You are on page 1of 23

TEORI BEHAVIORISTIK

Ditulis oleh Arie Asnaldi


Wednesday, 16 April 2008
Penekanan Teori Behviorisme adalah perubahan tingkah laku setelah terjadi proses
belajar dalam diri siswaTeori Belajar Behavioristik mengandung banyak variasi dalam
sudut pandangan. Pelopor-pelopor pendekatan Behavioristik pada dasarnya berpegang
pada keyakinan bahwa banyak perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar
dan karena itu, dapat diubah dengan belajar baru. Behavioristik berpangkal pada
beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan
sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu :
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik
atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku
baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan
dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola
bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah
lakunya sendiri,menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol
perilakunya sendiri.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Manusia mampu untuk memperoleh dan
membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang
lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

Keyakinan-keyakinan itu, sebagaimana dirumuskan oleh Dustin dan George,


dikutip dalam buku karangan George dan Kristiani : Theory, Methode, and Processes Of
Counceling and Psychotheraphy ( 108 ). Sejalan dengan keyakinan-keyakinan itu, bagi
seorang konselor behafioristik perilaku konseling merupakan hasil dari' pengalaman-
pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kalau perilaku konseling
ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi
kehidupannya atau tidak tepat dan salah suai, harus dikatakan bahwa baik tingkah laku
tepat maupun tingkah laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku
salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti
dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar.
Teori Behavioristik
Konsep Utama:
Membatasi perilkaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan.
Kegunaannya:
Untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memcahkan masalahnya.
Proses Konseling:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Bentuk kerjasama antara konselor dengan klien
yaitu :
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Konselor menjelaskan maksd tujuan
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Klien mengkhususkan perubahan positif.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Klien dan konselor menetapkan tujuan.
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Menjajagi apakah tujuan itu realistis
<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Mendiskusikan manfaat tujuan
<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Konselor dan klien membuat salah satu
keputusan

Sifatnya:
Manipulatif, bersifat dingin dan klurang menyentuh aspek pribadi dan mengabaikan
hubungan antar pribadi
Penekanannya:
Memusatkan pada perilaku sekarangh dan bukan kepada prilaku yang terjadi di masa lalu.
Konselornya:
Pemilihan tujuan lebih sering ditentukan oleh konselor.
<!--[if !supportLists]-->● <!--[endif]-->Tokoh
John Watson (1878 - 1958)
John Broades Watson dilahirkan di Greenville pada tanggal 9 Januari 1878 dan
wafat di New York City pada tanggal 25 September 1958. Ia mempelajari ilmu filsafat di
University of Chicago dan memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1903 dengan disertasi
berjudul "Animal Education". Watson dikenal sebagai ilmuwan yang banyak melakukan
penyelidikan tentang psikologi binatang.
Pada tahun 1908 ia menjadi profesor dalam psikologi eksperimenal dan psikologi
komparatif di John Hopkins University di Baltimore dan sekaligus menjadi direktur
laboratorium psikologi di universitas tersebut. Antara tahun 1920-1945 ia meninggalkan
universitas dan bekerja dalam bidang psikologi konsumen.
John Watson dikenal sebagai pendiri aliran behaviorisme di Amerika Serikat.
Karyanya yang paling dikenal adalah "Psychology as the Behaviourist view it" (1913).
Menurut Watson dalam beberapa karyanya, psikologi haruslah menjadi ilmu yang obyektif,
oleh karena itu ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya diteliti melalui metode
introspeksi. Watson juga berpendapat bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang
mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Oleh karena itu, psikologi harus dibatasi dengan
ketat pada penyelidikan-penyelidikan tentang tingkahlaku yang nyata saja. Meskipun
banyak kritik terhadap pendapat Watson, namun harus diakui bahwa peran Watson tetap
dianggap penting, karena melalui dia berkembang metode-metode obyektif dalam
psikologi.
Peran Watson dalam bidang pendidikan juga cukup penting. Ia menekankan
pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkahlaku. Ia percaya bahwa dengan
memberikan kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, maka akan dapat membuat
seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Ia bahkan memberikan ucapan yang sangat
ekstrim untuk mendukung pendapatnya tersebut, dengan mengatakan: "Berikan kepada
saya sepuluh orang anak, maka saya akan jadikan ke sepuluh anak itu sesuai dengan
kehendak saya".
<!--[endif]-->Pengertian Teori
Teori behavioristik adalah teori yang menerapkan prinsip penguatan stimulus-
respon. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respon
akan semakin kuat bila diberi penguatan. Penguatan tersebut terbagi atas penguatan
positif dan penguatan negatif.
Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan
tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang
atau menghilang.
<!--[if !supportLists]-->● <!--[endif]-->Kerangka Berpikir Teori
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Pemberian bahan pembelajaran dalam bentuk
utuh kepada peserta didik
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Pemahaman oleh peserta didik dilakukan mandiri
oleh peserta didik. Jika ada yang kurang jelas baru ditanyakan kepada guru
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Hasil belajar segera disampaikan kepada peserta
didik
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->proses belajar harus mengikuti irama dari yang
belajar
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Materi pelajaran digunakan sistem modul
<!--[if !supportLists]-->● <!--[endif]-->Tokoh
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Edward Edward Lee thorndike
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Ivan Petrovich Palvov
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Burrhus Frederic Skinner
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Robert Gagne
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Elbert Bandura
<!--[if !supportLists]-->● <!--[endif]-->Aplikasi Teori
Guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak
banyak memberikan ceramah, tetapi intruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik
dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari
yang sederhana sampai pada yang kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-
bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera
diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan.
<!--[if !supportLists]-->● <!--[endif]-->Kekurangan
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun
bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan
metode ini
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Penerapan teori behavioristik yang salah dalam
suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang
sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter,
komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus
dipelajari murid.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Murid berperan sebagai pendengar dalam proses
pembelajaran dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara
belajar yang efektif
<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh
para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan
siswa
<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
<!--[if !supportLists]-->● <!--[endif]-->Kelebihan
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka
pada situasi dan kondisi belajar
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Metode behavioristik ini sangat cocok untuk
memperoleh kemampuan yang menbutuhkan praktek dan pembiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya
tahan, dan sebagainya.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Guru tidak banyak memberikan ceramah
sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan
kepada guru yang bersangkutan
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-
anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan
harus dibiasakan , suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.

