You are on page 1of 13

Makalah Ilmiah Stomatitis Aftosa Rekuren

Oleh Trya Aldila Tan Anissa Citra Utami Zulkarneti Herlina Wida Rostina Amelia Monika Dosen

04091004053 04091004054 04091004055 04091004056 04091004058

: drg. Danica Anastasia

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Tahun Angkatan 2009

Stomatitis Aftosa Rekuren


Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah,serta palatum dalam rongga mulut. Meskipun tidak tergolong berbahaya, namun sariawan sangat menganggu.1 1. Pengertian Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan ulser yang terjadi berulang-ulang pada mukosa mulut tanpa adanya tanda-tanda suatu penyakit. Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang-orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran keadaan patologis dengan gejala klinis yang sama.2 2. Etiologi Etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor predisposisi 1. Faktor genetik Faktor genetik dianggap memainkan peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR. Insiden SAR dipercaya meningkat pada pasien yang memiliki riwayat keluarga positif terkena SAR.3 Kurang lebih 50% keturunan derajat pertama dari penderita SAR juga akan mengidap SAR. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR. Probabilitas perkembangan SAR mungkin sangat dipengaruhi oleh status SAR orang tua dan terdapat hubungan yang signifikan antara SAR pada kembar monozygote tapi tidak pada kembar dizygote.3

Faktor genetic SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. Pada penelitian yang dilakukan pada penderita SAR dengan etnik yang

berbeda ditemukan hubungan yang signifikan antara HLA dengan SAR, namun karena sample penelitian ini sedikit maka dianggap tidak mewakili populasi.3 Antigen HLA klas I dan II terlihat pada epithelium basal dan pada sel perilesi pada semua lapisan epithelium pada fase awal ulserasi yang rupanya di mediasi oleh interferon gamma (IFN-) yang dilepaskan oleh sel T. Antigen ini menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan terlepasnya sel mononuclear ke epithelium khususnya lapisan prickle sel sehingga terjadi kontak dengan apoptosis prickle sel yeng kemudian di fagosit oleh neutrofil.3 2. Faktor Hormon Pada wanita, sekelompok aphthous stomatitis sering terlihat di masa pramenstruasi bahkan banyak yang menggalaminya berulang kali.3 Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesterone. Pada masa pra-menstruasi (phase lhuteal menstruasi) korpus luteum menyekresi sejumlah besar progesterone dan estrogen. Hormon ini memberi umpan balik negatif terhadap kelenjar hipopisis anterior dan hypothalamus kira- kira 3-4 hari sebelum menstruasi sehingga menekan produksi hormon pada kelenjar tersebut seperti FSH, LH, maupun hormon pertumbuhan. Menurunnya kerja hormon hipoposis akan mempengaruhi seluruh/hampir seluruh jaringan tubuh termasuk rongga mulut. Dimana kemampuan sintesis protein sel akan menurun sehingga metabolisme sel-sel juga akan menurun.5 Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesterone secara mendadak.5 Penurunan estrogen mengakibatkan terjadi penurunan aliran darah sehingga suplai darah utamanya daerah perifer menurun sehingga terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan lunak mulut sehingga rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Beberapa ahli berpendapat bahwa progesterone juga memegang peranan dalam terjadinya SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian ephitel mukosa rongga mulut. Meskipun belum ada literature

yang menjelaskan hal ini secara lebih terperinci namun ada kemungkinan beberapa penderita SAR mengalami progesterone dermatitis autoimun.3

