You are on page 1of 60

STANDAR PENATALAKSANAAN UNIT PERAWATAN INTENSIF ANAK PROSEDUR PENERIMAAN, PERAWATAN DAN PEMULANGAN PENDERITA UNIT PERAWATAN INTENSIF

I.

Indikasi masuk dan keluar penderita ke Unit Perawatan Intensif Penderita dengan keadaan kritis harus dimasukkan ke ruang Unit Perawatan Intensif. Kondisi-kondisi yang masuk indikasi rawat di Unit Perawatan Intensif adalah : Sistem Respirasi : 1. Intubasi endotrakeal atau kemungkinan akan membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, tanpa memandang etiologinya. 2. Penyakit paru, saluran nafas atas atau bawah yang progresif cepat, penyakit berat dengan risiko menjadi kegagalan nafas atau obstruksi total. 3. Membutuhkan suplementasi oksigen tinggi (FiO2>0,5) tanpa memandang etiologinya. 4. Baru dilakukan trakeostomi dengan atau tanpa membutuhkan ventilasi mekanik. 5. Barotrauma akut yang menggangu jalan nafas atas atau bawah. 6. Membutuhkan pemberian nebulisasi yang sering atau terus menerus. Sistem Kardiovaskuler 1. Syok dekompensai yang tidak respon pada resusitasi I dan syok berulang. 2. Pasca resusitasi kardiopulmoner. 3. Disritmia yang mengancam nyawa. 4. Gagal jantung kongestif yang tidak stabil, dengan atau tanpa kebutuhan ventilasi mekanik. 5. Penyakit jantung kongential dengan status kardiorespiratorik yang tidak stabil. 6. Setelah dilakukan prosedur kardiovaskuler dan intratorakal yang berisiko tinggi. 7. Kebutuhan akan pemonitoran tekanan arteri, tekanan vena sentral atau arteri pulmoner. 8. Kebutuhan akan cardiac pacing sementara. Sistim Neurologis 1. Kejang yang tidak memberikan respon terhadap terapi atau membutuhkan penginfusan obat antikejang terus menerus. 2. Perubahan sensorium yang akut dan berat dimana penurunan fungsi neurologis kemungkinan akan terjadi, atau koma dengan kemungkinan gangguan jalan nafas. 3. Setelah prosedur neurologis dimana dibutuhkan pemonitoran yang invasif atau observasi ketat. 4. Inflamasi atau infeksi akut pada medulla spinalis, meningen atau otak dengan gangguan neurologis, metabolik dan hormonal, gangguan respirasi atau hemodinamik atau terdapat kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial. 1

5. Trauma kepala dengan peningkatan tekanan intrakranial. 6. Kondisi-kondisi preoperatif bedah syaraf dengan penurunan fungsi neurologis. 7. Disfungsi neuromuskuler progresif dengan atau tanpa gangguan sensorium yang membutuhkan pemonitoran kardiovaskuler dan/atau bantuan pernafasan. 8. Kompresi medulla atau impending kompresi. 9. Pemasangan drainase ventrikuler eksternal. Hematologi/onkologi 1. Transfusi tukar. 2. Plasmaferesis atau leukoferesis dengan kondisi klinis yang tidak stabil. 3. Koagulopati berat. 4. Anemia berat yang menyebabkan gangguan hemodinamik atau respiratorik. 5. Komplikasi berat dari krisis sickle cell, seperti perubahan neurologis, acute chest syndrome, atau anemia aplastik dengan instabilitas hemodinamik. 6. Memulai kemoterapi yang memiliki risiko terjadinya sindroma lisis tumor. 7. Massa tumor yang menekan atau mengancam pembuluh darah atau organ vital atau saluran nafas. Endokrin/metabolik 1. Ketoasidosis diabetik berat yang membutuhkan pengobatan yang melebihi standar. 2. Gangguan elektrolit berat lain seperti : - Hiperkalemia, di mana dibutuhkan pemonitoran jantung dan intervensi terapetik akut. - Hipokalsemia atau hiperkalsemia bermakna yang membutuhkan monitoring. - Hipoglikemia atau hiperglikemia berat. - Asidosis metabolik berat yang membutuhkan penginfusan bikarbonat, pemonitoran yang intensif atau intervensi yang kompleks. - Intervensi yang kompleks untuk mempertahankan keseimbangan cairan. 3. Gangguan metabolisme bawaan dengan penurunan keadaan umum yang akut yang membutuhkan bantuan pernafasan, dialisis akut, hemoperfusi, penatalaksanaan hipertensi intrakranial atau zat-zat inotropik. Gastrointestinal 1. Perdarahan gastrointestinal berat yang menyebabkan instabilitas hemodinamik atau respirasi. 2. Setelah endoskopi emergensi untuk mengangkat benda asing. 3. Gagal hati akut yang menyebabkan koma, instabilitas hemodinamik atau respirasi. Bedah 1. Pasca Bedah kardiovaskuler. 2. Pasca Bedah toraks. 3. Prosedur bedah syaraf. 4. Bedah otolaringologis. 2

5. Bedah kraniofasial. 6. Bedah ortopedik dan tulang belakang. 7. Bedah umum dengan instabilitas hemodinamik atau respirasi. 8. Transplantasi organ. 9. Trauma multipel dengan atau tanpa instabilitas kardiovaskuler. 10. Kehilangan darah hebat, baik selama pembedahan atau pada periode pasca operasi. Sistim renal 1. Gagal ginjal 2. Kebutuhan akan hemodialisis akut, peritoneal dialisis atau terapi penggantian ginjal yang terus menerus pada penderita yang stabil. 3. Rhabdomyolisis akut dengan insufisiensi ginjal. Multi Sistim dan lain-lain 1. Ingesti bahan toksik atau overdosis obat dengan kemungkinan terjadinya dekompensasi sistim-sistim organ utama. 2. Sindroma disfungsi organ multipel. 3. Dicurigai atau ditemukan adanya hipertermia malignan. 4. Trauma listrk atau trauma rumah tangga atau lingkungan lain. 5. Adanya luka bakar yang meliputi > 10% permukaan tubuh. II. Indikasi keluar / pindah dari ICU : Kriteria untuk transfer / keluar dari ICU adalah : 1. Parameter hemodinamik stabil. 2. Status respirasi stabil (penderita telah diekstubasi dengan hasil gas darah arteri dalam batas normal) dan jalan nafas paten. 3. Kebutuhan oksigen minimal dan tidak melebihi batas standar penatalaksanaan di bangsal pasien yang bersangkutan. 4. Tidak lagi membutuhkan obat-obatan inotropik, vasokonstriksi, vasodilator atau antiaritmia atau hanya membutuhkan dosis rendah yang aman diberikan di bangsal. 5. Disritmia jantung telah terkendali. 6. Peralatan pemonitoran tekanan intrakranial telah dilepas. 7. Status neurologis stabil dengan kejang yang telah terkendali. 8. Seluruh saluran untuk memonitor hemodinamika telah dilepas. 9. Penderita dengan ventilasi mekanik kronik yang penyakit kronisnya telah mengalami perbaikan atau sembuh serta kondisi lainnya stabil dan dapat dirawat di bangsal yang secara rutin bisa merawat penderita dengan ventilasi kronik atau dirawat di rumah. 10. Peritoneal dialisis atau hemodialisis rutin dengan perbaikan penyakit kronis dimana tidak memerlukan penatalaksanaan yang melebihi penatalaksanaan di bangsal. 11. Penderita dengan jalan nafas buatan (trakeostomi) yang tidak lagi memerlukan penghisapan lendir yang sering. 3

12. Tim pekerja kesehatan dan keluarga penderita memutuskan untuk menghentikan perawatan di ICU, setelah dilakukan penilaian dengan hati-hati, bahwa tidak ada keuntungan membiarkan anak di unit perawatan intensif atau pengobatan tidak memberi keuntungan medis lagi. III. Tatalaksana Penderita di Unit Perawatan Intensif A. Dasar-dasar penatalaksanaan kegawatan : 1. Pemeriksaan 2. Pemantauan 3. Pengobatan/intervensi 4. Antisipasi/harapan 1. Pemeriksaan a. Tujukan pada keluhan utama b. Pemeriksa harus terampil dan percaya diri c. Lengkap, teliti dan sistematis d. Data yang harus disintesa untuk rencana pemeriksaan/terapi selanjutnya 2. Pemantauan a. Tanda vital dipantau secara terus menerus b. Data yang obyektif Yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, mengetahui respon terhadap pengobatan dan perkembangan penyakit c. Data prospektif sebagai parameter pengobatan dan perubahan patofisiologi penyakit. d. Harus dikomunikasikan dan didiskusikan dengan sejawat lainnya. 3. Pengobatan / intervensi a. Berdasarkan pendekatan patofisiologis b. Tentukan tujuan dan hasil akhir yang diharapkan c. Sesuaikan efek pengobatan secara individual (sesuai pasiennya) d. Gunakan data yang obyektif. 4. Antisipasi / harapan a. Buatlah rencana pengobatan bukan retrospektif. b. Diperlukan pengetahuan dan pendekatan patofisiologis. c. Pertimbangkan kemungkinan terburuk d. Gunakan data berdasarkan pemeriksaan dan pemantauan yang obyektif B. Prosedur penerimaan pasien (harus dilakukan setiap akan menerima pasien yang akan dirawat di ICU) 1. Persiapan penerimaan Data dan informasi yang dibutuhkan a. Identitas penderita. b. Berat badan

c. Diagnosis d. Tanda vital terakhir e. Keadaan sistim pernafasan (spontan, terintubasi, oksigen, dll) f. Alat dan saluran infus yang terpasang g. Perkiraan waktu kedatangan h. Permintaan / keadaan, peralatan/ penanganan khusus Persiapan alat / perlengkapan a. Siapkan tempat tidur, inkubator yang sesuai b. Siapkan alat rutin yang diperlukan dan apakah alat tersebut siap dipakai. Antara lain : alat resusitasi alat infus dan infusion pump monitor tekanan darah, EKG dan tanda vital lainnya lembar catatan medik lembar catatan obat resusitasi c. Siapkan alat khusus yang mungkin akan dipakai ventilator alat fototerapi alat operasi kecil (venaseksi) alat fiksasi tubuh 2. Penerimaan pasien Pemeriksaan pada saat masuk a. Periksalah tanda vital yang sedang mengancam nyawa dan lakukan tindakan yang sesuai (misalnya intubasi, ventilasi, pemasangan infus, obat) b. Angkat pasien dari tempat tidur transport untuk ditimbang sambil terus melakukan tindakan ventilasi dengan tangan bila diperlukan. c. Letakkan pasien pada tempat yang telah disediakan sebelumnya. d. Buka seluruh pakaiannya untuk dapat memeriksa secara lengkap. e. Amankan jalan nafas dan observasi kerja pernapasan (nafas cuping hidung, merintih, mengi retraksi, atau gerakan nafas yang tidak simetris). Auskultasi paru apakah udara yang masuk ke paru-paru sama kiri dan kanan, apakah ada tanda ronki, mengi. f. Periksa denyut di apeks jantung, keteraturan denyut jantung dan murmur. g. Periksa denyut nadi, regularitasnya dan isinya, periksa capillary filling. h. Periksa tekanan darah dengan manset yang sesuai. i. Periksa frekuensi pernafasan selama satu menit penuh. j. Warna kulit, mukosa dan kuku. k. Periksa suhu tubuh. l. Sambungkan alat monitor ke pasien dan tentukan batas alarmnya. m. Perhatikan tingkah laku pasien, aktivitas, tonus otot dan respon terhadap rasa nyeri, mengigil, kejang 5

n. Periksa kulit apakah ada tanda-tanda trauma, ptekie, turgor. o. Periksa saluran infus dan alat monitor infasif dan kuatkan fiksasinya p. Isap lendir dari hidung, mulut, faring atau endotrakeal, catat warna, jumlah dan sifat lainnya q. Serah terima dengan pengantar dan seluruh catatan yang dibawanya r. Periksa ukuran tubuh lainnya, panjang, lingkar kepala, lingkar perut s. Bila terpasang NGT, periksa posisi, jumlah dan warna cairan lambung serta berfungsinya NGT tersebut t. Pasang alat penampung urin dan periksa urin terhadap berat jenis dan lainya u. Ambil dan periksa sampel lab lainnya v. Hitung dosis obat emergensi dan tempelkan dekat pasien tersebut. Persiapan dokumen medik Siapkan seluruh lembar dokumen medik yang diperlukan. Persiapan lembar dosis obat untuk emergensi C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pemantauan penderita selama dirawat di ICU Sistim SSP Sistim kardiovaskuler Sistim pernafasan Sistim metabolik dan ginjal Sistim gastrointestinal Sistim hematologis Farmakologis

1. Sistim SSP a. Pemantauan berkala terhadap derajat kesadaran, tonus otot, reaksi terhadap sekitarnya b. Pemantauan secara nilai Glasgow untuk anak c. Ukuran pupil d. Waktu pencatatan/pemeriksaan dikaitkan dengan kondisi pasien 2. Sistim kardiovaskuler a. Denyut jantung, nadi dengan manual dan mesin monitor b. Tekanan darah c. CVP 3. Sistim pernafasan a. Frekuensi nafas manual dengan mesin monitor b. PaO2 monitor c. Keseimbangan asam basa (Astrup) d. Suara nafas e. Sifat, jumlah, warna sekresi mulut dan trakea 6

f.

Foto toraks.

4. Sistim metabolik dan ginjal a. Suhu tubuh b. Berat badan c. Keseimbangan cairan (masukan dan keluaran) d. Urine, berat jenis, dll e. Kadar elektrolit, gula darah 5. Sistem Gastrointestinal a. Lingkaran perut b. Tinja c. Cairan NGT 6. Sistim Hematologis a. Periksa Hb, Ht, darah tepi rutin b. Trombosit dan parameter pembekuan pada kelainan darah 7. Sistim Farmakologis a. Buat dan isi daftar obat yang diberikan secara benar (dosis, waktu dan lama pemberian) b. Pemeriksaan kadar dalam darah c. Pemantauan terhadap efek terapi dan toksisitas D. Jenis Pertolongan yang diberikan 1. Pertolongan sepenuhnya (total support) 2. Pertolongan tetapi tidak diresusitasi (support but not CPR) 3. Tidak dilakukan pertolongan berlebihan (No extra ordinary measure) 4. Mati batang otak 1. Total Support. Penderita sakit gawat dengan fungsi organ tubuh vital terutama otak masih baik atau diharapkan berfungsi baik kembali setelah pengobatan. Pada penderita ini harus diberikan pertolongan semaksimum mungkin termasuk resusitasi. 2. Support but no CPR, penderita sakit gawat dengan fungsi otak minimum sekali sehingga tidak dapat diharapkan perbaikan atau kesembuhan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi berlebihan seperti intubasi, ventilasi mekanik, monitoring invasif dan obat-obat resusitasi khusus. Dan bila terjadi henti jantung tidak diresusitasi. 3. No extra ordinary measure, penderita sakit gawat dengan fungsi otak minimum sekali sehingga tidak dapat diharapkan perbaikan atau kesembuhan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi berlebihan seperti intubasi, ventilasi, mekanik, monitoring invasif dan obat-obat resusitasi khusus. Dan bila terjadi henti jantung tidak diresusitasi.

