You are on page 1of 10

Majalah Ilmiah Unikom, Vol.5, hlm.

159-167 GAYA

HIDUP BERMOBIL

Bidang Humaniora GAYA HIDUP BERMOBIL


KAJIAN DESAIN DAN KEBUDAYAAN AGUS RAHMAT MULYANA & DIDI SUBANDI Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia Wacana globalisasi dalam kehidupan manusia - ekonomi, politik, teknologi, budaya, sosial dan ideologi - menggiring masyarakat untuk berperan dan berperilaku terhadap setiap perubahan yang dihadirkannya. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh suatu produk yang dikonsumsi oleh suatu komunitas dapat membawa konsekuensi terjadinya 'ketimpangan' nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Barry Turner, 1975). 'Ketimpangan' yang timbul dalam bentuk perubahan, pergeseran ataupun penyesuaian yang berkenaan dengan norma-norma, pola hidup / perilaku dan sebagainya. Di dalamnya akan terjadi keterlibatan antara individu, kelompok orang, lingkungan maupun artifak hidup, dalam bentuk produk atau karya manusia, menjadi sesuatu yang saling berkaitan; karena dimensi perubahan atau per-geseran pada satu bagian akan berimplikasi pada bagian yang lain Gaya hidup bermobil. PENDAHULUAN Pergeseran telah berlaku dalam berbagai segi kehidupan manusia, terutama masyarakat elit di kota-kota besar. Perkembangan teknologi mutakhir membawa perubahan mendasar pada berbagai tatanan sosial budaya. Pengertianpengertian konvensional tentang masyarakat komunitas, melalui komunikasi, dan interaksi sosial, serta aspek budaya mendapatkan tantangan besar, sebagai akibat berkembangnya relasi-relasi sosial baru yang tercipta lewat teknologi mutakhir. Gaya hidup yang terkait dengan globalisasi berpengaruh pada citra diri dan tren yang tengah berlangsung. Pergeseran yang disebabkan oleh suatu produk yang dikonsumsi oleh suatu komunitas dapat dengan cepat dikonsumsi, seperti dapat diperhatikan pada contoh simbolisasi kendaraan mobil. Mobil di kalangan eksekutif sudah merupakan kebutuhan pokok. Kesuksesan sebuah bisnis karena didukung oleh keharusan untuk menampilkan dirinya secara proporsional. Mobil menjadi gambaran citra perusahaan dan para eksekutifnya. Citra merupakan reputasi, sedang reputasi sendiri awal dari kesuksesan bisnis. Benarkah mobil bagi masyarakat tertentu bukan lagi sekedar memenuhi kebutulran sebagai sarana transportasi, tapi lebih dari itu, mobil adalah sebgai sebuah gaya hidup? Fenomena gaya. hidup saat ini, hadir sebagai indikasi terjadinya 'perubahan', dalam memasuki dunia pencitraan dalam norma sosial dan budaya dalam masyarakat. Setiap produk yang akan dikonsumsi manusia dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan dinamika hidup 'konsumennya'. Desain sebagai perangkat penyatu sistem bendawi dengan manusia merupakan jalan untuk menyosialisasikan produk dengan manusia menggunakan produk tersebut, sehingga pada akhimya produk terse-

Alamat korespondensi pada Didi Subandi, Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipati Ukur 114, Bandung 40132. Email: didisubandi@yahoo.com

