secara illegal terutama penebangan pohon jati di Kecamatan Palangga. Data yang digunakan dalam penelitian disusun sesuai kebutuhan penelitian dan dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan. 1) Hasil penelitian diperoleh bahwa Pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga merupakan tindak pidana yang dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP karena pelaku memasuki pekarangan atau tanah kebun milik negara (hutan yang dilindungi) dan melakukan penebangan pohon jati.

2) Hasil penelitian diperoleh bahwa upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati meliputi : a) Pengarahan kepada masyarakat di Kelurahan Palangga tentang pelestarian hutan, dilakukan bersama Lurah, Camat dan Aparat Pemarintahan kepada masyarakat di kelurahan Palangga. b) Pembentukan koodinasi perlindungan hutan dan air dalam lingkungan masyarakat c) Penangkapan penebang pohon jati illegal, koordinasi dengan Polda Sultra dan Kormil Palangga. d) Penangkapan pengolah kayu jati illegal koordinasi dengan Polda Sultra dan Kormil Palangga. e) Penangkapan pembeli kayu jati illegal koordinasi dengan Polda Sultra dan Kormil Palangga. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. v ABSTRAK ........................................................................................................... viii DAFTAR ISI........................................................................................................ ix DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 5 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................ 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Polisi Kehutanan dan Wewenangnya ...................................... 7 2.2. Pencurian dan Unsur-Unsurnya............................................... 10 2.3. Pengertian Hutan dan Kayu Jati .............................................. 19 2.4. Penerapan Sanki Pidana ........................................................... 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 28 3.2. Jenis Penelitian .......................................................................... 28 3.3. Populasi dan Sampel.................................................................. 28 3.4. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 28 3.5. Teknik Pengumpulan Data........................................................ 29 3.6. Analisis Data............................................................................. 29 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................... 31 4.2. Tanaman Jati ............................................................................. 37 4.3. Pencurian Kayu ........................................................................ 40 4.4. Hambatan-Hambatan Dalam Pemberantasan Pencurian Kayu Jati.................................................................................... 43 4.5. Upaya Polisi Kehutanan Dalam Pemberantasan Halaman

Pencurian Kayu Jati.................................................................. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................ 5.2. Saran .......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA DAFTAR TABEL a. Luas Wilayah Kecamatan Palangga Berdasarkan Manfaatnya ................... b. Jumlah Penduduk Kelurahan Palanggan Menurut Jenis Kelamin ........................................................................................................... c. Jumlah Penduduk Kelurahan Palanggan Menurut jenis Mata Pencaharian Tahun 2005................................................................................ d. Jumlah Penduduk Kelurahan Palanggan Menurut Tingkat Pendidkan Tahun 2005................................................................................... e. Produksi Kayu Jati Tahun 2005..................................................................... f. Data Pencurian Kayu Jati, Tahun 2005......................................................... g. Terpidana Pencurian Kayu dan Masa Tahanan ............................................

44 50 51

32 35 36 37 38 42 45

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kehutanan tahun 2005 merupakan kelanjutan pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 yang menekankan pada upaya rehabilitasi, konservasi, rekonstruksi industri, pemberdayaan masyarakat, serta pemberantasan pencurian kayu dan penebangan kayu illegal. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia akhir-akhir ini telah bertindak tegas dalam menangani kasus illegal logging (penebangan hutan yang tidak sah) dan perambahan hutan. Dalam kaitan itu, telah diberikan tanggung jawab kepada Departemen Kehutanan untuk menangani kasus tersebut secara dini dengan menyiapkan aparatur negara dalam satuan tugas sebagai Polisi Khusus Kehutanan. Di sisi lain tindakan penebangan pohon di hutan atau sering disebut sebagai tindakan pencurian kayu sering terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, hal tersebut menyebabkan pemerintah dan masyarakat harus diperhadapkan dengan berbagai musibah seperti banjir dan tanah longsor. Pencurian kayu yang dilakukan secara illegal oleh oknum masyarakat, sering kali dijadikan sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga kegiatan penebangan liar terus berlanjut bahkan Polisi Khusus Kehutanan tidak dapat menghentikan atau memberantas kegiatan mereka karena alasan ekonomi tersebut. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan dalam Pasal 33 bahwa : Bumi dan air serta segala isinya dikuasai oleh negara dan diolah untuk memenuhi kebutuhan orang banyak. Kenyataannya pasal tersebut tidak berfungsi karena diantara orang banyak yang dimaksud, terdapat pencuri kayu, perambah hutan dan penebang liar yang bersekongkol dengan penguasa setempat untuk dapat memenuhi kebutuhannya dengan melakukan penebangan liar. Hasil hutan yang banyak dikelola akhir-akhir ini baik secara legal maupun illegal adalah pengolahan kayu jati. Kegiatan masyarakat untuk memperoleh hasil hutan seperti kayu jati telah menyebar di seluruh Indonesia dan termasuk di Sulawesi Tenggara. Pengolahan kayu jati di Sulawesi Tenggara merupakan salah satu usaha yang mendukung sumber pendapatan keluarga dan masyarakat, namun untuk memperoleh kayu jati tersebut, masyarakat melanggar ketentuan hukum dengan melakukan tindak pidana pencurian kayu jati. Pencurian kayu jati tidak mudah dihentikan karena masyarakat pelaku pencurian melakukannya pada waktu dan tempat yang berpindah. Pada umumnya tindak pidana pencurian akan terungkap pada saat kayu akan dijual kepada pembeli, oleh karena tidak lengkapnya dokumen penjualan kayu jati. Tindakan pemerintah dalam menangkap pencurian kayu jati sampai saat ini terkesan lambat dan sebagian besar kayu jati yang ditangkap adalah kayu jati yang telah diolah baik dalam bentuk glondongan maupun bentuk fluring yang siap dijual, itupun jika tidak dilengkapi dokumen, tetapi sebagian besar para pelaku pencurian menjual kayu jati kepada para pemilik izin sehingga tindakan mereka tidak pernah diketahui.

