You are on page 1of 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Kelinci 2.1.

1 Morfologi Luar Kelinci (Lepus nigricollis) Tubuh kelinci (Lepus nigricollis) dibagi menjadi empat bagian yaitu: Caput (kepala), Cervix (leher), Truncus, (Badan) dan Cauda (Ekor). Pada caput, terdapat rima oris (rongga mulut), vibrisae, nares, organo visus dan telinga yang panjang.

Gambar 2 1 Morfologi Luar Kelinci (Sumber: www.hopperhome-com.htm)

Tubuh bagian luar kelinci (Lepus nigricollis) dilapisi oleh kulit dan ditumbuhi oleh banyak rambut. Bangun hidung silindris. Mempunyai gigi seri yang di gunakan untuk memotong-motong makanan sebelum makanan ditelan. Mempunyai daun telinga yang panjang dan menghadap ke depan. Kaki berjumlah dua pasang, kaiki bagian depan lebih pendek daripada bagian belakang (Rictche, 1983). Pada bagian kepala (Caput) telah diketahui mata dan telinga yang lebar. Mata yang besar terletak di bagian samping dari kepala. Kelopak mata ada dua macam yaitu: Palpebra superior dan palpebra inferior (Tim Dosen Anatomi Hewan, 1991). Selain itu juga pada kepala (caput) terdapat rongga mulut (rima oris) yang terdapat pada 2 bibir yaitu (bibir atas dan bibir bawah). Lubang hidung terletak di moncong. Vibrissae berupa rambut-rambut kaku yang berfungsi untuk mendeteksi makanan waktu didalam tanah. Lingua dilapisi oleh mucosa, penuh dengan tonjolantonjolan kecil yang mengandung gerombolan sel syaraf atau indera perasa yang berhubungan dengan ujung- ujung syaraf (Tim Dosen Anatomi Hewan, 1991). Pada bagian Leher (cervix) kelinci (Lepus nigricollis) ini merupakan bagian penghubung antara kepala dan badan. Sedangkan pada bagian Badan (Truncus)

terdapat thorax, abdomen, dorsum, glatea, pineum, dan glandula mamae (Kastawi, 1992). Pada bagian Ekornya (Cauda) tampak lebih pendek karena sebagian besar tersembunyi dibalik perutnya yang berrambut tebal (Oliver, 1984). 2.1.2 Klasifikasi Kelinci Menurut (Anonimous, http://animaldiversity.ummz.umich.edu), klasifikasi dari kelinci (Lepus nigricollis) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Lagomorpha Famili : Leporidae Genus : Lepus Spesies : Lepus nigricollis 2.2 Anatomi Dalam Kelinci Anatomi dalam kelinci (Lepus nigricollis) meliputi organ-organ viscera, yaitu sebagai berikut: a. sistem respirasi kelinci b. sistem pencernaan kelinci c. sistem sirkulasi kelinci d. sistem syaraf kelinci e. sistem ekskresi kelinci f. sistem reproduksi kelinci

Gambar 2 2 Anatomi Kelinci (Grove and Newel, 1942)

2.2.1 Sistem Reproduksi Kelinci Sistem reproduksi tersusun atas sistem genital interna dan eksterna. Pada hewan betina organ interna berupa sepasang ovarium dan uterus. Ovarium terletak sebelah kaudal dari ren dan didalamnya terdapat folikel-folikel Graaf berbentuk