159

AGUS RAHMAT MULYANA & DIDI SUBANDI

but memiliki kompetitas lebih untuk menjadi pilihan. Oleh karena itu desain berperan sebagai perpanjangan dan pelipatgandaan kemampuan fungsi produk, dalam wujud humanisasi produk. Dengan demikian desain memiliki pengaruh dan kepentingan terhadap aspek materil serta aspek immateril berupa citra, image, dan status sosial. TELAAH TEORITIK Dalam dunia kapitalistik, kehadiran komoditi akan mendatangkan `desire', keinginan untuk selalu mengubah gaya hidup, keinginan untuk selalu menghadirkan `interupsi penampakan' serta keinginan untuk menghadirkan `kenikmatan ego', sehingga wajarlah apabila kemudian fashion menjadi raja, menjadi tujuan dan menjadi kiblat dari munculnya komoditi. Oleh Baudrillard (dalam Dunia yang Dilipat, Yasraf A.Piliang, 1998) dinyatakan bahwa ketika semua keinginan disalurkan menjadi kebutuhan untuk kenikmatan, ketika menjadi pengoperasian tanpa batas maka keinginan tersebut menjadi tanpa realitas, sebab ia hadir dalam bentuk tanpa imajiner, sehingga keinginan itu berada di mana-mana akan tetapi di mana-mana dalam bentuk simulasi, yaitu fase yang dikontrol oleh kode-kode, didominasi oleh reproduksi dan realitas buatan. Gaya hidup menurut James F. Engel (1982) adalah suatu pola hidup manusia untuk tinggal, menggunakan waktu dan uang (pendapatannya). Gaya hidup dapat dipandang sebagai keseluruhan aktivitas hidup manusia untuk mengaktualisasikan dirinya melalui 'pembelanjaan' waktu dan uangnya, di manapnn ia tinggal. Munculnya gaya hidup, merupakan hasil kombinasi empat faktor yang berpengaruh yaitu : budaya, kelas sosial dimana ia 'menempatkan diri', kelompok/komunitas acuan dan keluarga. Menurut John A.Walker (1989), gaya hidup pada masa kapitalistis global dewasa ini bu160

kan lagi sebagai proses hirarki yang alamiah sifatnya dan tidak disadari (unconsciousness) namun lebih merupakan proses `keterbedaan' yang diciptakan (artificial) dan disadari (consciousness), sehingga masyarakat dapat menentukan beragam gaya hidup, seperti layaknya menentukan pilihan diantara produk. Perkembangan abad informasi dan teknologi yang mendukungnya telah manambah pula pandangan dan definisi citra itu sendiri. Abad citra (the age of image) dewasa ini seakan-akan telah meanyatu dengan teknologi pembentuk citra itu sendiri. Di dalam era citra dewasa ini berkembang sebuah ilmu baru yang disebut imagologi (imago = imaji, citra + logos = ilmu) adalah ilmu tentang citra atau imaji, serta peran teknologi pencitraan dalam pembentukannya. Imagologi berkaitan dengan perkembangan dunia teknologi pencitraan mutakhir, yang menciptakan sebuah dunia yang di dalamnya eksistensi setiap orang sangat bergantung pada dunia citraan. Ini mungkin yang dapat disebut ontologi citraan (ontology of images). Imagologi adalah penggunaan citra-citra tertentu dalam rangka meaciptakan sebuah imaji tentang realitas yang pada titik tertentu ia dianggap merupakan realitas itu sendiri, padahal semuanya tak lebih dari sebuah fatamorgana. Mobil sebagai sebuah komaditi yang memiliki nilai guna `use value pada awalnya adalah sebagai alat transportasi, alat bantu manusia agar bisa melakukan kegiatan gerak lebih cepat atau 'mobile', kemudian berubah meajadi komoditi `exchange value, seperti apa yang dikemukakan oleh Karl Marx, sebuah komoditi yang tidak bermakna sosial apa-apa dimuati dengan berbagai makna status, kelas sosial atau prestise tertentu, sehingga saat ini alasan orang memproduksi barang bukan lagi karena fimgsinya, tapi sudah pada sign value. Sebuah objek menjadi tidak tarlepas dari masyarakatnya (society & culture). Di masyarakat terdapat differentiation, kelas,