Tindakan pencurian kayu jati dalam 1 (satu) hari rata-rata mencapai 2 m3 hingga 5 m3 (Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan, 2005). Para pencuri biasanya melakukan kegiatan pada malam hari dengan lokasi curian di tengah hutan. Hutan jati yang ada di Kabupaten Konawe Selatan, seluas 3.627 ha, sedangkan di Kecamatan Palangga terdapat hutan jati dengan luas 322 ha dan hutan jati yang ada di Kelurahan Palanggan seluas 69, 6 ha. Selain itu produksi kayu jati dalam tahun 2005 di Kecamatan Palangga mencapai 2.315 m3 yang diolah menjadi balok dan papan jati, selain itu terdapat juga kayu jati glondongan dengan diameter 15 cm hingga 30 cm. (Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan, 2005) Kegiatan pengelolaan kayu di Kelurahan Palangga dilakukan oleh masyarakat yang mendapat Izin Pengolahan Kayu Tanah Milik (IPKTM) dari pemerintah Kabupaten Konawe sebanyak 12 orang, diantara 427 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 3.647 orang. Banyak masyarakat tentunya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi juga besar dan banyak serta beraneka ragam. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka masyarakat dituntut untuk bekerja keras termasuk mengolah kayu jati guna memenuhi kebutuhan hidup melalui penjualan hasil hutan tersebut kepada pengusaha kayu yang ada di Kelurahan Palangga. Tindakan untuk memperoleh kayu jati, tidak selalu dapat berlangsung dengan baik dan ketersediaan kayu jati tidak selamanya bertahan lama, bahkan pohon jati yang ada di Kelurahan Palangga terancam punah karena dicuri secara illegal oleh masyrakat baik untuk dijadikan bahan bangunan, maupun untuk diperjual belikan. Pengendalian dan pengelolaan hasil hutan diawasi oleh Polisi Kehutanan, mereka yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan hutan di Indonesia termasuk di Kelurahan Palangga. Polisi Khusus Kehutanan tersebut bekerja sama dengan masyarakat dan pemerintah Kelurahan Palangga guna melindungi dan melestarikan hutan jati, namun pencurian kayu jati tidak pernah berhenti (Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan, 2005). Polisi khusus kehutanan hanya dapat melaksanakan tugasnya untuk mengontrol dan mencegah terjadinya pencurian atau penebangan liar serta terjadi perambahan hutan di Kelurahan Palangga. Polisi kehutanan yang bekerja di Kelurahan Palangga sebanyak 5 (lima) orang sedangkan luas hutan rakyat mencapai 128,7 ha. Kegiatan untuk mengontrol atau mengawasi hutan dilakukan secara bergantian. Namun terkadang tugas kerja tersebut tidak dapat dilakukan dengan baik, karena harus menjalankan tugas di kelurahan dan desa lain yang ada di Kecamatan Palangga. Terbatasnya kemampuan petugas dalam melaksanakan tugas pengawasan memberikan kesempatan kepada sebagian masyarakat untuk secara bebas melakukan tindakan pencurian kayu, terutama masyarakat yang berada di kawasan hutan. 1.2 Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, rumusan masalahnya adalah upaya apakah yang dilakukan polisis khusus kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan ? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

10

1.3 .1 Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga 1.3.2 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : a) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah kabupaten Konawe Selatan dalam memberantas pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan. b) Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Polisi Kehutanan dan Wewenangnya Departemen Kehutanan membentuk Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) untuk menghadapi meningkatnya intensitas gangguan dan tekanan terhadap sumber daya hutan di Indonesia. SPORC akan menjadi satuan polisi kehutanan (polhut) khusus yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan polisi kehutanan reguler. (Achmad Jaya, 1998 : 11) Achmad Jaya (1998: 17) mengemukakan bahwa polisi khusus kehutanan merupakan aparatur negara yang diberikan wewenang, tugas dan tanggung jawab dalam mengawasi dan mengendalikan tindakan pengamanan dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Menurut Supardi (1997) pengawasan dan pengendalian serta pemberdayaan hasil hutan merupakan kegiatan konservasi sumberdaya alam yang melibatkan polisi khusus kehutanan. Polisi khusus kehutanan mengembangan tugas yang diberikan oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan untuk menyelamatkan hutan lindung dan hutan negara. Djarwanto (1984 : 312) mengemukakan bahwa pembentukan polisi khusus kehutanan memberikan harapan kepada sumber daya alam untuk diselamatkan sebagai aset pembangunan jangka panjang. Polisi Kehutanan merupakan perpanjangan tangan dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Penempatan polisi khusus kehutanan didasarkan pada kebijakan Menteri Kehutanan yang ditindaklanjuti oleh Dirjen Pengawasan Hutan Lingkungan Hidup kepada masingmasing Dinas Kehutanan di Daerah/Kota Provinsi diseluruh Indonesia. Penempatan ini dilakukan sebagai perwujudan dari pengawasan dan pengendalian hutan sebagai sumber daya alam yang berpotensial dan mencegah timbulnya pencemaran lingkungan serta kerusakan ekosistem hutan pada masa yang akan datang. (Djarwanto (1984 : 315). Pengadaan polisi khusus kehutanan merupakan bagian dari pengadaan aparatur pemerintah yang ditugaskan untuk mengawasi dan mengendalikan pengembangkan cagar

11

alam dan suaka marga satwa yang terbentang luas di bumi Indonesia. Tugas dan tanggung jawab polisi khusus kehutanan ditetapkan oleh pemerintah yang dapat melakukan kerja sama dengan kepilisian negara untuk mengamankan sektor hutan lindung, hutan negara dan hutan suaka marga satwa yang sering mendapat ancaman kepunahan (Widya Suara, 2002 : 12) Polisi kehutanan sebagai bagian aparatur negara dengan kelembagaan yang bernaung di bawah departemen kehutanan memilik tugas pokok dan fungsi yang antara lain :(Dephut, 2000, 193) 1) Tugas Pokok a) Melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. b) Melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. c) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkakn kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan 2) Fungsi a) Menjalankan kebijaksanaan teknis, pemberian perlindungan hutan kepada masyarakat. bimbingan dan pembinaan

b) Menyelenggarakan pengelolaan atas hak milik pemerintah daerah dan atau negara yang menjadi tanggung jawabnya. c) Menyelenggarakan pengendalian teknis dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang kehutanan sesuai tugas pokok berdasarkan kebijaksanaan pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan. e) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut. 2.2. Pencurian dan Unsur-Unsurnya 2.2.1. Pengertian Pencurian Curi dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai tidakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin atau tidak sah, atau tindakan yang dilakukan secara sembunyisembunyi tanpa diketahui orang lain. Sedangkan pencurian adalah proses mencuri barang

12

orang lain tanpa izin dan tidak diketahui oleh orang yang memiliki barang tersebut (Hasan Alwi 2001 : 224) Pencurian dalam Hukum Pidana merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan secara sengaja untuk memperkaya diri dan merugikan orang lain, hal ini dikemukakan oleh Jonkers (1987 : 26) Menurut Jonkers (1987 : 26) pencurian dapat dikelompokan dalam tindakan kriminal, karena tindakan ini selain merugikan orang lain, juga dapat menimbulkan korban. Pencurian terjadi tidak diketahui oleh orang lain sedang perampokan atau perampasan terjadi, diketahui dengan jelas oleh orang lain dan bahkan menimbulkan korban. Kejahatan pencurian kayu jati yang terjadi di Kecamatan Palangga merupakan bagian dari tindakan kriminal yang sengaja dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk memperkaya diri dengan kayu jati milik negara. Menurut Stadman (1987 : 29) pencurian adalah tindakan kriminal yang digolongkan sebagai tindakan kejahatan berupa pengambilan barang orang lain tanpa izin dari pemilik barang tersebut. Dalam operasionalnya tindak pidana pencurian dibedakan menjadi kriminal ringan dan krimninal berat. Kriminal ringan diberikan kepada terpidana pencurian dan hukuman kurungan minimal 6 (enam) bulan dengan denda sebesar Rp.500.000 1.000.000 sedangkan kriminal berat diberikan kepada pelaku pencurian dan hukuman minimal 10 (sepuluh) tahun dengan denda sebesar Rp.1.000.000 10.000.000, Narapidana dan anak pidana akan diberikan kebebasan jika masa hukumannya berakhir atau dapat dipercepat jika narapidana mengaku dan menyadari akan perbuatannya yang merugikan orang lain (Hadi Setia Tunggal, 2000 : 251). 2.2.2. Pidana Pencurian Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengemukakan barang siapa mengambil barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana karena mencuri dengan pidana penjara selama - lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak - banyak sembilan ribu rupiah (Sugandhi, 2005 : 252) Tindak pidana tersebut di atas termasuk dalam golongan pencurian biasa dengan unsur-unsur sebagai berikut : 1) Tindakan yang dilakukan adalah mengambil 2) Yang diambil adalah barang 3) Status barang itu sebagian atau seluruhnya menjadi milik orang lain 4) Tujuan perbuatan itu adalah dengan maksud untuk mengambil barang itu dengan melawan hukum. Perbuatan pencurian dapat dikatakan selesai apabila barang yang diambil itu sudah berpindah tempat. Bila si pelaku baru memegang barang itu kemudian gagal karena ketahuan oleh pemiliknya, maka ia belum dapat dikatakan mencuri, akan tetapi baru melakukan apa