gelembung. Uterus berjumlah sepasang dan berkelok-kelok dan terbagi atas infundirambutm, tuba, dan uterus. Organ ksterna tersusun atas vagina, vulva, labium majus, labium ninus, dan clitoris (Tim Dosen anatomi hewan UGM). Kelinci terkenal karena kemampuan reproduksinya, yang betina berevolusi segera setelah senggama sehingga pembuahan terjamin. Selain itu kelinci betina mempunyai sistem reproduksi yang istimewa, yaitu mampu mengandung 2 rumpun anak sekaligus karena memiliki rahim ganda. Pembuahan pada rahim yang 1 tidak menghalangi ovulasi pada rahim yang satunya lagi. Gejala ini disebut Superfetasi, dan meskipun langka dianggap cukup sering terjdi (Oliver, 1984). Sedangkan pada jantan memiliki organ reproduksi interna dan eksterna. Pada organ interna terdiri dari testis dan epididimis. Testis terdapat sepasang yang terletak dalam scrotum. Testis merupakan pengahasil sperma terus dikeluarkan melalui epididimis yang merupakan tempat pematangan kemudian ke vasdeferens. Sedangkan pada organ eksterna berupa penis. Penis ini merupakan alat kopulasi dan tersusun dari corpus cavernosusm penis dan corpus gavernosum urethrae. Disamping itu juga terdapat kelenjar-kelenjar yang membantu sistem reproduksi (Kastawi, 1992).

Gambar 2 3 Sistem Reproduksi pada Kelinci, jantan (kiri) dan betina (kanan) (Grove and Newel, 1942)

2.3 Proses Histologi Cara pembuatan sediaan histologis disebut mikroteknik. Pembuatan sediaan dari suatu jaringan dimulai dengan operasi, biopsi, atau autopsi. Jaringan yang diambil kemudian diproses dengan fiksatif yang akan menjaga agar sediaan tidak akan rusak (bergeser posisinya, membusuk, atau rusak). Fiksatif yang paling umum

digunakan adalah formalin (10% formaldehida yang dilarutkan dalam air). Larutan Bouin juga dapat digunakan sebagai fiksatif alternatif meskipun hasilnya tidak akan sebaik formalin karena akan meninggalkan bekas warna kuning dan artefak. Artefak adalah benda yang tidak terdapat pada jaringan asli, namun tampak pada hasil akhir sediaan. Artefak ini terbentuk karena kurang sempurnanya pembuatan sediaan (Wikipedia, 2009). Affuwa (2007) menyatakan bahwa membuat histologi jaringan hewan mulamula dengan menyiapkan jaringan segar dalam pengamatan mikroskopis yaitu dengan cara fiksasi. Tujuan dilakukannya fiksasi adalah mencegah terjadi kerusakan pada jaringan, menghentikan proses metabolisme secara cepat, mengawetkan komponen sitologis dan histologis, mengawetkan keadaan sebenarnya, mengeraskan materi yang lembek, dan jaringan-jaringan dapat diwarnai sehingga bisa diketahui bagianbagian jaringan. Faktor-faktor yang berperan dalam fiksatif adalah buffer (pH), suhu yang rendah mencegah autolisis, untuk mendapatkan daya penetrasi yang tinggi digunakan irisan setipis mungkin, perubahan volume, osmolalitas pada larutan fiksatif, penambahan deterjen sehingga fiksatif cepat masuk, konsentrasi, dan waktu fiksatif. Dehidrasi memiliki fungsi menghilangkan air dalam jaringan. Bahan yang digunakan untuk dehidrasi harus mampu menggantikan fungsi air. Dehidrasi yang baik dilakukan secara bertahap yaitu mulai dari konsentrasi 70% sesuai dengan pelarut Bouin formol kemudian berturut-turut ke dalam alkohol 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut. Pada setiap konsentrasi dilakukan pengulangan 3 kali (Botanika, 2008). Selanjutnya tahap dehidrasi, dehidrasi dilakukan setelah fiksasi dengan tujuan untuk mengeluarkan air dari jaringan, ini merupakan prinsip dari teknik parafin yaitu air dikeluarkan dan diganti dengan parafin sehingga blok jaringan mudah dipotong, ini dilakukan 2 tahap yakni dehidrasi dan penjernihan. Proses dehidrasi dilakukan dengan memasukkan jaringan yang sudah difiksasi kedalam larutan alkohol berturutturut dari kadar 70% sampai 100% (Robby , 2000). Selanjutnya dengan proses clearing, untuk memungkinkan parafin dapat masuk ke dalam sel, haruslah alkohol di dalam organ diganti dengan zat yang mudah mengusir alkohol tetapi kemudian harus bisa diusir oleh parafin. Clearing atau dealkoholisasi ini dapat menggunakan aceton, benzol, toluol, dan xilol. Proses clearing dapat dilakukan selama 24 jam (Jvetunud, 2008). Embedding dilakukan dengan membuat kotak kertas. Beberapa keuntungan menggunakan kotak kertas yaitu bisa membuat arah sayatan dan menandai jaringan. Sebelum jaringan atau sampel ditanam maka terlebih dahulu parafin dalam kotak harus membeku pada bagian dasarnya sehingga memungkinkan objek tidak langsung menempel pada dasar kertas. Blok parafin yang akan disayat dulu maka dibentuk dulu (trimming). Bentuk blok disesuaikan dengan bentuk pitanya yang diinginkan. Hal ini dikarenakan penampang blok parafin menggambarkan blok pita yang akan diiris.

