You are on page 1of 16

ASUHAN KEPERAWATAN TENTAMEN SUICIDE

KONSEP DASAR TENTAMEN SUICIDE A. Definisi TENTAMEN SUICIDE - Bunuh diri merupakan kematian yang diperbuat oleh sang pelaku sendiri secara sengaja (Haroid I. Kaplan & Berjamin J. Sadock, 1998). - Bunuh diri adlah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan (Budi Anna kelihat, 1991). - Perlaku destruktif diri yaitu setiap aktifitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada kematian (Gail Wiscara Stuart, dan Sandra J. Sundeen, 1998). B. Pasien bunuh diri dibagi dua: - Egoalien: keinginan bunuh diri terasa aneh dan kurang apda tempatnya. - Egosintonik: keinginan tersebut sudah sesuai dengan dirinya. C. Perilaku desktruktif diri tak langsung meliputi perilaku berikut 1. Merokok 2. Mengebut 3. berjudi 4. Tindakan kriminal 5. Terlibat dalam tindakan rekreasi beresiko tinggi 6. Penyalahgunaan zat 7. Perilaku yang menyimpang secara sosial 8. Perilaku yang menimbulkan stress 9. Gangguan makan 10. Ketidakpatuhan pada tindakan medik D. Rentang Respon Protektif Diri Rentang respon protektif diri mempunyai peningkatan diri sebagai respon paling adaptif. Sementara perilaku destruktif diri, pencederaan diri dan bunuh diri merupakan respon maladaptive. 12.1 menggambarkan rentang peningkatan diri sampai perilaku desktutif diri. RENTANG RESPONS PROTEKTIF DIRI Respon adaptif Respon maldaptif

E. Skema Penatalaksanaan Percobaan Bunuh Diri (PBD)

F. Perilaku bunuh diri Biasanya dibagi menjadi tiga kategori 1. Ancaman bunuh diri Peringatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga mengkomunikasikan secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya dan sebagainya. Pesan-pesan ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian. Kurangnya respon positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri. 2. Upaya bunuh diri Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarah kematian jika tidak dicegah. 3. Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya. G. Faktor-faktor yang resiko bunuh diri Psikososial dan klinik Keputusasaan Ras kulit putih Jenis kelamin laki-laki Usia lebih tua Hidup sendiri Riwayat Pernah mencoba bunuh diri Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat Diagnostik Penyakit medik umum

Psikosis Penyalahgunaan zat H. Patofisiologi TENTAMEN SUICIDE Dalam kehidupan, individu selalu menghadapi masalah atau stressor, respons individu terhadap stressor, tergantung pada kemampuan masalah yang dimiliki serta tingkat stress yang dialami, individu yang sehat senantiasa berespons secara adaptif dan jika gagal ia berespon secara maladaptive dengan menggunakan koping bunuh diri. Rentang harapan-putus harapan merupakan rentang adaptif-maladaptif. Respon adaptif Harapan Yakin Percaya Inspirasi Tetap hati Respons maladaptive Putus harapan Tidak berdaya Putus asa Apatis Gagal dan kehilangan Ragu-ragu Sedih Depresi Bunuh diri Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah, karena merasa tidak mampu, seolah-olah koping yang biasa bermanfaat sudah tidak berguna lagi. Harga diri rendah, apatis dan tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.

Kehilangan, ragu-ragu Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Demikian pula jika individu kehilangan sesuatu yang sudah dimiliki misalnya kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan. Individu akan merasa gagal, kecewa, rendah diri yang semua dapat berakhir dengan bunuh diri. Depresi Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi, dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri. Individu berpikir tentang bunuh diri pada waktu depresi berat, namun tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu keluar dari keadaan depresi berat. Bunuh diri Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk menagkhiri