GAYA HIDUP BERMOBIL

status, golongan, life style, gender dsb. Sebuah mobil memiliki kelasnya tersendiri karena ada sign value'. Mobil untuk kelas atas yang setara dengan Jaguar, BMW, Audi, Mercy, sehingga nilai jualnya menjadi sangat tinggi, sedangkan kelas menengah dapat dikatagorikan dengan mobil Kijang, dan untuk kelas menengah bawah masuk dalam katagori Espass atau Futura. Gaya, citra, gaya hidup menjadi bagian dunia konsumerisme yang bersifat material yang dikendalikan oleh pemenuhan hasrat, sebuah gejolak rangsangan terhadap objek atau pengalaman yang menjanjikan kepuasan. Seperti diutarakan dalam buku Posrealitas, Yasraf Amir Piliang, 2004, dunia konsumerisme dibentuk oleh nilai-nilai keterpesonaan (fasanation). Apa yang diekspos di dalam konsumerisme adalah pesona citra dan commodity fetishisme, tanpa menghiraukan nilainilai spiritualnya. Dunia konsumerisme adalah dunia kecepatan, kecepatan pergantian gaya, citra, gaya hidup, identitas, idaologi. Tempo tinggi yang dikonstruksi oleh mesin kapitalisme, menciptakan ciri lain masyarakat konsumer yaitu sifat kesementaraan (temporality). Seseorang yang memiliki sebuah benda karena menggap benda tersebut seolah memiliki pesona, memiliki sesuatu kekuatan tertentu sebagai komoditi fetishisme. Istilah fetisisme (fetishism) berasal dari bahasa Portugis, feitico, yang berarti daya pesona. Istilah ini digunakan di dalam bidang antropologi, ekonomi, dan seksualitas untuk menjelaskan secara umum fenomena sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan atau pesona (inanimate) dianggap mempunyai kekuatan dan pesona tersebut (animate), sehingga ia disembah, dipuja atau dituhankan. Istilah fetisisme komoditi, digunakan oleh Marx untuk meajelaskan bagaimana sebuah komoditi yang tidak bermakna sosial apa-apa dimuati dengan berbagai makna status, kelas sosial atau prestise tertantu. Menurut Baudrillard, produksi komoditi di dalam masyarakat kapitalisme mutakhir sama

artinya denngan produksi tontonan. Di dalam masyarakat konsumer, sebaliknya, adalah suatu keharusan memproduksi tontanan dalam rangka memproduksi barang: iklan, pameran, window display, hiburan, sinetron, film, dan lain-lain. Menyuguhkan tontonan dalam rangka menjual komoditi adalah ideologi kapitatisme mutakhir. Seperti dalam diskursus kapitalisme mutakhir, yang tidak merepresentasikan apa pun, selain dari permainan bentuk saja, hanya permukaan. Bila dalam representasi palsu (ideologi), realitas ditopengi oleh tanda, sebab tanda hanya ekivalensi dari realitas dalam simulasi. Simulasi adalah citra tanpa referensi yaitu suatu simulakrum. Berkaitan dengan ini, menurut Baudrillard, ada empat fase dalam peakembangan citra, yaitu: citra adalah refleksi dari realitas citra menyembunyikan dan menyimpangkan realitas citra menyembunyikan absennya realitas citra sama sekali tidak bakaitan dengan realitas apapun: citra merupakan simulakrum murni. Simulakrum, adalah sebuah duplilasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan aslinya menjadi kabur. Simulakrum adalah suatu cara untuk pemenuhan kebutuham masyarakat kontemparer akan tanda. Akan tetapi, menurut Baudrillard, ketika tanda ini tak lagi berkaitan dangan realitas, ketika dunia nyata tidak lagi sebagaimana biasanya, nostalgia mengambil alih maknanya secara utuh. Terjadi perkembangbiakan mitos-mitos dan tanda realitas, kebenaran, objektivitas dan keaslian tangan kedua (second hand). EKSEKUTIF BERMOBIL Di Indonesia dulu ada sebuah perusahaan yang mempunyai ketentuan bahwa direktur utama mendapat jatah Mercedes Benz, direkturnya mendapatkan BMW, Volvo untuk general manajer dan Corolla untuk para manajer. Mobil telah dimanfaatkan sebagai petunjuk hirarki organisasi dan mereknya dimanfaatkan untuk mempertegas power distance. Dalam