Sumber : Psikologi Pendidikan


Penyusun : Sugihartono, Kartika nur Fathiyah, Faida agus setiawan, Farida
Harahap, Siti Rohmah Nurhayati.
Publish : Arie Asnaldi

© 2008 :: Elearning Pendidikan Olahraga | UNP ::


Joomla! is Free Software released under the GNU/GPL License.

MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK


SEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH PEMBELAJARAN
Oleh: Dina Gasong
1. Pengantar
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat
pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah
berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan
pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas
global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari
yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar
hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya
bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan.
Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan
factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang
memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan
dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi,
komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-
proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung
pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak
berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan
keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan
dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah
memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun
mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan
tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era
kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini
dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini
banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik
adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk
melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si
belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya
berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan
individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang
menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan
hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita
adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya
membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang
berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia
selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah
yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu
mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk
mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses.
Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih
penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup
dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban
dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat
dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang
diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah
dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari
keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti
teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah
unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih
nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang
akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting
daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata
dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social.
Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon
perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan
mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan
adalah paradigmna konstruktivistik.

2. Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik

a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik


Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut
stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini
didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis
hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang
diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat
terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon
tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran
maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu
stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah
pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14)
teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan
bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1)
Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting
terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah
semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara
stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2)
Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan
respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti
(idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah
benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper
senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting
dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang
terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner
membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative.
Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku
yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan
penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung
menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan
bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif
akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh
subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan
tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi
secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri
dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas,
yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan
pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1)
mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2)
mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4)
pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata,
http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng
mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan
tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,
aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar
si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar
ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik


Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi
(adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna
(the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu
adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu
berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk
membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema
yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu
kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak
dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka
individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya
sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan
pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam
bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai
keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal
meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam
upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke
jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu.
Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya.
Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra
individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis
Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi
dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap
tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut
teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu
dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri
dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.
Effective habits of mind

Cooperative colaborative

Effective communication

Information processing

Complex thinking

Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik
tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang
sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk
mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative
learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan
berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata,
http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
Pengetahuan berjenjang tersebut dapat digambarkan seperti pada skema berikut:
Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Tabel 1 Piagetian and Vygotskyan Constructivism

Piagetian Constructivism Vygotsky Constructivism


Concept constructivism focus on Vygotsky, in order to understand
individual cognitive human development, a multilevel
development through co- analysis using all four levels of
constructed learning history must be employed:
environments with national, sosiocultural constructivism,
decontextualized thinking as the
goal of development
Subject of Focus on the development of argued that individual development
Study autonomous cognitive forms cannot be understood without
within the individual, reference to the interpersonal and
culminating in rational thought institutional surround which situates
that is decentered from the the child
individual.
Develop- the structure of the mind is the the construction of knowledge occurs
ment of source of our understanding of through interaction in the social world.
cognitive the world. Thus for Vygotsky the development of
forms cognitive forms occurs by means of
the dialectical relationship between the
individual and the social context

Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan


oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Table 2
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.