kehidupan, keadaan ini didahului oleh respons maladaptive yang telah disebutkan sebelumnya. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. I. Asuhan Keperawatan TENTAMEN SUICIDE 1. Faktor-faktor dalam pengkajian pasien destruktif diri Pengkajian lingkungan upaya bunuh diri Presipitasi peristiwa kehidupan yang menghina/menyakitkan Tindakan persiapan metode yang dibutuhkan, mengatur rencana, membicarakan tentang bunuh diri, memberikan milik berharga sebagai hadiah, catatan untuk bunuh diri. Penggunaan cara kekerasan atau obat/racun yang lebih mematikan pemahaman letalitas dari metode yang dipilih. Kewaspadaan yang dilakukan agar tidak diketahui - Petunjuk gejala Keputusasaan Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga alam perasaan depresi Agitasi dan gelisah Insomnia yang menetap Penurunan berat badan Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial - Penyakit psikratrik Upaya bunuh diri sebelumnya Kelainan afektif Alkoholisme dan/atau penyalahgunaan obat Kelainan tindakan dan depresi pada remaja Demensia diri dan status kekacauan mental pada lansia Kombinasi dari kondisi diatas - Riwayat psikososial Baru berpisah bercerai, atau kehilangan Hidup sendiri Tidak bekerja, perubahan atau kehilangan pekerjaan yang baru dialami stress kehidupan multiple (pindah, kehilangan, putus hubungan yang berarti, masalah sekolah, ancaman terhadap krisis disiplin). Penyakit medik kronik Minum yang berlebihan dan penyalahgunaan zat - Faktor-faktor kepribadian Impulsif, agresif, rasa bermusuhan Kekakuan kognitif dan negatif Keputuasaan Harga diri rendah Batasan atau gangguan kepribadian antisocial

- Riwayat keluarga Riwayat keluarga berperilaku bunuh diri

Riwayat keluarga gangguan afektif, alkoholisme atau keduanya. 2. Diagnosa Medik Terkait Perilaku bunuh diri tidak secara terpisah diidentifikasi sebagai kategori diagnostik, oleh karena itu diagnosa medik dimana tipe perilaku ini disebutkan sebagaimana mungkin dimasukkan kedalam bagian ini. Diagnosa keperawatan NANDA yang berhubungan dengan respons perlindungan diri: Kerusakan penyesuaian diri Ansietas Gangguan citra tubuh Koping komunitas tidak afektif Koping keluarga tidak afektif: melemah Koping tidak efektif Menyangkal infektif Resiko kekurangan volume cairan Resiko untuk kesepian Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Ketidakseimbangan nutrisi: lebih dari kebutuhan tubuh Gangguan harga diri Resiko untuk mutilasi diri Distress spiritual Resiko untuk kekerasan terhadap diri Dari North American Nursing diagnosis association, VANDA diagnosis keperawatan Nanda definisi dan klasifikasi 2001-2002 diterjemahkan oleh: mahasiswa PSIK B FK UGM Angkatan 2002. Cook dan Fontaine (1987) menerangkan penyebab bunuh diri masing-masing dengan umur:

Penyebab bunuh diri pada anak 1) Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan 2) Situasi keluarga yang kacau 3) Perasaan tidak disayang atau selalu dikritik 4) Gagal sekolah 5) Takut atau dihinda di sekolah 6) Kehilangan orang yang dicintai 7) Dihukum orang lain Penyebab bunuh diri pada remaja 1) Hubungan interpersonal yang tidak bermakna 2) Sulit mempertahankan hubungan interpersonal 3) Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan 4) Perasaan tidak dimengerti orang lain 5) Kehilangan orang yang dicintai 6) Keadaan fisik 7) Masalah orang tua 8) Masalah seksual 9) Depresi Penyebab bunuh diri pada mahasiswa

1) Self ideal terlalu tinggi 2) Cemas akan tugas akademik yang banyak 3) Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua. 4) Kompetisis untuk sukses Penyebab bunuh diri pada usia lanjut 1) Perubahan status dari mandiri ke tergantung 2) Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi 3) Perasaan tidak berarti di masyarakat. 4) Kesepian dan isolasi sosial

