You are on page 1of 20

Al-Quran Secara Etimologi

November 28, 2010 tauhidullah Tinggalkan komentar Go to comments

Rate This Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Quran berasal dari bahasa Arab yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Kata Al-Quran adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qaraa yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Quran sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya.(75:17-75:18)

Terminologi
Sebuah cover dari mushaf Al-Quran Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Quran sebagai berikut: Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah. Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Quran sebagai berikut: Al-Quran adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Quran seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Quran. Jaminan Tentang Kemurnian Al-Quran dan Bukti-Buktinya Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Quran itu sendiri. Dan pada kenyataannya kita bisa melihat, satu-satu kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.

Nama-nama lain Al-Quran


Dalam Al-Quran sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Quran itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2) Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1) Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9) Al-Mauidzah (pelajaran/nasehat): QS(10:57) Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37) Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39) Asy-Syifa (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82) Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33) At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)

Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77) Ar-Ruh (ruh): QS(42:52) Al-Bayan (penerang): QS(3:138) Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6) Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102) An-Nur (cahaya): QS(4:174) Al-Bashair (pedoman): QS(45:20) Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52) Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

$4Ifs (alumni DALWA)

Definisi Hadits
ULUMU AL-HADITS
A. Terminologi Hadits Nabawi 1.Definisi dan Perbedan Antara Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar.

a. Hadits Hadits menurut Etimologi adalah: o Jadid, lawan dari qodim: yang baru o Qorib: yang dekat,yang belum lama terjadi o Khobar: warta yaitu sesuatu yang di percakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain. Dari makna inilah diambil perkataan hadits. Hadits menurut terminologi adalah : Segala ucapan, perkataan, dan keadaan Nabi. Yang dimaksud keadaan adalah segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengannya. Menurut Ahli Ushul, Hadits adalah: segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi yang berhubungan denga hukum. Menurut arti lain Hadits adalah segala sesuatu yang disadarkan pada Nabi SAW baik berupa perkataan, pekerjaan, ketetapan, maupun sifat beliau yang adakalanya itu disunnahkan/dijelaskan pada umat Islam ataupun khusus untuk Nabi.[1] b. Sunnah Sunnah menurut Etimologi adalah: Jalan yang dijalani, yang terpuji ataupun jelek. Sunnah menurut Terminologi adalah: Segala yang dinukil dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, pengajaran, sifat, kelakuan, dan perjalanan hidup beliau sebelum diutus atau sesudahnya. Menurut istilah syara, Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik perkataan, pekerjaan, dan ketetapan beliau yang menjadi dalil syara . Menurut fuqoha, Sunnah adalah suatu suruhan yang tidak difardlukan dan tidak diwajibkan, yang tidak berat suruhannya. Perbedaan sunnah dan hadits

Dapat disimpulkan garis pebedaan antara keduanya, Yaitu : Hadits adalah segala peristiwa yang disandarkan pada Nabi walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi walaupun hanya diriwayatkan satu oarang saja . Sunnah adalah sebutan bagi amaliah yang mutawatiroh yakni cara Rasul melaksanakan suatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawatir. Ada yang berpendapat: hadits khusus dengan perkataan dan perbuatan, sedangkan sunnah lebih umum. Sebagian ulama ada yang memasukkan perkataan dan perbuatan sahabat dan tabiin dalam pengertian Sunnah. Yang mendukung pendapat ini adalah hadits yang berbunyi :

:
Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. Peganglah ia dengan teguh.(Sunan Ibn. Majah). Menurut Al-Imam Al-Kamal Ibnu Humam, Sunnah adalah: segala yang diriwayatkan dari Nabi baik perkataan atau perbuatan ,sedang hadist tentu perkataan saja. c. Khabar Khabar memiliki arti yang hampir sama dengan hadits. Sehingga khabar lebih layak dijadikan sinonim hadits daripada sunnah. Hal ini dikarenakan tahdits (pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhbar (pemberitaan). Hadits rasulullah adalah berita berita yang disandarkan kepada Nabi saw. hanya saja kata Akhbary digunakan untuk menyebut orangorang yang menekuni bidang sejarah. Dan Muhaddist diberikan untuk ulama ahli hadits atau sannah.