Konstruktivistik Behavioristik
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan
temporer, selalu berubah dan tidak tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah
menentu. terstruktur dengan rapi.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan Belajar adalah perolehan pengetahuan,
dari pengalaman konkrit, aktivitas sedangkan mengajar adalah memindahkan
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. pengetahuan ke orang yang belajar.
Mengajar adalah menata lingkungan agar si
belajar termotivasi dalam menggali makna
seta menghargai ketidakmenentuan.
Si belajar akan memiliki pemahaman yang Si belajar akan memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap pengetahuan tergantung sama terhadap pengetahuan yang diajarkan.
pada pengalamannya, dan perspektif yang Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar
dipakai dalam menginterpretasikannya. itulah yang harus dipahami oleh si belajar.
Mind berfungsi sebagai alat untuk Fungsi mind adalah menjiplak struktur
menginterpretasi peristiwa, objek, atau pengetahuan melalui proses berpikir yang
perspektif yang ada dalam dunia nyata dapat dianalisis dan dipilah sehingga
sehingga makna yang dihasilkan bersifat makna yang dihasilkan dari proses berpikir
unik dan individualistic. seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan.

Table 3
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar

Konstruktivistik Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, Keteraturan, kepastian, ketertiban
kesemrawutan,
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi Si belajar harus dihadapkan pada aturan-
unsure yang esensial dalam lingkungna aturan yang jelas dan ditetapkan lebih
belajar. dahulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial.
Pembelajaran lebih banyak dikaitkan
dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
atau ketidakmampuan dilihat sebagai penambahan pengetahuan dikategorikan
interpretasi yang berbeda yang perlu sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan
dihargai. keberhasilan atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah.
Kebebasan dipandang sebagai penentu Ketaatan pada aturan dipandang sebagai
keberhasilan belajar. Si belajar adalah penentu keberhasilan belajar. Si belajar
subjek yang harus memapu menggunakan adalah objek yang harus berperilaku sesuai
kebebasan untuk melakukan pengaturan dengan aturan.
diri dalam belajar.
Control belajar dipegang oleh si belajar. Control belajar dipegang oleh system yang
berada di luar diri si belajar.

Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran


Konstruktivistik Behavioristik
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar Tujuan belajar ditekankan pada
bagaimana belajar (learn how to learn) penambahan pengetahuan.

Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran


Konstruktivistik Behavioristik
Penyejian isi menekankan pada Penyajian isi menekankan pada
penggunaan pengetahuan secara bermakna keterampilan yang terisolasi dan akumulasi
mengikuti urutan dari keseluruhan-ke- fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-
bagian. keseluruhan.

Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum


meladeni pertanyaan atau pandangan si secara ketat.
belajar.

Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan
pada data primer dan bahan manipulatif pada buku teks dengan penekanan pada
dengan penekanan pada keterampilan keterampilan mengungkapkan kembali isi
berpikir kritis. buku teks.

Pembelajaran menekankan pada proses. Pembelajaran menekankan pada hasil

Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi

Konstruktivistik Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan Evaluasi menekankan pada respon pasif,
makna secara aktif yang melibatkan keterampilan secara terpisah, dan biasanya
keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan ‘paper and pencil test’
menggunakan masalah dalam konsteks
nyata.

Evaluasi yang menggali munculnya Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar.
berpikir divergent, pemecahan ganda, Jawaban benar menunjukkan bahwa si-
bukan hanya satu jawaban benar belajar telah menyelesaikan tugas belajar.

Evaluasi merupakan bagian utuh dari Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian
belajar dengan cara memberikan tugas- terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
tugas yang menuntut aktivitas belajar yang biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar
bermkana serta menerapkan apa yang dengan penekanan pada evaluasi
dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi individual.
menekankan pad aketerampilan proses
dalam kelompok.

4. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik


Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran
dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap
gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur
kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam
bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan
sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka
terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan
intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam
lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi,
menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian
dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar
siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan
terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat
miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi
yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat
kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan
tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum.
Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk
mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat
sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan
dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik
kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk
memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala
yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai
fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk
menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal.
Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang
lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari
miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep
ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif
dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan
secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang
telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.
Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali
bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut
tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada
kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam
pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah
digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua
persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu
mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan
konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai
keunikan invidu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Alkitab seringkali menyebutkan berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah
di bukit, berdialog dengan para ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan
bersama dua orang murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan
banyak lagi, semua itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari
pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun
maknanya sendiri, bukan mentranfer makna/pengetahuan.