5) Kehilangan ganda (seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan) 6) Sumber hidup berkurang. Sumber: Hendlin 1982, Dikutip oleh Cook dan Fontaine 1987, hal 518. Pernyataan yang salah tentang bunuh diri (mitos) Banyak pernyataan yang salah tentang bunuh diri yang harus diketahui perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan tingkah laku bunuh diri. 1) Ancaman bunuh diri hanya cara individu untuk menarik perhatian dan tidak perlu dianggap serius. Semua perilaku bunuh diri harus dianggap serius. 2) Bunuh diri tidak memberi tanda, delapan dari 10 individu memberi tanda secara verbal atau perilaku sebelum melakukan percobaan bunuh diri. 3) Berbahaya membicarakan pikiran bunuh diri pada klien hal yang paling penting dalam perencanaan keperawatan adalah pengkajian yang akurat tentang rencana bunuh diri klien. 4) Kecenderungan bunuh diri adalah keturunan tidak ada data dan hasil riset yang membantu pendapat ini karena pola perilaku bunuh diri bersifat individual. SIRS (Suicidal Intention Rating scale) Skor O : Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang Skor 1 : ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam bunuh diri Skor 2 : memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri Skor 3 : mengancam bunuh diri, misalnya Tinggalkan saya sendiri atau saya bunuh diri. Skor 4 : aktif mencoba bunuh diri INTOKSIKASI A. Intoksikasi diberi batasan sebagai perilaku mual adaptif seperti memberontak, daya pertimbangan yang terganggu, atau fungsi sosial dan kerja yang terganggu, yang terkait dengan penggunaan zat - Rentang respon kimiawi Walaupun terdapat suatu rentang dari penggunaan obat biasa atau alcohol sampai pada penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan serta ketergantungan, tetapi tidak semua orang yang menggunakan zat akan menjadi penyalahguna atau tiap penyalahgunaan zat akan menjadi tergantung. Penyalahgunaan zat merujuk pada

penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan sering digunakan seolah-olah keduanya sama. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan zat. - Penyalahgunaan zat termasuk alcohol, opium obat dengan resep, psikotomimetiks, kokain, mariyuana. Masalah serius dan yang terus berkembang dalam penyalahgunaan zat adalah peningkatan penggunaan lebih dari satu jenis zat secara serentak atau berurutan. - Individu akan mengalami keadaan relaksasi, euphoria, stimulasi, atau perubahan kesadaran dengan berbagai cara:

Rentang Respons Koping Kimiawi Respons Adaptif Respons Maladaptif

B. Gambaran Klinis Suatu sindrom yang secara khas terkait dengan penggunaan zat dapat diamati pada beberapa pasien yang akan membantu untuk penegakan diagnosis, lihat tabel B. 87-1 sebagai kriteria diagnostik untuk intoksikasi B.87-1 Kriteria diagnostik intoksikasi a. Timbul sindrom yang khas akibat zat karena penggunaan yang baru saja dari zat psikoaktif (catatan: lebih dari satu macam zat dapat menimbulkan sindrom yang serupa) b. Perilaku yang meladaptif saat siaga karena pengaruh zat pada SSP (Contoh: sukar diatur, daya mempertimbangkan yang terganggu, gangguan fungsi sosial dan akupasional). c. Gambaran klinisnya tidak sesuai dengan salah satu dari sindrom mental organik seperti delirium, sindrom waham organik, halusinosis organik, sindrom afektif organik, atau sindrom cemas organik Tabel dari DSM II-R, Diagnostik and Stastical Manual of Mental Disorder, edisi 3, yang direvisi.

C. Pedoman Wawancara dan Psikoterapi Status mental dari pasien dengan intoksikasi berubah dengan dibersihkannya zat dari tubuh. Tetapi pasien yang secara potensial, berbahaya membutuhkan evaluasi segera walau mereka akan berubah sekali beberapa jam kemudian. Selalu menduga juga bahwa pasien mengecilkan jumlah yang digunakan, frekuensi dan lama penyalahgunaannya. Selalu menenangkan pasien dan berikan kesan padanya bahwa segala sesuatu dapat diatasi dengan baik dan semua dapat dibatasi, paling tidak untuk sementara atas pemakaian alcohol atau obat lain. Selalu mempertimbangkan adanya penyakit medik dari intoksikasi akut atau kronik (Contoh: depresi pusat napas, setelah penggunaan apioda, barbiturat, hipnotika-sedatif dan kejang serta disritmia jantung setelah penggunaan kokain). D. Penyalahgunaan zat menunjukkan kegagalan upaya mengatasi masalah. Mekanisme koping yang lebih sehat dan perilaku adaptif lain mungkin tidak adekuat atau tidak dikembangkan. Mekanisme pertahanan ego yang khas digunakan oleh penyalahgunaan zat meliputi: 1. Penyangkalan (denial) terhadap masalah 2. Rasionalisasi 3. Memprojeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya. 4. Mengurangi jumlah alcohol atau obat yang digunakan.