Pergeseran makna ini memberikan implikasi pada pada kedua lafad tersebut. Yakni antara hadits dan khabar ada pengertiaan umum dan khusus. Setiap hadits itu pasti khabar dan tidak sebaliknya. Artinya, tidak setiap khabar itu hadits. Hadits atau sunnah memberikan pengertian bahwa perawi mengutip hadits yang disandarkar kepada Rasulullah saw (marfu). Sedang khabar tidak hanya mencakup hadits marfu saja akan tetapi juga mengakomodasi yang mauquf (perawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak sampai pada rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai tingkatan tabiin (maqtu) saja. d. Atsar Atsar menurut Etimologi adalah : Bekas / Sisa sesuatu Atsar menurut Terminologi adalah: Pengertian untuk Hadits, Sunnah, dan Khabar yang disandarkan kepada Sahabat dan Tabiin. Oleh karenanya, para ahli hadits lantas memandang Atsar yang diidintikkan dengan Hadits Sahabat (mauquf) atau Tabiin (maqtu)[2] Atsar menurut istilah jumhur artinya sama dengan khobar dan hadits. Para fuqoha memakai perkataan Atsar untuk perkataan ulama salaf, sahabat, tabiin dan lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih umum daripada khobar. Al Imam Al-Nawawi menerangkan bahwa fuqoha khurosan menamai perkataan sahabat ( hadist mauquf ) dengan atsar, dan menamai hadist Nabi dengan Khabar. Tapi para muhadditsin umumnya menamai hadist Nabi dan perkataan sahabat dengan atsar juga, dan setengah ulama memakai pula kata atsar untuk perkataan-perkataan tabiin saja.[3] 2.Bentuk-bentuk Hadits Nabawi Hadits ataupun Sunnah terbagi menjadi beberapa bentuk, antara lain: a. Qauliyyah Hadits / Sunnah Qauliyyah adalah Hadits-hadits Nabi saw. Yang disampaikan dalam berbagai hal dan keadan yang diterbelakangi oleh berbagai tujuan, seperti beliau bersabda:

: ( )
b. Filiyyah Hadits / Sunnah Filiyyah adalah semua perbuatan Nabi saw. Yang disampaikan oleh sahabat kepada kita seperti tatcara beliau Shalat, Puasa, Haji dan lain-lain. Contoh:

: ()
c. Taqririyyah Hadits / Sunnah Taqririyyah adalah Hadits yang berupa ketetapan atau penelitian Rasulullah saw. Terhadap perkataan atau perbuatan Shahabat, seperti yang dikabarkan oleh Shahabat[4]:

( )

3.Perbedaan antra al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadist Nabawi. a. Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang mana redaksi dan subtansinya maknanya berasal dari Allah swt. Dalam hal ini Rasul tidak memiliki otoritas sama sekali unutuk merangkai kata-kata al-Quran. b. Hadits Qudsi secara etimologi berarti suci. Sedang secara terminologi adalah hadits yang Nabi riwayatkan dari Allah selain Al-Quran yang redaksinya dari Nabi sendiri.

Menurut Al-Thibi hadits Qudsi adalah Titah Allah yang disampaikan kepada Nabi dalam mimpi, atau jalan ilham, lalu beliau menerangkan mimpinya dengan susunan pekataan beliau sendiri, serta menyandarkan kepada Alloh. Menurut Abdul Baqi Al-Ukbari Al-Quran adalah wahyu yang lafad dan maknanya dari Allah. Sedangkan Hadaits Qudsi adalah wahyu yang redaksinya dari Rasul sedang maknanya dari Allah diturunkan dengan jalan ilham atau mimpi. [5] Secara garis besar keduanya dapat dibedakan sebagai berikut: dan diturunkan secara mutawatir melaui jibril. sedang Hadits Qudsi tidak begitu diturunkan melalui mimpi/ilham. o Al-Quran sebagiai mujizat, setiap orang yang membacanya dicatat sebagai ibadah, dan tidak sah sholat seseorang tanpa ada surat Al Quran. sedang hadits Qudsi tidak seperti itu o Pernyataan yang digunakan nabi dalam al-Quran adalah: Allah telah berfirman. Sedangkan dalam Hadits Qudsi statemen yang dipakai adalah: Allah telah meriwayatkan kepadaku. o Mushaf al-Quran hanya boleh dipegang oleh orang yang dalam keadaan bersih (suci), sedangkan Hadits Qudsi tidak. o Dan masih banyak perbedaan-perbedaan lainnya yang tidak munglin saya sebutkan semuanya disini. c. Hadits Nabawi adalah yang mana bahasa maupun maknanya berasal dari Nabi saw sendiri. Meskipun demikian bukan berarti apa yang dikatakan oleh Nabi merupakan sesuatu yang berasal dari nafsu belaka, karena hal ini bertentangan dengan al-Quran surat al-Najm ayat 4 yang berbunyi:

o Setiap makna dan lafad Al-Quran dari Allah dan menjadi wahyu yang agung,

.
Akan tetapi mempunyai pengertian bahwa Hadits Nabawi dalam proses terjadinya dari Nabi tidak harus menunggu intruksi wahyu dari Allah.[6] B. Kodifikasi Hadist 1.Alasan Tertundanya Penulisan Hadist

Sajak pertama Nabi mencurahkan Perhatian besar bagi penulisan Al-quran. Karena itu Al-quran bebas dari segala bentuk kekeliruan atau perubahan. Sadangkan kasus Haditst menurut keyakinan kami meskipun ada izin atau perintah Nabi dalam kaitannya dengan penulisan hadits, dan meskipun kenyataannya hadits telah ditulis selama masa hidup Nabi, namun tugas penulisan hadits bukan saja tidak diperhatikan akan tetapi ditentang, dan pertentangan ini banyak melahirkan masalah yang berkaitan dengan hadits. Penundaan penulisan hadits ini akibatnya yang berbahaya telah membawa sekelompok orang melimpahkan kesalahan kepada Nabi. Mereka tau bahwa penentangan penulisan hadits datang dari Nab, tidak akan dianggap salah karena Nabi adalah Mashum (terjaga), tetap jika penentangan itu dinisbatkan kepada yang lain, maka kelemahan mereka terungkap karena menisbat larangan tersebut kepada Nabi, seperti hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu said Al-Khudri yang berbunyi: jangan tulis dariku kecuali al-Quran, dan bagi siapapun yang menulisnyahendaknya menghapusnya. Pernyataan ini sudah jelas dan gamblang sekali bahwa penulisan hadits tidak diizinkan. Sesuai dengan penjelasan ini, tiap orang yang elah menulis apa saja tentang Hadist wajib memusnahkannya. Karena kejelasan dan ketegasan inilah dan karena alasan-alasan lainnya, kami tidak mendapat menerima keshahian pernyataan ini atau pernyataan lain yang seperti ini. Alasan kami menolak hadits ini adalah sebagai berkut: 2.Masa Kodifikasi dan Pengumpulan Hadits. a. Periode pertama Periode pertama adalah masa wahyu dan pembentukan masyarakat. Pada masa ini Nabi SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di tengah sahabat pada khususnya, baik sewaktu tinggal di Makkah maupun setelah Hijrah ke Madinah. Pada masa permulaan ini jumlah umat Islam hanyalah beberapa gelintir orang saja. Mula-mula mereka tinggal di rumah al-Arqam bin Abdu Manaf, yang terletak secara di kota Madinah. Disitu mereka mempelajari dengan agama Islam, waktu mempelajari al-Quran, serta mereka melakukan dakwah yang pada awalnya mereka lakukan sembunyi-sembunyi. Bersamaan berjalannya akhirnya Islampun mulai berkembang, sehingga membentuk komunitas yang lebih

