You are on page 1of 23

ILMU RIJALUL HADITS

ILMU RIJALUL HADITS TA RIEF ILMU RIJALIL HADITS Ilmu Rijalil Hadits adalah salah satu dari ilmu-ilmu hadits yang sangat penting. Ilmu hadits, melengkapi sanad dan matan. Orang-orang sanad itulah perawih-perawih hadits. Maka merekalah pokok pembicaraan ilmu Rijalul Hadits yang merupakan salah satu dari dua tepi ilmu hadits. Lantataran inilah para ulama sangat mementingkan ilmu ini. Ilmu Rijalul hadis terbagi atas dua ilmu yang besar: 1. Ilmu Tarikhir Ruwah : Ilmu sejarah perawi-perawi hadits. 2. Ilmu jahri wat Tadil : Ilmu yang menerangkan adil tidaknya perawi hadits. Maka Ilmu Tarikhir Ruwah ialah : ilmu yang mengenalkan kepada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatkan hadits. Maka ilmu ini menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannya, kewafatannya, guru-gurunya, masa mulai mendengar hadits dan orangorang yang meriwayatkan hadits dari padanya, negrinya, tempat kediamannya, perlawatan-perlawatnnya, sejarah kedatangannya ketempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan dengan urusan hadits. Ilmu ini lahir bersama-sama dengan lahirnya periwayatan hadits dalam islam. Para ulama sangat mementingkannya supaya mereka mengetahui keadaan perawi-perawi sanad. Mereka menanyakan tentang umur perawi, tempat kediamannya, sejarah mereka belajar, sebagai mana mereka menanyakan tentang peribadi perawi sendiri agar mereka mengetahui tentang kemustahilannya dan kemunqathiiannya, tentang kemarfuannya dan kemauqufannya. Memang sejarahlah senjata yang ampuh untuk menghadapi para pendusta. Sufyan Ats Tsauri berkata : tatkala para perawi telah mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah Dengan kesungguhan para ulama dalam mengahadapi sejarah para perawi, terkumpullah suatu perbendaharaan besar yang menerangkan sejarah para perawi hadits, kekayaan itu mereka simpan dalam hasil-hasil karya mereka. Maka ada yang menulis tentang hal sahabat dan segala sangkut pautnya, tentang bilangan hadits-hadits mereka dan perawi-perawinya. Di waktu memancar mata hari pembukuan ilmu, lahirlah aneka karangan yang menerangkan berita-berita sahabat dan tabiin, tabiit tabiin dan orang-orang yang sesudah mereka. Berbagai macam jalan yang ditempuh para pengarang sejarah perawi hadits. Ada yang mengarang sejarah para perawi, thabaqat demi thabaqat, yakni orang-orang semasa, kemudian orang-orang semasa pula. Diantara kiatab yang paling tua yang menulis sejarah perawi thabaqat demi thabaqat, ialah kitab At Thabaqat Al Kubra, karya Muhammad ibn Saad (168-230 H). dan Thabaqatur Ruwah karangan Khalifah ibn Khayyath Al-ashfari (240H). Diantara mereka, ada yang mensyarahkan menurut athun perawi, dari tahun demi tahun. Di dalamnya diterangkan tahun wafat para perawi, disamping menerangkan keadaan beritanya.

