You are on page 1of 27

TUGAS JURUSITA PENGADILAN NEGERI DALAM PROSES PERKARA PERDATA

Oleh Mulijanto

PENDAHULUAN
Jurusita merupakan bagian dari pelaksana tugas Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan pejabat lain di Pengadilan, karena keberadaannya diperlukan sejak belum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan putusan Pengadilan. Sebagai pejabat peradilan, keberadaannya diatur di dalam undang-undang (Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan TUN) sedangkan bekerjanya diatur dalam hukum acara (RBg /HIR). Tidak mudah menemukan Literatur, khususnya yang membahas tentang kejurusitaan, tidak banyak mendapat perhatian dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang tugas hukum lainnya di Pengadilan, disamping itu bidang kejurusitaan ini kurang diajarkan secara mendalam dalam pendidikan ilmu hukum. Padahal, bidang tugas kejurusitaan merupakan hal yang sangat penting dan sangat menentukan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara. Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar menurut hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak mungkin dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan jurusita/jurusita pengganti, sebaliknya jurusita/jurusita pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah Hakim. Keduanya dalam melaksanakan tugasnya tidak mungkin lepas sendiri-sendiri, kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain. Pembangunan hukum tidak hanya lahir dari pembentuk Undang-Undang, namum praktik peradilan tidak kecil peranannya untuk pembangunan hukum. Bahkan, pembaharuan hukum kebanyakan lahir dan diciptakan oleh praktik

peradilan. Oleh karena itulah pemahaman dan penguasaan bidang teknis peradilan sangatlah penting dikuasai oleh para pejabat peradilan, termasuk jurusita/jurusita pengganti. Bagi para pejabat peradilan, penguasaan hukum acara dan bidang teknis peradilan merupakan pegangan pokok atau aturan permainan sehari-hari untuk memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara. Hukum acara dan teknis peradilan tidak hanya penting didalam praktik peradilan saja, tetapi mempunyai pengaruh yang besar dalam praktik diluar pengadilan. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kepustakaan (literatur) para pejabat peradilan, khususnya para jurusita/jurusita pengganti dalam menjalankan tugas, sehingga melalui makalah ini diharapkan mereka mendapat gambaran yang singkat namum mendalam tentang bidang tugas kejurusitaan yang mesti dilaksanakannya. Disamping itu makalah ini juga dimaksudkan sebagai bahan untuk diskusi dan tanya jawab bagi para peserta Acara Sosialisasi Hukum Untuk Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri se Kalimantan Selatan, yang bertema Meningkatkan Pelayanan Pengadilan Dengan Penerapan Madiasi an Menyamakan Persepsi alam Pelaksanaan Tugas Kejurusitaan agar dikemudian hari lebih memahami landasan teoritis dan segisegi praktis praktik kejurusitaan. Oleh karena itulah, dalam makalah ini bukan hanya sekedar menguraikan tentang apa tugas seorang jurusita/jurusita pengganti serta dasar pengaturannya atau pasal-pasalnya, tetapi lebih menekankan pada pokok permasalahan dan penemuan hukum tentang bagaimanakah praktik kejurusitaan mesti dilaksanakan secara baik dan benar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Menyadari bahwa ilmu hukum memerlukan bahan-bahan dari praktik untuk disistimatisir dan dikaji, sehingga memungkinkan lahirnya teori-teori baru.

Sebaliknya praktik peradilan juga memerlukan dukungan ilmiah yang obyektif. Oleh karena itulah berbekal pengalaman praktik kejurusitaan di lapangan oleh para peserta, yang pasti ada yang unik dan menarik, maka makalah ini diharapkan dapat memicu lahirnya pemikiran teoritis yang lahir dari pengalaman praktis para peserta pelatihan, sehingga nantinya melalui makalah dan acara pelatihan ini diharapkan dapat dihasilkan panduan bidang tugas kejurusitaan yang ringkas, jelas dan terang yang dapat digunakan sebagai pegangan bagi kita selaku pejabat peradilan.

JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI SEBAGAI PEJABAT PERADILAN;


Selain Hakim dan Panitera, pada setiap pengadilan ditetapkan adanya jurusita (deurwaander) dan jurusita pengganti (Pasal 40 sampai dengan Pasal 43 UU No. 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum). Jurusita Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan (Pasal 41 UU No. 8 tahun 2004). Adapun sebagai syarat untuk diangkat menjadi jurusita, sorang calon antara lain harus memenuhi syarat berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai jurusita pengganti, sedangkan untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Negeri (Pasal 40 UU No. 8 tahun 2004). Dalam menjalankan tugasnya kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang jurusita/jurusita pengganti tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang didalamnya ia sendiri berkepentingan. Disamping itu, ia juga tidak boleh

merangkap menjadi advokad. Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita akan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung (Pasal 43 UU No. 8 tahun 2004). Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan (Pasal 42 UU No. 8 tahun 2004). Dengan demikian jurusita/jurusita pengganti adalah pegawai negeri yang diangkat berdasarkan peraturan

