You are on page 1of 4

Sekolah Bertaraf Internasional Dihentikan Sayang, Tetap Bertahan Menuai Pro dan Kontra

Oleh NIM: 201110240211088 Sejak awal keberadaannya, kritikan terhadap rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) tidak pernah sepi, baik dari masyarakat maupun dari kalangan intelektual. Namun demikian, tidak sedikit orang tua peserta didik yang berbondong-bondong berebut RSBI. Juga sekolah-sekolah reguler, tidak hanya sekolah negeri, tetapi juga sekolah swasta berburu status RSBI. Bahkan biaya besar penyelenggaraan RSBI terpikir nomor dua, yang penting berstatus RSBI, sehingga RSBI bukan suatu prestasi, tetapi prestise. Benar juga, setelah perjalanan panjang sekitar 7 tahun, proyek besar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencetak sekolah bertaraf internasional (SBI) patut dipertanyakan. Sebab, sejak program RSBI diluncurkan pada tahun 2005 hingga saat ini, dari 1.305 sekolah terdiri atas 239 SD, 356 SMP, 359 SMA, dan 351 SMK, tidak ada satu pun sekolah yang berhasil lolos penilaian menjadi SBI (Jawa Pos, 4 Januari 2012). Sehingga dunia pendidikan Indonesia masih harus bersabar untuk bisa menikmati hadirnya SBI. Namun demikian, program sekolah bertaraf internasional dihentikan sayang, tetap bertahan menuai pro dan kontra. Secara konsep SBI memiliki cita-cita yang tinggi, karena itu sangat disayangkan kalau dihentikan di tengah perjalanan. Cita-cita tersebut antara lain meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan di tingkat regional dan internasional, sebagai antisipasi peningkatan migrasi tenaga kerja internasional, meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar kerja internasional, dan mempertahankan peluang kerja tenaga kerja Indonesia di pasar kerja nasional yang dibentuk oleh perusahaan asing di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Permendiknas nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Bab I pasal 2, berbunyi tujuan penyelenggaraan SBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki: a. kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD

atau negara maju lainnya; b. daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional; c. kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya; d. kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan; e. kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5) dalam skala internet based test bagi SMA, skor TOEIC 450 bagi SMK), dan/atau bahasa asing lainnya; f. kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup; g. kemampuan menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara professional. Fakta bahwa tahun ini tidak ada satu pun dari 1.305 sekolah RSBI yang sukses menjadi SBI kembali menuai kritikan dari berbagai pihak. Program RSBI dinilai gagal total, bahkan ada desakan untuk mengubah lagi program RSBI menjadi sekolah standar nasional (SSN). Salah satu faktor utama kegagalan itu adalah sumber daya manusia (SDM). Yakni, minimnya komposisi guru berjenjang strata dua (S-2) di sekolah-sekolah RSBI tersebut. Padahal, itu merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi SBI, demikian yang dikemukakan Plt Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Suyanto (Jawa Pos, 4 Januari 2012). Sehubungan kegagalan program RSBI, beberapa alasan untuk mengevaluasi secara menyeluruh, bahkan menghentikannya adalah sebagai berikut: 1. Telah terjadi penyimpangan definisi terhadap sekolah bertaraf internasional Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab XIV Pasal 50 ayat (3) berbunyi ... sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Sedangkan dalam PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendididikan Bab I Pasal 1 no. 35 tertulis Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan... Pada tahap ini saja telah terjadi penyimpangan definisi di mana pada awalnya adalah merujuk kepada sebuah tingkatan keunggulan kualitas yang harus dicapai (yang diberi