besar. Di era tersebut Kota Madinah masih memiliki sembilan masjid. Maka pada awal-awal perkembangan itu, Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari baca tulis. Dan nabi memprioritaskan terhadap penulisan al-Quran. Adapun hadist pada waktu itu, belum begitu diperhatikan seperti halnya alQuran yang sejak awal mendapatkan perhatian khusus. Bahkan pada awal-awal turunnya wahyu, Nabi SAW melarang para sahabatnya untuk menulis hadist. Karena dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Quran, dan juga supaya semua potensi ditujukan dan diarahkan pada al-Quran. Sehingga pada saat itu hadist terdokumentasikan dalam bentuk hafalan saja. Berikut ini contoh Hadist Nabi SAW yang melarang penulisan hadits. Artinya Jangan menulis apa-apa selain al-Quran dari saya, barang siapayang menulis dari saya selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya.(HR. Muslim .[dari Abu Said a-Khudry)[7 Namun ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAW memberikan izin kepada sebagian sahabatnya untuk menulis hadist. Hal itu bertujuan untuk membantu dalam proses hafalan mereka. Namun pada ujungnya disaat periode terakhir masa-masa kehidupan Nabi mereka mengkodifikasikannya. Diantara para sahabat yang telah mendapatkan lisensi adalah Abdulloh bin Amr bin Ash (7SH65H), Dia memiliki kumpulan hadist yang dikenal dengan Sahifah as-Sadiqah, sahifah ini memuat seribu hadist. Disamping itu dijumpai sebuah kitab hadist Sahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin Abdulloh al-Ansari (16-74H). dan yang terakhir Sahifah Sahihah yang disusun oleh Human bin Munabbih (40-131H). [8] Contoh hadist yang memperbolehkan penglodifikasian hadist adalah. Artinya Tulislah dari saya demi zat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak .[9] Di masa ini, dapat disebutkan beberapa cara sahabat dalam menerima hadist.[10] Pertama hadist diterima secara langsung.

Melalui majlis pengajian nabi yang diadakan pada waktu-waktu tertentu.

Adanya perilaku umat yang disaksikan oleh nabi secara langsung dan menghendaki panjelasan dari nabi. Pertanyaan yang diajukan oeh sahabat atau permintaan penjelasan sahabat kepada Nabi SAW. Ada peristiwa yang langsung dialami Nabi SAW dan para sahabat

menyaksikannya. Kedua hadist diterima secara tidak langsung, yang disebabkan beberapa factor. Kesibukan yang dialami sahabat.

Tempat tinggal sahabat yang jauh.

Persaan malu untuk bertanya langasung kepada Nabi SAW.

Jadi pada masa ini terdapat perbedaan tingkat penerimaan hadist dilkalangan sahabat. Selain karena sebab-sebab diatas factor lain adalah tingkat kemampuan termasuk tingkat kecerdasan diantara mereka yang menetukan kualitas penerimaan hadist. b. Periode kedua Tepatnya periode ini adalah masa kepemimpinan khulafa ar-Rasyidin, Abu Bakar as-Siddik, Umar bi Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib (10H-40H). Persoalan yang menonjol serta banyak menyita perhatian para sahabat pada periode ini, disamping usaha penyebarluasan Islam adalah soal ketatanegaran dan soal kepemimpinan umat. Persoalan-persoalan tersebut menumbuhkan perpecahan dikalangan intern umat, yang merambat pada lahirnya berbagai macam fitnah dan intrik. Yang pada tataran selanjutnya Hadist pun juga tak luput dari dampak tersebut. Sehingga wajar kalau Abu Bakar dan Umar menyerukan pada umat Islam