perundangan-undangan untuk melakukan tugas kejurusitaan di Pengadilan (Negeri) dimana ia bertugas. Memperhatikan syarat-syarat pengangkatan dan pelaksanaan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti yang diatur secara khusus oleh undangundang, sesungguhnya dapat menyadarkan kita betapa pentingnya kedudukan dan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti di pengadilan. Oleh karena itulah pandangan yang meremehkan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti tidaklah dapat diterima, mengingat tugas seorang jurusita/jurusita pengganti dapat menentukan berlangsung atau tidaknya suatu pemeriksaan di persidangan. Kedudukan dan syarat-syarat pengangkatan seorang jurusita/jurusita pengganti diatur secara khusus dalam Undang-undang tentang Peradilan Umum, karena tugas-tugas yang dilakukan oleh seorang jurusita/jurusita pengganti tersebut, termasuk tugas yang sangat penting. Sebagaimana diketahui, tugas Pengadilan itu meliputi : 1. Tugas peradilan teknis justisial (Iurisdictio Contentiosa) ; 2. Tugas non justisial (Iurisdictio Voluntaria) ; 3. Tugas lain menurut Undang-Undang ; 4. Administerasi peradilan (admistration of justice),yang meliputi : a) Administerasi perkara b) Administerasi keuangan perkara

5. Administerasi Umum 1 Tugas seorang jurusita/jurusita pengganti merupakan tugas teknis justisial. Tugas pengadilan yang bersifat teknis justisial pada dasarnya dimulai sejak pendaftaran perkara, management (pengelolan) biaya perkara, penyelesaian administerasi perkara, pengelolaan administerasi perkara, pengriman atau penerimaan berkas ke Pengadilan Tinggi dan atau Mahkamah Agung (manakala ada upaya hukum banding dan atau kasasi), serta pelaksanaan putusan perkara perdata. Sedangkan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang juru

sita/jurusita penganti terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain dalam Pasal 65 UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang sudah diubah dengan UU No. 8 tahun 2004 (bandingkan juga dengan ketentuan Pasal 716 Rbg). Berdasarkan ketentuan tersebut, tugas jurusita/jurusita pengganti antara lain meliputi : - Melaksanakan pemanggilan atas perintah Ketua Pengadilan atau atas perintah Hakim ; - Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan

pemberitahuan putusan Pengadilan menurut cara-cara undang-undang ;

yang ditentukan

- Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri/Hakim; - Membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Soebyakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktik Peradilan Perdata, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 32. Mahkamah Agung RI dalam berbagai petunjuknya pada pokoknya telah membagi tugas di Pengadilan meliputi administerasi perkara dan administerasi umum. Tugas administerasi perkara merupakan tugas teknis justisial yang dilakukan oleh Hakim, Panitera (Panitera Pengganti) dan jurusita (jurusita pengganti). Sedangkan tugas administerasi umum dilakukan oleh pejabat kesekretariatan pengadilan.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :KMA/055/SK/X/1996 tentang Tugas dan Tanggung Jawab serta Tata Kerja Jurusita pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, dalam Pasal 5 diatur jurusita mempunyai tugas untuk melakukan pemanggilan, melakukan tugas pelaksanaan putusan, membuat berita acara pelaksanaan putusan yang salinan resminya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, melakukan penawaran pembayaran uang, serta membuat berita acara penawaran

pembayaran uang dengan menyebutkan jumlah dan uraian jenis mata uang yang ditawarkan. Adapun wilayah kerja jurusita/jurusita pengganti adalah di daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Jadi beda dengan tugas seorang Panitera atau Panitera Pengganti yang melaksanakan tugasnya di gedung Pengadilan, seorang jurusita/jurusita pengganti justru melaksanakan tugasnya di luar gedung Pengadilan. Tugas dan tanggung jawab serta pola tata kerja seorang jurusita/jurusita pengganti tentunya akan saling berkaitan serta tidak dapat dipisahkan dengan pejabat peradilan yang lain, terutama Hakim. Haruslah disadari tidak ada pembentukan organisasi tanpa kaitan organ, struktur kerja, proses-cara kerja, demikian pula tidak mungkin untuk menyusun suatu tugas dan tanggung jawab serta tata kerja tanpa menyusun organisasinya.2 Adalah suatu hal yang menggembirakan, kalau saat ini berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, susunan organisasi peradilan telah berpuncak pada Mahkamah Agung RI., sehingga Mahkamah Agung dapat menentukan struktur organisasi, pembinaan dan pengawasan pejabat peradilan, termasuk jurusita.
2

Selanjutnya,

berdasarkan

Keputusan

Mahkamah

Agung

RI

SK

Subagyo, Peranan Organisasi Dan Managemen Dalam Badan Peradilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Pejabat Kepaniteraan, Jakarta, 7 Agustus 2001, hal. 7

004/SK/11/92

jurusita/jurusita pengganti adalah bagian dari kepaniteraan

pengadilan. Kepaniteraan adalah unsur pembantu pimpinan dan bertanggung jawab kepada ketua, bertugas memberi pelayanan teknis dibidang administrasi perkara dan administrasi lain berdasar undang-undang dan berfungsi antara lain dalam kegiatan pelayanan administrasi perdata perkara dimana dan persidangan tersebut serta terlibat

pelaksanaan didalamnya.

putusan

perkara

jurusita

Sebagai pejabat peradilan tanggung jawab jurusita/jurusita pengganti dalam konteks kelembagaan adalah kepada Ketua Pengadilan, sedangkan secara administratif tanggung jawab kepada Panitera. Hal ini diatur dalam Pasal 8 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/055/SK /X/1996. Memperhatikan tugas dan tanggung jawab jurusita yang demikian besar, maka dalam makalah ini pertama-tama akan diuraikan bagaimanakah

sesungguhnya peranan dan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti tersebut harus dijalankan dengan baik dan benar menurut hukum. Untuk memudahkan pemahaman, maka tugas jurusita/jurusita pengganti tersebut akan diuraikan mulai tahap sebelum, pada saat dan sesudah pemeriksaan perkara di persidangan, dengan berbagai kendala atau hambatan serta upaya penyelesaiannya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada atau kebiasaan praktik peradilan yang lahir dari sejumlah doktrin dan yurisprudensi.