4. Mati batang otak. Bila terpenuhi kriteria mati batang otak maka semua terapi dihentikan kecuali ventilator (dengan oksigen 21%) dan infus cairan dasar saja.

MATI BATANG OTAK 1. Definisi Penghentian seluruh fungsi otak dan batang otak secara permanen. Keadaan dimana otak penderita tidak berfungsi dan tidak akan berfungsi lagi dengan bantuan kardio pulmonal terus menerus dalam waktu tertentu (1 minggu). Etiologi Trauma, perdarahan, infeksi (misal: ensefalitis, meningitis), hipoksia (misal: cardiac arrest atau tenggelam), edema serebral 3. Diagnosis Kriteria Harvard mati batang otak adalah : 1. Tak reseptif dan tak responsif 2. Tak ada gerakan (observasi selama 1 jam) 3. Henti nafas (3 menit lepas dari ventilator) 4. Tidak ada reflek-reflek 5. EEG isoelektrik, penting untuk konfirmasi Semua tes diulangi paling sedikit 24 jam kemudian tanpa didapat perubahan. Kriteria Minnesota 1. Diketahui ada lesi intrakranial yang tak dapat diperbaiki 2. Tak ada gerakan spontan 3. Henti nafas 4. Reflek-reflek batang otak negatif 5. Semua hasil pemeriksaan tak berubah selama paling sedikit 12 jam 6. EEG bukan suatu keharusan Langkah Diagnosa 3.1. Prakondisi harus disingkirkan sebelum mempertimbangkan diagnosa MBO (mati batang otak): Pada pasien koma yang dalam a. Singkirkan efek obat depresan (sedatif, hipnotik, narkotik) Jika terdapat pengaruh obat depresan, lama efek obat tersebut harus diketahui. Penting untuk diketahui efek toksik farmakologi penyebab koma dan kerusakan hipoksia otak. Waktu observasi tergantung pada farmakokinetik obat, dosis yang digunakan, waktu paruh, status hepar dan renal pasien. Biasanya pengaruh obat menghilang 8-12 jam. b. Singkirkan kemungkinan hipotermi sebagai penyebab

2.

1.

2.

Suhu tubuh menjadi rendah karena depresi pengaturan suhu akibat obat atau kerusakan batang otak. Suhu rektal harus < 35C. c. Singkirkan kemungkinan gangguan metabolik atau endokrin sebagai penyebab. Ureum, elektrolit, asam basa atau konsentrasi gula darah harus dalam batas normal. Pada pasien apnu Pasien harus memakai ventilator jika tidak ada usaha bernafas secara spontan. Singkirkan efek dari relaksan otot, opium, anti depresan. Test diagnostik untuk menentukan mati otak: Syarat sebelum melakukan pemeriksaan: a. Semua faktor prakondisi sudah dilakukan b. Temperatur rektal minimal 35C c. Tekanan darah arteri harus dalam batas normal minimal sesuai dengan usia penderita. d. Trauma Test diagnostik 1. a. Penderita koma dan apnu b. Test fungsi batang otak Test N.Oculomotorius (N.III). Sumber cahaya kuat harus digunakan di dalam ruangan yang gelap untuk melihat reaksi pupil. Tidak ada reflek cahaya, pupil dilatasi maksimal dan terfiksasi di tengah. Yakinkan bahwa tetes mata (dilatator atau konstriktor tidak digunakan). 2. Test N. Trigeminal (N.V) Tidak ada reflek kornea tidak ada respon terhadap tekanan kuat menggunakan lidi kapas pada kornea. 3. Test N.Vestibulo-cochlear (N.VIII). Tidak ada reflek vestibulo-okular tidak ada gerakan mata setelah injeksi lambat 20 cc air es ke dalam salah satu atau kedua telinga. Langkah pertama inspeksi (i) bersihkan jalan masuk ke membran timpani (ii) tidak terdapat penyakit/kerusakan telinga tengah. Kepala ditinggikan 30, kateter kecil diletakkan pada saluran luar dekat membran timpani dan masukan pelanpelan cairan dingin 50 cc dengan syringe. Kedua mata diamati selama 3 menit. Nistagmus dan gerakan penyimpangan bola mata tidak didapatkan. Prosedur yang sama dilakukan pada telinga lain. Adanya penyakit vestibulo koklear bilateral dan kerusakan atau riwayat ototoksisitas karena obat sebelumnya membuat tes ini onvalid. Perforasi membran timpani unilateral bukan kontra indikasi. Tapi karena resiko infeksi, yang pertama diperiksa adalah telinga dengan membran timpani yang utuh. 4. Test N.Trigeminus (N.V) dan N. Facialis (N.VII) Tidak ada respon motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat pada area somatik. Sebelum memeriksa respon motorik terhadap

stimulus nyeri, pertama pastikan bahwa tidak ada gerakan spontan. Bila ada, kematian otak tidak dapat dinyatakan. Respon nyeri diperoleh dengan memerikan tekanan kuat pada kedua saraf supraorbita. Stimulus kuat yang tiba-tiba pada tubuh dan kedua ekstremitas kadang-kadang menimbulkan reflek spinal (kontraksi motorik dari otot-otot yang tidak berhubungan dengan distribusi saraf otak) pada penderita kematian otak. Pada kasus ini, kontraksi tidak berkala, tidak spontan dan tidak terlokalisir pada tempat stimulus. Adanya reflek spinal tidak menyingkirkan kematian otak, ia hanya menunjukkan bahwa spinal cord masih utuh. Sebaliknya respon nyeri dilakukan pada beberapa tempat (supratroklear, strenum, tulang iga dan bagian distal ekstremitas). 5. Tes N.Glossopharyngeal (N.IX) dan N.Vagus (N.X) Tidak ada reflek batuk dan reflek muntah terhadap rangsang faring, laring dan trakea. Untuk mendapatkan reflek batuk dan reflek muntah digunakan kateter panjang untuk menghisap ke dalam bronkus melalui tube endotrakeal. Penghisapan pada tenggorokan bagian belakang saja bukan merupakan stimulus yang adekuat.

3.2.3. Tes apnu Syarat test apnu: PaCO2 minimal 45 mmHg Cara test apnu: - Berikan O2 100% paling sedikit selama 5 menit. - Lepaskan dari ventilator, berikan O2 2-4 l/m melalui ETT untuk mempertahankan oksigenasi. - Tunggu selama 5-10 menit. - Pada akhir pemeriksaan lakukan analisa gas darah. - Sambungkan lagi dengan ventilator Test apnu tidak dilakukan bila tekanan darah turun dan SpO2 < 90. Untuk konfirmasi lakukan EEG. Test untuk apnu meliputi penghentian ventilator ketika PaCO2 mendekati normal, untuk memastikan PaCO2 mencapai batas dapat merangsang pusat medula dan mengamati pergerakan nafas. Normal PaCO2 50 mmHg (6,7 kPa) cukup merangsang pusat medula, tetapi direkomendasikan batas 60 mmHg (8 kPa). Analisa gas darah digunakan untuk mengatur PaCO2 (penurunan PH arteri menjadi 7,3 dapat juga diperkuat dengan rangsang respirasi yang kuat). 3.2.4. Elektroensefalografi Pada kriteria Harvard, EEG digunakan untuk konfirmasi tetapi pada kriteria Minnesota, EEG bukan suatu keharusan. 3.2.5. Cerebral blood flow Dapat dipakai sebagai konfirmasi jika test diagnostik dan EEG tidak dapat dilakukan 4. Sertifikasi mati batang otak

10

Dikeluarkan setelah diperiksa dan dilakukan oleh 2 dokter yang berpengalaman, salah satunya harus neurologi atau bedah saraf. Diperiksa secara terpisah Dilakukan 2 dengan jarak waktu 12-14 jam Hal lain yang harus diperhatikan: 1. Pemeriksaan lengkap dan terpisah. Observasi terhadap koma paling sedikit 4 jam, tidak ada batuk, muntah dan aktivitas otot. Walaupun waktu observasi pada pemeriksaan pertama paling sedikit 12 jam pada pasien kerusakan primer hipoksia otak. Setelah itu dilakukan test formal yang kedua dengan interval jam. Waktu yang menyatakan mati pada sertifikat adalah setelah pemeriksaan kedua. 2. Test untuk menentukan mati otak harus dilakukan oleh 2 dokter yang berpengalaman dan ditunjuk oleh Rumah Sakit. Setiap dokter harus melakukan 1 pemeriksaan walaupun keduanya melakukan pemeriksaan yang sama. 3. Demonstrasi objektif terhadap tidak adanya aliran darah serebral. Dibutuhkan jika prasyarat tidak dapat memuaskan atau ragu terhadap diagnosis yang ada. 4. Reflek okulosefalik dan EEG adalah test yang selalu pada diagnosa mati otak. 5. Keluarga pasien harus diberi dukungan. Ini adalah suatu keputusan medik untuk meninggalkan bantuan hidup dan keluarga harus dibantu untuk menerima situasi ini. Pencabutan respirator setelah kematian otak 1. Pasien sudah dinyatakan mengalami kematian otak 2. Keluarga harus diberitahu bahwa pasien telah mengalami kematian otak. 3. Sekali pasien dinyatakan meninggal, respirator harus sesegera mungkin dicabut. Pada kasus donor organ, respirator dicabut segera setelah pengangkatan organ. 4. Pencabutan respirator harus dilakukan oleh dokter. 5. Pencabutan respirator tidak boleh dilakukan di depan keluarga

11

BAGAN ALUR EVALUASI AWAL TERHADAP ANAK PRIMARY SURVEY

AIRWAY (Jalan nafas) Patent Pertukaran gas yang adekuat

BREATHING (pernafasan) Kecepatan Irama Bunyi nafas Stridor Warna kulit

CIRCULATION (sirkulasi) Denyut jantung Irama Isi nadi Capillary refill Suhu

DISABILITY (neurologik) Glasgow coma scale Pupil Postur Status mental

EXPOSURE 1. Suhu

SITUASI YANG MENGANCAM JIWA Ya Oksigen Intubasi/bantuan ventilator Kompresi dada Ya IV/akses intraosseous Penatalaksanaan syok Pipa orogastrik Ya Monitoring Tidak SECONDARY Pemeriksaan kepala jari kaki Riwayat sebelumnya Tidak Hasil laboratorium Hasil radiografi Tidak Evaluasi ulang

12 SITUASI YANG MENGANCAM JIWA

GAGAL NAFAS (RESPIRATORY FAILURE) 1. Batasan Kegagalan pertukaran gas antara atmosfir dan darah sehingga terjadi hipoksia dan hiperkarbia. 2. Etiologi A. JALAN NAFAS EKSTRATORAKAL Lesi didapat: Infeksi di jalan nafas, trauma jalan nafas, aspirasi dll, Lesi kongenital : Stenosis subglotis, trakeomalasia, laringomalasia,dll

B. JALAN NAFAS INTRATORAKAL DAN PARU-PARU


ARDS,Asma, Aspirasi,Bronkiolitis, Hampir tenggelam, Pneumonia Edema paru, Emboli paru, Sepsis, dll

C.

POMPA NAFAS ( Ventilasi) Gangguan pada dinding dada : Eventrasi diafragma, Hernia diafragmatika Gangguan pada otot nafas: Distrofi muskuler Duchenne, Sindroma Guillain Barre, Trauma medulla spinalis Gangguan kontrol pernafasan sentral: Infeksi SSP, Trauma otak

3.

Patogenesis:

Gagal Ventilasi
Volume alveolus

Gagal oksigenasi

Gagal mempertahankan jalan nafas Ekstra ksi O2 , PaO2, PaCO2

Frekuen si nafas Defek Ventilasi/pe pada difusi rfusi alveolar mismatch PaCO2 PaO2 Gagal Nafas 13

14

4. Diagnosis Ditentukan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dan kriteria klinis setelah diberikan suplementasi Oksigen 100% serta penyakit yang mendasarinya Kriteria klinis Agitasi hebat atau letargi, kesadaran menurun, penurunan respon termasuk terhadap sakit. Takipnea, Vasokonstriksi perifer, kulit motled Sianosis walaupun sudah diberikan oksigen 100 % Upaya nafas meningkat : retraksi berat, nafas cuping hidung, stridor, wheezing, nafas merinting, head bobbing pada bayi. Pergerakan udara yang inadekuat : tangis lemah, pengembangan dada, bunyi nafas menurun. Apnue/ Bradipnue, Gasping, respiasi agonal, hipotensi Kriteria fisologik - SpO2 < 90 % setelah diberikan 0ksigen 100% - Hipoksemia setelah diberikan terapi oksigen: Pa O2 < 75 mmHg, SaO2<90% - Hyperkarbia PaCO2 > 60 mmHg - Indeks Oksigen meningkat > 25-35 mmHg - PaO2/ Fi O2 <200 mmHg - A-aDO2 > 20 mmHg 4. Langkah diagnosis a. Adanya riwayat gangguan pernafasan dan penyakit/infeksi saluran nafas. b. Tentukan gejala dan tanda keadaan yang akan menjadi gagal nafas.(lihat tabel) Kesadaran menurun, letargi, agitasi/ iritabel. Takipnu, takikardi Upaya nafas meningkat : retraksi berat, nafas cuping hidung, adanya stridor dan wheezing, nafas merintih, head bobbing pada bayi. Pergerakan udara/ ventilasi inadekuat : tangis lemah, pengembangan dada, bunyi nafas menurun. - Berikan oksigen 100% selama 1 jam evaluasi klinis dan/ atau laboratoris (AGD) c. Tentukan gejala telah terjadi gagal nafas Penurunan kesadaran dalam respon termasuk terhadap sakit, Takipnue dengan periode apnu. Bradipnu atau gasping

13

Kerja otot pernafasan sangat berat atau menurun. Pergerakan aliran udara/ ventilasi menrun, tangis lemah Bradikardi, perfusi sistemik menurun (kulit dingin, motled, pucat capillary refil memanjang) Hipoksemia meski telah diberikan suplementasi oksigen (PaO2<75 mmHg dengan FiO2 1,0) atau SpO2< 90% Adanya tanda peningkatan shunt intrapulmoner (lihat lampiran) Peningkatan gradien oksigen alveolus/arteri (>25-50 mmHg) Penurunan rasio PaO2/FiO2 (<180-240 mmHg) Peningkatan Indeks Oksigenasi (>10) Tabel. Assesment Kegawatan Respirasi Pada Anak Mengancam gagal nafas Obstruksi parsial, sekret banyak Meningkat Gagal nafas/Henti nafas Obstruksi total atau hampir total Melemah atau meningkat dengan periode melemah/apnu Merintih, sangat melemah, tidak ada Takipnu, takipnu dengan periode bradipnu, bradipnu, apnu Menurun atau tidak ada Pucat, mottled,sianosis <90%

Airway/ jalan nafas Kerja pernafasan/ Usaha nafas Suara nafas Frekuensi nafas

Wheezing/stridor, melemah Takhipnu

Gerak dada Kulit SpO2

dinding Normal atau menurun Normal/pucat <95%

5. Penatalaksanaan 1. Bebaskan dan pertahankan jalan nafas tetap paten. Bila gagal nafas lakukan intubasi endotrakeal. 2. Pertahankan oksigensi adekuat. Berikan oksigen 100%. Bila abnormalitas pertukaran gas ringan dan hanya membutuhkan sedikit lebih banyak F102, oksigen dapat diberikan melalui kanul nasal dengan kecepatan aliran 1-6 L/menit, bila membutuhkan lebih banyak FiO2 dapat diberikan dengan sungkup (lihat tabel). Bila tidak ada perbaikan dan anak jatuh dalam kriteria gagal nafas berikan Oksigen 100 % dengan ventilasi mekanik. 3. Pertahankan ventilasi yang cukup. Bila ventilasi tidak dapat dipertahankan berikan bantuan ventilasi dengan ventilasi mekanik.

