You are on page 1of 6

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah di Jurusan Sosiologi Antropologi

Mata Kuliah Dosen Pengampu

: Sosiologi Indonesia : Atika Wijaya, M.Si.

Oleh : M. Rizal Firdousy Joko

JURUSAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Isu kesetaraan gender mulai menjadi bagian dari agenda perubahan sosial dan politik sejak tahun 1977. Berawal dari London (Inggris), para aktivis Feminisme mulai berjuang memperkenalkan isu kesetaraan gender. Perjuangan terhadap kesetaraan gender kemudian diikuti oleh negara-negara lain di dunia sehingga kemudian menjadi bagian dari wacana global mutakhir. Merujuk pada Womens Studies Encyclopedia, istilah gender merupakan konsep kultural yang berusaha menjelaskan perihal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Dengan demikian, pemaknaan terhadap gender merupakan konstruksi budaya. Karena merupakan konstruksi budaya, maka konsep gender dianggap bisa berubah mengikuti perkembangan zaman. Perlu dijelaskan bahwa istilah gender tidak sepadan dengan seks. Dalam transliterasi Bahasa Indonesia, istilah gender sering disamakan dengan seks, sehingga kemudian melahirkan pemahaman yang agak berbeda. Padahal, gender adalah sebuah konstruksi pemahaman yang sudah menjadi tradisi dalam sebuah masyarakat dengan sistem sosial dan budaya tertentu. Misalnya masyarakat Jawa yang menganut sistem sosial dan budaya patrinial, kaum perempuan berada pada posisi marginal. Kaum laki-laki, dalam konstruksi sosial dan budaya patriarkhi, cenderung mendominasi kaum perempuan. Namun berbeda ketika sebuah masyarakat menganut sistem sosial dan budaya matrinial. Misalnya masyarakat Minang, justru kaum laki-laki berada pada posisi marginal. Kaum perempuan, dalam sistem sosial dan budaya matrinial, lebih mendominasi kaum laki-laki. Persoalan-persoalan gender menjadi urgen untuk diperjuangkan karena dampaknya pada ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Misalnya dalam konteks masyarakat yang menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi, kaum perempuan tidak mendapat hak-hak yang selayaknya. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme sebenarnya sedang menggugat sistem sosial dan budaya patriarkhi. Perjuangan para aktivis Feminisme menghendaki terwujudnya keadilan sosial dengan menempatkan peran dan posisi kaum perempuan sesuai dengan hak-haknya. Landasan para aktivis Feminisme menuntut keadilan berdasarkan prinsip humanisme universal, yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan yang paling fundamental yang melampaui etnik, budaya, dan agama. Di Indonesia, gerekan feminisme sudah merambah ke wilayah politik. Isu kesetaraan gender mulai merebak di Indonesia pada sekitar tahun 1990-an. Secara perlahan-lahan, gerakan feminisme menuntut kesetaraan kaum perempuan di Indonesia untuk mendapat hak-hak di bidang sosial dan budaya. Namun lambat laun, seiring dengan bergulirnya reformasi (1998), gerakan feminisme mulai merambah wilayah politik kekuasaan. Sebab, berdasarkan catatan sejarah bangsa Indonesia, peran kaum perempuan sangat minim di pentas politik. Padahal, jumlah kaum perempuan mendominasi kaum laki-laki di Indonesia. Wajar jika kemudian kaum perempuan menuntut kesetaraan di bidang politik (kekuasaan).

Baru-baru ini masyarakat Kabupaten Jepara telah melaksanakan pesta demokrasi-nya yaitu pemilihan kepala daerah (bupati) untuk periode 2012-2017. Dimana pelaksanaannya berlangsung pada tanggal 29 Januari 2012. Namun yang menjadi perhatian masyarakat, khususnya para penggiat aktivis pembela hak-hak perempuan yaitu ketiadaan calon perempuan dalam Pilkada Jepara. Ketiadaan calon perempuan dalam Pilkada Jepara kali ini patut dipertanyakan terkait keberlangsungan program pemberdayaan perempuan. Semua calon yang telah dipilih adalah laki-laki. Secara permukaan, wajah politiknya tampak maskulin, orientasi kebijakannya rawan mengarah pengarusutamaan kaumnya sendiri. Cara laki-laki yang berkuasa dalam menerjemahkan program terhadap perempuan rawan salah sasaran. Sebab sudut pandang yang melekat pada laki-laki terhadap perempuan berbeda-beda. Kadar sensivitasnya lebih tipis jika dibanding perempuan sebagai pihak yang mengalami. Wajah kepemimpinan laki-laki juga rawan menjadikan perempuan sebagai objek kebijakan. Perempuan hanya dipaksa menjalankan program, tanpa ditanya skala prioritas dan kebutuhan. Program yang diciptakan bisa saja asal buat menyesuaikan alokasi anggaran. Hilangnya perempuan dari panggung politik itu juga seakan kontraproduktif dengan cerita-cerita heroik dan penuh nilai tentang perempuan Jepara. Representasi dari semangat perempuan Jepara dari zaman ke zaman seakan menemukan titik akhir untuk tampil di ruang publik sebagai pemimpin baru. Padahal jalan terjal kiprah perempuan di ruang publik dan politik mulai dirintis sebelum kemerdekaan oleh RA Kartini. Perjuangan Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan dan perjuangannya yang fenomenal patut dikenang dan dijadikan spirit sampai kapanpun. Karena sosok Kartini adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Walau Kartini bukanlah sosok hero seperti Tjut Nyak Dien yang memanggul senjata dan memimpin perang melawan penjajah Belanda di Tanah Rencong. Ia adalah seorang tokoh pertama pendobrak patron dan paham patriakhi dalam budaya masyarakat Jawa yang kental. Perempuan pendahulunya, seperti Ratu Kalinyamat sudah dikenal kolonial Belanda sebagai ratu yang ditakuti. Bahkan Ratu Shima yang hidup pada abad ke-7 memimpin kerajaan Kalingga di Jepara merupakan perempuan ratu pertama di Asia Tenggara. Tiadanya perempuan terlibat dalam pencalonan dan menjadi pemimpin di Jepara kali ini tidak menyurutkan harapan . Harapan untuk menjadikan wajah politik berpihak kepada perempuan akan selalu ada meskipun dipegang laki-laki. Karena sensivitas gender tidak hanya datang dari perempuan sebagai pelaku, tetapi laki-laki sebagai partner perempuan. Contoh sederhana adalah Nabi Muhammad yang mempunyai keberpihakan kepada perempuan. Meskipun sebagai laki-laki, beliau menjunjung kaum perempuan. Nabi menyebutkan ibu sebagai pintu surga. Ibu sebagai pintu rida Allah. Ibu sebagai orang pertama yang dihormati dalam keluarga juga dalam masyarakat. Jenis gender Nabi Muhammad tidak menghalangi pengambilan berbagai kebijakan. Setiap pasukannya perang melawan musuh, nabi selalu berpesan untuk membiarkan perempuan dari kalangan musuh hidup. Alasan apa pun, tidak dibenarkan untuk membunuh perempuan dalam peperangan.