(Dina Gasong, Mahasiswa Teknologi Pendidikan, PPs UNJ)


roebyarto wrote on Sep 25
siperimungil said
bapak ini guru smu brapa ya?*aduh malah OOT*
Maaf mbak... bukan guru SMU...
reply
roebyarto wrote on Sep 25
ririnmia said
mas tok comennya entara ya rin mau kerja dulu
Yaks... cari duit yang banyak ya...
reply
roebyarto wrote on Sep 25
siperimungil said
yg ini lebih mudah ditangkep..hahaha..kalok gitu, saya lebih suka yg "konstruktif" yg diterapkan di
sekolah..
Yups... jenk...
sebaiknya aku tambahkan untuk kesimpulan di atas ya...
biar lebih paham yg baca... thanks jenk... atas pencerahannya...
reply
agripzzz wrote on Sep 25
roebyarto said
Dah libur Av...?
rencana liburan kemana..?
Udah, Om Rub...
Liburan di rumah aja...
Om ga mudik?
reply
roebyarto wrote on Sep 25
agripzzz said
Udah, Om Rub...Liburan di rumah aja...Om ga mudik?
Mau ikut...?
rencana bareng om Ferry
ke Jogja... jalan2..
sambil cari tante
hihihi....
reply
agripzzz wrote on Sep 25
Hahaha... Tante yang mana tuh, Om?
:-))

reply
ririnmia wrote on Sep 25
roebyarto said
Yang dicari kok papany Rin..?
ya maksudnya suruh bantuuin baca whahahah
reply
ririnmia wrote on Sep 25
roebyarto said
Yaks... cari duit yang banyak ya...
ya biar bs jalan ke surabaya ya wahhaha
reply
ririnmia wrote on Sep 25
roebyarto said
Mau ikut...?
rencana bareng om Ferry
ke Jogja... jalan2..
sambil cari tante
hihihi....
wahhhh asik tuh pergi ngak ngajak2
reply
roebyarto wrote on Sep 25
agripzzz said
Hahaha... Tante yang mana tuh, Om?:-))
Tante yang cantik...
tante yang peduli ma keponakan yg cerewet kayak Avelin...
Ini buat om Ferry lho... hihihii..
reply
ririnmia wrote on Sep 25
Didalam mendidik bukannya kita harus mengenal dulu bagai mana karekter dari siswa tersebut mas
dimana kita harus tahu bagai mana cara agar mereka dapat dengan mudah menerima apa yang kita
ajarkan.
ya secara logika...., seperti dalam pengalaman rin dalam mengajar tari
gerakan ini mereka tak mampu, bagaia macaranya kita harus mebuat suatu kreasi agar mudah bagi
mereka melakukan apa yang kita ajarkan.
disinilah fungsi sebagai guru... berkreasi mencari dan terus mencari cara yang lebih mudah dimengerti
didalam pembelajaran.

Sepertinya rin menemukan guru yang memang bener2 kreatif dalam pembelajaran
so pastinya disini hehehehheheh

reply
smallnote wrote on Sep 25
roebyarto said
Tante yang cantik...
tante yang peduli ma keponakan yg cerewet kayak Avelin...
Ini buat om Ferry lho... hihihii..
Hahaha.... ga ikutan deh, Om...
reply
roebyarto wrote on Sep 25
ririnmia said
Didalam mendidik bukannya kita harus mengenal dulu bagai mana karekter dari siswa tersebut
masdimana kita harus tahu bagai mana cara agar mereka dapat dengan mudah menerima apa yang kita
ajarkan.ya secara logika...., seperti dalam pengalaman rin dalam mengajar tarigerakan ini mereka tak
mampu, bagaia macaranya kita harus mebuat suatu kreasi agar mudah bagi mereka melakukan apa
yang kita ajarkan.disinilah fungsi sebagai guru... berkreasi mencari dan terus mencari cara yang lebih
mudah dimengerti didalam pembelajaran.Sepertinya rin menemukan guru yang memang bener2 kreatif
dalam pembelajaranso pastinya disini hehehehheheh
Yaks...
setuju rin...
memang proses pembelajaran itu harus mengetahui kemampuan masing2 peserta didik, karena setiap
© 2008 Multiply, Inc. About · Blog · Terms · Privacy · Corp Info · Contact Us · Help