3. Faktor defisiensi nutrisi Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12) kemungkinan 2x lebih besar terkena SAR dibandingkan orang yang sehat.3 Pada penelitan di Jepang ditemukan adanya hubungan SAR dengan menurunnya intake makanan yang mengandung zat besi dan vitamin B1, akan tetaapi pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian hubungan antara intake makanan dengan fakta-fakta deficiensi haematologi.3 Pada penelitian yang baru-baru ini dilakukan di India dilaporkan adanya korelasi antara konsentrasi nitrat dalam air minum dengan timbulnya SAR, nitrate mengakibatkan meningkatnya aktivitas cytochrome B5 reductase dalam darah dan kerentanan terjadinya recurrent stomatitis. Penjelasan dari teori ini berhubungan dengan adanya kelebihan oxidasi NADH yang medukung timbulnya inflamasi pada mukosa mulut.3 Defisiensi vitamin B1, B2, dan B6 telah ditemukan pada 28% pasien yang menderita SAR. Defisiensi vitamin tersebut menyebabkan menurunnya kualitas mukosa sehingga bakteri mudah melekat pada mukosa, dan menurunnya sintesis protein sehingga menghambat metabolisme sel.3 4. Faktor Imunologi Respon imun yang berlebihan pada pasien menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui.. 5. Faktor Mikroorganisme Streptococcus diduga sangat berpengaruh dalam patogenesis SAR, baik itu secara langsung maupun melalui stimulus antigen yang mungkin melakukan reaksi silang dengan mukosa mulut. Streptococcus L-form ditemukan pada penderita SAR yang merupakan tipe dari S.sanguis, meski pada penelitian selanjutnya di golongkan sebagai tipe dari S.mitis.3 Reaksi silang antara

streptococcus dengan mukosa mulut telah ditemukan dan memperlihatkan jumlah serum antibodi yang signifikan.3 6. Faktor stress Stress sangat berpengaruh pada sejumlah perubahan hidup yang terjadi termasuk kemampuan dalam menimbulkan suatu penyakit. Stress dapat disertai rasa cemas dan kadang terlihat adanya depresi. Kejadian stress dapat memberikan respon terhadap tubuh baik itu respon fisiologis, respon psikologis, respon hormonal, maupun respon hemostatik. Aktifnya hormon glukokortikoid pada orang yang mengalami stress menyebabkan meningkatnya katabolisme protein sehingga sintesis protein menurun. Akibatnya metabolisme sel terganggu sehingga rentan terhadap rangsangan (mudah terjadi ulcer).

Faktor stress dalam perkembangan SAR masih kontafersial. Pada beberapa pasien terapat hubungan antara SAR dengan meningkatnya faktor stress. Selama stess berlangsung dapat terjadi defisiensi niasin dan ascorbid acid. Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan SAR dengan stress, utamanya stress emosiaonal, dari penelitian tersebut ditemukan insiden yang tinggi pada mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi yaitu sebesar 66 % dimana jumlah ini lebih besar dibandingkan masyarakat umum yaitu sebesar 10-20%.4 Sterss fisik juga dianggap sebagai patogenesis timbulnya SAR. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada anggota militer dimana diketahui memiliki insiden yang tinggi terkena ulcer rongga mulut.6 Perawatan pasien SAR yang berhubungan dengan stres psikologis, dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat stres yang diamati, dengan cara konseling dan psikoterapi pada kasus SAR yang parah dan dukungan sosial teman atau keluarga pada kasus yang kurang parah.11 Menurut Janicki (1971), konseling dan psikoterapi kelihatannya mempunyai efek terhadap seringnya dan rekurensi dalam mengurangi terjadinya SAR. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial mempunyai efek pendukung sistem imun.

7. Faktor Penyakit Sistemik SAR ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti inflammatory bowl disease, chorn disease, HIV dan AIDS, dan celiac sprue. Celiac sprue atau sprue topical yang merupakan sindroma malabsorpsi yang tidak diketahui penyebabnya, yang sering terjadi di Asia dan Karibia. Penyakit ini berhubungan dengan kekurangan folat dan malabsorbsi vitamin B12, lemak, dan nutrient lainnya.6 Dengan adanya kelainan malaabsorbsi tersebut maka akan semakin memicu terjadinya defisiensi nutrisi yang merupakan factor predisposisi timbulnya SAR. Recurrent Aphthous Stomatitis merupakan penyakit yang ditandai dengan eritema dan ulcer rekuren pada mukosa mulut. Bentuk ulcer lonjong atau uvoid dengan tepi yang berbatas tegas dan tertutup selaput putih kekuningan. Meskipun kenyataanya stomatitis aphthous merupakan penyakit mukosa oral yang paling sering terjadi pada manusia, namun penyebabnya masih belum dimengerti. Faktor-faktor yang dianggap sebagai faktor predisposisi antara lain faktor genetic, faktor local, hormonal, defisiensi nutrisi, stress, dan gangguan imunologi, dan penyakit sistemik. Faktor genetic SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA). Faktor lokal yang dimaksud dalam hal ini adalah trauma, rokok, dan alergi obat atau makanan serta beberapa bahan kimia. Hormon yang dianggap berperan penting dalam timbulnya SAR adalah estrogen dan progesterone. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya gangguan

keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan lunak mulut sehingga rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR.

Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12) kemungkinan 2x lebih besar terkena SAR dibandingkan orang yang sehat. Telah terbukti bahwa pada pasien SAR terjadi perubahan cell-mediated imun. Pada pasien SAR kemungkinan terjadi respon imunoligi yang abnormal terhadap jaringan mukosa mulut sendiri.

Faktor mikroorganisme, Streptococcus diduga sangat berpengaruh dalam patogenesis SAR, baik itu secara langsung maupun melalui stimulus antigen yang mungkin melakukan reaksi silang dengan mukosa mulut. Faktor stress dalam perkembangan SAR masih kontafersial. Diduga berhubungan dengan peningkatan hormon glukokortikoid. SAR ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti inflammatory bowl disease, chorn disease, HIV dan AIDS, dan celiac sprue. 8. Alergi dan Sensitifitas Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya sendiri. SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.

9. Obat-obatan Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.

10. Merokok Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok. Prevalensi dan keparahan SAR lebih rendah pada perokok berat dibandingkan dengan yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok.

11. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS Produk yang mengandung SLS yaitu agen berbusa, paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur. SLS dapat meningkatkan resiko terjadinya ulser, dikarenakan efek SLS dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan lebih sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami kurang menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.

3. Gambaran klinis Ulser mempunyai ukuran yang bervariasi 1-30 mmm, tertutup selaput kuning keabuabuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberap ahri atau bulan. Karateristik ulser yang sakit terutama terjadi pada mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring (Banuarea, 2009).

4. Patogenesis Stanley telah membagi karakter klinis dari SAR kepada 4 tahap yaitu : 1. 2. 3. 4. Premonitori Pre-ulseratif Ulseratif Penyembuhan

Tahap premonitori terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada waktu prodromal, pasien akan merasa sensasi mulut terbakar pada tempat dimanalesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan oedem akan mulai berkembang.7

Tahap pre-ulseratif terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada tahap ini, makula dan papula aka berkembang dengan tepi eritematous. Intesitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap praulserasi ini. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.7 Tahap Penyembuhan terjadi pada hari ke-4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan selalu tidak meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Oleh karena itu, semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.7

5. Klasifikasi a. SAR tipe mayor Stomatitis tipe mayor disebut juga Recurrent Scarring Aphthous Ulser atau Periadenitis mucosa necrotica recurrens (penyakit Sulton), kira-kira berkisar 10 sampai 15 persen dari kasus SAR adalah stomatitis aftosa tipe mayor. Pada stadium permulaan berupa nodul atau plak yang kecil, lunak, merah dan sakit yang jika pecah akan menjadi ulser tunggal, berbentuk oval dan sangat sakit. Lesi >1cm dan dapat mencapai hingga 5 cm. SAR tipe mayor dapat terjadi pada bagian mana saja darri mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin. Lesinya berupa ulser yang besar, dalam, serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan tepi yang menonjol atau meninggi, erythematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi edema. Lesi berbentuk kawah warna abuabu dan keras jika di palpasi. Tipe ini sering diragukan dengan squamus karsinoma. Masa penyembuhannya sekitar 3-6 minggu. Lesi yang sembuh akan meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan lamanya ulser.