13

yang dikatakan sebagai percobaan terhadap pencurian yang dapat dituntut berdasarkan Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Soesilo (1996 : 250) mengemukakan bahwa mengambil untuk dikuasai, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya apabila waktu memiliki itu barang sudah ada ditangannya, maka perbuatan ini bukan pencurian akan tetapi penggelapan dan dapat dikenakan Pasal 372. KUHP Soesilo (1996 : 250) mengemukakan bahwa suatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud (bukan hewan atau manusia) seperti uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian ini masuk juga daya listrik dan gas meskipun tidak berwujud, akan tetapi barang tersebut mempunyai nilai ekonomi. Sugandhi (2005 :255) mengemukakan bahwa barang adalah semua benda yang berwujud seperti uang, baju perhiasan, dan sebagainya termasuk pula benda yang tak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta gas yang disalurkan melalui pipa.. Kansil (2005 : 383) mengemukakan bahwa diperberat apabila disertai dengan : ancaman hukuman pencurian dapat

a) Tindakan pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. b) Tindakan dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih. c) Si pelaku masuk ke tempat itu dan melakukan kejahatan dengan memakai peralatan palsu, perintah palsu, atau pakai jabatan palsu. Pemidanaan yang dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran pencurian kayu, hingga kini masih simpang siur, pernyataan ini dikemukakan oleh Ahmad Supandi (2005) salah seorang sekretaris jenderal lingkungan hidup yang bergabung pada organisasi pencinta alam di Jakarta. Penyimpangan yang terjadi dalam pelanggaran illegal loging adalah adanya spekulasi administrasi dalam birokrasi pemerintah dan memudahkan para pelaku pencurian kayu dengan bebas mengadakan pencurian kayu di berbagai daerah di tanah air. Berdasarkan kasus illegal loging yang terjadi di Papua dan Kalimantan, pemerintah menyerahkan kasus tersebut kepada kepolisian negara untuk ditindaklanjuti dengan alasan bahwa berita acara tidak lengkap, namun para pelaku diancam pidana berdasarkan Pasal 362 KUHP. Selain itu polisi juga memberikan sanksi berat dengan Pasal 172 KUHP tentang tindakan mengganggung ketenteraman dan Pasal 216 KUHP tentang pelanggaran atas pertintah. Kedua pasal yang dikemukakan tersebut, maksudnya adalah pada Pasal 172 KUHP terjadi gangguan lingkungan oleh karena adanya illegal loging, sedangkan Pasal 216 KUHP dikenakan kepada terpidana, oleh karena melanggaran aturan pemerintah dalam hal ini dihubungankan dengan kasus illega loging.. Sutrisno (2003 : 116) mengemukakan bahwa pidana pencurian kayu sebagian besar dilakukan berdasarkan keputusan hasil pemeriksaan dari pihak kepolisian. Jika pihak terdakwa tidak menerima dakwaannya, maka mereka melakukan banding dengan

14

menggunakan pengacara yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka. Tindakan ini sering dilakukan untuk berusaha membebaskan diri diri dari tuntutan pengadilan. Kansil (2005 : 34) mengemukakan bahwa pidana pencurian kayu digolongkan dalam pidana pencurian dengan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih selain itu si pelaku masuk ke tempat itu dan melakukan pencurian dengan memakai peralatan palsu, dan perintah palsu untuk memperoleh kayu. Sugandhi (2005 : 376) mengemukkan bahwa pemidanaan terhadap pencurian barang dikenakan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebesar sembilan ribu rupiah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa tindak pidana yang dapat diberikan kepada terpidana dengan ketentuan pidana sebagai berikut : 1) Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 3) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 5) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pemberantasan Pencurian kayu, dengan realisasi antara lain: a) Memperkuat kerjasama Mabes TNI, POLRI dalam pelaksanaan operasi proses justisia terhadap kasus-kasus yang ditemukan, melalui kontinuitas operasi wanalaga, operasi wanabahari, operasi khusus di wilayah perbatasan RI-Malaysia, dan operasi fungsional. Memperkuat kerjasama dengan Mabes POLRI, Kejaksaan, dan Kehakiman untuk mempercepat proses persidangan pencurian kayu

b)

15

c) d) e)

Melanjutkan kampanye nasional anti pencurian kayu terutama bagi aparat kehutanan di Pusat dan Daerah Menyempurnakan tata usaha kayu (hasil hutan) terutama di Jawa untuk mencegah penyelundupan. Pembangunan terpadu 9 Tanah Negara yang rawan pencurian kayu (Berbak, Bukit Tiga Puluh, Kerinci Seblat, Meru Betiri, Gunung Palung, Betung Kerihun, Tanjung Puting, Kutai dan Lore Lindu) Memperkuat koordinasi antara pusat dan daerah dalam memberantas pencurian kayu Menyusunan draft Perpu pemberantasan pencurian kayu yang melibatkan seluruh instansi penegak hukum, instansi terkait lainnya serta masyarakat. Membangunan Task Force on Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 8808/Kpts-II/2002 Menyelenggarakan Task Force and Advisory Group on East Asia Pasific Forest Law Enforcement and Goverment yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 27 29 Januari 2003. Kerjasama Luar Negeri untuk penggalakan pemberantasan pencurian kayu (MOU dengan Pemerintah Inggris, MOU dengan RRC, MOU dengan Jepang, MOU dengan Korea Selatan, Financing Agreement antar Menhut dan EU dengan pembentukan Illegal Logging Response Center).

f) g) h) i)

j)

2.3.