TUGAS POKOK DAN FUNGSI JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI; A. Tugas Pemanggilan Dan Pemberitahuan.
Dalam persidangan perkara perdata, dimulai dengan pemanggilan para pihak yang dapat dirinci dalam 3 (tiga) bagian : a) Pemanggilan yang dijalankan sebelum pemeriksaan (persidangan) di mulai. b) Pemanggilan yang harus dijalankan setelah pemeriksaan (sidang) berjalan.

c) Pemanggilan yang harus dijalankan setelah pemeriksaan selesai dengan acara putusan Hakim terakhir.3 Ad. a) Pemanggilan Sebelum Pemeriksaan Dimulai Pasal 145 RBg : (pasal 121 HIR.) (1) Panggilan baru dapat mulai di jalankan apabila sudah ada penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri (Hakim) tentang hari dan jam pemeriksaan (persidangan), dalam penetapan mana sekaligus diperintahkan kepada pegawai yang ditunjuk untuk memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada hari dan jam yang telah ditentukan. Biasanya Berita Acara panggilan ini dibuat menjadi satu meskipun mungkin hari

pemanggilannya tidak sama, dalam mana harus dijelaskan berbicara dengan siapa dan jika mungkin juga harus memuat tanda tangan masingmasing yang dipanggil (dengan siapa ia berbicara), tapi panggilannya terpisah juga diperbolehkan. Pasal 145 ayat (2) RBg .(pasal 121 (2) HIR:) (2) Terhadap tergugat pada waktu memanggil menurut pasal 121 ayat (2) harus diserahkan satu turunan resmi dan surat gugatan asli, tindakan mana harus dinyatakan dalam surat panggilan terhadap tergugat. Apabila ada lebih dari satu tergugat, jika perlu mereka sendiri-sendiri harus diberi surat turunan surat gugat resmi.

Soebyakto, Op.Cit., hal 33. Menurut Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi Praktik Kejurusitaan Pengadilan, PT. Tatanusa, Jakarta, 2004, hal 11 yang dimaksud pemanggilan harus dilakukan dengan patut, artinya : - Bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut undangundang. Yaitu pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak. - Pemanggilan dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah. - Pemanggilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan tenggang waktu (kecuali dalam hal yang sangat perlu tak boleh kurang dari 3 hari kerja lihat Pasal 122 atau 146 Rbg). Pemanggilan secara patut juga dirumuskan dalam Pasal 26 PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 718 ayat (1) RBg. (pasal 121 (2) HIR) : (3) Pada umumnya tiap-tiap panggilan, pemberitahuan dan sebagainya, pokoknya semuanya yang disebut exploit seperti diterangkan diatas harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri (yaitu penggugat maupun tergugat) ditempat kediamannya atau ditempat tinggalnya, tetapi jika tidak dapat bertemu sendiri dengan orang yang bersangkutan itu, harus disampaikan kepada kepala desanya atau wakilnya yang selanjutnya berkewajiban segera memberitahu pada yang bersangkutan sendiri tentang adanya panggilan tersebut. Pasal 718 ayat(2) RBg.(pasal 390 (2) HIR : (4) Apabila yang harus dipanggil ternyata telah meninggal dunia, maka panggilan (exploit) harus disampaikan pada ahli warisnya dan jika ini tidak ada, kepada Kepala Desanya. Pasal 718 ayat (2) RBg.(pasal 390 (3) HIR) : (4) Apabila yang bersangkutan tidak diketahui tempat tinggalnya maka exploit harus disampaikan kepada Bupati Kepala Daerah dimana penggugat bertempat tinggal. Ad.b Selama Pemeriksaan Sidang Berjalan Pasal 150 RBg.(pasal 126 HIR:) (1) Apabila pada hari pemeriksaan pertama salah satu pihak ataupun kedua-duanya tidak hadir, meskipun telah ada panggilan yang sah, tapi Hakim memandang perlu untuk memanggil lagi yang tidak hadir, maka atas perintah Ketua (Hakim) Pengadilan dapat dilakukan lagi terhadap yang tidak hadir, untuk kedua kalinya. Pasal 151 RBg.(pasal 127 HIR:)