E. Klasifikasi zat yang banyak disalahgunakan Depresan SPP Stimulan SSP Halusinogen Kanobinoid Alkohol Bir, Anggur, dan liquor Barbiturat Pentobarbital (Nembutal), sekobarbital (seconal) dan amobarbital (Amytal) Sedatif/Hipnotik nonbarbiturat Meaqualon (qualude), Erklovinol (placidly) Glutetimid (doriden) dan kloral hidrat (nocted) Ansiolitik Diazepan (valium) klordiazepoksid (lirbrium) oksazepam (serax) alprazolam (Xonax) dan lorazepam (ativan) Inhalan Pelarut hidrokarbon (misl: dalam bensin, lem, pengencer cat, cairan pembersih) Aerosol propelan (mis: dalam kaleng semprot, gas anestetik (mis: klorofom, nitro oksida)

Opioid (Analgesik narkotik) Heroin, opium Morfin dan derivatnya (MS contin, roxanol) Kodein Oskikodon (Mis: dalam percodan) Sintetis Nemperidin (demierol) metadon (Dolaphine), Propoksifen (Darvoni dan Dentazosin (talwin) Amfetamin Dekstroamfetamin (Dexedrine) Metamfetamin (Desoxyn) Amfetamin sulfat (Benzedrine Stimulan non amfetamin Metilfenidat (Ritalin) Pemolin (cylert) Fenmetrazin (preludin) Kokain (Crack, coke) Nikotin Sigaret Tembakau kunyah dan tembakau pipa Tembakau hirup Kafein Kopi kola Teh Meskain (dalam penyote) kaktus Asam lisergis Fensiklidin (PCP Lain-lain STP, MOMA (Varian Amfetamin) Kanabis (mariyana) Hashish (hash) Pronabinol (Marinol) F. Statistik Terpilih 1. Alkohol adalah zat yang paling banyak disalahgunakan di Amerika Serikat, dengan insidensi 13,8%, di luar prevelensi sfumur hidup 10% sampai 16%. Alcohol mendapat peringkat ketiga sebagai masalah kesehatan utama di Amerika Serikat bila dikaitkan dengan morbiditas. 2. Gender Penyalahgunaan zat terjadi 2 sampai 3 kali lebih banyak pada pria dibanding wanita. Tetapi, wanita yang mengalami penyalahgunaan zat lebih banyak menderita penyakit virulen dengan konsekuensi fisiologis dan psikologis yang lebih mematikan (Brandley, dkk, 1998). 3. Kelompok resiko tinggi. Kelompok yang angka penyalahgunaannya tinggi antara lain pengangguran, individu berusia 18 sampai 25 tahun, dan berprofesi di bidang medis (30 sampai 100 kali lebih tinggi dibanding). 4. Risiko bunuh diri Individu dengan penyalahgunaan zat berisiko bunuh diri 20 kali lebih tinggi dibanding mereka yang tidak menyalahgunakan alkohol.

5. Kokain crack Kokain crack terus mendominasi masalah obat illegal di Amerika Serikat (Nida, 1999). G. Wanita dan Penyalahgunaan Zat Penelitian menunjukkan bahwa faktor resiko tertentu banyak terjadi pada wanita yang menjadi penyalahgunaan zat (Mynatt, 1996). Antara lain: 1. Tumbuh di lingkungan keluarga yang kacau 2. Menjadi korban di masa kanak-kanak (mis, penganiayaan) 3. Mengalami penurunan harga diri

H. Sifat Kepribadian Umum Diidentifikasi sebagai hal yang berkaitan dengan penyalahgunaan zat. Terdapat kontraversi tentang mana yang terjadi lebih dulu, sifat ataukah penyalahgunaan. 1. Perilaku dominan dan kritis terhadap orang lain (yang menyamarkan keraguan diri dan kepasifan). 2. Ketidakamanan pribadi dan penurunan harga diri 3. Sikap memberontak terhadap wewenang 4. Sulit membina hubungan intim dan kecenderungan ke arah narsisma. I. Pengkajian individu yang diketahui mengalami penyalahgunaan zat 1. Identifikasi gejala intoksikasi akut 2. Lakukan pengkajian fisik umum untuk menentukan status kesehatan dan tandatanda masalah fisik yang berkaitan dengan penyalahgunaan zat. 3. Kaji klien untuk adanya respon emosi tipikal yang berkaitan dengan penyalahgunaan zat: a. Perasaan ansietas, marah, bersalah, malu, kecewa dan depresi. b. Penggunaan mekanisme defensif umum, termasuk penyangkalan (tentang masalah penyalahgunaan zat) rasionalisasi penggunaan dan proyeksi kesalahan. Diagnosis Keperawatan NANDA yang berhubungan dengan respon kimiawi Alkoholisme, perubahan proses keluarga Ansietas Komunikasi, kerusakan terganggu Kekacuan mental akut Koping individu enefektif Proses keluarga perubahan Ketakutan Berduka, disfungsional Pertumbuhan dan perkembangan, perubahan Keputusasaan Infeksi, resiko terhadap Cedera, resiko terhadap ketidakpatuhan Ketidakpatuhan Nutrisi perubahan