14

4. Bila sarana ada, lakukan pemeriksaan AGD, pertahankan PaO2 >60 mmHg dan saturasi oksigen arteri >90%. 5. Foto thorax bila memungkinkan, untuk mencari etiologi 6. Obati penyakit yang mendasari. Cara pemberian oksigen, aliran oksigen yang digunakan dan hasil FiO2 yang didapat. Cara pemberian Sistim aliran rendah Kanul nasal Sungkup oksigen tanpa reservior Sungkup dengan reservior Aliran Oksigen yang diberi (L/menit) 1/8 2 (bayi) 1-6 (anak) 5-8* %FiO2 yang didapat 24-44 24-44 60-99

6-10* Sistim aliran tinggi Sungkup venturi sesuai klep aliran 24-50 Nebulizer 8-10 30-100 Oxygen tent 15 24-100 Oxygen hood 10-14 24-40 Dibutuhkan aliran oksigen >5 L/menit untuk mengeluarkan udara ekspirasi dari sungkup.

Kompilkasi Cardio respiratory arrest Prognosis Tergantung dari etiologi dasar yang menyebabkan gagal nafas.

15

VENTILASI MEKANIK 1. Batasan Alat yang mempunyai fungsi membantu ventilasi dan oksigensi sesuai dengan indikasi klinik. 2. Indikasi Mencegah/mengatasi asidosis respiratorik yang bermakna akibat terjadinya peningkatan PaCO2 atau untuk mengatasi hipoksemia arteri setelah pemberian oksigen sungkup tidak mencukupi. a. Gangguan fungsi ventilasi : Disfungsi otot pernafasan : - Kelelahan otot pernafasan - Abnormalitas dinding dada Penyakit neuromuskuler Usaha nafas menurun Resistensi jalan nafas meningkat dan/atau adanya obstruksi b. Gangguan oksigenasi : Hipoksemia refrakter Memerlukan peningkatan PEEP Peningkatan usaha nafas Trauma c. Sebab lain yang menggangu pernafasan :Pembedahan : operasi yang berlangsung lebih dari 8 jam Pembedahan dinding dada, kraniotomi Trauma 3. Tahap-tahap pengaturan ventilasi mekanik a. Siapkan alat : Pastikan apakah ventilator dapat berfungsi dengan baik dan dalam keadaan bersih Power/sumber tenaga bekerja dengan baik Sumber aliran gas/oksigen baik, working pressure telah disetel sesuai dengan petunjuk teknis. Tidak ada kebocoran sambungan sirkuit saluran gas. Humidifikasi telah terpasang, batas cairan cukup dan pengaturan suhu disetel sesuai keperluan. b. Setting awal Tentukan jenis bantuan ventilasi Tergantung kebutuhan dan indikasi Siklus volume : bisa dipakai untuk anak dengan berat badan > 10 kg

16

Siklus tekanan : dipakai pada anak < 10 kg, pada bronkopneumonia, ARDS. Penetapan modus ventilasi Tergantung kebutuhan dan modus disediakan oleh merek/jenis ventilator Modus modus dasar ventilasi mekanik : Continous / controlled mechanical ventilation (CMV) Merupakan modus kendali penuh, semua pernafasan penderita diatur sepenuhnya/ dikendalikan/diambil alih oleh mesin. Oleh karena itu dalam penggunaan modus ini harus terus menerus dilakukan penyesuaian sesuai perubahan kebutuhan ventilasi penderita. Digunakan untuk penderita yang tidak mempunyai aktifitas pernafasan atau untuk penderita yang ingin diatur pernafasannya. Pada modus CMV ini dibutuhkan sedasi dan pelemas otot untuk menghilangkan upaya bernafas dari penderita. Assist-control ventilation / assisted mechanical ventilation (ACV/AMV) Pada modus AMV ventilator memberikan bantuan pernafasan, namun dengan trigger yang dibuat oleh penderita/dengan usaha nafas penderita. Modus ini digunakan pada penderita yang mempunyai nafas spontan tapi kurang adekuat atau penderita dengan distres pernafasan yang baru terjadi. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation Pada modus ini mesin memberikan ventilasi hanya terhadap sebagian nafas penderita. Modus ini biasanya digunakan untuk penyapihan penderita keluar dari ventilasi mekanik. Pressure Support Ventilation Pada modus ini penderita bernafas spontan namun diperkuat dengan tekanan positif selama inspirasi. Biasanya digunakan pada waktu penyapihan dimana penderita sudah bernafas spontan teratur. Continous Positive Pressure Ventilation (CPAP) Penderita bernafas spontan. Mesin memberikan tekanan positif pada akhir alur ekspirasi dengan aliran gas secara terus menerus. Penjelasan lain Pada siklus volume Tentukan frekuensi respirasi sesuai usia anak Tentukan volume tidal, biasanya 8-10 cc/kg Tentukan Minute volume: hasil perkalian volume tidal dengan frekuensi respirasi. Tentukan I: E rasio: Bayi = 1 : 1 sampai 1 : 1,5 ; anak 1 : 1,5 sampai 1 : 2 (Pada modus kendali penuh). Pada modus lainnya tentukan waktu inspirasi. Tentukan PEEP : PEEP fisiologis 3-5 cmH2O, dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.

17

Bila digunakan modus kontrol (CMV/AMV tentukan trigger, biasanya 20 cmH2O. Pada modus lainnya trigger dibuat -2. Pada Siklus tekanan Tentukan tekanan yang akan diberikan (PIP). Biasanya 12-18 cmH2O, untuk penyakit paru dengan compliance menurun 20-25 cmH2O, maksimal 30-35 cmH2O Tentukanfrekuensi respirasi. Tentukan I:E rasio : bayi = 1 : 1 sampai 1 : 1,5 ; anak 1 : 1,5 sampai 1 : 2 (pada modus kendali penuh) Pada modus lainnya tentukan waktu inspirasi Pada modus tidak kendali penuh : tentukan waktu inspirasi. Waktu inspirasi 0.5-1,5 detik tergantung usia penderita. Pada bayi dan anak-anak rata-rata 0,75 detik. Tentukan PEEP : PEEP fisiologis 3-5 cmH2O, dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.

Pemberian kadar oksigen (FiO2) Pada setting awal dapat diberikan 60-100%. Kemudian diturunkan sesuai dengan kebutuhan setelah diperiksa analisa gas darah (AGD). AGD (bila ada sasaranya) dilakukan tiap 30-60 menit setelah pemasangan ventilator. Menurunkan FiO2 bertahap 5-2% tiap 30-60 menit sampai target FiO2 yang diharapkan. Menurunkan FiO2 dilakukan secara bertahap sambil memantau SpO2, kerja pernafasan dan frekuensi jantung. Target penurunan FiO2 dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus PAO2 = (PB PH2O) PaCO2 AaDO2 = PAO2 PaO2 FiO2 = (AaDO2 + 100) : 760 x FiO2 yang diberikan Kecepatan aliran gas : Biasanya adalah 4 10 l/menit. Pada bayi 2-3 l / kgBB. Pada anak 2-3 kali minute volume. Pengaturan alarm c. Penyambungan ke penderita Setelah berjalan lancar, ventilator segera dihubungkan dengan pasien. Lakukan pemantauan klinis apakah suara nafas daerah paru kiri dan darah paru kanan sama kuat. Apakah pengembangan dada cukup adekuat. Lihat ulang apakah tekanan atau volume tidal sesuai yang diharapkan. Periksa ulang batas keamanan (alarm) d. Penyesuaian setting

18

Dilakukan setelah beberapa kali siklus ventilasi. e. Pemantauan Harus dilakukan pemantauan / pengawasan ketat terhadap : Fungsi sistem kardiovaskuler Frekuensi jantung, tekanan darah, monitor EKG dan curah jantung. Fungsi sistem pulmonal. Volume tidal, kerja otot pernafasan, frekuensi dan irama pernafasan, pengembangan dada, kualitas suara nafas, suara nafas tambahan. Fungsi sistim lain : tingkat kesadaran, diuresis, suara nafas tambahan Fungsi ventilator : Rate respirator / master rate. Volume tidal mesin, minute volume, PIP, FiO2, waktu inspirasi (I : E rasio), besarnya PEEP. Temperatur udara yang dialirkan ke penderita. Fungsi pernafasan / jalan nafas : penumpukan sekret pada jalan nafas, kedalam letak pipa endotrakeal (ETT). (kontrol foto toraks dapat dilakukan untuk konfirmasi) 4. Gejala dan Tanda Perburukan pada Pemakaian Ventilator Respirasi : Warna kulit : sianosis, pucat, mottled Apnu atau bradi/takikardia + perubahan warna kulit AGD : darah arteri PaO2 <50, PaCO2 > 50 mmHg darah kapiler PkO2 < 40, PkCO2 > mmHg pH < 7,25 atau > 7,50 Suara nafas : menghilangkan , ronki, wheezing paru kiri kanan sama Sekret bronkus berbusa dan ada darah segar perubahan warna dan berbau Frekuensi nafas : total RR pada IMV > 60 x / menit Kardiovaskuler Tekanan darah sistolik < 60 atau > 110 mmHg (tergantung batas normal sesuai umur) Tekanan nadi melebar atau > 30 mmHg Jantung : bising jantung, pergeseran iktus, bunyi jantung melemah, aritmia. Neurologis - Ubun-ubun - SSP

: melebar/membenjol, ICP naik : kesadaran turun, gelisah, kejang

19

- Otot

: hipertonis, lumpuh

Hematologis Anemia Darah tepi Kadar trombosit kurang, perdarahan (+) Eksresi dan metabolik Diuresis : < 1 ml/kgBB/jam BJ urin < 1.001 atau >1.012 Glikosuria, proteinuria Hipoglikernia/hiperglikemia Balans cairan positif, BB naik > 10% Pencernaan -

Distensi abdomen, muntah, bising usus (-) Residu lambung >, tanda obstruksi usus (+)

f. Komplikasi Pulmonal : barotrauma (pneumotoraks, pneumoperikardial, emfisema kutis) Sirkulasi : penurunan venous return dan curah jantung, hipotensi Renal : diuresis berkurang, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Serebral : perubahan tekanan intrakranial, iskemi serebri Lain-lain: komplikasi intubasi endotrakeal : trauma laring Infeksi nosokomial

PENYAPIHAN DARI BANTUAN VENTILASI 1. Batasan Pengurangan bertahap bantuan ventilasi mekanis oleh mesin sampai penderita dialihkan hingga bernafas spontan. 2. Indikasi Keadaan klinis penderita stabil dengan FiO2 40% Bila ada sarana pemeriksaan AGD dapat ditentukan berdasarkan : PaO2 > 60 mmHg dengan FiO2 < 35 mmHg AaDO2 < 350 mmHg pada FiO2 1.0 Rasio PaO2/FiO2 > 200 Fungsi ventilasi baik Volume tidal nafas spontan > 5 cc/kg Kapasitas vital (pada nafas spontan) > 10-15 cc/kg

20

PEEP < 4 cm H2O Hemodinamik stabil dan bebas dari kemungkinan gagal sirkulasi. Tidak ada gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.