Letak mata pisau pada mikrotom sangat menentukan hasil yang diperoleh. Pisau dibersihkan dengan xylol dari sisa-sisa parafin yang menempel. Hasil sayatan diambil dengan menggunakan kuas secara hati-hati. Hasil sayatan diletakkan dalam bak khusus dan diperhatikan urutannya. Pita hasil sayatan ditempel pada kaca objek dengan menggunakan meyer albumin. Kaca objek selanjutnya diletakkan di atas meja penangas (heating plate) (Botanika, 2008). Selanjutnya tahap dehidrasi, tahap rehidrasi atau dehidrasi sangatlah penting dilakukan sebelum dilakukan pewarnaan. Hal itu baru dilakukan bila parafin dalam sayatan sudah larut dan biasanya dilarutkan dalam xylol (Botanika, 2008). Proses sectioning diawali dengan pengirisan blok parafin dengan scalpel, sehingga permukaan blok parafin yang akan diiris dengan mikrotom berbentuk segi empat. Irislah sedemikian rupa, sehingga preparat akan terletak tepat berada di tengah blok. Proses pewarnaan dilakukan setelah preparat dideparafinasi dengan merendam preparat pada xylol. Salah satu pewarna metode parafin pada jaringan hewan adalah hematoxylin dan Eosin. Zat warna hematoxilin ini bersifat aquaosa (Botanika, 2008). 2.3.1 Fiksasi (Pengawetan) Jaringan Fiksasi adalah usaha yang dapat mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan agar tetap berada pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran.. media yang digunakan untuk fiksasi disebut dengan fiksatif. Fiksatif terdiri dari unsur-unsur kimia yang dibuat dalam bentuk larutan atau gas yang berfungsi agar Jaringan tidak membusuk, dan dapat mempertahankan struktur jaringan (Imran, 2008). Tujuan dilakukan fiksasi dalam pembuatan preparat dengan menggunakan metode parafin adalah: 1. mematikan (menghentikan proses-proses metabolisme)jaringan dengan cepat, sedangkan keadaan sedikit banyaknya mendekati keadaan semula 2. mencegah terjadinya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh mikroorganisme ataupun kerusakan oleh jenis enzim yang terkandung oleh jaringan itu sendiri, yang dikenal dengan autoloisis 3. Meningkatkan daya pewarnaan karena adanya bahan-bahan keras (mordant) yang merupakan komponen jaringna fiksatif (Imran, 2008) Beberapa faktor yang mempengaruhi pengawetan, antara lain: a. dapar (pH) b. penetrasi c. volume pengawet d. konsentrasi