Adz Dzahabi dalam kitabnya Tarikhul Islam menempuh jalan ini. Di antara mereka, ada yang menyusun sejarah perawi menurut huruf abjad. Macam inilah yang mudah kita pelajari. Diantara kitab yang paling tua yang sampai kepada kita ialah : At Tarikhul Kabir Karya Al Imam Muhammad ibn islmail Al bukhari (194- 256 H). di dalamnya disebutkan lebih kurang 40.000 biografi pria dan wanita. Kitab yang paling mengumpulkan biografi perwai-perawi hadits ialah: Kitab Tahdzieb, karya Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalany (773-853 H). Al Hafidh Abu Muhammad Abdu Ghani ibn Abdul Wahid Al Maqdasi (514-600 H). menyusun sebuah kitab yang dinamakan Al Kamal fi Asmair Rijal. Kemudian kitab itu dibersihkan oleh Al Hafidh Yusuf ibn Abdur Rahman Al Mizzi (654- 742 H). dengan diberi tambahan-tambahan dan ditertibkan menurut huruf abjad, kitabnya dinamakan Tahdzibul Kamal fi Rijal yang selesai disusun pada tahun 712 H. Kemudian Ibnu Hajar Al Asqalani meringkaskan kitab itu dengan sebuah kitab yang dinamakan Taqribut Tahdzib fi Asmal Rijal. Ada pula yang menyusun menurut negeri perawi hadits. Pengarannya menjelaskan ulama-ulama negerinya dan ulama-ulama yang datang ke negri itu. Dan terkadang-kadang diterangkan pula orang yag meriwayatkan hadits dari ulamaulama itu. Kebanyakan mereka menyebutkan keutamaan negeri ulama-ulamanya dibuat sejarah, kemudian mereka menyebut sahabat-sahabat yang berada di negeri itu, atau berkediaman di negara itu. Kemudian barulah diterangkan ualama-ulama lain menurut huruf abjad. Di antara kitab yang paling tua dalam bidang ini ialah, ialah Tarikh Naisabur, karangan Al Hakim(321405 H) dan Tarikh Baghdad karya Ahmad ibn Ali Al Baghdadi yang terkenal dengan nama Al khatib Al Baghdadi ( 392-463 H) sebuah kitab yang baik. Di dalamya terdapat sejumlah 7831 biografi dan tarikh Dimasyqa, karya Ibnu Asakir ( 499-571). Ada para ahli hadits yang menyusun kitab-kitab yang menerangkan nama-nama perawi, kunyah dan Iaqab dan kebangsaan mereka. Ada pula yang menulis nama-nama yang mutalif dan mukhtalif, perawi-perawi yang bersaudara, sahabat-sahabat yang panjang umur, demikian pula para tabiin dan lainnya. Ada pula yang menulis nama-nama yang hamper sama. Diantara kitab yang paling tua yang menerangkan nama dan kun-yah, ialah Al Asma Wal Kuna, karya Ali ibn Abdullah Al madini (161-234 H). kitab yang paling padat isinya dalam bidang ini ialah Al Kuna Wal Asma karangan Muhammad ibn Ahmad Ad Daulabi (234-320 H) dan kitab Al Ikmal, karya Ibn Nakula Al Baghdadi (421-486 H). Kiatab yang paling padat isinya dalam bidang nama yang hampir-hampir sama, ialah Al Musytabah fi Asmair Rijal, karya Adz Dzahabi (673-740 H). sedangkan kitab yang paling padat isinya tentang laqab-laqab para perawi ialah Nushatul Alhab fil Al Qab, karya AlAsqalani (733-852 H). Kitab yang paling besar dalam bidang silsilah keturunan para perawi, ialah kitab Al Ansab, karya Tajul Islam Abdu Karim ibn Muhammad As Sanni (506-562 H). dan kitab Al Lubab, karya Ali ibn Muhammad Asy Syaibani Al Jazari (555-630 H). para ulama tidak saja meriwayatkan sejarah perawi perawi lelaki, bahkan meriwayatkan juga sejarah perawi-perawi wanita yang telah menjadi pengembang-pengembang hadits, seperti Aisyah dan isteri-isteri nabi lainnya, serta sahabat-sahabat wanita. Muhammad ibn Saad (168-230 H) menspesialkan jilid terakhir dari kitabnya untuk perawiperawi wanita, sungguh usaha ulama-ulama kita dalam bidang ini mengagumkan

benar.[1] Ilmu ini ada yang menanamkan Ilmu Tarikh, ada yang menanamkan Tarikhur Ruwah, ada yang menanamkan Wafayyatur Ruwah, dan ada yang menanamkan At Tawarikh Wafiyyyat. ILMU JARHI WAT TADIL 1. TARIEF JARHI Jarah, menurut bahasa lughah bermakna melakukan badan yang karenanya mengalirkan darah. Apabila dikatakan: hakim menjarahkan saksi maka maknanya : hakim menolak kesaksian saksi. [2]Menurut istilah ahli hadits. Nampak suatu sifat pada perawi yang merusak keadilannya atau mencederakan hafadhannya, karenanya gugurlah riwayatnya dipandang lemah. 2. TARIEF TAJRIEH Tajrieh menurut lughat, bermakna tasyqieq= melakukan, sedangkan tajieb = mengaibkan. Menurut uruf ahli hadits, ialah: mendhahirkan sesuatu cacat yang karenanya ditolak riwayatnya Mensifatkan para perawih dengan sifat-sifat yang menyebabkan dilemahkan riwayatnya atau tidak diterima. Adil menurut lughah : suatu yang dirasakan oleh diri, bahwasanya dia itu adalah dalam keadaan lurus. Orang yang dipandang adil adalah : orang yang diterima kesaksiannya, yaitu : islam, bulugh, adalah keadilan dan dlabath.[3] Menurut istilah adalah: orang yang tidak nampak dalam urusan keagamaannya dan muruahnya sesuatu yang mencederakan keadilan dan muruhnya. Karena itu terimalah kesaksiaannya dan riwayatnya apabila sempurna keahliannya meriwayatkan hadits. 3. TADIL ta'dil menurut lughat adalah taswiyah ( menyamakan) sedangkan menurut istilah ialah mensfatkan perawi dengan sfat-sifat yang menetapkan kebersihannya dari pada kesalahan-kesalahannya, lalu Nampaklah keadilannya dan diterimalah riwayatnya. Menurut uruf ahlil hadis ialah mengakui keadilan seseorang, kedlabithan dan kepercayaan. Maka ilmu jarwi wat Tadil ialah: ilmu yang membahas keadaan-keadaan perawi dari segi terima, tolak riwayatnya.[4] Ilmu ini salah satu yang terpenting dan tinggi benar nilaiya, karena dengan dialah dapat dibedakan antara yang shahih dengan yang saqim, antara yang diterima dengan yang ditolak,