3. Modus Penyapihan Tidak ada patokan yang paling tepat. Harus dilakukan percobaan dan pemantauan klinis/analisa gas darah yang ketat serta tergantung dari toleransi penderita. a. Percobaan dengan IMV Pada penyapihan cepat, frekuensi IMV diturunkan 1-2 kali / 1-5 menit sambil mengawasi keadaan klinis penderita. Pada penyapihan lambat, frekuensi IMV diturunkan 20-25% setiap 2-4 jam. Awasi klinis penderita dan AGD (bila tersedia sarananya). Bila respon tidak baik, frekuensi IMV dikembalikan ke frekuensi semula kemudian diulang lagi keesokan harinya dan seterusnya. b. Pressure Support Biasanya dilakukan pada anak besar. Penderita dibantu dengan tekanan positif yang tetap sepanjang inspirasi. Penderita mengatur sendiri irama nafas, waktu bertahap sampai ekstubasi. c. Percobaan dengan CPAP Lanjutan dari percobaan IMV. Bila frekuensi IMV 6 x/menit, modus dilalihkan ke CPAP. Ditunggu 1-2 jam bila memberikan respon baik dilakukan estubasi. Bila respon tidak baik kembalikan ke IMV. 4. Tata cara penyapihan a. Lakukan penyapihan pada pagi hari setelah penderita cukup istirahat di malam hari. Posisi anak sebaiknya setengah duduk atau kepala dan dada dalam posisi yang lebih tinggi. b. Semua obat sedasi dan pelumpuh otot sudah dihentikan dan habis pengaruhnya untuk menghindari depresi pernafasan. c. Setting ventilator FiO2 diturunkan bertahap 2-5% pada bayi, pada anak besar 5-10% pada bayi setiap 15-30 menit sambil mengawasi keadaan klinis penderita (SpO 2, HR, RR, sianosis, gelisah, berkeringat, dll) Pada siklus tekanan PIP diturunkan 2 cm H2O tiap 2 4 jam sampai batas kemampuan penderita mengembangkan dinding dada. Setelah stabil baru turunkan frekuensi IMV. PEEP dikurangi tiap 2 cm H2O setiap 24 jam dan dipertahankan pada 23 cm H2O d. Parameter kegagalan percobaan penyapihan Peningkatan / penurunan HR > 20 / menit

21

Peningkatan frekuensi nafas > 10 / menit Tekanan diastolic naik / turun > 20 mmHg Penurunan kesadaran, gelisah Pernafasan paradoksai SpO2 < 90% Perburukan hasil AGD e. Ekstubasi Dilakukan pada penderita yang berhasil disapih Bernafas spontan dengan CPAP dan PEEP rendah dengan FiO2<0,4 selama 1-2 jam/beberapa jam. Refleks batuk adekuat, lendir jalan tidak kental dan jumlahnya minimal Fungsi kardiopulmonal, neurologik, renal baik. Penderita sadar sepenuhnya. Hasil AGD baik (bila ada sarananya) Persiapan ekstubasi Siapkan alat untuk melakukan reintubasi bila terjadi kegagalan ekstubasi Oksigen Puasa 2-3 jam sebelumnya Suction ETT dan berikan oksigensi dan ventilasi sesaat sebelum ekstubasi Berikan deksmetason 0,5 mg/kg (maksimum 10 mg) beberapa saat sebelum dan 6 jam setelah ekstubasi. Pemantauan pasca ekstubasi Monitor ketat selama 24 jam. Tanda-tanda obstruksi jalan nafas : takikardia, takipnu, stridor, usaha nafas meningkat.

SYOK Definisi Syok adalah sindrom klinik akibat kegagalan sistim sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan nutrien dan oksigen dari segi pasokan maupun penggunaannya untuk metabolisme selular jaringan tubuh, sehingga terjadi defisiensi akut oksigen di tingkat selular. Manifestasi Klinis Secara klinis syok terbagi ke dalam 3 fase yaitu : fase kompensasi, dekompensasi dan irreversible.

22

Gejala Klinis Kehilangan darah (%) Frekuensi jantung Volume nadi Pengisian kapiler Kulit RR Tingkat kesadaran

Kompensasi Sampai dengan 25 Takikardi + Normal/menurun Normal/meningkat Dingin, pucat Takipnu + Agitasi ringan

Dekompensasi 25-40 Takikardi ++ Menurun + Meningkat + Dingin, Mottled Takipnu ++ Berkooperasi

Irreversible >40 Takikardi/Brakikardi Menurun ++ Meningkat Pucat mati Sighing respiration Bereaksi hanya kepada rasa sakit atau tidak responsif

Etiologi syok. Diklasifikasikan : 1. Syok Hipovolemik Jenis syok ini paling sering terjadi pada anak. Terjadi kekurangan volume intravaskular.Aliran darah ke jaringan dan organ menurun. 2. Syok kardiogenik Syok terjadi akibat disfungsi miokard. Terjadi kegagalan pompa jantung. 3. Syok distributif Syok distributif disebabkan oleh maldistribusi aliran darah. Venous return menjadi tidak mencukupi oleh karena darah terkumpul di ekstremitas, menyebabkan penurunan preload, akibatnya cardiac output turun dan perfusi jaringan berkurang. Terdapat 3 jenis syok distributif : 1. Syok anafilaktik, terjadi akibat adanya reaksi alergi, ditandai vasodilatasi masif dan peningkatan permeabilitas kapiler. 2. Syok Neurogenik, terjadi apabila tonus simpatis menjadi hilang, menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena yang masif. 3. Syok septik, terjadi karena infeksi. 4. Obstruktif

23

Hambatan aliran darah ke luar jantung. Contohnya coartasio aorta

Patogenesis terjadinya syok


Syok hipovolemik Syok septik Mediator Kebocoran Kapiler vasodilator Depresi miokard Syok kardiogenik

Preload Cardiac output

Kontraktilitas Tekanan darah

Terkompensasi

Pengeluaran simpatetik

Cardiac output dan tekanan darah membaik

Vasokontriksi denyut jantung Kontraktilitas

Perfusi miokardial Kebutuhan oksigen miokard

Cardiac output

Iskemia jaringan

Pelepasan mediator

Fungsi sel Kematian sel Kematian Hilangnya Autoregulasi mikrosirkulasi

24

Diagnosis 1. Riwayat penyakit. Dari riwayat penyakit penderita dapat diperoleh dugaan dan penyebab syok yang sangat penting untuk didiagnosis dan tatalaksana yang tepat. Sebagian penyebab syok adalah syok hipovolemik karena dehidrasi atau perdarahan (trauma) diikuti oleh spesis dan kelainan jantung bawaan. 2. Pemeriksaan klinis Tentukan status kardiovaskuler antara lain frekuensi jantung, kualitas nadi, kecepatan pengisian kapiler (capilary refill) , kaki tangan dingin, gangguan perfusi kulit (pucat, mottled , sianosis) dan tekanan darah. Pengaruh gangguan sirkulasi terhadap organ vital lain : yaitu frekuensi dan tipe pernafasan, tingkat kesadaran) dan produksi urin. Tatalaksana Resusitasi awal : 1. Airway Berikan oksigen (FiO2 100%), bila perlu ventilatory support 2. Breathing 3 Circulation Pasang akses vaskuler secepatnya untuk resusitasi cairan dan berikan cairan kistaloid atau koloid sebanyak 10-20 cc/kgBB (selama kurang dari 10-20 menit) dan bisa diulang 2-3 kali sampai nadi teraba kembali (setelah dilakukan pemantauan) Pemantauan awal : 1. Nilai respon penderita terhadap pemberian fluid challenge (loading) dengan memantau status kardiovaskuler/tanda vital dan perfusi perifer. 2. Pasang kateter urin untuk menilai respon perbaikan sirkulasi dnegan memantau produksi urin 3. Ambil pemeriksaan urin darah cito untuk darah tepi, analisa gas darah, kadar glukosa dan elektrolit (bila perlu kultur, resistensi dan golongan darah).

25

Bila dilakukan pemantauan respon positif tetapi syok belum teratasi maka resusitasi dapat diulang 2-3 kali. Bila tidak ada respon kemungkinan syok yang lain. Resusitasi lanjutan : 1. Bila resusitasi lanjutan telah diberikan (2-3 fluid challenge) dimana kurang lebih 40-50% dari volume darah telah diberikan namun masih belum ada respon yang adekuat, maka dilakukan intubasi dan bantuan ventilasi. Evaluasi hasil analisis gas darah dan koreksi asidosis metabolik bila pH< 7,15. 2. Bila masih terdapat hipotensi dan nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter vena sentral untuk pemberian resusitasi cairan berikutnya berdasarkan nilai CVP. 3. Nilai kembali kenaikan CPV setelah pemberian fluid challenge secara berhatihati. 4. Evaluasi apakah efek inotropik negatif yang terjadi pada syok telah dikoreksi, sebelum pemberian obat inotropik dimulai. Obat vasoaktif diberikan bila diyakini tidak terdapat lagi hipovalemia dan oksigensi telah adekuat. 5. Bila kadar Hb< 5g/dl, koreksi dengan tranfusi PRC (10 ml/kgBB). Medikamentosa 1. Dopamine Diberikan pada hipotensi atau perfusi perifer buruk dengan volume intravaskuler cukup dan irama jantung stabil. Dosis Efek 5-10 mcg/kg/min IV Meningkatkan kontraktilitas miokard, curah jantung, dan konduksi otot jantung 10-20 mcg/kg/min iv Vasokontriksi perifer dan tekanan darah sentral >20 mcg/ kg/min iv Vasokontriksi tanpa efek inotropik Dosis maksimum yang dianjurkan 15 mcg/kg/min. Bila dosis maksimum (12.5-15 mcg/kg/min) tercapai belum memberikan efek adekuat tambahkan inotropik lainnya sesuai keadaan hemodinamik. Dopamin dapat menyebabkan takikardi (meningkatkan kebutuhan oksigen miokard), aritmia, supra dan ventrikular takikardia dan hipertensi. Dopamin dosis tinggi dapat menyebabkan vasokontriksi perifer berat dan iskemia. 2. Dobutamin Diberikan pada hipoperfusi. Paling efektif untuk gagal jantung kongestif berat dan syok kardiogenik terutama kardiomiopati karena bisa menurunkan resistensi vaskuler perifer. Dosis dimulai 5 mcg/kg/min dan dinaikkan bertahap sampai 12.5 mcg/kg/min.

26

Dobutamin sedikit dapat menyebabkan takikardia, takiaritmia, atau ectopic beat. Efek samping lain adalah mual, muntah dan hipotensi.

3. Epinephrine Diberikan pada perfusi sistemik buruk atau hipotensi non hipovolemik, yaitu bila saat resusitasi terdapat bradikardi, asistole atau nadi tak teraba. Dosis rendah < 3mcg/kg/menit meningkatkan kontraktilitas miokard, laju denyut jantung, TD sistolik dan tekanan nadi. Dosis > 3 mcg/kg/menit peningkatan TD sistolik dan diastolik dan menyempitkan tekanan nadi. Dosis dimulai pada 0.05mcg/kg/min IV dan titrasi sampai memberikan efek. Pada kasus berat dosis 2-3 mcg/kg/min IV. Efinefrin dapat menyebabkan supraventrikular, ventrikular takikardia dan ventrikular ektopik. 4. Norepinephrine Merupakan vasopresor yang dipakai untuk hipotensi yang resistensi terhadap pemberian bolus cairan dosis tinggi. Dosis hampir sama dengan epinephrine dimulai pada 0,05 mcg/kg/min IV. Pemantauan Lanjut : 1. Carilah penyebab syok lainnya yang mungkin terjadi (perdarahan akibat trauma tumpul abdomen, pneumothoraks, syok kardiogenik, tamponade jantung, dll). Foto thoraks secepatnya bila kondisi klinis stabil, konsultasi bedah bila diperlukan. 2. Setelah diresusitasi cairan dilakukan, berbagai kemungkinan disfungsi organ lain akibat syok perlu dievaluasi untuk tatalaksana lanjutan. Gagal prerenal (ATN = Acute Tubular Necrosis) periksa kadar ureum, kreatinin dan fraksi eksresi natrium. ARDS = (Acute Respiratory Distress Syndrome/Shock Lung) edema dan kerusakan jaringan paru dapat terjadi pasca syok, bantuan ventilasi mekanik dan pemberian PEEP mungkin diperlukan. Depresi miokardinal. Untuk memperbaiki kontraktilitas jantung obat inotropik positif dan pemantauan intensif mungkin diperlukan (pemasangan Swans Gans Kateter) Gangguan koagulasi/pembekuan. Akibat lanjut syok, dapat timbul DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), hal tersebut perlu dicermati, bila timbul kecenderungan

27

perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan gangguan pembekuan/masa perdarahan (BT/CT, PT/PTT, FDP, Trombosit). SSP, dan organ lain Evaluasi gejala sisa. SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap hipoksik iskemik yang dapat terjadi pada syok berkepanjangan (prolonged shock). Demikian pula organ lainnya harus dipantau seperti hati dan saluran pencernaan. Syok Septik 1. Definisi : Sindroma respons inflamasi sistemik (SIRS) : respons system terhadap berbagai kelainan klinis berat (misalnya) infeksi, trauma, luka bakar). Sindroma tersebut muncul bila ditemukan dua atau lebih keadaan berikut ini : - suhu tubuh > 38oC atau <36oC - denyut jantung per menit > 2SD diatas nilai normal untuk umur. - Laju nafas per menit > 2SB diatas nilai normal untuk umur. - Hitung lekosit > 12 x 109/L, <4 x 109 atau > 10% sel batang. Sepsis : respons sistemik terhadap infeksi (SIRS plus infeksi) Syok septik : Sepsis yang disertai hipotensi walaupun telah diberi resusitasi cairan adekuat, ditambah gangguan perfusi seperti pada sepsis berat. Anak dapat mengalami gangguan perfusi walaupun belum ditemukan hipotensi Hipotensi : tekanan darah sistolik > 2 SB dibawah rata-rata (MAP). Kegagalan sirkulasi terjadi bila : - MAP M< 40 mmHg untuk usia 3-6 bulan - MAP M< 45 mmHg untuk usia 6-12 bulan - MAP M< 50 mmHg untuk usia 1-4 bulan - MAP M< 55 mmHg untuk usia 4-10 bulan - MAP M< 60 mmHg untuk usia 10-14 bulan - MAP M< 65 mmHg untuk usia 14-18 bulan
Fokus infeksi

Produk dinding sel bakteri

I.

Patofisiologi :
Produk dinding sel bakteri Mediator primer (TNF, IL-1, lain-lain) Aktivasi molekul Endotel/lekosit Stimulasi Kallkrein-kinin Mediator sekunder (PAF, elcosanoids, interleukin lain) Vasodilatasi dan Kerusakan endotel Syok MODS Kematian Kebocoran kapiler dan kerusakan endotel Stimulasi PMN Aktivas sistim koagulasi

Produk dinding sel bakteri

28

II. Diagnosis Banding : 1. Infeksi : bakteriemia/meningitis, virus ensefalitis, rikettsiae, sifilis, reaksi vaksin, reaksi toxin-mediated 2. Kardiopulmonal : pneumonia, emboli pulmonal, gagal jantung kongestif, aritmia, perikarditis, miokarditis. 3. Metabolik-endokrin : insufisiensi adrenal, gangguan elektrolit, diabetes isipidus,diabetes mellitus, gangguan metabolic, hipoglikemia, sindroma reye. 4. Gastrointestinal : Gastroenteritis dengan dehidrasi, volvulus, intusepsi. 5. Hematologi : anemia, methemoglobin, leukemia atau limfoma. 6. Neurologi : intoksikasi, perdarahan intrakranial, trauma. 7. Lain-lain : anafilaksis, SHU, Sindroma Kawasaki, eritema multiform. III. Manifestasi Klinis : Manifestasi klinis yang mungkin terjadi pada tahap awal atau tahap lanjut penyakit sangat bervariasi tetapi pada umumnya spesifik untuk usianya.

