You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun semakin bertambah, yang diindikasikan dengan bertambahnya tingkat pertumbuhan penduduk secara nasional berkisar 1.6 % per tahun. Untuk Sulawesi Utara, peningkatan kepadatan penduduk diprediksi sekitar 0.6 % per tahun yang berindikasi positif terhadap meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat dan pencari kerja. Dengan demikian maka kewajiban sector pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas pangan secara menyeluruh. Mulai dekade 1970-an peningkatan produktivitas ini dilakukan dengan menerapkan teknologi green revolution yang lebih mengedepankan peran input-input pertanian an-organik untuk memacu produktivitas. Dalam kurun waktu tersebut kajian tentang dampak negatif dalam jangka panjang dari aplikasi bahan-bahan an-organik yang diterapkan tertutama pada lahan-lahan irigasi belum banyak dibahas. Namun, diprediksi bahwa kondisi lahan-lahan sawah saat ini telah mengalami kerusakan yang sangat serius (adnyana, 2000) dengan indikasi terjadinya penimbunan residu unsur P yang sangat tinggi serta residu bahan-bahan kimia akibat penggunaan pestisida kimiawi. Hal ini membutuhkan penanganan yang sangat serius dalam waktu yang lama. Di lain pihak adanya, akhir-akhir ini isu globalisasi sangat bergema dimana keamanan pangan merupakan salah satu topik yang dihembuskan terkait dengan aspek pertanian ramah lingkungan. Dalam berbagai hal maka komponen organik dalam pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi topik bahasan utama. Salah satu solusi yang umum digunakan dalam memperbaiki keadaan lahan pertanian dan produktivitas tanaman adalah dengan mengembalikan bahan-bahan organik tanah yang telah terkuras dan menerapkan pemberian pupuk organik baik dalam bentuk cair maupun padat. Berbagai jenis pupuk organik yang terdapat dalam lingkungan masyarakat pedesaan adalah kotoran maupun urine ternak yang secara tradisional masyarakat telah mengenal dengan baik penerapannya di lahan untuk meningkatkan produksi pertanian. Secara hakiki, pupuk organik sesungguhnya berperan dalam

memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah (Sahiri, 2006). Berbagai penelitian membuktikan juga bahwa pemberian pupuk organik dapat memperbaiki kualitas tanaman. Walaupun demikian tidak semua material bahan organik mempunyai kandungan hara yang dapat memenuhi kebutuhan tanaman karena kandungan haranya yang rendah dan ketersediaan unsure haranya lambat, sehingga dengan demikian pemilihan pupuk organik yang tepat diharapkan dapat mengatasi kelemahan dan kekurangan pupuk organik yang ada (Lingga, 2004). Salah satu pupuk organik yang masih berpotensi besar dan belum banyak diaplikasikan petani di Sulawesi Utara adalah limbah ternak sapi serta bio urine dari ternak yang diketahui mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro cukup banyak. Limbah kotoran sapi ini sering dibuang ke kali ataupun dibakar sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain kotoran sapi, banyak petani yang menerapkan urine ternak kelinci dan sapi sebagai pupuk cair. Air kencing ini diduga mengandung unsure hara yang baik sebab mampu merangsang pertumbuhan dengan baik. Mengingat limbah bio urine sapi dan kelinci ini ditengarai mempunyai kandungan unsure makro dan mikro yang baik bagi tanaman maka perlu dilakukan pengkajian terhadap peluang pemanfaatan pupuk organik padat dan cair sebagai alternative pengganti pupuk kimiawi NPK. Beberapa pengkajian terhadap pupuk kandang sapi telah dilakukan dan menghasilkan produksi tanaman jagung secara signifikan dan mampu menekan pemanfaatan pupuk anorganik (kimia) hingga 50 % (Kamandalu dan Dana, 2005), serta pengujian pada tanaman ketela pohon dan ketela rambat menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata dibanding dengan cara petani (Riyasa, et, al., 2004). Bertolak dari alasan tersebut diatas, pada penelitian ini dilakukan uji lapangan efektivitas pupuk organik yang memanfaatkan kotoran ternak sapi agar diperoleh informasi dan meyakinkan petani tentang potensi pupuk organik dengan memanfaatkan kotoran ternak sapi (kotoran padat maupun cair) sebagai sumber hara bagi tanaman jagung. Alasan penggunaan kotoran ternak sapi adalah disamping tersedia melimpah dilingkungan sekitar, Bahkan sampai kini limbah kotoran ternak sapi dan