ALIRAN BEHAVIORISTIK
• Didirikan oleh JB Watson pada tahun 1913 di Amerika Seriat
• Me ne Anktativnigta Isn mtroesnpteakl stii dak nampak
• Pro se sS uabdjeakpttifa si gerakan-gerakan otot dan aktivitas kelenjar →
menjelaskan perilaku
• Proses psikologis = stimulus - respon
• Menekankan proses belajar + peran lingkungan dalam
menjelaskan perilaku
• Tingkah laku manusia merupakan hasil belajar yang sifatnya
mekanistis lewat proses perkuatan
• Kuncinya pengkondisian klasik (classical conditioning) dari
Pavlov
CLASSICAL CONDITIONING
(Ivan Petrovich Pavlov)
Subje k PPeanvelolitvia mn e: manajisnagn gkan stimulus suara dengan
makanan
Makanan akan keluar ke hadapan anjing setiap pavlov
menekan tombol
Ivan Petrovich Pavlov dilahirkan di

Rjasan pada tanggal 18 September


1849 dan wafat di Leningrad pada
tanggal 27 Pebruari 1936.Pavlov
(1849-19360) psikolog Rusia yang
melakukan penelitian pertama
tentang belajar
Prinsip pengkondisian klasik
Organisme belajar
mengasosiasikan satu stimulus
dengan stimulus lain.
Organisme belajar bahwa
stimulus pertama adalah
“kunci” untuk stimulus
berikutnya
Pengkondisian
Pemadaman (Extinction)
Proses pengurangan kekuatan CR dan akhirnya hilanglah
performance
Bel → ≠ makanan → saliva ?
Pemulihan
Menampilkan kembali CS pada organismme
Umumnya kekuatan CS < sebelumnya
Generalisasi
Bel → salivation
NEUTRAL STIMULUS (NS)
BELL
NO SALIVATION
NEUTRAL STIMULUS
(NS)
UNCONDITIONED STIMULUS
(UCS/US)
UNCONDITIONED RESPONSE
(UCR/UR)
CONDITIONED STIMULUS (CS)
BELL
CONDITIONED RESPONSE (CR)
SALIVATION
Dering telepon → salivation
Diskriminasi
Bel → salivation
Nada Berbeda → ≠ salivation
PERCOBAAN PADA MANUSIA
Watson & Rayner (1920)
Mengkondisikan respon ketakutan pada anak berusia 11 bulan
(Albert)
tidak takut
Albert tikus
Pengkondisian
Tikus putih (CS) Suara mengejutkan
Menangis (takut)
Tkus Putih Menangis (takut)
Pemadaman
Tikus putih Suara mengejutkan 7
x
Tikus putih (CS) ≠ Menangis (tidak takut)
Kesimpulan :
Respon atau tingkah laku organisme bisa dikondisikan dan organisme bisa
memiliki
respon tertentu (CR) melalui belajar dan latihan

TUGAS S-2 MAKALAH PARADIGMA BARU PENDIDIKAN P.DEGENG


Sabtu, 06 Oktober 2007

<!--[if !supportFootnotes]-->SUMARY dari buku “MENCARI PARADIGMA BARU”

1. Pandangan Behavioristik dan Konstruktivistik tentang Belajar dan Pembelajaran


Behavioristik Konstruktivistik

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Behavioristik <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Konstruktivistik

memandang bahwa pengetahuan memandang bahwa pengetahuan


adalah obyektif, pasti, dan tetap adalah non-objective, bersifat
tidak berubah. Pengetahuan telah temporer, selalu berubah, dan tidak
terstruktur dengan rapi. menentu.

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Belajar adalah <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Belajar adalah


perolehan pengetahuan, penyusunan pengetahuan dari
sedangkan mengajar adalah pengalaman konkrit, aktivitas
memin-dahkan pengetauan ke kolaboratif, dan refeleksi serta
orang yang belajar. interpretasi. Mengajar adalah
menata lingkungan agar si belajar
termotivasi dalam menggali makna
serta menghargai ketidakmenen-
tuan.

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Si belajar akan


memiliki pemahaman yang
<!--[if  Si belajar diharapkan
!supportLists]-->
berbeda terhadap pengetahuan
akan memiliki pemahaman yang tergantung pada pengalamannya,
sama terhadap pengetahuan yang dan perspektif yang dipakai dalam
diajarkan. Artinya apa yang menginterpre-tasikannya.
dipahami oleh pengajar itulah yang
harus dipahami oleh si belajar.

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Mind berfungsi


<!--[if !supportLists]--> Fungsi mindd
<!--[endif]-->
sebagai alat untuk
adalah menjiplak struktur menginterpretasi peris-tiwa, objek,
pengetahuan melalui proses atau perspektif yang ada dalam
berpikir yang dapat dianalisis dan dunia nyata sehingga makna yang
dipilah sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan
dihasilkan dari proses berpikir individualistik.
seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan.

2. Pandangan Behavioristik dan Konstruktivistik tentang Penataan Lingkungan Belajar dan

Pembelajaran.
Behavioristik Konstruktivistik
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Keteraturan, <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Ketidakteraturan,

Kepastian, Ketertiban Ketidakpastian, Ke-semrawutan.