Nyeri Peran orang tua, perubahan Ketidakberdayaan Defisit perawatan diri Perubahan sensori/persepsi (uraikan) Disfungsi seksual Gangguan pola tidur Isolasi sosial Distres spiritual Proses pikir, perubahan Amuk, resiko terhadap Dari North American Nursing diagnosis Association: NANDA Nursing Diagnosis: definisitions and classification 1995-1996, Philadelphia, 1994, the association. Diagnosa keperawatan primer untuk respons kimiawi Pengelolaan 1. Catat tanda vital pasien 2. Beri tanda lain dari intoksikasi, termasuk ataksia, disartria, nistagmus, perubahan pupil, depresi SSP dan agitasi. 3. Pikirkan tentang kemungkinan overdosis, selalu menduga bahwa perkiraan jumlah obat yang dimakan terlalu dikecilkan. Juga pikirkan kemungkinan intoksikasi dan overdosis zat multipel. 4. Evalusi dan obati masalah medik klien 5. Berikan kesempatan agar zat itu terkuras dari tubuh pasien dan reevaluasi saat pasien tidak lagi intoksikasi pasien dengan intoksikasi zat multiple dengan beraneka daya kerja farmakokinetik mungkin setelah terkurasnya satu zat (seperti alkohol) masih terdapat konsentrasi lain (seperti barbiturat) yang meningkat. Evaluasi Evaluasi pengobatan penggunaan zat dilandasi atas pencapaian hasil yang diharapkan. Estes, smith di Julio, dan Heinemann telah mengidentifikasi kriteria evaluasi untuk penanganan terhadap alkoholik. Kriteria ini diterapkan bagi pemakai obat lain: 1. Apakah pasien telah mengalami kemajuan yang berarti untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan? 2. Dapatkah pasien berkomunikasi seperti biasa tanpa perlu membela diri? 3. Apakah pasien mampu bereaksi dengan tepat, mengatasi tuntutan kehidupan sehari-hari tanpa menggunakan obat. 4. Apakah pasien terlibat secara aktif pada berbagai kegiatan, menggunakan sumber kegiatan sosial eksternal? 5. Apakah pasien menggunakan sumber internal secara konsisten agar dapat produktif di tempat bekerja dan terlibat dalam hubungan interpersonal yang berarti. NYERI Rasa nyeri adalah suatu gejala kompleks yang terdiri dari sensasi yang tidak