Pengertian Hutan dan Kayu Jati 2.3.1. Pengertian Hutan Kata hutan dalam kamu Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2001 : 413) dikemukakan sebagai tanah luas yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dan tidak dipelihara oleh orang. Definisi ini memberikan arti bahwa hutan tidak dirawat atau dipelihara bahkan dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri dengan berbagai jenis tumbuhan. Selain itu hutan menghasilkan berbagai jenis tumbuhan yang tidak ditanami oleh manusia. Supriono, (1992) mengemukakan bahwa hutan adalah kawasan lindung yang luas dan jauh dari lingkungan masyarakat. Definisi ini bermakna bahwa untuk menjangkau hutan ditempuh dengan jalan kaki atau menggunakan kendaraan. Kawasan lindung yang penuh dengan sumber daya alam tersebut dapat diolah menjadi sumber kebutuhan bagi manusia. Pengertian hutan yang dikemukakan tersebut di atas tidak terlepas dari pengertian kehutanan. Adiwilaga (1992 : 34) mengemukakan bahwa kehutanan adalah kegiatan manusia melindungi hutan dan sumber daya alam yang ada di dalam hutan ataupun hasil hutan, tanpa mengakibatkan kerusakan alam Kegiatan masyarakat yang dapat menghasilkan produk hasil hutan berhubungan erat dengan kegiatan pengelolaan hasil hutan yang meliputi pengolahan rotan, kayu, termasuk kayu dan sumber daya mineral yang ada di dalam hutan. Untuk lebih menjelaskan pengertian hutan dapat diikuti definisi yang dkemukakan oleh Mubyarto (1996 : 41) yaitu hutan adalah himpunan sumber-sumber alam yang tersebar dalam kawasan wilayah tertentu dengan flora

16

dan fauna yang beraneka ragam yang dapat diolah menjadi sumber kebutuhan hidup bagi manusia. Menurut Mosher, (1993 : 38) mengemukakan bahwa hutan adalah bagian dari permukaan bumi dimana ditumbuh oleh berbagai jenis tumbuhan dengan bebas dan tidak terbatas pada wilayah tertentu. Dijelaskan juga bahwa hutan dikelompokan atas jenis-jenis hutan sebagai berikut : a) Hutan Negara Hutan negara adalah hutan yang dilindungan oleh negara yang dapat diolah hasilnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, tanaman di dalam hutan ini tidak ditanami tetapi tumbuh sendiri dengan bebas. b) Hutan rakyat Hutan rakyat adalah hutan yang ditanami oleh rakyat dan hasilnya dikelola oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 2.3.2. Kayu Jati Kayu jati merupakan salah satu hasil hutan yang diolah untuk menjadi bahan baku produk meubel, dan industri kayu lainnya. Kayu jati menjadi obyek dari hasil hutan yang dikelola masyarakat untuk diperdagangkan, bahkan hingga kini kayu jati menjadi obyek bisnis. Pemanfaatan kayu jati sebagai bahan baku meubel dan bahan baku industri teakwood di negara-negara yang sedangkan berkembang membuat produksi kayu jati di seluruh daerah sebagai sumber penghasilan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Produksi kayu jati dari hutan alam yang selama ini merupakan hasil hutan yang utama akan dikurangi secara bertahap. Sementara itu, untuk mengimbangi penurunan kegiatan akibat penurunan produksi kayu jati, Pemerintah akan mendorong pemanfaatan produk hasil hutan bukan kayu atau Non Timber Forest Product (NTFP) dan jasa lingkungan. Seiring dengan itu produksi kayu jati dari Hutan Tanaman Industri (HTI) terus ditingkatkan. Penetapan kebijakan prioritas Departemen Kehutanan 2005-2009 pada dasarnya merupakan kelanjutan dan modifikasi dari 5 (lima) kebijakan prioritas pada tahun-tahun sebelumnya yang sampai dengan tahun 2004 belum tuntas dilaksanakan. Kebijakan prioritas tersebut adalah sebagai berikut : 1) Penanggulangan pencurian kayu jati di hutan negara, dan perdagangan kayu jati illegal; Kebijakan ini dimaksudkan untuk : a) Menegakkan moral, tatanan sosial maupun bernegara dan berbangsa b) Tegaknya kepastian hukum di bidang kehutanan. c) Mendorong iklim usaha di bidang kehutanan secara sah dan benar d) Meningkatkan partisipasi berbagai pihak serta masyarakat dalam melestarikan hutan. e) Menjamin keberadaan hutan sebagai modal pembangunan. 2) Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya revitalisasi industri kehutanan;

17

Kebijakan ini dimaksudkan untuk : a) Menciptakan industri kehutanan yang tangguh dan mampu bersaing secara global serta terwujudnya struktur industri pengolahan kayu yang efisien dan berwawasan lingkungan yang dapat menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdaya saing global. b) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja c) Meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara. d) Mewujudkan pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management/SFM) yang mendukung pengembangan industri kehutanan 3) Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan; Kebijakan ini dimaksudkan untuk : a) Menjaga dan memelihara keutuhan ekositem hutan dan fungsinya b) Mempercepat pemulihan hutan yang kritis c) Meningkatkan daya dukung lingkungan lokal, nasional dan global d) Meningkatkan manfaat hutan bagi kesejahteraan masyarakat. e) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara hutan dan berusaha di sektor kehutanan f) Meningkatkan dan menjaga daya dukung Daerah Alira Sungai 4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk : a) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan. b) Meningkatkan akses masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan. c) Meningkatkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. d) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara kelestarian hutan e) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan 5) Pemantapan Kawasan Hutan Kebijakan ini dimaksudkan untuk : a) Menjamin keberadaan kawasan hutan dan penutupan hutan. b) Menjamin berjalannya unit-unit pengelolaan hutan untuk berbagai pemanfaatan hutan dan hasil hutan. c) Menjamin intensifikasi pengelolaan hutan dan hasil hutan. d) Menjamin kelestarian usaha dan daya dukung kehidupan dari hutan. Dalam rangka formulasi kegiatan kehutanan yang benar-benar mendukung kebijakan prioritas pembangunan sektor, perlu ditetapkan sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam pengolahan kayu jati. Identifikasi terhadap sasaran ini sekaligus untuk mensinkronkan

18

dengan program yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk memanfaatkan kayu jati.. Dalam kaitan dengan pembangunan sektor kehutanan, kegiatan-kegiatan pokok Renja-KL Departemen Kehutanan, tertampung dalam 9 (sembilan) program yang terdapat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2005, yaitu : 1) Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara 2) Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan 3) Program Pembangunan dan Pembinaan Kehutanan. 4) Program Pembinaan Produksi Kehutanan 5) Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam 6) Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam 7) Program Peningkatan Kualitas Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lahan Hutan 8) Program pendidikan kedinasan 9) Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahutan dan Teknologi Selanjutnya dikatakan bahwa sembilan program yang dilaksanakan tersebut menjadi bagian dari program kerja dan pemberdayaan hasil hutan dan tata guna lahan. Selain itu pelaksanaan program ditujukan juga untuk melestasikan hasil hutan terutama kayu jati dan hasil hutan lainnya yang dominan dalam meningkatkan pendapatan. 2.4. Penerapan Sanksi Pidana Pidana pencurian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditetapkan pada pasal 362 hingga pasar 367 dan didasarkan pada tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana. Penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana pencurian dari segi hukum pada pencurian kayu jati dikenakan pidana dengan pasal 362 dan dihukum dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah. Sugandhi (2005 : 376) mengemukakan bahwa penerapan sanksi pidana terhadap pencurian, berita acara pidana dikaji dalam sidang acara pidana yang menghadirkan pelaku, saksi dan korban serta para jaksa penuntut dan jaksa pembela serta para juri dan majelis sidang yang dipimpin oleh Hakim yang ditunjuk atas perkara tersebut. Menurut Soesilo (1996 : 249) mengemukakan bahwa penerapan sanksi pidana merupakan tindakan pemberian pidana kepada terdakwa sesuai dengan perbuatannya yang merugikan pihak korban. Besarnya sanksi pencurian diberikan dalam putusan perkara pidana antara lima hingga 10 tahun atau juga ditetapkan dengan denda sebesar Rp.900 hingga Rp.1.000. Penerapan sanksi pidana pencurian merupakan tindakan-tindakan pidana yang diselenggarakan dalam sidang acara pidana dan menghasilkan putusan pidana kepada terdakwa berdasarkan dakwaan dari jaksa penuntut dan saksi serta pihak korban. Putusan pidaha adalah ketetapan hasil dari sidang acara pidana yang menghasilkan dakwaan dan pidana penjara atau denda kepada terpidana berdasarkan perbuatannya, dalam hal ini termasuk pidana pencurian kayu.