<!--[if  <!--[endif]-->Si belajar harus


!supportLists]-->

bebas. Kebebasan menjadi unsur


<!--[if  <!--[endif]-->Si belajar harus
!supportLists]--> esensial dalam lingkungan belajar.
dihadapkan pada aturan-aturan
yang jelas dan ditetapkan lebih
dulu secara ketat. Pembiasaan
dan disiplin menjadi sanagat
esensial. Pembelajaran penegakan
disiplin.

<!--[if  <!--[endif]-->Kegagalan atau


!supportLists]-->

keberhasilan, kemampuan atau


<!--[if !supportLists]--> Kegagalan atau
 <!--[endif]--> ketidakmampuan dilihat sebagai
ketidak mampuan dalam interpretasi yang berbeda yang
penambahan pengetahuan perlu dihargai.
dikatagorikan sebagai kesalahan
yang perlu dikhukum, dan
keberhasilan atau lkemampuan
dikatagorikan seabagai bentuk
prilaku yang pantas diberi hadiah.

<!--[if  <!--[endif]-->Ketaatan pada


!supportLists]-->

aturan dipandang sebagai penentu <!--[if Kebebasan



!supportLists]--> <!--[endif]-->

keberhasilan belajar. Si belajar dipandang sebagai pe-nentu


adalah objek yang harus keberhasilan belajar. Si belajar
berperilaku sesuai dengan aturan. adalah subjek yang harus mampu
menggunakan kebebasan untuk
melakukan pengaturan diri dalam
belajar.

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Kontrol belajar


<!--[if  <!--[endif]-->Kontrol belajar
!supportLists]--> dipegang oleh si belajar.
dipegang oleh sistem yang berada
di luar diri si belajar.
3. Pandangan Behavioristik dan Konstruktivistik tentang Tujuan Pembelajaran
Behavioristik Konstruktivistik

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Tujuan <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Tujuan

pembelajaran ditekankan pada pembelajaran ditekankan pada


penambahan pengetahuan . belajar bagaimana belajar.

4. Pandangan Behavioristik dan Konstruktivistik tentang Strategi Pembelajaran

Behavioristik Konstruktivistik

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Penyajian isi <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Penyajian isi


menekankan pada keterampilan menekankan pada penggunaan
yang teerisolasi dan akumulasi pengetahuan secara bermakna
fakta mengikuti urutan dari bagian mengikuti urutan dari keseluruhan
ke keseluruhan. ke bagian.

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pembelajaran <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pemebelajaran

mengikuti urutan kurikulum secara lebih banyak diarahkan untuk


ketat. meladeni pertanyaan atau
pandangan si belajar.

<!--[if  <!--[endif]-->Aktivitas belajar


!supportLists]-->

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data


lebih banyak didasarkan pada primer dan bahan manipulatif
buku teks dengan penekanan pada dengan penekanan pada
keterempilan mengungkapkan keterampilan berpikir kritis.
kembali isi buku teks.

<!--[if  <!--[endif]-->Pembelajaran
!supportLists]-->

 <!--[endif]-->Pembelajaran dan
<!--[if !supportLists]--> menekankan pada proses.
evaluasi menekankan pada hasil.

5. Pandangan Behavioristik dan Konstruktivistik tentang Evaluasi


Behavioristik Konstruktivistik

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Evaluasi <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Evaluasi

menekankan pada respon psif, menekankan pada penyusunan


peterampilan secara terpisah, dan makna secara aktif yang
biasanya menggunakan “paper melinatkan keterampilan
and pencil test” terintegrasi, dengan menggunakan
masalah dalam konteks nyata.

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Evaluasi yang


<!--[if  <!--[endif]-->Evaluasi yang
!supportLists]--> menggali munculnya berpikir
menuntut satu jawaban benar. devergent, pemecahan ganda,
Jawaban benar menunjukkan bukan hanya satu jawaban benar.
bahwa si belajar telah
menyelesaikan tugas belajar.

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Evaluasi

merupakan bagian utuh dari belajar


<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Evaluasi belajar dengan cara memberikan tugas-
dipandang sebagai bagian terpisah tugas yang menuntut aktivitas
dari kegiatan pembelajaran, dan belajar yang bermakna serta
biasanya dilakukan setelah selesai menerapkan apa yang dpekajari
kegiatan pembelajaran. dalam konteks nyata. Evaluasi
menekankan pada keterampilan
proses dalam dalam kelompok.

Dari keterangan diatas jelaslah bahwa ada penyakit turunan yang bersumber pada penerapan paradigma keteraturan yang menyebabkan
pembunuhan kreativitas si belajar. Karena si belajar dalam mengerjakan sesuatu selalu hanya untuk menuruti sistem yang ada di luar diri si
belajar, tanpa ada kebebasan sama sekali.