Syok Septik hangat Syok Septik dingin Takikardia Takikardia Nadi kuat Nadi lemah Penurunan kesadaran Penurunan kesadaran Tekanan nadi lebar (tek diastolic menurun) Tekanan nadi sempit Perfusi menurun Perfusi menurun Produksi urin menurun Produksi urin menurun Pengisian kapiler melambat atau cepat Pengisian kapiler melambat Ekstrimitas hangat Ekstrimitas dingin, berbecak Manifestasi yang sering ditemukan : Sistemik : demam (> 38,5oC) Neurologis : penurunan kesadaran yang jelas : iritabel, letargis, tidak ada kontak dengan sekeliling, tidak memberi respon yang sesuai terhadap stimulasi, menangis lemah, hipotonia atua hipertonia, gerakan abnormal atau kejang nyata.

29

Kardiovaskuler : peningkatan denyut jantung/takikardia, perfusi perifer tidak adekuat, waktu pengisian kapiler memanjang (> 2 detik), ekstremitas dingin, produksi urin menurun (< 1 ml/kgBB/jam). Gastrointeritis : malas makan, cenderung muntah atau mencret, distensi abdomen dengan atau tanpa nyeri, organomegali (terutama hati) Kulit : pucat dan berbecak atau keabuan, dan ruam mungkin muncul Lain-lain : organ mengalami malfungsi : hipoglikemia, hipokalsemia IV. Pemeriksaan lainnya : Pemeriksaan fisik : vital sign, skalakoma Glasgow, pemeriksaan dari kepala sampai jari kaki. Laboratorium : leukositosis (>15.000/mm3) dengan pergeseran kekiri : lekopenia sepsis berat, trombositopenia (< 100.000/mm3) kultur dan pewarna gram dari darah, cairan LCS, urin, urinalisis, LED, Rontgen thoraks (berdasarkan anamnesis dan tanda fisis yang ditemukan), elektrolit, glukosa, uji fungsi hati, CRP. V. Tatalaksana : Tindakan yang harus segera dilakukan pada anak yang dicurigai sepsis dan ditemukan adanya atau ancaman syok harus mengikuti prinsip A, B, C resusitasi (airway, breathing, circulation) diikuti dengan terapi khusus untuk organisme yang mungkin menjadi penyebabnya. 1. Pertahankan jalan nafas, intubasi semielektif dan ventilasi untuk memaksimalkan fungsi respirasi dan mengontrol edema baru. 2. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dengan mask. Dapat diusahakan assisted ventilation jika usaha nafas pasien baik dan lemah atau pada keadaa dimana terapi oksigen tidak adekuat. Resusitasi cairan lebih dari 40 ml/kg mungkin memerlukan dukungan ventilator. 3. Berikan bolus cairan (ml/20kgBB) kristoid dalam 10 menit, cepat dan dapat diulangi 3 kali atau sampai 200 mg/kgBB, bila tidak ada perbaikan klinis. Bila masih juga tidak ada perbaikan dapat diberikan koloid lebih dari 60 ml/kgBB. Cairan koloid lebih berhasil digunakan untuk mengatasi syok septik dibandingkan dengan cairan kristaloid. Bila belum juga teratasi perlu dilakukan pemasangan CVP untuk menjamin pemberian cairan yang adekuat. 4. Atasi hipoglikemia dengan memberikan glukosa 10%. 5. Pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan kuman penyebab. Penyebab syok septik terutama adalah bakteri gram negatif disamping gram positif. Biasanya pada tahap awal diberikan antibiotika yang bersifat broad spectrum, seperti Cefalosporin generasi ketiga (cefoxime) sambil menunggu hasil kultur dan resistensi. 6. Bila perfusi masih tidak baik setelah pemberian koloid 60 ml/kg atau jika CVP lebih dari 10-15 mmHg, maka pemberian obat-obat inotropik sangat dibutuhkan. Dopamin biasanya merupakan obat pilihan pertama mulai dari dosis

30

5-10 mcg/kgBB/menit dapat dinaikkan bila perlu. Bila tidak berhasil, maka dapat diberikan dobutamin dengan kombinasi dopamin dosis rendah akan memperbaiki curah jantung dan menguntungkan perfusi ginjal. Bila masih tidak berhasil dan hipotensi masih berlanjut dapat dicoba pemberian isoprenalin atau adrenalin. Pada syok septik yang berat dan berlanjut dimana telah terjadi peningkatan SVR dapat dipikirkan pemberian vasodilator perifer (sodium nitroprusside). 7. Dapat diberikan kortikosteroid tiap 6 jam selama 2-3 hari : Dexamethason 1-3 mg/kgBB/hari atau methylprednisolon 10-30 mg/kgBB/hari. 8. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit dilakukan sesuai hasil pemeriksaan yang ada. Bila terdapat hipokalsemia harus dikoreksi secara hati-hati, karena bila terlampau cepat dapat menyebabkan bradikardia. Syok Anafilaksis Reaksi alergi yang berat (tipe I) dapat menyebabkan syok anafilaksis dan penyebab tersering adalah alergi obat (penisilin, zat kontras radiografi). Reaksi anafilaksis bersifat life threatening dengan gejala klinis timbulnya rash kemerahan pada kulit, wheezing, stridor atau edema larings dan syok distributif akibat pelepasan mediator yang menimbulkan vasodilatasi akut pembuluh darah serta kehilangan cairan intravaskuler akibat gangguan permeabilitas kapiler. Sehingga penatalaksanaan utama syok anafilaktik ditujukan untuk mempertahankan jalan nafas yang lancar, pemberian vasokonstriktor (adrenalin) dan resusitasi cairan yang adekuat. Tatalaksana 1. Hentikan pemberian alergen penyebab (bila mungkin), berikan adrenalin 100 mg/kgBB/IM. 2. Pertahankan jalan nafas yang lancar dan pernafasan yang adekuat. Bila terdapat wheezing dapat diberikan nebulasi adrenalin (5 ml dengan larutan 1:1000) atau dilakukan intubasi/sargical airway bila terdapat sumbatan jalan nafas. 3. Periksa status penderita, bila terjadi arrest lakukan segera resusitasi kardio pulmonal (CPR), pasang segera akses vaskuler untuk pemberian resusitasi cairan (20ml/kgBB) secara IV/intraoseal). 4. Re assesment ABC resusitasi dan diberikan tindakan CPR lanjutan : Bila masih dilanjutkan wheezing berikan inhalasi salbutamol (5 mg setiap 15 menit) Bila perlu dilanjutkan dengan pemberian hidrokortison (4mg/kgBB/IV), jika perlu dapat ditambahkan aminofilin drip (dosis initial 6 mg/kgBB/IV dilanjutkan 1 mg/kg/jam) atau salbutarnol drip (initial 4-6 mg/kg/IV selanjutnya 0,5-1mg/kg/menit). Bila masih terdapat syok, resusitasi cairan dilakukan dengan pemberian koloid (maksimal 20 ml/kg/hari) dilanjutkan dengan obat inotropik. Syok kardiogenik Pada syok kardiogenik gangguan fungsi jantung terutama disebabkan depresi kontratilitas miokard, yang dapat terjadi pada pasca operasi jantung, dekompensasi penyakit jantung kongenital, miokarditis atau kardiomiopati serta distritmia jantung.

31

Tatalaksana 1. Oksigenasi adekuat, pertahankan PaO2 lebih dari 65-70 mmHg 2. Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit yang terjadi. 3. Kurang rasa sakit dan ansietas 4. Atasi distritmia jantung yang mungkin terjadi 5. Kurangi kelebihan preload dengan diuretika. 6. Fluid challenge diberikan secara hati-hati untuk memperbaiki kontraktilitas jantung bila tidak ada udema baru, pantau dengan berdasarkan nilai CVP/POAP. 7. Perbaiki kontraktilitas jantung dengan obat inotropik tanpa menambah konsumsi oksigen miokard. 8. Kurangi beban afterload (SVR tinggi) dengan venodilator. 9. Atasi hal-hal yang berkaitan dengan penyebab primer kelainan jantung. Syok obstruktif Pada keadaan ini terjadi hambatan mekanis pengeluaran/pengaliran darah keluar jantung yang dapat disebabkan oleh tamponade jantung, pneumo thoraks tensoion atau emboli paru masif. Karakteristik hemodinamik yang ditemukan adalah penurunan curah jantung, peningkatan SVR dan self vertikular filling pressure yang bervariasi tergantung penyebab. Tindakan bedah misalnya perikardiosentesis pada tamponade jantung atau pemasangan WSD pada pneumotoraks merupakan tindakan life saving. Syok disosiatif Pada keadaan ini walaupun curah jantung dan aliran darah sistemik masih normal, terjadi definiensi. Akut oksigen di tingkat seluler akibat gagalnya pelepasan oksogen untuk metabolisme jaringan. Hal tersebut terjadi pada keadaan keracunan monoksida (CO) atau methemoglobinemia. Keadaan yang terakhir ini perlu dipikirkan bila penderita tetap sianotik walaupun telah diberikan O2 100% tanpa kelainan jantung, sedangkan intoksikasi CO biasanya dipikirkan bila terdapat syok persisten pasca tramuma stroke inhalation. Tetapi oksigen hiperbarik dapat dicoba bila telah terdapat gangguan neurologik. Pada methemoglobinemia (kadar >%) dapat diberikan tetapi methylene bule intravena. KERACUNAN ASAM FORMIAT 1.Batasan Kontak yang tidak sengaja dengan asam formiat yang menyebabkan kerusakan kulit atau mukosa. 2. Etiologi Asam cuka atau asam semut yang merupakan asam kuat (pH<2). Sifat tidak berwarna, jernih, berbau merangsang. 3.Patologi Zat korosif dapat menimbulkan edema dan bendungan lapisan submukosa disertai peradangan dan trombosis pembuluh darah, pengelupasan bagian atas dan nekrosis otot

32

saluran cerna yang dsusul infeksi bakteri dan diikuti fibrsis. Pada keadaan yang berat mukosa rusak disertai fibrosis da pengkerutan dengan akibat stenosis. Zat korosif bersifat asam dapat menmbulkan nekrosis kagulatif jaringan. Kerusakan esofagus akibat zat korosif yang bersifat asam biasanya ringan dibandingkan kerusakan lambung. Holiger membagi kerusakan esofagus dan lambung menjadi 3 derajat. Derajat I: hiperemis dan edema mukosa, dapat terjadi pengelupasan yang bersifat superfisial Derajat II: Userasi mukosa dan transmukosa, perluasan eksudan ke lapisan otot dan saluran cema. Derajat III: Ulserasi dan nekrosis pada seluruh lapisa esofagus dan atau lambung dan terjadi penetrasi ke jaringan sekitarnya. 4. Manifestasi Klinik Kerusakan yang ditimbulkan korosif dapat bersifat ringan (tidak meimbulkan kerusakan yang berarti) atau berat (sampai timbul ulkus atau perforasi) Gejala berupa hipersalivasi, nyeri ringan sampai berat pada bibir, mulut, tenggorokan, leher, dada dan abdomen. Nyeri menelan Dapat terjadi luka bakar pada kulit, bibir, mulut, tenggorokan, esofagus dan lambung Tanda kegawatan : asfiksia, renjatan, mediastinitis dan periotonitis.

Diagnosis Ditegakkan dengan anamesis adanya paparan terhadap suatu racun/zat korosif, timbulnya gejala-gejala dalam kurun waktu tertentu setelah paparan dan gejala harus cocok dengan zat korosif tersebut. Anamnesis: jenis zat korosif, seberapa banyak zat yang tertelan, lama paparan terjadi, tindakan pertama yang dilakukan. Gejala klinik: timbul nyeri dan sulit menelan, tak mau minum dan makan, hipersalivasi, mual, mutah, nyeri dada, nyeri epigastrium. Hematemesis, sesak afas dan demam yang baru timbul kemudian. Tanda klinik erupa hipersalivas, hematemesis, perubahan warna mukosa mulut, luka pada bibir, perubahan warna mukosa faring atau edema, obstruksi jalan nafas : sesak nafas, sianosis, gelisah.

33

Esofagoskopi dengan edoskopi fiberorbtrik fleksibel harus dilakukan dalam 48 jam, sebaliknya 12-24 jam untuk mengetahui derajat luka bakar. Tatalaksana: 1. Tindakan beberapa saat setelah kontak - Menghentikan proses pembakaran - Pemberian minum yang banyak (air atau susu) sebanyak 1 atau 2 cangkir untuk mengecerkan zat korosif segera setelah penelanan 2. Tindakan setelah sampai di RS/ a. Emergensi Stabilitas sistim kardovaskuler dan respiratorius dan dukungan kehidupan dasar (basic life support) bila terdapat renjatan dan asfiksia pemasangan pipa nasogastrik yang lembut b. Nonemergensi Esofagogastroskopi c. Pengobatan Antbiotik dberikan kalu dicurigai adanya infeksi Prednison diberikan selama 10 hari dengan dosis 2 mg/kgBB/hari untuk mengurangi derajat penyempitan. Antasida peroral untuk meningkatkan pH lambung Prognosis - Tergantung bahan kimia (jenis, konsentarsi, dan kualitas), organ yang terlibat dan lamanya kotak. - Prescot mengajuka two thirds rule yaitu 2/3 anak yang ertela baha korosif tidak menimbulkan gejala, 2/3 anak simtomatik tidak mengalami luka bakar sgnfikan, 2/3 luka bakar signifikan mengenai faring dan 2/3 luka bakar di esofagus yang bersifat ringan akan sembuh tampak sekuele. GANGGUAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

1. Natrium (N: 135-145mEq/l) Hiponatremia Batasan Kadar natrium serum < 135 mEq/l Etiologi Defisit natrium : dehidrasi, diuretika,defisiensi aldosteron, asidosis tubulus ginjal, dll