19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan, dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat penebangan kayu secara illegal terutama penebangan pohon jati di Kecamatan Palangga. 3.2 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat empiris, artinya memberikan uraian-uraian atau gambaran terhadap aturan yang berkaitan dengan polisi khusus kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah polisi kehutanan yang bertugas di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5 (lima) orang. Sampel dalam penelitian ini ditentukan secara total sampling yaitu menggunakan seluruh populasi sebagai sampel penelitian. 3.4 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a) Data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan, kajian normatif melalui referensi yang berkaitan dengan masalah pencurian kayu. b) Data primer yaitu data empiris yang diperoleh langsung di lapangan, dalam hal ini polisi khusus kehutanan yang terkait dengan pemberantasan pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan. 3.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah : a) Observasi lapangan yaitu melakukan pengamatan langsung ke lapangan terhadap hal-hal yang berhubungan pemberantasan pencurian kayu jati di Kelurahan Palanggan Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan b) Interview yaitu mewawancarai dengan polisi kehutanan yang terkait dengan pemberantasan pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan. c) Dokumentasi yaitu mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen yang ada pada Kantor Kehutanan Kecamatan Palangga. 3.6 Analisia Data Data dalam penelitian akan dianalisia secara deskriptif kualitatif untuk memperoleh gambaran tentang pencurian kayu serta penanganannya yang dilakukan polisi kehutanan di Kelurahan Palangga, Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan.

20

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kajian tentang upaya polisi kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan sebelum dibahas lebih lanjut perlu dijelaskan lebih dahulu kondisi alam dan keadaan wilayah serta penduduk yang ada di dalam Kecamatan Palangga sebagai berikut : 4.1.1 Letak Wilayah Kelurahan Palangga adalah salah satu Kelurahan yang berada dalam lingkup Kecamatan Palangga yang ada di Kabupaten Konawe Selatan dan mempunyai batas-batas wilayah sebagaii berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Anggondara Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Aepodu Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lakara Sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Negara

Batasan wilayah luasnya daerah administrasi Kecamatan Palangga di Kabupaten Konawe Selatan yang mencapai 17.538 ha. Dalam wilayah ini terdapat kawasan hutan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan, termasuk tanaman jati baik tanaman jati yang tumbuh secara alami maupun yang ditanami masyarakat. Tanaman jati dapat tumbuh dengan baik pada kadar tanah dengan keasaman mencapai 6,2 pH (satuan ukuran untuk menyatakan keasaman tanah) Wawancara dengan Sunario (Pegawai Dinas Kehutanan Konawe Selatan). Tanaman jati tergolong tanaman jangka panjang, hasilnya pada masa yang akan datang adalah kayu jati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri meuble. Berdasarkan luas wilayah 17.538 ha tersebut, secara tata guna tanah, lahan yang ada di Kecamatan Palangga telah dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk, perkebunan, persawahan dan perladangan. Lebih jelasnya masing-masing pemanfaatan wilayah Kecamatan Palangga dapat dilihat pada tabel 1.

21

Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan Palangga Berdasarkan Pemanfaatannya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Luas Wilayah Pemukiman Penduduk Persawahan Tambak dan Empang Perladangan Perkebunan Hutan Negara Hutan rakyat Lain-lain Jumlah Sumber : Kantor Camat Palangga, 2005 Pada tabel 1 dapat dijelaskan bahwa data yang diperoleh pada tahun 2005 yang menggambarkan potensial wilayah yang telah dimanfaatkan baik untuk pemukiman, lahan produktif, maupun lahan non produktif. Luas lahan yang digunakan untuk pemukiman mencapai 578,78 ha, lahan persawahan 592,78 ha, lahan yang diolah menjadi tambak dan empang mencapai 26,31 ha, lahan untuk kegiatan perladangan mencapai 2.451,8 ha sedangkan lahan perkebunan mencapai 1.108,4 ha. Selain itu terdapat juga hutan negara dengan luas mencapai 6.720,98 dan hutan rakyat mencapai 5.191,54 ha, disamping itu terdapat sejumlah lahan tersedia namun belum dimanfaatkan seluas 182,39 ha. 4.1.2.Keadaan Iklim Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Lurah Palangga, keadaan iklim Kelurahan Palangga sama dengan di daerah lain yang ada di Kabupaten Konawe Selatan, yang beriklim tropis dengan peluang musim hujan selama 7 bulan dan musim kemarau selama 5 bulan, sedangkan curah hujan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir rata-rata adalah 176 mm perbulan. Keadaan iklim kadangkala berubah-ubah tapi sesuai kondisi di Kelurahan Palangga pada umumnya sama dengan di daerah lain yang ada di Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan yaitu pada bulan Oktober sampai bulan Maret berlangsung musim kemarau dan dari bulan April sampai dengan bulan September berlangsung musim penghujanan. Namun demikian, kondisi iklim tersebut ada kalanya tidak menentu, tetapi sesuai tipe iklim yang dimiliki pada Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga peluang musim penghujan lebih besar ketimbang musim kemarau dalam setiap tahunnya. 4.1.3. Kondisi Kependudukan Data kependudukan menunjukkan banyak penduduk yang ada di Kecamatan Palangga, dan berdasarkan hasil regristrasi penduduk sampai dengan bulan Agustus 2006 penduduk Kecamatan Palangga berjumlah 9.807 Jiwa yang terdiri dari 5.356 kepala keluarga. Dari jumlah penduduk tersebut terdiri dari 5.113 orang laki-laki dan 4.694 orang perempuan. Luas ( ha ) 578,78 592,78 26,31 2.451,8 1.108,4 6.720,98 5.911,54 182,39 17.538 Persentase 3,30 3,38 0,15 13,98 6,32 38,32 33.71 1,04 100,00 (%)

22

Struktur umur penduduk, sebagian besar penduduknya masih tergolong usia produktif. Untuk lebih jelasnya tentang hal tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk Kelurahan Palangga Menurut Jenis KelaminTahun 2006 Kelompok Umur Jenis Kelamin Laki-2 (Jiwa) 0 - 15 16 - 55 56 - 65 66 Keatas Jumlah 1.299 1.464 1.364 986 5.113 Perempuan (Jiwa) 1.192 1.272 1.256 974 4.694 2.491 2.736 2.620 1.960 9.807 25,40 27,90 26,72 19,99 100,00 Jumlah Jiwa (%)