mengingat timbilnya hukum-hukum yang berbeda-beda dari pada tingkatan Jarah dan Tadil ini. 4. PERTUMBUHAN ILMU JARHI WAT TADIL Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui keadaan perawi-perawinya secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran perawi atau kedustaannya hingga dapatlah mereka nenbedakan antara yang diterima dan ditolak. Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatan, lebih lama menyertai guru. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbunya periwayatan dalam islam. Para ulama menerangkan catatan-catatan para perawi yang memang tercatat. 5. LAFADH-LAFADH TADIL Para ulama hadits telah menempatkan lafadh-lafadh tadil dalam beberapa martabat[5]. 1. Ibnu Abi Hatim, Ibnush Shalah dan An Nawawi menjadikan 4 martabat. 2. Adz Dzahabi dan AlIraqi menjsdiksn 5 martabat. 3. Al Hafidh ibnu Hajar menjadikan 6 martabat bagi Tadil dan 6 martabat bagi tajrieh. A. Tiap-tiap ibarat yang masuk kepadanya fiil tafdlil dan yang menyerupai fiil tafdil yang menunjukan kepada mubalaghah, yaitu seperti kata ulam hadits : 1. Si anu orang yang paling kepercayaan. 2. Si Anu orang yang paling kuat hafalannya dan keadilannya. Dan perkataan. Kepadanyalah kesusahan. An Nawawi memasukan ke dalam martabat ini perkataan: tak ada sesorang yanga lebih kuat dari padanya. dan siapa yang sama si anu. si polan ditanya tentang keadaannya Martabat inilah yang dipandang paling tinggi dari martabat yang lain. B. Tiap-tiap ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan mengulangiulangi lafadh yang menunjukan kepada keadilan, dua kali atau lebih, baik lafadh yang kedua itu, lafadh yang pertama, ataupun yang semakna dengan lafadh yang pertama, dan makin banyak diulang-ulang kalimat itu, makin menunjukan maksud seperti dikatakan ; Kepercayaan,kepercayaan Kepercayaan, kuat hafalan.

Penghafal hadits dan orang yang perkataannya jadi hujjah. Di antaranya perkataan Ibnu Said dalam thabaqat terhadap syubah : Kepercayaan, orang yang terpelihara, teguh hafalan, perkataanya menjadi hujjah, pemelihara hadis. Ibnu Uyainah mengatakan, bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Amer ibn Dienar dan beliau seorang tsiqah Sembilan kali Ibn Uyainah kata tsiqah. C. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan sesuatu lafadh yang member pengertian, bahwa perawi itu kokoh ingatannya, seperti dikatakan 1. Si polan orang yang teguh hati dan lidah 2. Si polan teguh dan bagus riwayatnya 3. Si polan kepercayaan 4. Si polan penghafal hadits 5. Si polan seorang yang teguh hafalannya 6. Si polan hijjah D. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat para perawi dengan suatu lafald yang tidak memberi pengertian, bahwa dia itu orang yang kokoh ingtannya, seperti 1. si polan orang yang sangat benar 2. si polan boleh dipegang perkataanya 3. si polan tak ada padanya cacat 4. si polan tak ada cacattan padanya 5. si polan orang pilihan Diterangkan oleh ibnu Abi Hatim bahwa perawi yang dikaitkan demikian terhadap dirinya, ditulis haditsnya lalu diselidiki apakah orang itu kuat ingatan, atau tidak. E. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi dengan sifat yang tidak member pengertian bahwa dia, kokoh ingatan dan tidak pula menunjukkan kepada benar dan amanah, seperti perkataan : Si polan adalah orang yang dapat dipandang benar Masuk kedalam martabat ini, perkataan : 1. Si polan orang yang diriwayatkan dari padanya 2. Si polan yang pertengahan 3. Si polan seorang syaikh 4. Si polan seorang yang pertengahan dan seorang syaikh