34

Overhidrasi (water intoxication) : SIADH. Infus cairan rendah Na yang berlebihan, NS, dll Hiponatremia dibagi 3 yaitu : 1. Hiponatremia hipotonik Dilutional hyponatremia Sering terjadi Retensi air atau elebihan cairang yang masuk 2. Hiponatremia isotonik Pseudo-hyponatremia Karena hipertrigliceridemia berat atau hiperproteinemia 3. Hiponatremia hipertonik Translocational hyponatremia Karena hiperglikemia atau retensi manitol Manifestasi Klinis Mual dan malaise, letargi, penurunan kesadaran, sakit kepala, jika berat kejang dan koma. Bila < 115 mEq/I dapat menyebabkan edema otak. Patofisiologi Hiperoosmolalitas (serum osmolalitas <260 mOsm/kg) sealu mengindikasikan kelebihan total cairan tubuh relatif terhadap cairan tubuh. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan penurunan cairan, pengisian cairan atau keduanya. Pada kodisi normal, gnjal mengeksresikan 15-20 1 air bebas per hari. Pada kondisi ini respon tubuh untuk menurunkan osmoalitas dengan cara menekan rasa haus. Hiponatremia hanya dapat terjadi ketika beberapa kodisi mengganggu eksresi air overdosis bebas yang normal atau mekaisme dehidrasi rasa harus normal atau keduanya. Penatalaksanaan Identifikasikan dahulu jenis hiponatremia, jika non hipotonik terapi penyakit yang mendasarinya. Hiponatremi akut (<72 jam) dapat secara aman dikoreksi lebih cepat dari pada yang kronik. Koreksi Na serum yang terlalu cepat dapat mempresipitasi komplikasi neurologis yang berat. Pasien dengan simptom yang akut, tujuan pengobatannya adalah meningkatkan Na serum sampai kira-kira 1-2 mEq/1/jam sampai simptom eurologis mereda. Diberikan salin normal atau hipertonik (3%). Hiponatremia kronik yang berat (a serum <115mEq/1) dikoreksi tdak lebih dari 0,5 mEq/1/jam dengan total penigkatan tidak lebih dari 12 mEq/1/hari. Koreksi defisit Natrium : (140-Na serum sekarang) x BB dalam Kgx0,6 sekarang sudah tidak dipakai lagi. Formula baru : change in serum (Na) = infusate Na-serum Na

35

__________________ Total body water + 1 Total body water = TBW * 0,6 pada anak 0,6 & 0,5 pada wanita & laki-laki muda 0,5 & 0,45 pada wanita & laki-laki tua Hiponatremia dengan hipokalemia: change in serum (Na) = (infusate Na + infusate K) serum Na _______________________________ Total body water + 1 Infus yang sering digunakan : Infus (Na +) mmol/L 5 % Nacl in water 855 3 % Nacl in water 513 0,9 % Nacl in water 154 Ringers lactate solution 130 0,45 % Nacl in water 77 0,2 % Nacl in 5 % dextrose in water 34 5 % dextrose in water 0 Contoh : hiponatremia akut pada anak dengan BB 10 kg - serum Na = 108 mEq/L - BB = 10 kg TBW = (0,6 x 10) + 1=7 - Infus yang digunakan 3 % Nacl, koreksi Na = 125 - Na = (513 108)/7 = 57, 85mEq/L per 1 liter infus Initial rate = 1 meq/L/jam 1000 / 57,85 = 17 ml/ jam Obat-obat yang digunakan : Furosemid, declomycin yang mempengaruhi kerja ADH renal dosis 300-600 mg peroral.

Hipernatremia Batasan Kadar natrium serum > 145 mEq/1 Etiologi Intake cairan kurang Keracunan garam : tablet garam, penatalaksanaan cairan hipertonik yang tidak tepat Kehilangan cairan : diuretic, diabetes inipidus efrogenik. Manifestasi Klinis

36

CNS : letargi, confuse, delirium sampai mania. Cardiovaskular : takikardi, hipotensi Jaringan : salivasi berkurang, kulit flushing Renal : oliguria Demam

Penatalaksanaan -Mengobati penyakit yang mendasarinya. -Koreksi hipernatremia: Akut : 1 mmol/L/hr Kronik : maksimum 0,5 mmol/L/ jam Konvensional formula : Total body water * (1-(140/serum sodium concentration)) Formula baru : change in serum (Na) = infusate Na-serum Na __________________ Total body water + 1 Infus yang digunakan : Infus (Na +) mmol/L 5 % dextrose in water 0 0,2 % Nacl in 5 % dextrose in water 34 0,45 % Nacl in water ( NSS) 77 Ringers Lactate 130 0,9 % Nacl in water (NSS) 154 - Contoh : prolonged hipernatremia, anak dengan BB 10 kg - serum (Na +) = 165 mEq/L - BB = 10 kg TBW = 0,6 * 10 = 6 - Infus yang digunakan 5 % dextrose in water Na = (0-165)/(6+1) = -23,57 mEq/L per 1 L infus Goal rate = -12 mEq/L/24 hrs -12/-23,57 = 0,5 L/24 jam Hipernatremia akut bila terjadi dalam periode <48 jam dan dikoreksi secara tepat (1-2 mEq/jam) Jika hipernatremi dikuti dengan hiperglikemia dengan diabetes hati-hati ketika menggunakan cairan terapi. Penggunaan insulin yang tepat akan membantu untuk koreksi. Obat-obat yang digunakan untuk meningkatkan eksresi Na: HCT : < 6 bulan : 2-3 mg/kgBB/hari oral dengan dosis > 6 bulan : 2 mg/kgBB/hari oral dosis terbagi Desmopresin : 3 bln-12 thn :5-30 mcg/ hari intranasal. 2. Kalium (N: 3,5-5,5 mEq/I) 2.1 Hipokalemia Batasan

37

Kadar kalium serum <3,5 mEq/II Etiologi - Kehilangan cairan dari ginjal : asidosis tubulus ginjal, hiperaldosteronisme, deplesi Magnesium, leukemia - Kehilangan cairan melaui traktus gastrointestinal: muntah atau suction nasogastrik, diare, edema atau penggunaan laksansia - Efek obat : diuretic (penyebab terbanyak), agonis beta adreergenik, steroid, teofilin, aminoglikosid - Perpindahan transeluler: insulin, alkalosis - Malnutrisi atau menurunnya intake makanan nutrisi parenteral. Manifestasi Klinis Palpitasi, kelemahan otot umum, paralysis, parestesia, konstipasi, nausea atau muntah, kejang abdominal, poliuria, nokturia atau polidipsia, psikosis, delirium atau halusinasi, depresi, gejala-gejala usus, hipotensi, vetricular aritmia, cardiak arrest, bradikardi atau takikardi, denyut atrial dan ventricular premature, hipoventilasi, distress pernafasan, gagal nafas, letargi atau perubahan status mental, menurunnya tegangan otot, fasikulasi atau tetani, menurutnya refleks tendon, penampakan cushingoid (contoh: edema) Penatalaksanaan Pada penderita dengan hipokalemia berat dan adanya gejala maka dapat dilakukan koreksi secara iv, terapi di mulai setelahada hasil laboratorium dan dari hasil tersebut menunjukkan diagnosis hipokalemia. Penderita dengan hipokalemia berat harus dilakukan monitor jantung (EKG) dan dipasang jalur intravena. Adapun gambaran EKG pada penderita dengan hipokalemia berat adalah :

38

a.

Adanya T inverted Adanya gelombanng U dan gelombang QT yang memanjang. ST segmen depresi. Ventrikular aritmia. Atrial aritmia. Level K+ < 3 diperlukan K+ replacemement

b.

K+ 2.5-3 mEq/Ldan tidak adanya gejala atau gejala ringandapat diberikan secara oral. c. K+ < 2.5 mEq/L replacement diberikan secara iv. d. Selama replacement tetap dilakukan monitor terhadap jantung dengan cara melakukan serial EKG untuk mencegah terjadinya komplikasi berupa hiperkalemia. Kemudian lakukan pemeriksaan ulang setiap1-3 jam sambil mencari etiologi dari hipokalemia. e. Sediaan : potassium chloride, potassium phosphate dan potassium bicarbonat.Dosis 0.5-1 Meq/kgbb/dosis diberikan secara iv selama satu jam . f. Oral : resiko untuk terjadi ulserasi dan GI bleeding, dosis 20-60 mEq, 2-4 kali/hari. g. Intravena : vena perifer untuk maintenance 20-40 mEq/L, maksimum = 60 mEq/L. Vena sentral untuk moderate sampai severe, maksimum 140 mEq/L. Cairan yang digunakan : atau NSS, maksimum rate 10-20 mEq/ jam, 40 mEq/ jam dapat digunakan hanya untuk 2-3 jam. h. Dapat digunakan K+ sparing drug seperti : spironolactone, triamterene dan amiloride. 2.2 Hiperkalemia Batasan Kadar kalium serum > 5,5 mEq/I Etiologi 1. Kelainan ekskresi ginjal (gagal ginjal akut atau kronik, insufisiensi adrenal, hipoaldosteronisme, pemakaian diuretik yang menahan kalium) 2. Penambahan masukan (penggunaan garam kalium sebagai substitusi diet rendah NaCL) 3. Penghancuran jaringan akut (trauma, operasi besar, luka bakar) 4. Redistribusi kalium transeluler (asidosis metabolik, overdosis digitalis, dll) 5. Obat-obatan seperti K-sparing, ACE inhibitor, NSAIDS, antikoagulan, antihipertensi dll. Patofisiologi

39

K merupakan kation intrasel primer yang berperan dalam pengaturan volume intrasel. K total tubuh kira-kira 53-55 mEq/I/kgBB. Hampir 100% K tubuh terdapat dalam ruang cairan intrasel, terbanyak di otot tubuh. Sumber makanan dari hewan dan tumbuhan mengandung K yang bermakna. Keseimbangan antara intake dan ekskresi mempertahankan kadar K palsma dalam range yang sempit (3,5-4,5 mEq/I). kurang dari 10% K diekskresikan melalui keringat dan feses, lebih dari 90% diekskresikan melaui ginjal. Dalam ginjal, sejumlah besar K direabsorbsi pada tubulus dan duktus collecting. Reabsorbsi yang bermakna terjadi dalam loop of henle desenden sehingga 10 % K pada saat itu yang diflitrasi yang mencapai tubulus distal. Aldosteron mempengaruhi sekresi K di efron distal dengan aldosteron yang meningkat menstimulasi sekresi K, sedangkan kadar K yang merendah menghambat sekeresi K oleh duktus collecting cortical. Peningkatan reabsorbsi Na dan sekresi K menyebabkan efek pada sistem transpor. Kadar K sebagian bertanggung jawab dalam feedback negatif pada kortek adrenal sehingga kadar K yang tinggi menurunkan produksi aldosteron, sementara kadar yang rendah menurunkan sekresi aldosteron. Manifestasi Klinis Gejala klinis berupa parestesia yang dapat berlanjut dengan kelemahan, bahkan paralisis flaksid bila tidak diobati. Hiperkalemia juga dapat membahayakan jantung dengan terjadinya fibrilasi ventrikel. K>8 mq/I terjadi kegagalan sirkulasi, takikardi, fbrilasi vetrikel Pada gambaran ECG didapatkan : Kadar Serum K<7 mEq/l : interval PR memanjang gelombang P menghilang Kadar serum K>8 mEq/I : kompleks QRS mlebar, pada terminal stage gelombang QRS bergabung dengan gelombang T membentuk gelombang sinusoidal. Penatalaksanaan - Mild moderate : 1. kurangi intake Kalium 50-60 mEq/day 2. K+ losing diuretics furosemide dan thiazide. 3. Mineralocorticoid Florinef 4. Kayexalate. Severe : Drug Calcium gluconate NaHCO3 Glucose dan insulin Albuterol Dose 10-30 ml of 10% solution at 2 ml/min over 2-3 min 44-132 mEq Glucose 25-50 gm/ jam by continuous IV drip, regular insulin 5 U IV 15 min IV : 0,5 mg in 100 ml D5W over 10-15 min. Onset of action Few minutes 4 hours 15-30 min 20-30 min

40

Kayexalate

Nebulized 20 mg in 4 ml 30 min NSS over 10 min Enema (50-100 gm) 60 min Oral : 40 gm 120 min

- Hiperkalemia simptomatik yang berat kadang-kadang memerlukan hemodialisis. 3. Kalsium (N: 8,7-10,4 mEq/I 3.1 Hipokalsemia Batasan Kadar kalsium serum <8,7 mEq/I Etiologi a. Defisiensi PTH : hipoparatiroid, herediter atau idiopatik b. Defisiensi vitamin D : defisiensi Vitamin D mengganggu absorpasi Ca dalam usus, defesiensi ini juga menyebabkan resitensi terhadap efek osteoclast PTH pada tulang dan menurunkan reabsorpasi tubulus ginjal sehingga mengakibatkan hipokalsemia c. Obat-obatan: kemoterapi : cisplatin, doxorubicin antimikroba: ketokonazal obat-obatan yang menghambat absorpsi tulang : calcitson, plikamisin d. DLL ; metastase osteoblastik infus fostat infus plasma sitrat atau darah yang cepat Patofisiologi Ca terionisasi merupakan fraksi palsma yang penting untuk proses fisiologis. Dalam sistem neuromuskular kadar Ca terionisasi memfasilitasi konduksi syarat, kontraksi otot dan relaksasi otot. Ca penting untuk mineralisasi tulang dan merupakan regulator yang penting dari ion trasnpor dan intergritas memberan. Ca diabsorpsi di usus. Meskipun pengaliran Ca cukup besar, kadar Ca terionisasi tetap stabil sebab adanya kontrol dari PTH dan Vitamin D. normokalsemia memerlukan PTH dan organ target normal untuk merespon PTH. Kelenjar PTH sangat sensitif terhadap perubahan Ca serum. Perubahan ini dikenal dengan reseptor sensitf Ca (Ca SR), a 7-reseptor trans membran yang berhubungan dengan G-protein dengan amino ekstrasel yang besar. Peningkatan Ca dengan CaSR menginduksi aktivitas pospolifase C dan menghambat sekresi PTH. Penurunan Ca kehilangan fungsi CaSR mengakibatkan keadaan patologis seperti hiperkalsemia, hipokalsiurik familial dan paratiriod berat pada neonatus. Vitamin D menstimulasi absorbsi Ca usus, mengatur pelepasan PTH, dan mediator PTH untuk stimulasi reabsorbsi tulang. Dikatakan hipokalsemia bila yang menurun adalah Ca terionisasi. Manifestasi Klinis