Sumber : Kantor Lurah Palangga, 2005 Berdasarkan tabel 2, dapat dijelaskan bahwa data yang diperoleh pada bulan Agustus 2006 sehubungan dengan kelompok umur penduduk di Kelurahan Palangga (0 - 15 tahun) berjumlah 2.491 jiwa atau 25,40 % dan penduduk yang tidak produktif lagi adalah berjumlah 1.960 Jiwa atau 19,99 %. Sedangkan penduduk yang umur produktif (16 - 55 tahun) berjumlah 5.356 Jiwa atau 54,62 % dari 9.807 Jiwa penduduk Kelurahan Palangga. Berdasarkan struktur mata pencaharian, penduduk yang berada di Kecamatan Palangga yang bekerja sebanyak 5.356 jiwa atau sebanyak jumlah kepala keluarga, selain itu terdapat penduduk yang belum bekerja dan penduduk yang tidak bekerja. Sebagian besar atau 53.68% adalah petani dan selebihnya 46,32% bermata pencaharian utama sebagai pegawai, pedagang dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya mengenai mata pencaharian penduduk Kelurahan Palangga dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Palangga Menurut Jenis Mata Pencaharian Tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Jenis Mata Pencaharian Petani Pegawai Pedagang Manteri/Bidan Tukang Dukun Bayi Jumlah Jumlah (Orang) 2.665 700 381 81 1.505 24 5.356 Persentase (%) 49,76 13,07 7,11 1,51 28,10 0,45 100,00

Sumber : Kantor Camat Palangga, 2006

23

Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk yang ada di Kelurahan Palangga bermata pencaharian sebagai pegawai yakni berjumlah 700 Orang atau 13,07.%, pedagang berjumlah 381 orang atau 7,11 %, Bidan / Mantri berjumlah 81 Orang atau 1,51 %, tukang berjumlah 1.505 atau 28,10 %serta masih ditemukan diantara penduduk yang berstatus sebagai dukun bayi yaitu berjumlah 24 oarang atau 0,45 %. Apabila kualitas penduduk dilihat dari tingkat pendidikan, maka sebagian besar atau 50,79 % penduduk Kelurahan Palangga hanya berpendidikan SD. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur pendidikan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penduduk di Kelurahan Palangga menurut Tingkat Pendidikan. Tahun 2005 Tingkat Pendidikan Belum Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Sarjana Muda Sarjana Jumlah Jumlah Orang 4.981 2.611 1.298 839 41 36 9.807 Prosentase (%) 50,79 26,62 13,24 8,56 0,42 0,37 100,00

Sumber : Kantor Camat Palangga, Agustus 2006 Pada tabel 5 diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Palangga masih sangat rendah, dimana jumlah penduduk yang masih menduduki bangku sekolah dasar sebanyak 9. orang atau sebesar 50,79 %. Sedangkan sarjana berjumlah 39 orang atau sebesar 0,37 %. 4.1. Tanaman Jati Tanaman jati dalam pertumbuhan merupakan kelompok tumbuhan jangka panjang yang dapat tumbuh sendiri dan dibudidayakan. Tanaman ini diolah menjadi kayu jati dan mempunyai masa pertumbuhan hingga 30 tahun. Kualitas 1 pohon tanaman jati pada usia 30 tahun dapat menghasilkan kayu sebanyak 5 m3 baik dalam bentuk balok maupun papan. Hutan tanaman jati yang ada di Kelurahan Palangga tergolong dalam hutan rakyat yang ditanam sejak tahun 1963 oleh masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Luas lahan tanaman jati mencapai 1.329 ha, kawasan tanaman jati tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Palanggan. Hasil produksi tanaman jati untuk pertama kalinya dari hutan ini adalah pada tahun 1984 yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membangun rumah, namun pada tahun 1984 yang terjadi di Kelurahan Palangga adalah perambahan hutan untuk mengolah kayu jati secara illegal sehingga pemilik tanaman mengalami kesulitan dalam mengungkap kasus pencurian.

24

Hasil produksi kayu jati yang ada di Kelurahan Palangga sejak tahun 2005 dapat disajikan pada tabel berikut : Tabel 5. Produksi Kayu Jati. Tahun 2005 No 1. 2. Jenis Tanaman Jati Jati Emas Jati Putih Jumlah Jumlah Batang 10.234 5.124 15.358 Prosentase (%) 66,64 33,36 100,00

Sumber : Kantor Lurah Palangga, 2006 Berdasarkan data pada tabel 5 dapat dijelaskan bahwa tanaman jati diolah menjadi kayu jati yang hasilnya terdiri dari jati emas dan jati putih. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kayu jati keemasan yang diperoleh sebanyak 10.234 batang, sedangkan kayu jati putih sebanyak 5.124 batang selama tahun 2005. Hal ini diperoleh 6 pengusaha kayu jati yang tersebar di Kelurahan Palangga, sekaligus sebagai pemegang izin pengolahan kayu pada tanah masyarakat yang diterbitkan oleh Bupati Konawe Selatan. (Hasil wawancara dengan Lurah Palangga, 2005). Disisi lain masyarakat yang ada di Kelurahan Palangga, tidak saja hidup dari hasil pertanian, namun terdapat usaha sampingan seperti menebang pohon dan mengolah kayu jati atas permintaan dari pengusaha kayu balik dalam bentuk balok maupun papan. Panjang 1 batang kayu jati yang diolah berkisar antara 1 hingga 4 meter. Kayu jati yang diolah dilindungi dengan peraturan daerah No. 22 tahun 2004 dalam surat Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Masyarakat (IPKTM). Namun demikian terdapat juga masyarakat yang melakukan penebangan secara illegal, dalam arti bahwa mereka menebang tidak berdasarkan izin yang diberikan. Hal ini sering meresahkan para pemilik izin pengolahan karena tindakan pencurian tersebut selalu berdampak pada kelangsungan usaha dan perpanjangan izin (IPKTM) tersebut (Hasil wawancara dengan Lurah Palangga, 20 Agustus 2005) 4.2. Pencurian Kayu Tindakan kriminal pencurian kayu jati merupakan bentuk kriminal yang secara langsung merusak lingkungan dan sumber daya alam yang pada dasarnya dapat dieksploitasikan secara komersil. Hasil wawancara dengan Hasanuddin, Tokoh Masyarakat Kelurahan Palangga. (22 Agustus 2006) Berdasarkan hasil wawancara, peroleh bahwa pencurian kayu jati dilakukan oleh pelaku di dalam kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan hutan rakyat. Pencurian kayu jati dalam hutan lindung dilakukan pada sore hari hingga malam hari, proses penebangan hingga diperoleh kayu glondongan menggunakan waktu hingga 2 jam untuk 1 batang pohon dengan panjang 15 m, setelah itu kayu ditarik dengan menggunakan sapi atau kerbau menuju hutan rakyat yang berdekatan dengan kawasan hutan lindung untuk mengolah