5. Si polan seorang yang baik haditsnya 6. Si polan seorang yang mendekati haditsnya 7. Si polan seorang yang indah haditsnya 8. Si polan sesorang yang didekati hadisnya. 9. Si polan seorang yang shahih haditsnya Di sini perlu ditegaskan bahwa Al Bulqini berpendapat, Muqaribul Hadits ( dengan mengkasrahkan raa) dipakai lafadh tadil sedangkan muqarabul hadits ( dengan mengghafathahkan raa) dipakai buat lafadh tajrih.[6] Makna muqarrab adalah radieun = buruk. Diterangkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani bahwa masuk kedalam martabat ini, apabila dikumpulkan antara lafadh shaduuq dengan lafadh yang menunjukan kepada lemah seperti : 1.orang yang benar, buruk hafalannya 2. orang benar, tapi berwaham 3. oarng benar, yang banyak waham 4. orang benar yang sering silap 5. orang yang benar berubah akal diakhir umurnya Hadist-hadits orang yang tersebut ini, ditulis untuk Itibar dan nadhar. Dan dimasukkan pula kedalam martabat ini, mensifatkan perawi, dengan ahli bidah. Seperti dikatakan : dia menganut madhzab Syiah, madzhab Qadariyah, Murjiyah dan lain-lain sebagainya. F. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat perawi dengan sesuatu lafadh dari lafadhlafadh yang telah lalu, kemudian diiringinya dengan perkataan jiak dikehendaki allah, atau menunjukan bahwa perawi itu tidak teguh mempunyai sifat-sifat itu, seperti dikatakan: 1. dia seorang benar insya allah 2. saya harap dia orang yang dapat diterima 3. si polan orang yang sedikit salih Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalani menambah lagi dengan perkataan : Yang dierima Golongan ini ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Tegasnya, tiga martabat yang pertama, ditulis dengan tidak dinadharkan lagi. Tiga martabat yang ke dua, ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Diterima syahadat terhadap penetapan-penetapan tersebut dengan akuan seorang yang mengetahui sebab-sebab tazkiyah (tadil), seperti Asy SyafiI, Ahmad dan Al bukhari. 6. HUKUM JARH Al imam An Nawawi dalam muqaddamah Syarah Muslim mengatakan bahwa telah sepakat para ulama membolehkan mencatat para perawi lantaran hal itu diperlukan untuk

memelihara agama. Hal ini tidak dipandang upa, bahkan dipandang suatu nasehat yang harus kita lakukan demi kepentingan agama. Ulama-ulam dan tokoh-tokoh utama membuat yang demikian.[7] 7. MARTABAT-MARTABAT TAJRIEH Sebagaimana ta;dil bermatabat, begitu juga tajrieh. Kesatu, memakai kata-kata yang menunjukkan kepada tercela perawi. Seburuk-buruk lafadh-lafadh tajrih, ialah mensifatkan perawi dengan ibarat yang menunjukkan kepada sangat dusta dalam mewadlakan hadits, atau dengan kedua-duanya seperti : 1. Si polan seorang yang paling dusta 2. Seorang yang paling banyak membuat hadits palsu 3. Kepadanya puncak pembuatan hadits palsu 4. Dia tiang tonggak dusta 5. Dia sumber dusta Kedua memakai kata-kata atau istilah : 1. Dia dajjal pengrusak 2. Dia seorang yang banyak memalsukan hadits 3. Dia seorang yang sangat pendusta Kedua mensifatkan perawi dengan salah satu sifat dusta dan memalsukan hadits, tetapi tidak terlalu merekankan, atau mensifatkanny dengan sifat yang kurang buruknya dari dusta dan memalsukan hadits seperti: 1. Si anu terdutuh berdusta 2. Si anu tertuduh memalsukan hadits 3. Si polan padanya ada peninjauan 4. Si polan seorang yang gugur 5. Si polan seorang yang biasa 6. Si polan orang yang tidak di Itibarkannya 7. Si polan, tidak di Itibarkan haditsnya 8. Si polan para ulama berdiam diri tentang halnya 9. Si polan seorang yang tidak diacuhkan 10. Si polan oaring yang di tinggalkan 11. Si polan orang yang ditinggalkan haditsnya 12. Si polan para ulam meninggalkannya

13. Si polan bukan orang kepercayaan Ketiga memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini : 1. Si polan para ulama membuang haditsnya 2. Si polan orang yang dicampak 3. Si polan orang yang dicampak haditsnya 4. Si polan dlaif sekali 5. Si polan orang yang ditolak 6. Si polan para ulama menolak haditsnya 7. Si polan orang yang ditolak haditsnya 8. Si polan tidak dipandang apa-apa 9. Si polan tidak menyamai apa-apa Keempat memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini : 1. Si polan tidak diambil hujjah dengan dia 2. Si polan munkar hadits 3. Si polan bolak-balik haditsnya 4. Si polan lemah 5. Si polan dlaif 6. Si polan para ulama melemahkannya Kelima memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini : 1. Si polan dilemahkan 2. Si polan padanya ada kelemahan 3. Si polan pada haditsnya ada kelemahan 4. Si polan padanya ada pembicaraan 5. Si polan pada haditsnya ada pembicaraan 6. Si polan diingkar dan diakui, yakni sekali membawa hadits munkar dan sekali dia membawa maruf 7. Si polan padanya ada perselisihan 8. Si polan diperkatakan ulama 9. Si polan dicecat ulama 10. Si polan mempunyai kelemahan