menyenangkan yang disebabkan oleh kemungkinan penyakit fisik dan suatu keadaan emosional yang menyertainya. Nyeri kronis adalah rasa nyeri menetap lebih dari enam bulan. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS Rasa nyeri adalah pengalaman subyektif yang tidak dapat diukur secara obyektif dan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor selain dari derajat penyakit atau cedera fisik. Faktor-faktor tersebut adalah keadaan psikologis pasien, adanya depresi, kecemasan, atau gangguan psikotik; reaksi yang didapatkan dari keluarga, petugas kesehatan, dan pekereja, serta lingkungan pasien lainnya; stresor; dan tingkat pengalihan perhatian (distraction) dari stimuli lainnya. Rasa nyeri terjadi secara simultan sebagai gejala stres dan suatu pertahanan terhadap stres. Klasifikasi fisiologis nyeri diberikan dalam Tabel 107-1. Membedakan nyeri somatik dari nyeri psikogenik seringkali sulit (Tabel 107-2). Nyeri somatik adalah bervariasi menurut berjalannya waktu, stres situasional, keadaan emosi pasien, dan pemakaian analgesik. Nyeri yang konstan yang tidak dipengaruhi oleh hal apapun seringkali merupakan nyeri psikogenik. Presentasi yang tiba-tiba dan dramatik menyatakan gangguan kepribadian histrionik dan ambang. Jika perjalanan nyeri pararel dengan depresi, psikosis, atau kecemasan, diagnosis psikiatrik tersebut harus dibuat dan keadaan tersebut diobati. Jika sedang terjadi perkara pengadilan, penilaian yang dapat dipercaya mengenai berapa besar nyeri yang somatik dan berapa besar psikogenik tidak dimungkinkan didapatkan. Berpura-pura, gangguan buatan, dan perilaku mencari obat (drugseeking) pada penyalahgunaan zat harus selalu disingkirkan. Tabel 107-1 Klasifikasi Fisiologis dari Nyeri Jenis Subtipe Contoh Komentar Nosiseptif Somatik Visceral Metastasis Obstruksi intestinal Disebabkan oleh aktivasi serabut peka nyeri; biasanya nyeri atau menekan. Deaferentasi Perifer Sentral Somatik Visceral Kausalgia Nyeri talamik Kausalgia Nyeri perifer pada paraplegik Nyeri pascaherpetik Disebabkan oleh interupsi jalur aferen. Patofisiologi belum diketahui dan sebagian besar sindroma kemungkinan melibatkan perubahan sistem saraf perifer dan pusat. Sympathetic-dependent Nonsympathetic-dependent Phantom pain Biasanya disestetik, seringkali membakar dan menusuk Psikogenik Gangguan somatisasi Nyeri psikogenik Diagnosis nyeri spesifik, dengan kontribusi organik Low back pain Nyeri fasial atipikal

Nyeri kepala kronis Tidak termasuk gangguan buatan yaitu berpura-pura dan sindroma Munshausen Tabel dari R. Berkow editor : Merck Manual, ed 15. Merck Sharp & Dohme Laboratories, Rahway, N.J., 1987.

PEDOMAN WAWANCARA DAN PSIKOTERAPI Periksalah efek yang telah disebabkan oleh nyeri terhadap pasien danlingkungan pasien. Apakah anggota keluarga berespon dengan meningkatkan perawatan dan pengasuhannya? Apakah dokter yang pertama berespon dengan memperkuat usaha untuk mendiagnosis gangguan medis yang tidak diidentifikasi? Apakah proses pengadilan tergantung dari disabilitas pasien? Apakah pasien memerlukan rasa nyeri untuk mendapatkan perawatan kesehatan? Apakah pemberian analgesik tergantung pada pembuktian pasien bahwa nyeri memang ada, jadi menyebabkan pertentangan antara pasien dan staf perawat?. Terlepas dari kualitas keluhan, anggaplah bahwa terdapat penyebab somatisk dan lakukan pemeriksaan medis. Jika nyeri tampaknya psikogenik, bantulah pasien untuk menyerahkan tanggung jawab pada dokter untuk menemukan penyebab rasa nyerinya. Bantulah pasien untuk mengambil tanggung jawab untuk mengatasi nyeri melalui rehabilitasi. Pasien dengan rasa nyeri adalah peka terhadap tiap kesan bahwa nyeri sebagai hal yang nyata dan lakukan strategi untuk mengatasi stres yang disebabkan oleh nyeri. Tabel 107-2 Karakateristik Nyeri Somatik dan Psikogenik Nyeri somatik Stimulus nosiseptif biasanya jelas Biasanya terlokalisir baik : nyeri visceral mungkin dialihkan Mirip dengan nyeri somoatik lainnya pada pengalaman pasien Dihilangkan oleh anti-inflamasi atau analgesik narkotik Nyeri neuropati Tidak terdapat stimulus noseseptif yang jelas Biasanya sulit dilokalisasi Tidak umum, tidak sama dengan nyeri somatik Hanya dihilangkan sebagian oleh analgesik narkotik Tabel dari E. Braunwaki, K. Isselbacher, R.G. Petersdorf, J. D. Wilson, J.B. Martin, A.S. Fauci : Harrisons Prinsiples of Internal Medicine II, Companion Handbook. McGraw-Hill, New York, 1988. PEMERIKSANAAN DAN PENATALAKSANAAN 1. Dilakukan pemeriksaan medis yang lengkap 2. Dapatkan riwayat nyeri yang terinci, termasuk frekuensi dan lama episode nyeri yang terakhir dan faktor yang memperberat atau menghilangkan nyeri. 3. Lakukan pemeriksaan status mental yang lengkap, dan dapatkan riwayat psiatrik. Periksalah pasien untuk adanya gejala depresi, gangguan kecemasan, gangguan psikotik, gangguan kepribadian, berpura-pura, dan perilaku mencari obat. Periksalah pasien untuk kemungkinan bunuh diri, karena nyeri kronis meningkatkan resiko bunuh diri. 4. Jika penyebab medis dan psikiatrik telah disingkirkan, gantilah menjadi