Penyakit keturunan itu diantaranya adalah :

1.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]--> Duduk manis

2.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]--> Taat, patuh pada orang tua/ guru

3.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]--> Rajin membantu orang tua

4.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]--> Makan jangan sambil bicara

5.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]--> Belajar jangan sambil bermain.

DISKRIPSI PERSOALAN PEMBELAJARAN DI SMP NEGERI 4 BLITAR :

<!--[if !supportLists]--> 1. Siswa masuk harus jam 06.45 tepat, kalau terlambat pasti
<!--[endif]-->
mendapat hukuman apapun alasannya

<!--[if !supportLists]-->2. Siswa harus berpakaian seragam yang sesuai dengan ketentuan
<!--[endif]-->

pada hari itu, bila tidak siswa juga mendapat hukuman fisik maupun teror mental
oleh guru.

<!--[if !supportLists]--> 3. <!--[endif]--> Dalam mengikuti pelajaran siswa diharuskan memperhatikan


guru dengan sikap duduk yang sopan dan tenang memperhatikan guru yang
menerangkan, bila siswa berbicara atau kurang memperhatikan guru, maka
siswa tersebut pasti ditegur bahkan tidak jarang yang langsung dibentak ataupun
diberi hukuman fisik

<!--[if !supportLists]--> 4. <!--[endif]--> Kebanyakan siswa takut bertanya kalau tidak diberi kesempatan
bertanya oleh guru. atau kadang-kadang guru mengembalikan pertanyaan
tersebut kepada siswa sehingga siswa sangat takuta untuk bertanya karena takut
kalau ditanya kembali oleh guru.

<!--[if !supportLists]--> 5. <!--[endif]--> Biasanya buku pegangan yang digunakan oleh siswa juga
diseragamkan, siswa juga tidak berani menggunakan buku opegangan lain
karena takut kalau tidak sesuai dan tidak keluar dalam ulangan harian maupun
ulangan umum.

<!--[if !supportLists]--> 6. <!--[endif]--> Dalam melaksanakan upacara bendera, siswa tanpa kecuali
harus mengikuti upacara bendera dan harus berbaris sesuai dengan kelasnya
masing-masing, kalau tidak mematuhi peraturan itu maka siswa tersebut
mendapat hukuman disiplin.

<!--[if !supportLists]--> 7. <!--[endif]--> Dalam melakukan ulangan umum atau ulangan harian waktu
yang digunakan siswa untuk mengerjakan juga disamakan baik untuk siswa yang
pandai maupun siswa yang kurang pandai.

<!--[if !supportLists]--> 8. <!--[endif]--> Siswa yang berbeda-beda harus menuntaskan target kurikulum
yang sama dan harus menguasai tujuan instruksional yang sama dari tujuan
yang telah ditentukan.

<!--[if !supportLists]--> 9. <!--[endif]--> Nilai dari ulangan siswa hanya menilai pengetahuan (kognetif)
saja , karena alat evaluasinya berupa test.

10.
<!--[if !supportLists]--> Anak yang nilainya bagus diberi reinforcement sedangkan anak
<!--[endif]-->

yang nilainya jelek banyak yang dimarahi atau dicaci maki oleh guru, atau
direndahkan di depan teman-temannya, sehingga siswa merasa benci dengan
pelajaran yang dimaksud.

PRESKRIPSI DARI BEBERAPA PERSOALAN YANG ADA DI SEKOLAH

PEMECAHAN PERSOALAN DI BAWAH INI SESUAI DENGAN NOMOR DISKRIPSI DI ATAS ANTARA LAIN ADALAH :

<!--[if !supportLists]--> 1. <!--[endif]--> Supaya kreativitas siswa tidak terbunuh karena pembiasaan
masuk tepat jam 06.45 adalah guru meneliti/ menanya siswa dengan ramah
tentang penyebab siswa terlambat, dengan demikian dalam diri siswa tidak
merasa takut kalau terlambat karena alasan yang tidak dibuat-buat atau karena
situasi sulit yang menyebabkan siswa itu terlambat, sehingga dalam mengikuti
pelajaranpun siswa tidak tertekan atau dibebani perasaan bersalah yang
mendorong siswa untuk tetap masuk kelas jika suatu saat terlambat.

<!--[if !supportLists]--> 2. <!--[endif]--> Jika ada siswa yang kebetulan pada hari itu tidak seragam
karena alasan yang tepat, contohnya akan mengikuti lomba PMR, lomba
Pramuka, Bola basket atau lomba-lomba yang lain, maka guru menanya siswa
dengan ramah penyebab ia tidak memakai seragam pada hari itu, kemudian
mempersilahkan masuk kelas dengan suasana yang bersahabat.