11. Si polan buruk hafalannya 12. Si polan lembut 13. Si polan lembut haditsnya 14. Si polan bukan hujjah 15. Si polan tidak kuat 16. Si polan tidak kukuh 17. Si polan bukan pegangan 18. Si polan tidak ada artinya 19. Si polantidak sama dengan kuat itu 20. Si polan bukan orang tidak diridlai 21. Si polan saya tidak ketahui buruknya 22. Si polan saya harap tak ada buruknya Golongan ini ditulis haditsnya Itibar. Golongan ini paling dekat kepada tadil. Ibnu Abie Hatim mengatakan bahwa: orang yang lembut haditsnya, maka dikatakn laiyinul= orang yang lembut haditsnya, maka hadits tersebut di tulis untuk dinadharkan.[8] .

Hadits Kuantitas
Pembagian Hadist Ditinjau Dari Aspek Kuantitas Sanad Mutawatir dan Ahad

1.Pengertian, Syarat-yarat, Pembagian, dan Contoh Hadist Mutawatir.


a. Definisi Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak[1]. Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta[2]. Mulai dari perawi yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama tsiqoh. Sementara menurut Nur-Addin hadist mutawatir adalah hadist yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra.[3]

Konsep mutawatir ini baru secara difinitif dikemukakan oleh al-Baghdadi, meskipun al-Syafii, ulama sebelumnya sudah mengisyaratkan dengan istilah khabar ammah . Menurutnya hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. b. Syarat-syarat hadits mutawatir Para ulama berbeda pendapat dalam membicarakan hadist mutawatir. Menurut ulama mutaakhirin dan ahli usul suatu hadist dapat ditetapkan sebagai hadist mutawatir bila memenuhi syarat-ayarat sebagai berikut: y Hadist mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yamh membawah keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat untuk berbohong. Mengenai masalah ini para ulama perbeda pendapat ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertententu mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mestahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu mereka masih berselisih mengenai jumlahnya, ada yang mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula anah. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama , ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar. Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadis yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang. Dan pendapat inilah yang diikuti oleh banyak ahli hadis. y Bedasarkan tanggapan panca indra: Bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar merupan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. y Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat(lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H) Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadis mutawatir. c. Pembagian Hadist Mutawatir

1. Mutawatir lafdzi Yaitu suatu hadits yang bunyi teks atau lafadl haditsnya sama antara satu riwayat dengan riwayatriwayat lainnya. Hal ini, menurut Ibnu Shalah yang di ikuti oleh Al-Nawawi bahwasanya sangat jarang dan sukar dikemukakan contohnya selain hadits Nabi:

.( : .( )

.( : .( )

.(

Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempat tinggalnya adalah neraka . Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.

Ada juga ulama yang menganggapnya bahwa hadits ini mustahil adanya. Akan tetapi sebagian ulama meyakinkan pada kita bahwa di dalam hadits Nabi sendiri banyak hadits mutawatir, semisal hadits yang menerangkan tentang terbelahnya rembulan, membangun masjid karena Allah, mengenai syafaat, tentang mengusaf khuf, isr a mi raj, dan tentang keluarnya mata air dari jari-jari Nabi, serta hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

Al- Qur an diturunkan atas tujuh huruf ( tujuh macam bacaan) Hadis ini diriwayatkan oleh dua puluh tujuh sahabat. 1. Mutawatir maknawi Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sama dalam artinya meskipun berbeda dalam bentuk redaksinya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini diriwayatkan oleh kurang lebih dari seratus perawi[4]. 2. Pengertian, Pembagian beserta Contoh Hadist Ahad a. Definisi kata ahad berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka hadits ahad adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang jumlah perowinya tidak mencapai batasan minimal dari hadits mutawatir. b. Pembagian Hadist Ahad 1) Mashur Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Contoh:

( : )

(
Hadits tersebut sejak tingkatan pertama (sahabat) sampai ketingkat imam-imam yang membukukan hadtis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim dan Tirmidzi) diriwayatkan tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan. Hadtis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadits masyhur sahih adalah hadits masyhur yang telah mencapai ketentuan-ketentuan hadits sahih baik pada sanad maupun matannya. Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah apabila telah mencapai ketentuan hadits hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika tidak memenuhi ketentuan hadits sahih. 2) Aziz

Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua. Contoh:

) (
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari dua sahabat yakni Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan dan dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif. 3) Ghorib Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi.  Gorib mutlaq terjadi apabila penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat. Contoh : Artinya: kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan . Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.  Hadis ghorib nisbi terjadi apabila penyandiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan keTsiqahan rawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.