e. interval waktu f. suhu g. jenis larutan pengawet Sedangkan, untuk bahan pengawet yang biasa digunakan, disebutkan bahwa ada lima kelompok utama bahan pengawet yang dikelompokkan menurut mekanisme kerjanya, yaitu: aldehida, merkuri, alkohol, oxidizing agents, dan picrates. 2.3.2 Sectioning (Pengirisan) Jaringan Proses pengirisan/penyayatan adalah pembuatan sayatan atau pita dari balok parafin yang telah terbentuk dengan menggunakan mikrotom, yang bertujuan untuk membuat sayatan jaringan dan dapat dilihat jelas dari dalam mikroskop. Pembuatan irisan dengan metode parafin memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah yaitu proses embedding lebih cepat dan lebih simpel, material embedding dapat disimpan dalam waktu yang lama pada kondisi kering, serta dapat membuat irisan yang tipis. Embedding menggunakan paraffin sangat baik digunakan untuk studi embriologi, anatomi dan sitologi (Imran, 2008). Mikrotom adalah mesin untuk mengiris spesimen biologi menjadi bagian yang sangat tipis untuk pemeriksaan mikroskop. Beberapa mikrotom menggunakan pisau baja dan digunakan untuk mempersiapkan sayatan jaringan hewan atau tumbuhan alam histologis. Jenis-jenis mikrotom yang bisa dipakai pada mikroteknik adalah: 1. Rocking microtom, cara kerjanya seperti mengatam kayu, biasanya untuk organorgan keras seperti kayu 2. Rotary microtom atau mikrotom putar, cara kerjanya dengan di putar yang akan mengerakan objek maju dan naik turun, sementara pisaunya tetap. Mikrotom ini biasanya dipakai dalam mikroteknik metode parafin 3. Sliding microtom atau mikrotom sorong, dimana jaringan tetap posisinya dan pisau yang bergerak maju dan mundur. Mikrotom ini sering digunakan pada mikroteknik metode paraffin, walau umumnya digunakan pada penyayayan jaringan yang di tanam dalam celloidin. Biasanya digunakan pada objek-objek yang keras. 4. Freezing microtom atau mikrotom beku, sering digunakan untuk penyayatan jaringan yang tidak ditanam dalam paraffin maupun dalam celloidin, jadi jaringan yang disayat adalah jaringan yang tidak di tanam tetapi dibekukan dengan memakai gas CO2. Keuntungan dari mikrotom ini adalah waktu yang dipakai lebih pendek, karena langsung disayat setelah proses fiksasi. Kerugiannya adalah bila temperature kamar tinggi, objek menjadi lunak sehingga sulit dipotong. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses penyayatan ini adalah: -Mikrotom harus seberat mungkin

-Meja tempat mikrotom harus stabil -Pisau harus cocok dengan mikrotom -Posisi pisau harus stabil -Mata bisau harus tajam, bersih dan suhunya harus sama dengan balok jaringan yang akan disayat 2.3.3 Staining (Pewarnaan) Jaringan Pewarnaan merupakan suatu tahap dalam mikroteknik untuk mempertajam atau memperjelas berbagai elemen jaringan, terutama sel-seknya, sehingga dapat dibedakan dan ditelaah dengan mikroskop.tanpa pewarnaan, jaringan akan transparan sehingga sulit untuk diamati. Pewarnaan akan memperjelas rinci suatu jaringan sehinnga mudah untuk dipelajari. Pewarnaan dibedakan antara non vital dengan vital: a. Pewarnaan non vital, pewarnaan dilakukan setelah jaringan dimatikan melalui fiksasi. Teknik ini merupakan teknik dan cara yang paling alzim digunakan, terutama untuk pekerjaan rutin sehari-hari, terutama pembuatan preparat/sediaan praktikum bagi mahasiswa b. Pewarnaan vital, maka proses pewarnaan dilakukan selagi jaringan/sel masih dalam keadaan hidup. Sel-sel yang masih hidup tersebut diharapkan mampu untuk menyerap warna maupun mengikat/memfagosit partikel-partikel zat warna. Dengan demikian zat warna yang hendaknya yang tidak bersifat toksik bagi sel-sel tersebut. Sebagai contoh, tinta china dan lithium carmine secara umum digunakan untuk mengamati penyebaran sifat sel-sel RES, karena sel-sel tersebut mampu memfagosit zat warna. c. Pewarnaan supra-vital diharapkan pada hasil kultur sel dan jaringan Dalam arti yang sangat luas, zat warna mencakup bahan organik dan bahan anorganik, yang mengadakan ikatan dengan jaringan lebih jelas untuk diamati. Ditinjau dari berbagai segi, maka zat warna dapat kita bedakan atau kelompokan pada kategori-kategori tertentu. Berikut ini adalah pembagian zat warna berdasarkan berbagai kategori tersebut. 1. Berdasarkan sifatnya, meliputi: a. Zat warna asam, adalah garam-garam dari asam-asam pembawa warna dengan radikal basa yang tidak berwarna. Contoh: acid fuchsin, eosin, dan lain sebagainya b. Zat warna basa, adalah garam-garam dari basa pembawa warna dengan radikal asam yang tidak berwarna. 2. Berdasarkan asalnya, meliputi:

a. Zat warna alami, berupa zat warna yang diperoleh dari alam, baik dari tumbuhan maupun dari hewan, contoh hematoksilin, adalah zat warna yang berasal dari tumbuhan (Hehatoxylin campechianum) b. Zat warna sintetis, mencakup jenis-jenis zat warna yang dibuat di pabrik. Contoh: basic fuchsin, dibuat dari campuran analin dan paratoluidin 3. Berdasarkan kemampuan mengenai warna (staining power), meliputi: a. Zat warna substantif, jenis zat warna yang mampu mewarnai jaringan secara langsung, contoh: janus green B, Neutral red b. Zat warna ajektif, jenis zat warna yang pada penggunaannya, agar mampu mewarnai jaringan, harus menggunakan bantuan mordan, contoh: hematoxyllin dari formula Ehrlich. Pada formula tersebut diberikan pula kalium alumunium secara berlebihan yang berfungsi sebagai mordan 4. Berdasarkan jumlah/ komposisi zat warna yang digunakan,meliputi: a. Pewarna tunggal (single staining), hanya menggunakan satu jenis zat warna, contohnya untuk melihat polisakarida sulfat ester serta hyaluronic, maka digunakan zat warna tunggal gentian violet b. Pewarna ganda/ rangkap (double staining, menggunakan dua jenis zat warna, contoh pada system pewarnaan hematoksilin-eosin c. Pewarnaan rangkap tiga (triple staining), menggunakan tiga jenis zat warna, contohnya: formula Marllory triple stai yang menggunakan zat-zat warna acid fuchsin, aniline blue serta orange G d. Pewarnaan rangkap empat, jarang digunakan dalam kerja rutin, kecuali untuk tujuan khusus 5. Berdasarkan struktur jaringan yang akan diwarnai, meliputi:L a. Pewarnaan umum, seperti Hematoxyllin eosin, fastgreen safranin b. Bewarnaan khusus, seperti pewarnaan jaringan ikat yaitu Molary azan, aniline blue, asam phospatungistik, korhensen, dan lain-lain

DAFTAR PUSTAKA Affuwa. 2007. Jaringan pada Hewan. Diakses dari http://affuwa.wordpress.com Anonimous. Tanpa tahun. Classification http://animaldiversity.ummz.umich.edu Botanika. 2008. Fixation http//botanika.biologija.org Embedding of Rabbit. Diakses dari

sectioning.

Diakses

dari

Groove, A. J. and Newell, Greece. 1942. Animal Biology. London: Universitas Intorial press. Hlm 286-415 Imron, Tamyis Ali. 2008. Pembuatan Preparat Jaringan Hewan Dengan Metode Parafin - Laporan praktikum mikroteknik Universitas Brawijaya. Diakses dari http://cyber-biology.blogspot.com Jvetunud. 2008. Parafin Hewan. Diakses dari http://www.jvetunud.com Kastawi, Yusuf. 1992. Vertebrata Bagian II. Malang: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan IKIP Malang Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas. Hlm 94-118 Oliver, James A. 1984. Ilmu Pengetahuan Populer. Jakarta: PT.Widya Dara. Hlm 228-230 Robby N, dkk. 2000. Histologi. Makasar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Tim Dosen Anatomi Hewan. 1991. Diktat Asistensi Anatomi Hewan Zoologi. Yogjakarta: Laboratorium Anatomi Hewan Jurusan Zoologi fakultas Biologi UGM Yogjakarta. Hlm 49-82 Wikipedia. 2009. Histologi. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Histologi

You might also like