41

Gejala berupa tetani, yaitu hipereksitabilitas susunan saraf suara dan perifer. Dapat pula terjadi kejang umum tonik klonik, biasanya didahului tanda dini berupa kontraksi tonik otot ekstremitas atas dan bawah terutama spasme pergelangan tangan dalam keadaan fleksi dan jari ekstensi (spasme karpopedal). Kontraksi tonik klonik otot dipacu dengan cara mengurangi aliran darah ketangan (tanda Troussesau) atau dengan mengetuk otot wajah pada daerah yang dipersarafi oleh n.fasialis (tanda Cvostek). Penatalaksanaan Ca glukonas 10 mg/kgBB. Ca karbonat : 45-65 mg/kgBB/hr dosis terbagi. Calcitriol : dosis inisial 15 mg/kgBB/hr oral, maintence 5-40 mg/kgBB/hr. Oral calcium lactate, vitamin D, thiazide diuretics. 3.2 Hiperkalsemia Batasan Kadar kalsium serum >10,4 mEq/l Etiologi PTH yang menyebabkan hiperkalsemia dihubungkan dengan peningkatan absorbsi Ca di usus, misalnya pada hiperparatiroid. Non PTH yang menyebabkan hiperkalsemia, seperti pada keganasan, sarcoidosis Dll : neoplasma non paratiroid, hipertiroid, tiazid, dll Patofisiologi Setengah dari Ca plasma diionisasi dan dapat didifusi secara bebas, sedangkan 10% berikatan dengan sitrat dan fosfat dan dapat didifusi ke dalam sel. 4% yang menetap merupakan protein plasma yang berikatan dan tidak didifusi dalam sel. Peningkatan Ca pada orang dengan mekanisme regulator normal, akan menekan sekresi PTH. Secara normal PTH menstimulasi pelepasan Ca dari tulang dengan kerja osteolitik langsung dan melalui regulasi osteoklast. Konsentrasi PTH serum menurunkan aliran Ca dari tulang ke cairan ekstrasel. PTH juga mereabsorbsi Ca dalam loop of henle dan tubulus distaldi ginjal. Ketika PTH tidak ada, banyak Ca terfiltrasi yang diekskresi keurin. PTH menstimulasi konversi enzimmatik 25-hidroksivit. D menjadi metabolit aktif 1,25-hidroksivit. D. 1,25 dihidroksivit D. meningkatkan absorbsi Ca di usus. Pada saat PTH ditekan karena hiperkalsemia, kadar 1,25 dihidroksivit.D berkurang dan absorbsi Ca di usus juga menurun. Manifestasi klinis gastrointestinal : mual, muntah, konstipasi, ileus dan pankreatitis. kardiovaskuler : hipovolemia, hipotensi, intervasl QT memendek renal : poliuria, nefrocalcinosis neurologi : penurunan kesadaran sampai koma

42

Penatalaksanaan Calcium intake restricted Hidrasi Loop diuretics Oral atau IV phosphate supplements Kortikosteroid Plicamycin (mithramycin), DNA-binding antibiotic. Magnesium ( N : 1,8-2,5 mEq/I) Hipomagnesemia Batasan Kadar magnesium serum <1,8 mEq/I Etiologi Kehilangan melalui traktus gastrointestinal : malabsorbsi Mg pada ileum, diare Malnutrisi Obat-obatan : diuretik, cisplatin, pentamidi, keracunan fluoride Manifestasi Klinis Gejala ditandai dengan adanya peningkatan iritabilitas neuromuskuler berupa tetani, kejang. Mungkin pula ditemukan perubahan perilaku, mual, anoreksia, takikardi, kejang, aritmia jantung. Bila kadar Mg serum < 1 mEq/I terjadi tremor, tanda Chvostek, tanda Trousseau, spasme karpopedal. Penatalaksanaan Pengobatan dengan magnesium sulfat 50% sebanyak 1-2 ml intramuskuler tiap 6-12 jam atau magnesium sulfat 0,5% dicampur dengan glukosa 5% intravena terusmenerus. Hipermagnesemia Batasan Kadar magnesium serum > 2,5 mEq/I Etiologi Gagal ginjal akut, infus Mg yang berlebihan, hipotiroid, intoksikasi litium, rabdomiolisis, insufisiensi adrenal, diabetik ketaosidosis. Manifestasi Klinis Gejala hipermagnesemia tidak spesifik pada kadar 2,5-4 mEq/I, gejala-gejala yang mungkin timbul seperti mual, muntah, flushing, letargi, kelemahan. Kadar 4-6 mEq/I kehilangan relfeks tendon. Kadar > 5 mEq/I depresi SSP

43

Kadar > 10-15 mEq/I kardiopulmonary arrest. Penatalaksanaan Hidrasi Calcium IV diuretics Pengobatan hipermagnesemia berat adalah hemodialisis. Ca glukonas iv (1 g iv >2-3 menit) dapat digunakan sebagai antagonis efek kardiovaskuler sementara sebelum dialisis dimulai.

5. Fosfat ( N: 2,5-5 mEq/I ) Hipofosfatemia Batasan kadar fosfat serum <2,5 mEq/I Etiologi Inadekuat uptake, alkalosis respiratori, obat-obat agonis reseptor, sepsis, diabetik, ketoasidosis, alkoholisme kronik. Patofisiologi Terjadinya perpindahan fosfat intrasel dari serum ke dalam sel, peningkatan eksresi fosfat di urin, atau penurunan absorbsi fosfat di usus. Manifestasi Klinis Gejala klinis baru nampak pada hipofosfatemia berat (kadar fosfat serum <1 mEq/I) dan jarang dijumpai pada derajat ringan. Gejala berupa kelemahan otot, kardiomiopati, rabdomiolisis, gangguan hepatoseluler, gangguan kontraktilitas jantung, dan hiperkalsemia. Beberapa kasus menunjukan gejala ensefalopati metabolik, berupa iritabilitas, parestesia, kejang dan koma. Penatalaksanaan Pasien dengan gejala minimal atau sedang (kadar serum 1-2 mEq/I) diperlukan penggantian fosfat oral, biasanya dosis awal 2-3 g dosis terbagi. Pasien dengan gejala yang berat, bila < 1 mEq/I diberikan K2PO4 dosis 0,25-0,5 mmol/kgBB iv lebih dari 4-6, diulang jika gejala masih menetap. Hiperfosfatemia Batasan Kadar fosfat serum > 5 mEq/I Etiologi Insufisiensi renal atau nekrosis sel yang luas (seperti rabdomiolisis, tumor lisis) pemberian fosfat yang berlebihan secara oral atau intravena, pemberian sitostatika.

44

Patofisiologi Homeostasis fosfor normal dipertahankan melalui beberapa mekanisme. Pelepasan sel diseimbangkan dengan peningkatan di jaringan lain. Kontrol hormonal diatur terutama oleh hormon paratiroid. Manifestasi Klinis SSP : kejang, delirium, kram otot, parestesis, koma Kardiovaskuler : hipotensi dan gagal jantung Endokrin : hiperparatiroid, tirotoksikosis Dll : intoksikasi vit. D, neoplasma, asidosis, alkalosis. Penatalaksanaan Aluminum-based antacids, diuretics Hemodialysis TRAUMA KAPITIS/ CEDERA KEPALA Batasan: Trauma kepala pada anak adalah keadaan yang disebabkan jejas pada kepala disertai maupun tidak disertai lesi pada isinya. 1. a. b. c. d. 2. Penyebab tersering Pada Bayi : Jatuh atau kekerasan pada anak Anak belum sekolah : Kecelakaan lalulintas, jatuh saat bermain Anak sekolah : Kecelakaan,saat berolahraga, jatuh saat bermain, kecelakaan lalulintas Anak lebih besar : Kecelakaan lalulintas, kecelakaan berolahraga Manajemen dan tatalaksana cedera kepala Indikasi masuk PICU : GCS < 8, Distress pernapasan, gangguan hemodinamik yang berat (Syok). Tatalaksana Awal Perbaiki Airway, Breathing, Circulation (ABC) Penilaian Status Kesadaran Pasien Memakai GCS Modifikasi untuk Pediatrik dari Jennett, Teasdale, dan James

A. B.

45

Aktivitas

Respon Terbaik

Spontan Dengan Kata-kata Membuka Mata (E) Karena rangsangan Nyeri Tidak ada Menangis Gelisah/melantur Verbal (V) Menangis akibat rangsangan Nyeri Merintih akibat rangsangan Nyeri Tidak ada Gerakan Spontan Gerakan menghindar karena Sentuhan Gerakan menghindar karena Nyeri Motorik (M) Fleksi Abnormal Ekstensi Abnormal Tidak ada Nilai maksimal adalah 15 dan minimal 3

Nilai 4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1

C.

Anamnesa a. Tipe Cedera b. Mekanisme terjadinya cedera c. Gejala yang timbul setelah cedera Terapi sesuai kondisi 3. Pemeriksaan Diagnostik CT-Scan Kepala dan Rontgen Cervical [catatan : CT-Scan atau pemeriksaan imaging lainnya tidak diindikasikan untuk cedera kepala ringan dengan GCS 15, pemeriksaan neurologis yang normal, tanpa kehilangan kesadaran, atau tanpa adanya fraktur yang bisa diraba melalui palpasi (depresed fracture)] Terapi 3.1 Pemasangan Ventilator Pada keadaan gagal nafas, deserebrasi (flaksid atau ekstensi), dekortikasi (fleksi). Jaga agar PaCO2 pada 35-40 mmHg, saturasi oksigen > 90% dan PEEV pada 35 cmH2O. 3.2 Pemberian paralisis, sedatif, dan analgetik a. - Paralisis diberikan pada pasien yang akan dimasukkan kateter ICP, pada hipertensi intrakranial sampai 72 jam setelah cidera, pasien yang akan diCT-Scan

D.

4.

46

- Diberikan pancuronium 0,1-0,15 mg/kgBB/kali - Pasien tidak diparalisis apabila tidak akan dilakukan ICP b. - Sedasi diberikan pada semua kondisi. Diberikan diazepam 0,1 mg/kgBB/kali setiap 4 jam - Ekstra bolus diazepam diberikan sebanyak 0,05 mg/kgBB/kali apabila ada tanda-tanda dari stimulus otonom seperti takikardi, peningkatan tekanan darah dan pergerakan pasif abnormal dari ekstremitas c. - Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri - Diberikan morfin drip IV 40-60 mcg/kgBB/jam, tambahkan bolus 50 mcg/kgBB/kali sebelum melakukan prosedur yang menimbulkan rangsangan sakit 3.3 Menginduksi Hipotermia - Dinginkan pasien secepat mungkin apabila terdapat postur yang flaksid, fleksi atau ekstensi - Pasien tersebut dipasang ventilator diparalisis dan didinginkan pada suhu 32-33 0C - Hipotermia tetap dijaga sampai ICP stabil < 20 mmHg 3.4 Menjaga Cardiac Output - Koreksi hipovelemia dengan IVFD NaCl 0,9% - Jaga pengeluaran urin > 1 ml/kgBB/jam - Dopamin 5-10 mcg/kgbb/menit iv bila terjadi penurunan fungsi ventrikel - Tambahkan noradrenalin 0.05-0.5 mcg/kg/menit iv bila diperlukan. 3.5 Monitoring ICP (lewat Intra Ventricular Catheter) 3.6 Pakai Cervical Collar atau bantal pasir Gunakan Cervical Collar pada semua pasien, atau memakai bantal pasir untuk fiksasi dikanan dan kiri kepala 3.7 Berikan Antibiotik untuk profilaksis - Penisilin IV 30 mg/kgBB/kali setiap 4-6 jam untuk semua pasien dengan fraktur tulang tengkorak - Antibiotik tidak diperlukan kecuali atas permintaan ahli bedah saraf pada kasus fraktur basis kranii dan drainase eksternal kateter ICP 3.8 Berikan Antikonvulsan - Fenitoin IV dosis awal 15-20 mg/kgBB (maksimal 1,5 gr) selama 1 jam, lalu dijaga. - Monitor semua kemungkinan aktivitas kejang 3.9 Pemberian Nutrisi - Nutrisi enteral tidak diberikan sampai hipotermia dihentikan dan suhu >36 0C. Dapat dilakukan NJT apabila NGT gagal.

47

- Berikan dahulu elemental formula (predigested, yang proteinnya rendah), bila telah dapat ditoleransi baru berikan yang penuh proteinnya. - Bila timbul diare, maka lakukan pemeriksaan kearah penyebab lain sebelum menghentikan pemberian nutrisi. 3.10 Pengaturan posisi - Semua pasien diatur posisinya kepalanya elevasi 100 - Jaga pada posisi netral - Tempatkan selimut pendingin dibawah punggung - Balok-balik posisinya setiap 2-4 jam dan dijaga pada posisi 450. Posisi kepala dan leher harus terfiksasi 5. 6. Indikasi Keluar PICU Tidak ada lagi gangguan napas, hemodinamik baik. Prognosis Tergantung etiologi dan kerusakan jaringan otak yang terjadi. LUKA BAKAR 1. BATASAN Luka bakar merupakan kerusakan parsial atau komplit pada kulit yang dapat disebabkan oleh suhu (panas atau dingin), listrik dan zat-zat kimia. 2. ETIOLOGI 2.1 Luka Bakar Suhu (Thermal injury) : terjadi denaturasi protein dan nekrosis Bel. Kedalamannya tergantung pada kedalaman penetrasi panas, temperatur sumber panas, lama kontak, media (udara atau air) dan ketebalan kulit. 2.1.1 Suhu yang tinggi (air panas, api, ledakan) :

Air panas (scald) : umumnya menyebabkan luka bakar superfisial hingga superfisial dermis. Api : um u m n y a thickness. berhubungan dengan cedera inhalasi dan

menyebabkan luka bakar dermis dalam (deep dermis) hingga full

48

2.1.2 Suhu rendah (C ol d b u rn / fro stb i te ) :


K ontak lama dengan benda bertemperatur rendah seperti salju Kontak singkat dengan benda bertemperatur sangat rendah seperti es kering, helium cair dan nitrogen cair.

2.2 Luka Bakar Listrik (Electrical injury) : Aliran listrik akan menjalar dari satu titik ke titik lain ditubuh sehingga membentuk titik masuk (entry point) dan titik keluar (exit poino). Penentu utama derajat kerusakan jaringan adalah rendah atau tingginya tegangan listrik.

2.2.1 Luka bakar akibat listrik tegangan rendah (low voltage) : Menyebabkan luka bakar yang kecil tetapi dalam pada titik masuk dan keluar. Dapat terjadi gangguan irama jantung (aritmia). 2.2.2 Luka bakar akibat listrik tegangan tinggi (high voltage)

True high tension injuries : terpapar langsung dengan tegangan listrik 1000 V. Dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas seperti nekrosis otot (rhabdomyolysis) dan tulang. Luka bakar ini memerlukan resusitasi dan debridemen yang lebih agresif daripada luka bakar jenis lain.

Flash injury : paparan tangensial dengan listrik tegangan tinggi dimana aliran listrik tidak langsung mengalir keseluruh tubuh. Dapat menyebabkan luka bakar superfisial terutama pada wajah dan tangan.