Contoh hadis ghorib nisbi mengenai kesiqahan rawi: ( ) Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim, Malik, Dumrah bin Said, Ubaidillah, Waqid AlLaisi, Rasulullah. Pada rentetan sanad yang pertama Dumrah bin Said disifati sebagai muslim yang siqah. Tida seorangpun dari perawi-perawi siqah yang meriwayatkan hadits tersebut selain dia sendiri. Contoh dari hadits ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu:

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain. 3. Cara Mengukur Kemutawatiran Hadits Sebagai dasar sebuah hadits bisa dikategorikan mutawatir ataupun tidak adalah berdasarkan jumlah perawi pada tingkat shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama, parameter hadits mutawatir yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah jumlah perawi di tingkat shahabat sebanyak sepuluh orang. Dengan demikian, apabila suatu hadits diriwayatkan kurang dari sepuluh shahabat, maka bukan termasuk kategori hadits mutawatir. 4. Peran al-Syahid Dalam Analisis Kuantitas Sanad Syahid adalah hadits yang rawinya diikuti oleh perawi lain yang menerima dari sahabat lain, dengan matan yang menyerupai hadits baik dalam lafad dan ma nanya atau ma nanya saja. Syahid juga terbagi menjadi dua, yaitu syahid lafdzi dan syahid ma nawi. Syahid lafdzi adalah hadits yang menguatkan matan hadits dari segi lafadz dan ma nanya. Adapun syahid ma nawi adalah hadits yang menguatkan ma na hadits bukan lafazdnya. Contoh:

( : ( )

Satu bulan itu dua puluh sembilan hari. Janganlah kalian berpuasa sebelum kalian melihat hilal (bulan yang terlihat pada awal bulan) dan janganlah kalian berbuka sebelum kalian melihatnya pula. Jika hilal itu tidak jelas atas kalian, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari

Adapun syahid lafdzi adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Syafi i dari gurunya Malik dari Abdillah bin Dinar dari Abdillah bin Umar dengan lafazd . Sedangkan syahid ma nawi adalah apa yang diriwayatkan Bukhari dari jalur Syu bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah yang menggunakan lafadz.

Ahmad bin Muhammad Al Fayyumi, Al-Misbah Al-Munir fi Garib Asy-Syarh Al- Kabir li Ar-Rafi, juz ll, Dar Al-Kutub ,Beirut.
[1]

Subhi Shalih, 1997, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut:Dar Al-Ilm Li Al-Malayin)cet. XXI
[2] [3]

Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia.

[4] Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul al-Hadis.

BAB IIPEMBAHASANE.Pengertian Hadits Shohih, Hasan Dan Dhaif 1. Pengertian Hadits Shohih Menurut bahasa shahih yakni sehat lawan dari kata saqim (sakit). Sedangm e n u r u t i s t i l a h ( t e r m i n o l o g i ) a d a b e b e r a p a d e f i n i s i o l e h p a r a u l a m a , diantaranya:a . I b n u s h a l a h : Hadits shahih adalah hadits musnad yang sanadnya bersambung dengan diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabith (kemampuanintelektual) dari oran yang adil dan dhabith pula hingga akhir sanad dantidak mengandung syadz dan illat. b.Iman al na wa wi Yaitu hadits hadits yang bersambung sanadnyadengan diriwayatkanoleh orang orang yang adil serta dhabith tanpa adanya syadz danillat. Dari beberapa definisi diatas maka hadits shahih dapat did efinisikan sebagai berikut: Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari yan semisal dari pertama hingga akhir tanpa syadz dan illat. 2. P e n g e r t i a n h ad i t s h as a n Menurut bahasa hasan adalah sifat musyabbihat dari al husn, yang berartial jamal (baik), sesuatu yan dis enangi oleh nafsu. Menurut istilah terdapat beberapa definisi, diantaranya:a . A l k h a t h t h a b i : Hadits yang diketahui mekhrojnya dan para perawinya terkenal.