pendekatan rehabilitatif. Mulailah dengan mendiskusikan substrat neurofisiologis dari nyeri, dan jelaskan bagaimanan faktor tersebut dapat menyebabkan stres, mempengaruhi perilaku, dan menyebabkan gangguan fungsi. 5. Program nyeri kronis biasanya paling baik diterapkan untuk mengobari pasien dengan nyeri kronis; mereka memberikan pengobatan medis dan psikiatrik, terapi individual, terapi kelompok, dan program rehabilitasi. Rujukan ke program nyeri kronis akan mengurangi rasa frustasi dokter yang mengobati dan menurunkan konflik langsung dengan pasien. 6. Terapi kognitif seringkali bermanfaat. Pepatah lama menyatakan, Jika anda berpikir mengenai rasa nyeri anda sepanjang waktu anda akan membuatnya menjadi lebih buruk. Pendekatan kognitif mempelruas konsep tersebut. Gunakan relaksasi, visual imagery, dan teknik lain untuk mengalihkan perhatian pasienm dari rasa nyeri. 7. Psikoterapi individual dipersulit oleh banyaknya hambatan tetapi mungkin berguna pada beberapa pasien. Pendekatan suportif jangka pendek yang berorientasi masalah (problem-oriented) harus bertujuan meningkatkan kekuatan ego pasien dan menghindari konflik serta kecemasan. 8. Terapi keluarga seringkali membantu. Keluarga hampir selalu memainkan peran penting dalam membentuk perilaku pasien. Terapi keluarga harus ditujukan untuk mengubah pola respon untuk memperkuat perilaku yang positif dan menghilangkan perilaku negatif. 9. Terapi kelompok adalah membantu dan menempatkan tanggung jawab pada pasien untuk penatalaksanaan rasa nyerinya. Tetapi, hindari menciptakan situasi di mana anggota kelompok bersaing untuk melihat siapa yang dapat lebih sakit atau mempelajari perilaku peranan sakit (sick-role behavior) dari satu sama lain. 10. Gunakan terapi fisik sesuai keperluan 11. Gunakan stimulasi sensoris yang ditingkatkan, seperti pemijatan, akunpuntur, dan stimulasi saraf transkutan. 12. Gunakan teknik biofeedback dan relaksasi 13. Blok saraf membedakan nyeri dengan sumber sentral dan sumber perifer. Ablasi kimia atau bedah mungkin perlu dilakukan. 14. Bedah saraf adalah usaha yang terakhir, tetapi telah membantu beberapa pasien, walaupun pembebasan dari rasa nyeri mungkin telah dihasilkan oleh penghilangan depresi berat atau perubahan kepribadian. TERAPI OBAT Dasarkan terapi obat pada diagnosis yang seakurat mungkin. Lakukan terapi obat dengan obat yang dituliskan dalam Tabel 107-3 sebagai bagian dari rencana pengobatan yang komprehensif dan berkesinambungan; dengan demikian, medikasi tidak boleh diberikan di ruang gawat darurat atau tempat praktek anda. Sebelum memulai tiap terapi obat, putuskan dengan jelas bahwa terapi obat tersebut jelas diindikasikan. Hindari ambivalensi dalam memberikan meditasi nyeri untuk menekan :undermedicating pasien atau untuk memperberat situasi di mana pasien harus berjuang untuk mendapatklan medikasi.