Kebijakan-kebijakan Nabi itu dapat menjadi acuan utama dalam pemerintahan untuk tetap berpegang teguh memosisikan setara perempuan. Presiden pertama Indonesia, Soekarno juga pernah mengatakan bahwa kemajuan bangsa tak tercapai tanpa peran perempuan dan laki-laki yang setara. Keduanya bersama berperan dalam bidangnya untuk memajukan bangsa dan negara. Tanpa nakhoda perempuan dalam kepemimpinan Jepara, harapan untuk kesetaraan dan pemberdayaan tidak boleh putus. Akses ke publik terhadap perempuan tidak boleh dihambat. Pemberdayaan perempuan dengan dorongan usaha dibutuhkan agar mereka dapat mandiri. Bantuan permodalan juga diperlukan agar usah kecila yang dijalankan tetap hidup. Agar perempuan dapat berdaya dan tidak dipandang sebelah mata sebagai sumber persoalan di masyarakat. Harapan kepada pemimpin baru kabupaten yang mempunyai sejarah panjang kaum perempuan adalah munculnya program pemberdayaan yang nyata. Selama kampanye barangkali hanya disinggung sedikit atau bahkan tidak tergarap isu keperempuanan. Namun, setelah menjadi bupati dan wakil bupati Jepara muncul langkah yang kokoh menguatkan posisi perempuan. Dalam implementasi kebijakan, perempuan selalu dijadikan subjek, sehingga selalu diajak berpartisipasi memberikan masukan. Perempuan juga harus dilibatkan dalam penentuan program yang sesuai dengan kepribadiannya. Pendekatan kebijakan dari atas ke bawah dihilangkan dengan mengajak yang bawah sebagai bagian pengambil kebijakan yang di atas. Sejarah perempuan Jepara semoga bukan hanya manis ketika diseminarkan, disemboyankan, atau dikampanyekan. Tetapi mampu menjadi energi bagi pemerintahan Jepara untuk menjadi kawasan yang mempunyai sensivitas gender. Meskipun laki-laki yang menjadi imam bagi warga Jepara, semoga mempertimbangkan faktor historisi kabupaten yang dipimpinnya. Tanpa RA Kartini, Ratu Kalinyamat, Ratu Shima Jepara bukan apa-apa.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka inti persoalan yang perlu dikaji lebih dalam adalah partisipasi, citra, peran, dan hambatan bagi partisipasi perempuan serta tindakan atau solusi apa yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan peran perempuan di dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Dari kenyataan yang dibahas dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah Gender itu dilihat dari pemahaman umum ? 2. Apakah perbedaan konsep Gender dan Jenis Kelamin ? 3. Bagaimana partisipasi perempuan dalam politik ? 4. Bagaimana citra perempuan dalam politik di Asia ? 5. Bagaimana gambaran peran perempuan dalam politik di Indonesia ? 6. Bagaimana hambatan bagi partisipasi politik perempuan ? 7. Bagaimana tindakan atau solusi yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan peran perempuan di dalam politik ?

C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang diharapkan penulis dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pemahaman umum tentang Gender. 2. Untuk mengatahui perbedaan konsep Gender dengan Janis Kelamin. 3. Untuk mengatahui partisipasi perempuan dalam politik. 4. Untuk mengatahui citra perempuan dalam politik di Asia. 5. Untuk mengatahui gambaran peran perempuan dalam politik di Indonesia. 6. Untuk mengatahui hambatan bagi partisipasi politik perempuan. 7. Untuk mengetahui tindakan atau solusi yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan peran perempuan di dalam politik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemahaman Umum Tentang Gender Ketika disebut kata gender, anggapan umum selalu identik dengan perempuan, implikasinya banyak seminar, lokakarya, pelatihan, simposium yang memasang kata gender sudah pasti

You might also like