A t t i r m i d z i Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinyatidak ada yang tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yan menyalahihadits hadits shahih. c . I b n u h a j a r Khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurnaingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berillat dan syadz disebut hadits shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang sempurnadisebut hasan lidzatih. Dari semua definisi di atas maka hadits hasan adalah : Hadits yang bersambung sanadnya dengan riwayat orang yang adil dankurang sempurna ke dhabitannya, demikian itu hingga akhir sanadnyatanpa adanya syadz dan illat. T i n g k a t a n H a d i t s H a s a n Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga mempunyai tinkatan tingkatan sesuai dengan kualitas perawi dalam sanadnya. Tingkatan tertinggihadits hasan adalah hadits yan diriwayatkan oleh bahz bin hakim dari ayahnyadari kakeknya, amir bin syuaib dari ayahnya dari kakeknya, ibnu ishaq daria l t a y my . S et el a h i t u ha d i t s ha d i t s ya n g ma s i h di p er s e l i s i h ka n u l a ma tentang keshahihan dan kehasanannya. 3 . T i n g k a t a n H a d i t s D h a i f Tingkatan hadits dhaif yan paling tinggi yaitu yang diriwayatkan darisahabat ya ng mendengar langsung kemudian dari sahabat ya ng melihat tapit i d a k da p a t m e n d e n ga r n y a , k e m u di a n da r i s a ha b a t da r i 2 ma s a , k e m u d i a n hadits dari 2 orang pandai, kemudian seseorang yang tinggal dengan gurunya,kemudian dari orang yang mengutip dari setiap orang Latar Belakang Pentingnya Ilmu Al-Jarh wa At-ta'dil Para ulama sadar sepenuhnya bahwa menunjukkan aib (cacat) orang lain itu dilarang oleh agama akan tetapi jika Al-Jarh ( kritik) tidak dilakukan maka bahaya yang timbul akan lebih besar dan hadis nabi tidak dapat diselamatkan. Oleh karena itulah para ulama hadis memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Merekapun ber'ijma akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini. Al-Baghdadi mengutip penilaian Ibnul Mubarak atas kebohongan almala ibn Hilal. Kemudian seorang sufi menegurnya, Hai Abu Abdir Rahman, mengapa engkau berbuat ghibah (memperlihatkan aib orang lain). Ibnul Mubarak menjawab, kalau saya tidak menjelaskan, bagaimana mungkin dapat dipilah antara yang hak-dengan yang batil. Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak mencurahkan segala perhatiaanya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji hafalan dan kekuatan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh rihlah yang panjang, menanggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap para rawi yang pendusta, yang lemah, dan kacau hafalannya, seandainya

bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan islam, orangorang zindiq akan berkuasa, dan para dajjal akan bermunculan. E. Sejarah Timbulnya Ilmu Al-Jarh wa At ta'dil Kedudukan nabi sebagai public figur, terbuka asumsi untuk disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Loyalitas berkadar semu bisa mewarnai sikap sebagian sahabat beliau. Demikian pula setiap informasi mengenai tahapan pembinaan syari'ah versi hadist, kebijakan kepemimpinan dan pilihan sikap pribadi dalam menjalani kehidupan, tak luput dari reaksi umat untuk mengkritisnya. Berikut ini disajikan gambaran singkat sejarah Al-Jarh wa at ta'dil, ditekankan pada format aktivitis kritik, objek kritik, dan kecenderungan pertimbangan hasilnya. 1. Sejarah Al-jarh wa at-ta'dil dimasa nabi Motif kritik pemberitaan hadist bercorak konfirmasi. Klarifikasi dan upaya memperoleh testimoni yang target akhirnya menhuji validitas keterpercayaan berita. Kritik bermotif konfirmasi, yakni upaya menjaga kebenaran dan keabsahan berita, antara lain terbaca pada kronologis kejadian yang diriwayatkan oleh abu Buraidhah tentang seorang pria yang tertolak pinangannya untuk mempersunting wanita Banu Laits. Kritik bermotif klarifikasi, yakni penyelarasan dan mencari penjelasan lebih kongkrit, kemudian motif kritik lain menyerupai upaya testmoni yakni mengusahakan kesaksian dan pembuktian atas sesuatu yang tersinyalir diperbuat oleh nabi SAW. Dan motif kritik pemberitaan (matan hadist) untuk tujuan esensi faktanya dilaksanakan dengan tekhnik investigasi (penyelidikan) dilokasi kejadian, bertemu langsung dengan subjek narasumber berita serta melibatkan peran aktif pribadi nabi atau rasul SAW. 2. Sejarah al-jarh wa at-ta'dil pada periode sahabat. Proses transfer (Pengoperan) informasi hadist dikalangan sesama sahabat nabi cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan. Kesalahan tidak disengaja, salah mempersepsi fakta, dan kekeliruan bentuk lain karena gangguan indra pengamatan adalah hal yang manusiawi. Faktor luar yang diduga memperbesar kelemahan tersebut adalah : Kelangkaan naskah penghimpun notasi hadist, kurang tersosialisasinya aktifitas pencatatan hadist. Skala kesalahan dalam proses pemberitaan hadist pada periode sahabat cepat terlokalisir dan tereleminir, karena adanya tradisi saling menegur dan mengingatkan. Tradisi kritik esensi matan hadist dilingkungan sahabat, selain menerapkan kaidah muqaronah antar riwayat berlaku juga kaidah mu'aradah. Metode