(2) Apabila ada dua tergugat atau lebih dan pada sidang pertama ada salah satu tergugat tidak hadir, tanpa menyuruh Kuasa atau Wakilnya maka pemeriksaan harus ditunda dengan memanggil tergugat yang tidak hadir pada hari sidang berikutnya. Pasal 186 ayat (3) RBg.(pasal 159 ayat(3) HIR:) (3) Apabila seorang penggugat atau tergugat yang pada hari sidang pertama dan berikutnya hadir tetapi pada saat itu berhalangan hadir, maka bila pemeriksaan ditunda, yang tidak hadir harus dipanggil untuk hadir pada hari sidang berikutnya. Pasal 165 ayat (1) RBg.(pasal 139 ayat (1) HIR;) (4) Apabila baik penggugat maupun tergugat mengajukan permohonan untuk memanggil saksi-saksinya, maka panggilannya harus dilakukan oleh seorang juru sita, yang semuanya harus dinyatakan dalam satu relaas. Pasal 165 ayat (2) RBg.(pasal 139 ayat (2) HIR:) (5) Kemungkinan selanjutnya dapat terjadi apabila bukan pihak yang bersangkutan tetapi Pengadilan sendiri memandang perlu untuk memanggil saksi. (6) Akhirnya apabila saksi yang telah dipanggil dengan sah tidak datang, hingga harus dipanggil lagi, caranya sama dengan panggilan-panggilan untuk pertama kali. Demikian macam-macam pengaturan dan kemungkinan yang harus dilakukan selama pemeriksaan sedang berjalan dan belum selesai. Ad.c Tahap apabila pemeriksaan sudah selesai (sudah ada putusan terakhir). Pasal 148 RBg.(pasal 124 HIR:)

Jika penggugat yang telah dipanggil dengan patut pada hari yang telah ditentukan tidak datang menghadap di sidang Pengadilan Negeri dan

tidak menyuruh seseorang untuk datang untuknya, maka gugatannya dinyatakan gugur dan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya acara dengan hak bahwa ia dapat mengajukan kembali gugatan tersebut asal saja telah membayar biaya acara sebelumnya. Pasal 149 ayat (1)RBg.(pasal 125 ayat(1) HIR) (1) jika pada hari sidang yang telah ditentukan tergughat yang telah dipanggil dengan patut tidak datang menghadap dan tidak menyuruh orang lain menghadap untuknya, maka gugatan dikabulkan dengan verstek, kecuali apabila Pengadilan Negeri berpendapat bahwa

gugatan itu melawan hukum atau tidak beralasan; Pasal 152 ayat (1-2) RBg.(pasal 128 HIR:) Dalam pemberitahuan (aanzegging) kepada tergugat sebagai pihak yang kalah harus diberitahukan bahwa ia dalam 14 hari terhitung mulai esok harinya setelah pemberitahuan itu dapat mengajukan surat perlawanan atau verzet. Semuanya ini seperti apa yang dijelaskan diatas verzet juga harus dinyatakan dalam suatu berita acara. (2) Kemungkinan pemanggilan atau pemberitahuan dapat terjadi apabila pada waktu pengumuman putusan terakhir salah satu pihak atau kedua-duanya tidak hadir, maka isi putusan harus diberitahukan kepada mereka masing-masing dengan keterangan jika dipandang perlu mereka dapat naik banding. Pasal 207 Rbg (Pasal 196 HIR)

(9) Dalam hal sudah ada putusan terakhir, yang oleh pihak yang menang dimintakan eksekusi, maka lebih dulu pihak yang kalah harus dipanggil untuk ditegur (aanmaning) supaya memenuhi isinya keputusan.

B. Tugas Penyitaan (beslag)


Ada 3 (tiga) macam penyitaan (beslag), yaitu : a. Executorial beslag (Pasal 208, 209 Rbg dan seterusnya, bandingkan dengan Pasal 197 HIR) b. Revindicatoir beslag (Pasal 260 Rbg/226 HIR) c. Conservatoir beslag (Pasal 261 Rbg/227 HIR) Ad. a. Executorial Beslag Penyitaan ini merupakan yang terpenting dari ketiga jenis sita yang lain, karena mengenai pelaksanaan suatu putusan Hakim sebagai hasil sengketa perdata. Sebelum dilaksanakan, lebih dahulu harus ada permohonan

eksekusi dari pihak yang menang, maka atas perintah Ketua Pengadilan Negeri pihak yang kalah harus dipanggil untuk mendapat teguran (aanmaning) supaya memenuhi putusan (Pasal 207 RBg). Apabila ternyata dalam waktu yang ditetapkan, pihak yang ditegur tetap membangkang tidak mau melaksanakan putusan, maka Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan kepada Panitera atau penggantinya dengan suatu surat perintah agar supaya menyita barang-barang kepunyaan (miliknya) tergugat. Setelah selesai menjalankan penyitaan, jurusita harus membuat berita acara tentang penyitaan tersebut dengan memberitahukan segala sesuatu kepada si pemilik barang-barang yang disita, jika ia ikut hadir. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, jurusita tersebut harus dibantu oleh 2(dua) orang saksi yang sudah dewasa dan dikenalnya. Segala barang milik tergugat

boleh disita, kecuali hewan-hewan termasuk alat-alat yang digunakan untuk membantu pekerjaannya. Setelah selesai melakukan penyitaan barang-barang harus diserahkan atau ditinggalkan kepada pemiliknya, dalam hal mana jurusita melaporkan kepada Kepala Desa agar barang-barang tersebut tidak

dijual/dipindahtangankan. Menurut pengalaman, jurusita sebelum melakukan penyitaan sebaiknya terlebih dahulu memberitahukan akan dilakukannya