Tabel 107-3 Obat yang Digunakan untuk Menghilangkan Nyeri Analgesik narkotik; dosis ekuivalen dan interval Nama generik Dosis (mg) Interval Aspirin 750-1250 Tiap 3 jam Phenacetin 750-1000 Tiap 3 jam Acetaminophen 600-800 Tiap 3 jam Phenylbutazone 200-400 Tiap 4 jam Indomethacin 50-70 Tiap 4 jam Lbuprofen 200-400 Tiap 4 jam Naproxen 250-500 Tiap 4 jam Analgesik narkotik dibandingkan dengan 10 mg morphine sulfate (MS) Nama generik Dosis IM (mg) Dosis oral (mg) Perbedaan dari MS Oxymorphine 1 6 Tidak ada Hydromorhone 1.5 7.5 Kerja lebih singkat Levorophanol 2 4 Potensi oral-IM baik Heroin 4 Kerja lebih singkat Methadone 10 20 Potensi oral IM baik Morphine 10 60 Oxycodone 15 30 Kerja lebih singkat Meperidine 75 300 Tidak ada Pentazocine 60 180 Agonis-antagonis Codeine 130 200 Lebih toksin Antikonvulsan Nama generik Dosis oral (mg) Interval Phenytoin 100 Tiap 6-8 jam Carbamazepine 200 Tiap 6 jam Clonazepam 1 Tiap 6 jam Antidepresant Nama generik Dosis oral (mg) Interval Doxepin 200 74-400 Amitriptyline 150 75-300 Imipramine 200 75-400 Nortriptyline 100 40-150 Desipramine 150 75-300 Amoxapine 200 73-300 Trazodone 150 50-600 Tabel dari R. Maciewicz, J.B. Mmartin: Pain : Patophysiology and management. In E. Braunwald, K. Isselbacter, R.G. Petersdorf, J.D. Wilson, J.B. Martin, A.S. Fauci : Harrisons Prinsiples of Internal Medicine II. MsGraw-Hill, New York, 1988. Digunakan dengan ijin. Pada kondisi dengan nyeri paroksismal, seperti neuralgia trigeminal, cobalah antikonvulsan tertentu seperti carbamazepine (Tegretol) terlebih dahulu, dan resepkan antikonvulsan secara tetap. Obat trisiklik seringkalo sangat membantu pada nyeri kronis, terlepas dari apakah obat tersebut sedang digunakan untuk mengobati gangguan depresif atau insomnia. Dosis antidepresan yang diperlukan seringkali lebih kecil dari yang dosis biasanya digunakan untuk depresi sebagai contohnya, imipramine (Motril)

atau amitriptyline (Elavil), keduanya diberikan dengan dosisi 25 sampai 100 mg sebelum tidur. Analgesik non-narkotik, seperti aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid sebagai contohnya, ibuprofen (Motrin) adalah berguna dan harus diberikan secara tetap untuk mencapai kadar darah perapetik. Opioid adalah analgesik yang efektif tetapi menyebabkan toleransi dan ketergantungan yang cepat dan harus dibatasi pada pemakaian jangka pendek. Tetapi, jika diambil keputusan untuk menggunakan opioid, harus diberikan dosis yang cukup yaitu dosis yang cukup untuk menimbulkan analgesia. Beberapa pasien dengan nyeri kronis menjadi tergantung pada opioid dan selanjutnya memerlukan detoksifikasi. Jangan memberikan plasebo tanpa persetujuan pasien. Walaupun efek analgesik plasebo telah dicatat, pengobatan yang lebih tidak boleh ditahan-tahan, dan penipuan terhadap pasien akan mengurangi kepercayaan pasien kepada dokter. Referensi Silang : Agitasi, kecemasan, gangguan depresif, nyeri kepala, hipokondriasis, berpurapura, intoksikasi dan putus opioid.

DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Gail Wicarz, Buku Saku Keperawatan Jiwa / Gail Wiscara, Sandra J, Sundeen: Alih Bahasa, A Chir Yani S. Hamid; Eitor dalam Bahasa Indonesia, Yasmin Asih. Ed 3, EGC: Jakarta, 1998. Kapita Selekta kedokteran, editor, Mansjoer Arif (et.al) ed.III, ce. 2: Media Aesculapius: Jakarta, 1999. Kaplan, Harold I, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Alih Bahasa W.M. Roan, Widya Medika: Jakarta: 1998. I Saacs, Ann. Panduan Belajar, Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik, Alih Bahasa, Dean Praty Rahayuningsih; Editor, Edisi, Indonesia, Sari Kurnianingsihed. EGC: Jakarta, 2004. Keliat, Budi Anna, Tingkah Laku Bunuh Diri, Editor Rianti, Bhaktiyani, Arcan: Jakarta, 1991. PSIK B. FK. UGM, Diagnosa Keperawatan Nanda, Yogyakarta, 2002.

You might also like