25

kayu jati tersebut. (Hasil wawancara Hasanuddin, Tokoh Masyarakat Kelurahan Palangga. 22 Agustus 2006) Tanaman jati yang ada di dalam hutan lindung memiliki usia antara 30 sampai 35 tahun dengan diameter lingkaran tengah antara 70 cm hingga 80 cm. sedangkan tanaman jati yang ada di dalam hutan rakyat belum cukup usia untuk dijadikan balok atau papan, hal ini menyebabkan masyarakat melakukan tindakan pencurian kayu jati untuk dipasarkan maupun untuk digunakan pribadi.. (Hasil wawancara dengan Hasanuddin, Tokoh Masyarakat Kelurahan Palangga. (22 Agustus 2006) Kayu jati hasil olahan kemudian dijual kepada para cukong yang telah menunggu ditempat yang telah ditentukan dengan standar harga antara Rp.800.000 hingga Rp.1.200.000 per kubiknya. Para cukong kayu jati ini telah melakukan kerja sama dengan petugas kehutanan dan kepolisian sehingga mereka dapat melakukan transaksi dengan bebas dalam wilayah Kelurahan Palangga. Hal ini yang menyebabkan masyarakat semakin berani untuk melakukan pencurian kayu jati. Banyaknya kayu jati yang dicuri disebabkan karena adanya kerja sama aparat dan masyarakat untuk memperoleh kayu jati yang nantinya akan dijual dengan harga yang telah disepakati bersama cukong kayu jati yang ada di Kelurahan Palangga. Perjanjian jual beli kayu jati dengan system bayar langsung juga merupakan salah satu indikator penyebab meningkatnya tindakan pencurian kayu jati. Data pencurian kayu jati yang berhasil dihimpun oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan dapat penulis sajikan pada table berikut : Tabel 6. No. 1. 2. 3. 4. Data Pencurian Kayu Jati. Tahun 2005 Bentuk Kayu Jati Balok Papan Batang Glondongan Jumlah (m3) 15.130 18.546 20.752 23.647 78.075 Sumber : Kantor Dinas Kehutanan Konawe Selatan, 2006 Berdasarkan data pada tabel 6, dapat dijelaskan bahwa kayu jati yang dicuri oleh masyarakat selama tahun 2005 mencapai 78.075 m3, sedangkan kayu jati yang hilang di Kelurahan Palangga mencapai 5.327 m3 atau 6.82 % dari keseluruhan kayu jati yang hilang di Kabupaten Konawe Selatan. (Wawancara dengan Sudirman, Polisi Kehutanan, 22 Agustus 2006) Kayu jati yang hilang sebagian besar berasal dari tanaman jati yang berada dalam kawasan hutan lindung dan hutan rakyat yang terdapat di wilayah Kabupaten Konawe Selatan, termasuk kawasan hutan yang ada di Kecamatan Palanggan. Keterangan Diolah dihutan Diolah dihutan Diolah dihutan Langsung dijual

26

Tingkat kehilangan kayu jati kerapkali berhubungan dengan adanya kelalaian petugas dan pemilik tanaman yang juga lambat dalam melakukan koordinasi untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku pencurian kayu jati. 4.3. Hambatan-Hambatan Dalam Pemberantasan Pencurian Kayu Jati. Penanggulangan tindakan pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga telah dilakukan namun sampai saat ini terdapat sejumlah hambatan yang menyebabkan lambatnya penanganan kasus pencurian kayu jati tersebut.(Hasil wawancara dengan Haeruddin tokoh Masyarakat Kelurahan Palangga, 22 Agustus 2006) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hambatan-hambatan yang timbul dalam pemberantasan pencurian kayu jati antara lain : a. Luasnya lahan tanaman jati yang tersebar pada hutan rakyat dan hutan lindung b. Kurangnya koordinasi antara polisi kehutanan dengan masyarakat c. Terbatasnya komunikasi dan informasi d. Kurangnya perhatian dari pemerintah Kabupaten Konawe Selatan terhadap penduduk yang hidup di sekitar hutan jati. e. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang kelestarian hutan f. Tanaman jati dijadikan sebagai obyek pendapatan g. Adanya cukong kayu yang bebas membeli izin pengolahan jati di Kabupaten Konawe Selatan termasuk Kelurahan Palangga. h. Adanya budaya tanah warisan yang ditanami tanaman jati sebagai lambang kepemilikan lahan secara turun temurun Berdasarkan beberapa hambatan yang dikemukakan tersebut di atas, seyogyanya kegiatan pencurian kayu jati dapat diatasi, maka elemen-elemen hambatan ini harus dipahami sehingga tidak ada kesimpangsiuran dalam penanganan masalah pencurian kayu jati. 4.4. Upaya Polisi Kehutanan Dalam Pemberantasan Pencurian Kayu Jati. Dalam pemberantasan pencurian kayu jati, maka polisi kehutanan melakukan tindakan yang bersifat preventif dan represif 4.4.1. Tindakan Preventif dalam Upaya Penangkapan Pencuri Kayu Jati Dalam tahun 2005, Dinas Kehutanan melakukan kerja sama dengan Kepolisian Resort Konsel melakukan penangkapan terhadap oknum pencuri kayu jati di wilayah Kecamatan Palangga Palangga Kabupaten Konawe Selatan. Berdasarkan informasi dari Kepolisian Resort Konawe Selatan terdapat 12 oknum pelaku pencurian kayu jati yang tidak memiliki dokumen izin pengolahan kayu (IPK). (Wawancara dengan Bripka Mukhlis, Anggota Serse Polres Konsel). Penangkapan yang dilakukan terhadap 12 oknum tersebut, 7 diantara telah telah tertangkap, masing-masing pada bulan Pebruari 3 orang, bulan April 2 orang, dan bulan Agustus 1 orang serta pada Nopember 2005 ditangkap juga 1 orang pengusaha kayu yang tidak memiliki izin pengolahan kayu..

27

Keputusan majelis hakim dalam perkara pencurian kayu jati untuk 7 orang terpidana ditetapkan pada bulan Desember 2005 dengan lama penjara yang disajikan pada tabel berikut Tabel 7. No. Terpidana Pencurian Kayu, dan Masa Tahanan Nama Masa Pidana (Bln) 8 20 7 7 7 7 7 Lokasi Penjara

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Karaeng Lewa Amrin Jamal Nasir Supriadi Bio Waru Chairuddin

Lapas Kendari Lapas Kendari Lapas Kendari Lapas Kendari Lapas Kendari Lapas Kendari Lapas Kendari

Sumber : Kantor Polres Konsel Selatan, 2006 Berdasarkan data pada tabel 7, dapat dijelaskan keputusan yang diberikan oleh hakim menunjukkan adanya tindakan untuk memberantas pencurian kayu jati. Sementara itu 5 oknum yang sedang dicari kepolisian resort Konsel, masih berada pada tahap pengumpulan data dan lokasi persembunyian karena berkas perkara pidana telah diserahkan kepada Kejaksanaan Tinggi Provinsi Sulawesi Tenggara. 4.4.2. Tindakan Represif dalam Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Pencurian Kayu Jati Hasil penelitian pencurian meliputi : diperoleh bahwa upaya yang dilakukan untuk memberantas

1) Masyarakat yang terlibat pencurian kayu jati ditindak langsung dengan Pasal 362 tentang pencurian dan ditahan serta diserahkan langsung kepada pihak Kepolisian. 2) Tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan didukung oleh Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Daerah di Kabupaten Konawe Selatan dengan hukuman penjara minimal 5 tahun. 3) Tindakan pidana untuk penada kayu jati curian yang terjadi di Kecamatan Palangga dikenakan Pasal 480 KUHP dengan sanksi hukuman penjara 5 tahun. Hasil kerja Polisi Hutan dan Polres Konsel berhasil menangkap penada kayu jati yang sebagian besar adalah pengusaha meubel sebanyak 18 orang penada. 4) Penangkapan terhadap oknum pencuri kayu yang sedangkan melakukan pencurian di kawasan hutan negara oleh Polisi Hutan dengan barang bukti kemudian serahkan kepada pihak Polisi Sektor Palangga untuk ditindak lanjuti sebagai tersangka pencurian kayu..