penyitaan kepada Kepala Desa. Kalau barang-barangnya ada diluar daerah Pengadilan Negeri yang memutus, maka Ketua Pengadilan Negeri meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri didalam daerah barang yang harus disita berada (Pasal 206 ayat 2-3 RBg). Ad. b. Revindicatoir Beslag Diatur dalam Pasal 260 RBg (Pasal 226 ayat (1) HIR). Seseorang pemilik barang bergerak yang berada ditangan orang lain, karena tidak mau

mengembalikan barang tersebut secara sukarela, maka pemilik tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah mana pemegang barang tersebut berada, untuk menyita barang miliknya yang berada ditangan orang lain tersebut. Cara-cara penyitaannya sama dengan yang telah diterangkan pada bagian Executie beslag tersebut di atas. Ad. c. Conservatoir beslag Diatur dalam Pasal 261 RBg (Pasal 227 HIR). Dapat diajukan terhadap barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik tergugat. Permohonannya biasanya dibuat bersama-sama dengan surat gugatan, dengan alasan bahwa tergugat berusaha untuk menjual atau menyingkirkan barang-barangnya sebelum ada putusan.

Menurut Retnowulan Sutantio, perbedaan antara sita conservatoir dan sita revindicatoir adalah : 1. Barang-barang yang disita dengan cara conservatoir adalah barang milik tergugat, sedangkan barang-barang yang disita dengan revindicatoir adalah barang-barang milik penggugat, yang dikuasai/dipegang oleh tergugat. 2. Barang-barang yang disita dengan sita conservatoir adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak, termasuk tanah, sedangkan barang-barang yang disita dengan sita revindicatoir hanya barang bergerak saja. 3. Untuk sita conservatoir harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barangbarangnya dengan maksud menghindari tuntutan penggugat. Untuk sita revindicatoir hal ini tidaklah perlu. 4. Apabila gugat dikabulkan, sita conservatoir akan dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi barang-barang tersebut akan diserahkan secara nyata kepada penggugat atau dalam hal yang digugat adalah sejumlah uang, barang-barang tersebut akan dilelang cukup untuk memenuhi putusan, termasuk biaya perkara, sedangkan apabila gugat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita conservatoir akan diperintahkan untuk diangkat. Sedangkan dalam sita revindicatoir. Apabila gugat dikabulkan, dan sita dinyatakan sah dan berharga, dalam rangka eksekusi barang itu akan diserahkan kepada Penggugat. Kata revindicatoir berarti, meminta kembali. 5. Oleh karena itu, barang yang disita dengan sita revindicatoir harus disebutkan dengan jelas, juga ciri-cirinya, secara lengkap. Untuk sita conservatoir hal itu tidak perlu.4

Sedangkan persamaannya adalah : 1. Baik sita conservatoir, maupun sita revindicatoir, dalam hal gugat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, akan diperintahkan untuk diangkat. 2. Dalam rangka eksekusi, kedua sita tersebut akan secara otomatis berubah menjadi sita eksekusi.5

Masih ada sita lain yang dinamakan marital beslag (Pasal 823 Rv) yaitu seorang isteri yang bersama-sama dengan suaminya tunduk pada hukum Barat mengajukan permohonan untuk bercerai dengan suaminya, diberi hak juga untuk mengajukan supaya diperintahkan untuk meletakkan sita terhadap barang-barang

Retnowulan Sutantio, Jurusita, Tugas dan Tanggung jawabnya, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, MARI, Jakarta, tahun 1993, hal 16 5 Ibid

milik sang isteri sendiri maupun milik bersama yang berada dibawah kekuasaan sang suami, untuk menjamin barang-barang tersebut tidak dijual dan

disembunyikan oleh suaminya. Cara-cara pelaksanaan sitanya sama dengan yang diuraikan dibagian awal. Sesungguhnya masih ada dasar pengaturan pelaksanaan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti yaitu dibidang pelaksanaan putusan. Namum, oleh karena dalam pelatihan saat ini tentang hal tersebut akan dibahas dalam sesion tersendiri, maka dalam makalah ini sengaja tidak penulis uraikan.

HAMBATAN PELAKSANAAN JURUSITA PENGGANTI

TUGAS JURUSITA/-

1. Tugas Dan Tanggung Jawab Di Bidang Pemanggilan/Pemberitahuan Telah diuraikan di bagian awal, bahwa tugas jurusita/jurusita pengganti yang diatur berdasarkan ketentuan undang-undang hanya terbatas, pada daerah hukum Pengadilan Negeri dimana ia bekerja saja. Padahal, saat ini batas wilayah didaerah kadang-kadang masih berupa sungai atau jalan desa setapak, yang seringkali tidak nampak dengan jelas, maka hal tersebut memerlukan kejelian dari jurusita/jurusita pengganti pada saat melakukan tugasnya tersebut. Apabila ia menemukan bahwa orang yang dipanggil atau diberitahu atau barang yang akan disita, ternyata berada diwilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, maka ia tidak berwenang untuk melakukan tindakan hukum tersebut. Jurusita/jurusita pengganti tersebut harus kembali ke kantor agar Ketua Pengadilan Negeri membuat penetapan yang baru dan meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri yang membawahi orang yang akan dipanggil atau diberitahu dan atau barangbarang yang akan disita itu berada.