permasalahannya pun terus meningkat dan semakin kompleks pada sentra peternakan dan kawasan sekitarnya sertadi lingkungan sosial masyarakat. Limbah kotoran ternak tidak

saja berdampak negatif terhadap lingkungan tanah, air dan udara, tetapi juga berpengaruh secara signifikan terhadap produksi ternak itu sendiri (Moody, 2001; Ni et al., 2003). Dengan memanfaatkannya sebagai bahan produktif terutama sumber hara bagi tanaman, maka kotoran ternak sapi yang selama ini dikenal sebagai sumber

permasalahan bagi lingkungan menjadi potensial secara ekonomi bagi pengembangan usaha peternakan itu sendiri. Kotoran ternak sapi merupakan salah satu sumber pupuk organik potensial yang digunakan sebagai sumber hara tanaman pertanian, walaupun tingkat kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kationnya tinggi serta mengandung beberapa unsure hara makro dan mikro tertentu dalam jumlah banyak. Sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman (Darung, 2001).

2. Identifikasi Masalah Masalah pokok dan akan menjadi alasan dalam penelitian ini adalah: 1. Selama ini pengguanaan pupuk anorganik selain berbiaya tinggi, juga berdampak negatif terhadap lingkungan. 2. Masih terbatas pengetahuan dan keterampilan petani membuat pupuk organik berkualitas dengan memanfaatkan kotoran ternak sapi. 3. Masih terbatas informasi penggunaan pupuk organik berasal dari kotoran ternak sapi untuk peningkatan pertumbuhan dan hasil jagung.

3. Perumusan Masalah Apakah pemberian pupuk organik dari kotoran ternak sapi dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung?

4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian pupuk organik berasal dari kotoran ternak sapi terhadap pertumbuhan dan hasil jagung.

5. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat secara teoritis: Dapat diperoleh informasi pertumbuhan dan hasil tanaman jagung dengan menggunakan pupuk organik berasal dari kotoran ternak sapi. 2. Manfaat praktis: Diperoleh informasi praktis yang dapat langsung digunakan oleh petani di lapangan atau lokasi usaha tani.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Selama ini sektor pertanian kita selalu ketinggalan dengan Negara lain. Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa sebagai Negara agraris kita masih tergantung impor dari luar negeri. Yudohusodo (2006) menyatakan pemenuhan bahan pangan Negara kita pertahun dari impor yaitu sebesar 500.000 ton beras, 1,2 juta ton kedelai, 5,5 juta ton gandum, 1,5 juta ton jagung, daging sapi setara dengan 550.000 ekor serta produk pertanian lainnya. Rendahnya kemampuan pemenuhan produk pangan ini tidak terlepas dari penurunan kualitas lahan (degradasi lahan) pertanian. Hal ini disebabkan oleh adanya pengurasan sumberdaya lahan tanpa diimbangi oleh adanya upaya pengembalian yang optimal. Kartini (2000) menyatakan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dalam jumlah banyak merupakan salah satu penyebab degradasi lahan. Lebih lanjut Supadma (2006) menyatakan sejak tahun 1984 pemakaian pupuk buatan oleh petani di Indonesia nampak meningkat sangat dominan untuk meningkatkan hasil pertanian secara nyata dan cepat. Sebaliknya petani hampir melupakan peranan pupuk organik karena responnya yang lambat. Hal ini berakibat kurang baik bagi perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Muji Rahayu (2006) menyatakan sekarang ini dampak negatif revolusi hijau mulai dirasakan. Hal ini menyadarkan masyarakat untuk kembali ke pertanian ramah lingkungan, dan penggunaan pupuk organik , merupakan salah satu pendukungnya. Pada awal budidaya pertanian, hara yang diperlukan untuk produksi tanaman hanya mengandalkan sumber alami dari tanah, baik yang bersumber dari bahan organik dan dari bahan mineral tanah, tanpa adanya pasokan hara dari luar. Petani peladang berpindah memilih tanah sebagai tempat usahanya hanya mendasarkan pada tebal tipisnya lapisan humus dan ketersediaan airnya saja. Setelah hara setempat habis atau produktivitasnya menurun, mereka pergi meninggalkan tempat usahanya untuk mencari lahan yang baru mempunyai lapisan humus tebal yang relatif lebih produktif, sehingga akan memberikan harapan terhadap ketersediaan hara untuk budidaya pertanian berikutnya. Sejak manusia melakukan pertanian menetap, mulailah petani mengupayakan pengelolaan kesuburan tanah, yaitu dengan penambahan bahan organik untuk memulihkan kembali status hara dalam tanah. Perkembangan selanjutnya tidak terbatas pada penggunaan pupuk organik, namun juga dengan penggunaan pupuk buatan. Pada tahun 60-an terjadilah biorevolusi di bidang
5