161

AGUS RAHMAT MULYANA & DIDI SUBANDI

kegiatan executive search di The Jakarta Consulting Group, kelas dan merek mobil tak pernah tertinggal dalam pencaturan negosiasi antara kandidat dan perusahaan yang membutuhkan. Mobil telah dijadikan sebagai lambang prestasi dan prestise bagi para eksekutif. Para eksekutif siap bekerja keras dan pindah pekajaan untuk itu. Akan tetapi, perjalanan jaman telah berkata lain. Dua dasawarsa yang lalu di AS, BMW disediakan untuk kalangan baby boomers, yang berusia muda, kaya, dan ambisius. Dengan semboyan the ultimate, driving machine, BMW menonjolkan performanya. Para baby boomers yang beranjak tua membutuhkan sentuhan yang lain. BMW pun memgeluarkan seri-seri yang lebih mewah dan anggun. Di Indonesia, BMW seri 7 sudah sejajar dengan Mercedes E 320 Elegance. Sebaliknya Mercedes seri C ada yang lebih murah dari BMW, untuk merangkul 'wilayah' BMW. Bagi eksekutif, merek saja belum cukup sebagai ukuran, tetapi lebih spesifik lagi, berdasarkan tipe! BMW seri 7 tentu tebih tinggi 'derajat'nya daripada Mercedes C-Class. Seorang Advokat terkenal di Jakarta menuturkan ketika baru beberapa bulan menjadi pengacara, ia sangat ingin mempunyai mobil BMW atau sekelasnya. Maka, ia bekerja keras sehingga akhirnya mampu membeli mobil asal Jerman itu dalam tempo satu setengah tahun. Seiring dengan perkembangan kantornya, ia akhimya mempunyai banyak mobil mewah, termasuk mobil sport dari berbagai tipe. Akan tetapi, mungkin inilah yang disebut life style atau gaya hidup. Begitu pula melihat banyak pengacara yuniornya yang juga menggunakan mobil mewah. Sejumlah advokat yang laris dan terkenal di Jakarta saat ini mempunyai kebiasaan seperti itu. Dodi, seorang sarjana lulusan dari Amerika, gelar yang disandangnya MBA. Dua embelembel besar, lulusan Amerika dan gelar MBA sudah menjadi senjata andalan bagi Dodi untuk berkompetisi merebut lapangan kerja dan ternyata Dodi memang mampu meraih kedudukan kerja. Dodi bekerja di sebuah perusahaan eksport-import nasional. Posisinya

Gambar 1 Mobil di kalangan kaum eksekutif menjadi bagian dari penampilan dirinya secara proporsional, citra sudah merupakan reputasi. Dalam tiap-tiap merek mobil mengandung citra tersendiri. sebagai sales manager. Dari berbagai fasilitas yang diperoleh Dodi, salah satunya adalah mobil. Dodi mendapat mobil Corona. Bandingkan dengan Andi, seorang General Manager sebuah perusahaan minuman bermerek terkenal di Indonesia, yang akan dibajak oleh perusahaan minuman pesaingnya, dengan berbagai kompensasi, selain gaji lebih tinggi, juga Andi meminta BMW sebagai kendaraannya, dan perusahaan yang membajak tersebut menyetujuinya. Gambaran tersebut diatas merupakan representasi dari ratusan eksekutif lainnya sudah menyadari akan arti pentingnya sebuah mobil. Mobil bagi mereka kaum eksekutif bukanlah alat transportasi semata. Mobil memancarkan pula identitas pemakainya. Mobil adalah sebuah simbol. Karena sebuah simbol, maka menjadi wajar bila mobil menduduki tempat terhormat bagi eksekutif untuk dimiliki. Menurut mereka simbolisasi mobil di ka-