2.3 Luka Bakar Kimiawi (Chemical injuries) : Disebabkan oleh zat-zat kimia seperti Natrium hidroksida, silver nitrat, asam nitrat dan asam sulfur, menimbulkan kerusakan kulit melalui reaksi kimia seperti koagulasi protein oleh reduksi, korosi, oksidasi dan pembentukan garam. 3. PATOFISIOLOGI

49

Segera setelah terjadinya luka bakar reaksi inflamasi (lokal dan sistemik) yang terdiri dari fase vaskular dan fase selular. Pada awalnya terjadi vasokonstriksi diikuti oleh vasodilatasi aktif pada daerah luka meningkatnya permeabilitas kapiler dilepaskan mediator-mediator inflamasi (histamin, serotonin, prostaglandin, produk trombosit, komplemen dan radikal oksigen). Selain itu terjadi juga effluks protein dan makromolekul lain yang menyebabkan edema lokal. Edema paling cepat terjadi dalam 6-8 jam pertama dan terus berlanjut hingga 18-24 jam setelah luka bakar terjadi

Bersamaan dengan respon vaskular terjadi migrasi neutrofil, monosit dan trombosit ke daerah luka melepaskan mediator-mediator yang menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler dan merangsang respon imun spesifik dan nonspesifik.

Mediator-mediator lokal terbentuk dalam beberapa menit sampai jam setelah luka bakar. Sedangkan mediator sistemik terjadi lebih lambat yaitu dalam 5-7 hari kemudian. Respon inflamasi sistemik yang berlangsung lama akan menyebabkan terjadinya disfungsi organ, sepsis atau keduanya.

4. DIAGNOSIS Diagnosis luka bakar meliputi 2 hal : derajat / kedalaman dan luas luka bakar 4.1 Berdasarkan derajatnya :

Luka bakar derajat I (Superficial thickness) : Terbatas pada epidermis. Biasanya timbul kemerahan (eritema), plak berwarna putih dan nyeri pada daerah luka bakar.

Luka bakar derajat II (Partial thickness) : Meluas ke daerah superfisial (papillary) (reticular}. dermis dan dapat melibatkan luas lapisan adneksa dermis yang dalam Penyembuhan tergantung terkena,

semakin dalam luka bakar maka akan semakin sedikit reepitelisasi dari adneksa. Biasanya hiperemis, terdapat bula, superfisial berisi cairan

50

jemih, nyeri sangat hebat atau ringan tergantung jaringan syaraf yang terkena. Penyembuhan tergantung pada jaringan ikat dan kontraktur dengan sedikit reepitelisasi.

Luka bakar derajat III (Full thickness) : Kerusakan seluruh lapisan kulit hingga ke jaringan lemak. Bisa tampak warna putih, hitam, merah atau bahkan hitam pada kulit, kulit kering dan nyeri tidak ada karena ujungujung serabut syaraf juga ikut terbakar. Penyembuhan tergantung jaringan ikat dan kontraktur dan tidak terjadi reepitelisasi.

Luka bakar derajat IV Luka bakar yang mengenai jaringan dibawah kulit seperti otot atau tulang.

4.2 Berdasarkan kedalaman : Epidermis, dermis atau subkutan Nomenclatur e Clinical findings Traditional Depth nomenclature First-degree Epidermis involvement Superficial (papillary) Deep (reticular) dermis Dermis and underlying tissue and possibly fascia, bone, or

Superficial thickness Partial thickness .superficial Second-degree Second-degree Partial thickness deep Full thickness Third- or fourthdegree

Erythema, minor pain, lack of Blisters, clear fluid, acrd pain Whiter appearance, with decreased pain. Difficult to Hard, leather-like eschar, purple fluid, no sensation (insensate)

Dalam menilai luas luka bakar dapat digunakan diagram standar Lund-Browder (tabel 2), atau rules of nine bila diagram tersebut tidak tersedia. Pada rules of nine, 1% luka bakar diperkirakan sama dengan lebar telapak tangan penderita yaitu : Kepala dan leher Lengan (ka / ki) Thorax anterior 9% 9% 18%

51

Thorax posterior Tungkai (ka / ki) Perineum

18% 18% 1%

Penentuan luas luka bakar diperlukan pad derajat II atau lebih karena menentukan jumlah cairan resusitasi. Perbedaan Was Luka Bakar Menurut Lund-Browder. Bayl Kepala Leher Thorax anterior Thorax posterior Bokong Perineum Paha Betis Kaki Lengan atas Lengan bawah Tangan 19 2 13 13 2.5 1 5.5 5 3.5 2.5 3 2.5 1 tahun 17 2 13 13 2.5 1 6.5 5 3.5 2.5 3 2.5 5 tahun 13 2 13 13 2.5 1 8 5.5 3.5 2.5 3 2.5 10 tahun 11 2 13 13 2.5 1 8.5 6 3.5 2.5 3 2.5 15 tahun 9 2 13 13 2.5 1 9 6.5 3.5 2.5 3 2.5 Dewasa 7 2 13 13 2.5 1 9.5 7 3.5 2.5 3 2.5

5. PENATALAKSANAAN Penilaian awal luka bakar mayor meliputi: A. Survei primer : menilai ABCDEF (A-airway, B-breathing, C-circulation, Dneurological disability, E-exposure, F-fluid rescucitation) B. Menilai luas dan kedalaman luka bakar C. Buat akses intravena dan berikan cairan

52

D. Pemberian analgetik E. Pemasangan kateter urin dan pemantauan balans cairan F. Periksa analisa gas darah G. Perawatan luka H. Survei sekunder, penilaian ulang dan menyingkirkan atau mengatasi trauma lainnya A. Survei Primer
-

Penilaian Jalan Nafas (Airway) : Tetapkan apakah terdapat sumbatan atau risiko sumbatan jalan nafas yang memerlukan intubasi endotrakeal, pemberian oksigen dan dukungan ventilasi mekanik Tatalaksana Jalan Nafas (Airway Management) Tanda-tanda cedera inhalasi Luka bakar akibat ledakan atau terperangkap dalam ruangan tertutup Luka bakar derajat II-III pada wajah, leher dan dada atas Sputum karbonaseous atau ditemukan partikel karbon di orofaring Indikasi Intubasi Pada visualisasi langsung orofaring terlihat eritema atau edema Perubahan suara, ngorok atau batuk hebat Stridor, takipnu atau dispnu

Bila terdapat tanda cedera saluran nafas bawah yaitu hipoksemia maka

diagnosis dibuat berdasarkan pulse oximetry dan analisis gas darah. Terapi awal yang diberikan adalah pemberian oksigen aliran tinggi dengan menjamin patensi dan meminimalkan resistensi saluran nafas atas. Bila terjadi hipoksemia refrakter yang dibuktikan melalui serial analisis gas darah maka untuk meningkatkan oksigenasi diberikan Positive end-expiratory pressure (PEEP) dangan volume tidal yang rendah yaitu sekitar 6 ml/kgbb untuk mencegah terjadinya barotrauma.

53

Bernafas (Breathing)

Menilai ada tidaknya gangguan mekanisme bernafas. Pada luka bakar dengan inhalasi asap langsung masuk ke paru-paru

menyebabkan bronkospasme dan inflamasi. Eksudat inflamasi akan menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Pada kondisi ini dapat dilakukan nebulisasi dan ventilasi tekanan positif dengan PEEP (positive end-expiratory pressure) yang tinggi. P a d a i n h a l a s i k a r b o n m o n o k s i d a m e n g i k a t deoksihemoglobin

40x lebih besar daripada afinitas oksigen mengikat protein intraseluler khususnya jalur sitokrom oksidase hipoksia. Analisis gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan peningkatan karboksihemoglobin. Kondisi ini diterapi dengan oksigen 100%, dan bila karboksihemoglobin > 25-30% maka pasien memerlukan ventilator Penilaian Sirkulasi (Circulation) Menilai ada tidaknya manifestasi syok hipovolemia (gangguan kesadaran, pucat, takikardia, nadi cepat dan tidak teratur serta pengisian kapiler yang tidak adekuat (>2 detik) dan penurunan suhu tubuh) Akses intravena harus segera dilakukan dan sebaiknya dipasang akses vena sentral dan atau didaerah yang tidak terbuka. Akses intravena juga diperlukan untuk mengambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium lengkap. Yaitu pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar elektrolit, analisis gas darah, protein total (albumin dan globulin), glukosa darah, fungsi ginjal dan hati. Penilaian Kesadaran (Neurological Disability) Nilai kesadarannya menggunakan skala koma Glasgow. Biasanya terjadi gelisah atau bingung karena hipoksia atau hipovolemia. Penilaian Paparan terhadap Lingkungan (Exposure) Mengukur berat badan dan panjang badan, menentukan lu g s dan derajat (kedalaman) luka bakar dan menentukan ada tidaknya cedera lain, dengan melakukan pemeriksaan menyeluruh dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

54

Resusitasi Cairan (Fluid Rescucitation) Lakukan koreksi volume yang terjadi akibat ekstravasasi cairan (dan elektrolit) ke jaringan interstitial dalam upaya memperbaiki perfusi. Formula yang digunakan adalah Formula Parkland yaitu 4 ml/kgBB/luas luka bakar, dengan setengah dari total cairan diberikan dalam 8 jam pertama sedangkan sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.

Cairan kristaloid, Ringer laktat (RL), lebih sering digunakan untuk resusitasi dengan volume besar dan lama (24-48 jam) dibandingkan dengan NaCI 0,9% karena memiliki kadar Natrium lebih rendah (130 mEq/L vs 154 mEq/L) dan pH lebih tinggi (6,5 vs 5,0). Selain itu RL memiliki efek bufer pada metabolisme laktat sehingga dapat mengatasi asidosis metabolik. Volume resusitasi yang besar disebabkan karena hanya 20-30% dari total cairan resusitasi yang akan tetap berada diintravaskular.

Petunjuk keberhasilan resusitasi adalah status mental, output urin, base deficit, dan tekanan darah sistolik. Dari status mental didapatkan kesadaran compos mentis dan tidak gelisah, output urin 1-2 ml/kgbb/jam untuk bayi dan 0,5-1 ml/kgbb/jam untuk anak-anak. Bila output urin kurang maka pemberian cairan harus dikoreksi hingga 25%. Dapat pula digunakan Laktat serum atau base deficit, tekanan vena sentral dan cardiac output sebagai petunuk.

Kebutuhan cairan maintenance : kebutuhan cairan basal ditambahkan dengan persentase kehilangan cairan melalui evaporasi. Pada anak-anak, besar evaporative fluid losses (<20 kg) (ml/jam) adalah (35 + % luka bakar) x luas permukaan tubuh.

B. SURVEI SEKUNDER Pemantauan

1. Pemantauan 24 jam pertama : untuk menilai sirkulasi sentral a. Tekanan vena sentral, diupayakan minimal berkisar 6-12 cmH20. a. Pemantauan sirkulasi perifer

55

Sirkulasi renal: - Jumlah produksi urin dipantau melalui kateter. - Jumlah urin saat resusitasi adalah 0,5-1 ml/kgbb/jam, hari 1-2 adalah 1-2 ml/kgbb/jam. Sirkulasi splanknik: Penilaian kualitas dan kuantitas produksi cairan lambung melalui pipa nasogastrik Penilaian fungsi hepar (fungsi enzimatik, sintetik dan metabolik) 2.Pemantauan 24 jam berikutnya: a. Jumlah cairan diberikan merata dalam 24 jam. b. Pemantauan sirkulasi c. Nilai tekanan vena sentral. Bila volume cairan intravaskular tetap rendah (<+2) maka pemberian HES dapat bermanfaat. d. Jumlah produksi urin 1-2 ml/kgbb/jam. e. Pemantauan perfusi dengan analisis gas darah dan kadar elektrolit. 3. Pemantauan 48 jam berikutnya: a. Cairan yang diberikan sesuai kebutuhan maintenance b. Pemantauan sirkulasi c. Komposisi Hb dan Ht mulai mendekati normal, Hb cenderung menurun dan kadang dijumpai anemia relatif. d. Jumlah produksi urin 3-4 ml/kgbb/jam.
e.

Pemberian

Koloid

akan

memperbaiki

keseimbangan

tekanan

onkotik

diintravaskular melalui proses penarikan cairan dari jaringan interstitial.

Pemberian Analgetilk Morfin sulfat sebagai analgetika pada luka bakar terutama luka bakar mayor. Pemberian obat-obat analgetik sebaiknya menggunakan jalur intravena dan diberikan secara kontinyu melalui infus (infusion pump) Penggunaan Antibiotika

56

Sebagai profilaksis dan terapetik Antibiotika topikal seperti Silver Sulfadiazin, Povidon iodin G entamisin sulfat 0,1%, N itrofurantoin, Mupirocin Basitracin/Polimiksin. Penggunaan antibiotika sistemik masih kontroversi namun dapat diberikan pads keadaan kecurigaan adanya suatu infeksi atau sepsis. Perawatan Luka 1. Mengatasai masalah yang berkenaan dengan: Hilangnya fungsi kulit sebagai organ yang berperan dalam mengatur penguapan. Hilangnya fungsi kulit sebagai organ yang berperan sebagai sawar terhadap infeksi. Jaringan nekrosis merupakan fokus reaksi inflamasi sistemik. Proses penyembuhan (reepitelisasi) 2. Rehabilitasi pasien sehubungan dengan fungsi organ/bagian tubuh tertentu. Proses perawatan luka: Tindakan dikerjakan oleh ahli bedah/asistennya di Unit luka bakar. Pembersihan luka/pencucian luka diruang cuci luka bakar (Hubart tank) Nekrotomi dan debridement diruang operasi luka bakar Penggantian balutan lanjutan diruang perawatan 6. KOMPLIKASI Permasalahan Pernafasan /Paru-paru (Pneumonia, masalah respirasi akibat hipermetabolisme dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Infeksi Sepsis 10% , clan

7. PROGNOSIS Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas luka bakar adalah gagal kardiorespirasi atau gagal ginjal, luas luka bakar, usia dan jenis kelamin wanita. Bila terdapat kegagalan 2 organ atau lebih maka mortalitas mencapai 98%,

57

dengan infeksi sebagai penyebab utama kematian (75%). Luka bakar pada kepala dan leher disertai tanda-tanda cedera inhalasi memiliki mortalitas yang tinggi. Ketelambatan resusitasi cairan hingga 48 jam setelah kejadian juga akan meningkatkan mortalitas hingga 100%.

58

You might also like