muqaronah merupakan perbandingan antar riwayat dari sesama sahabat. Sedangkan metode mu'arodah merupakan pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadist, agar tetap terpelihara keselarasan antar konsep dengan hadist lain dan dengan dalil syari'at yang lain. Jadi, Dapat disimpulkan bahwa metode kritik hadist pada periode sahabat ditekankan pada objek esensi matan hadist, dengan kaidah muqaronah antar riwayat dan mu;arodah. Pasca kritik tidak muncul reaksi negatif, hanya sekedar tawaquf (sadar) menerima kenyataan atau menerima koreksi pemberitaan. Dengan demikian mekanisme kritik lebih didasarkan pada tujuan meluruskan pemberitaan yang mempertaruhkan nabi atu rasul dan mengkondisikan wawasan keislaman yang ta'at asas. 3. Sejrah Al-Jarh wa'at ta'dil pada periode muhaddisin Fakta pemalsuan hadist-hadist palsu membangkitkan kesadaran muhaddisin untuk melembagakan sanad sebagai alat kontrol periwayatan hadist sekaligus mencermati kecenderungan sikap keagamaan dan politik orang perorang yang menjadi mata rantai riwayat itu. Upaya mewaspadai hadist tersebut telah berlangsung pada periode kehidupan sahabat kecil, yakni mereka yang masih berada di tengah-tengah umat hingga sekitar tahun 70-80 Hijriah. Dalam rangka mengimbangi pelembagaan sanad, maka lahirlah kegiatan Jarh ta'dil (mencermati kecacatan pribadi perawi dan keterpujiannya). Biodata pribadi periwayat hadist yang ditelusuri meliputi: Data kelahiran dan wafatnya, tempat tinggal, mobilitas dalam studi hadist, nama guru dan murid yang diasuh, penilaian kritikus tentang integritas keagamaan atau indikasi tersangkut paham bid'ah, kadar ketahanan hapalan dan bukti kepemilikan notasi hadist dan penetapan peringkat profesi kehadisannya. Kegiatan Jarh ta'dil menurut pengamatan Al-Dzahabi (w.784 H) telah melibatkan 715 kritikus.[3] G. Tingkatan tingkatan Al- Jarh wa ta'dil Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang 'adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama' yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama' menetapkan tingkatan Jarh dan Ta'dil. 1. Tingkatan-tingkatan Al-Jarh a. Tingkatan Pertama

Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla'fun (padanya ada kelemahan). b. Tingkatan kedua Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : "Fulan tidak boleh dijadikan hujjah", atau "dla'if, atau "ia mempunyai hadits-hadits identitas/kondisinya). yang munkar", atau majhul (tidak diketahui

c. Tingkatan ketiga Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : "Fulan dla'if jiddan (dla'if sekali)", atau "tidak ditulis haditsnya", atau "tidak halal periwayatan darinya", atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma'in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit). d. Tingkatan ke empat Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau "dituduh memalsukan hadits", atau "mencuri hadits", atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya). e. Tingkatan ke lima Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla' (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla' (dia memalsikan hadits). f. Tingkatan ke Enam Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : "Fulan orang yang paling pembohong", atau "ia adalah puncak dalam kedustaan", atau "dia rukun kedustaan". Sedangkan tingkatan-tingkatan at-ta'dil adalah sebagai berikut: a. Tingkatan Pertama Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta'dil-an, atau dengan menggunakan wazan af'ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : "Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan" atau "Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya" atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya". b. Tingkatan Kedua Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-'adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti :

tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma'mun), atau tsiqah dan hafidh. c. Tingkatan Ketiga Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti

: tsiqah, tsabt, atau hafidh. d. Tingkatan Keempat Yang menunjukkan adanya ke-'adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma'mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba'sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma'in kalimat laa ba'sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma'in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut). e. Tingkatan Kelima Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya 'anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya). f. Tingkatan Keenam Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).[4] F. Para Pakar dan Kitab-kitabnya Para penulis kitab-kitab Al-Jarh wa ta'dil berbeda beda dalam menyusun bukubukunya sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid dan hanya menckup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar-besar yang mencakup antara 10-20 ribu rijalu sanad. Kitab-kitab itu antara lain : 1. Ma'rifatur Rijal karya Yahya Ibnu Ma'in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita, juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuschrift (tulisan tangan) berada di darul kutub Adh-dahiriyyah. 2. Ad-dluafa' karya Imam Muhammd bin Ismail Al-Bukhari (194-252 H) Kitb tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H. 3. At-tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al Busthi ( wafat tahun 304 H) perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul Kutub Al Mishriyah, dengan tidak lengkap.

4. Al-Jarhu wa Ta'dil karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar razi (240-326 H) ini merupakan kitab jarh wa ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan ayng sangat besar kaidahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 1850 orang rawi. Pada tahun 1373 H kitan itu dicetak di India menjadi 9 jilid. 5. Mizanul I'tidal karya Imam Syamsudin Muhammad Adz- zarabi ( 673-748 H) kitab itu terdiri dari 3 jilid setiap rawi biarpun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan hadisnya sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terkhir di cetak di Mesir pada tahun 1325 H. Dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang rijalus sanad. 6. Lisanul Mizan, karya Al-Hafidh ibnu Hajar Al-Atsqalani (773-852 H) sudah mencakup isi kitab mizanul i'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus sanad. Ia dicetak di Indiapada tahun 1329-1331 H dalam 6 jilid.[5]

You might also like