162

GAYA HIDUP BERMOBIL

langan kaum eksekutif merupakan kebutuhan pokok. Kesuksesan sebuah bisnis karena didukung oleh keharusan untuk menampilkan dirinya secara proporsional. Mercedes Benz bagi direktur utama, BMW bagi direktur, Peugeot untuk general manager, Corolla untuk para manajer, Jimny untuk supervisor. Gambaran ini seperti yang diutarakan diatas sudah merupakan sebuah hirarki yang sifatnya umum. Seorang direktur utama menjadi "rendah" manakala dirinya ke kantor dengan minibus Suzuki Carry. Demikian bila terjadi sebaliknya. Seorang supervisor tidak pantas bila ke kantor dengan Jaguar. Mobil dengan demikian menggambarkan citra. perusahaan dan para eksekutifnya. Citra merupakan reputasi. Sedang reputasi sendiri awal dari kesuksesan bisnis. Dapat dibayangkan bagaimana seorang eksekutif dengan setelan jas dan dasi, tanpa mobil dan harus naik bis kota? Mobil bagi eksekutif bukan lagi sekadar memenuhi kebutuhan sebagai sarana transportasi, tapi lebih dari itu. Mobil adalah sebuah simbol. Dalam tiap merek terkandung nilai-nitai tertentu. Sebuah penelitian menunjukkan Mercedes-Benz terkait dengan respek pribadi; social recognition dan kenyamanan hidup. Volvo sesuai dengan keamanan keluarga, kenyamanan hidup dan respek pribadi; sedangkan BMW identik dengan respek pribadi, ke hidup dan keindahan. Saat ini mobil sudah seperti sepatu atau fashion. Ada sepatu formal, ada sepatu santai, ada sepatu olahraga. Ke kantor naik MercedesBenz E 320 dengan sopir, sang pemilik memakai aksesoris yang sepadan dengan kendaraanya, baju merek Ralph Laurent, sepatu hitamnya selalu mengkilap merk Bally dan penanya merek Mont Blanc dengan ponsel mutakhir keluaran Nokia. Di malam hari ke kafe naik BMW 3201 tanpa sopir dan saat liburan pergi bersama keluarga ke Puncak naik Pajero. Mobil sebagai lambang ekspresi eksekutif, makin kokoh sebagai bagian gaya hidup. Mobil yang dinaiki disesuaikan dengan situasi yang dihadapi, sejalan dengan self image yang ingin diproyeksikan oleh eksekutif

pada situasi tersebut. Simbol status seperti inilah yang sekarang dijadikan parameter untuk dinilai kedudukannya oleh masyarakat. SELEBRITI BERMOBIL Melihat sosok pemain sinetron atau penyanyi terkenal maka yang terlintas adalah sesosok manusia yang selalu hidup dengan dunia penuh glamor. Gaya hidupnya dari sejak bangun tidur hingga tidur kembali selalu bernuansa serba gemerlap. Lihat gaya dandanannya. Bajunya, celana panjangnya, rambutnya, sepatunya hingga perhiasan yang melingkar di tubuhnya, tak kalah hebatnya adalah mobilnya, semua serba mahal. Mobil yang dipakainya harus bermerek dan berkelas, dan mungkin mobil itu harus seperti fashion seperti prilaku para eksekutif, tidak cukup hanya satu mobil saja, mobil bagi artis papan atas di Jakarta harus pula dapat disesuaikan dengan tempat-tempat yang akan dikunjunginya, saat ke pesta, saat berlibur atau saat ke restoran, hotel, kafe dan sebagainya. Jelas untuk sebagian besar masyarakat tidak akan mampu untuk merengkuhnya. Sebagaimana diutarakan AB. Susanto dalam bukunya Potret-Potret Gaya Hidup Metropolitan, sosok artis sinetron akan lain lagi dengan sosok manusia sesama seniman. Beberapa pelukis ternama boleh jadi penghasilan tidak kalah dari para bintang sinetron, tapi gaya hidup yang ditampilkan bisa jadi sangat berbeda. Sebagai seniman lukis misalnya, seringkali mereka merasa lebih bebas untuk mengekspresikan dirinya. Berbeda dengan para bintang sinetron yang 'diharuskan' oleh khalayak untuk tampil dalam segala kegemerlapan. Seorang aktris harus tampil bak Cinderella ketika harus berangkat ke pesta sang Pangeran, dan 'menyembunyikan' kehidupan yang sebenarnya seperti Cinderella pada waktu siang hari. Apa boleh buat khalayak memang menuntutnya demikian. Tampil sebagai dewa-dewi pujaan, sempurna tanpa cacat. Mereka harus tampil sebagai personifikasi dari mimpi-mimpi khalayak, seperti yang tampak di tayangan sinetron-sinetron opera sabun