pertanian, yang dikenal sebagai revolusi hijau yang telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara spektakuler. Petani mulai berpaling meninggalkan penggunaan pupuk organik, berubah ke penggunaan pupuk buatan yang berkonsentrasi hara tinggi. Dengan revolusi hijau tersebut, produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan dalam dua-tiga dasawarsa terakhir. Peningkatan produksi pangan tersebut disebabkan pola input intensive atau teknologi masukan tinggi yang salah satunya dicirikan dengan penggunaan agrokimia yang berupa penggunaan pupuk buatan dan pestisida yang tinggi, dan penggunaan varietas unggul yang dicirikan oleh umur pendek dengan hasil tinggi, sehingga terjadi pengurasan hara dalam kurun waktu yang pendek relatif tinggi. Akibat dari perubahan pola budidaya ini, menyebabkan kebutuhan pupuk dunia melonjak sangat pesat dari tahun ketahun termasuk Indonesia (suntoro, 2003). Menurut Notohadiprawiro, (1989) bahwa penggunaan pupuk buatan di Indonesia sudah sangat tinggi sejak awal tahun 1980-an. Penggunaan pupuk buatan yang berkonsentrasi tinggi yang tidak proporsional ini, akan berdampak pada penimpangan status hara dalam tanah, sehingga akan memungkinkan terjadinya kekahatan hara lain. Di samping itu, petani mulai banyak yang meninggalkan penggunaan pupuk organik baik yang berupa pupuk hijau ataupun kompos, dengan anggapan penggunaan pupuk organik kurang efektif dan efisien, karena kandungan unsur hara dalam bahan organik yang relatif kecil dan lambat tersedia. Akibat dari itu, akan berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan. Sementara, sistem pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 %. Masalah lain dari pupuk buatan yang digunakan selama ini adalah menyebabkan rusaknya struktur tanah akibat pemakaian pupuk buatan yang terus menerus sehingga perkembangan akar tanaman menjadi tidak sempurna. Hal ini juga akan memberi dampak terhadap produksi tanaman yang diusahakan pada tanaman yang diusahakan pada tanah yang biasa di berikan pupuk buatan. Begitu juga dari efek sarana produksi terhadap lingkungan telah banyak dirasakan oleh masyarakat petani, penggunaan pupuk buatan yang terus menerus menyebabkan ketergantungan dan lahan mereka menjadi lebih sukar untuk diolah. Menurut Handayanto (1999) sering kurang di sadari oleh petani, bahwa walaupun peran bahan organik terhadap suplai hara bagi tanaman kurang, namun peran bahan organik
6