Manakala yang akan dipanggil adalah para pihak yang tugasnya adalah anggota korps diplomatik di luar negeri, maka cara memanggilnya dengan cara menyampaikan surat kepada Departemen Luar Negeri Dirjen Protokol dan Konsuler dengan permohonan untuk memanggil orang/anggota korps diplomatik tersebut (Perhatikan Surat Menteri Luar Negeri Direktorat Konsuler tertanggal 18 Juli 1990 Nomor : 295/90/07/44 yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Sedangkan apabila pemanggilan dilakukan terhadap warga negara asing yang berada diluar negeri, pemanggilannya dilakukan dengan cara

menyampaikan surat kepada Departemen Luar Negeri untuk meminta bantuan kepada kedutaan besar negara pihak-pihak yang dipanggil untuk memanggil orang tersebut, dengan catatan salinan gugatan harus diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (Surat Direktorat Protokol dan Konsuler Departeman Luar Negeri tertanggal 31 April 1991 Nomor 202/91/45 yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Seorang jurusita/jurusita pengganti harus benar-benar mengerti dan menghayati batas tugas dan kewenangannya dengan baik dan benar, apa yang harus dilakukan olehnya dalam menghadapi keadaan tertentu dalam

melaksanakan tugasnya harus dapat dijalankan dengan baik. Misalnya, apakah pemanggilan dan pemberitahuan dapat dilakukan pada hari minggu atau libur nasional, atau dapatkah pemanggilan dan pemberitahuan dilakukan pada malam hari, misalnya karena kehabisan BBM, maka kendaraannya mogok, maka jurusita/jurusita pengganti tersebut baru bisa jalan ketika hari sudah malam, apakah ia langsung dapat melakukan pemanggilan, pemberitahuan dan ataupun penyitaan ataukah harus menunggu keesokan harinya ? Apakah dapat panggilan dititipkan liwat petugas kepolisian atau diserahkan kepada isteri atau suami dari pihak yang dipanggil ? Bagaimana pula dengan uang makan dan penginapan, kalau terpaksa ia harus menginap, apakah dapat dimasukkan dalam biaya

perjalanan dinas ? Ketentuan hukum dalam RBg maupun HIR tidak mengatur halhal tersebut. Namum ternyata dalam Reglement op de Burgerlijke

Rechtsvordering (Rv) yaitu hukum acara perdata pada jaman penjajahan Belanda, yang berlaku untuk beracara di Raad van Justitie ada pengaturan tentang hal tersebut. Pasal 17 Rv menyatakan : Tidak satupun tindakan jurusita dapat dilakukan pada hari minggu, kecuali berdasarkan perintah khusus dari Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Apabila hari terakhir untuk melakukan panggilan atau pemberitahuan, .......maka tugas tersebut dapat dilakukan esok harinya. Apabila reglemen ini memakai istilah sebulan, maka hal itu berarti 30 hari. Pasal 18 Rv menyatakan : Tidak satupun tindakan jurusita atau pelaksanaan suatu putusan dapat dilakukan sebelum jam enam pagi dan setelah jam enam sore, kecuali apabila Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dalam perkara tertentu yang memerlukan tindakan khusus yang cepat, memberi perintah untuk itu. Ijin yang dimaksud dalam pasal ini dan dalam pasal sebelumnya, dapat diberikan atas permohonan tertulis, atau lisan dari pihak yang berkepentingan. Dalam hal ijin diberikan atas permohonan lisan, maka ijin tersebut akan dicantumkan dibagian atas surat panggilan atau berita acara pelaksanaan sita, sedangkan apabila ijin diberikan atas permohonan tertulis, maka ijin tersebut akan dicantumkan di bagian atas dari surat permohonan tersebut. Penetapan mengenai pemberitahuan ijin tersebut dapat dilaksanakan dengan serta merta. Tentang hal itu tidak akan diberitahukan kepada pihak lawan, melainkan akan dicantumkan di bagian atas dari surat panggilan, surat pemberitahuan

putusan atau berita acara yang bersangkutan. (diterjemahkan secara bebas oleh Retnowulan Sutantio). Hendaknya ketentuan tersebut, diperhatikan dan dilaksanakan dengan sungguh dalam praktik kejurusitaan, karena adalah hal yang sangat ganjil dan aneh serta tidak manusiawi, ketika pada malam takbiran atau hari raya misalnya, tiba-tiba datang seorang jurusita/jurusita pengganti untuk memanggil tergugat agar datang disuatu sidang pengadilan, karena suaminya atau isterinya minta cerai atau tiba-tiba jurusita/jurusita pengganti tersebut melakukan penyitaan atas barang-barang milik tergugat. Pengecualian dapat terjadi, yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak, dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri, apabila hal itu memang mutlak harus dilakukan, biarlah Ketua Pengadilan Negeri yang menentukan ijin tersebut dengan arif lagi bijaksana. Panggilan dan pemberitahuan harus disampaikan kepada pribadi yang dipanggil dan atau diberitahu, jadi tidak boleh disampaikan kepada suami atau isteri pihak tersebut, atau kepada anak atau pembantu rumah tangga penggugat, tergugat atau turut tergugat. Karena undang-undang telah jelas mengatur, apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. Jadi seandainya panggilan telah tidak dapat disampaikan kepada orang yang dipanggil itu sendiri, maka jurusita/jurusita pengganti harus langsung menuju ke kantor desa yang bersangkutan dan menyerahkan bersangkutan. Penyerahan panggilan kepada Lurah atau Kepala Desa harus terbukti dalam hukum, dengan lain perkataan Lurah atau Kepala desa harus surat panggilan kepada Lurah atau Kepala Desa yang