163

AGUS RAHMAT MULYANA & DIDI SUBANDI

Jadi gaya hidup tidak selalu ditentukan oleh ketenaran. Tapi justru keinginan dia untuk memproyeksikan citra dirinya atau tuntutan dari masyarakat tentang citra dirinya lebih menentukan dalam bagaimana gaya hidupnya. Citra diri (self-image) dapat diartikan sebagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Atau mungkin diartikan sebagai bagaimana persepsi orang lain terhadap seseorang. Tetapi sebenarnya pembahasan citra diri mempunyai banyak "cabang". Misalnya dalam diri seseorang terdapat gambaran idaman mengenai dirinya, yang disebut sebagai citra diri ideal (ideal self image). Berdasarkan bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain inilah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi gaya hidup seseorang. la memiliki frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku yang tertuang dalam minat, aktivitas dan opininya. Akan terbentuk pola perilaku tertentu, terutama berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain, yang melekat dengan status sosial yang disandangnya. Kondisi ini dengan sendirinya akan banyak berhubungan nantinya dengan komunikasi verbal dan nonverbal. Masyarakat menyediakan jenjang-jenjang dalam sebuah struktur sosial, yang melibatkan status sosial dan peran sosial (social role). Dalam setiap peran diletakkan sebuah status, yang di dalamnya tersimpan sejumlah harapan tentang bagaimana seseorang yang berada dalam status itu harus berperan dan "bertingkah laku yang benar" dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat perdesaan misalnya, posisi sebagai guru ditempatkan pada status yang cukup tinggi dan mungkin tidak dikaitkan dengan kemampuan finansial. Di sini tersimpan harapan masyarakat bagaimana seharusnya berperan sebagai guru yang harus "digugu dan ditiru". Image yang seharusnya dipancarkan seorang guru justru melekat dengan citra kebersahajaannya. Dalam masyarakat kosmopolit yang plural164

Gambar 2 Penyelenggaraan pameran otomdif selalu dibanjiri oleh pengunjung. Apa yang diekspos di dalam konsumerisme adalah pesona citra dan komoditi fetisisme. yang bertebaran wajah cantik dan tampan, hidup bergelimang kemewahan. Jarak antara dunia imajinasi dan realitas dipersempit, dengan melahirkan status dan peran sosial seorang bintang. Dalam peran sosial tersimpan harapan agar pemilik peran itu berperilaku dan memiliki citra tertentu sesuai dengan peran yang dimainkan. Artinya si bintang sinetron agar dapat berperan 'dengan benar' seperti yang dituntut oleh khalayak untuk memiliki citra dan penampilan yang penuh gebyar. Pendek kata sang artis harus memiliki gaya hidup sebagaimana layaknya seorang bintang, agar sesuai dengan harapan khalayak penontonnya.

MASYARAKAT ELIT BERMOBIL

GAYA HIDUP BERMOBIL

istik, terdapat banyak status tersedia yang tidak sesederhana dan sekokoh seperti yang terjadi di dalam masyarakat pedesaan. Seseorang dapat ikut menentukan statusnya sendiri dalam masyarakat. Seseorang mempunyai pilihan apakah dia menyandang status sesuai dengan resources yang dimiliki, atau dengan memilih status yang "lebih tinggi" dari seharusnya, atau mungkin justru bersikap low prrafile dengan memilih status yang "lebih rendah" dari yang seharusnya. Semuanya mengandung konsekuensi tersendiri. Jika seseorang memilih bersikap low profile dengan menampitkan image yang tidak sesuai statusnya, dia akan kehilangan penghargaan yang layak dari yang seharusnya dia peroleh dari lingkungannya. Agar dapat memperoleh image yang sesuai dengan status yang disandang, kita harus memiliki manajemen yang baik terhadap image diri kita. Image kita di mata orang lain terbentuk dari cara kita bertutur sapa, berpakaian, bermobil, pemahaman terhadap etiket dan sederet bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal lainnya. lmage yang sesuai, akan membantu menjalankan profesi masing-masing. Antara kelas sosial dengan status sosial memang akan saling melengkapi. Stratifikasi sosial selalu ada dalam tiap masyarakat sejak jaman dahulu, yang berwujud dalam sistem kebangsawanan. Anggota strata sosial yang tinggi membutuhkan simbol status tertentu sebagai perlambang untuk menyatakan statusnya. Dalam masyarakat Jawa jaman dahulu misalnya, turangga (kendaraan kuda atau kereta kuda) merupakan salah satu simbol status. Dalam masyarakat masa kini, eksistensi turangga sebagai simbol status tetap kuat, walaupun dalam wujudnya yang lain yaitu pemilikan mobil dengan merek-merek tertentu. Dalam perilaku konsumen secara samar orang membedakan pengertian kelas sosial dengan pengertian status sosial. Jika kelas sosial mengacu kepada pendapatan atau daya 165