untuk berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan Hadist. Serta meminta para sahabat untuk secara teliti memeriksa riwayat Hadist yang mereka terima. Beberapa sumber mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak akan menerima hadist kalau tidak disaksikan kebenarannya oleh saksi yang lain. Hal itupun juga diikuti sahabat-sahabat yang lainnya. Contohnya sahabat Ali, Ia tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan disumpah terlebih dahulu. Semua itu menunjukkan bahwa betapa ketatnya para sahabat dalam menerima hadist. Namun berkenaan dengan semakin luasnya wilayah Islam, yang tepatnya di masa pemerintahan Ali dan Ustman maka larangan terhadap periwatan hadist tidak lagi dapat dilakukan dengan tegas seperti pada masa Abu Bakar dan Umar. Karena banyak dari sahabat yang sudah berpencar ke daerah-daerah baru. Akibatnya penyebaran dan pengembangan riwayat secara lebih jauh tidak terhindarkan lagi. [11] Adapun penyeberan hadist pada masa ini menggunakan lisan, dan hanya pada saat yang diperlukan. Misalnya jika umat Islam menghadapi suatu permasalahan yang menuntut penjelasan dari hadist. Maka pada saat itulah hadist baru dipakai untuk menyelesaikan permasalahan tersebut[12]. c. Periode ketiga Periode ini disebut periode penyebaran riwayat. Ini berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabiin besar. Penakhlukan beberapa kota diantaranya Syam dan Irak (17H), Mesir (20H), Persia (21H), Samarkand (56H), dan Spanyol (93H) menuntut para sahabat untuk berpindah ke tempat-tempat baru dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Adapun perkembangan selanjutnya sahabat yang mendengar riwayat (Hadist) , yang belum pernah didengarnya merasa perlu melakukan pengecekan dengan melawat ke kota di mana sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut tinggal. Kedatangan sahabat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tabiin untuk mendengarkan pengajaran-pengajaran daripadanya.[13] Dalam riwayat Bukhori Ahmad, at-Tabari, dan al-Baihaki disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam menanyakan sebuah hadist kepada seorang sahabat yang tinggal disana. Hal demikian juga pernah dilakukan oleh Ayyub al-Anshari yang melawat ke Mesir hanya untuk menemui Uqbah bin Nafi. Periode ini ditandai oleh aktifnya generasi tabiin menyerap hadist dari generasi sahabat. Sehingga pada masa itu muncullah istilah Bendaharawan Hadist, yaitu para sahabat yang meriwayatkan hadist lebih dari seribu hadist.

Diantara mereka adalah Abu Hurairah (meriwayatkan 5374 hadist), Abdullah bin Umar bin Khattab, (meriwayatkan 2630 hadist), Anas bin Malik, ,meriwayatkan (2266 hadist), Aisyah, meriwayatkan (1210 hadist), Abdullah bin Abbas, meriwayatkan (1660 hadist), Jabir bin Abdullah, meriwayatkan (1540 hadist), Abu Said al-Khudari, meriwayatkan (1170 hadist). Sedangkan dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada periode ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah di Makkah, asy-Syabi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih di Yaman. Pada era tersebut juga terdapat beberapa sahabat yang ,menyedikitkan riwayat. Alasannya, mereka takut terjerumus dalam kedustaan, serta takut akan banyaknya hadist yang terlupakan dikarenakan usianya yang telah lanjut. Az-Zubair dan Zaid bin Arqom adalah contoh dari sekian sahabat yang mengambil sikap seperti itu. Sedangkan dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada periode ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah di Makkah, asy-Syabi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih di Yaman. Perkembangan selanjutnya terjadi perpecahan dikalangan umat Islam, karena persoalan kholifah dan politik. Dan hal itu merembet pada perang saudara antara Ali cs, dan Muawaiyah cs. Perseteruan itu banyak membawa korban dikalangan umat Islam. Pada akhirnya situasi perpolitikan yang demikian itu memberi peluang berkembangnya pemalsuan hadist. Hadist palsu tersebut digunakan untuk menjastifikasi golongan mereka masing-masing. Contoh hadist palsu yang dibuat golongan syiah. Artinya: siapa yang mati dan dalam hatinya ada rasa benci kepada Ali, maka hendaklah mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani.[14] Contoh hadist palsu yang dibuat golongan Muawiyah.