membubuhkan tanda tangannya dalam berita acara panggilan dan adalah lebih

baik lagi, apabila tanda tangan tersebut dipertegas dengan cap/ stempel Kelurahan/Desa. Permasalahan lain yang harus diperhatikan adalah mencermati ketentuan Pasal 146 RBg jo Pasal 718 RBg (bandingkan dengan Pasal 122 HIR jo Pasal 390 HIR), yang jelas berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 146 RBg jo Pasal 718 RBg (bandingkan dengan Pasal 122 HIR jo Pasal 390 HIR), jelas menyebutkan tenggang waktu antara panggilan dengan hari sidang bukan 3 (tiga) hari, tetapi 3(tiga) hari kerja. Jadi jelas pada hari minggu dan atau libur tidak dihitung. Sedangkan ketentuan Pasal 26 ayat (4) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya menyebutkan Pemanggilan dilakukan dan disampaikan secara patut dan diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambatlambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka, sehingga hari libur tentunya juga dihitung. Hal tersebut penting diperhatikan, karena ada pengaruhnya terhadap

pemeriksaan perkara dengan acara istimewa, yaitu gugur atau verstek. 2. Tugas dan Tanggung Jawab di Bidang Penyitaan Dan Eksekusi. Di atas telah diuraikan dasar pengaturan dan macam-macam sita. Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan administerasi Pengadilan Buku (II) diatur sebagai berikut : A. Sita Jaminan - Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung, Hakim/Ketua Majelis

membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita/

Panitera Pengadilan Negeri dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi. - Dalam hal dilakukan sita jaminan sebelum sidang dimulai, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Penyitaan hendaknya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada ditangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat) sekedar cukup untuk menjamin pelaksanaan putusan dikemudian hari. b. Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 227 ayat (3) Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau Pasal 261 jo Pasal 213 dan 214 Rbg. Apabila penyitaan tersebut telah didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional atau Kelurahan, maka sejak didaftarkannya itu tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan dengan cara apapun atau membebankan/menjaminkan tanah tersebut. Tindakan tersesita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum. c. Barang yang disita itu, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita conservatoir, harus tetap dipegang/ dikuasai oleh tersita. Adalah salah untuk menitipkan barang itu kepada lurah atau penggugat atau membawa barang itu untuk disimpan di gedung Pegadilan Negeri. - Ada dua macam sita jaminan yaitu sita conservatoir (terhadap milik tergugat), dan sita revindicatoir (terhadap milik penggugat) (Pasal 227. 226 HIR 261, 260 Rbg).

B. Sita Conservatoir - Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. - Yang disita adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak milik tergugat. - Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa tanah tersebut milik tergugat dan luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas (Perhatikan SEMA No.

89/K/1018/M/1962 tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari salah sita. Hendaknya kepala desa diajak serta untuk melihat keadaan tanah, batas serta luas tanah yang akan disita. - Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di Desa, selain itu sita atas tanah yang ada sertifikat harus pula didaftarkan, dan atas tanah yang belum sertifikat diberitahukan pada kantor pertanahan daerah tingkat II kotamadya atau kabupaten. - Tentang penyitaan itu dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Negeri yang memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembangannya. Buku ini adalah terbuka untuk umum. - Sejak tanggal pendaftaran sita itu, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita itu. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum. - Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.

- Penyitaan dilakukan terutama atas barang bergerak milik tergugat, juga jangan berlebihan, hanya cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan penggugat. Apabila barang bergerak milik tergugat tidak cukup, biarlah tanah/tanah dan rumah milik tergugat yang disita. - Apabila gugatan dikabulkan sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya, apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat. - Apabila gugatan dikabulkan untuk sebagian dan selebihnya ditolak, sirta jaminan untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga, dan untuk bagian yang lain diperintahkan untuk diangkat. Namun apabila yang disita itu sebidang tanah dan rumah, seandainya gugatan mengenai ganti rugi dikabulkan hanya untuk sebagian, tidaklah dapat diputuskan

menyatakan sah dan berharga, sita jaminan (misalnya 1/3/ tanah dan rumah yang bersangktan). - Sita Jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang, kecuali seijin dari Mahkamah Agung, setelah mendengar Jaksa Agung (Pasal 65 dan 66 ICW) C. Sita Revindicatoir - Yang disita adalah barang bergerak milik penggugat yang dikuasai /dipegang oleh tergugat. - Gugatan diajukan untuk memperoleh kembali hak atas barang tersebut. Kata revindicatoir berasal dari revindiceer, yang berarti minta kembali miliknya. - Barang yang dimohon agar disita, harus disebut dalam surat gugat secara jelas dan terperinci, dengan menyebutkan ciri-cirinya.