beli, status sosial lebih mengarah pada prinsip-prinsip konsumsi yang berkaitan dengan gaya hidup. Karena dalam status ini tersimpan unsur prestise, maka pemakaian simbol status menjadi penting. Kepemilikan simbol status diharapkan menimbulkan respek orang lain untuk mendukung citra yang ingin ditampilkan sesuai dengan status sosialnya. Dalam era globalisasi, nilai nilai egaliter merebak ke berbagai pelosok dunia. Sebagian masyarakat mendapat kesempatan untuk mendaki tangga sosial. Terjadi universalitas simbol-simbol status yang bukan hanya berdasarkan jenis benda yang harus dimiliki, tetapi lebih spesifik lagi adalah mereknya. Beberapa merek muncul menjadi "bahasa" untuk mengatakan status sosial yang meningkat. Tujuan pemakaian simbolsimbol status ini adalah memproyeksikan citra diri seseorang. Misalnya bila jam tangan Rolex, jas Burberry, busana Giorgio Armani, dan pena Mont Blanc, maka kendaraanpun harus setara dengan atribbut tersebut, BMW atau Audi. Dipandang dari gaya hidup saat ini, pantaskah bila atribut yang dipakai di atas, tapi kendaraanya minibus Suzuki Carry?. Benarkah kita mengontrol objek dalam tindakan konsumsi?. Baudrillard, yang tampaknya berpandangan skeptis dan fatalis terhadap konsumerisme, melihat kekuasaan dan daya kontrol ini sebagai bersifat semu belaka, disebabkan perubahan radikal yang terjadi pada relasi konsumsi di dalam masyarakat konsumer itu sendiri. Menurut Baudrillard, kita tidak lagi mengontrol objek, akan tetapi dikontrol oleh objek-objek ini. Ketimbang menguasai simbol dan prestise lewat objek-objek konsumsi, kita justru terperangkap di dalam sistemnya. Ketimbang aktif dalam tindakan penciptaan dan tindakan kreatif, para konsumer, menurut Baudrillard justru lebih tepat disebut sebagai mayoritas yang diam, yang menempatkan dirinya dalam relasi subjek-objek, bukan sebagai pencipta. Di dalam masyarakat konsumer kini, tidak saja fungsi objek kon-

AGUS RAHMAT MULYANA & DIDI SUBANDI

sumen semakin kompleks, jenis dan tata nilai yang ditawarkan semakin beraneka ragam, akan tetapi siklus perputaran dan tempo pergantianhnya semakin cepat. Dalam keanekaragaman dan percepatan produksi dan konsumsi yang lepas kendali (overproduction), proses pengendapan segala sesuatu yang dikonsumsi, kini menjadi kehilangan makna. Pada kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai budaya konsumsi berlebihan, seperti kaum selebriti, jetset, remaja menengah keatas perkotaan yang sudah mencapai tahap lifestyle shopping. Bagi kelompok masyarakat ini, apapun yang dicari dalam konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis, melainkan kegairahan dalam pergantian objek-objek konsumsi, yang dicari dalam komunikasi bukan lagi pesan-pesan dan informasi, melainkan kegairahan dalam berkomunikasi itu sendiri, dalam bermain dengan tanda, citraan dan medianya. KESIMPULAN Ketika semua keinginan atau hasrat disalurkan merjadi kebutuhan untuk kenikmatan, maka keinginan tersebut menjadi tanpa realitas. Di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang faedahnya, logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (need), meiainkan logika `hasrat' (desire). Hasrat atau hawa nafsu tidak akan pernah terpenuhi oleh karena ia selalu diproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi yang disebuut perasaan kekurangan dalam diri secara terus-menerus. Nilai tanda dan citraan pada sebuah mobil sebagai sebuah simbol status dan gaya hidup, mobil memancarkan identitas pemakainya, sehingga mobil sebagai sesuatu yang harus dimiliki, sebagai sebuah objek hasrat. Hal mendasar tentang hasrat ini adalah bahwa hasrat selalu berupa hasrat akan sesuatu yang lain yang berbeda, tak ada hasrat pada sesuatu yang sama atau untuk sesuatu yang telah dimiliki. Objek-objek konsumsi hadir tenus-menerus tidak putus166 Gambar 3 Iming-iming mobil menjadi salah satu senjata untuk mempersuasi konsumen dalam menawarkan beragai produk, seperti terlihat dalam contoh dua iklan diatas.