yang paling besar dan penting adalah kaitannya dengan kesuburan fisik tanah. Apabila tanah kandungan humusnya semakin berkurang, maka lambat laun tanah akan menjadi keras, kompak dan bergumpal, sehingga menjadi kurang produktif. Menyadari dampak negatif pada tanah dari pertanian yang boros energy tersebut, maka berkembanglah pada akhir-akhir ini konsep pertanian organik, yang salah satu langkah untuk pemeliharaan kesuburan tanahnya, adalah dengan penggunaan kembali bahan organik. Walaupun penggunaan bahan organik sudah bukan bahan yang baru lagi, namun mengingat betapa pentingnya bahan organik dalam menunjang produktivitas tanaman dan sekaligus mempertahankan kondisi lahan yang produktif dan berkelanjutan, maka pembahasan terhadap bahan organik tidak henti-hentinya untuk dikaji. Muji Rahayu (2006) menyatakan sekarang ini dampak negatif revolusi hijau mulai dirasakan. Hal ini menyadarkan masyarakat untuk kembali ke pertanian ramah lingkungan, dan penggunaan pupuk organik merupakan salah satu pendukungnya. Selama ini pupuk organik yang lebih banyak dimanfaatkan pada usaha tani yaitu pupuk organik padat (pupuk kandang), sedangkan limbah cair (urine) masih belum banyak dimanfaatkan. Guntoro (2006) menyatakan kendala dalam pemanfaatan pupuk organik padat (pupuk kandang) yaitu di beberapa lokasi jumlah ternak masih relatif kurang di bandingkan dengan luas lahan serta aplikasinya mahal karena membutuhkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dibandingkan pupuk anorganik. Salah satu alternatif pemecahan yang mungkin dilakukan yaitu dengan penggunaan pupuk organik cair yang berasal dari urine ternak. Banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap urine seperti urin sapi, seperti yang dilaporkan oleh Anty (1987) yang melaporkan bahwa urine sapi mengandung zat perangsang tumbuh yang dapat digunakan sebagai pengatur tumbuh diantaranya adalah IAA. Lebih lanjut dijelaskan bahwa urine sapi juga memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetatif awal tanaman jagung. Bahkan karena baunya yang khas urine ternak juga dapat mencegah datangnya berbagai hama tanaman sehingga urine sapi juga dapat berfungsi sebagai pengendalian hama tanaman dari serangan hama. Urine dapat diolah menjadi pupuk organik cair setelah diramu dengan campuran tertentu. Bahan baku urine yang digunakan merupakan limbah dari peternakan yang selama ini juga sebagai bahan buangan. Pupuk organik cair dari larut pada tanah dan membawa unsur-unsur penting guna kesuburan tanah. Kandungan unsure hara yang dimiliki jika di bandingkan dengan pupuk buatan dalam segi kuantitas.

Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai pembuatan pupuk organik cair dari ternak sapi. Selain itu, untuk mengetahui apakah urine ternak sapi benar bisa di jadikan pupuk organik cair, maka peneliti mengkaji pengaruh penggunaan urine sapi sebagai pupuk cair dengan penambahan limbah air cucian beras dan difermentasi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pupuk yang diharapkan dapat memajukan kualitas pertanian di Indonesia dengan memanfaatkan limbah bahan limbah peternakan yang selama ini kurang dimanfaatkan oleh peternak.

BAB III
METODE PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di halaman SMP di desa Koka Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa. Penelitian ini akan berlangsung selama enam bulan yaitu dari persiapan sampai penyusunan tesis. 2. Bahan dan Alat Penelitian Benih jagung Pupuk ,NPK (anorganik) dan Urin sapi Polybag Air bekas cucian beras Cangkul dan alat serta bahan penunjang lainnya.