- Apabila gugatan dikabulkan untuk seluruhnya, sita revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat. - Dapat terjadi, bahwa gugatan dikabulkan hanya untuk sebagian dan untuk selebihnya ditolak. Apabila hal itu terjadi, maka sita revindicatoir untuk barang-barang yang dikabulkan dengan putusan tersebut akan dinyatakan sah dan berharga, sedangkan untuk barang-barang yang lainnya, diperintahkan untuk diangkat. - Dalam rangka eksekusi barang yang dikabulkan itu diserahkan kepada penggugat. - Untuk selanjutnya, segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita

revindicatoir. D. Sita Eksekusi Ada dua macam sita eksekusi : yang langsung dan yang tidak langsung. D. 1. Sita eksekusi yang langsung. Sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitor atau pihak yang kalah. a. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau pelaksanaan grosse akta hipotik (berfungsi sebagai grosse akta hipotik adalah sertifikat hipotik yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Daerah tingkat II kotamadya yang bersangkutan. Lihat Pasal 7 Peraturan Agraria No. 15 tahun 1961 dan Pasal 14 ayat (3) UU No. 16 tahun 1985 jo jo PP No. 24 tahun 1997). b. Sita eksekusi lanjutan apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka

eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat untuk kemudian dilelang. D. 2. Sita eksekusi yang tidak langsung Sita eksekusi yang tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga, dalam rangka eksekusi otomatis berubah statusnya menjadi sita eksekusi. Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 ayat (8) HIR, 211 Rbg). Perlu diperhatikan, bahwa yang tidak dapat disita adalah hewan yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, jadi satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benar-benar dibutuhkan untuk mengerjakan sawah. Jadi bukan sapi-sapi dari sebuah peternakan, ini selalu dapat disita. Binatang-binatang yang lain yaitu kuda, anjing, kucing, burung yang kadang-kadang sangat tingi harganya dapat saja disita.6 Dalam praktik peradilan pelaksanaan sita sering kali banyak menimbulkan permasalahan. Bisa saja pada waktu hendak dilakukan penyitaan, ternyata barang yang hendak disita tidak ada, maka jurusita/jurusita pengganti akan membuat berita acara bahwa tidak ada barang yang dapat disita. Lain lagi halnya, manakala jurusita/jurusita sewaktu hendak menyita menghadapi kenyataan, ternyata barang yang hendak disitanya itu adalah barang bergerak yang sebelumnya sudah disita eksekusi untuk orang lain, jadi sedang dibebani sita eksekusi oleh Pengadilan atau Badan Urusan Piutang Lelang Negara (BUPLN). Dalam hal yang demikian,
6

Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administerasi Pengadilan Buku II, diterbitkan MARI, Jakarta , hal 121 s/d 125

jurusita/juru sita pengganti tidak diperkenankan untuk menyita lagi barang-barang yang sudah disita itu, akan tetapi ia setelah meminta agar berita acara sita eksekusi yang dipegang oleh tersita diserahkan kepadanya, ia akan

mempersamakan berita acara tersebut dengan barang-barang milik tersita, dan jurusita/jurusita pengganti hanya bisa menyita barang milik tersita, yang belum disita (Pasal 463 Rv). Berita acara sita persamaan ini berlaku sebagai suatu sanggahan/pencegahan untuk menyerahkan uang hasil pelelangan barangbarang tersebut kepada penyita yang pertama. Dengan lain perkataan yang menyita kemudian akan berbagi hasil lelang itu. Bahkan dapat terjadi, ia akan memperoleh lebih banyak dari penyita pertama, justru oleh karena memang tagihannya lebih besar atau telah dijamin dengan fiducia umupamanya. Lain lagi persoalannya, manakala ternyata penetapan Majelis Hakim tentang sita jaminan ternyata batas-batasnya berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya diketemukan jurusita/jurusita penganti. Bila terdapat perbedaan batas tanah yang mengakibatkan obyek sita berbeda, maka penyitaan tidak dapat dilaksanakan dengan dibuat berita acara sita non bevending, karena obyek sita tidak sesuai data-datanya. Akan tetapi, bila perbedaan batas tersebut tidak mengakibatkan obyek berbeda, hanya karena tanah yang berbatasan dengan obyek sita telah berubah kepemilikan, maka hal ini dinyatakan dalam berita acara sita jaminan tersebut. Manakala jurusita/jurusita pengganti ditugaskan untuk menjalan penyitaan rekening di sebuah bank, maka jurusita/jurusita pengganti tersebut harus datang ke Bank mengecek kebenaran tentang rekening tersebut, untuk selanjutnya menuangkan dalam berita acara tanpa menyebutkan jumlah uangnya. (Perhatikan Surat Bank Indonesia kepada Bank Rakyat Indonesia di seluruh Indonesia tanggal 24 Nopember 1987 Nomor : 20/12/UHO/HNI jo ANGKA 2/SE. BI Nomor :

3/507/UPPB/BGB tertanggal 18 september 1970 jo Surat Direksi Bank Indonesia kepada Bank-Bank di seluruh Indonesia tertanggal 20 Oktober 1987). Masih banyak permasalahan hukum dan hambatan-hambatan yang dialami oleh seorang jurusita/jurusita pengganti dalam melaksanakan tugasnya yang mesti dipecahkan, namun dengan adanya berbagai keterbatasan, tidak mungkin dapat diuraikan secara mendetail dalam makalah ini. Mudah-mudahan dalam pelatihan ini, permasalahan hukum dan hambatan tugas seorang jurusita/jurusita pengganti, dapat kita diskusikan dan dipecahkan bersama.

------------------------

You might also like