putusnya dalam kecepatan tinggi di dalam arena konsumerisme. Produk kendaraan yang hadir terus -menerus dengan gaya dan citraan untuk mendatangi kebutuhan objek hasrat. Para konsumer di dalam. Masyarakat kapitalisme akhimya mengkonsumsi objek hasrat setiap saat secara terus-menerus tanpa henti sebagai produk dari kapitalisme masa kini. Saat ini di kalangan masyarakat tertentu seperti para eksekutif atau selebriti mobil sudah diidentikan dengan fashion, seperti halnya sepatu, penggunaan mobil bisa berbeda-beda modelnya setiap saat disesuaikan dengan kondisi tempat-tempat yang akan dikunjunginya. Gaya hidup juga tidak hanya ditentukan oleh karena ketenaran saja seperrti halnya selebriti, dalam kehidupan masyarakat kosmopolitan telah menyediakan

GAYA HIDUP BERMOBIL

jenjang-jenjang dalam sebuah struktur sosial yang melibatkan status sosial dan peran sosial, agar dapat memperoleh image' yang sesuai dengan `self image'-nya yang diproyeksikan lewat penampilan, bertutur sapa, berpakaian, bermobil dan sederet komunikasi verbal maupun non verbal lainnya. Dalam kehidupan kapitalisme mutakhir ini, dapatkah kita mengontrol objek-objek dalam tindak konsumsi? Baudrillard melihat kekuasaan dan daya kontrol ini sebagai sesuatu yang bersifat semu, disebabkan perubahan yang radikal yang terjadi pada relasi konsumsi di dalam masyarakat konsumer. Kita, tidak lagi mengontrol objek, tapi kita dikontrol dan dikuasai (hegemony) oleh objekobjek ini. Mobil yang pada mulanya memiliki nilai fungsi use value, sebagai alat bantu transportasi dan agar kegiatan manusia bisa lebih cepat `mobile, pada akhirnya telah berubah menjadi sign value, karena. telah dimuati berbagai makna status kelas sosial dan prestise. Pada, mobil kini muncul 'pesona citra dan komoditi fetishisme, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritualnya. Dunia konsumerisme menjadi dunia kecepatan pergantian image dan gaya hidup. Tempo yang tinggi

dalam pergantian itu telah dikonstruksi oleh mesin kapitalisme, menciptakan ciri lain masyarakat konsumer. Sebuah citra yang menyembunyikan realitas yang sesungguhnya, seperti halnya pada gaya hidup bermobil. DAFTAR PUSTAKA Engel, J.F. (1982). Consumer behaviour, The dryden press. New York. Piliang, Y.A. (1998). Dunia yang dilipat. Bandung: Mizan. Piliang, Y.A. (2003). Hipersemiotika, tafsir cultural studies atas matinya makna. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Y.A. (2004). Posrealitas. Yogyakarta: Jalasutra. Susanto, A.B. (2001). Potret-potret gaya hidup & citra metropolis. Jakarta: Kompas. Walker, J.A. Design histoty and the history of design. London: McGraw Hill. Wibowo, W. (2003). Sihir iklan, format Komunikasi mondial dalam kehidupan urban cosmopolitan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Widagdo. (2001). Desain dan kebudayaan. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

167

AGUS RAHMAT MULYANA & DIDI SUBANDI

168

You might also like