3. Prosedur dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas empat perlakuan yaitu yang terdiri dari: I. II. Penanaman jagung tanpa pupuk (sebagai control), Penanaman jagung dengan menggunakan pupuk organik (bio urin sapi) terfermentasi, III. Penanaman jagung dengan menggunakan pupuk organik (bio urin sapi dicampur dengan air cucian beras terfermentasi), IV. Penanaman jagung dengan menggunakan pupuk urea (anorganik).

Setiap perlakuan terdiri atas 20 polybag yang ditanami jagung sebagai ulangan. Langkah kerja yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah: (1) Menampung urin sapi untuk difermentasi dengan larutan EM-4 sesuai perlakuan. (2) Mempersiapkan tanah untuk dimasukkan dalam polybag yang sudah disiapkan. (3) Melakukan pemeriksaan kandungan hara tanah yang akan digunakan dalam penelitian.
9

(4) Meletakkan benih jagung dalam setiap polybag (5) Prosedur perlakuan pupuk yaitu untuk pupuk anorganik dilakukan dengan cara yaitu dua minggu setelah tanam diberi pupuk anorganik dengan perbandingan pupuk urea dan NPK (1:4) dan pemupukan kedua dilakukan enam minggu setelah tanam dengan perbandingan urea dan NPK (4:1). Sedangkan untuk perlakuan dengan pupuk cair yaitu akan dilakukan dengan cara menyiram bio urin (perbandingan 1 liter urin sapi dicampur 4 liter air) yang sudah difermentasi. Proses penyiraman akan dilakukan setiap minggu selama enam kali (6 minggu). (6) Untuk kelompok tanpa perlakuan atau kontrol hanya disiram dengan air tanpa di beri pupuk.

4. Variable yang akan diamati teknik pengukurannya a. Produksi ditentukan dengan mengukur pertumbuhan tanaman jagung pada umur 2,4 dan 6 minggu setelah tanam b. Bobot per tongkol dan bobot pipilan kering.

5. Analisis Data Hasil (nilai) yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik dengan analisis ragam uji F menurut Vincent (2002).

10

DAFTAR PUSTAKA

Adijaya, N, I.M Rai Yasa dan S. Guntoro. 2006. Pemanfaatan Bio Urine Kambing pada Usahatani Bawang Merah di Lahan Kering Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Prosiding Seminar Nasional Percepatan Transformasi teknologi Pertanian untuk Mendukung Pembangunan Wilayah. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Adnyana, P. 2000. Pengaruh Komposiasi manure kelinci dengan berbagai mikrobia terhadap produksi kentang. Di akses dari http://balitnak.litbang.deptan.go.id Guntoro, S. 2006. Leaftet Teknik Produksi dan Aplikasi Pupuk Organik Cair dari Limbah Ternak. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dengan Bappeda provinsi Bali. Handayanto. A. G. 1999. Manfaat dan alternatif penggunaan pupuk organik pada lahan kering melalui pertanaman leguminosa. Kongres Nasional VII. HITI. Bandung Linggga P., 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta. Mujirahayu. 2006. Pengaruh berbagai pupuk organik terhadap beberapa sifat fisika dan kimia vertisol dan ultisol serta hasil padi gogo. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung. Raiyasa, I. Nyoman A dan I Made K. 2007. Pemanfaatan bio urine dalam produksi hijauan pakan ternak (rumput gajah). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Suntoro W. Atmojo. 2003. Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah dan upaya pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Diucapkan di muka Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Tanggal 4 Januari 2003 Sutanto R, 2002. Pertanian Organik : Menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. Kanisius Yogyakarta. Sahiri, N. 2006. Pertanian Organik : Prinsip daur ulang hara, konservasi air dan interaksi antar tanaman http://fapertaunswagati.pdf.
11

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PUPUK ORGANIK BIO URINE SAPI TERFERMENTASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG

KAMALUDDIN 08 302 556

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MANADO

2011

12

You might also like