28

5) Memberikan tanda atas setiap kayu yang telah lama ditebang dan tidak dapat diolah oleh masyarakat tanpa ada dokumen izin pengolahan kayu. 6) Delik pencurian kayu jati didukung dan dijalankan oleh setiap aparat Polisi Kehutanan untuk mencari dan menangkap pencuri kayu jati 4.4.4. Koordinasi dan Kerja Sama Dalam Pemberantasan Pencurian Kayu Jati Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, diperoleh bahwa masyarakat di Kelurahan Palangga Kecamatan Palanggan memiliki lahan perkebuhan dan pekarangan yang ditanami pohon jati dan juga melakukan penebangan secara liar terhadap pohon di kebun dan pekarangan rumahnya dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan atas penggunaan kayu jati. Namun disisi lain masyarakat juga secara diam-diam melakukan penjualan dan berkongsi dengan para pembeli kayu jati yang pada umumnya pada pengusaha industri kayu flooring dan industri meubel. Hal ini tentunya berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Sementara itu penebangan kayu jati di Kelurahan Palangga tidak dapat diatasi, bahwa telah menjadi sumber pendapatan masyarakat dari hasil pengolahan kayu jati. Hal ini yang menyebabkan pemerintah Kabupaten Konawe Selatan menggunakan kebijakan melalui Dinas Kehutanan untuk penggunaan izin pengolahan kayu jati dan jika masyarakat yang tidak memiliki izin pengolahan kayu jati akan dikenakan sanksi hukum pidana pencurian Kebijakan-kebijakan pemerintah Kabupaten Konawe selatan tersebut didukung oleh jaringan kerja pemberantasan pencurian kayu jati terutama Polisi Kehutanan dengan : a) Memperkuat kerjasama Polres Konsel dan Koramil yang bertugas di Kecamatan Palangga untuk menindak langsung pencurian kayu yang terjadi dalam wilayah Kecamatan Palangga serta menyatakan kepada masyarakat secara transparan pelaku pencurian kayu jati sehingga masyarakat menjadi waspada. b) Memperkuat kerjasama dengan Polda Sultra, Kejaksaan, dan Kehakiman untuk mempercepat proses persidangan pencurian kayu jati c) Membentuk jaringan kerja pemantau pembeli kayu jati yang memiliki izin pengolahan kayu. d) Mmberantas pencurian kayu dan koordinasi dengan Komisi Lingkungan Hidup di Konsel dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengolahan lingkungan hidup dan ditegakan dengan ketentuan pidana sebagai berikut : Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (Pasat 41 ayat 1). Maksud dari ketentuan pidana ini adalah pencemaran lingkungan didalamnya itu terdapat pencurian kayu jati yang menyebab lingkungan hutan negara tercemar karena habitatnya rusak tertipa runtuhan pohon jati yang ditebang secara illegal.

29

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 3) Pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga merupakan tindak pidana yang dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP karena pelaku memasuki pekarangan atau tanah kebun milik negara (hutan yang dilindungi) dan melakukan penebangan pohon jati. 4) Hasil penelitian diperoleh bahwa upaya yang dilakukan polisi kehutanan dalam memberantas pencurian kayu jati meliputi : f) Pengarahan kepada masyarakat di Kelurahan Palangga tentang pelestarian hutan, dilakukan bersama Lurah, Camat dan Aparat Pemerintahan kepada masyarakat di kelurahan Palangga. g) Pembentukan koordinasi perlindungan hutan dan air dalam lingkungan masyarakat h) Penangkapan penebang pohon jati illegal, koordinasi dengan Polda Sultra dan Koramil Palangga. i) j) 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat disarankan sebagai berikut : 1) Untuk memberantas pencurian kayu jati di Kelurahan Palangga Kecamatan Palangga, maka polisi kehutanan harus melakukan kerja sama dengan masyarakat dan pemilik tanaman jati untuk memperoleh informasi tentang tindak pidana pencurian kayu jati baik jadwal penebangannya maupun jumlah kayu jati yang ditebang. 2) Untuk melindungi hutan dan air tanah, maka polisi kehutanan harus bekerja sama dengan instansi terkait untuk memberikan penyuluhan dan pengarahan kepada masyarakat terutama untuk meningkatkan kualitas hutan dan air tanah sebagai bagian dari pemberantasan pencurian kayu jati. Penangkapan pengolah kayu jati illegal koordinasi dengan Polda Sultra dan Koramil Palangga. Penangkapan pembeli kayu jati illegal koordinasi dengan Polda Sultra dan Koramil Palangga.

30

DAFTAR PUSTAKA Achmad Jaya, 1997, Pembangunan Sumber Daya Alam dan Perlindungan Hutan di Indonesia, Makalah Seminar Universitas Indonesia, UI Press, Jakarta. Adiwilaga, 1992, Hutan dan Air Bawah Tanah, Rineka Cipta, Jakarta. Alamsyah, 1990, Hutan dan Penangggulangan Hasil Hutan, Rineka Cipta Jakarta. Barber, 1997, Konservasi Hasil Hutan Edisi Bahasa Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta. Dephubbun, 2000, Majalah Pembangunan Pertanian di Indonesia, Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. Jakarta Djarwanto, 1984 Perlindungan Hutan Tanah dan Air, Penerbit Cempaka, Jakarta Hadi Setia Tunggal, 2000, Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta Hamzah, 1997, Peranan Sumber Daya Alam dalam Pembangunan Nasiona, Artikel, Kompas, Jakarta Hasan Alwi, 2001, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Nasional, Edisi I, Jakarta. Jonkers, J.E, 1987, Hukum Pindana Hindia Belanda,Edisi Terjemahan, Bina Aksara, Jakarta Kansil, 2005. Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Pratama, Jakarta Kartasapoetra dan Roekasih, 1982, Teori Pemidanaan, Fajar Agung, Jakarta. Marsuki Usman, 2004, Konserfasi Hutan Negara, Graha Media, Jakarta. Mosher, AT, 1993, Hutan dan Hasil Olahan, Bina Aksara, Jakarta Mubyarto, 1996, Pembangunan Pertanian dan Pengelolaan Hasil Hutan, Andi Offset, Yogyakarta Muladi, 2000, Pengawasan Lingkungan Hidup, Salemba Empat, Jakarta R. Soesilo, 1982 Narapidana dan Kriminologi, CV Yasaguna, Malang Stadman, 1987, Hukum Pidana, Edisi Terjemahan, Bina Aksara, Jakarta Sudarto, SH. 1973, Proses Pemidanaan Narapidana, Andi Offset, Yogyakarta Soekartawi, 1990, Hutan Negara, Rajawali Press, Jakarta. Sugandhi, 2005, Kitap Undang_Undang Hukum Pidana, (KUHP), Usaha Nasional, Jakarta Supriono, 1992, Pengantar Ilmu Pertanian, Salembah Empat, Edisi II, Jakarta Suryadin, 1998, Sumber daya Alam dan Pengendalian Hasil Hutan, Bumi Aksara, Jakarta Widya Suara, 2002, Seminar Penanggulangan Masalah Kehutanan, Dephut RI, Jakarta.

You might also like