istilah bertaraf internasional) telah berubah makna menjadi sebuah sistem pendidikan yang terpisah. Sistem ini bertentangan dengan amanat yang ada dalam UU No. 20 tahun 2003 yang dinyatakan dalam pertimbangan: b. bahwa UUD RI Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional .... 2. Konsep sekolah bertaraf internasional belum memiliki landasan akademik dan empirik yang memadai, dan hanya berpijak pada landasan hukum. Konsep dasar (R)SBI yang dirumuskan menimbulkan berbagai masalah yang mendasar, antara lain: a. penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mengajarkan beberapa bidang studi menimbulkan banyak masalah, karena ternyata kebijakan ini justru menyebabkan merosotnya nilai dan kompetensi peserta didik di bidang studi yang diajarkan; b. menimbulkan program-program yang dipaksakan agar dapat memenuhi kriteria bertaraf internasional, misalnya standar ISO, pengadobsian sistem Cambride, penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD. Ini menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional; c. program RSBI salah sasaran karena ditujukan pada peserta didik paling berbakat dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah, dan malah mengabaikan peserta didik yang secara ekonomis dan akademis justru membutuhkan penanganan dan biaya; d. SBI harus diajar oleh guru-guru yang memiliki gelar S-2, tanpa mempedulikan kesesuaian dengan bidang studi yang diajarkan; e. belum ada bukti bahwa dengan adanya program RSBI ini orang tua yang semula ingin menyekolahkan anaknya di luar negeri lantas membelokkannya ke sekolah RSBI, f. program (R)SBI ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada peserta didik dan memberi legitimasi sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan; g. RSBI mengutamakan pada segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala hal yang non akademik. Meski belum ada satu pun sekolah-sekolah RSBI yang sukses menjadi SBI tidak menjadikan Mendikbud, Mohammad Nuh merasa gagal. Sebaliknya, dia menegaskan bahwa program RSBI harus berjalan terus (Jawa Pos, 5 Januari 2012). Bahkan menyatakan, Tahun depan (2013,Red) kami targetkan sudah ada SBI untuk tiap jenjang pendidikan. (Jawa Pos, 6 Januari 2012). Memang benar,

program RSBI harus berjalan terus, pembubaran RSBI terasa kurang arif dan bijaksana. Namun demikian, program RSBI ke depan perlu adanya perbaikanperbaikan di berbagai aspek, antara lain: 1. perlu adanya suatu reinterpretasi dan reformulasi rumusan sekolah bertaraf internasional yang ada selama ini; 2. Kemendikbud menyetop atau menjalankan kebijakan moratorium usul RSBI baru dan terus berupaya meminimalisasi risiko kesalahan dalam membuat kebijakan; 3. meningkatkan pendampingan terhadap RSBI yang ada; 4. meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru, baik itu didanai oleh pemerintah maupun inisiatif guru yang bersangkutan dengan memanfaatkan sebagian dari tunjangan profesi pendidik yang diterima dan sekolah harus melakukan upaya penjaminan kualitas SDM-nya; 5. meningkatkan fasilitas perpustakaan dan laboratorium sebagai penunjang pembelajaran; 6.monitoring dan evaluasi yang mendalam terhadap akses kerja sama dengan pendidikan luar negeri dan kualitas lulusan; 7. tuntutan akademik dan non akademik yang harus dilakukan oleh peserta didik sesuai dengan kemampuannya, misal membaca dan menulis resensi buku dalam jumlah tertentu, lulus uji kompetensi berbahasa Inggris pada semua keterampilan yang standarnya ditetapkan oleh Kemendikbud; 8. untuk menghindari komersialisasi pendidikan, semua biaya program ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah. Pada akhirnya, target kita bukan meningkatkan SSN menuju SBI, tetapi menyediakan sumber daya manusia yang siap menjadi pilar transformasi Indonesia. Hal ini seperti yang dikemukakan Mulyasa (2009:4) Pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir global (think globally), dan mampu bertindak lokal (act loccaly), serta dilandasi oleh akhlak yang mulia (akhlakul karimah). Rujukan Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Koran, Harian Jawa Pos tanggal, 4 Januari 2011 Koran, Harian Jawa Pos tanggal, 5 Januari 2011 Koran, Harian Jawa Pos tanggal, 6 Januari 2011 Mulyasa.2009. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. ---------------------. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: BP. Cipta Jaya. 4

You might also like