: Artinya: orang yang terpercaya oleh Alloh hanya tiga, yakni Aku (Nabi), Jibril, Muawiyah. d. Periode keempat Periode keempat berlangsung dari masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz (99H102H) sampai akhir abad kedua Hijriah. Kholifah Umar bin Abdul Aziz yang tumbuh dalam ikllim keilmuan, membentuk pribadi yang cinta akan ilmu pengetahuan. Selain itu beliau juga terkenal jujur. Sehingga ketika Ia menangkap kenyataan bahwa banyak dari para penghafal hadist yang wafat, serta semakin berkembangnya hadist palsu, maka tergeraklah hatinya untuk mengkodifikasikan hadist. Ia khawatir kalau tidak segera dibukukan maka hadist pasti akan berangsurangsur hilang. Kekhawatiran itulah yang menyebabkan kholifah memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar Muhammad bin Amru bi Hazm (w 117H) untuk membukukan hadist yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman bin Saad bin Zuhairah bin Ades (ahli fiqih murid Aisyah RA) serta hadist yang ada pada Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq. Selain itu kholifah juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w 124 H) untuk mengumpulkan hadist yang ada pada para penghafal Hijaz dan Syuriah. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kodifikasi resmi.[15] Selanjutnya bertolak dari sini berkembanglah pengkodifikasian hadist, yang selanjutnya melahirkan banyak penulis dan penghimpun hadist. Para tokoh tersebut misalnya: Abdul Malik bin Abdu Aziz bin Juraij (w 159H) di Makkah, Malik bin Anas / Imam Malik (94-179H), dan Muhammad bin Ishak (w 151H) di Madinah, ar-Rabbi bin Sabih (w 160H), Said bin Urabah (w 167H), dan Hammad bin salamah bin Dinar alBasri (w167H) di Basra, Sufyan as-Sauri (w161H) di Kufah, Mamar bin Rosyd (95153H) di Yaman, Abdurrahman bin Amr al-Auzi (88-157H) di Syam, Abdullah bin alMubarak (118-181H) di Khurasan, Hasyim bin Basyr (104-183H) di Wasit, Jarir bin Abdul Hamid (110-188H) di Rayy dan Abdullah bin Wahab (125-197H) di Mesir. Sistem pembukuan hadist pada stadium ini adalah, si pengarang

menghimpun semua hadist mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam kitab ini hadist masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabiin. Belum ada pemilahan mana hadist yang Marfu, hadist Mauquf,

ataupun hadist Maqtu, serta antara hadist Sohih, Hasan, dan Dhoif. Beberapa buku tersebut ada yang dinamakan al-Jami, al-Musnad, al-Musannaf dan lain-lain. Misalnya Musnad as-Syafii, Musannaf al-Auzai dan al-Muwatta karya Imam Malilk yang disusun atas permintaan kholifah Abu Jafar al-Mansur (144H). a. Periode kelima Periode kelima disebut dengan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Ini berlangsung dari awal abad ke 3 H sampai sampai akhir abad ke 3. Pada masa ini timbul pertentangan yang hebat antara ulama kalam (khususnya Mutazilah) dengan Ulama hadist. Pertentangan itu berkutat di sekitar apakah al-Quran itu makhluk atau Bukan? Golongan Mutazilah beropini bahwa Quran adalah makhluk. Pendapat ini mendapat suport dari kholifah-kholifah pada waktu itu. Antara lain al-Makmun (218H) . Ia menginstruksikan kepada seluruh Gubernur di Bagdad untuk menindak dengan tegas kepada siapa saja yang tidak mau mengatakan bahwa Quran itu makhluk. Bahkan Ia melarang keras kepada Ulama hadist untuk berfatwa dan meriwayatkan Hadist kalau tidak mengatakan demikian. Instruksi tersebut banyak mendapat tentangan dari Ulama hadist khususnya, dan umat Islam umumnya yang mayoritas beraliran Ahlu Sunnah. Pada periode tersebut banyak dari golongan ulama yang dipenjara dan di siksa, antara lain Ahmad bin Hambal karena menentang kholifah al-Makmun dan penggantinya al-Mutasim (w 227 H) dan Watsiq (w 232 H). Namun ditengah-tengah kegentingan tersebut lahirlah ulamaulama besar termasuk Ulama hadist, yang dengan sabar menjaga kemurnian dan kesucian ajaran Nabi SAW.[16] Masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi hadist. Sebab para ulama telah berhasil memisahkan hadist-hadist Nabi SAW dari yang bukan hadist (fatwa sahabat dan Tabiin) . kegiatan-kegiatan lainnya di masa ini adalah:[17] lawatan ke daerah-daerah yang semakin jauh guna menghimpun hadist dari para perowinya. membuat klasfikasi hadist marfu, mauquf, dan maqtu.

menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik pada rowi maupun matan serta memberi jawabannya. Sebagai tindak lanjut dari pengklasifikasian hadist, lahirlah buku-buku baru yang dinamakan Kitab Sahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad. Pada masa ini bangkit Imam hadist yang besar yaitu Ishaq bin Ruwaih yang merintis usaha memisahkan antara hadist Sahih dan tidak. Usaha ini dilanjutkan oleh Imam Bukhori, sehingga tersusunkah sebuah kitab yang sistematis berdasarkan bab-bab yang diberi nama Sahih Bukhori. Imam-imam hadist lainnya, seperti Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majja, mulai menyusun kitab-kitab sunan mereka. Begitu pula Imam Hambali dengan kitab musnadnya. Penyusun kitab musanad lainnya adalah Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad bin Musa, dan Nuaim bin Ahmad al-Kazai. f. Periode keenam Periode keenam merupakan periode pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan hadist. Ini dimulai dari abad ke 4 sampai jatuhnya Kota Bagdad (656H). Pada masa ini lahir istilah ulama Mutakadimin dan ulama Mutaakhirin. Term-term ini jadikan sebagai pemisah antara ulama yang hidup sebelum abad ke 4 H (mutakadimin), dan ulama yang hidup sesudah abad 4 H (Muataakhirin). Perbedaan antara keduanya adalah Ulama Mutakadimin melakukan kegiatannya secara mandiri. Dalam arti mereka himpunan hadist-hadistnya tidak dengan jalan mengutipnya dari kitab-kitab hadist yang ada sebelumnya. Tapi mereka mendengar langsung hadsit-hadist itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri tentang matan serta perowinya. Untuk itu mereka mengadakan lawatan-lawatan ke berbagai daerah untuk mencek kebenaran hadist-hadist yang didengarnya.[18] Adapun Ulama Mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya-karya Ulama Mutakadimin dalam arti kumpulan-kumpulan hadist mereka adalah hasil petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutakadimin. Pada stadium enam ini tumbuh sebuah asumsi bahwa sudah merasa cukup dengan hadist-hadist yang dihimpun ulama-ulama Mutakadimin. Oleh sebab itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbegai negeri untuk mencari hadist. Semangat yang tumbuh pada masa ini adalah semangat untuk memelihara. Jadi para ulama periode ini berlombalomba untuk mengahafal sebanyak-banykanya hadist yang sudah terkodifikasi.[19]

Selain itu ulama dalam periode ini berusaha memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang masih berserakan dan memudahkan jalan-jalan pengumpulan hadist. Usaha-usaha perbaikan tersebut memunculkan beberapa Kitab hadist diantaranya:[20] kitab syarh, yang mengomentari kitab hadist tertentu. Selain itu juga muncul kitab Mustakhraj, yaitu kitab hadist yang memuat hadist dari kitab hadist yang ada, dengan sanad sendiri yang berbeda dengan sanad hadist rujukannya. kitab Atraf yang menyebut hanya sebagian dari matan atau tesk hadist, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu baik sanad dari kitab yang dikutip maupun kitab lain. kitab Mustadrak, yang menghimpun hadist-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhori Muslim atau salah satu dari keduanya saja. kitab Jami yang menghimpun hadist-hadist yan telah termuat dalam kitabkitab yang telah ada. g. Periode ketujuh Periode ketujuh bisa dikatakan periode pensyarahan, perhimpunan,

pentarjihan serta pengeluaran riwayat. Periode ini bertepatan dengan masa penghancuran Kota Bagdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh pasukan Hulugu Khan (656 H). Akibat dari kejadian itu maka pindahlah pemerintahan Abbasiyah ini ke Cairo Mesir, namun kholifahnya hanya simbol saja, sedangkan yang berkuasa pada hakekantnya adalah Raja Mesir dari Mamalik.[21] Pada akhir abad ke 7 Turki menguasai daerah-daerah Islam kecuali daerah barat (Maroko dan sebagainya). Bahkan pada abad 9 Turki di bawah pemerintahan Ottoman (dinasti Ustmaniyah) merebut Kota Konstantinopel dan dijadikan ibukotanya. Kemudian menakhlukkan Mesir dan melenyapkan Kholifah Abbasiyah. Sejak itu kholifah islamiyah ini dipindahkan ke Kota Konstantinopel dan sejak itu raja Turki memakai sebutan Kholifah. Turki semakin kuat dan daerahnya makin

luas, tapi sayangnya pada waktu yang sama pemerintahan Islam di Andalus hancur. Maka padamlah cahaya Islam yang pernah menerangi negeri tersebut selama kurang lebih delapan abad. Kemudian imperialisme Barat berhasil menakhlukkan negeri-negeri Islam. Dan sejak itu Islam mengalami kemunduran.[22]