<!--[if !supportLists]--> 3. <!--[endif]-->Bila ada siswa yang tidak memeperhatikan ketika guru
menerangkan atau siswa berbicara sendiri, maka yang pertama dilakukan oleh
guru adalah instrospeksi diri, bagaimana cara penyampaian materinya “apa
kurang jelas” atau materi yang disampaikan memang kurang menarik bagi siswa,
jadi tidak bolehnlangsung mengultimatum siswa bahwa siswa tidak menurut dan
langsung diberi hukuman.

<!--[if !supportLists]--> 4. <!--[endif]--> Mestinya seorang guru selalu memberi waktu bagi siswa untuk
bertanya dan guru selalu menghargai walaupun pertanyaan siswa kurang baik
atau kurang berbobot, sehingga dalam diri siswa timbul semangat untuk selalu
bertanya tentang hal-hal yang kurang dimengerti siswa yang akhirnya akan dapat
menambah senang suasana belajar di kelas.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]--> Mestinya sekolah tidak menyeragamkan buku pegangan bagi
siswa, karena suatu materi akan bertambah lengkap jika buku pegangan yang
digunakan semakin banyak, hal itu akan menguntungkan bagi wawasan
pendidikan siswa maupun bagi gurunya. Karena ada materi yang esensial yang
tidak terdapat di buku yang satu tetapi terdapat di buku yang lainnya.

<!--[if !supportLists]--> 6. <!--[endif]--> Bila ada siswa yang dalam mengikuti upacara bendera tidak
berbaris di kelasnya, maka guru sebaiknya membiarkan saja asalkan siswa tidak
ramai dan mengganggu siswa yang lain, hal itu dimasudkan agar siswa tidak
terbiasa diperlakukan dengan keras tentang kesalahan-kesalahan yang kecil
seperti itu dan siswa mengikutinya dengan senang hati, hal itu juga akan
mendorong siswa belajar dengan giat karena dalam diri siswa tidak mengalami
tekanan-tekanan.

<!--[if !supportLists]--> 7. Mestinya soal-soal ulangan anak-anak yang pandai itu


<!--[endif]-->

dibedakan dengan anak-anak yang kurang pandai baik bobot ,jumlah soal
maupun alokasi waktunya dan tidak dibandingkan antara siswa yang pandai
dengan siswa yang kurang pandai, penilaiannya harus berdasarkan kompetensi
yang diraih oleh masing-masing siswa yang meliputi kognetif, afektif dan
psikomotornya.

<!--[if !supportLists]-->8. Seharusnya tujuan instruksional yang harus dicapai oleh siswa
<!--[endif]-->

yang pandai tidak sama dengan tujuan instruksional yang hasur dicapai oleh
siswa yang kurang pandai. Karena kalau disamakan yang terjadi adalah
kelihatannya target krukulum sudah terpenuhi tetapi hasilnya yang diraih oleh
siswa “tidak berarti sama sekali”, karena sebenarnya tidak terjadi perubahan pada diri siswa itu
sendiri.

<!--[if !supportLists]--> 9. <!--[endif]--> Seharusnya alat evaluasi yang digunakan oleh guru bukan
hanya berupa tes yang seolah-olah terpisah dengan materi pelajaran saat itu,
karena tes dilakukan dengan selisih waktu yang lama dengan pemberian materi
siswa, contohnya soal-soal UAN. Seharusnya dalam menilai suatu kegiatan harus lengkap
yaitu tentang pengetahuan, afektif, dan psikomotornya, mislnya dengan penilain
performance dan penilaian porto folio yang dilaksanakan dalam tenggang waktu
yang tidak terlalu lama dengan pemberian materi siswa, sehingga hasilnya
benar-benar dapat mengukur kompetensi siswa.
10.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]--> Untuk menilai anak yang pandai dan kurang pandai seharusnya
tidak dibandingkan satu dengan yang lain, tetapi yang dinilai adalah pencapaian
standart kompetensi oleh masing-masing siswa , sehingga siswa yang pandai
akan lebih cepat menguasai standart kompetensi yang dibebankannya
sedangkan anak yang kurang pandai akan menyelesaikan standart
kompetensinya sendiri, karena seharusnya anak-anak yang pandai, sedang dan
kurang “disendirikan “ dalam mengikuti materi pelajaran yang diberikan, karena target
kurikulum yang dibebankannya harus dibedakan. Dan nanti yang terjadi adalah
anak yang pandai akan berhsil memndapat sertifikat lulus dengan waktu yang
lebih pendek sedangkan anak yang kurang pandai akan mendapat sertifikat lulus
dengan waktu yang lebih lama.

© 2008 Official Website SMA Negeri 3 Blitar

You might also like