SAR Tipe Mayor

b.SAR Tipe Herpetiform Stomatitis jenis ini terdapat hanya 5-10% dari semua kasus SAR. Nama Herpetiform digunakan karena mirip dengan lesi intraoral pada infeksi virus herpes simplex primer (HSV), tetapi HSV tidak mempunyai peran etiologi pada Stomatitis

Herpetiform atau dalam setiap bentuk ulser SAR lainnya. Bentuk lesi ini ditandai dengan ulser-ulser kecil, berbentuk bulat, sakit, penyebarannya luas dan dapat menyebar di rongga mulut. 100 ulser kecil bisa muncul pada satu waktu, dengan diameter 1-3 mm, bila pecah bersatu ukuran lesi menjadi lebih besar. Ulser akan sembuh dalam waktu 1014 hari tanpa meninggalkan bekas Ulserasi herpetiformis Istilah herpetiformis digunakan karena bentuk klinis dari Ulserasi herpetiformis (yang dapat terdiri atas 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes ini tidak mempunyai peran etiologi pada Ulserasi herpetiformis atau dalam setiap bentuk ulserasi aphtosa. SAR Tipe Herpetiform (Sumber: slide dr. Harum Susanti FKG UI) 6. Penatalaksanaan 8,4 Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya adalah : 1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.

2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan (suportif) dengan menghindari faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR. 3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala (simtomatik) yang dihadapi agar pasien dapat mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan. Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR juga dapat dicegah dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat seperti sayur dan buah yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi.
Karena penyebab SAR sulit diketahui maka pengobatannya hanya untuk mengobati keluhannya saja. Perawatan merupakan tindakan simtomatik dengan tujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan meningkatkan periode bebas penyakit.

Obat-obat yang lazim digunakan, antara lain: 1. Analgesik lokal (tablet hisap atau obat kumur), misalnya Benzydamine (Tanflex, Tantum). Tablet hisap dapat digunakan setiap 3-4 jam (maksimum 12 tablet perhari) hingga sembuh (maksimum 7 hari). Sedangkan obat kumur digunakan berkumur selama 1 menit, setiap 3 jam hingga sembuh (maksimum 7 hari) 2. Anestesi lokal (cairan atau gel oles), misalnya Lidokain, benzokain, dioleskan pada sariawan (sering dioleskan karena efek anestesi berlangsung singkat). 3. Antiseptik (obat kumur), misalnya iodin povidon (bethadin, septadine, molexdine), klorheksidin (minosep), heksetidin (bactidol, hexadol). 4. Kortikosteroid, misalnya: triamsinolon (ketricin, kenalog in orabase), dioleskan 2-3 kali sehari sesudah makan (maksimal 5 hari).

Beberapa Obat ini juga dapat digunakan untuk mengobati stomatitis. 1) Benzokain dan Lidokain Dapat digunakan untuk pasien yang menderita stomatitis dengan kesakitan yang sedang atau parah. Obat ini berupa obat kumur yang kental

yang dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit. 2) Zilactin Dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama enam jam. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut. 3) Ziladent Bersifat sama dengan Zilactin yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesik. 4) Larutan Betadyne Digunakan secara topikal, memiliki efek yang sama dengan Zilactin dan ziladent. 5) Dyclone Berupa obat kumur yang digunakan sebelum makan dan sebelum tidur. 6) Aphthasol Merupakan pasta oral amlexanox yang mirip dengan Zilactin yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk lapisan pelindung pada ulser. 7) Glukokortikoid Dapat juga digunakan didalam penyembuhan ulser yang lebih cepat. Digunakan baik secara oral atau topikal. 8) Topikal betametason Mengandung sirup dan fluocinonide ointment, dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan.

9) Prednison Pemberian secara oral (sampai 15mg/hari) pada kasus SAR yang lebih parah. Hasil teraupetik dapat dilihat dalam satu minggu. 10) Thalidomide

Merupakan obat hipnotis yang mengandung imunosupresif dan anti-inflamasi. Obat ini telah digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren mayor, sindrom Behcet, serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis telah membatasi penggunaannya. 11) Klorheksidin Merupakan obat kumur antibakteri yang mempercepatkan

penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250mg dalam 10 cc sirup direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu. 12) Levamisol Digunakan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR, namun oleh karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini kurang diindikasikan. 13) Pemberian steroid topikal Merupakan pilihan pertama, aplikasi fluocinonide (0,05%

campuran salep 1:1 dengan orabase) atau jika flucinonide tidak efektif dapat diberikan clobetasol propionate (0,05% campuran salep 1:1 dengan orabase). Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan hanya dapat merusak jaringan normal disekeliling ulser dan bila pemakaiannya berlebihan maka akan mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.

You might also like