Situasi dan kondisi tersebut secara otomatis juga menggeser cara penerimaan dan penyampaian hadist. Mereka kadang-kadang menggunakan jalan surat menyurat dan ijazah. Maksudnya adalah sang guru memberikan izin kepada sang murid untuk meriwayatkan hadist dari guru tersebut. Pada dekade ini jarang sekali detemuakan ulama-ulama yang mampu menyampaikan periwayatan hadist beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Yang umum adalah mempelajari kitab-kitab hadist yang ada, mengembngkannya, membuat pembahasanpembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan. [1] Muhammad bin Ali al-Maliki. 1990. al-Manhalal-Latif fi Usul al-Hadis al-Syarif. Jiddah. Sahar al-Mamlakah al-arabiyah. Hal-41&51. atau lht Muhammad Hasbi Ash shiddiqi. 1998. Sejarah & pengantar Ilmu Hadits. Semarang. P.T. Pustaka Rizqi Putra. Hal-1,4. [2] M. Ajjaj al-Khatib. Usul al-Hadist Ulumuhu wa Musthalahuhu, Hal-19. [3]Muhammad bin Ali al-Maliki / Muhamad Hasbi As-Sidiqi. Op.cit. Hal-52 / 5-15 [4] Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakkir. Ulum al-Hadist. Hal-17 [5] Muhammad bin Ali al-Maliki / Muhamad Hasbi As-Sidiqi. Loc.cit. Hal-52 / 5,15 [6] Syaban Muhammad Ismail. Al-Hadist Al-Qudsi. Hal-87 [7] Masjfuk Zuhdi, 1993, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Bina Ilmu), Hal-80 [8] Penyusun Ensiklipedi Islam,1999, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Jld.1. Hal-149 [9] Masjfuk zuhdi, op. cit. Hal-81
[10] Penyusun Ensiklipedi Islam,Loc.Cit, cet.6, Jld.2. Hal-43

[11] Ibid. 44
[12] Masjfuk Zuhdi. Op Cit. Hal-82

[13] Penyusun Ensiklopedi Islam. Op,Cit. Hal-45. [14] Masjfuk Zuhdi, Op.Cit. Hal-84. [15] Penyusun Ensiklopedi Islam, Op.Cit. Hal-149 [16] Masjfuk Zuhdi. Op.Ci. Hal-88,89 [17] Penyusun Ensiklopedi Islam. Op.Cit. Hal-47 [18] Masjfuk Zuhdi. Op.Cit. Hal-92 [19] Penyusun Ensiklopedi Islam. Loc.Cit. Hal-47 [20] Ibid [21] Masjfuk Zuhdi. Op.Cit. Hal-95 [22] Ibid, 96

Tinggalkan Balasan
Top of Form

Enter your comment here...

Fill in your details below or click an icon to log in:


Email (wajib) (Belum diterbitkan)

Nama (wajib)

Situs web

Beritahu saya balasan komentar lewat surat elektronik.


Bottom of Form Top of Form

Bottom of Form

My family

my article
Al-Jarah Wa Al-Tadil Definisi Hadits Hadist Ditinjau Dari Aspek Kuantitas Sanad Hadits Ditinjau Dari Aspek Kualitas Hadits Muan-an dan Muannan Syudzudz & Illat Hadits Tahamul & Adaul Hadits

my town
asal-usul udinkz

Relasi Link
games Hamzex MUTU my pondok nurul anwar SAVEKING

situs mine
FB friendster myspace

ANDA ADALAH TAMU KE:

Desember 2011 S S R K J S M Feb 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 0 1

1 1 1 1 1 1 1

Desember 2011 S S R K J S M 2 3 4 5 6 7 8 1 2 2 2 2 2 2 9 0 1 2 3 4 5 2 2 2 2 3 3 6 7 8 9 0 1

Blog pada WordPress.com. Theme: Sapphire by Michael Martine.

You might also like